dua musuh turunan Seri ke 2 Thiansan (PENG TJONG HIAP ENG) Karya : Liang Ie Shen Saduran : OKT Jilid 1 CERITERA PENDAHULUAN Di luar kota Ganboenkwan, daerah yang luasnya seratus lie adalah daerah kosong, atau no man's land. Di dalam kota Ganboenkwan berdiam pasukan perang Kerajaan Beng, dan di pihak sana, di luar kota, ada tentara bangsa Mongolia, ialah rombongan suku bangsa Watzu. Selama tahun-tahun permulaan dari Kaisar Eng Tjong dari Kerajaan Beng — belum lewat empat puluh tahun dari wafatnya Beng Thaytjouw Tjoe Goan Tjiang, kaizar pendiri dari Ahala Beng itu — bangsa Mongolia di Barat utara mulai bangkit bangun pula, dan rombongan suku Watzu adalah yang terkuat. Rombongan ini setiap tahun maju dengan perlahan-lahan, sampai ditahun Tjongtong ke-3 — tahun Kaisar Eng Tjong itu — tentaranya telah mendekati kota Ganboenkwan. Demikian terjadilah daerah yang kosong itu. Pada, suatu magrib, selagi angin Barat meniup dengan kerasnya, hingga pasir kuning dan daun-daun rontok berterbangan, sedangnya kelenengankelenengan kuda bersuara bercampur baur dengan suaranya terompet huchia dari orang Mongolia, maka di daerah kosong itu, ialah di jalan pegunungan di dalam selat, sebuah kereta keledai asyik lewat dengan kencangnya. Kereta itu diiringi satu penunggang kuda — seorang usia pertengahan yang menggendong kantong busur pada bebokongnya dan pada pingangnya tergantung sebatang pedang. Sering sekali pengiring ini berpaling ke belakang. Selagi angin bertiup keras, bercampur dengan suara ringkikan kuda yang tak hentinya dan suara beradunya senjata-senjata tajam, tiba-tiba terdengar satu seruan panjang dan hebat, lalu setelah itu — dengan laratnya sang kereta keledai — suara berisik itu perlahan-lahan berubah menjadi kesunyian. Dari dalam kereta, seorang tua menyingkap tenda, memperlihatkan kepalanya dengan rambut ubanan semua. "Apakah Teng-djie memanggil aku?" tanya dia. "Apakah dia telah menemui kecelakaannya? Tjia Hiapsoe, tak usah kau pedulikan lagi padaku, pergi kau sambut mereka itu! Setelah sampai di sini, mati pun aku akan meram..." Pengiringnya itu perdengarkan jawabannya. Ia menunjuk jauh ke belakang. "Selamat, loopeh” kata dia. "Loopeh dengar suara kalutnya tindakan kaki kuda itu. Itulah pasti tanda yang tentera Tartar sudah mundur! Nah, lihat di sana, bukankah itu mereka yang tengah mendatangi?" Habis berkata, pengiring ini memutar kudanya, yang terus ia larikan, guna memapaki "mereka" yang katanya tengah mendatangi mereka. Si orang tua di dalam kereta menghela napas, menyusul itu air matanya berlinang linang, menetes turun. Di dalam kereta itu, yang larinya tak tetap, ada satu bocah wanita. Dia bermuka merah karena hawa yang dingin sekali, warna merah itu mirip dengan buah apel yang telah matang dalu. Dikucak-kucaknya matanya seperti dia baharu terjaga dari tidurnya. "Yaya, adakah ini wilayah Tionggoan?" dia tanya. Orang tua yang dipanggil "yaya" (engkong) itu menahan keretanya. Ia menyingkap pula tenda, untuk melihat ke tanah, tempat di sekitarnya. "Ya, inilah tanah daerah Tionggoan," sahutnya, dengan suara dalam. "A Loei, coba kau turun, kau tolongi yaya-mu menjemput segumpal tanah!" Ketika itu dari mulut selat terlihat tiga ekor kuda kabur mendatangi, salah satu penunggangnya, rebah tengkurap dengan pakaian murat-marit, robek di sana-sini. Yang terdepan adalah satu hweeshio atau pendeta. Pengiring usia pertengahan yang dipanggil Tjia Hiapsoe oleh yaya-nya si bocah tadi memapaki hweeshio itu. "Tiauw Im Soeheng, bagaimana dengan In Teng soetee?" dia tanya. Hweeshio itu menahan kudanya. "Dia telah menemui kematiannya," ia menyahut, wajahnya muram. "Tidak kusangka, setelah melalui laksaan lie air dan ribuan lie gunung, setelah bisa menyingkir sampai di sini, selagi kota Ganboenkwan sudah terpandang di depan mata, dia masih tak dapat lolos dari tangannya orang Tartar! Akan tetapi, tak kecewa dia menjadi satu laki-laki, dalam keadaan luka parah dia masih dapat membinasakan beberapa orang musuh, selagi menghadapi kematiannya, dia telah berhasil membunuh Tartar yang memimpin pasukannya, hingga dia membuatnya tentara Mongolia menjadi ketakutan dan kabur, sampai mereka itu tak berani mengejar terlebih jauh! Manusia siapakah yang tidak mati? Orang yang mati seperti dia, matinya berharga! Muridmu juga tidak dapat dicela, dia pun berhasil membinasakan beberapa musuh, dengan paman gurunya dia mati bersama!... Orang usia pertengahan itu membelalakan matanya, dengan mata bersorot kegusaran, ia dongak memandang udara, habis itu mendadak ia berseru panjang. "Kota Ganboenkwan telah berada di depan mata, kita achir-achirnya tidak mensia-siakan pesan Soetee In Teng!" katanya. "Kita telah antar ayahnya pulang, didunia baka, In soetee bolehlah meramkan mata. Cuma In Thaydjin pasti sangat berduka, hal ini untuk sementara harus disembunyikan baginya" Lantas ia larikan kembali kudanya, ke arah kereta keledai. Si orang tua telah duduk di depan kereta sekarang, tangannya memegang segumpal tanah. Nampaknya ia bersikap luar biasa sekali. Si bocah wanita, yang berdiri diam di tanah, matanya mengawasi engkongnya saja. "In Thaydjin, kita telah kembali," berkata Tiauw Im Hweeshio, yang turut si pengiring usia pertengahan itu. "Mana anakku si Teng?" tanya si orang tua. "Tentara Tartar telah kita pukul mundur," sahut Tiauw Im. "Dia telah mendapat sedikit luka, dia ada di belakang bersama muridnya Soetee Thian Hoa." Hweeshio ini telah kuatkan hatinya, ia mencoba berlaku tenang, tapi tak sanggup ia menahan kedukaannya yang hebat, ini terutama tampak pada wajahnya yang suram dan suaranya yang sedikit gemetar. Wajah si orang tua berubah dengan segera. Tiauw Im dan Tjia Thian Hoa — demikian si hiapsoe, orang gagah bangsa hiapkek — orang-orang kosen, akan tetapi tak sanggup mereka awasi sinar mata tajam dari orang tua itu, tanpa merasa mereka mundur dua tiga tindak. Orang tua itu sudah lantas tertawa bergelak-gelak. "Ayah adalah tiongsin dan anaknya hauwtjoe." mendadak ia berkata dengan nyaring. "Tiongsin dan hauwtjoe hidup berkumpul dalam satu keluarga, maka aku, In Tjeng, apalagi yang aku rasakan kurang? Hahaha!" Itulah tertawa yang mengandung kedukaan hebat sekali. Tjia Thian Hoa dan Tiauw Im Hweeshio berdiam. Keduanya kagum berbareng terharu. Mereka telah saksikan apa yang dinamakan tiongsin — menteri setia, dan hauwtjoe — anak berbakti. Si bocah dongak, mengawasi engkong-nya itu. "Yaya, kau tertawakan apa?" dia tanya. "Aku takut, yaya, jangan kau tertawa seperti itu...Yaya, kenapa ayah masih belum datang?" Orang tua itu berhenti tertawa dengan tiba-tiba, lantas ia berdiam. Tapi ia berdiam sebentar saja. "Apakah besok pagi-pagi kita bisa sampai di kota Ganboenkwan?" dia tanya, suaranya perlahan. "Ya," sahut Thian Hoa. "Malam ini adalah malam-an Capgwee Capgouw, di waktu malam sang rembulan terang sekali cahayanya. Besok pagi pastilah kita akan tiba di sana." Orang tua itu masih menggenggam tanah, agaknya ia pandang tanah itu bagaikan mestika, ia bawa itu kehidungnya, untuk disedot beberapa kali. Tanah itu berbau daun-daun busuk. Akan tetapi si orang tua merasakannya itu harum sekali. "Dua puluh tahun sudah!" katanya pula, tetap perlahan, tetapi suaranya itu tetap. "Baharu sekarang aku dapat mencium lagi baunya tanah tumpah darahku..." "Loopeh telah tinggal di negara asing, ke-hormatanmu dan kesetiaanmu telah dapat dilindungi," berkata Tjia Thian Hoa, malah dibanding dengan Souw Boe, loopeh tinggal di sana satu tahun lebih lama. Maka itu, orang sebagai loopeh, siapa pun pasti menjunjungnya!" Tetapi orang tua itu sendiri mengkerutkan alisnya. Ia ulurkan kedua tangannya, untuk membantu menarik si bocah naik ke kereta. "A Loei, tahun ini kau telah berumur tujuh tahun," katanya dengan perlahan, "maka itu sudah seharusnya kau mulai mengerti urusan. Malam ini yaya-mu akan ceritakan kau sebuah dongeng, kau mesti ingat itu baik-baik dalam kalbumu." "Apa? Mesti diingat dalam kalbuku?" si bocah membaliki. "Aku tahu sudah, yaya hendak menutur tentang cerita yang mengenai diri yaya sendiri!" Orang tua itu heran ia awasi cucunya itu. "Kau sungguh cerdik!" kata dia. "Dibanding dengan masa kecilku, kau jauh terlebih cerdik!" Tak ingat engkong ini bahwa bocah itu, sejak dilahirkannya, baharu satu bulan berselang bertemu dengannya. Waktu baru bertemu sama sang engkong, bocah ini telah menanya pada ayahnya kenapa bolehnya mendadak muncul satu engkong untuknya, atas mana, sang ayah menjawab: "Bukankah telah sering aku ceritakan kepadamu tentang hal ichwalnya Souw Boe? Ceritera tentang yaya-mu ini ada jauh lebih menarik daripada lelakonnya Souw Boe itu. Tunggu saja nanti, biar yaya-mu sendiri yang menuturkannya, tapi kau harus ingat itu baik-baik dalam kalbumu." Karena kata-katanya ayah ini, maka bocah itu dapat menduga dongengnya si engkong. Tjia Thian Hoa dan Tiauw Im Hweeshio seperti kitarkan kereta keledai itu, mereka berdiam, tetapi dengan penuh perhatian, seperti si bocah perempuan sendiri. Orang tua itu jumput sebatang tongkat bambu, di kepala itu ada beberapa lembar bulunya yang jarang. "Bulu dari tongkat ini, yang menjadi barang perhiasan, telah rusak karena salju yang beku bagaikan es dari tanah Utara," katanya. "Inilah tongkat yang dinamakan soetjiat. A Loei, tahukah kau artinya soetjiat? Nanti aku jelaskan." "Soetjiat" adalah tongkat kehormatan, tongkat kepercayaan. Bocah itu awasi engkong-nya. "Pada dua puluh tahun yang lampau, engkong-mu ini adalah satu utusan dari Kerajaan Beng yang besar," yaya itu mulai dengan ceriteranya. "Engkongmu telah diutus ke Mongolia, yaitu negara dari suku bangsa Watzu, untuk mengikat persahabatan. Tongkat ini adalah pemberian dari Sri Baginda kepadaku, namanya ialah soetjiat. Dan soetjiat ini mewakilkan Raja, maka itu, jiwa boleh terhilang, tongkat ini tak dapat termusnah. Ketika itu Mongolia terbagi dalam dua rombongan suku bangsa, ialah Watzu dan Tartar. Bangsa itu masih lemah. Menurut aturan, utusan Kerajaan Beng mesti disambut secara hormat, akan tetapi di luar dugaan, di saat penyerahan surat-surat kepercayaan negara, telah terjadi satu perubahan. Mulanya, raja Watzu tetap berlaku hormat seperti biasa, sampai tiba-tiba muncul seorang Han dalam pakaian bangsa Tartar. Dia datang ke istana dengan membawa pedang dipinggangnya, dia lantas tarik raja Watzu ke samping, untuk diajak berbisik, sambil bicara matanya melirik padaku. Orang Han itu berumur kurang lebih dua puluh tahun akan tetapi matanya memperlihatkan sinar kebencian hebat, dia seperti bermusuh denganku." "Apakah orang itu kenal loopeh?" Tjia Thian Hoa tanya. "Tidak," sahut In Tjeng. "Aku pun tidak kenal dia. Aku percaya, aku sebagai satu pembesar yang bersih, seumurku, aku tidak punya musuh, lebihlebih tak mungkin terjadi ada musuh di antara bangsa Tartar. Tak tahu aku, mengapa dia agaknya sangat membenci aku. Ketika itu, melihat dia dandan sebagai orang Tartar, tak ingin aku bicara dengannya. Setelah bicara sekian lama dengan raja Watzu itu, mendadak dia keluarkan perintah untuk menahan aku, malah dia hendak rampas juga soetjiatku. Aku menjadi gusar, aku membuat perlawanan. Aku sudah pikir, jiwaku boleh hilang tetapi tongkat kepercayaan dari Sri Baginda ini tidak. Aku benci dia bila aku ingat dia adalah orang Han." Keras suaranya orang tua ini sewaktu dia mengatakan demikian. "Ketika dia dengar aku menyebut-nyebut Sri Baginda, dia tertawa besar," dia melanjutkan. Kaisar Beng, Kaisar Beng!" katanya mengejek. "Haha! Apakah kau telah siap sedia untuk menjadi menteri setia dari Kaisar Beng? Baik! Akan aku bikin kau puas! Kau bakal jadi Souw Boe kedua! Souw Boe menggembala kambing, kau sendiri boleh mengangon kuda!" Dan sejak itu, aku hidup di tanah Utara yang hawanya sangat dingin, aku tungkuli kuda sampai lamanya dua puluh tahun... Mulanya aku masih mengharap pemerintah nanti mengirim angkatan perang guna menolong aku, akan tetapi bertahun-tahun telah lalu, tetap tidak ada kabar beritanya. Adalah kemudian aku dengar cerita bahwa Kaisar Tay Heng, yaitu Baginda Seng Touw, telah mangkat, ia digantikan Baginda Djin Tjong. Habis itu, belum satu tahun, Kaisar Djin Tjong juga wafat, ia lantas digantikan oleh satu Kaisar muda, hingga negara seperti tidak ada rajanya. Sampai di situ, habislah keangkaraan dari Thay Tjouw dan Seng Tjouw. Karena itu, habis juga pengharapanku untuk dapat pulang kembali, dan aku percaya, pasti aku akan mati di negara asing. Putus harapanku akan dapat kembali ke tanah daerah Han! Siapa sangka, telah dating hari seperti ini!" Thian Hoa dan Tiauw Im saling memandang, mereka bungkam, akan tetapi wajah mereka menunjukkan bahwa mereka kagum sekali. In Tjeng lihat sikapnya dua orang itu, ia tidak ambil tahu, cuma sikapnya sendiri yang nampak makin pendiam. Ia tekuk-tekuk sepuluh jari tangannya, hingga berbunyi. "Selama dua puluh tahun itu, bukan main kesengsaraan yang kuderita," ia menyambungi ceritanya. "Di laut pasir tidak ada air minum, sukar untuk mendapatnya, maka juga, ada kalanya aku menghilangkan dahaga dengan minum air kencing kuda, sedang di musim rontok dan dingin, aku minum air salju. Itulah hal biasa, itulah masih tidak berarti. Yang paling menjemukan adalah itu jahanam, dia sering kirim utusan menemui aku dan di depanku dia caci maki kaisar Beng. Selama dua puluh tahun itu, tidak ada saat yang aku tidak bersedia untuk mati, tetapi menjemukan, dia justeru tidak hendak membunuh aku, dia cuma menyiksa bathinku!" In Loei — ialah si A Loei, sebagaimana ia dipanggil engkong-nya — jadi sangat gusar. "Siapa namanya manusia busuk itu?" dia tanya. "Katakan padaku, yaya. Nanti, setelah Loei dewasa, Loei gantikan yaya menuntut balas!" "Lama kelamaan, tahulah aku siapa dia," In Tjeng meneruskan lagi. Dengan begitu ia pun jawab cucunya itu. "Dia she Thio, namanya Tjong Tjioe. Tentu saja, tak pantas dia menjadi manusia Han. Kenapa dia mencaci raja kita? Djiewie Hiapsoe, coba katakan pantas atau tidak kalau jahanam itu dibinasakan?" "Memang dia harus dibinasakan!" sahut Tiauw Im dan Thian Hoa berdua, malah si hweeshio sambil gedruk tanah dengan tongkatnya yang panjang seperti toya. Baharu sekarang In Tjeng tersenyum. Ia mengusap-usap kepala, cucunya. "Kemudian ternyata, Thio Tjong Tjioe itu adalah dari keluarga dorna, " ia melanjutkan "Ayahnya sejak lama telah memangku pangkat di Mongolia, sampai kepadanya, dia semakin terpakai. Dia baharu berumur dua puluh lebih, dia sudah menjadi yoe sinsiang, menteri muda. Bersama-sama Tjio sinsiang Toat Hoan dia menjadi orang kepercayaan dari raja Watzu, Toto Puhwa Khan. Dia bertubuh sehat, mungkin dia masih dapat hidup lagi dua atau tiga puluh tahun. Siang dan malam selama aku mengembala kuda di tanah yang berlangit es dan berbumi salju itu, selalu aku mengharap-harapkan dia tidak mati siang-siang!" "Kenapa begitu, thaydjin?" tanya Tiauw Im. In Tjeng tertawa dingin. Sudah lama sekali ia berdendam, sekarang ingin ia melampiaskannya. In Loei bergidik mendengar tertawa yang menyeramkan itu. Engkong itu merogo sakunya dari mana ia keluarkan sepotong kulit kambing, di atas itu ada tertulis beberapa huruf warna coklat. Dengan samar sekali, kulit itu menyiarkan bau bacin. Tjia Thian Hoa terperanjat melihat surat kulit kambing itu. "In Loopeh, adakah ini surat darahmu?" dia tanya. "Inilah yang kedua," sahut In Tjeng. "Seperti aku katakan tadi, mulanya aku mengharap Pemerintah Agung mengerahkan angkatan perang untuk menegur dan menghukum raja Watzu, supaya jahanam itu dibekuk dan dihukum menurut undang-undang negara, kemudian aku dapat kenyataan, aku tidak mempunyai harapan lagi. Aku lalu memikir untuk membunuh jahanam itu dengan tanganku sendiri, hanya sayang bagiku, aku hanya satu sasterawan yang tidak punya tenaga sekalipun untuk menyembelih ayam. Setelah berpikir pulang pergi, aku jadi mengharap biarlah anak cucuku semua meninggalkan pelajaran surat, buat pelajari ilmu silat, guna mereka membalas sakit hatiku. Kemudian ternyata pengharapanku itu telah terkabul. Selang sepuluh tahun sejak aku menggembala kuda, anakku si Teng telah datang ke perbatasan, masuk ke dalam negeri Watzu itu. Tentu saja dia telah sembunyikan she dan namanya. Dengan susah payah dia cari aku. Ketika aku diutus ke Mongolia, si Teng baharu saja lulus sebagai sioetjay. Dia adalah satu mahasiswa yang lemah tubuhnya, akan tetapi di tanah asing ini, aku dapatkan ia sebagai satu orang yang gagah. Nyatalah dia, oleh karena pemerintah agung tidak berminat menegur raja Watzu, sudah lantas meninggalkan ilmu suratnya, dia sengaja belajar silat, setelah mana dia nyelundup masuk ke Mongolia. Dia datang seorang diri. Katanya dia belajar silat pada Hian Kie Itsoe, ahli pedang nomor satu. Dia baharu belajar tujuh tahun, dia belum lulus, akan tetapi kendati begitu, tiga sampai lima puluh orang biasa saja tidak nanti mampu dekati padanya. Demikian keras niatnya menolongi ayahnya, hingga tanpa menunggu sampai lulus dari perguruan, dia sudah mencari aku." In Loei mendengarkan dengan kedua matanya memain, tak hentinya. Ia sangat tertarik tetapi ada sesuatu yang membuatnya ia tidak mengerti. "Yaya," tanyanya, "ayah mempunyai kepandaian silat itu, kenapa aku sedikit juga tidak tahu? Aku lihat setiap hari ayah dan mama pergi bersamasama untuk menggembala kambing, mereka tidak mempunyai pekerjaan lain. Satu hari ada seorang Tartar yang hinakan ayah, yang hendak merampas kambingnya, meskipun ia dipukul, sama sekali ia tidak membalas menyerang..." Engkong itu menghela napas. "A Loei kau masih kecil," katanya. "Ada banyak hal, kalau itu diberitahukan kepadamu, kau tidak akan mengerti. Dikemudian hari, umpama kata aku menutup mata, hingga tidak dapat aku menanti sampai kau dewasa, itu waktu kedua mamakmu yang akan memberikan keterangannya." Thian Hoa tahu bahwa ceritanya In Tjeng ini, meski dikatakan kepada cucunya, sebenarnya ditujukan terhadap ia dan Tiauw Im Hweeshio. Cerita orang tua ini mengandung arti dalam. Ia dapat lihat pada tubuhnya yang bergetar dan napasnya memburu, maka itu ia lekas menghampiri, untuk memegang padanya. "Mengasolah, loopeh," katanya. "Masih banyak waktu untuk kau bercerita, maka tunggulah sampai kita tiba di Ganboenkwan, baharu kau lanjutkan pula. Loopeh, andaikata di kemudian hari kau hendak menitahkan sesuatu padaku, pasti aku akan melakukannya." Orang tua itu batuk-batuk, ia menghela napas. "Tidak, aku hendak melanjutkan," katanya, suaranya tetap. "Sudah terlalu lama, urusan ini tersimpan dalam hatiku, jikalau tidak sekarang aku keluarkan, hatiku belum merasa lega..." Ia berhenti sebentar, kemudian ia lanjutkan: "Anakku Teng telah memandang urusan ini terlalu gampang. Dia percaya, dengan mengandalkan kegagahannya, dia sanggup menolongi aku menyingkir dari Mongolia. Dia tidak tahu, di luar langit ada langit lainnya, di atas manusia, ada manusia lainnya lagi. Artinya, orang gagah ada lagi yang terlebih gagah pula. Demikian di Mongolia, ada banyak orang kosen. Di bawahannya Thio Tjong Tjioe tak sedikit orang yang pandai silat. Selama aku menggembala, diam-diam telah ada orang yang mengintai aku. Dengan susah payah si Teng telah dapat cari aku, akan tetapi belum sempat dia mendamaikan daya untuk ajak aku menyingkirkan diri, dia sudah dipergoki musuh. Coba aku tidak suruh dia segera angkat kaki, mungkin dia sudah kena terbekuk lebih dulu. Habis itu secara diam-diam pernah dia tempur orang-orang sebawahannya Thio Tjong Tjioe itu, sekian lama tidak pernah dia peroleh hasil. Sejak itu baharulah dia lepaskan rencananya akan seorang diri saja menolongi aku. Selanjutnya dia bekerja menurut nasihatku. Dia lantas berdiam di Mongolia dengan bawa diri seperti orang yang tidak mengerti ilmu silat, dia lewatkan waktunya sambil memikirkan daya yang sempurna. Dengan aku ia selalu mengadakan hubungan secara rahasia." Ia berhenti sejenak sebelum ia melanjutkan lagi. "Telah aku nasihatkan supaya dia tinggal menetap di Barat utara, berbareng dengan itu, aku pun anjurkan dia menikah dengan satu nona Mongolia," orang tua ini bercerita terlebih jauh. "Tindakanku ini maksudnya agar ia tidak sampai putus turunannya, supaya dia toh dapat menuntut balas. Aku teringat kepada dongeng dari Gie Kong yang mencoba memindahkan gunung. Andaikata anakku tidak dapat membalas sakit hati, nanti masih ada cucuku, nanti masih ada buyutku, demikian seterusnya, asal keluargaku masih punya turunan. Aku percaya, satu kali, sakit hatiku mesti terbalas juga! Mengenai keluarga Thio itu, umpamanya Thio Tjong Tjioe sendiri mati, dia juga ada turunannya, dan turunan itu mesti menggantikan dia menerima pembalasan. Pada tujuh tahun yang lalu, aku dengar dia telah mendapatkan satu anak lelaki, waktu itu aku sudah lantas menulis surat darahku yang pertama, sebagai pesan untuk cucuku, supaya kalau nanti cucuku sudah dewasa, dia mesti membinasakan anak lelaki itu atau turunannya, tidak peduli lelaki atau perempuan, semua mesti dihabiskan!" Orang tua ini menjadi sengit, sampai Thian Hoa yang kosen merasa bergidik. Hebat pesan itu. Hendak ia bicara, atau ia membatalkannya. Cuma di dalam hatinya, ia berpikir: "Beginilah dendam yang hebat! Tidakkah pembalasan ini ada lebih hebat daripada pembalasan dalam kalangan kaum kangouw? Rupanya setelah terbenam dalam pengembalaan kuda dua puluh tahun di antara es dan salju, saking sengsaranya, orang tua ini telah berputus asa, sampai dia kehilangan sifatnya yang umum. Biarlah, setelah nanti dia tiba di tanah daerah Tionggoan, sesudah kesehatannya pulih kembali, dia diberi hiburan dan nasihat secara perlahan-lahan." In Tjeng tunjuk surat darah itu, napasnya sedikit memburu. "Si Teng dengar nasihatku itu, dia simpan surat darah itu dengan dijahit dibaju anaknya, lalu anak itu di kirim pada satu soeheng-nya untuk diambil sebagai murid," kembali ia melanjutkan. "Setelah itu, aku berpindah tempat menggembala, hingga putuslah perhubunganku dengan anakku itu. Baharu pada tiga bulan yang lalu, berhasillah dia mencari aku, hingga kita dapat bertemu pula. Dia menemui aku secara rahasia. Dia beritahukan aku bahwa dia sudah bermupakat dengan saudara seperguruannya untuk datang menolongi aku. Itu waktu, mengingat aku telah berusia lanjut, aku sudah tidak memikir lagi untuk menyingkirkan diri, maka apa yang dia katakan itu, tidak begitu kuperhatikan. Aku cuma tanya dia, selama berpisah tujuh tahun dariku, apakah dia telah mendapat lagi anak atau belum. Dia jawab bahwa dia telah memperoleh satu anak perempuan, ialah kau, A Loei. Aku lantas tulis pula surat darahku yang kedua, untuk cucu perempuanku menuntut balas. Maka itu, Loei, kau mesti ingat, jikalau kau bertemu dengan turunannya Thio Tjong Tjioe nanti, kau mesti wakilkan aku membunuh mereka dan bakar mereka hingga tulangtulangnya menjadi abu!". In Loei mendengarkan dengan penuh perhatian, mendengar pesan yang terachir ini pada wajahnya yang merah bagaikan apel terlihat roman ketakutan, dengan tiba-tiba ia menjerit, menangis. "Yaya, apa begitu banyak orang mesti dibunuh?" katanya. "Oh, Loei Loei takut. Mama pun pesan supaya aku jangan sembarang membunuh orang, malah kambing yang baharu diberanakkan juga mesti disayangi, dilindungi. Oh, mama! Kata ayah, mama hendak datang, kenapa sekarang mama masih belum kelihatan juga? Ya, kenapa ayah pun tidak kelihatan?" Nona cilik ini tidak ketahui, sekalipun mamanya tidak tahu siapa sebenarnya ayahnya, yang tinggal sembunyikan she dan namanya. Dan pada satu bulan yang lalu, di luar tahu isterinya, ayah itu sudah tinggalkan rumahnya dengan bawa anaknya minggat... In Tjeng singkap kumisnya yang putih, dengan mendadak nampaknya ia gusar. "Loei Loei, apakah kau tidak dengar perkataanku?" dia tanya, suaranya bengis. "Aku beritahu padamu, ayahmu, ayahmu itu, sudah..." Bocah itu kaget, ia berhenti menangis. Engkong itu awasi cucunya, ia menghela napas. Tidak ia lanjutkan perkataannya. Tidak tega ia memberitahukan sang cucu bahwa ayahnya sudah tidak ada lagi didunia... Tjia Thian Hoa menggeleng-gelengkan kepalanya, diam-diam ia menghela napas. In Loei tunduk. "Akan aku dengar perkataan yaya," katanya perlahan. In Tjeng masukkan surat darahnya itu, yang ia baharu tulis tiga bulan yang lalu, ke dalam sakunya si bocah, terus ia dongak dan tertawa. Tidak kusangka bahwa aku, In Tjeng, masih dapat menyingkir dari Negara asing dan dapat kembali ke negara sendiri," katanya. "Aku harap semoga Thio Tjong Tjioe si jahanam tidak mati siang-siang, supaya dia sendirilah terima pembalasan sakit hati dari cucuku! Tjia Hiapsoe, aku minta sukalah kau memandang mukanya anakku si Teng dengan terima bocah ini sebagai muridmu." Thian Hoa ragu-ragu, maka itu, ketika ia menjawab, ia menjawab dengan perlahan. "Hal ini baik nanti saja dibicarakan lagi," demikian jawabnya. "Oh, loopeh, aku minta jangan kau salah mengerti! Sama sekali bukannya aku menampik tetapi aku sedang berpikir untuk carikan dia guru yang cakap." Thian Hoa dan Tiauw Im, bersama-sama In Teng, ada saudara seperguruan, guru mereka adalah Hian Kie Itsoe yang bergelar Thianhee Teeit Kiamkek, "ahli pedang nomor satu di kolong langit". Guru itu bukan melainkan pandai ilmu pedang, dia mahir juga lain-lain kepandaian, yang semua bercampur menjadi satu. Dan dia pun mempunyai tabeat yang aneh. Ialah: Dia mempunyai lima murid, setiap murid diwariskan semacam ilmu kepandaian. Umpama Tjia Thian Hoa, ia utamakan ilmu pedang, tetapi ilmu pedang itu diturunkan hanya separuh! Kenapa separuh-separuh. Dia sebenarnya punya dua rupa ilmu pedang, yang dua ini bertentangan satu sama lain. Perbedaan juga terdapat pada pedangnya. Dia telah bikin sepasang pedang terpisah antara pedang lelaki dan pedang perempuan, hiongkiam dan tjikiam. Pedang yang perempuan, tjiekiam, diberi nama "Tjengbeng" (Awan Hijau), dan yang lelaki, hiongkiam, diberi nama "Pekin" (Awan Putih). Pekin Kiam diserahkan pada Thian Hoa, dan Tjengbeng Kiam kepada satu muridnya yang lain, murid wanita. Ilmu silat pedang itu diciptakan Hian Kie Itsoe sesudah ia memikirkannya dalam-dalam dan lama. Jikalau ilmu itu dipakai bertempur berendeng, dapat dibilang "tidak ada tandingannya di kolong langit ini". Maka itu, di antara murid-muridnya, adalah Thian Hoa dan si murid wanita itu yang paling liehay, dan di antara mereka berdua, sukar dibedakan, yang mana yang terlebih mahir. In Teng adalah murid yang belum lulus, maka ia dapat dibilang masih lemah. Tiauw Im Hweesnio ada murid yang kedua, dia diwariskan ilmu tongkat panjang Hokmo thung, "Tongkat Menakluki Iblis". Kepandaian ini termasuk gwakee, pihak "luar". Thian Hoa dan Tiauw Im telah memenuhi permintaan In Teng datang ke Mongolia dengan mengajak masing-masing muridnya, maksudnya untuk menolong In Tjeng, ayahnya itu, yang hendak dibawa buron kembali ke Tionggoan. Hari yang dipilih kebetulan ada harian raja Watzu mendapat satu putera, diseluruh negeri diadakan pesta besar, maka itu, penjagaan atas diri In Tjeng menjadi longgar sendirinya. Tiga saudara itu sergap penjaga-penjaga, beberapa di antaranya dapat dibunuh. In Tjeng dibawa minggat. Hanya di luar dugaan, sesudah lari begitu jauh, selagi mendekati kota Ganboenkwan, mereka kena disusul tentara pengejar, hingga terjadilah satu pertempuran mati-matian dengan kesudahannya In Tjeng menemui ajalnya dan murid satu-satunya dari Thian Hoa turut terbinasa juga. Masih syukur In Tjeng telah kabur terus, hingga ia dapat lolos. Habis bercerita, orang tua itu menjadi letih sekali, maka begitu ia rebahkan dirinya, ia lantas tidur pulas. In Loei dengan menjublak mengawasi engkong-nya. Menampak demikian, Tjia Thian Hoa ulapkan tangannya, atas mana kereta lantas di jalankan, guna melalui perjalanan sulit dilembah itu. Sekarang bulan yang terang sudah muncul, suasana tenang. Thian Hoa berikan dengdeng pada In Loei, dia dahar itu dan lalu minum, habis itu, setelah ditepuk-tepuk, dia tidur pulas... Kereta lari terus, rodanya tak rata jalannya. Berselang sekian lama, mendadak terdengar In Tjeng mengigo: "Dingin! Dingin!... Ada srigala!" Tiauw Im Hweeshio tertawa. "Orang tua ini menyangka ia masih ada di tempat pengembalaannya di Mongolia..." katanya perlahan. In Loei pun ngigo seperti engkong-nya itu: "Mama, Loei Loei tidak bunuh orang, Loei Loei takut..." Mendengar itu, Thian Hoa melengak, lalu ia goyangkan kepalanya. Hampir berbareng dengan itu, sekonyong-konyong terdengar suara anak panah mengaung, melintasi selat itu. Justeru itu, dalam mimpinya, In Tjeng lompat bangun. "Ada srigala!" dia berseru dalam ngigonya. Tapi, ketika, dia membuka matanya, dia lihat segumpal api biru melayang turun. Menyusul itu, Tiauw Im Hweeshio lompat maju, untuk menyambut musuh. "Jangan kuatir, loopeh, cuma beberapa orang!" Thian Hoa hiburkan si orang tua. In Tjeng telah sadar betul-betul dari tidurnya. "Celaka, inilah berbahaya!" kata dia. "Yang datang itu adalah pahlawan nomor satu dari Thio Tjong Tjioe, shenya Tantai, namanya Mie Ming. Nama itu adalah nama Mongolia, tetapi sebenarnya dia orang Han asli. Pernah si Teng tempur pahlawan itu, ia kena dikalahkan. Dia memang sangat lihay." Orang tua itu kenali panah api musuh. Tjia Thian Hoa tertawa. "Sepasang kepalan dan tongkatnya soeheng-ku itu telah menggetarkan Tionggoan," dia berkata, "maka itu belum ada artinya bagi orang kosen nomor satu dari Mongolia. Asal mereka itu tidak berjumlah banyak, aku tanggung dia bisa datang tetapi tidak bisa pulang. Biarlah kita tangkap padanya, untuk dibawa pulang oleh loopeh ke kota raja dan dipersembahkan sebagai jasa! Ingin aku melihat, musuh itu masih berani memusnahkan Kerajaan Beng atau tidak..." Nama "Mie Ming" dari pahlawan Mongolia itu bisa berarti "memusnahkan kerajaan Beng." Inilah kata-kata yang dibenci Thian Hoa, yang paling dibenci ialah pengchianat penjual negara. Maka itu, habis berkata, dia hunus pedangnya, dia pun lari ke mulut lembah untuk membantu Tiauw Im menghajar musuh. Segera terlihat satu punggawa bangsa Mongolia dengan seragam perangnya yang bersalutkan emas, senjatanya ialah sepasang gaetan Hoktjioe kauw, dan punggawa itu tengah bertempur dengan seru dengan Tiauw Im Hweeshio. Pendeta itu memainkan tongkatnya hingga mengeluarkan angin menderuderu, tanda hebatnya serangan, meskipun demikian, Tantai Mie Ming, punggawa Mongolia yang kosen itu, tidak sudi mundur, dia melawannya dengan gaetannya yang sama dahsyatnya. Hingga beberapa kali tongkat panjang kena disampok terpental. Menampak demikian, baharulah Thian Hoa terperanjat. Inilah tidak disangka olehnya. "Benar binatang itu liehay," pikirnya. "Pantas In Teng tidak nempil terhadapnya. Mungkin sekali, soeheng juga bukan tandingannya." Karena ini, dengan lantas ia maju, untuk bantui saudara seperguruannya itu. Ia menyerang dengan jurus "Hoetlioe tjoanhoa," atau "Mengebut cabang yanglioe, mencari bunga," ujung pedangnya mencari sasaran uluhati. Pedang pun merupakan senjata yang diperantikan melawan gaetan dan sebangsanya. Biasanya sulit untuk satu lawan lolos dari serangan semacam serangan Thian Hoa ini, akan tetapi kesudahannya, Thian Hoa adalah yang terkejut sendirinya. Waktu pedangnya tiba, sekalipun dia lagi desak Tiauw Im, Mie Ming dapat menangkis dengan tepat, lalu berbalik menggaet pedangnya sendiri. Hampir terlepas pedang orang she Tjia itu, karena ia terkejut, ia segera berbalik kena diserang. Sebab Mie Ming segera melakukan serangan pembalasan. Dengan terpaksa Thian Hoa mesti empos semangatnya, untuk melayani musuhnya dengan sungguh-sungguh. Ia menyerang dengan tidak kurang hebatnya, akan tetapi di samping itu, sekarang ia mesti waspada, agar pedangnya tak lagi tergaet seperti tadi. Celaka umpama kata pedangnya kena dibikin terlepas dari cekalannya. Maka ia mesti keluarkan seluruh kepandaiannya. Dalam sekejap saja dapatlah Thian Hoa mendesak lawannya itu. "Ilmu pedang yang bagus!" memuji Tantai Mie Ming walaupun ia terancam bahaya desakan. Kemudian, setelah tiga serangan yang berbahaya dapat dielakkan, ia berteriak pula. Kali ini: "Tahan!" Thian Hoa tidak mau mengerti, ia lanjutkan serangannya. Orang Mongolia itu menjadi gusar, romannya berubah. "Apakah kau sangka aku jerih terhadapmu?" dia berseru. Dan dia menyerang hebat, hingga pembalasan ini membuat Thian Hoa jadi seperti kecandak. Tiauw Im Hweeshio berseru keras, kalau tadi ia berhenti, akan tonton saudaranya, sekarang ia maju, guna membantui. Punggawa Mongolia itu tertawa. Melihat ilmu silatmu, mestinya kamu ada ahli-ahli silat kenamaan," berkata dia. "Menurut apa yang aku dengar, orang-orang kenamaan dari Rimba Persilatan dari Tionggoan sangat menghormati aturan bertarung satu lawan satu, maka itu heran aku! Apakah kamu memikir untuk rebut kemenangan dengan andalkan jumlah yang banyak?" "Hai, binatang, apakah kau bukannya Tantai Mie Ming?" Tiauw Im balik menegur. Orang Mongolia itu menangkis pedangnya Thian Hoa, lalu ia mendesak, setelah mana, ia pandang si pendeta. Ia tertawa. "Eh, hweeshio, kau juga tahu namaku?" tanya dia. "Kau ada orang Han, tapi kau menjadi panglima Mongolia! Apakah kau tidak malu?" Tiauw Im menegur. "Terhadap kau, bangsat pengchianat bangsa, siapa kesudian bicara tentang aturan kaum Boeiim dari Tionggoan? Lebih baik kau makan tongkatku ini!" Benar-benar pendeta ini menyerang pula. Mie Ming menangkis, wajahnya padam. Tapi sebentar saja, atau ia tertawa terbahak-bahak. Panjang tertawanya itu. "Telah aku kaburkan kudaku malang melintang di laut pasir Utara, hatiku ini dapat dihadapkan kepada Thian! Maka itu, siapakah si pengchianat?" dia, berseru-seru. "Terhadap negara siapa aku berchianat? Tjoe Goan Tjiang telah merampas Negara dengan gunakan kelicikannya, tetapi cuma kamu saja, orangorang yang tidak bersemangat, yang kesudian manggut-manggut menjadi hamba-hamba dari anak cucunya!" Sambil mengucap demikian, ia berkelit dari serangan tongkatnya si hweeshio, setelah itu, ia tutup dirinya dengan putar sepasang gaetannya. Ketika ini digunakan olehnya untuk berkata-kata pula dengan nyaring: "Hweeshio sembrono, rupa rupanya percuma bicara dengan kau! Baiklah, jikalau benarbenar kau hendak bertempur! Nanti aku titahkan dua orang muda melayani kau!" Di belakang Mie Ming ini memang ada dua punggawa muda. Mereka ini segera maju ketika punggawa itu mendesak lawannya. Benar mereka masih muda tetapi mereka pun bukan orang sembarang, maka itu, dapat mereka kepung Tiauw Im. Pendeta ini tidak usah kalah, akan tetapi, untuk mencari kemenangan, itulah sulit untuknya, dengan begitu, maksudnya membantui Thian Hoa jadi tidak tercapai. Thian Hoa sendiri heran mendengar kata-katanya Tantai Mie Ming itu. Kalau begitu, punggawa ini bukan sembarang orang," pikirnya. "Tapi dia asal orang Han, sekarang dia bantui bangsa asing menindas orang Han, biar bagaimana, itulah perbuatan tidak selayaknya!" Karena ini, ia lantas maju pula, akan serang pahlawan nomor satu dari Mongolia itu. Mie Ming melayani bertempur. "Apakah kau bukan muridnya Hian Kie Itsoe?" tanya dia berselang beberapa jurus. Thian Hoa heran, sampai ia melengak. Mie Ming lihat orang heran, ia tertawa riang. "Dahulu gurumu telah mengeluarkan semua kepandaiannya untuk mengalahkan guruku, dia tetap tidak berhasil!" demikian dia kata. "Maka itu sekarang kau hendak menandingi aku, mana bisa? Oleh karena kau tidak kenal aturan, baiklah! Hari ini kita bekerja untuk tuan masing-masing, mari kita bertempur pula sampai tiga atau lima ratus jurus!" Kembali Thian Hoa tercengang. Sekarang ingat ia kepada omongan gurunya dahulu. Guru itu pernah menceritakan bahwa pada dua puluh tahun yang lalu dia pernah bertarung dengan satu "kepala iblis" untuk merebutkan kedudukan Boeiim Bengtjoe, kepala dari kaum Rimba Persilatan, bahwa pertempuran dilakukan di atas gunung Ngo San, selama tiga hari tiga malam, tetapi selama itu, mereka tak ada yang menang atau yang kalah. Menurut gurunya itu, iblis itu ada seorang she Siangkoan bernama Thian Ya, seorang penjahat besar dari kalangan Rimba Hijau. Hanya sejak pertempuran dahsyat itu, Siangkoan Thian Ya lantas sembunyikan diri, entah di mana. Sekarang, mendengar kata-kata Mie Ming ini, terang sudah, iblis itu telah menyingkir ke Mongolia, dan punggawa Mongolia ini mesti ada muridnya. Tadinya Thian Hoa berniat menunda pertempuran itu, guna mendapat penjelasan dahulu, akan tetapi mendengar kata-katanya Tantai Mie Ming bahwa mereka berkelahi "untuk tuan masing-masing", dia menjadi murka, terus saja dia perhebat serangannya. Tantai Mie Ming benar-benar liehay, ia mainkan sepasang gaetannya dengan hebat, yang berkredepan bagaikan dua bianglala emas. Ia menutup diri dari pelbagai serangan dahsyat, dipihak lain, ia pun membalas menyerang, maka di samping membela dirinya, ia membuat lawannya repot juga. Pertempuran berjalan jurus lewat jurus, dari belasan menjadi puluhan, lalu seratus jurus, masih tidak ada yang kalah atau menang. Hal ini membuat Thian Hoa heran bukan main. "Sayang tak ada soemoay di sini," pikir hiapsoe ini, "jikalau tidak, kita berdua bisa mainkan jurus-jurus dari dua pedang digabung menjadi satu, dengan begitu, walaupun ada tiga Mie Ming, dia akan terbinasa ditangan kita..." Dengan "soemoay", Thian Hoa maksudkan adik seperguruannya yang wanita, yang ke empat. Dalam pertarungan selanjutnya, Mie Ming mencoba melakukan penyerangan membalas, beruntun tiga kali ia kirim kedua gaetannya bergantian, tapi kontan ia dibalas hingga empat kali oleh lawannya. Setelah itu dengan sekonyongkonyong ia lompat mundur sambil tertawa berkakakan. "Bagaimana?" tegurnya. "Bukankah kau telah kerahkan seluruh tenagamu? Tapi kau tidak mampu rebut kemenangan! Maka itu baiklah kau hentikan saja pertempuran ini!..." "Jangan banyak omong, pengchianat bangsa!" damprat Thian Hoa. "Tak dapat kita hidup bersama! Hari ini, tak dapat tidak, kau mesti binasa!" Dan ia menusuk dengan pedangnya. Tantai Mie Ming tangkis serangan itu, dia tidak melakukan pembalasan, dia hanya buka mulutnya. "Inilah yang dibilang tak tahu kebaikan hati orang!" demikian katanya. "Kau tahu, aku justeru hendak tolong padamu?!" Thian Hoa tak mau berhenti, ia tarik pedangnya, untuk dipakai menyampok gaetan lawannya itu, hingga kedua gaetan itu terpental. "Jarak ribuan lie telah kami lintasi, setelah sampai di sini, bencana apa lagi mengancam kami?" dia bentak. "Untuk apa kau tolongi aku? Jikalau benar kau insaf akan kesesatanmu dan hendak kembali kejalan yang terang, lekas kau lepaskan sepasang gaetanmu, mari kau turut kami!" Punggawa Mongolia itu tertawa dingin. "Benar-benar kau tidak tahu gelagat!" katanya dengan nyaring. "Kau tahu, aku sedang menjalani titah dari Thio Sinsiang untuk menasehati kamu kembali pulang! Apabila kamu berkeras hendak pulang ke Tionggoan, maka aku kuatir, belum lagi kamu memasuki kota Ganboenkwan, kamu akan mengalami bencana besar yang tak kamu harap-harapkan!" Bukan kepalang murkanya Thian Hoa, ia sangat mendongkol. "Penghianat, kau berani mempermainkan aku?" dia mendamprat sambil terus menikam pula. Sampai di situ, Mie Ming pun menjadi gusar. "Oleh karena kau sendiri mencari mampus, jangan kau sesalkan aku!" katanya dengan sengit. Ia tangkis tikaman itu. Thian Hoa kertak giginya, tanpa membuka mulut lagi, ia ulangi serangannya, kali ini dengan bertubi-tubi. Tidak berani Mie Ming mengalihkan perhatiannya, dengan waspada ia layani pelbagai serangan itu, yang setiap kalinya ia halau atau pecahkan. Ia pun kembali perlihatkan permainan sepasang gaetannya. Maka pertarungan jadi berjalan lebih seru daripada tadi. Jurus-jurus telah berlalu dengan cepat, tetapi masih saja mereka tak menemui keputusan, keduanya tetap sama tanggunya. Pada saat hebatnya pertarungan, dengan mendadak Mie Ming perdengarkan seruan keras, menyusul mana, dia tangkis satu serangan, terus dia berkelit, untuk angkat kaki. Melihat sikapnya pemimpin ini, kedua punggawa muda turut menyingkir juga, mereka kabur bersama-sama. Thian Hoa, dan Tiauw Im Hweeshio, sedang murka, mereka tidak mau memberi hati, maka bersama-sama, mereka lari mengejar. Adalah setelah sampai disatu tikungan bukit, Thian Hoa yang teliti tiba-tiba dapat satu pikiran: "Pengchianat itu belum kalah, kenapa mereka angkat kaki?" demikian pikirnya. "Mungkinkah dia sedang menggunakan tipu daya? Kita tinggalkan In Thaydjin, dia tidak ada yang melindunginya..... Ah, jangan-jangan aku telah terkena akalnya itu!" Tengah Thian Hoa bersangsi secara demikian, ia lihat Tantai Mie Ming berlompat turun ke dalam lembah. Ia jadi kaget dan heran. Itulah lembah yang dalam dan tidak rata. Itu adalah perbuatan mencari kematian sendiri..... Baru Thian Hoa berpikir begitu, atau segera ia tampak tangannya Mie Ming — yang sedang berlompat itu — terayun ke arah seberang, menyusul mana seutas tambang menyambar dan terus berpegang keras pada sebuah pohon cemara. Nyata tambang itu adalah gaetannya, karena mana, tubuhnya punggawa itu — bagaikan ayunan — telah berayun ke lain tepi dari lembah itu di mana dia sampai dengan tidak kurang suatu apa! Thian Hoa melengak. Tidak ia sangka, Mie Ming punyakan semacam daya, pantas dia berani lakukan perbuatan nekat itu. Tapi tak lama, ia menjadi terperanjat sendirinya. Karena tahulah ia, dari lembah di tepi seberang itu, ada satu jalan yang membawa orang tepat ke tempat di mana In Tjeng berada bersama kereta keledainya. Ia jadi kaget dan berkuatir. Ia sendiri tidak bisa lompat ke seberang untuk menyusul Mie Ming. Untuk lari kembali, ia mesti ambil tempo lebih lama. Tapi terpaksa, ia lari kembali juga. Ia terbenam dalam kekuatiran In Tjeng telah jatuh ke dalam tangan lawan yang licin itu..... Akhir-akhirnya, Thian Hoa mengeluarkan keringat dingin. Ketika ia kembali, ke tempatnya In Thaydjin, di sana ia dapatkan Tantai Mie Ming berada di depan kereta keledai, In Thaydjin sendiri duduk di depan kereta, di tempatnya kusir, kedua orang itu tengah berhadapan satu dengan lain. Hanya yang aneh, tangan Mie Ming tidak bersenjata sama sekali, sepasang gaetannya tergantung dipinggangnya, dan dia sedang menghadapi In Tjeng dengan air muka berseri-seri, agaknya dia sedang bicara. Sebaliknya, In Thaydjin tengah memperlihatkan wajah sungguh-sungguh. "Ngaco belo!" demikian suara nyaring yang Thian Hoa dengar tegas setelah ia datang mendekati mereka itu. "Dengan Thio Tjong Tjioe itu permusuhanku ada permusuhan sangat hebat, maka jikalau kau hendak membunuhnya, bunuhlah, tetapi untuk kembali, untuk mengharap perlindungan dia, tidak nanti!" Thian Hoa tidak mengerti ia jadi heran. Mie Ming tidak gusar walaupun dia telah dibentak, malah ketika dia berpaling kepada si orang she Tjia, dia bersenyum. "Kau telah saksikan sekarang," demikian katanya, dengan sabar, "jikalau aku hendak ambil jiwa orang tua she In ini, dapat aku lakukan itu dengan gampang, seperti membalikkan telapakan tangan saja, tak usah aku menanti sampai kau tiba." Ia menoleh pula pada In Thaydjin, untuk menambahkan: "In Loodjie, telah aku berikan nasehat kepada kau, maka sekarang, tentang hidup atau matimu, tentang bencana atau keberuntungan kau, semua itu terserah kepada kau sendiri!" In Thaydjin gusar tak kepalang, hingga alisnya bangkit, kumisnya berdiri, tetapi masih dapat ia kendalikan diri. "Jadi kau inginkan aku kembali menolongi Thio Thaydjin-mu menggembala kuda untuk dua puluh tahun di antara tempat yang ber-es dan bersalju?" demikian dia tegaskan. Sebagai jawaban, Mie Ming tertawa berkakakan, nyaring dan panjang. Tetapi mendadak saja, ia perlihatkan wajah sungguh-sungguh. "Justeru karena kau telah menjalankan tugasmu menggembala kuda dengan baik, hingga Thio Thaydjin menghargai kau dan menghendaki kau kembali!" demikian katanya. "Thio Tjong Tjioe adalah penghianat penjual negara, dia satu manusia sangat rendah martabatnya, tak perlu aku dengan penghargaannya itu !" bentak In Tjeng. "Kau sangka aku orang macam apa?" Tantai Mie Ming tertawa mengejek. "Dengan pengutaraan kau ini, orang tua, nyata tepat apa yang dikatakan Thio Thaydjin1." katanya. "Menurut Thio Thaydjin kau ada satu orang tiong yang tolol, maka kau tidak dapat diajak merundingkan urusan negara yang besar! Kau tahu, Thio Thaydjin telah mengatakan padaku bahwa tidak nanti kau sudi kembali, sekarang kata-katanya itu benar adanya! Walaupun demikian, Thio Thaydjin bilang kau adalah satu laki-laki, karenanya dia tidak tega tidak menolongi melihat kau terancam bahaya kebinasaan, karenanya dia tugaskan aku menyusul kau sampai ribuan lie ini, untuk ajak kau kembali. Sayang kau telah mensia-siakan, maksud hati yang baik dari Thio Thaydjin itu....." Saking murkanya, In Tjeng sampai berpegangan keras ke pada keretanya. "Hm, kau katakan dia niat menolong aku?" dia berteriak. "Sudah dua puluh tahun aku si orang she In menggembala kuda, sekarang aku telah sampai di tempat tumpah darahku sendiri, jikalau di sini aku dapat kubur diriku, aku akan mati dengan mata meram, tetapi kau telah dapat candak aku, jikalau kau hendak membunuhnya, bunuhlah! Ini adalah tanah Tionggoan, dengan darahku aku siram tanah daerahku, tidak nanti aku menyesal!" Akhir-akhirnya, Tantai Mie Ming menjadi gusar. "Siapa hendak membunuh kau?" dia berseru. "Bukannya kami yang hendak membunuh padamu!" In Tjeng juga kertak gigi. "Kau telah bunuh anakku, si Teng!" dia menjerit. "Kau hendak sangkal? Kau masih hendak permainkan aku?" gemetar tubuhnya orang tua ini, hamper dia rubuh dari atas kereta, baiknya Mie Ming keburu pegangi tubuhnya. "Bukan kami yang membunuh anakmu itu," kata Mie Ming. "Kau tentu tidak mengerti apabila aku menjelaskannya. Marilah kita kembali, untuk menghadap Thio Thaydjin, di sana nanti kau ketahui jelas." In Tjeng meludah dengan reaknya, atas mana, punggawa bangsa Mongolia itu berkelit. "Bukankah kamu yang membunuh anakku itu?" dia berteriak pula. "Apakah tentera itu ada tentera Beng?" Tantai Mie Ming menyeringai. "Mereka itu adalah tenteranya Tjo sinsiang kami," ia beritahu. "Tjo sinsiang" ialah "perdana menteri." "Apakah bedanya Tjo sinsiang dan Yoe sinsiang." masih In Tjeng berteriak. "Mereka semua adalah Tartar rase! Sekarang aku telah berada dalam tanganmu, lekas kau bunuh, jangan kau banyak omong pula!" Tjia Thian Hoa juga anggap Tantai Mie Ming omong dengan diputar balik. Dia adalah punggawa dari negeri Watzu, tentera Watzu sudah membinasakan anak orang, sekarang dia masih hendak perhina dan permainkan orang tua ini, malah orang tua yang sudah menderita selama dua puluh tahun, dengan banyak sengsara..... Bukan main tegangnya kedua orang itu. Akhirnya, Tantai Mie Ming rangkapkan kedua tangannya, untuk memberi hormat kepada In Thaydjin. Ia berkata dengan suara keras dan tedas: "In Thaydjin, telah aku bicara, kau sudi dengar atau tidak, sekarang terserah kepada kau!" Dalam murkanya itu, In Tjeng tak dapat bilang suatu apa. Tjia Thian Hoa jadi sangat murka, ia membentak. "Apakah artinya perbuatanmu ini mempermainkan seorang tua yang umpama kata tidak punya tenaga untuk hanya menyembelih ayam? Jika kau berani, mari kita bertempur pula tiga atau lima ratus jurus!" Tantai Mie Ming tidak melayani tantangan itu, ia bicara pula dengan In Thaydjin, suaranya sangat perlahan. "Jikalau begini sikapmu, apa boleh buat, hendak aku pergi," demikian katanya. "Thio Sinsiang bilang, ia telah membuat kau bercape lelah menggembala kuda selama dua puluh tahun, ia merasa tak enak hati, ia menyesal. Memang telah ia menduganya, kau tidak bakal kembali, maka itu ia telah bekalkan aku tiga buah kimlong. Sinsiang bilang, dengan turuti bunyinya kimlong itu jiwamu masih dapat ditolong, Thio Sinsiang juga mengatakan, tiga kimlong itu anggap saja sebagai pembalasan budi yang kau telah gembalai kudanya selama dua puluh tahun." Lantas punggawa ini mengibaskan tangannya, setelah mana terus ia putar tubuhnya untuk berjalan pergi. Thian Hoa heran, hingga ia tercengang, di saat mana, Mie Ming lewat di sampingnya. Berbareng dengan itu, terdengar suara tubuh terbanting keras, terlihat In Thaydjin rubuh di atas keretanya, rupanya disebabkan karena meluap hawa amarahnya dan lelah. Dalam murkanya, Thian Hoa melakukan gerakan menimpuk ke arah Tantai Mie Ming, atas mana lima batang Tjoengo Toathoen teng — "paku merampas roh" — menyambar ke arah punggawa Mongolia itu. Tanpa berpaling pula, Mie Ming menangkis ke belakang dengan dua batang gaetannya, maka beruntun lima kali terdengar suara tang-ting-tong, lantas ke lima batang senjata rahasia itu terlempar jatuh ke tanah. Ia tertawa mengejek, tubuhnya melesat pergi, lalu tubuh itu lenyap di antara pohon-pohon cemara yang lebat yang bercampur batu-batu besar, yang merupakan tikungan bukit. Thian Hoa terkejut. Bukan maksudnya akan membunuh mati Mie Ming dengan timpukannya itu, itulah bukan tujuannya, tetapi yang heran adalah caranya punggawa itu menghalau ke lima paku untuk menyelamatkan dirinya. Itulah suatu kepandaian luar biasa. Ia tidak mengejar, ia hanya lantas lompat ke kereta. In Tjeng tidak kurang suatu apa, ia cuma bernapas tersengal-sengal. Ia lantas diusap-usap dadanya, setelah mana, ia muntahkan reak yang menggumpal, habis itu, ia berseru yang membuat napasnya lega. Ia lantas dapat duduk pula. Hatinya Thian Hoa pun lega. Tadinya ia hendak hiburkan thaydjin ini atau mendadak ia dengar suara berisik dari Tiauw Im Hweeshio, yang muncul sambil berlari-lari keras dan menengteng tongkatnya. Mau atau tidak, ia menjadi heran dan kaget. "Kau kenapa, soeheng ?" ia tanya saudara seperguruan itu. "Djietee aku telah membuat soehoe malu!" sahut pendeta itu. Selama hidupku ini, jikalau aku tak hajar Tantai Mie Ming dengan tiga ratus kali tongkatku, tak bisa aku lampiaskan penasaranku!..... "Mari duduk, soeheng," kata Thian Hoa, yang tahu tabeat dari saudaranya itu, tangan siapa ia tarik dan tubuhnya ia tekan. "Mari minum!" Ia pun lantas menyuguhkan air. "Sabar, soeheng, mari kita omong dengan perlahan-lahan," ia tambahkan kemudian. "Dengan mengandal kepada kita, empat saudara, sekalipun si kepala iblis Siangkoan sendiri yang datang kemari, pasti dapat kita balas sakit hati ini, apa pula baru satu Tantai Mie Ming!" Dengan bergerugukan, Tiauw Im hirup airnya. "Aku duga jahanam itu hendak mencelakai thaydjin, maka keras niatku untuk kembali guna mencegah dia," katanya kemudian, "apa celaka itu dua bangsat cilik libat aku, tak mau mereka melepaskan aku. Coba pada hari-hari biasa, dua bangsat itu tidak aku ambil mumat, sayang sekarang, setelah bertempur dua gebrakan, tenagaku telah berkurang. Terpaksa aku berkelahi sambil mundur, sambil berlari, meski begitu, selang dua ratus jurus, di saat aku mulai menang di atas angin, — sungguh celaka! — Mie Ming telah muncul di antara kita! Aku menyangka dia telah berhasil mencelakai thaydjin, aku lantas caci padanya, aku terus serang dengan hebat, tapi apa lacur, dengan dua gaetannya, ia sampok tongkatku hingga mental, menyusul mana, dengan akalnya, dia membuatnya aku rubuh terpelanting. Tapi itu belum semua! Dia masih rangsak aku, untuk menggampar kupingku seraya mencaci aku sebagai si hweeshio gerubukan. Dia kata aku sudah ngaco belo tidak keruan, bahwa aku telah memutar lidah, karenanya dia gaplok aku, untuk ajar adat padaku! Habis mencaci aku, dia ajak kedua bangsat cilik angkat kaki... Sudah beberapa puluh tahun aku merantau, belum pernah aku dihina sedemikian rupa, coba kau pikir, masa aku tidak jadi mendongkol?" Dia berhenti sebentar, dia memandang ke sekitarnya. "Eh, eh!" katanya kemudian, suaranya berisik, "bagaimana sebenarnya telah terjadi? Dia telah bertempur dengan kau atau tidak? Syukur thaydjin tidak kurang suatu apa! Eh, apa artinya tiga kimlong ini?" Ia lihat tiga buah kimlong — surat yang berisikan rahasia — menggeletak di atas tanah, yang ia segera hampiri, untuk dijumput. "Ah, indah benar sulamannya!" katanya, memuji. "Di sini ada gambar sulaman unta-untaan. Bukankah ini sulaman bangsa Mongolia? Kimlong siapa ini?" In Tjeng dengar kata-katanya pendeta ini, ia lihat tiga kimlong itu, ia menjadi murka pula. "Segala barangnya si Tartar busuk!" serunya. "Bikin hancur sudah! Lemparkan kelumpur!" Tiauw Im melengak, tapi ia gunakan tenaganya, untuk merobek kimlong itu, atas mana, ia rasakan tangannya sakit. Sebab sebat luar biasa Thian Hoa ketok lengannya untuk merampas kimlong itu, guna mencegah kimlong itu dirobek. "Soetee, kau....." ia berseru, kaget dan heran. "Sabar," kata soetee itu. "Bukankah tidak ada halangannya untuk In Thaydjin melihat dulu kimlong ini, untuk diketahui apa bunyinya? Masih ada ketikanya untuk kita merobek-robeknya apabila bunyinya ada ocehan belaka!" Tjia Thian Hoa heran atas sikapnya Tantai Mie Ming. Punggawa itu lihay, jikalau dia tidak niat membinasakan In Tjeng, habis apa, maksudnya perbuatan ini — mengejar-ngejar sampai sekian jauh? Mereka sudah menghadapi kota Ganboenkwan, mereka boleh dibilang telah menginjak tanah daerah Tiongoan, maka di dalam daerah ini, ada siapa lagi yang hendak mencelakai orang she In itu? Apakah itu bukan obrolan belaka, untuk memperdayakan orang? Tapi, apakah masuk diakal yang Mie Ming melakukan perjalanan demikian jauh cuma untuk menyampaikan kata-katanya? — nasehatnya? — kimlongnya? Pun aneh, walau dia kosen dan galak — agak jumawa juga — tapi dia bisa berlaku demikian baik budi? Kalau tidak, mana dapat Tiauw Im Hweeshio bisa lolos dari kematian? Thian Hoa benar-benar sangat tidak mengerti! Selagi orang she Tjia ini terbenam dalam keragu-raguannya, In Tjeng telah menyambuti kimlong itu dan dia pandang dengan sikap yang sangat membenci. Kimlong yang pertama diberi tanda dengan kata-kata: "Buka dengan lantas." Tanpa bilang suatu apa, In Tjeng merobeknya dengan segera, hingga ia dapatkan sehelai kertas, atau sepucuk surat, di dalamnya. Di situ tertulis: "Sekarang lekas balik kembali ke Mongolia, dengan lantas kembali, bakal tidak ada urusan apa-apa. Tantai Tjiangkoen menanti bersama pasukan tenteranya di Tjoin, dia dapat menyambut." In Tjeng mendongkol, habis membaca, ia robek surat itu dan melemparnya. Thian Hoa lihat kumisnya yang ubanan bergerak-gerak dan air mukanya berubah menjadi kuning pucat, meskipun demikian, ia tidak berani menanyakan. "Kimlong apa! Tak lain daripada ocehan belaka!" kata orang tua ini sambil mengawasi robekan kertas terbang melayang jatuh ke tanah. Tapi, kendati ia mengucap demikian, ia toh baca tulisan di atas kimlong yang kedua. Di situ, dengan mendongkol, ia baca: "Buka kimlong ini setibanya di tempat sejauh tujuh lie dari kota Ganboenkwan." "Tak sudi aku mendengarnya!" kata In Thaydjin dengan sengit. Tapi ia toh robek kimlong itu, untuk membaca surat di dalamnya. Kali ini bunyi surat rahasia itu begini: "Keadaan berbahaya sudah sangat mengancam. Ketika ini tentulah di kota Ganboenkwan ada orang yang datang menyambut. Jikalau pemimpin pasukan terdepan bukannya Tjongpeng Tjioe Kian, mesti kau segera kaburkan kudamu sebagai terbang untuk menyingkirkan diri. Suruhlah Tjia Thian Hoa dan Tiauw Im menjaga di belakang, untuk cegat tentera itu, mungkin masih dapat kau lindungi kepalamu." Tjongpeng, atau brigadir jenderal, dari kota Ganboenkwan, benar bernama Tjioe Kian. Dia dengan In Tjeng adalah orang-orang asal satu kampung dan bersahabat, cuma bedanya, yang satu mempelajari ilmu surat, yang lain meyakinkan ilmu silat, malah ketika membuat ujian, mereka sama-sama lulus sebagai tjinsoe — boen tjinsoe dan boe tjinsoe. Persahabatan itu berlangsung sampai In Tjeng diutus ke Mongolia, sampai In Thaydjin ini menderita, maka juga ketika In Teng — sang putera — berangkat untuk menolongi ayahnya, diam-diam dia peroleh bantuan dari Tjioe Tjongpeng, ialah daya-daya pertolongan diatur bersama. In Teng telah mengirim kabar lebih dahulu kepada Tjioe Kian tentang ia sudah berhasil kabur bersama ayahnya, ia minta tjongpeng itu memberi kabar terlebih jauh kepada pemerintah agung, supaya pemerintah dapat mengetahuinya. Meskipun selama dalam perjalanan, perhubungan dengan Tjioe Tjongpeng masih disambung terus. Maka itu, heran In Tjeng membaca kimlong yang kedua itu. "Kalau Tjioe Kian lihat aku datang, mustahil dia tidak sambut aku?" berkata dia dalam hatinya. "Dalam halnya kehormatan, aku dapat dibandingkan dengan Souw Boe, maka itu, setelah sekarang aku kembali dari negara asing, andaikata Sri Baginda tidak mendirikan patung peringatan untuk aku, sedikitnya dia menghargai aku dengan memberi pangkat besar padaku. Tapi gilanya orang Tartar itu, dia mencoba merenggangkan aku dari Tjioe Tjongpeng!..." Karenanya, kimlong kedua ini pun dirobek dan dibuang. Waktu In Thaydjin membaca, Thian Hoa berada di sampingnya, dari itu ia turut melihat kimlong itu. Ia menjadi heran mengetahui namanya disebutsebut dalam surat rahasia itu. Sayangnya, ia tak sempat membaca sampai habis. "Apa yang tertulis dalam kimlong itu?" dia tanya. "Masih sama saja, ocehan belaka!" sahut In Thaydjin. "Tapi pengchianat itu benar-benar lihay! Dia seperti sudah ketahui lebih dahulu yang kamu berdua telah turut memasuki Mongolia untuk menolongi aku. Hanya anehnya mengapa dia tidak membuat persiapan untuk mencegah aku kabur?" Thian Hoa kerutkan alis, dia tunduk. Dia jadi semangkin heran dan curiga. In Tjeng sudah lantas periksa kimlong ketiga. Ia sebenarnya berniat segera merobek itu, untuk membaca isinya, tapi tiba-tiba ia batalkan niatnya itu. Tjia Thian Hoa juga lihat tulisan di atas kimlong itu, yang mana membuatnya heran bukan kepalang. Tulisan itu ada berupa alamat, bunyinya ialah: "Surat ini harus disampaikan kepada Tjia Thian Hoa untuk dibuka dan dibaca." In Thaydjin segera melirik pada hiapsoe itu, ia agaknya heran. Ia memang terbenam dalam kesangsian. Thian Hoa adalah seorang kangouw ulung, ia pun teliti, maka itu, menampak roman thaydjin itu, ia tersenyum. "Dorna itu sangat banyak akalnya," kata ia, "silakan In Thaydjin buka kimlong itu dan baca, untuk mengetahui apa yang ditulis." Mula-mula In Tjeng ragu-ragu kemudian dengan tak ayal ia robek sampul kimlong, dengan perlahan ia tarik keluar suratnya, lalu ia baca: "Pada saat ini maka pastilah In Thaydjin sudah kena tertawan. Di dalam sampul masih ada isinya, sebuah obat pulung, obat itu mesti disimpan rahasia, jangan lantas dibuka. Habis itu, segera kau berangkat ke kota raja, untuk menghadap sendiri pada Ie Kiam, guna mendakwa Ong Tjin. Apa In Thaydjin akan tertolong atau tidak, itu tergantung pada tindakan kau ini." "Hm!" In Tjeng perdengarkan ejekannya. Karena ia sangat murka, maka surat itu ia lantas robek-robek, sampulnya pun dibuang sambil terus ia berseru: "Benar-benar ngaco belo! Aku adalah satu tiongsin terbesar, mustahil aku bakal ditangkap?" Thian Hoa lompat, untuk menyambar sampul itu, dan ia dapatkan di dalamnya benar ada satu obat pulung, ialah yang terbungkus dengan lilin bunder sebesar gundu. Ia lantas simpan itu dalam sakunya. Wajah In Tjeng berubah melihat sikapnya hiapsoe itu. "Hendak aku simpan ini seperti barang mainan saja kata Thian Hoa. "Untuk menyimpannya pun tidak memakai banyak tempat.....” "Hm!" seru pula In Thaydjin. Lalu ia kata dengan perlahan: "Barang itu pun dikirim untukmu jikalau kau hendak simpan, simpanlah. Aku bermusuh besar dengan penghianat itu, sekalipun tubuhku bakal hancur lebur, tidak sudi aku ditolongi olehnya!" Sampai di situ, perjalanan lantas dilanjutkan, sampai rembulan muncul di antara jagat yang gelap. Semangatnya In Tjeng terbangun selagi mendekati tembok kota kupingnya mendengar suara terompet dan tentara penjaga kota tapal batas, hilang letihnya bekas perjalanan jauh dan lenyap rasa ngantuknya, lalu dengan tiba-tiba ia bersenanjung sambil mendongakkan kepalanya: "Girang aku dengan sisa hidupku ini dapat pulung pula ke tempat tumpah darahku, Di kota yang kokoh-kuat yang memisahkan negeri Tartar dengan Negara Tionghoa. Maka aku si orang she In, besok akan memakai pula juba dan kopiah, Untuk sambil memegang tanda-kehormatan memberi hormat pada junjunganku yang bijaksana." Thian Hoa timpali menteri setia itu dengan berkata: "Thaydjin sangat setia, di dalam seratus abad jarang didapat seorang sebagai thaydjin, maka sudah pasti Sri Baginda akan memberi anugerah terhadap thaydjin. Semua itu sebenarnya masih belum cukup dikatakan sebagai hadiah..." Mendengar itu, In Tjeng tersenyum. "Apa yang aku lakukan adalah kewajiban satu menteri, dari itu aku tidak mengharap hadiah kerajaan untuk membalas budiku." Tiba-tiba saja ia berhenti, akan kemudian meneruskan berkata: "Ketika aku meninggalkan negara, waktu itu adalah ditahun kerajaan Eng Lok ke sepuluh, maka sekarang, sesudah berselang dua puluh tahun dan kerajaan berganti tiga kaisar, mengenai urusan pemerintah, sama sekali aku tak tahu suatu apa. Sebenarnya, sekarang ini siapakah yang memegang pucuk pimpinan pemerintahan?" "Sekarang adalah Ong Tjin yang berkuasa," sahut Thian Hoa. In Tjeng segera ingat bunyinya kimlong yang ketiga. "Semoga Thian melindungi pemerintah kita," memuji dia. "Ong Tjin itu pasti ada satu tiongsin terbesar dan Ie Kiam adalah satu dorna!" Justeru itu Tiauw Im sedang mengendarai kudanya di samping kereta, ketika ia dengar perkataannya menteri setia ini, dia hajarkan tongkatnya ke tanah sambil berkata dengan keras : "Thaydjin, aku keliru! Ong Tjin itu djustru satu dorna terbesar! Jikalau dia sampai bersomplokan dengan aku si orang beribadat, nanti aku beri dia pelajaran dengan tongkatku ini!" In Tjeng melengak bahna herannya. "Apa? Dia satu dorna?" tanyanya. "Aku rasa tak bisa! Kalau dia benar dorna, mengapa orang Tartar menganjurkan untuk Ie Kiam mendakwa terhadapnya?" Tjia Thian Hoa tahu kekeliruannya menteri itu, ia campur omong. "Dengan sebenarnya, thaydjin," kata dia, "Ong Tjin itu adalah satu dorna, ya dorna kebiri!" "Apa? Apakah dia satu thaykam?" kembali In Tjeng menegaskan. (Thaykam= orang kebiri) "Benar," Thian Hoa pastikan. "Turut apa yang didengar, dia asal kecamatan Oettjioe, setelah bersekolah, dia turut dalam ujian dan berhasil mendapat pangkat tiekoan, tetapi belakangan dia berbuat salah, dia dihukum buang, hanya belum sampai dia menjalankan hukumannya, raja membutuhkan sejumlah thaykam, dia serahkan dirinya, dan diterima. Dalam istana dia diberi tugas melayani putera mahkota, ialah kaisar yang sekarang ini, yang waktu itu masih bersekolah. Ketika kemudian kaisar wafat, putera mahkota menggantikannya. Dengan sendirinya Ong Tjin diangkat menjadi Soeiee thaykam, hingga dia berkuasa untuk mengurus surat surat negara, bagian luar dan dalam istana, dengan berserikat sama menteri menteri dorna, dengan cepat dia peroleh kekuasaan besar, hingga beranilah dia berbuat sewenang-wenang. Belum tiga tahun, dia telah dibenci juga oleh rakyat negeri. Maka itu, thaydjin, kalau nanti thaydjin pulang ke istana, baiklah thaydjin berhati-hati daripadanya itu." Masih In Tjeng melengak, karena ia ragu-ragu. "Ie Kiam itu adalah Pengpou Sielong," Tjia Thian Hoa memberi keterangan lebih jauh, mengenai Ie Kiam, Menteri Perang (Pengpou Sielong). "Turut pendengaran, Ie Pengpou adalah satu menteri yang jujur dan setia." Mendengar itu, In Thaydjin berdiam. Ia hanya menutup mulut, tapi hatinya berpikir. Di dalam hatinya, ia kata: "Dua orang ini adalah orang-orang kangouw yang kasar, kata-kata mereka tak dapat lantas dipercaya penuh. Baiklah nanti saja, sepulangnya ke istana, aku coba membuktikannya." Ia baru berpikir demikian, atau ia telah memikir pula: "Menurut ilmu perang, yang kosong itu berisi, yang berisi itu kosong, demikian juga kedua orang ini, andaikata benar perkataan mereka, mestinya semua itu berdasarkan siasatnya Thio Tjong Tjioe, untuk membantu aku menaruh kepercayaan, maka di dalamnya mesti ada tersembunyi sesuatu..... Dalam kereta, In Loei tidur nyenyak. Terharu engkong ini mengawasi kedua pipi cucunya yang merah jambu itu, wajah yang menunjukkan kejujuran, kepolosan. Anak itu memang belum mengerti apa-apa. Tapi kepada cucu ini, engkong ini meletakkan harapannya. Ia telah mengharap, bila In Loei telah berusia dewasa, mesti dia pergi jauh ke negerinya bangsa Tartar, untuk menerjang es dan menjelajah salju, guna menuntut balas untuknya. Maka pada akhirnya, ia menghela napas. Teringat ia pada kesengsaraannya selama dua puluh tahun, mesti minum air dengan mengunyah salju dan es, mesti menderita kedinginan hebat. Ingat semua itu, panas hatinya. Tapi ia telah berusia lanjut, disebabkan terlalu banyak berpikir, ia menjadi letih sendirinya, hingga tanpa merasa, ia pun jatuh pules seperti cucunya itu..... Pada hari kedua, pagi-pagi, In Tjeng mendusi. Sekarang dapat ia saksikan samara samar bendera berkibar-kibar di atas tembok kota Ganboenkwan. "Inilah Tjitliepouw," berkata Tiauw Im Hweeshio. "Kita terpisah dari kota hanya tujuh lie lagi. Di sebelah depan sana ada pos tentara penjagaan di luar kota Ganboenkwan, untuk memeriksa lalu lintas." In Thaydjin dengar itu, ia berbangkit dengan mencelat. Ia singkap tenda kereta, untuk melongok keluar. "Apakah Tjioe Tjongpeng telah datang?" dia tanya. "Soetee Thian Hoa sudah pergi untuk memberi laporan akan tetapi belum terdengar kedatangannya tentara Tjioe Tjongpeng," jawab Tiauw Im. In Tjeng melengak, lalu ia tertawa sendirinya. "Ah, aku juga telah dibikin pusing oleh kimlong itu!" katanya seorang diri. "Mana Tjioe Tjongpeng bisa mengetahui yang hari ini aku bakal sampai di sini? Sebentar kemudian, sesudahnya ia diberitahukan, barulah dia pasti akan datang sendiri." Lantas ia perintahkan kereta dihentikan di muka pos penjagaan tentara, sedang tentaranya, sejumlah serdadu, mengawasi dari dalam tembok kota tanpa mereka membuat sesuatu gerakan. Tjia Thian Hoa ada seorang yang teliti, dia pergi lebih dahulu ke kota untuk melaporkan. Dengan Tjioe Tjongpeng pernah beberapa kali dia bertemu, dia ketahui baik punggawa penjaga kota Ganboenkwan itu di samping sebagai sahabatnya In Tjeng, ia pun jujur dan laki-laki, ia mirip dengan orang bangsa kangouw, maka dia mempercayainya dan suka membuat laporan itu. Sebentar saja dia telah sampai di kota di mana tak tampak apa-apa yang mencurigakan, maka tanpa ragu-ragu dia ikut kiepaykhoa, yang menyambut padanya masuk ke dalam kantoran. "Lucu juga," kata ia dalam hatinya, hingga ia tersenyum sendirinya, "sampaipun aku, kena dipermainkan akal muslihatnya Tantai Mie Ming. Asal Tjioe Tjongpeng yang tetap membelai kota ini, siapakah yang berani mencelakai In Thaydjin?" Setelah dipersilakan duduk, Thian Hoa disuguhkan air teh. "Tjioe Tjongpeng akan segera keluar," berkata kiepaykhoa itu, maka silakan Tjia Hiapsoe beristirahat dulu." Thian Hoa hirup air teh, setelah mana, ia loloskan pakaian luarnya, pakaian untuk berperang. Ia tengah duduk menanti ketika dengan sekonyong-konyong ia rasakan kepalanya pusing dan matanya kabur. "Celaka!" dia menjerit. Dia lompat untuk sambar pedangnya, tetapi kiepaykhoa tadi mendahului jumput pedangnya itu, menyusul mana dari luar terlempar dua lembar tambang, maka di lain saat, orang she Tjia ini sudah kena teringkus rubuh. Thian Hoa telah sempurna latihan iweekang-nya, ilmu dalam, walaupun dia telah diperdayakan ingatannya masih belum kusut, dari itu, dia coba kerahkan tenaganya, untuk berontak, akan tetapi sangat menyesal, nyata dia telah kehilangan seantero tenaganya, hingga tidak berhasil dia dengan percobaannya itu, malah sebaliknya, dia merasakan kepalanya semakin pusing. Lantas dia ingin tidur saja. Celakanya, kedua matanya pun lantas tertutup rapat, walaupun dia ingin membukanya, tetapi dia tidak mampu. Berkat keulatan iweekang-nya, dia masih kuatkan hati, dia tetap membuat perlawanan bathin, maka terasalah olehnya, bahwa orang telah menggotong padanya, untuk dibawa di suatu tempat. Ia dengar suara pintu dikunci, maka ia menduga bahwa ia tengah dikuncikan di sebuah kamar gelap..... Memang, teh yang diminum Thian Hoa telah dicampuri bonghan yoh, obat pulas, saking ulatnya ia, ia tak rubuh tanpa sadarkan diri lagi seperti korbankorban lainnya, masih terang ingatannya, cuma sia-sia saja perlawanannya untuk menjadi sadar, akan pulihkan tenaganya, yang habis seketika. Berapa lama sang waktu sudah lewat, inilah Thian Hoa tidak ketahui, tetapi ia masih tetap sadar ketika ia dengar suara daun pintu ditolak terbuka, lalu seorang melongok masuk. Sekarang Thian Hoa dapat buka kedua matanya, segera ia kenali Tjioe Kian, tjongpeng dari Ganboenkwan. Dengan tiba-tiba saja meluap hawa amarahnya, dengan sekuat tenaganya ia coba lompat bangun, untuk menyambar dengan tangannya pada muka orang. "Inilah aku!" beritahu Tjioe Tjongpeng sambil menangkis. Masih belum pulih tenaganya Thian Hoa, atas tangkisan itu, tubuhnya terhuyung mundur beberapa tindak, sampai ia membentur tembok. Tentu saja murkanya bertambah. "Bagus!" serunya. "Ini dia yang dibilang, kenal manusia, kenal cecongornya, tak kenal hatinya! Oh, Tjongpeng Thaydjin, kau telah gunakan siasat rendah yang hina dina, sungguh kau pandai!" Tapi tjongpeng itu maju menghampiri, untuk cekal lengan orang. "Diam, keadaan sangat berbahaya!" katanya seperti berbisik. "Lekas makan ini obat pemunah! Mari kita pergi bersama untuk menolongi In Thaydjin1. Ini pedangmu, yang telah aku ambilkan. Lekas!" Thian Hoa tercengang. "Apa ?" tanyanya "Kau? Apakah artinya ini?" Di dalam kamar tahanan yang gelap itu hanya terlihat sinar kedua mata bergemerlapan dari Tjioe Tjongpeng, sinar mata yang berpengaruh. "Tjioe Kian ada orang macam apa, mustahil kau masih belum ketahui?" katanya dengan perlahan. "Keadaan sekarang sangat genting, baiklah kita bicara nanti saja! Lekas kau turut aku!" Mau atau tidak, Thian Hoa buka mulutnya untuk telan obat pemunah. Ia memang sadar, maka setelah makan obat itu, lenyaplah keinginannya untuk tidur saja. Ia terima pedang yang disodorkan si tjongpeng itu, lantas ia lompat keluar kamarnya akan ikuti punggawa perang itu. Di luar kota Ganboenkwan terdengar su- ara terompet yang panjang. Sesampainya mereka di luar kamar, mereka dihalangi kiepaykhoa yang menyuguhkan teh yang tercampur obat pulas. "Tjioe Thaydjin, kau mesti berpikir masak-masak berulang-ulang!" kata hamba pelayan ini. "Jangan thaydjin sampai merusak hari depanmu!" "Tjioe Tjongpeng tidak menjawab nasehat itu, dia melainkan lompat kepada si kiepaykhoa sambil menyabet dengan goloknya, atas mana tubuh hamba itu kutung menjadi dua potong! Sebagai tindakan terlebih jauh, Tjioe Tjongpeng rampas dua ekor kuda dengan apa ia bersama Thian Hoa lantas kabur ke depan kantor, untuk nerobos keluar kota. Tidak ada opsir lainnya atau serdadu-serdadu, yang berani merintangi tjongpeng itu serta kawannya. Tjioe Kian memang tampak sangat keren. Di atas kudanya, dengan cambuknya, dia menuding ke arah Tjitliepouw. "Di luar Tjitliepouw sana, mereka asik bertempur!" katanya dengan nyaring. "Mari kita ambil jalan memotong!" Dan ia kaburkan kudanya di sebelah depan, menuju kesebuah jalan kecil, dari mana mereka lantas dengar suara berisik dari bergeraknya pasukan tentera di jalan besar, antaranya terdengar teriakan-teriakan: "Tjioe Tjongpeng kembali! Tjioe Tjongpeng kembali!" Akan tetapi tjongpeng itu tidak mempedulikan-nya. Di Tjitliepouw, setelah dengar keterangannya Tiauw Im, In Tjeng nantikan kembalinya Tjia Thian Hoa. Ia masih saja mendongkol, kegusarannya tak dapat segera dilenyapkan. Ia pun mesti menantikan lama. Justeru begitu, mendadak terlihat mengepulnya debu yang diakibatkan oleh berlari-larinya belasan penunggang kuda mendatangi, menyusul mana pintu pos penjagaan segera dipentang lebar, perwira penjaga pos itu segera keluar untuk membikin penyambutan, suaranya yang nyaring pun terdengar mengundang masuk belasan penunggang kuda yang baru tiba itu. In Tjeng dari keretanya dapat melihat dengan nyata, hingga ia tahu, di antara belasan penunggang kuda itu, tidak ada Tjongpeng Tjioe Kian, hingga ia jadi tidak puas. Walaupun demikian, ia berlaku tenang, ia bawa sikap agung. Ketika ia sampai di muka pos, ia bertindak masuk dengan pegangi soetjiatnya, tanda kebesarannya. Di dalam pos tentera tapal batas itu ada ruang untuk duduk, dikedua tepi berdiri berbaris enam belas serdadu Gielimkoen, pengawal atau pahlawan raja. Mereka berada diundakan bawah. Dua kimtjee, atau utusan raja, dengan pakaian resminya menyambut In Thaydjin. Melihat penyambutan itu In Tjeng girang. Di dalam hatinya, ia berkata: "Nyata Sri Baginda Raja telah memberi berkahnya, ingat dia akan kesetiaanku selama dua puluh tahun, hari ini dia telah utus wakilnya ketapal batas ini untuk memapak aku!" Maka itu, ia bilang kepada kedua kimtjee itu: "Apakah karena jasaku, si orang she In, hingga kedua kimtjee menyambutnya di tempat yang sejauh ini..." Baharu In Thaydjin mengucap demikian, atau tiba-tiba, kedua kimtjee itu perlihatkan wajah keren dan bengis, keduanya segera perdengarkan seruan: "In Tjeng, menteri pengchianat, berlututlah kau untuk menyambut firman Sri Baginda Raja!" In Thaydjin kaget bukan main, ia heran tak kepalang, sampai ketika ia angkat soetjiatnya, tangannya bergetar. "Tidak berani aku menyambut firman ini!" katanya, untuk melawan. "Aku si orang she In telah diutus ke negara asing, selama dua puluh tahun aku hidup menggembala kuda di daerah bangsa Tartar, selama itu aku tetap bersetia, aku tahu diriku tidak bersalah dan berdosa!..... Belum sampai menteri setia ini menutup mulutnya atau dua pahlawan sudah menyambar ia, untuk dibikin rubuh, sedang satu di antara kedua kimtjee segera beber firman raja, untuk dibacakan dengan nyaring: "Menteri yang berdosa, In Tjeng, oleh mendiang Sri Baginda telah diberi kepercayaan, diutus ke negeri Watzu, tetapi bukannya dia bekerja dengan setia, dan membalas budi negara, dia justeru memusuhinya, hingga dia melupakan negeri dari ayah bundanya. Begitulah hari ini In Tjeng pulang secara diamdiam, untuk maksud yang berbahaya guna menjadi penyambut di sebelah dalam. Sebenarnya, mengingat dosanya, In Tjeng tak mestinya mendapat ampun, akan tetapi karena mengingat ia adalah menteri dari mendiang Sri Baginda Raja, ia diberi kecualian, ialah ia diberi kemerdekaan untuk minum obat guna menghabiskan jiwanya sendiri, supaya dengan begitu tubuhnya utuh. Sekian!" In Tjeng kaget bukan kepalang, tubuhnya sampai gemetar keras. Inilah hal yang ia tidak pernah duga. Sampai saat terachir, ia masih percaya rajanya menghargai jasanya..... Satu pahlawan, dengan gelas perak ditangan-nya, menghampiri menteri yang bercelaka ini. Gelas itu berisi air obat yang merah warnanya. Dia berkata dengan nyaring: "Menteri In Tjeng yang berdosa, apakah kau masih tidak mau menghaturkan terima kasihmu untuk mentaati bunyinya firman Sri Baginda?" In Tjeng rasakan kepalanya hendak meledak. Mendongkol dan gusar tercampur jadi satu. Bukan main panas hatinya. Tapi ia mesti kendalikan diri. Ia sambar gelas racun sambil berseru: "Kasi aku lihat firman itu! Aku tidak percaya!" Kimtjee yang membacakan firman tertawa dingin. "Sungguh besar nyalimu!" kata dia dengan nyaring. "Apakah kau kira kau berhak melihat firman?" Menyusul kata-katanya kimtjee ini, terdengar suara kedua daun pintu kantor menjeblak, setelah mana terlihat masuk satu pendeta dengan tongkatnya ditangan, dengan tongkat itu ia telah hajar pintu. "Jangan pedulikan firman tulen atau palsu, mereka semua mesti dibikin mampus!" dia berteriak laksana guntur sambil terus menerjang. Ke enam belas pahlawan segera turun tangan, guna melabrak pendeta ini, ialah Tiauw Im Hweeshio. Maka itu, mereka jadi bertarung dengan hebat sekali. Tiauw Im mengamuk ke kiri dan kanan, tongkatnya yang besar dan berat tiap-tiap kali meminta korban. Kedua kimtjee menjadi ketakutan, muka mereka pucat, kaki mereka lemas. Tiauw Im berhasil dengan serbuannya itu, ia mendesak sampai di ruang sekali, dengan sebelah tangannya ia cekuk kimtjee yang membacakan firman tadi. "Dengan susah payah In Thaydjin kabur dari tempat pembuangannya, dia berhasil pulang kemari, kenapa sekarang kamu justeru hendak membinasakan dia?" dia berteriak. "Aturan dari mana ini?" Dan dengan satu gerakan tongkat, di antara suara nyaring, hancurlah kepala si kimtjee yang galak, setelah mana sambil tertawa, pendeta itu cekuk kimtjee yang kedua. "Lepas! Lepas!" kimtjee ini berteriak-teriak. "Kau berani melawan kimtjee, kau tahu apa hukumanmu?" Tiauw Im tancap tongkatnya di lantai, dengan dibantu tangannya yang lain, ia angkat tinggi tubuh kimtjee itu. "Jahanam!" dampratnya. "Berapa sih harga sekatinya satu kimtjee?" Ia pegang kedua kakinya kimtjee itu yang ia lantas beset! Semua serdadu gielimkoen terkesiap, tidak ragu-ragu lagi, mereka lari keluar. Mereka memang sudah jeri terhadap pendeta ini, yang tadi memberikan labrakan pada mereka. Mereka lari untuk bunyikan trompet, mereka tidak pedulikan lagi kawan-kawan yang telah menjadi mayat. In Tjeng berdiri tercengang, ia terpagut. Di situ, kecuali beberapa mayat, tinggal ia bersama Tiauw Im. Ia berdiri diam seperti sedang bermimpi. Ketika Tiauw Im bertindak menghampirkan, baharu ia sadar. "Mari firman itu, hendak aku melihatnya!" dia berseru. Dia baharu ingat kepada firman yang mengharuskan menceguk racun, untuk menghabiskan nyawanya. "Peduli apa segala firman begituan!" sahut si pendeta. "Mari turut aku menyingkir!" In Tjeng duduk numprah. "Mari firman itu, kasi aku lihat!" dia kata pula, suaranya tetap. Tiauw Im mendelik terhadap orang bandel itu tetapi ia mengalah, ia ulurkan tangannya ke meja, untuk mengambil firman tadi, terus ia lemparkan. "Nah, lihatlah!" katanya sengit. "Lekas baca! Lekas!" Berbareng dengan itu, ia tak mengerti atas kebandelan orang itu. In Tjeng pungut firman itu, untuk dibuka dan dibaca, setelah mana, mukanya menjadi pucat seperti mayat. Dengan tertera cap kerajaan, firman itu memang firman tulen. Masih ingat ia dahulu, ketika Kaisar Seng Tjouw merampas mahkota, pernah ia rampas cap kerajaan dari tangan thaykam, lalu dibuangnya cap itu ke lantai hingga pecah ujungnya, kemudian ia menyuruh tukang menambal cacat itu. Sekarang ia dapat kenyataan, itulah cap yang ia kenal. "Apakah kau telah melihat cukup?" tegur Tiauw Im menampak orang diam saja. Masih In Tjeng mengawasi firman itu, ia seperti tak dengar teguran itu. Dalam sekejap, ingat ia pada penderitaannya di tanah asing, tapi penderitaan itu kalah hebatnya dengan penderitaan sekarang. Sekarang habislah harapannya, lamunan sekian lama bahwa ia bakal dihargai rajanya. Ia dapat bertahan dua puluh tahun karena kesetiaannya, siapa sangka, bukan kenaikan pangkat yang ia peroleh, rajanya justeru menghendaki jiwanya! Tiauw Im ulangi tegurannya, ia masih tidak dengar jawaban, hingga ia jadi sangat heran, selagi ia awasi menteri itu, mendadak ia tampak orang membanting soetjiat yang selama dua puluh tahun tidak pernah terpisah daripadanya. Maka, karena terbanting keras, soetjiat itu patah menjadi dua potong! Pada saat itu, kosonglah hatinya In Tjeng, lenyap keinginannya untuk hidup terus, maka dengan tiba-tiba saja ia angkat gelas racun, untuk tenggak isinya! "Hai, kau berbuat apa?" teriak Tiauw Im, yang terus lompat maju. Akan tetapi orang kosen ini sudah terlambat, tubuh In Tjeng rubuh seketika, dari hidungnya, mulutnya, matanya, kupingnya, dan setiap lobang keringatnya, darah mengucur keluar. Menteri setia ini telah menemui ajalnya dalam tempo yang cepat sekali, saking kerasnya racun raja, arak beracun yang dinamakan "Hoo teng ang," apapula racun itu sampai satu gelas! Tiauw Im melengak menyaksikan kejadian itu, ia baharu sadar ketika ia dengar suara ribut-ribut dari arah luar, ialah suaranya senjata beradu bercampur dengan tangisan In Loei. Sebab di luar, kereta In Tjeng sudah dikurung sisa pahlawan serta tentera pos penjaga, hingga mereka jadi bentrok dengan dua muridnya si pendeta. Tidak tempo lagi, sambil berseru, Tiauw Im lari keluar, untuk menyerbu ke depan. Sejumlah serdadu maju, untuk mencegat, merintangi, tetapi ia serang mereka, hingga mereka menjadi bertempur, tetapi tidak lama, ia berhasil merangsak sampai kekereta di mana segera ia sambar In Loei, untuk ditolongi. "Jangan takut! Jangan takut!" ia hibur bocah itu sambil menepuk-nepuk, kemudian dengan sebelah tangan ia pondong bocah itu, lalu ia berkelahi pula, guna menoblos kurungan. In Loei mendekam dibebokong si hweeshio, ia diam saja, tidak menangis atau menjerit, malah dengan mata bercelingukan, ia memandang kesekitarnya. Rupanya, ditangannya si pendeta, hatinya jadi tenang. Bersama dua muridnya, Tiauw Im pecahkan kurungan, lantas mereka merampas kuda dengan apa mereka kabur bersama. Tentera Beng mengejar, malah mereka lantas melepaskan anak panah. Tiauw Im dan dua muridnya repot juga membuat penangkisan, kaburnya mereka jadi terhalang, dengan begitu, tentera pengejar jadi datang semakin dekat. "Hebat!" keluh Tiauw Im dalam hatinya. Ia lihat bahaya mengancam. Sulitnya bagi dia, ia mesti lindungi In Loei, hingga sebelah tangannya tak dapat digunakan. Sekonyong-konyong dua anak panah menyambar dan kedua muridnya si pendeta rubuh terguling, karena anak panah itu nancap ditenggorokan mereka! Tiauw Im murka hingga ia menjerit. Ia putar tongkatnya untuk balik menerjang. "Daripada mesti binasa, lebih baik aku binasakan dulu beberapa dari mereka!" demikian ia pikir. Tapi, belum sempat ia mengamuk, ketika ia menoleh ke belakang, ia tampak mata jeli dari si bocah, mata itu hidup, tidak bersinar takut. Melihat ini, ia menghela napas. Justeru itu, sebatang anak panah menyambar kepadanya, ia menangkis. Ia rasakan serangan panah yang hebat, maka ia menduga, penyerangnya pasti bukan orang sembarang. Di saat tentera pengejar hampir sampai, Tiauw Im lihat bagian belakang pasukan itu kalut dengan tiba-tiba, hingga hujan anak panah pun jadi berhenti sendirinya, lalu dari dalam barisan itu keluarlah dua orang yang ia kenali adalah Tjia Thian Hoa dan Tjioe Kian. Karena girangnya hampir ia tak mau percaya kepada matanya sendiri. Mendadak satu punggawa musuh mencegat Thian Hoa, dia mainkan goloknya, atas mana, Thian Hoa desak dia dengan tikaman pedang berulangulang, hingga dia menjadi repot. Selagi dua orang itu bertempur hebat, Tjioe Kian berseru kepada punggawa itu: "Ouw Tjiangkoen, aku telah perlakukan baik padamu, sekarang aku mohon kebaikan kau!" Punggawa itu tidak berkata suatu apa, ia cuma putar kudanya, untuk meninggalkan musuhnya, hingga semua serdadu, meskipun mereka berteriakteriak, tidak lagi ada yang menyerang, mencegat atau mengejar. Tjioe Kian pandang tenteranya itu dengan siapa ia telah hidup bersamasama bertahun-tahun, habis itu bersama Thian Hoa ia gabungi diri untuk angkat kaki menuju ke utara. Diam-diam ia mencucurkan air mata... Di Utara, musim ada lebih dingin, maka juga sampai tengah hari, sang Batara Surya masih belum muncul, dari itu, di bawah udara bagaikan mendung, bertiga mereka larikan kuda mereka. Thian Hoa telah mengucurkan air mata, dari soeheng-nya telah ia ketahui nasibnya In Tjeng. Dengan susah payah mereka kabur dari negara asing, siapa sangka, sesudah sampai di tanah tumpah darah sendiri, menteri itu mesti menemui ajalnya secara demikian kecewa dan mengenaskan. Di pihak lain, ia menyesal untuk Tjioe Tjongpeng, yang guna membelai sahabat, sudah tinggalkan jabatannya, pangkatnya. Malah dengan perbuatannya itu, Tjioe Kian telah memberontak terhadap peme-rintahnya..... "Sudah, Tjioe Tjongpeng," kata dia kemudian, suaranya perlahan, "setelah kejadian ini, biar kita nanti berdaya perlahan-lahan saja untuk hidup kita. Aku menyesal yang aku telah membikin kau celaka..." Tapi tjongpeng itu tertawa, tertawanya sedih. "Aku bukannya tjongpeng lagi!" demikian katanya. "Sudah sejak setengah bulan yang lalu, aku dipindahkan tempat jabatan, cuma karena tjongpeng yang baharu masih belum sampai, untuk sementara aku masih tetap mewakilkannya. Ouw Tjiangkoen itu adalah tjongpeng yang tulen." "Tjioe Tjongpeng," katanya, "kau telah berulang kali mendirikan pahala, mengapa kau dipindahkan? Anehnya, In Thaydjin ada demikian, setia, kenapa dia bolehnya diberi hadiah kematian?" Bekas brigadir jenderal itu menggeleng-geleng kepala. "Urusan pemerintah baiklah kita jangan pedulikan pula.....” katanya. Tapi ia berhenti sebentar, lantas ia melanjutkan: "Sekarang ini dorna yang berkuasa, melainkan orang-orang kepercayaannya yang menjabat pangkat. Aku bukan kepercayaannya Ong Tjin, pasti sekali dia berdaya untuk pindahkan aku. Tentang sebabnya mengapa pemerintah membinasakan In Thaydjin, inilah aku tidak mengerti, cuma karena raja yang sekarang masih berusia sangat muda, sedang kekuasaan besar berada ditangan Ong Tjin, kebinasaannya In Thaydjin tentulah atas kehendak Ong Tjin itu....." Thian Hoa tutup mulutnya, ia bungkam. Tapi kemudian. "Apa pernah tjongpeng bertempur sama Thio Tjong Tjioe dari negeri Watzu?" dia tanya. "Apakah kau maksudkan itu pengchianat she Thio?" Tjioe Kian tegaskan. "Pada sepuluh tahun yang lalu, pernah dia datang kemari bersama tentaranya, sampai dua kali kita bertempur, kemudian diadakan perdamaian, sejak itu tidak pernah dia datang pula." "Satu hal membuat aku heran," kata Thian Hoa. "Dia tahu betul tentang tindak tanduknya pemerintah kita, seperti ia mengetahui jari-jari tangannya sendiri, apa tak mungkin dia mempunyai perhubungan rahasia dengan salah satu menteri atau panglima kita?" Tjioe Kian awasi Thian Hoa dengan mendelong. "Bagaimana dapat kau menerka demikian?" katanya. "Coba kau tidak mengatakannya, pastilah aku lupa! Ong Tjin dan Tjo sinsiang To Huan dari negeri Watzu adalah sahabat kekal, malah kabarnya, dia juga mempunyai hubungan dengan Thio Tjong Tjioe." Thian Hoa jadi tambah curiga. Lantas ia ingat pada obat pulung dari Thio Tjong Tjioe, yang dibawa Tantai Mie Ming. Ia keluarkan obat itu, ia gigit pecah lilinnya, untuk keluarkan obatnya, ialah secarik kertas yang dipulungpulung. Bersama-sama Tjioe Kian, ia baca kertas itu yang tertuliskan hurufhuruf yang menjadi buah kalamnya Ong Tjin sendiri. Nyata surat itu berasal dari Ong Tjin untuk To Hoan berdua Tjong Tjioe, bunyinya adalah mendamaikan urusan menukar barang-barang besi Tionggoan, buat ditukar dengan kuda Mongolia. Thian Hoa menghela napas. "Mongolia kekurangan besi, tanpa besi dari Tionggoan, sampaipun busur mereka tidak sanggup bikin," katanya. "Bukankah ini terang-terang ada satu jalan untuk membantu musuh?" "Benar," sahut Tjioe Kian. "Aku pun lupa satu hal. Kedua kimtjee tadi, mereka tiba beberapa hari yang lalu, selama itu ada utusan Mongolia yang telah mengadakan perhubungan dengan mereka, entah apa yang mereka bicarakan tetapi aku curigai sekongkolan untuk membikin celaka pada In Thaydjin. Mungkin itu ada dayanya To Hoan atau Tjong Tjioe." "Kalau begitu," tanya Thian Hoa, heran, "habis apa artinya Tjong Tjioe utus Tantai Mie Ming menyampaikan suratnya dalam obat pulung ini?" Dan ia tuturkan halnya kimlong yang dibawa Mie Ming, yang tadinya mengejar ngejar mereka yang lagi buron. Tjioe Kian dan Tiauw Im, turut menerka-nerka tetapi mereka tak peroleh pemecahannya. "Jahanam Tjong Tjioe itu mana punya maksud baik?" kata Tjioe Kian kemudian. "Dari perbuatannya saja menyiksa In Thaydjin selama dua puluh tahun, aku penasaran sudah tidak dapat membinasakan dia!" Justru itu, In Loei angkat kepalanya. "Yaya? Mana yaya?" tanyanya. "Yaya suruh aku binasakan orang, kamu juga hendak binasakan orang, aku takut, takut.....” Thian Hoa usap-usap rambut orang. "Membunuh orang jahat tak usah dibuat takut." katanya perlahan. Habis mengucap demikian, tiba-tiba saja orang she Tjia ini lompat turun dari kudanya, untuk segera menghampiri Tiauw Im. "Pergi kau bahwa nona cilik ini kepada soemoay." katanya. "Aku sendiri hendak kembali ke Mongolia.....” "Untuk apa kau kembali ke sana?" dia tanya. "Untuk bunuh Thio Tjong Tjioe!" sahut sang soetee. Tiauw Im angkat tongkatnya. "Itu benar!" ucapnya. "Dengan binasakan Tjong Tjioe, di belakang hari tak usah lagi nona cilik ini membinasakan dia! Baiklah, kita masing-masing, yang satu merawat anak yatim piatu, yang lain membuat pembalasan! Nanti, lagi sepuluh tahun, kita boleh saling bertemu pula di kota Ganboenkwan!" Maka itu berpisahlah mereka berdua, juga dari Tjioe Kian..... -oood00w00ooo- BAB I Bagaikan melesatnya anak panah, demikian sang waktu. Sepuluh tahun telah berlalu, atau orang berada dalam tahun Tjeng Tong ke-XIII dari ahala Beng. Maka itu berubahlah berbagai peristiwa dari sepuluh tahun yang telah selam itu, pasti orang telah lupa akan perbuatannya Tjongpeng Tjioe Kian dari kota Ganboenkwan, tentu orang tak ingat lagi riwayat sedih dari Thaydji In Tjeng di daerah perbatasan itu. Meskipun demikian, di luar kota Ganboenkwan, di daerah seratus lie yang kosong, yang dinamakan no man's land itu, suasana bukannya tak tetap ramai..... Keramaian itu terjadi sejak beberapa tahun yang lampau. Apa yang dinamakan "keramaian" itu adalah aksinya segerombolan kawanan Loklim atau Rimba Hijau, karena sikap mereka ini yang istimewa. Jumlah mereka tidak besar akan tetapi mereka tidak takut terhadap tentara Beng, mereka tak jeri terhadap pasukan bangsa Mongolia, tentara Watzu. Mereka jarang keluar membegal atau merampok orang pelancongan, mereka cari mangsa di antara rombongan pembesar rakus, terutama mereka tak mau ganggu tentara kota Ganboenkwan. Rombongan ini terkenal dari benderanya, "Djitgoat Siangkie", atau sepasang Matahari dan Rembulan. Dan yang luar biasa, umum tidak ketahui siapa nama pemimpin mereka, apa yang diketahui, pemimpin itu ada seorang tua dengan potongan "kepala macan tutul" dan "mata harimau". Sebab selagi menyerbu, di dalam pertempuran, dia selalu memakai topeng. Maka dia dikenal hanya dari goloknya, golok Kimtoo, hingga dia peroleh gelarnya: "Kimtoo Lootjat" — si bangsat tua bergolok emas. Anehnya, apabila dia benterok dengan pasukan tentara, apabila dia peroleh kemenangan, tidak pernah dia kejar tentara pecundangnya itu. Begitu terkenal rombongan berandal ini tetapi satu punggawa yang bernama Poei Keng belum pernah mendengarnya, hingga ia tak tahu keamanan yang terganggu di daerah tanah kosong itu. Itulah terjadi pada musim semi ketika serombongan tentara yang mengiring angkutan mahal menuju kota Ganboenkwan. Yang jadi pemimpin tentara itu adalah Poei Keng tersebut, satu punggawa asal Boekiedjin, yang menyebut dirinya "Sintjia Poei Keng" atau Poei Keng Malaikat Panah sebab liehaynya ia mainkan busur melepaskan anak panah, hingga ia berjumawa karenanya. Pada musim itu Poei Keng dapat tugas mengiring uang negara sebanyak empat puluh laksa tail, uang terdiri dari uang goanpo, setiap petinya berjumlah lima ratus tail. Seratus keledai dipakai guna menggendol harta besar itu. Tapi si Malaikat Panah tidak hanya membawa uang negara saja. Berbareng dengan seratus keledai itu, ada lagi empat belas ekor, yang bebokongnya dimuatkan dengan barang-barang kepunyaan pribadi dari Teng Toa Ko, tjongpeng dari Ganboenkwan. Sama sekali Poei Keng cuma pimpin seratus serdadu, inilah sebabnya sampai sebegitu jauh, belum pernah ia mengalami kegagalan. Dibulan ketiga, daerah Kanglam mempunyai banyak rumput panjang, tapi di luar kota Kieyongkwan, salju masih belum cair, maka hawa udara jadi dingin sekali. Tapi melalui perjalanan yang jauh, hari itu, keseratus serdadu itu merasa gerah karena hawa yang panas, sedang mereka pun sudah letih, apa pula ketika itu adalah tengah hari, matahari sedang memancarkan sinarnya. Di atas kudanya, sambil menunjuk dengan cambuknya, Poei Keng berkata: "Besok tengah hari, kita akan sampai di kota Ganboenkwan! Kita berangkat cuma dengan seratus orang, angkutan kita banyak dan berat, kita juga mesti lintasi gunung melalui bukit-bukit, kita mesti melakoni perjalanan ribuan lie, maka syukur sekali, kita tak nampak sesuatu! Sesunguhnya, kita harus memuji diri!" Poei Keng didampingi dua hoekhoa, pembantunya, mereka ini lantas berkata: "Thaydjin kesohor dengan panahnya, di kolong langit ini siapakah yang tidak mengetahuinya? Umpama kata di tengah jalan ada rombongan bangsat kurcaci, dengan mendengar nama thaydjin saja, angkat kepala pun mereka tidak berani!.....” Poei Keng tertawa bergelak-gelak. "Kamu memuji! Kamu memuji!" katanya riang gembira. Tapi, mendengar itu, serdadu-serdadu tertawa di dalam hati, sebab mereka tahu, hoekhoa hanya tengah mengangkat-angkat saja. Segera mereka berada di jalan di tepi mana ada sebuah warung arak, tempat untuk orang-orang pelancong singgah untuk membasahkan tenggorokan, melihat itu, Poei Keng girang. "Kali ini kita melakukan perjalanan selamat tidak kurang suatu apa, ini bukan melulu karena tenagaku satu orang," berkata dia, yang ingat kepada pahalanya semua serdadu, "ini adalah jasa kita beramai! Ganboenkwan sudah ada di depan mata, tidak usah kita terlalu terburu-buru, mari kita singgah di sini! Aku undang hoekhoa berdua minum arak!" Lantas dia lompat turun dari kudanya, untuk masuk ke dalam warung arak itu, di ikuti kedua pembantunya yang pandai sekali mengangkat-angkat. Setelah menenggak beberapa cawan, penyakit jumawa dari Poei Keng kumat, terus ia bicara banyak, akan kepulkan kekonsenannya. Ia berceritera ketika dulu ia masih menjadi polisi di kota Tongpeng, dengan panahnya, ia telah takluki serombongan orang jahat. "Sayang sekarang thaydjin sedang menjabat pangkat," kata satu hoe-khoa, "kalau tidak, tahun ini thaydjin boleh turut ujian militer, niscaya sekali thaydjin tidak akan lulus sebagai Boe tjonggoan1." "Boe tjonggoan" atau "tjonggoan militer" adalah gelar tertinggi di dalam ujian yang dibikin di kota raja. Gelar kedua adalah "ponggan" dan gelar ketiga "tamhoa." Hoekhoa yang kedua pun berkata: "Hari ini udara terang, dengan memberanikan diri aku mohon thaydjin mencoba memperlihatkan kepandaian memanah supaya kami dapat lihat!" Poei Keng tenggak kering satu cawan besar, ia tertawa, habis mana ia turunkan busurnya. "Mari semua kamu turut aku!" katanya, mengajak orang kelataran. Ia segera siapkan dua batang anak panah. "Kamu semua lihat biar tegas!" katanya pula, lalu dengan cepat dan lincah, ia memanah. Dengan menerbitkan suara mengaung, sebatang anak panah melesat ke udara, kemudian, selagi anak panah itu mulai turun, dia disambar oleh yang kedua, yang dilepas hampir menyusul, dan tepat sekali, anak panah pertama itu menjadi sasaran yang kedua, lantas keduanya jatuh bersama. Kedua hoekhoa berseru dengan pujiannya, dituruti oleh pujian sekalian serdadu. Di dalam hatinya, kedua hoekhoa tukang mengumpak itu berkata: "Benar-benar dia liehay, dia bukan cuma ngoceh saja..." Selagi serdadu-serdadu itu memuji, di antara suara derapnya kaki, kuda, tampak satu penunggang asyik mendatangi, dari mulutnya itu juga terdengar pujian: "Panah yang bagus! Panah yang bagus!" Poei Keng menoleh dengar segera. Ia lihat seorang dengan dandanan sebagai sioetjay, ikat kepalanya hijau, romannya lemah lembut, akan tetapi dibebokongnya tergemblok sebuah busur hitam. Kudanya pun kecil dan kurus. Malah busur itu lebih kecil dari busur yang umum, apabila itu disbanding dengan busur punggawa ini, besar bedanya. "Mestinya anak sekolah kuatirkan jalanan yang tidak aman!" Poei Keng tertawa dalam hati. "Dia menggendol-gendol biang panah untuk membesarbesarkan nyalinya! Sebenarnya percuma saja dia bawa biang panah itu! Umpama kata benar ada begal, pasti begal itu siang-siang ketahui dia adalah satu mahasiswa yang lemah dan tak berguna.....“ Orang macam sioetjay itu sudah lantas tambat kudanya di sebuah pohon di tepi jalan, ia terus bertindak masuk ke dalam warung arak. Poei Keng menduga orang ini ternama juga, ia memberi hormat sambil mengangkat tangannya. "Kau she apa, hengtay" tanyanya. "Kenapa kau jalan sendirian? Apa kau tidak takut kepada orang jahat?" "Siauwtee she Beng nama Kie," sahut sioetjay itu, yang bahasakan dirinya, "adik kecil" (siauwtee). "Tjongpeng dari Ganboenkwan ada sanak jauh dari siauwtee. Dalam ujian tahun ini, siauwtee gagal, tetapi siauwtee tak ingin berdiam di rumah saja, maka itu siauwtee pergi jauh ketapal batas ini dengan mengharap pertolongan dari sanakku itu, supaya ia beri sesuatu jabatan kecil di dalam kantornya." Mendengar begitu, Poei Keng mengawasi. "Oh, kiranya kau sioetjay melarat yang mengharap pertolongan orang.....” pikirnya. Lantas ia berkata: "Inilah bagus! Tjongpeng yang menjadi sanak jauhmu itu adalah besan dari Pengpou Siangsie kami dan dalam perjalananku ini mengangkut uang tentara, aku sekalian membawa sesuatu untuk sanakmu itu." Sioetjay Beng Kie itu pun lantas berkata: "Sungguh kebetulan! Nyata aku telah bertemu dengan satu tuan penolong! Aku dengar dibilangan sini ada ancaman kawanan penjahat, aku memang takut. Aku.....aku.....” Poei Keng tahu hati orang, dia justeru sudah mulai terpengaruh susu macan, maka lantas ia tepuk dadanya. "Kau telah bertemu dengan aku, hengtay, tak usah kau takut lagi!" katanya dengan jumawa. "Dengan andalkan busur ini, selama perjalanan yang jauh, kawanan penjahat bagaikan menghadap angin dan menyingkir. Hengtay hendak pergi ke Ganboenkwan kepada sanakmu, mari kita jalan bersama!" Mahasiswa itu perlihatkan air muka terang. "Terima kasih, terima kasih!" ucapnya berulang-ulang. Dengan matanya, tak henti-hentinya ia awasi busur besi itu. Kembali Poei Keng tertawa. "Busur ini istimewa buatannya!" katanya, tetap terkebur. "Siapa tidak punya tenaga dari lima ratus kati, jangan harap dia sanggup pentang busur ini!" "Hebat, hebat!" Beng Kie memuji. "Mari minum!" Poei Keng mengajak dalam ke-gembiraanya, dan ia tenggak pula araknya hingga kering beberapa cawan besar. Dan kemudian, sambil berbangkit ia berseru: "Mari kita lanjutkan perjalanan kita!" Mereka lantas berlerot pergi. Angin dingin membuatnya Poei Keng merasa kepalanya rada berat, tanda dari terlalu banyaknya ia menenggak air kata-kata. Tidak lama, kemudian mereka telah berada di lamping gunung arah barat, jalanan di situ sukar, dari atas gunung terdengar pekiknya sang kera dan burungburung belibis, dan binatang-binatang itu, yang berada dipohon-pohon dekat, lari menyingkir dan terbang pergi. "Tempat ini agak berbahaya, aku kuatir ada penjahat di sini," kata Beng Kie. Poei Keng sebaliknya tertawa besar. "Kalau penjahat muncul, itu artinya mereka cari mampus sendiri!" katanya. Dengan cepat Beng Kie turunkan busurnya, wajahnya pucat. Lagi-lagi Poei Keng tertawa. "Kau takut, hengtay?" tanyanya. "Sebenarnya aku agak jeri," Beng Kie akui. "Di luar keinginanku, aku turunkan busurku, untuk bersiap sedia, guna menjaga diri..... Ah, sungguh satu perbuatan gila, membikin thaydjin tertawa saja!" Poei Keng tertawa terbahak-bahak. "Kau lupa bahwa kau tengah berjalan bersama-sama aku!" katanya. "Hahahaha! Kalau benar penjahat muncul, apa gunanya busurmu itu?" Dan, terbenam dalam pengaruhnya susu macan, dia ulur sebelah tangannya. "Coba kau perlihatkan permainanmu itu!" ia menambahkan. Beng Kie tersenyum. "Aku bikin thaydjin ketawa saja!" katanya. Tapi ia tidak menolak, ia turunkan busurnya untuk dihaturkan. Poei Keng menyambutnya, ketika ia telah pegang busur hitam legam itu, ia terperanjat sendirinya. Di luar dugaannya, biang panah yang ia pandang enteng itu sebenarnya berat. "Dari apa terbuatnya ini?" tanyanya, separuh mengoceh. Lantas ia menarik, tetapi ia tak kuat menariknya hingga busur terpentang, sedang ia tahu, ia mempunyai tenaga kekuatan lima ratus kati. Dengan sendirinya, wajahnya menjadi berubah merah, ia kaget berbareng malu, hingga mulai sadar ia dari pusingnya akibat pengaruh arak. "Kau..... kau.....” katanya suaranya terputus-putus. Beng Kie ambil kembali busurnya itu, ia tertawa. "Rupanya thaydjin telah minum arak terlalu banyak hingga kau tak dapat gunakan tenagamu," kata dia. "Siauwtee membesarkan nyali, siauwtee juga ingin mohon diberi ketika melihat busur thaydjin." Dalam keragu-raguan, Poei Kei serahkan busurnya yang beratnya lima ratus kati. Si sioetjay kurus itu menyekal dengan kedua tangannya, tangan kirinya menahan bagaikan "menahan gunung Tay San," tangan kanannya ditarik melengkung bagaikan "mengempo baji," maka sekejab saja, busur itu telah terpentang bundar bagaikan "bulan penuh" — bulan purnama. "Sungguh bagus busur ini katanya sambil memuji. Tapi ia memuji keenakan, ia menarik terus, atau tahu-tahu: "Trak!" busur itu patah menjadi dua potong! Hilanglah pengaruh arak diotaknya Poei Keng. "Siapa kau?" dia tanya dengan bentakannya, dengan bengis. Si mahasiswa melemparkan busur rusak itu ke tanah, habis itu ia berdongak ke arah langit sambil tertawa berkakakakan sama sekali ia tidak jawab teguran itu, sebaliknya, ia lari kepada kudanya yang kecil kurus, dengan sebat ia melepaskan tambatan, terus ia lompat naik kebebokong binatang itu, yang terus kabur laksana terbang, meninggalkan debu di belakangnya. "Panah!" teriak Poei Keng dengan titahnya. Sejumlah serdadu taati titah itu, akan tetapi sudah kasip, orang sudah pergi terlalu jauh, anak panah-anak panah menyambar tanpa mengenai sasarannya. Sebaliknya serangan anak panah itu seperti undangan belaka, sebab dari sana sini di mana terdapat semak-semak, segera muncul sejumlah orang jahat, menyusul manah, Beng Kie juga kembali bersama kudanya. "Busur liehay cuma sebegitu saja!" kata si mahasiswa sambil tertawa di atas bebokong kudanya, tertawanya nyaring. "Kita justeru adalah orang-orang jahat yang hendak merampas uang angkutanmu! Beranikah kau bertanding denganku?" Poei Keng bungkam. Ia telah jumput busurnya, tetapi busur itu telah patah dan tidak ada gunanya lagi. Tapi ia mesti lindungi angkutannya, maka ia beri tanda kepada orang-orangnya untuk siap. Tiba-tiba terdengar tertawa nyaring dari Beng Kie, lalu panahnya mengaung. "Biar kamu tahu bahaya!" katanya dengan jumawa. Tiba-tiba satu hoekhoa menjerit keras, jeritan dari kesakitan, lalu tubuhnya rubuh, karena sebatang panah menancap ditenggorokannya sekali, jiwanya melayang segera. Kembali si mahasiswa kurus berseru, lagi sekali panahnya mengaung, lantas hoekhoa yang kedua rubuh menjerit seperti rekannya tadi, tubuhnya terguling dan binasa, sebab anak panah nancap didadanya tembus kebebokongnya! Semua serdadu menjadi kaget, dengan satu teriakan, mereka lari kabur! "Kau juga, mari rasakan sebatang panah!" seru Beng Kie akhirnya kepada punggawa pengantar harta besar itu. Dan sret! Beng Kie menyekal busurnya ia menangkis, hingga terdengar satu suara nyaring dibarengi dengan meletiknya lelatu api. Menyusul itu kembali terdengar suara mengaung yang kedua kali! Bukan main kagetnya Poei Keng, ia berkelit begitu rupa hingga ia terguling dari atas kudanya. Anak panah lewat sedikit di atasan kepalanya! "Habislah aku!..." dia mengeluh. Tapi anak panah yang ketiga, yang dikuatirkan, tidak datang menyerang apa yang terdengar adalah gelak tertawanya si orang she Beng itu. "Dua kali dapat kau kelit panahku, kau boleh dibilang kosen juga!" demikian katanya. "Sekarang aku suka memberi ampun padamu!" Kata-kata itu ditutup dengan satu seruan nyaring, atas mana di jalanan di muka kereta segera meluruk jatuh banyak batu besar, batu-batu yang digulingkan dari atas gunung, mencegat jalanan itu. Menyusul itu muncul lagi satu rombongan begal. Poei Keng kaget dan takut, ia gulingkan tubuhnya, untuk terus lari. Ia masih dengar panah mengaung di kupingnya, ia bersyukur, tubuhnya tidak menjadi sasaran. Dengan terpaksa ia nelusup dalam semak-semak di dalam lembah, dari situ ia dengar suara berisik dan kalut, sampai sekian lama sesudah mana, baharulah ia dengar merata dari tindakannya lerotan kuda. Akhirnya, ketika Poei Keng muncul dari tempat sembunyinya, ia lihat sang rembulan memancar di atas langit, di sekitarnya tidak ada orang lainnya, Cuma kupingnya dengar suaranya kutu-kutu malam saling sahut. Dengan gunakan kaki dan tangannya, ia merayap naik, sampai di tempat tadi di mana ia tampak mayatnya kedua hoekhoa, tidak ada lain orang lagi. Masih ia takut, hatinya masih goncang. "Rupa-rupanya semua serdadu kena ditawan musuh..." pikirnya. Tapi di situ, disekelilingnya, tidak ada musuh juga. Sekarang hatinya punggawa ini mulai tetap, a-kan tetapi, setelah itu, kedukaan datang berganti. Empat puluh laksa tail telah lenyap! Itulah tanggung jawab yang berat. Hukuman yang berat sekali akan menimpah padanya. Ia usap-usap kepalanya, ia menjadi bingung. Mau menangis ia, tapi air matanya tidak ada. "Sebenarnya lebih baik berandal panah saja aku hingga mati..." pikirnya kemudian, karena pepatnya. Ia duduk menjublak, akan awasi sang rembulan naik makin tinggi, makin tinggi. "Tak dapat aku lolos dari kematian," katanya pula di dalam hati sesudah ia piker dalam-dalam. Maka ia ambil suatu putusan, sesudah mana, ia menghela napas. Ia lantas cari selembar tambang, ia membuat buntalan, sesudah ikat itu kepada cabang pohon, ia kalak lehernya sendiri, lalu ia lepaskan cekalannya kepada tambang itu..... Menggantung diri adalah suatu siksaan hebat, inilah Poei Keng rasakan ketika tenggorokannya terjirat dan napasnya mulai susah jalannya. Untuk sedetik masih ia ingat, kenapa ia tidak terjun keair saja, akan lelapkan diri..... Dalam keadaan itu, habis sudah dayanya Poei Keng, malah untuk menjerit saja, ia sudah tidak punya kemampuan. Di lain detik, ia rasakan kedua matanya gelap, segera ia tak ingat suatu apa lagi. Tapi tidak lama, ia rasakan tubuhnya enteng, samar-samar ia rasakan ada orang memeluk tubuhnya, yang diangkat turun, lalu di lain saat, napasnya berjalan pula. Akhirnya dapatlah Poei Keng membuka matanya, hingga ia tampak satu pemuda, yang pakaiannya terdiri atas kain kasar, sedang berdiri di sampingnya, mengawasi dia sambil tersenyum. Ia menjadi heran. Ia menghela napas, ia merasa lega. "Kenapa kau tolongi aku?1 ia tanya ketika ia sadar dari pingsannya. "Adakah aturan untuk menyaksikan kematian orang, tapinya tidak menolongi?" tanya si anak muda sambil tertawa. Masih Poei Keng mengawasi. Setelah sadar, ia ingat kepada urusannya, kepada tanggung jawabnya. Ia menjadi bingung pula. Ia tahu, ia mesti menghadapi hukuman berat, mungkin hukuman mati. Bukankah ia telah dibegal habis-habisan? "Percuma kau tolongi aku!" katanya kemudian. Dan ia lompat bangun. Ia berniat melanjutkan membunuh diri. "Sabar," kata si anak muda. "Kenapa kau bunuh diri? Katakanlah padaku." Anak muda ini cekal lengan orang, sampai Poei Keng, yang hendak berontak, tidak sanggup mewujudkan niatnya itu. Ia jadi semakin bingung, ia menjadi gelisah. "Lepaskan aku!" ia berteriak. Ia pun berjingkrak. "Jangan kau ganggu aku! Percuma diceritakan juga..." Anak muda itu tertawa, ia lepaskan cekalannya. "Melihat romanmu, kau adalah satu punggawa negeri," katanya. "Ah, tahulah aku! Kau tentu sedang mengangkut rangsum tentara, lalu kau kena dibegal! Lantas kau cari matimu sendiri! Benarkah?" Poei Keng heran, ia melengak. "Kenapa kau ketahui itu?" tanyanya sambil berjingkrak. "Kamu tentara negeri, setiap tahun sedikitnya dua kali kamu angkut rangsum," sahut si anak muda. "Dan setiap kali kamu lewat angkut rangsum, tentu kamu membuatnya ayam terbang anjing kabur, maka siapakah yang tidak tahu?" Poei Keng meringis. Karena kau sudah tahu, sudahlah, jangan kau halangi aku," kata dia. Si anak muda tidak menggubrisnya, hanya, seorang diri, dia berkata: "Meskipun kamu membuatnya ayam terbang anjing kabur, hingga rakyat menjadi tidak aman, sedikitnya kamu telah mengangkut rangsum tentara pelindung perbatasan, tanpa tentara tapal batas, mungkin bangsa Tartar sudah datang menyerang, maka itu, pikirku, masih lebih baik untuk kau jangan cari mampusmu sendiri.....” Heran Poei Keng, dari mengawasi, ia sambar lengan orang. Akan tetapi ia menyambar sasaran kosong. "Kau bikin apa?" tanya si anak muda. "Kau siapa?" bentak punggawa itu. "Darimana kau ketahui barangku dirampas begal?" Anak muda itu tersenyum. "Aku adalah penduduk tani di tanah pegunungan ini," dia, menyahut. "Tadi malam aku saksikan lewatnya serombongan berandal. Mereka itu menggiring banyak kereta serta sejumlah serdadu tawanan, mereka lewat di depan rumahku, mereka menuju ke arah gunung. Aku bukannya si tolol, menampak keadaan, mustahil aku tidak dapat menerka?" Poei Keng anggap benar juga. "Apakah kau tahu di mana sarangnya kawanan berandal itu?" dia tanya. "Aku bukannya koncoh berandal, mana aku tahu?" Poei Keng melengak. "Ya, taruh kata aku tahu sarang berandal itu, apa yang aku dapat berbuat?" pikirnya kemudian. Karena ini, timbul pula kenekatannya. "Biarkan aku cari kematianku!" ia berseru. Si anak muda mengawasi. "Jikalau barangmu didapat kembali, kau tentu tidak akan mencari mati, bukankah begitu?" tanya dia. "Mencari barangmu ada lebih berharga daripada cari mati, maka baiklah kau cari barangmu itu! Bukankah itu uang?" Dengan tiba-tiba saja, Poei Keng ingat suatu apa. Ia sadar. "Aku kuat pentang busur seberat lima ratus kati, itu artinya tenagaku ada di atas tenaga sembarang orang," demikian ia berpikir, "akan tetapi barusan dia cekal aku, aku tidak mampu berontak, sebaliknya dia, tak dapat aku sambar tangannya. Mestinya dia bukan sembarang orang..... Kalau tadi dia sangat jumawa, sekarang dia insaf. Tanpa merasa, dia beri hormat sambil menjura pada anak muda itu. "Aku Poei Keng, insaf bahwa kepandaianku tidak berarti," dia akui. "Memang aku tidak sanggup melawan kawanan berandal itu. Hiapsoe, sukakah kau menolong jiwaku?....." Tanpa ragu-ragu lagi, ia memanggil "hiapsoe" — "orang gagah" — terhadap pemuda itu. Si anak muda tertawa terbahak-bahak. "Siapa kata aku satu hiapsoe?" katanya. "Aku adalah orang gunung biasa saja. Jikalau kata-katamu ini terdengar oleh orang sesama kampungku, mereka bisa tertawa terpingkal-pingkal hingga sakit perutnya.....” Poei Keng menjadi putus asa. Tapi, masih ia mengharap. "Melihat kau, yang harus kasihani," kata si anak muda kemudian, sebelum orang sempat bicara, "aku suka memberi petunjuk pada jalan yang terang padamu.....” Mendengar ini, terbangun harapan si punggawa. "Silakan, tunjukkan jalan, hengtay," katanya. Sekarang ia ubah bahasa panggilannya. (Hengtay = kakak yang mulia.) "Sabar," kata si anak muda "Aku sendiri tak dapat menolong kau, aku cuma ingin memberi petunjuk. Tidak jauh dari sini ada seorang luar biasa, apabila kau mohon pertolongannya dan dia suka membantu, tentu sekali kau akan mendapatkan barangmu kembali." "Siapa she dan namanya orang luar biasa itu, hengtay?" tanya Poei Keng. "Di manakah tinggalnya? Maukah hengtay memberitahukan kepadaku?" "Tentu sekali," sahut si anak muda. "Hanya ingin aku beritahu juga, karena dia ada seorang luar biasa, luar biasa juga perangainya. Kau tahu, bila dia mengetahui bahwa kau menanyakan she dan namanya, pasti kau bakal kehilangan jiwamu.....” Kaget Poei Keng hingga ia melongo. "Sulit kalau begitu," katanya. "Baiklah, nanti aku tidak cari tahu tentang dia. Aku minta hengtay saja yang perkenalkan aku dengannya." "Apakah kau sangka urusan sedemikian gampang?" si pemuda tegaskan. Kembali Poei Keng melengak. "Habis bagaimana?" dia tanya. Anak muda itu tersenyum. Dia pungut tambang di tanah, yang tadi Poei Keng pakai untuk gantung diri. Poei Keng tidak mengerti, dia mengawasi. "Kau mesti sekali lagi mencari mati!" kata si anak muda. "Apa?" Poei Keng terkejut. "Begini," kata si anak muda. "Besok pagi-pagi, kau berangkat dari sini, pergi kau ke lembah sebelah barat sana sampai jauhnya tujuh atau delapan lie, sampai kau lihat sebuah rimba pohon toh yang bercampur pohon bunga lainnya. Itulah Ouwtiap Kok, lembah Kupu-kupu. Kira-kira seratus tindak di muka hutan pohon toh itu ada sebuah batu besar, yang warnanya merah hingga mudah dikenal. Kau mesti sembunyi di batu itu sebelumnya matahari terbit. Orang luar biasa itu tinggal di sebuah rumah kecil di belakang hutan toh itu, tidak dapat kau lantas menemui dia untuk mohon pertolongan. Biar kau lihat orang, tidak boleh kau keluar dari tempatmu sembunyi, kecuali bila sinar matahari sudah keluar dicelah-celah tempat kau sembunyi itu sambil kau memasang mata. Kau mesti cari sebuah pohon toh, di situ kau mesti berpurapura menggantung diri. Namanya berpura-pura, sebenarnya kau mesti gantung dirimu seperti barusan kau telah melakukannya. Nanti orang luar biasa itu akan menolongi kau. Ingat, jangan kau kalak diri tanggung-tanggung, mesti secara sungguh-sungguh. Aku pesan, kalau orang itu bertanya, jangan sekali-sekali kau menyebut-nyebut aku yang memberi petunjuk kepadamu!" Poei Keng bersangsi. Si anak muda mengawasi, dia tertawa. "Bisa atau tidaknya kau menolong jiwamu, itu bergantung pada untungmu kali ini", katanya. "Sekarang kau tidurlah, aku hendak pergi." "Eh, hengtay, tunggu sebentar," kata Poei Keng setelah bersangsi sesaat. Dia sambar tangan orang, untuk ditarik, akan tetapi dia telah kehilangan pemuda itu, yang menyingkir dengan sangat cepat. Segera punggawa ini berpikir. "Kata-katanya si anak muda ini aneh," demikian pikirnya. "Daripada mesti mati terhukum, lebih baik aku turut nasehatnya itu, aku coba.....” Dengan lantas ia ambil putusan. Untuk mentaati nasehat itu, supaya bisa menjaga waktu, ia tidak berani tidur. Ia lewatkan malam dengan gadangi sang rembulan. Begitu Puteri Malam mulai condong, ia lantas berangkat ke arah barat. Beberapa lie ia telah jalan, rembulan mulai sirna, tinggal bintang-bintang yang berkelap-kelip, tetapi di samping itu, samar-samar sang fajar mulai muncul. Lagi dua lie, cuaca sudah mulai agak terang. Sekarang Poei Keng dapat mencium harumnya bunga, hingga pikirannya jadi terbuka. Benar-benar ia lihat banyak pohon toh di sebelah depan, di antaranya ada banyak macam pohon bunga, merah dan putih campur aduk. Dan benar, di depan rimba toh itu, ada sebuah batu besar, yang berwarna merah darah, tingginya kira kira tiga orang berdiri. Batu besar itu bercelah, yang muat satu tubuh manusia. Tanpa sangsi lagi, Poei Keng hampiri batu itu, terus ia sembunyikan diri, tetapi matanya dibuka lebar, dipakai mengintip. Hatinya bekerja, berdebar-debar. Sambil menanti ia pikirkan kata-kata si anak muda, benar atau tidak, terbukti atau tidak.....” Sekian lama waktu telah lewat, tidak ada gerakan apa-apa di situ. Poei Keng sabarkan diri, ia menanti terus. Cuaca telah menjadi semakin terang. Masih ia menanti, sampai ia tampak sinar matahari mulai muncul, dari remangremang merah menjadi merah, memberi pemandangan dari keindahan alam. Tanpa merasa, banyak kupu-kupu muncul dan terbang berseliweran, seperti memain di antara bunga bunga. Biar ia seorang militer, yang umumnya dianggap kasar, Poei Keng tertarik pada keindahan itu, hingga ia mengawasi dengan tersengsam. Sebentar lagi, cahaya matahari mulai menembus hutan toh itu. Matanya Poei Keng seperti terang, ketika mendadak, ia tampak satu orang di antara bunga-bunga itu, ialah satu nona muda dengan baju dan koen-nya berwarna putih, hingga si nona mirip satu dewi. Tak tahu ia, dari mana munculnya anak dara itu. Selagi mengawasi, Poei Keng heran atas kelakuan si nona. Nona itu menggerak gerakkan tangannya, lalu pinggangnya habis itu ia lari mengitari pohon-pohonan, terus dia berlari-lari, makin lama makin keras, hingga akhirnya, punggawa itu seperti kabur penglihatannya. Karena ia mengawasi terus, ia seperti merasa tubuhnya turut lari berputar-putar. Benar di saat ia mulai pusing, nona itu berhenti berlari, tetapi dia bukan berhenti untuk beristirahat, perlahan-lahan dia hampirkan sebuah pohon, dan dengan sekonyong-konyong lompat mencelat naik ke atas, guna berlompatan pula, dari pohon yang satu kepohon yang lain, gerakannya cepat bagaikan burung terbang, gesit seperti kera. Karena kagumnya, Poei Keng mengawasi dengan mulut ternganga. "Benarkah dia ini si orang luar biasa seperti dikatakan si pemuda?" akhirnya dia menduga-duga. Selagi mengawasi terus, Poei Keng lihat si nona lompat turun, selagi turun, tangan bajunya melayang, tertiup angin, hingga nona itu bagaikan dewi tengah menari. Berbareng dengan turunnya si nona, bagaikan tertiup angin musim semi, bunga bunga toh itu pada rontok, melihat mana, si nona tertawa panjang, dengan tangan bajunya ia mengebut ke arah rontokan bunga, hingga banyak bunga yang teraup masuk ke dalam tangan bajunya itu! Poei Keng menjadi menjublak. "Apakah benar di kolong langit ini ada nona begini elok?" dia tanya dirinya sendiri. Rombongan kupu-kupu, yang tadi terbang pergi karena aksinya si nona, sekarang datang pula, akan bermain di antara pohon-pohon bunga itu, menampak demikian, si nona mengebut dengan tangan bajunya dan rontokan bunga tadi terbang berhamburan, mengenai banyak kupu-kupu, yang menerbitkan suara dan rubuh. Poei Keng heran dan kagum. Ia tidak sangka, rontokan bunga bisa dipakai sebagai senjata rahasia. Ia pun berkasihan terhadap kupu-kupu itu, yang ia sangka rubuh binasa, tidak tahunya, selang beberapa saat, semua kupu-kupu itu menggerakkan tubuhnya dan terbang pula! "Oh, kupu-kupu!" kata si nona. "Kasihan, aku menyebabkan kamu kaget, aku telah mengganggu padamu.....” Dan dia tertawa merdu. Habis itu, dia bertindak pergi, akan masuk ke dalam rumah kecil. Berbareng dengan itu, Poei Keng terperanjat. Kalau tadinya ia berhati lega, sekarang hatinya menjadi tegang. Sebab berbareng dengan itu, sinar matahari pun menyerang kecelah-celah batu tempat ia mengintai! "Tepat benar dugaan si anak muda," pikir ia. "Baharu si nona masuk atau matahari menyerbu kecelah-celah ini....." Sekalipun ia masih ragu-ragu, Poei Keng toh keluar dari tempat sembunyinya. Ia tahu benar, inilah saatnya ia mati atau hidup. Ia berlaku hebat, ia hampirkan sebuah pohon, untuk naik ke atasnya, guna mengikat tambang, buat mengalak lehernya, setelah mana ia gantung diri! Lagi sekali punggawa yang bercelaka ini rasakan lehernya sakit dan terkancing, ia mulai susah bernapas. Selagi berbuat begitu, ia mengawasi ke arah rumah, ia harap si nona muncul, untuk menolongi padanya. Celakanya, untuk menjerit, ia sudah tak punyakan kemampuan. "Mati aku sekarang!.....” keluhnya, matanya berkunang-kunang. Maka ia menyesal bukan main, ia antarkan jiwa percuma. Dalam keadaan seperti itu masih sempat ia menduga apa bukannya si anak muda telah permainkan padanya... Lalu kedua kakinya seperti berjingkrakan, sampai bunga-bunga pada rontok. Karena ia bergerak,lehernya terjerat semangkin keras, hingga matanya gelap, pikirannya lenyap. Di saat itu, ia masih merasa seperti ada angin meniup tubuhnya, lalu ia rasakan lehernya lega, sampai ia sanggup bernapas pula. Kemudian, ia buka mulutnya tetapi belum dapat ia berbicara. Berbareng dengan pulihnya napasnya, Poei Keng buka kedua matanya, maka di depannya ia tampak si nona cantik tadi, yang sedang mengawasi padanya. "Terima kasih," ia mengucap dengan perlahan, karena ia tahu, pasti si nona yang telah menolongi padanya. Dengan sinar mata yang tajam, nona itu masih mengawasi. "Eh, punggawa perang, mengapa kau nekat?" tanyanya sambil menatap terus. Poei Keng memberi hormat sambil paykoei. "Aku sedang dalam kesulitan besar," sahutnya. Dan ia tuturkan pembegalan harta antaran yang besar sekali itu. "Menurut undang-undang tentara, aku dapat dihukum picis.....” Nona itu kerutkan alisnya. Tiba-tiba ia kibaskan tangannya. "Itulah urusan yang tak dapat aku mengurusnya!" katanya. Poei Keng kaget, hatinya tegang. Ia sambar ko-en si nona. "Tolong aku, nona," katanya, terus ia menangis, "aku masih mempunyai ibu yang sudah tua serta anak yang masih kecil, jikalau kau tidak menolongi aku, tiga jiwa yang penasaran akan melayang bersama..." Nona itu berpaling. "Benarkah itu?" dia tanya. "Jikalau aku mendusta, biarlah aku digantung pula," sahut Poei Keng. Air mukanya si nona berubah menjadi keren. "Kebetulan aku niat cari mereka, baiklah, aku nanti coba mencampuri urusanmu ini!" katanya kemudian. Poei Keng girang tak kepalang. "Terima kasih, nona, terima kasih!" katanya sambil manggut-manggut. "Eh, kau bikin apa?" nona itu menegur. "Aku bukannya orang mati, mau apa kau manggut-manggut tak hentinya? Ah, apakah kau ingin merasai pula enaknya orang gantung diri? Ya, siapakah yang menganjurkan kau dating minta bantuanku?" "Tidak, tidak ada yang menganjurkan," Poei Keng menyangkal. Ia ingat baik pesan orang. "Berapa kali sudah kau mencoba menggantung diri?" si nona tanya. "Baharu ini kali," punggawa itu menyangkal pula. Si nona berdiam, tiba-tiba ia tertawa. "Memang sebenarnya, aku peduli apa kau sudah gantung dirimu berapa kali!" katanya pula. Mendengar ini, bercekat hatinya Poei Keng. Baiknya si nona segera tambahkan kata-katanya itu: "Telah aku katakan, aku hendak menolongi kau," katanya, "tidak perduli ada orang telah tunjukkan kau jalan, aku toh akan menolong kamu. Menggantung diri itu tidak enak, lain kali jangan kau mencoba pula..." Lantas dia tertawa dengan manis, sampai dua kondenya memain. Menurut Poei Keng, nona ini baharu berumur enam atau tujuh belas tahun, yang tampak dari wajahnya yang masih kekanak-kanakan, tanpa merasa, ia jadi berkuatir. Ia sangsi: "Dapatkah nona muda belia ini, seorang diri melawan kawanan berandal yang besar jumlahnya?" Tapi si nona tak beri kesempatan akan dia berpikir banyak. "Nah, mari kau turut aku!" dia mengajak. Poet Keng berbangkit, dia ikut memasuki rumah kecil. "Kau tentu telah lapar, mari dahar dulu daging harimau," kata nona itu. Belum Poei Keng menyahuti, atau ia sudah terperanjat. Dipojok ia tampak seekor harimau besar sedang rebah. Si nona lihat orang kaget. "Itulah bangkai harimau!" katanya sambil tertawa. "Mengapa kau takut! Apa kau dapat keset kulit harimau?" "Pernah aku lihat pemburu melakukannya," ja* wab Poei Keng. "Kalau begitu, coba kau tolong kesetkan," kata si nona. "Tapi aku lihat tendangan kau kepada pohon toh, kau tentu kuat angkat harimau ini yang beratnya tiga ratus kati." Poei Keng heran. Tidak aneh si nona bisa rubuhkan harimau, tapi ia tidakmengerti si nona dapat menerka kekuatan tendangannya tadi cuma dengan melihat saja. "Benar, dia satu ahli silat," pikirnya. Tidak lama, sehabis dahar daging harimau, Poei Keng lihat sang waktu sudah tengah hari. Dari tembok, si nona turunkan sebatang pedang. "Mari turut aku, kita pergi cari si orang jahat," dia kata. "Kita minta kembali uangmu itu." Poei Keng menurut. Mereka mendaki gunung sampai di tempat yang rimbanya lebat dan di kedua pihak terdapat puncak-puncak yang tinggi. Di situ ada sebuah gua, yang menghadapi tanah datar lebar. "Mungkin ini ada tempat di mana penjahat menyimpan harta itu," kata si nona. "Mari!" Dan ia maju terus. Poei Keng pun ikut nona itu. Belum jauh mereka maju, atau tiba-tiba: "Tahan!" Dan menyusul itu, dari antara semak-semak, lompat keluar dua orang dengan masing-masing memegang sebatang toya ditangannya, malah dengan senjata panjang itu, mereka sudah lantas mengemplang! Hebat serangan itu. Nona itu lompat ke samping, kedua pentungan itu menyerang tempat yang kosong. Sambil lompat, nona itu gerakkan tangannya, atas mana, dua orang itu nyelonong ngusruk, pertama karena serangan mereka hebat, kedua toya mereka kena ditarik. Keduanya rubuh terbanting dan terus terjengkang, ke empat, kaki mereka menjulang ke atas! " "Hm!" si nona mengejek, ia tertawa dingin. Lalu, tanpa menoleh lagi, ia maju terus, dengan berlari-lari. Di depan gua, terdapat banyak batu-batu besar yang malang melintang, dengan tongkrongannya agak mirip dengan singa atau harimau atau kuda atau kerbau, yang mengitari sebuah tanah lapang dan rata. Tanpa ragu-ragu, nona itu lari masuk ke dalam tanah lapang itu, yang mirip dengan barisan batu rahasia. "Tahan!" mendadak terdengar pula bentakan nyaring. Itulah bentakannya dua orang, sebab dari belakang batu-batu besar, muncul dua orang dengan serangan golok dan tombak mereka kepada dada dan lutut. Dengan berlompatan, si nona mengelak, kedua tangannya pun dikibaskan. "Tak dapat kamu mencegat aku!" katanya dengan tawar. Ia tertawa. Dua penyerang itu tidak rubuh ngusruk seperti dua kawannya tadi, tapi mereka tercengang, hingga mereka diam menatap. "Mari!" si nona menggape kepada Poei Keng. "Kau adalah pemilik harta, tanpa kau datang, kepada siapa harus aku kembalikan uang itu?" Poei Keng belum masuk ke dalam lapangan itu, mendengar suara si nona, ia besarkan hati, ia bertindak maju. Justeru itu waktu, si nona sudah tempur dua penyerang yang pertama, yang dibantu dua kawannya, yang muncul belakangan, yang bersenjatakan golok dan tombak. Si nona tidak hunus pedangnya, ia hanya berkelahi dengan tangan kosong, karenanya, ia banyak berkelit atau lompat menyingkir, tubuhnya lincah sekali hingga ia mirip kupu-kupu di antara bunga-bunga atau capung bermain di air. Poei Keng mengerti silat tetapi mengawasi gerakan si nona, ia tidak berani mengawasi terus-menerus. Dengan cepat matanya berkunang-kunang dan kabur..... Ia mesti mengaso sebentar, baharu ia berani mengawasi pula. Setelah bertempur sekian lama, si nona berseru, tangannya menyambar lawannya yang kiri, yang bersenjatakan tombak. Lawan itu berada di sebelah depan kawannya. Melihat itu, tiga kawannya yang lain segera datang. Yang maju terdepan adalah kawannya yang kanan, yang menyekal golok, disusul yang kiri, yang menggenggam tombak, lalu yang memegang toya. Orang yang diserang itu kaget, untuk membela dirinya, dia jatuhkan dirinya bergulingan. Si nona tidak dapat menyusul, sebab tiga senjata datang saling susul, maka ia menyambut dengan mendahului kakinya. Penyerang itu terpaksa lompat mundur. Kembali si nona kena dikurung, tapi ia tidak berada dalam bahaya. Ia malah waspada, hingga ia lihat satu orang berdiri di antara batu sedang menarik busur mengarah padanya. Poei Keng pun lihat orang itu, ialah Beng Kie yang kemarin ini mematahkan busurnya, karena kagetnya, ia berteriak: "Awas panah gelap!" Tapi belum sampai ia menutup mulutnya, atau busurnya si mahasiswa kurus sudah menjepret dan anak panahnya melesat! Seperti juga ia tidak melihat bokongan, si nona tetap melayani musuhmusuhnya, akan tetapi ketika panah itu sampai, dengan tenang ia menyambuti dengan tangannya. Panah Beng Kie yang kedua sudah segera menyambar pula! Gentar hatinya Poei Keng, ia sangat berkuatir pada si nona dalam kurungan musuh, ia insyaf si kurus, sebagai ahli panah, pandai melepaskan panah beruntun. Itulah berbahaya. Tapi si nona walaupun sedang repot, ia masih dapat tanggapi panah yang kedua ini, tapi ia bukan tanggapi dengan tangan, hanya dengan panah ditangannya, yang ia pakai menimpuk, hingga dua anak panah bentrok satu pada lain, lalu mental dan jatuh ke tanah! "Bagus!" teriak Poei Keng, yang lupa pada kagetnya. Panah yang ketiga yang sudah melesat pula, sasarannya adalah tenggorokan si nona, hingga punggawa itu menjadi terkejut pula. Kali ini si nona tidak gunakan tangannya, ia hanya sambuti anak panah itu sambil membuka mulutnya, guna menggigit panah itu. Sebab ia gunakan kepandaiannya yang paling liehay dalam hal mentanggapi panah! Baharu sekarang, setelah dibokong beruntun, si nona perlihatkan roman murka. "Kehormatan tidak dibalas kehormatan adalah terlalu!" katanya nyaring, lalu tangan kirinya dipakai menyambit dengan enam batang senjata rahasia yang romannya mirip dengan bunga bwee..... -ooo00dw00ooo- BAB II Poei Keng belum melihat nyata akan tetapi kupingnya telah mendengar jeritan saling susul, sesudah mana ia dapat kenyataan, kecuali Beng Kie si kurus itu, empat lawannya si nona telah rubuh semua. Beng Kie sendiri dapat mengelakkan diri dua kali dari dua batang senjata rahasianya si nona itu. "Sanhoa Liehiap, namamu masyhur tidak kecewa!" demikian dia berseru setelah dia mendapat serangan pembalasan. Menyusul pujiannya Beng Kie itu, empat lawan yang tadi menjerit dan rubuh, telah lompat bangun pula dengan masing-masing tangannya menggenggam senjata rahasia yang dipakai menyerang mereka, sambil bangkit berdiri hampir berbareng mereka berkata: "Kami menghaturkan terima kasih untuk kebaikan liehiap1. Kami semua takluk!" Nyata mereka telah terserang senjata rahasia yang digunakan dengan ilmu "Thianlie sanhoa" atau "Puteri kayangan menyebar bunga", mereka terkena jalan darah begitu rupa, hingga setelah rubuh dan "beristirahat" sebentar, lantas mereka sadar pula akan dirinya, karena mana mereka jadi insyaf bahwa si nona telah berlaku murah hati terhadap mereka. Maka mereka mengucap terima kasih. Nona berbaju putih itu tersenyum. "Kiranya kamu sedang mencoba-coba aku, untuk mengetahui aku siapa!" berkata dia. "Sekarang tentunya kamu suka mengembalikan hartanya sahabat ini, bukan?" tanyanya sambil menunjuk Poei Keng. Beng Kie menunjuk ke arah gua. "Sayang kamu datang terlambat!" katanya. "Sekarang harta itu sudah dibawa pindah!" Padam wajahnya si nona. Baharu ia hendak menanya atau si kurus telah dului dia. "Kamu mesti melakukan perjalanan lebih jauh!" katanya. "Untuk itu kami telah menyediakan kudanya. Poei Thaydjin, tadi malam kau telah merasakan kaget.....” Merah mukanya Poei Keng. "Kalau begitu, hendak aku mengunjungi tjeetjoe kamu," kata si nona, yang menyebut-nyebut nama pemimpinnya (tjeetjoe). "Nah, mari, kita berangkat sekarang!" Beng Kie perdengarkan suitan mulut yang nyaring, atas mana dari belakang batu keluar seorang dengan menuntun empat ekor kuda. Tanpa berkata suatu apa, si nona lompat naik ke atas seekor kuda, dan segera pula ia ikuti pengantarnya, yang pun telah naik kudanya seperti ia, begitupun Poei Keng. Mereka lakukan perjalanan di gunung yang sukar, kuda mereka dilarikan keras, hingga si punggawa, sekalipun dia seorang peperangan, hatinya goncang juga. Syukur baginya, ke empat ekor kuda itu sudah biasa dengan jalanan itu, mereka lari tetap di tanah datar. Mereka berlari-lari sampai matahari sudah berada di atas kepala mereka, lalu Beng Kie, sambil mengayun cambuknya, menunjuk dan berkata: "Di bawah ini ada kota Ganboenkwan. Teng Tjongpeng telah bersiap-siap untuk besok membayar gaji, karena uangnya tidak ada, sekarang entah bagaimana sibuknya dia.....” Poei Keng heran. "Apakah kita sudah melalui Ganboenkwan?" tanyanya "Apakah kamu bukannya orang-orangnya Kimtoo Tjeetjoe dari rombongan Djitgoat Kie?" "Kau cuma tahu uangmu apa, tak usah kau banyak tanya!" Beng Kie senggapi. Poei Keng berdiam, hatinya memukul. Di dalam hatinya, dia berpikir: "Si bangsat tua Kimtoo itu tidak biasanya merampas angkutan negara, kenapa kali ini dia tentangi kebiasaan itu? Inilah hebat sebab sebegitu jauh aku tahu, Kimtoo ada bangsat tak takut langit tak jeri bumi, sampaikan tentara Beng dan Pasukan Tartar juga tidak berani mengganggu padanya. Jikalau dia kehendaki harta besar itu, pastilah aku tidak akan mendapat kembali angkutanku itu..... Jangan-jangan kepergian ini lebih banyak bahayanya daripada kebaikannya..." Kuda berlari-lari terus sampai mereka tiba di suatu tempat terbuka yang merupakan tanah subur — di sana ada sawah-sawah di mana terdapat sejumlah orang tani yang tengah bekerja. Dilihat sepintas lalu, tempat itu mirip dengan apa yang disebut dongeng To Hoa Goan — Sumber Bunga Toh. "Di sini tentu ada sarangnya kawanan Kimtoo itu.....” Poei Keng mendugaduga. Masih kuda dilarikan terus, sekarang di jalan pegunungan, sebab dikedua tepi ada lamping gunung di mana sering-sering terlihat bayangan orang berkelebat begitupun berkibarnya bendera-bendera. Tidak lama kemudian, sampailah mereka di muka pesanggrahan. Benteng berandal itu, dengan didampingi gunung, nampaknya bagus dan kuat. Di situ ada sarang berandal tapi suasananya tenang. Dengan pikiran ragu-ragu Poei Keng, yang telah turun dari kudanya, ikut si nona berjalan kaki. Si nona telah mendahului dia turun dari kuda, ia menelad perbuatannya pengantar mereka. Segera juga ada orang yang papak mereka, untuk memimpin, masuk ke dalam pesanggrahan di mana lantas terdengar suara genta yang nyaring serta ramainya bunyi tambur dan terompet tanda penyambutan. Pintu pesanggrahan sudah lantas dipentang lebar-lebar, di situ lantas tampak dua baris serdadu berandal lengkap dengan alat-senjata mereka — golok dan tombak yang berkilau-kilauan, sedang seragam mereka mentereng. Disambut secara demikian garang si nona berbaju putih perlihatkan wajah berseri seri, seperti juga bukan menghadapi ancaman, ia bertindak dengan tenang. Poei Keng sebaliknya beda dari si nona, walaupun ia seorang peperangan, cuma dengan tabahkan hati seberapa bisa, bisalah ia ikuti teladan si nona, mengikuti nona itu terus sampai di tiongtong, ruang tengah, dari sarang berandal itu. Di dalam ruang telah diatur rapi meja serta kursi-kursinya yang terlapis kulit harimau, tetapi di situ tidak ada orang yang menyambut atau menantikan. Artinya ruang itu adalah ruang kosong. Menampak demikian, si nona memperlihatkan roman tak puas. "Mana tjeetjoe kamu" tanyanya, dengan suara tak senang. Beng Kie tersenyum. Dia tidak menjawab, hanya dua orang, yang tubuhnya tegap, lantas menyingkap tirai untuk bertindak keluar sambil membawa satu guci arak yang besar serta nenampan terisi makanan. Guci itu bersinar kuning keemas-emasan rupanya terbuat dari tembaga, dan beratnya mungkin ada lima sampai tujuh puluh kati. Sedang barang hidangannya, asapnya masih mengepul-ngepul, tapi pada tiap dagingnya ada ditancapkan pisau belati yang tajam mengkilap. Kedua orang itu segera membuka mulutnya, sambil menjura, yang satu berkata dengan nyaring: "Tamu agung datang dari tempat yang jauh, menyesal kami tidak dapat menyuguhkan apa-apa, maka itu silakanlah minum barang satu cawan arak!.....” Kata-kata itu belum diucapkan habis atau orang itu sudah melemparkan guci araknya, dilemparkan kepada tetamunya yang agung itu... Si nona tidak jadi gentar hatinya, wajahnya pun tak berubah. "Jangan sungkan!" sahutnya sambil mengangkat tangannya, sedang tubuhnya digeser ke samping. Dengan cara itu dia sambuti guci arak, gucinya tidak miring, isi araknya, tidak tumpah. Sedang menurut perkiraan, timpukan orang itu ditaksir ada dua tiga ratus kati beratnya. Si nona tersenyum, dia tundukkan kepalanya, akan irup arak dari guci itu. "Sungguh arak yang wangi, arak yang wangi!" dia memuji. Kedua orang itu menjadi kaget, tapi yang di belakang yang membawa barang hidangan, menjadi penasaran. "Nah inilah temannya arak!" dia berseru, menyusul mana, sebatang pisau belati melayang, menyambar si nona. Si nona tersenyum. Dia tidak berkelit atau menangkis, hanya, membuka mulutnya, dia tanggapi pisau belati itu, untuk digigit, setelah mana, dia buka pula mulutnya, akan semburkan pisau itu, yang terus melesat ke atas, nancap di penglari. Kedua orang itu heran dan kaget, muka mereka menjadi pucat. Mereka saling memandang dengan menjublak. "Nah ini aku balas arak satu cawan pada kamu!" kata si nona, suaranya keras, tangannya yang memegang guci segera digerakkan. Maka guci itu lantas melayang ke arah kedua orang itu, hingga mereka terkejut dan ketakutan bukan main. Mereka terpagut untuk berkelit atau menyingkir..... Di saat yang sehebat itu, mendadak satu anak muda lompat keluar, sebelah tangannya digerakkan, guna menyambut guci yang dibantu dengan gerakan sebelah kakinya, lalu diturunkan dengan perlahan-lahan, hingga guci tidak terbalik, araknya tidak tumpah. "Hai, dua kutu!" bentak anak muda itu. "Untuk melayani tetamu saja kamu tidak becus, tapi masih kamu berani lama-lama berdiam di sini!" Habis berkata, terus dia hadapi si nona, untuk memberi hormat, untuk terus berkata: "Maaf, maaf, nona!" Ketika Poei Keng lihat si anak muda, dia terkejut, hatinya bercekat. Dia kenali si anak muda yang telah menolongi jiwanya tadi malam, yang menasehati dan menganjurkan dia mohon bantuannya si nona, si orang luar biasa, Cuma kalau tadi malam orang dandan sebagai orang tani, sekarang ia dandan sebagai satu pemuda hartawan atau terpelajar, sikapnya halus. "Kau liehay, kongtjoe1." kata si nona, yang membalas hormat. Kedua orang itu, dengan tangan mereka diturunkan, menyapa pemuda itu dengan berkata: "Siauwtjeetjoe1." Itulah tandanya pemuda itu adalah tjeetjoe, atau ketua mereka, yang muda. Setelah hunjuk hormatnya itu, sambil tertawa, si nona tambahkan: "Nah sekarang baharulah aku ketemu orang yang tepat! Aku mohon sukalah siauwtjeetjoe mengembalikan harta angkutan sahabat ini!" "Uang sejumlah itu, tak usahlah dibuat pikiran," sahut si anak muda. "Nona, silakan duduk!" Terus ia memanggil: "Mana orang?" Segera ia melirik pada Poei Keng, yang ia silakan duduk juga, hanya selagi melirik, matanya memain, mata itu mengandung arti. Ia seperti hendak berkata: "Kau lihat, petunjukku toh tidak keliru!" Poei Keng duduk menjublak, ia benar-benar tidak mengerti. "Kalau si anak muda ada pemimpin berandal yang muda, kenapa dia begal angkutanku dan berbareng juga menolong padaku? Kenapa anak muda itu membuatnya hingga si nona baju putih datang ke sarang berandal ini? Adakah itu tipu daya belaka dari si anak muda?" demikian ia berragu-ragu. Ia pun kuatir sekali, karena mereka berada dalam sarang harimau, di dalam dan di luar ada banyak musuh. Punggawa ini tidak usah menantikan lama atau datang orang-orang yang mengangkut harta yang menjadi tanggung jawabnya itu, hingga harta itu bertumpuk dilorak. "Sungguh kau baik, siauwtjeetjoe1." memuji si nona. "Terima kasih!" Anak muda itu tertawa. "Eh, tunggu dulu!" katanya. Si nona tercengang. Satu berandal sudah lantas tancapkan bendera pada tumpukan harta, itulah benda dengan matahari merah serta bulan sabit. Itulah Djitgoat Kie, bendera Matahari dan Rembulan, tanda dari kawanan di atas gunung itu. Si anak muda tersenyum, lalu dari atas meja ia angkat poci arak yang kecil, ia tuang isinya ke dalam dua cawan, sesudah mana, cawan yang satu segera ia tenggak. Habis minum, ia tertawa. "Jumlah uang empat puluh laksa tail ini benar tak usah dibuat pikiran, tetapi benderanya Djitgoat Kie berharga mahal bagaikan harga sebuah kota!" katanya. Kedua mata si nona menyapu kesekitarnya hingga ia tampak banyaknya kawanan berandal di dalam ruang itu mereka itu tenang tetapi terang sekali mereka semua memperhatikan padanya. Tentu saja ia merasa heran hingga rasa heran itu tertera pada wajahnya. "Apakah artinya kata-katamu ini, siauwtjeetjoe?" dia tanya. Pemuda itu tidak lantas menyahuti, ia hanya tersenyum pula. Si nona berpikir, ia seperti ingat suatu apa. "Oh, ya, bendera ini adalah bendera rombonganmu," katanya. "Memang bendera ini mahal yang tak dapat ditukar dengan uang puluhan ribu tail! Tapi, apakah hubungannya bendera ini dengan urusan kita?" Anak muda itu tidak menjawab, dia hanya tertawa. Sebaliknya hampir semua berandal telah perlihatkan roman dari kemurkaan. Poei Keng dengar semua pembicaraan ini, ia saksikan sikapnya si anak muda dan romannya kawanan berandal itu, ia berkuatir bukan main, hingga di dalam hatinya, ia mengeluh. "Nona ini benar liehay ilmu silatnya," ia berpikir, "tapi ia adalah satu anak dara yang mirip dengan anak pitik, buktinya, tanda-tanda dari kaum kangouw, ia tidak mengerti sama sekali! Bendera ditancap berarti: "Jikalau kau mempunyai kepandaian untuk mencabutnya, baharu harta itu kau boleh ambil, jikalau tidak, baiklah kau mundur!" Terang inilah satu tantangan, maka kali ini, bahaya sungguh mengancam!.....” Si nona ulangi pertanyaannya, ia tetap tidak peroleh jawaban, karena mana, wajahnya berubah menjadi merah, suatu tanda bahwa ia sudah mulai habis sabar. Begitulah, dengan alis berdiri, ia berbangkit. "Harta telah ada di sini, masihkah kau tidak hendak menghitungnya?" dia berkata pada Poei Keng sambil melambaikan tangannya. "Bendera itu adalah kepunyaan mereka jangan kau ambil, kau biarkan saja!" Habis berkata, si nona putar tubuhnya, untuk bertindak, atau segera ia dengar tertawanya si anak muda, siapa dengan menenteng poci arak, dengan gerakan tubuhnya yang gesit, sudah maju menghalang dihadapannya. "Nona, baiklah kau duduk dulu untuk minum arak!" katanya, jelas dan terang. Si nona menjadi gusar. "Tak sudi aku minum arak! Siapa dapat memaksa aku?" dia kata. Dan dia bertindak terus, maju. Si anak muda menolak poci arak ke depan, tangan kirinya mengangkat cawan arak. "Apakah muka terang ini tak hendak diberikan padaku?" ia tanya. Poci dan cawan segera juga mendesak dada dan muka si nona. Itulah semacam serangan yang liehay sekali. Akan tetapi, begitu si nona berkelit, si anak muda telah menubruk tempat kosong, maka juga cawan lantas jatuh dan pecah hancur berserakan, araknya berhamburan. Si nona, dengan kegesitannya, telah membentur tangannya. Si anak muda nyata liehay, setelah cawannya terlepas dan jatuh, ia tidak mundur, sebaliknya, ia maju terus menghalang dengan pocinya, mulut poci diarahkan ke buah dada si nona. Masih si nona dapat berkelit, berbareng dengan itu dia mendorong dengan kedua jari tangannya, hingga poci arak tertolak miring, araknya tumpah di lantai, baunya tersiar memenuhi ruangan. Hal itu membuatnya semua orang heran dan kaget, tetapi poci arak tetap dicekal oleh si anak muda. Dua kali mereka mengadu kepandaian, nyatanya si nona masih menang satu tingkat. Si anak muda, yang ilmu silatnya tidak lemah, tidak berhenti sampai di situ. Dengan teruskan menindak satu kaki, ia putar tubuhnya, hingga tetap ia berada di muka si nona. "Biar bagaimana, arak ini mesti kau minum!" katanya tegas. Kali ini ia majukan pocinya dengan gerakan "Lioeseng kangoat", atau "Bintang meteor menguber". "Kau harus memberi muka padaku!" Si nona mundur dua tindak, untuk berkelit. Sepasang alisnya berdiri, romannya berubah. Berbareng dengan itu, ia hunus pedang dipinggangnya, hingga sinarnya berkilauan. Mau atau tidak, anak muda itu pun mundur dua tindak, poci araknya dipakai melindungi dadanya. Dengan cara itu, ia menutup dirinya. Nona dengan baju putih ini segera menuding. "Kau sangat tidak tahu aturan!" serunya. "Mari kita main-main!" Semua berandal segera mundur sampai empat tindak, untuk membikin ruangan jadi terbuka lebar. Tapi berbareng dengan itu, mereka pererat kurungan mereka, supaya mereka bisa meluruk begitu lekas si anak muda keteter. Hatinya Poei Keng menggetar, mukanya pucat. Ia jadi sangat berkuatir. "Biar ia liehay, mana dapat si nona lolos dari kedung naga dan gua harimau ini?" pikirnya. Ia merasa, kalau nanti mereka berdua diserbu tentara berandal, tubuh mereka mesti dicingcang habis. Sementara itu, ruang jadi sangat sunyi, tapi suasana menyeramkan. Si pemuda dan pemudi tetap berdiam, karena pemuda itu tetap bersiap diri saja. Di luar, dari kejauhan, terdengar suara terompet. Si anak muda segera lompat mundur. Itu waktu juga dari luar terlihat masuknya serombongan orang, yang jalan di muka adalah seorang tua dengan kumis jenggot panjang, usianya sudah enam puluh lebih akan tetapi tubuhnya, romannya masib gagah. Si nona mengawasi, lalu ia memberi hormat. "Apakah aku berhadapan dengan /ootjeetjoe?" dia tanya. Si orang tua tersenyum. "Telah kudengar nona datang, menyesal, aku terlambat menyambut" sahutnya. Sambil mengucap, ia tatap si nona, sikapnya agak luar biasa memperhatikannya. Tak enak hati si nona ditatap secara demikian. Tapi tak apa ia dengan pedangnya. "Telah lama aku dengar nama masyhur dari tjeetjoe." katanya, tjeetjoe yang mulia tak timpalan, maka itu hari ini beruntung aku telah datang berkunjung. Adalah maksudku untuk sekalian memohon sesuatu dari tjeetjoe." "Kau memuji, nona," kata si orang tua dengan jawabannya. Lalu dengan tiba-tiba ia menanya: "Berapa usia nona tahun ini? Apakah kau shio Yo?" Si nona tidak sangka ia bakal ditanya begitu rupa, tidak heran ia jadi melengak. Berbareng dengan itu, ia pun merasa kurang enak. "Apakah lootjeetjoe maksudkan usiaku masih terlalu muda dan pengetahuanku cetek sekali hingga tak pantas aku mendaki gunung ini?" dia tanya. "Apakah tak pantas aku memohon sesuatu?" Ditanya begitu, orang tua itu usap-usap kumisnya, ia tertawa terbahakbahak. "Harap kau tidak mengatakan demikian, nona," sahutnya. Tapi si nona mendesak, dia menuding kepada harta yang bertumpuk. "Harta empat puluh laksa tail perak ini ada uang tentara kota Ganboenkwan," katanya, "dengan turun tangannya lootjeetjoe, bukan saja mencelakakan jiwa tuan punggawa ini kau pun membuat beberapa laksa jiwa serdadu di dalam kota, hanya minum angin barat daya!" Kembali si orang tua tertawa terbahak-bahak. "Mustahil aku tak ketahui itu, nona?" sahutnya pula, ringkas. Masib si nona mendesak: "Jikalau lootjeetjoe telah ketahui bahayanya, sudah selayaknya kau kembalikan harta itu," kata dia. Si orang tua urut-urut kumis jenggotnya. "Ah, nona, ada sesuatu yang kau belum ketahui.....” katanya. "Kalau begitu, tolong tjeetjoe beri penjelasan kepadaku" Si orang tua tunjuk benderanya. "Menurut aturan kaum Rimba Hijau," katanya menjelaskan. "Jikalau perampasan telah dilakukan, apa yang dirampas itu tak dapat dikembalikan cuma dengan kata-kata saja. Harta adalah urusan kecil, adalah keangkeran bendera yang harus dilindungi. Nona, karena kau hendak membelai tuan punggawa ini, untuk itu silakan kau berikan beberapa jurus dari kepandaianmu guna membuka mata saudara saudara di sini. Kalau tidak, andai kata harta itu aku kembalikan, mereka tentu tidak puas.....” Kembali nona itu perlihatkan kemurkaannya. "Aku melainkan tahu, mendengar nama kalah dengan bertemu muka," katanya kaku, "siapa tahu ternyata sekali bertemu muka kalah dengan mendengar nama! Baiklah, sekarang silakan lootjeetjoe menyebutkannya!" Lagi-lagi si orang tua tertawa. "Oh, nona kecil," katanya. "Memang di dalam dunia ini lebih banyak bertemu muka kalah dengan mendengar nama! Demikian juga dengan aku si tua bangka ini! Bukankah kau sesalkan aku yang tidak lekas-lekas dan dengan rela menyerahkan kembali harta ini?" Nona itu mengawasi, ia tidak berikan penyahutannya. Ia benar-benar seperti membawa perangai satu bocah cilik. Untuk kesekian kalinya, orang tua itu, si kepala berandal, tertawa. "Akan aku berikan keterangan yang jelas kepadamu!" katanya kemudian. "Kau mendaki gunungku dengan membawa-bawa pedang, tentunya dalam hal ilmu pedang kau telah berlatih dengan seksama, maka sekarang, baiklah dengan golok Kimtooku ini, aku layani pedangmu untuk beberapa jurus. Di dalam ilmu silat, tidak ada orang yang terlebih dahulu belajar atau belakangan, hanya siapa yang tekun dan sungguh-sungguh, dialah yang berhasil, karena itu, aku minta, janganlah karena kau pandang usiaku yang lanjut, nanti kau menaruh belas kasihan atas diriku. Nona, jikalau kau yang menang, harta empat puluh laksa tail ini akan aku kembalikan dan aku yang akan mengantarkan sendiri, aku tanggung satu tail juga tidak kurang!" Aneh nampaknya orang tua ini, sambil bicara, ia minta arak, ketika ia habis bicara, dua cawan telah ditenggak kering, ia menantang tetapi suaranya tetap hormat dan manis, cuma sikapnya tegas. Habis minum, ia lemparkan cawannya ke arah penglari, hingga ia lihat pisau belati nancap di situ, segera ia menanya dengan bengis: "Penglari yang tidak kurang suatu apa, siapakah yang tancapkan pisau di atasnya?" Hampir berbareng dengan hancurnya cawan, yang jatuh meluruk ke tanah, pisau belati itu pun turut jatuh. Mau atau tidak, si nona terkejut juga. Si orang tua telah perlihatkan tenaga dalamnya. Tanpa latihan yang sempurna, tidak nanti pisau itu kena dilempar jatuh. Karena ini, ia ubah maksudnya untuk melayani si orang tua dengan tangan kosong, tanpa ragu-ragu lagi, ia hunus pedangnya terus lompat ketengah ruangan di mana ia berdiri sambil merangkapkan kedua tangannya. "Silakan tjeetjoe beri ajaran padaku!" ia mengundang. Orang tua itu awasi senjatanya si nona. "Pedang yang bagus!" ia memuji. Terus ia lambaikan tangannya, atas mana muncul dua serdadunya, yang datang membawa golok Kimtoo yang besar dan cahayanya bersinar berkeredepan. Setelah ia terima, ia lonjorkan golok itu, yang ia cekal dengan kedua tangannya. "Kimtoo, kali ini kau bertemu tandinganmu!" ia kata. Terus ia tertawa. Setelah orang tua ini bersiap, keduanya sudah lantas berhadapan. Si nona tahu ia menghadapi seorang tua, tidak mau ia turun tangan terlebih dahulu, malah ujung pedangnya diturunkan, sebagai tanda menghormat dari si muda terhadap si tua yang ia hendak lawan. Orang tua itu mundur satu tindak. Menampak orang mundur, si nona gerakkan pedangnya, dengan gerakan "Tjaytiap tjoanhoa", atau "Kupu-kupu belang tembusi bunga", melihat mana si orang tua berseru dengan pujiannya: "Bagus!" Lantas ia maju dengan gerakan "Honghong toatho", atau "Burung hong merampas sarang", hingga ia rampas tempatnya si nona. Si nona kaget dan heran. Ia tidak sangka, orang tua itu sangat gesit, tak kalah dengan orang muda. Secara begitu, ia dapat dipengaruhi. Semua rakyat berandal lantas bertepuk tangan. Tapi dalam sekejap saja, kesunyian datang pula. Karena tubuh si nona mencelat tinggi, pedangnya berkelebat, dengan kesudahannya terdengar satu suara nyaring dari bentroknya dua macam senjata, lelatu apinya pun muncrat berhamburan, suara nyaring itu seperti memekakkan telinga. Segera orang tampak si nona mundur kira-kira satu tombak, dan si orang tua berdiri sambil melintangkan goloknya di depan dadanya. "Pedang yang bagus! Ilmu pedang yang sempurna!" memuji orang tua itu. "Tidak ada yang kalah di antara kita, maka itu, mari kita mencoba pula!" Poei Keng masih rendah ilmu silatnya, ia tidak melihat tegas, tidak dapat ia membuat perbedaan, ia cuma tetap berkuatir, akan tetapi, di antara berandal-berandal, ada yang hatinya gelisah. Walaupun si nona nampaknya kalah desak, tapi tampak golok besar dan berat dari ketua mereka telah sempoak sedikit! Si Nona berdiri diam dengan napasnya sedikit memburu, benar ia telah "lukai" golok orang tua itu tetapi ia sendiri telah tertolak mundur satu tombak, hampir tak sanggup ia pertahankan tubuhnya. Ia insaf, dalam hal tenaga dalam, Iweekang, ia telah kalah dari jago tua itu. Oleh karena ini, ketika kedua pihak sama-sama maju, untuk melanjutkan pertempuran, mereka sama-sama waspada. Si nona berkelahi dengan lincah, tubuhnya melesat ke kiri dan kanan, cepat seperti sang kupu-kupu beterbangan di antara bunga-bunga, pedangnya berkilauan tak hentinya. Terang ia berkelahi dengan andalkan keentengan tubuhnya. Di samping dia, Kimtoo Tjeetjoe berdiri tegak bagaikan gunung, ia tidak membiarkan dirinya dipengaruhi, ia cuma memutar tubuh seperlunya, guna lindungi diri. Beberapa kali si nona berseru, pedangnya menikam, setiap kali si raja gunung dapat hindarkan diri dari bahaya, ia bisa menghalau sesuatu ancaman bahaya. Maka itu, hebat dan luar biasa caranya mereka bertarung. Lima puluh jurus sudah berlalu, si nona tidak peroleh hasil dengan berbagai serangannya itu, ia cuma membuatnya kawanan berandal menahan napas. Tadinya mereka menyangka, pemimpin mereka dapat segera peroleh kemenangan, tidak tahunya, banyak waktu telah dilewatkan tanpa sesuatu hasil. Poei Keng pun berkuatir sangat, hingga ia dipengaruhi rasa tegang di antara kawanan penjahat itu. "Pergi!" sekonyong-konyong si orang tua berteriak nyaring, dibarengi dengan berkilaunya goloknya, atas mana tubuh si nona mencelat mundur kirakira satu tombak. Semua berandal pun berseru riuh. Si nona mundur beberapa tindak, ia berdiri tenang, melihat mana, si orang tua heran dan kagum, karena tadinya dia percaya dia dapat membikin si nona terpental dan rubuh. Tanpa berkata suatu apa, nona itu maju pula. Sekarang berubahlah caranya ia bersilat. Ia masih berlompatan, akan tetapi serangannya bertambah gencar, ia bagaikan "angin badai menggempur daun" atau "topan hujan merusak bunga", hingga di empat penjuru seperti terlihat ia sendiri beserta berkeredepnya cahaya pedangnya. Kali ini si nona membuat mata penonton-penonton berkunang-kunang. Menampak demikian, gentar juga hatinya Kimtoo Tjeetjoe. Ia kagum melihat ilmu pedang yang luar biasa itu. Untuk mencari keselamatan, terpaksa ia tutup dirinya seperti tadi, dengan memasang mata dan berlaku waspada. Ia melayani kegesitan dengan ketenangan. Lagi lima puluh jurus telah berlalu, setelah itu, si orang tua merasa bahwa ia mulai kena terdesak pengaruh pedang lawan. Tentu saja, ia menjadi penasaran. Maka kali ini, dengan hebat, ia kirim satu bacokan, guna membalas "budi" si nona yang menyerang tak hentinya. Justeru itu, si nona menggunakan pedangnya, untuk mendampingi golok orang tua itu, hingga ia menyerang tempat kosong, dan tubuhnya condong ke depan. Ia menjadi kaget. Itu berarti ia telah membuka pembelaan dirinya. Si nona tidak dapat pengaruhi terus golok si orang tua, ia tidak dapat gunakan ketika yang baik itu, sebab si orang tua dengan lekas telah perbaiki diri, malah setelah itu, kembali ia didesak, hingga ia main mundur. Tidak mau ia sembarang membentrok golok besar dan berat itu. Lagi-lagi Poei Keng jadi berkuatir. Terang ia tampak si nona terdesak mundur, itu artinya ancaman bencana. Ia berdiam, ia mencoba menenangkan diri. Semua berandal pun bungkam. Maka itu, ruang jadi sunyi senyap. Bungkamnya kawanan berandal itu menandakan si orang tua bukannya telah menang di atas angin..... Herannya pihak berandal, setelah mereka saksikan ilmu pedang dari si nona seperti banyak macamnya, yang mirip ilmu pedang Boetong Pay, yang mirip ilmu pedang Tatmo Kiam, yang mirip Thaykek Kiam dan juga Samyang Kiam. Si orang tua masih mendesak, si nona terus main mundur. "Tjeetjoe, hati-hati!" teriak seorang berandal waktu ia lihat si nona membuat gerakan ke belakang, tetapi hampir berbareng dengan itu, si nona sudah apungkan diri, untuk dari atas menikam kebawah. Kimtoo Tjeetjoe lihat gerakan lawannya, ia dengar teriakan peringatan itu, meski begitu, ia justeru tertawa berkakakan sambil terus berseru: "Lepas tanganmu!" Karena sambil mendadak, ia membalas membacok kepinggang si nona. Ia dapat berkelit, tapi goloknya hendak meminta korban. "Bagus!" teriak pula pihak berandal, lenyaplah kaget mereka. Selagi mereka itu berteriak-teriak, suasana telah berganti rupa dengan cepat. Si nona tidak lompat mundur, ia tidak lepaskan pedangnya, tidak peduli ancaman bahaya sangat hebat, sebaliknya, ia juga berteriak "Lepas tangan!" Nyata ia sangat celi matanya dan sangat sebat gerakan tangannya. Ia tampak ancaman bahaya itu, tapi ia tidak jadi gentar. Dengan kesehatannya, ia tekan ujung golok itu, setelah mana, dengan jalan di atasan golok, ia serosotkan pedangnya akan membabat jeriji tangan orang tua yang menyekal golok. Itu waktu, ia barengi perdengarkan teriakannya. Tentu saja Kimtoo Tjeetjoe menjadi kaget hingga dia, yang mengerti bahaya, jadi "dengar kata," dengan lantas dia lemparkan goloknya, karena kalau tidak jadi tangannya bisa kutung! Begitu rupa kepala berandal ini membuang goloknya, hingga golok itu terlempar ke atas, nancap di penglari rumah. Kejadian ini di luar duga si nona demikian liehay, ancaman bahaya dapat diubah jadi keselamatan, jadi kemenangan. Maka itu, ia jadi berdiri menjublak. Habis itu, si nona tidak ulangi serangannya, malah ia hadapi tuan rumahnya, untuk memberi hormat, dengan niatnya mengucapkan "Terima kasih, tjeetjoe, kau telah mengalah!" Akan tetapi, ketika ia tampak wajah kepala berandal itu, ia tertegun, hingga batal ia membuka mulutnya. Kimtoo Tjeetjoe perlihatkan tertawa meringis, air matanya berlinang. "Heran," pikir si nona. "Ia ada satu jago, mustahil karena kalah bertanding, dia menangis?" Karena ini, ia jadi mengawasi saja. Kimtoo Tjeetjoe juga awasi si nona, ia menyeringai, kemudian ia merogo sakunya dari mana ia keluarkan sebatang bambu pendek mirip sebuah tongkat, yang ujung bawahnya bercacat, rupanya seperti sisa tongkat bekas terbabat kutung. Waktu si nona lihat bambu pendek itu, air mukanya berubah menjadi pucat dengan tiba-tiba, ia menjerit menangis, terus ia jatuh berlutut di tanah! Itulah kejadian sangat aneh, maka semua orang menjadi tercengang. Dengan tangan kirinya menyekal bambu itu, Kimtoo Tjeetjoe gunakan tangan kanannya mengangkat si nona berdiri, setelah mana dengan tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak. "In Tjeng punyakan cucu perempuan semacam ini, di tempat baka niscaya ia meramkan mata!" katanya dengan puas. Si nona menangis tersedu-sedu, air matanya bercucuran deras. Karena, melihat tongkat itu, teringatlah ia akan kejadian pada sepuluh tahun yang lalu, yang menjadi pengalaman hebat baginya. Ketika itu ia baharu berumur tujuh tahun, bersama engkong-nya, In Tjeng, ia buron dari Mongolia, selama di atas kereta, ia telah lihat soetjiat, tanda kehormatan dari engkong-nya itu. Ia pun teringat cerita dari engkong-nya bagaimana si engkong menderita sebagai pengangon kuda di Negara asing. Kejadian itu membuat ia berduka dan sedih. Dan sekarang ia lihat sisanya soetjiat itu, ialah potongan "tongkat" ditangan si kepala kampak. Kimtoo Tjeetjoe susut kering air matanya yang berlinang itu, habis itu ia tertawa berkakakan. "Sekarang ini kau bukan lagi satu bocah!" ia kata dengan gembira. "Ini hari kau adalah satu wanita gagah yang mendaki gunung untuk minta kembali harta besar! Maka tak perlu kau menangis! Lekas seka air matamu! Kau tahu, urusan kita masih belum selesai.....” Nona itu menyeka air matanya, mendadak saja ia putar tubuhnya, untuk terus lompat mencelat, ke atas penglari, dari mana ia cabut golok orang tua itu, lalu ia bawa kehadapan si kepala kampak. Ia berlutut pula. Ia persembahkan golok dengan bawa itu ke atasan kepalanya. "Segala apa terserah kepada putusan soe-sioktjouw," ia kata. Mendengar perkataan si nona Poei Keng menjadi kaget sampai semangatnya seolah-olah pergi terbang. "Celaka, celaka!" ia mengeluh. "Aku andalkan si nona, siapa tahu mereka adalah orang-orang sendiri!.....” Si orang tua terima goloknya. "Kau bangun," katanya. "Sepotong bambu ini kau boleh simpan. Memang bamboo ini membuatnya orang berduka tetapi ini adalah warisan yaya-mu." Si nona terima warisan itu, ia seka air matanya. "Poei Keng, kemari kau!" si kepala berandal memanggil. Gemetar tubuhnya punggawa itu, kedua kakinya lemas. Kimtoo Tjeetjoe tertawa. "Coba bantu dia," ia titahkan dua serdadu gunung. "Inilah angkutanmu seharga empat puluh laksa tail perak, sekarang kau boleh bawa pergi!" kata pula si kepala berandal. Inilah di luar dugaan, Poei Keng jadi girang bukan kepalang. "Terima kasih, terima kasih," ia mengucap sambil mengangguk-anggukkan kepala. Baharu setelah itu, ia menjadi bingung. Ia berada sendirian, mana bisa ia angkut harta besar itu? Kimtoo Tjeetjoe bisa terka hati orang, ia bicara berbisik pada satu orangnya, atas mana pintu pesanggrahan dipentang, kemudian di muka pesanggrahan itu muncul sebarisan keledai bersama serdadu pengiringnya. "Semua harta dan orang-orangmu aku kembali- kan," berkata Kimtoo Tjeetjoe sambil tertawa pada punggawa itu. "Sekarang hitung dulu uangmu, supaya tidak ada yang kurang." Kembali Poei Keng mengucap terima kasih. Kejadian itu membikin ia sangat bergirang. Tapi mendadak, ia ingat sesuatu. Sekarang ia jadi bernyali besar, hingga ia berani menanya kepala kampak itu. "Di samping uang empat puluh laksa tail ini masih ada lagi empat belas kereta keledai," kata dia. "Itulah barang-barangnya Teng Tjongpeng. Aku mohon sukalah tjeetjoe mengembalikan sekalian barang-barang itu." Sang tjeetjoe tertawa bergelak-gelak. "Barang pribadi dari Teng Tjongpeng?" kata dia, menegaskan. "Itulah barangbarang yang cocok sekali untuk keperluan pesanggrahanku ini, hendak aku menahannya!" Poei Keng kaget. Uang negara didapat kembali, tapi barangnya Teng Tjongpeng lenyap, itu masih berarti kesulitan baginya. Mungkin itu tetap berarti hukuman mati. Maka ia lantas tekuk lutut di depan raja gunung itu, ia manggut-manggut. "Aku mohon belas kasihan tjeetjoe, sukalah tjeetjoe tolong jiwaku," ia mohon. Kimtoo Tjeetjoe tertawa pula. "Teng Tjongpeng sendiri rela menyerahkannya padaku, kenapa kau tidak?" katanya. Ia terus rogo sakunya, akan keluarkan satu sampul, dari dalam mana ia keluarkan pula sepucuk surat warna merah. Poei Keng lihat surat itu, ia baca, bunyinya: "Dengan hormat aku persembahkan barang-barang tidak berarti ini, aku mohon sudilah Tjioe Thaydjin menerimanya. Dari Teng Tay Ko." Pasti sekali Poei Keng menjadi kaget, heran dan bingung. Mustahil satu tjongpeng, tjongpeng dari Ganboenkwan, satu panglima kerajaan, yang dipercayakan keselamatan tapal batas negara, boleh mempersembahkan sesuatu kepada kepala berandal? Inilah benar-benar tak dapat dimengerti. Tentu saja tidak dapat ia memikirnya, karena kepala berandal ini, yaitu Kimtoo Tjeetjoe, ada bekas Tjongpeng Tjioe Kian dari kota Ganboenkwan, tjongpeng dari sepuluh tahun yang lampau, dan Tjongpeng Teng Tay Ko yang sekarang ini adalah bekas hoetjiang sebawahannya! Melihat orang mendelong, Tjioe Kian tertawa. "Rupa-rupanya kau masih kurang percaya," ia kata. "Baik, aku nanti suruh satu orang keluar.....” dan ia beri titahnya. Tidak lama diantaranya dari dalam muncul satu opsir, ialah pembesar tentara yang diwajibkan oleh Teng Tjongpeng untuk nanti menerima harta angkutannya punggawa she Poei itu. Tjioe Kian tertawa pula dan berkata: "Ini uang empat puluh laksa tail sudah diperiksa betul oleh perwira ini, sama sekali tidak kurang, maka bolehlah kau tetapkan hatimu." Baharu sekarang lega hatinya Poei Keng. Ia kenal baik opsir itu. Dengan demikian ia tidak usah berkuatir lagi. Sampai di situ, Tjioe Kian silakan kedua punggawa itu berangkat, dan ia wajibkan beberapa orangnya pergi mengantarkan. Poei Keng dan si opsir menghaturkan terima kasih. Selagi orang hendak berangkat, Tjioe Kian pesan si opsir: "Tolong kau sampaikan kepada Teng Tjongpeng, karena musuh luar ada dihadapan kita, kita seharusnya tetap bekerja sama untuk menghadapinya! Tentang perjanjian kemarin, harap kau tidak melupakannya." Opsir itu menyahuti bahwa ia mengerti. "Beng Kie, kau wakilkan aku mengantar mereka turun gunung," kata Tjioe Kian pada si orang she Beng. "Bendera Djitgoat Kie kita itu biarlah ditancap terus sampai di kota Ganboenkwan." Poei Keng tahu, bendera itu ada suatu tanggungan, adanya bendera itu, sama saja seperti Kimtoo Tjeetjoe yang mengantarkannya sendiri. Maka lagi sekali ia haturkan terima kasihnya. Tjioe Kian tertawa. Beng Kie pun tertawa, lantas ia jalan berendeng dengan Poei Keng untuk bertindak keluar, sedang harta besar itu lantas diangkut oleh serdadu-serdadu dan ditilik oleh si opsir. "Poei Thaydjin, kalau nanti kau sudah pulang, perlu kau yakinkan pula ilmu panahmu dan menunggang kuda!" kata Beng Kie sambil jalan. Poei Keng merah mukanya, sebab ia ingat itu hari ia pentang mulut besar tapi akhirnya ia dirubuhkan si kurus kering ini..... Tjioe Kian tunggu sampai orang sudah pergi semua, lalu ia menoleh pada si nona baju putih. "Bagus kau datang, In Loei!" katanya. Biar bagaimana, si nona masih ragu-ragu, hatinya belum tenang betul. Ketika sepuluh tahun yang lampau ia bertemu bekas tjongpeng ini di muka kota Ganboenkwan, ia masih kecil dan itu waktu pun sedang terbit pertempuran, ia tidak ingat betul akan roman orang itu. Ia heran yang Tjioe Kian masih kenali padanya. Rupanya orang she Tjioe itu bisa terka hati orang, ia tertawa. "Jikalau hari ini aku tidak pancing kau mendaki gunung dan paksa kau keluarkan ilmu pedang istimewa ajaran Hian Kie Itsoe, aku pun tidak nanti berani sembarang akui padamu!" katanya. In Loei bisa mengerti keterangan itu, tapi ia tetap heran. "Untuk memancing aku, dia berlaku begini hebat dan Jenaka, soesioktjouw ini agak keterlaluan," pikirnya. "Terang sudah bahwa ia bertabeat aneh.....” Karena ini, meski di mulut ia tidak berkata suatu apa, dihati ia merasa kurang puas. Ia ada satu pemudi yang baharu muncul dalam dunia kangouw, liehay ilmu silatnya tapi masih hijau pengalamannya..... Tjioe Kian tertawa nyaring. "Cucu keponakan yang baik, tahukah kau kenapa aku coba merampas uang negara itu?" tanya dia kemudian. "Bukankah, seperti kata soesioktjouw, kau hendak pancing aku mendaki gunung?" si nona baliki. "Sebenarnya, sekalipun kau tidak memancing, hendak aku dating kemari." "Kenapa begitu?" Tjioe Kian tegaskan. "Kita harus kembali pada sepuluh tahun yang lampau," sahut si nona. "Pada waktu itu Tiauw Im Taysoe telah menolongi aku menyingkir dari Ganboenkwan dia sudah bawa aku ke gunung Siauwtjee San di Soetjoan Utara di mana aku diserahkan pada guruku untuk dirawat dan dididik.....” "Bukankah gurumu itu Yap Eng Eng, yang bergelar Hoeithian Lionglie?" Tjioe Kian memotong. "Benar," In Loei manggut. Lalu ia meneruskan keterangannya: "Sepuluh tahun aku t elah belajar silat lantas soehoe titahkan aku turun gunung. Lebih dahulu dia telah serahkan padaku surat darah dari yaya. Soehoe kata, orang yang yaya paling bencikan adalah Thio Tjong Tjioe yang membikin yaya menderita dua puluh tahun mengangon kuda, akan tetapi yang mencelakai hingga ayah menutup mata adalah Ong Tjin, itu hamba pemerintah, hanya duduknya perkara yang benar, soehoe tidak ketahui jelas. Soehoe kata, soesioktjouw adalah sahabat paling kekal dari yaya, katanya justeru disebabkan kematian menyedihkan dari yaya, soesioktjouw jadi meninggalkan pangkatnya di kota Ganboenkwan. Belakangan, soehoe kata lebih jauh, soehoe dengar soesioktjouw telah tuntut penghidupan sebagai berandal, Cuma ia tidak tahu pasti kebenarannya itu, maka soehoe titahkan aku turun gunung dengan tugas paling pertama pergi cari kau." Mendengar itu, Tjioe Kian menggeleng-gelengkan kepala, ia menyeringai. In Loei heran. "Sudah sepuluh tahun sejak yaya-mu menutup mata, perkaranya itu masih perkara gantung," kata si orang tua. Ia tuturkan kejadian sepuluh tahun yang lampau itu, lalu ia meneruskan: "Thio Tjong Tjioe dengan Ong Tjin itu memang mempunyai hubungan satu sama lain, akan tetapi, apabila dilihat duduknya perkara ketika itu, soal masih gelap, maka itu sampai sekarang juga masih belum diketahui, di antara mereka berdua, siapa sebenarnya penjahat asli.....” "Sekarang ini aku anggap mereka berdua adalah musuh-musuhku!" kata In Loei. "Dan di antara mereka, aku anggap Thio Tjong Tjioe sebagai musuh nomor satu!" Tjioe Kian manggut. "Memang, sakit hati itu tak dapat tidak dibalas!" katanya. "Aku dibebankan permusuhan dua turunan, aku nanti habiskan tenagaku untuk itu!" berkata pula In Loei. "Sampai mati baharu aku mau berhenti." Si orang tua menghela napas. "Ketika pertama aku sampai di Ganboenkwan," In Loei meneruskan pula, "segera aku dengar nama besar dari Kimtoo Tjeetjoe beserta benderanya Matahari dan Rembulan. Lantas aku menduga pada soesioktjouw yang telah mendirikan pesanggrahan di atas gunung, tetapi karena aku belum peroleh kepastian, aku sengaja membuat gubuk di selat Ouwtiap Kok. Adalah maksudku untuk perlahan lahan membuat penyelidikan." Tjioe Kian tertawa. "Itulah hal yang aku ketahui," katanya. "Masih ingatkah kau, begitu lekas kau turun gunung kau lantas sudah melabrak beberapa rombongan berandal dengan menggunakan senjata rahasiamu yang mirip bunga bwee? Karena itu dalam dunia kangouw kau peroleh julukan Sanhoa Liehiap, si Wanita Gagah Penyebar Bunga." "Julukan itu enak juga didengarnya," kata In Loei, "hanya aku tidak dapat mengetahuinya." "Ketika kau bertempat tinggal di Ouwtiap Kok, orang-orangku sudah dari siang-siang memasang mata. Cuma, berikut aku di dalamnya, kita masih belum ketahui jelas tentang dirimu. Begitulah aku gunakan akal untuk pancing kau mendaki gunungku ini, maksudku adalah untuk mencoba ilmu silatmu guna memastikan, siapakah engkau." "Justeru karena pancingan soesioktjouw ini, dugaanku semula jadi meleset," berkata si nona. "Aku pikir, kalau kau benar ada soesioktjouw, tidak nanti kau rampas uang tentara kota Ganboenkwan. Inilah sebabnya kenapa aku jadi berani melayani soesioktjouw bertanding....." Tjioe Kian tertawa terbahak-bahak. "Sejak dulu tidak pernah aku merampas uang tentera kota Ganboenkwan," ia berikan keterangan, "kalau kali ini aku membuatnya meski barusan aku berkata untuk pancing kau, sebenarnya itu tidak betul seluruhnya. Dalam pada ini masih ada hubungan yang sangat besar!" In Loei tidak mengerti. "Apakah itu, soesioktjouw?" dia tanya. "Soalnya adalah," sahut si orang tua, "kecilnya mengenai hidup matinya kota Ganboenkwan dan pesanggrahanku ini, besarnya mengenai keselamatannya kerajaan Beng serta tanah daerahnya yang besar dan luas!" Kaget si nona, hingga ia mengawasi dengan mendelong. "Apakah itu, soesioktjouw?" dia tegaskan. Tjioe Kian tidak lantas menjawab, ia hanya dongak akan melihat langit. "Sekarang sudah malam," katanya perlahan, romannya berduka. "Pergi kau tidur, untuk pelihara dirimu. Sebentar malam hendak aku mohon bantuan kau untuk satu urusan besar." Ia lantas beri tanda dengan tangannya. Berbareng dengan, itu terdengarlah sambutan suara tambur dan gembreng, setelah mana si anak muda yang bermula tempur In Loei serta satu tauwbak, maju menghadap, untuk berkata: "Silakan tjeetjoe berikan titahmu!" Tjioe Kian manggut. "Dia Tjioe San Bin," katanya pada In Loei sambil menunjuk si anak muda. "Dia adalah pamanmu. Umurnya tidak berbeda jauh dengan kau." In Loei beri hormat pada anak muda itu. "Maaf," ia menghaturkan. Tjioe San Bin tertawa. "Di dalam kalangan wanita muncul orang gagah, si orang gagah masih sangat muda," katanya, "oh, keponakanku, kau jauh terlebih kosen daripada pamanmu!.....” In Loei tersenyum. "Sekarang silakan kau beristirahat," kata San Bin, yang terus titahkan satu iiauwio — serdadu gunung — antar nona itu ke kamar yang sudah disediakan untuknya. In Loei menurut, ia undurkan diri, akan tetapi tak dapat ia tidur pulas. Ia terganggu berisiknya gerakan-gerakan tentera gunung. Habis bersantap malam, pesanggrahan seperti kosong dari tenteranya, yang ada hanya beberapa orang saja yang menjadi penjaga. "Apakah kita akan berperang dengan tentera negeri?" tanya In Loei. "Bukan," Tjioe Kian menjawab. "Apakah dengan bangsa Tartar?" si nona tanya pula. "Masih belum pasti," jawab si orang tua. Heran anak dara ini. "Habis untuk apa soesioktjouw berikan titah pada tenteramu?" ia masih menanya. "Baik kau jangan tanya-tanya dulu," jawab Tjioe Kian sambil tertawa. "Lebih baik mari kau turut aku pergi ke suatu tempat!" In Loei bersedia, segera ia salin pakaian dengan yaheng ie — pakaian untuk jalan malam. Berdua mereka keluar dari pesanggrahan, di luar mereka saksikan langit penuh bintang, jam pada waktu itu menunjukkan kira-kira pukul tiga. Kimtoo Tjeetjoe ajak cucu keponakannya itu berlari-lari di jalanan gunung untuk mendaki puncak sebelah timur yang lebat dengan pohon-pohon dan pohon-pohon oyot, makin dalam makin lebat, makin jauh keadaannya makin berbahaya. In Loei mengikuti terus dengan ragu-ragu, ia berpikir keras dengan sia-sia, tak dapat ia terka maksud bekas tjongpeng ini. Iapun heran: "Soesioktjouw adalah kepala sebuah gunung, dia telah atur tenteranya keluar, kenapa tangsinya dikosongkan dan dia sendiri tidak menjaganya? Kenapa dia keluar malam-malam seorang diri?" Nona ini terbenam dalam keanehan. Pada malam yang sunyi itu, tiba-tiba terdengar suara air, makin lama makin tegas suaranya. Lalu terdengar juga suara bagaikan orang berseru panjang atau bagaikan suara terompet huchia. Mendengar itu, si orang tua tarik tangannya si nona, untuk diajak bersembunyi di belakang sebuah batu besar. Dalam keheranannya itu, In Loei menurut saja, ia melainkan memasang mata. Di antara sinar rembulan layu dan bintang-bintang, In Loei lihat wajahnya si orang tua. Itulah roman tenang tetapi tegang. Jago tua ini pun lantas mendekam di tanah, untuk pasang kupingnya. "Ah!" tiba-tiba ia bersuara seorang diri, "Mustahil aku menduga keliru?" In Loei pasang kupingnya, ia tidak dengar suatu apa. "Kau dengar apa, soesioktjouw?" tanyanya heran. Tjioe Kian tidak segera menjawab, ia hanya menunjuk. "Lihat!" katanya kemudian. Ia menunjuk ke arah bawah, ke lembah, di sana tampak sawah ladang yang luas dam gemuk yang dibuka oleh tentera gunung, di samping itu, bagaikan rintangan, ada gili-gili atau bendungan air yang tinggi dan besar buatan manusia. Gili-gili itu terbuat dari batu, tingginya mungkin sama dengan dua buah loteng. Di sebelah sana terdapat telaga, luasnya tidak terlalu besar, mungkin beberapa ratus bahu. Air telaga itu menggenang dan hitam berkilauan. "Sawah ladang itu mendapat air dari telaga yang terbendung itu," kata siraja gunung kemudian. "Telaga itu menyebabkan kami dapat hidup bertani di sini, maka telaga itu adalah jiwa kami." Ia lantas tuturkan bagaimana selama sepuluh tahun ia bangunkan bendungan dan kerjakan sawah ladang itu. Menutur itu, ia nampaknya gembira dan puas. Tapi, ia lantas menghela napas. "Akan tetapi bangsa Tartar dan tentera negeri tidak mengijinkan kita tinggal di sini," ia tambahkan. "Baharu kemarin dulu aku terima laporan bahwa bangsa Tartar hendak mengirim orang-orangnya yang liehay mencuri masuk kemari untuk merusak bendungan ini." "Kelihatannya bendungan ini tak dapat dirusak tenaga manusia," kata In Loei. "Baharu beberapa orang saja tidak nanti dapat berbuat apa-apa." "Kau tidak tahu," Tjioe Kian terangkan. "Sekarang adalah musim semi dan biasanya, setiap musim semi, air bisa melanda secara hebat." Di sebelah atas kita masih membuat beberapa bendungan, untuk menjaga gempuran, sebab satu kali bendungan hancur, telaga ini akan meluap airnya, dan begitu air telaga meluap, celakalah kita yang berada di dalam lembah terutama sawah ladang kita musnah tergenang air." "Sungguh hebat, menjemukan!" kata In Loei, yang menjadi sengit. "Jikalau mereka itu datang, nanti kuberi pelajaran dengan pedangku!" "Tetapi kejahatan mereka tak sampai di sini saja," kata pula Tjoe Kian. Mendadak ia berhenti. Tiba-tiba, ia dengar suara yang mengherankan padanya. "Aneh!" katanya. "Apakah yang aneh, soesioktjouw?" Tjioe Kian pasang pula kupingnya. "Turut pendengaranku seperti ada belasan penunggang kuda yang mengejar satu orang buronan," dia menerangkan, "tadi mereka menuju ke arah barat akan tetapi sekarang mereka menuju arah kita! Ah, mereka itu tidak kenal jalanan, mereka tengah berputaran. Suaranya pun menjadi terlebih perlahan. Kau dengar tidak?" In Loei menggelengkan kepala. Orang tua itu tertawa. "Selanjutnya kau akan hidup di kalangan kangouw, kepandaian mendengar suara ini harus kau yakinkan," ia kata. Ia terus tambahkan: "Aku taksir pasti malam ini mereka akan datang merusak gili-gili tetapi mendengar suara itu, mereka tengah mengepung orang. Mungkinkah di antara mereka itu telah terbit perubahan?" Baharu In Loei mau menanya kenapa jago tua itu ketahui demikian pasti tentang sepak terjang musuh, atau mendadak Tjioe Kian memberi isyarat supaya ia menutup mulut, hingga ia batalkan niatnya. Tjioe Kian juga sudah lantas menunjuk dengan jari tangannya. Di atas puncak kira-kira tujuh atau delapan tumbak terpisah dari mereka muncul dua orang yang merupakan bayangan hitam. Pasti mereka itu ada orang-orang liehay, sebat demikian terang kupingnya Tjioe Kian, sesudah orang datang dekat baharu dia mengetahuinya. Dua orang itu berdiri berendeng. "Besok tengah hari," kata yang seorang, sambil tangannya menunjuk ke arah lembah, "maka pasanggrahan itu yang luasnya seratus lie lebih akan tergenang air hingga merupakan suatu tanah datar! Haha! Tuhan memberkahi negara kita, apa mau tjongpeng dari Ganboenkwan telah memohon bantuan kita. Sesudah kita tumpas sibangsat tua Kimtoo, untuk merampas kota Ganboenkwan mudah saja, seperti orang membalikkan telapak tangan. Satu kali Ganboenkwan sudah rubuh, jalanan untuk ke kota raja sudah tidak ada rintangannya lagi, hingga negara seluas sembilan laksa lie dari kerajaan Beng akan menjadi kepunyaan kita. Tantai Tjiangkoen, jasamu kali ini bukan main besarnya!" Terus orang itu tertawa terbahak-bahak, suaranya mendengung di lembah. Mendengar itu, In Loei terkejut. "Tepat sekali taksiran Paduka," berkata orang yang satunya. "Paduka tak ada bandingannya! Meski demikian adanya, tak dapat kita tidak berlaku waspada. Jikalau besok tentera kota Ganboenkwan tidak dapat dating menyambut, apakah tentera kita yang terpecah di empat penjuru tidak akan menghadapi ancaman bahaya? Aku anggap adalah terlebih sempurna jikalau empat pasukan itu diperkecil menjadi dua barisan.....” Orang yang pertama tertawa pula. "Raja Beng ingin sangat menindas bangsat tua Kimtoo itu," dia kata, "untuk itu tenaganya tentera di Ganboenkwan tidak cukup, dia jadi tidak berdaya, karenanya dia bertindak memohon kita bekerja sama, maka itu, aku tak kuatir dia nanti melanggar janji. Ini adalah ketika yang paling baik! Satu kepala perang mengatur tentera, apakah perlu dia memandang ke kepala dan ke ekor?" Dan lagi-lagi dia tertawa, tertawa besar. In Loei ingat suatu apa, ia jadi berpikir. "Bukankah Tantai Tjiangkoen ini yang disebut Tantai Mie Ming oleh djiesoepeh?" dia menduga-duga. "Jikalau benar dia adanya, dialah musuhku yang telah membinasakan ayahku, malam ini tak dapat dia dibiarkan lolos!" Orang yang dipanggil Tantai Tjiangkoen itu berbicara pula. "Lebih baik Paduka berlaku hati-hati," demikian katanya. "Tempat ini masuk lingkungan bangsat tua Kimtoo itu." Si "paduka" itu — ongya — yang terang ada orang bangsa Ouw atau Tartar, kembali tertawa besar. "Aku justeru kuatirkan mereka tidak muncul!" ujarnya. "Kita sedang bersiap menggempur gili-gili, kita hendak serang tempat yang mereka harus tolongi itu, maka jikalau mereka datang mengurung kita, kita yang berjumlah belasan dapat menarik perhatian mereka itu, dengan begitu pasukan-pasukan kita yang menerjang di empat penjuru di luar akan masuk di tempat yang seperti tidak ada orangnya. Dengan punyakan kepandaian, mana bisa mereka membekuk kita? Paling juga kita kurbankan jiwanya belasan serdadu yang menggempur gili-gili.....” "Sungguh busuk!" In Loei mendamprat dalam hatinya, mendengar tipu daya yang licik itu. Karena ini mengertilah ia akan sepak terjangnya Tjioe Kian malam ini. "Kiranya soesioktjouw mengatur tenteranya untuk menghadapi empat pasukan musuh di luar itu," pikirnya. "Soesioktjouw ajak aku datang kemari dengan maksud menghadapi musuh-musuh gelap yang hendak menggempur gili-gili ini. Sungguh tak tercela soesioktjouw menjadi satu panglima perang! Tadinya aku menyangka dia keluar seorang diri untuk menempuh ancaman bencana, tidak tahunya, tindakan ini ada tindakan yang wajar!" Lantas nona ini cekal keras gagang pedangnya, ia segera bersiap sedia. Tjioe Kian juga tampaknya tegang akan tetapi dia masih menggelenggelengkan kepala mengisyaratkan agar kawannya sabarkan diri, supaya si nona jangan sembrono turun tangan. Maka In Loei berdiam, terus ia pasang kupingnya. "Eh," terdengar Tantai Tjiangkoen, "kenapa mereka masih belum datang?" Si paduka, atau ongya, juga berjalan mundar-mandir, dia pun nampaknya sibuk tidak keruan. "Eh!" seru Tantai Tjiangkoen itu kemudian. "Lihat, mereka itu tengah mengepung siapa nah?" Segera terdengar tindakan laratnya kuda yang mendatangi, lantas tampak satu penunggang kuda kabur di dalam lembah yang sempit, di belakangnya mengejar belasan penunggang kuda lainnya. Mereka itu merantau ke sawah ladang. "Segala bantong!" si ongya mencaci, terus dia siapkan busurnya. "Jangan binasakan dia, paduka!" Tantai Tjiangkoen mencegah. Tapi baharu dia buka mulutnya atau busurnya sudah menjepret, anak panahnya melesat menyambar! Justeru itu, berbareng dengan bekerjanya panah, Tjioe Kian tepuk pundaknya In Loei sambil berseru: "Serang raja muda Tartar itu!" In Loei memang sudah siap, maka itu, dapat ia dengan berbareng lompat bersama si orang tua, untuk menghampirkan Tantai Tjiangkoen dan ongyanya itu. Si nona enteng tubuhnya, pesat gerakannya, ia dapat mendahului, malah sambil memburu, ia pun sudah lantas lepaskan enam buah senjata rahasianya yang diberi nama Bweehoa Ouwtiap piauw, atau piauw Kupu-kupu, menyerang ketiga arah, atas, tengah dan bawah dari si ongya dan si tjiangkoen. Tjiangkoen, atau jenderal itu, memang Tantai Mie Ming adanya. Dia adalah orang yang sangat dibenci In Loei, tidak heran kalau si nona menyerang dengan luar biasa ganas. Dengan menggunakan piauw-nya, dia sampai tak minta perkenan lagi dari si orang tua. Mendapat serangan bokongan itu, Tantai Mie Ming tertawa berkakakan. Ia seperti dapat lihat tegas ketiga batang piauw itu, ia sampok tiga-tiganya hingga terlempar mental. Sebaliknya, si ongya telah perdengarkan jeritan "Aduh!" dan busurnya terlepas, jatuh di tanah, tubuhnya pun terhuyung dua tindak, hampir dia rubuh terguling, lalu dapat dia pertahankan diri. Piauw si nona adalah piauw yang ia terima dari gurunya, Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng, piauw itu dapat dipakai menyerang jalan darah. Si ongya benar liehay tetapi ketika dibokong, ia pun sedang membokong lain orang dengan panahnya, maka datangnya serangan gelap membuat ia terperanjat. Masih dapat ia tangkis satu piauw dan berkelit dari yang kedua tetapi yang ketiga mengenai dengkulnya. Syukur untuknya, ia punyakan tenaga dalam yang liehay, ia tidak sampai terhuyung rubuh. Untung tidak enam panah dipakai menyerang, kalau tidak, tentu jiwanya tak dapat dihindarkan dari bahaya maut. In Loei terkejut mendapatkan ke enam piauw-nya tidak memberikan hasil yang memuaskan, malah menyusul herannya, tahu-tahu Tantai Mie Ming, yang berseru keras, telah lompat melesat kehadapannya. Kembali ia terkejut. Dari gerakan tjiangkoen ini, ia ketahui, orang ada terlebih liehay daripadanya. Akan tetapi, ia kertak giginya, tak gentar ia menghadapi musuh tanggu. Maka juga, "Sret!" pedangnya segera dihunus guna memapaki lawan itu! -ooo0dw0ooo- BAB III Tantai Mie Ming bersenjatakan sepasang gaetan. Ia lihat penyerangnya ada satu nona, ia memandang enteng. "Suruhlah orang tuamu yang keluar!" ia menantang. "Gaetanku tidak biasa membinasakan segala orang tidak ternama!" In Loei tidak gubris kata-kata jumawa itu, ia menerjang, terus sampai dua kali ketika tikamannya yang pertama ditangkis lawan itu. Tentu saja ia menjadi tambah gusar dan sengit. "Hai, budak, apakah kau cari mampus?" bentak jenderal itu setelah ia sampok mental pedangnya. Kedua tikaman itu dapat ia elakkan. In Loei tidak mundur, dia malah maju mendesak. Dia membungkam ketika dia menyerang pula dengan "Pekhong koatdjit" atau "Bianglala menutupi matahari." Mie Ming melayani dengan sungguh-sungguh, dengan sepasang gaetannya ia coba mengurung pedang si nona, tetapi In Loei tidak mau mengerti, ia bebaskan diri, ia menyerang pula, demikian hebat, hingga lawannya berseru: "Eh!" Orang Mongolia yang tanggu ini heran, mau atau tidak, ia mesti bekerja keras, setelah kedua gaetannya membuka ke kiri dan kanan, lantas ia desak si nona hingga orang mundur tiga tindak, tindakannya hampir kacau. Gadisnya In Tjeng menjadi penasaran sekali, tanpa pedulikan desakan, ia lompat, ia balas menyerang secara hebat. Tantai Mie Ming kerutkan alis. "Siapa yang mengajarkan kau ilmu menyerang?" dia tanya. "Kau berkelahi secara nekat begini, mana kau bisa layani musuh yang tanggu?" "Memang aku niat adu jiwa denganmu!" jawab si nona dengan kaku. Dan ia perhebat serangannya. Mie Ming menyeringai. "Nanti aku desak dia, supaya aku bisa tegaskan kenapa dia nekat begini," dia pikir. Terus ia mainkan sepasang gaetannya, untuk mengurung pula pedang si nona. In Loei licin. Satu kali ia telah dipedayakan, ia jadi waspada. Nampaknya ia sembrono, sebenarnya ia dapat berlaku hati-hati dan cerdik. Begitulah, selagi didesak, dengan tenang ia gerak-gerakkan pedangnya untuk memberi perlawanan, sambil berbuat begitu, ia cari ketika yang baik. Demikian waktu ketikanya telah sampai, ia menyontek ke atas, akan membentur langsung gaetannya! Satu suara nyaring dari bentroknya senjata segera terdengar. "Pedang yang bagus!" seru Tantai Mie Ming. Ia tidak menjadi kaget meski ujung gaetannya kena dipapas sempoak pedang si nona. Ia malah mendesak pula dengan dorongannya. In Loei terkejut. Ia merasakan telapakan tangannya kaku, ia lihat ujung gaetan menyambar ke dadanya. Tidak sempat ia memutar pedangnya untuk menangkis. Tapi Tantai Mie Ming tidak meneruskan menyerang. "Hian Kee Itsoe itu pernah apa denganmu?" dia tanya. Justeru orang berseru, In Loei gunakan ketikanya akan lepaskan diri dari ancaman bahaya. Tentu saja ia jadi semakin mendongkol. "Apakah pantas kau menyebut namanya tjouwsoe-ku?" dia menghina. "Haha-haha!" Tantai Mie Ming tertawa, dan kembali dia ulangi desakannya. In Loei mundur, dia sangat terdesak, repot dia membela diri. Pernah ia mendesak dengan nekat, tapi ia tidak peroleh hasil. "Sekalipun gurumu, dia bukannya tandinganku, kau tahu?" kata Mie Ming. In Loei tidak pedulikan orang berjumawa, ia tetap berikan perlawanannya, beberapa kali ia membuat penyerangan pembalasan yang tak kurang hebatnya, walaupun ia mesti menempuh bahaya. Mendongkol juga Mie Ming karena si nona terus mendesak padanya. Selang dua puluh jurus, In Loei mati daya, tak sanggup dia menangkis terlebih jauh. Ketika gaetan kiri musuh menyantel pedangnya, dan gaetan kanan mengancam dari atas kepada batok kepadanya, ia berseru dengan keluhannya: "Ayah, tak dapat anakmu membalas sakit hatimu!.....” Sambil mengucap demikian, ia tarik pedangnya sekuat tenaga, karena ia masih mencoba untuk menangkis. "He, budak cilik, apakah kau cucunya In Tjeng?" tiba-tiba Tantai Mie Ming tanya. Karena ini, tertundalah turunnya gaetan dari kematian itu. In Loei lolos dari bahaya, segera ia menikam. "Pemberontak, kau masih punyakan muka menyebut nama yaya-ku?" dia mengejek. Mie Ming gusar mendengar hinaan itu. "Memang telah cukup aku Tantai Mie Ming dicaci orang-orang sebangsamu yang anggap dirinya kosen, setia dan mulia hati. Baiklah, mari aku binasakan kau turunan orang-orang kosen, setia dan mulia itu!" Jenderal ini menyerang dengan hebat, maka itu, baharu beberapa jurus, kembali In Loei telah mati kutunya. Selagi dua orang ini bertempur hebat, dipihak sana terdengar jeritan-jeritan hebat, sebab Tjioe Kian, yang melawan belasan musuh, telah peroleh hasil. Lega hatinya In Loei mendengar kemenangan soesioktjouw itu. Segera setelah itu terdengar seruan si ongya: "Tantai Tjiangkoen, jangan perlambat waktu! Si bangsat tua Kimtoo sedang mendatangi!" 02 Dan benar-benar Tjioe Kian tahu-tahu sudah sampai di kalangan dan sudah lantas menyerang dengan golok besarnya. Tantai Mie Ming tinggalkan si nona, ia tangkis bacokan bekas tjongpeng itu, hingga berdua mereka jadi bertempur. "Jikalau hari ini tidak dapat aku bunuh mampus padamu, percuma aku punyakan golok Kimtoo ini!" berseru Kimtoo Tjeetjoe sambil mengulangi serangannya yang berbahaya. Mie Ming berkelit, ia tertawa mengejek. "Baiklah, aku ingin saksikan golok emasmu!" katanya. Ia menyerang, ia berkelit, ia menyerang pula, lalu ia tertawa kembali. Lalu ia berkata: "Adakah ini yang disebut golok emas atau golok perak? Hm! Di mataku inilah tak lebih daripada tembaga rosokan!" Ia gerakkan gaetannya, ia ketok belakang golok musuh itu. Tjioe Kian jadi murka, benar ia diam saja, tapi ia balas menyerang. Sampai di situ, In Loei maju pula, untuk membantu kawannya. Tidak sibuk Tantai Mie Ming ketika ia tangkis dua senjata dari dua musuhnya itu, tidak peduli In Loei gesit dan golok emas berat, dapat ia melayani dengan leluasa, malah kemudian ialah yang lebih banyak menyerang. Tjioe Kian dan In Loei bingung juga, meskipun mengepung berdua mereka tak dapat hasil. Tjioe Kian berkata dalam hatinya: "Sudah lama aku dengar Negara Watzu mempunyai panglima kosen ini, dia benar-benar gagah perkasa. Orang liehay semacam dia kena dipakai oleh bangsa Tartar, sungguh sayang.....” Ketika itu terdengar pula suara si ongya: "Tantai Tjiangkoen, ketika yang baik sudah tiba, jangan kau berkelahi lama-lama!" Mendengar suaranya si ongya, Tjioe Kian dapat daya. "Menawan bangsat menawan rajanya!" demikian pikiran yang menyandingi. "Apa perlunya aku berkelahi mati-matian dengan dia ini?" Maka dia menangkis dengan keras, akan pecahkan kurungan gaetan, di saat Tantai Mie Ming mundur tiga tindak, dia teriaki In Loei: "In Loei, layani terus padanya, berlakulah hati-hati!" Habis mengucap demikian, ia lompat mundur, akan tinggalkan lawan, untuk sebaliknya lompat lebih jauh kepada si ongya. In Loei sangat cerdas, segera ia mengerti maksudnya soesioktjouw itu, maka lantas ia desak Tantai Mie Ming, hingga tidak peduli orang Mongolia ini terlebih liehay, dia toh repot juga. Si ongya sudah lantas diserang Tjioe Kian. Ia lihat datangnya musuh, dengan pertahankan tubuh sebisa-bisanya, ia tangkis bacokan itu. Kedua senjata beradu dengan keras, suaranya sangat nyaring. Tjioe Kian heran akan dapatkan orang bertenaga besar ia kagum. Ia tahu, ongya itu sedang terluka, coba dia segar bugar, entah bagaimana besar tambahan tenaganya. Si ongya juga tidak kurang kagetnya, telapakan tangannya sampai pecah dan mengeluarkan darah, karena ia telah menangkis dengan sekuat tenaganya untuk selamatkan diri. Celakanya baginya, ia tidak sanggup berlompatan. Kimtoo Tjeetju penasaran ia ulangi serangannya, terus sampai tiga kali, serangan yang ketiga itu tak sanggup ditangkis lagi oleh si ongya, goloknya terpukul keras, terlepas dari cekalannya dan terlempar, maka dengan leluasa Tjioe Kian kirim bacokan susulannya, yang ke empat. "Habis aku!" teriak si ongya. Kendati demikian, dengan lawan sakit di kakinya yang terhajar piauw, ia buang dirinya untuk bergulingan! Tjioe Kian membacok tempat kosong, ia jadi semakin penasaran, maka ia maju terus, akan susul ongya itu, guna mengirim bacokannya terlebih jauh. Justeru itu ia dengar sambaran angin di belakangnya, hampir tanpa menoleh, ia menangkis. "Trang!" Kepala berandal ini merasakan getaran keras pada tangannya, ketika ia berpaling, ia tampak Tantai Mie Ming yang membokong padanya. Ia belum sempat bersiap, atau Mie Ming sudah simpan sepasang gaetannya, buru-buru dia lompat pada ongya nya, untuk sambar tubuh si ongya, untuk segera dibawa kabur. Tjioe Kian tidak mau mengerti, dia lantas lompat, guna mengejar, goloknya dipakai membabat. Mie Ming tidak bersenjata, ia pun sedang pondong ongyanya, tidak ada jalan lain, ia berkelit sambil mendak rendah, sedang sebelah tangannya dipakai membarengi menyerang lengan lawan. Tjioe Kian menyerang dengan hebat, serangannya tidak mengenai sasarannya, goloknya jadi terulur ke depan, karena itu, tidak keburu ia menarik kembali tangannya atau lengannya itu telah dihajar lawannya, begitu rupa, sampai ia merasakan sakit sekali, hingga goloknya terlepas jatuh. Tantai juga tidak luput dari serangan, ialah dadanya terkena tangannya Kimtoo Tjeetjoe, hingga ia pun merasakan sakit, akan tetapi, dengan kuatkan diri, dengan menutup rapat mulutnya, ia terus lari dengan bawa kabur tjoekongnya itu. In Loei lompat mengejar. Ia menjadi gusar dan penasaran. Tadi ia telah didesak mundur jauh, karena itu, Mie Ming keburu menolongi ongya-nya dari tangannya Tjioe Kian. Dalam murkanya, ia ayunkan tangannya, akan menimpuk dengan tiga batang piauw. Orang Mongolia itu benar liehay. Ia tidak berkelit, sambil lari, ia putar tangannya ke belakang, satu demi satu, ia sambuti ketiga piauw itu, untuk diteruskan dipakai menyerang kembali. Nyata ia bertenaga besar, timpukannya pun hebat. In Loei dengar suara angin, tidak berani ia menanggapi piauwnya itu, yang ia lewatkan sambil berkelit, hingga piauw mengenai satu batu besar di sebelah belakang sambil perdengarkan suara nyaring dan muncratkan lelatu api. "Hebat!" seru si nona di dalam hati. Ia lihat ketiga piauwnya nancap dibatu, tidak jatuh. Itu waktu Tantai Mie Ming sudah lari terus. Masih In Loei hendak mengejar tatkala di timur lembah terdengar suara letusan, hingga gunung bagaikan tergetar, menyusul mana, Tjioe Kian berteriak: "A Loei, jangan kejar musuh yang sudah mogok!" Si nona batal mengejar, sedang itu waktu, di selatan, dibarat dan utara lembah saling susul terdengar letusan nyaring seperti yang pertama tadi, begitupun terdengar suara riuh dari pertempuran-pertempuran yang mestinya dahsyat. Tjioe Kian jumput goloknya, ia tertawa besar. "Tidak peduli bangsa Tartar itu putar otaknya, mereka toh menjadi kurakura dalam kerajaanku!" ia berkata dengan puas. In Loei tidak mengerti, ia hendak bertanya pada si orang tua itu, akan tetapi belum lagi ia membuka mulutnya, Kimtoo Tjeetjoe sudah mendahului lari pergi, sambil lari dia menggape dan berseru: "Mari lekas, bantui aku menolong orang!" Dengan masih tidak mengerti, si nona lari menyusul. Di bawah gunung, mayat-mayat bergeletakan di sana sini, darah berlimpahan. Itulah korban-korbannya Tjioe Kian tadi. Tak tega In Loei menyaksikan itu, ia lari sambil menutupi muka. "A Loei, apakah kau bawa obat luka pemunah racun?" begitu terdengar pertanyaannya si orang she Tjioe. ""Eh, A Loei kau kenapa? Kau takut? Bagaimana nanti kau dapat membalas dendam?" "Tak takut aku bertempur sama segala bangsat," sahut si nona, "tetapi tak tega aku menyaksikan mayat-mayat itu....." Tjioe Kian tertawa. "Sungguh kau satu pemudi gagah yang pemurah hati.....” ia kata. "Di medan perang, dimana pemandangan lebih mengerikan daripada ini masih dapat disaksikan! Mari, mari, kau tengok, kalau nanti kau sudah biasa, hatimu tidak akan goncang lagi.....” In Loei lari terus kepada jago tua itu, ketika sudah datang dekat, ia lihat sijago tua sedang pondong satu orang dengan dandanan sebagai boesoe — orang yang mengerti ilmu silat, — dibebokong siapa nancap sebatang panah yang masuk hampir separuhnya. "Apakah dia masih dapat ditolong?" nona ini tanya. "Dia masih bernapas, kita coba saja," jawab Tjioe Kian. "Aku membekal obat luka pemunah racun, hanya entah tepat atau tidak," kata si nona, yang terus berikan obat itu. Tjioe Kian terima obat itu. Ia cabut panah dibebokong orang itu yang terluka, yang tubuhnya diletakkan di tanah. Dari lobang luka terus keluar darah hitam. "Benar-benar panah beracun," kata orang tua ini sambil mengobati luka itu, kemudian ia urut-urut tubuhnya. Tidak lama antaranya, si luka itu membuka kedua matanya, cuma napasnya masih lemah, belum dapat ia membuka mulutnya. Tjioe Kian mengawasi, ia geleng-gelengkan kepalanya. "Bagaimana1" tanya In Loei. "Inilah racun Mongolia yang hebat sekali, tanpa obat pemunah dari si pemilik panah, tak dapat kita menolongnya," sahut si orang tua. "Syukur orang ini mempunyai tenaga dalam yang tanggu, karenanya ia masih dapat bertahan sampai sekarang ini. Obatmu dan urutanku cuma bisa menolong ia untuk sementara waktu, untuk membuatnya sadar, akan tetapi jiwanya tidak dapat bertahan sampai besok.....” In Loei jadi sangat berduka. "Kalau begitu lebih baik kita tidak tolong dia, supaya lantas mati dan tak usah menderita terlebih lama," ia kata. "Dia buron dari tanah daerah Tartar, dia dikepung sampai di sini mungkin dia mempunyai rahasia penting," Tjioe Kian utarakan sangkaannya. "Maka kalau dia tidak dapat berbicara sebelum dia menutup mata, mungkin dia mati tak puas.....” Dari sakunya, Tjioe Kian keluarkan sepotong jinsom Korea, lalu dipotongnya, kemudian dimasukkan ke dalam mulut orang itu. Obat ini (koleesom) mempunyai khasiat manjur rupanya ia mengharap orang itu dapat ditolong. Di empat penjuru lembah masih terdengar riuhnya suara pertempuran, juga ringkikkan dari banyak kuda, terutama letusan-letusan yang memekakan kuping. Mendengar itu semua, Tjioe Kian, ketok-ketok goloknya sambil tertawa. "Tidak sampai terang tanah, tentera Tartar akan musnah semuanya," kata dia. "In Loei, sekarang tahulah kau sebabnya kenapa aku rampas angkutan harta tentera kota Ganboenkwan." In Loei cerdik, ia cuma berpikir sebentar atau ia tertawa sambil tepuktepuk tangan. "Sungguh tipu dayamu yang bagus, soesiok- tjouwl" dia memuji. "Kau rampas uang negara, itu artinya kau hendak bikin tjongpeng dari Ganboenkwan dengar perkataanmu. Begitulah ketika bangsa Tartar menjanjikan dia untuk bekerja sama, kau suruh dia diam saja, jangan gerakkan tentera. Demikian, kau berada di tempat terang, musuh berada di tempat gelap. Semua kau atur sempurna, pasti sekali kau menang perang!" Tjioe Kian puas, ia tertawa pula. "Teng Tay Ko itu bukannya seorang yang buruk," ia kata. "Pemerintah titahkan dia membasmi berandal, dia insaf bahwa tenaganya tidak cukup, dia membuat perhubungan dengan bangsa Tartar. Lebih dahulu aku rampas hartanya, setelah itu seorang diri aku pergi padanya. Aku tegaskan padanya apakah dia ingin mampus dicingcang tenteranya yang kelaparan atau hendak bermusuh dengan bangsa Tartar. Nyata dia masih sayangi jiwa dan pangkatnya, dia dengar perkataanku. Sekarang nampaklah buktinya." Tak tahan jago tua ini kembali dia tertawa. "Kenapa kau tertawa soesioktjouw?" tanya In Loei heran. "Aku tertawa karena Teng Tjongpeng itu Jenaka," sahut si orang tua. Di dalam surat-surat resminya dia namakan aku "Kimtoo si bangsat tua" akan tetapi bila berhadapan dengan aku sendiri, dia berulangkah memanggil thaydjin, tandanya ia tetap akui aku sebagai atasannya.....” Mau atau tidak In Loei juga tertawa. "Apakah sebelum dia berada di sini, dia tahu Kimtoo si bangsat tua ada seatasannya?" dia tegaskan sambil berkelakar. "Dia adalah orang angkatanku," Tjioe Kian beri keterangan. "Begitu dia saksikan golokku, dia mesti dapat menduga aku siapa. Cuma tadinya dia berpura-pura tidak tahu. Pun biasanya, setiap kali aku tempur tentera negeri, aku selalu pakai topeng, maksudku ialah agar mereka tidak mengenali aku." "Kenapa begitu, soesioktjouw?" "Jikalau tenteranya mengetahui aku adalah bekas tjongpeng dari kota Ganboenkwan." sahut si orang tua, "ada kemungkinan sebagian dari tenteranya itu akan lari ke pihakku. Ganboenkwan adalah kota perbatasan, sudah semestinya kota itu mempunyai pasukan penjaga yang kuat, karena ini aku cuma terima orang-orang melarat, aku tolak tentera negeri." In Loei masih muda sekali, tidak pernah ia pikirkan siasat semacam itu, karenanya ia melengak mendengar pembicaraan Kimtoo Tjeetjoe, yang dalam maksudnya itu. "Bagus, dia telah mendusin" tiba-tiba Tjioe Kian berseru. Memang benar si orang luka itu membalikkan tubuhnya. "Kamu siapa" tanya dia pertama kali dia membuka mulutnya, suaranya serak. "Lekas pimpin aku, aku hendak bertemu dengan Kimtoo Tjeetjoe!....." Tjioe Kian girang. "Akulah Kimtoo Tjeetjoe," ia perkenalkan dirinya. Orang itu segera menanya: "Apakah kau tahu cucu perempuan dari In Tjeng yang bernama Loei? Tahukah kau di mana dia berada?" In Loei terkejut. "Aku adalah In Loei!" ia segera menjawab. Dengan mendadak orang itu pentang lebar matanya. "Kau In Loei?" katanya. "Bagus! Bagus! Mati pun aku meram! Kakakmu masih hidup, sekarang dia telah pergi ke kota raja untuk turut dalam ujian, maka lekaslah kau pergi susul dia!" Kembali si nona terkejut. Memang ia tahu yang ia masih mempunyai satu saudara lelaki, dan usianya lebih tua, namanya In Tiong, akan tetapi waktu kakaknya itu berumur lima tahun, ayahnya telah mengirimkan dia pada satu soehengnya, kakak seperguruan, untuk dijadikan muridnya. Hal ini ia baharu tahu kemudian, sesudah ia dengar keterangan gurunya. Sama sekali Hian Kee Itsoe, gurunya In Teng, mempunyai lima murid. In Teng keluar dari perguruan sebelumnya tamat, dia pergi ke negeri asing untuk menolongi ayahnya, In Tjeng. Empat murid lainnya, masing-masing mendapat serupa kepandaian istimewa. Tiauw Im adalah murid yang kedua, dia mendapat ilmu tongkat Hokmo thung serta gwakang, ilmu tenaga luar. Tjia Thian Hoa yang ketiga, bersama Hoeithian Lionglie yang ke empat, berdua mereka peroleh ilmu pedang. Murid kesatu adalah Tang Gak, dia diberi pelajaran Taylek Engdjiauw kong, Tenaga Cengkraman Garuda, dan ilmu silat Kimkong tjioe, Tangan Arhat. In Tiong telah dikirim kepada Tang Gak ini. Sejak Tang Gak tiba di Mongolia, dari mana ia berpesiar keperbatasan Thibet, untuk selama sepuluh tahun, selama itu tidak pernah ada kabar ceritanya, maka itu apakah In Tiong sudah mati atau masih hidup, orang tidak mengetahuinya. Siapa tahu sekarang mendadak datang kabar dari orang yang tidak dikenal ini. In Loei menjadi girang berbareng heran. "Kau siapa?" ia tanya. "Aku adalah soeheng dari kakakmu," ia berikan jawaban. "Ah! Kalau begitu, kau juga ada soeheng-ku.....” ia beritahu. Tadinya ia niat menanyakan lebih jelas, tiba-tiba ia tampak matanya menjadi putih mencilak, lalu dengan lebih serak, soeheng itu berkata: "Masih ada kabarku yang lebih pentang pula. Bangsa Tartar berniat mengurung gunungmu, untuk merusak bendungan air.....” "Tentang itu, aku telah ketahui dari siang-siang," Tjioe Kian beri keterangan. "Dapatkah kau dengar suara ledakan? Itu tandanya pihakku telah peroleh kemenangan." Orang itu tersenyum, ia perlihatkan roman girang. "Musuh juga akan mengerahkan angkatan perangnya untuk menggempur kerajaan Beng," dia masih menerangkan lebih jauh. "Kau..... kau mesti berdaya untuk memberi kisikan kepada Sri Baginda. Di..... di..... dihadapanku ada sepucuk surat untukmu..... Bagus, aku telah bertemu dengan kamu, bolehlah aku pergi.....” Suaranya semakin perlahan, begitu ia berhenti bicara, ia tersenyum pula, habis itu, kedua matanya dimeramkan kembali.....” Secara demikian dia berpulang ke alam baka. Tjioe Kian terharu, ia menghela napas. Ia ambil surat yang dimaksudkan, ia menekes batu untuk menyalakan api. "Inilah suratnya toasoepeh-mu." ia kata. Surat itu ditulis dengan huruf "Tjodjie", suatu tanda ditulisnya lekas-lekas. Tjioe Kian lantas sobek sampulnya, untuk membaca suratnya. Mula-mula ia baca: "Gak adalah seorang gunung, ia titipkan dirinya di padang pasir, citacitanya besar, akan tetapi akhirnya, dengan arak ia membuat dirinya sinting selalu. Seumurnya tidak ada yang Gak buat menyesal kecuali belum pernah berkenalan dengan tuan....." Di dalam hatinya, Tjioe Kian berpikir: "Tang Gak ini mempunyai cita-cita luhur." Ia membaca terus: "Walaupun tuan dengan aku belum pernah bertemu, akan tetapi dari saudara Thian Hoa, tahulah aku tentang kegagahan tuan yang kaum kangouw mengaguminya. Benar tuan telah berdiri sendiri dengan menduduki sebuah gunung, dengan menolak bangsa Han dan menentang bangsa asing, akan tetapi aku tahu pasti tuan tak sudi melihat bangsa asing meluruk ke Selatan untuk menggembala kuda hingga kesudahannya Tionggoan nanti berubah Han menjadi asing.....” Tjioe Kian menghela napas. "Sungguh orang ini mengenal diriku," ia kata. Ia membaca pula: "Di negara Watzu setelah perdana menteri To Hoan menutup mata, puteranya yang bernama Ya Sian telah menggantikannya, mulanya sebagai menteri, belakangan dia angkat dirinya guru negara, hingga dia pegang kekuasaan atas pemerintahan dan tentera. Dia telah menyiapkan angkatan perangnya dengan maksud menyerbu Tionggoan. Sekarang dia mengumpulkan rangsum dan lain lainnya, hingga rasanya tak lama lagi ia akan mulai menggerakkan tenteranya itu. Musuh tangguh sudah seperti di depan pintu kota perbatasan akan tetapi di dalam pemerintahan, menteri-menteri tengah bermabuk-mabukan, mereka seperti tengah bermimpi adakah itu bagus?.....” Jago tua itu berpikir keras. Memang kelihatan, kaum dorna tengah main gila. Ia membaca lebih jauh: "Muridku In Tiong berniat keras membalas dendam, dia telah berangkat pulang ke dalam negeri, tetapi dia masih muda dan pengalamannya kurang, dia tak tahu bahwa yang berkuasa adalah kaum dorna, aku kuatir dia nampak kegagalan. Maka itu, semoga tuan ingat kepada sahabat lama, sukalah kau mendidik dia. Gak pun dengar saudara In Tjeng masih mempunyai satu anak perempuan bernama Loei, andaikata tuan ketahui di mana adanya anak itu, tolong beritahukan padanya tentang kakaknya ini. Aku menyesal mengenai soetee Thian Hoa, sejak pertemuan kita di perbatasan pada sepuluh tahun yang lalu, sampai sekarang ini terputuslah perhubungan kita. Ceritera di luaran mengatakan dia telah terbinasa ditangan penghianat she Thio atau ia telah tertawan dan terkurung di dalam istana bangsa asing. Gak sekarang bersendirian saja, aku tidak sanggup berbuat suatu apa, dari itu Gak mohon sukalah tuan mengabarkan kepada soetee Tiauw Im dan soemoay Eng Eng agar mereka lekas berangkat ke negara asing. Semua ini, aku mohon bantuan tuan, untuk itu, tak berani aku menghaturkannya terima kasih." Habis membaca, Tjioe Kian menghela napas. "Jikalau demikian adanya," kata In Loei, "baiklah aku pergi dulu ke kota raja untuk mencari kakakku." Orang tua itu lirik si nona, ia berpikir. "Begitupun baik," sahutnya, setelah lama berpikir. In Loei heran melihat wajah orang tua itu. "Rasanya aku dapat menduga niatan kakakmu itu," kata Tjioe Kian kemudian. "Kabarnya raja yang sekarang sedang mencari orang-orang pintar dan gagah, untuk itu ia berminat memberi hadiah yang istimewa pada mereka yang tahun ini turut ujian, ialah setelah ujian umum, ia lantas mengadakan ujian tjonggoan. Pastilah kakakmu hendak ambil jalan ujian itu guna memajukan dirinya, supaya kemudian dapat ia pinjam tenaga pemerintah untuk mewujudkan pembalasan bagi engkong nya itu. Maksud ini baik, saying kawanan dorna tengah berkuasa, dari itu aku kuatir, dia tidak akan mendapat hasil.....” Orang tua ini dongak, akan melihat bintang-bintang. Tiba-tiba ia memandang In Loei. "A Loei, pernahkah kau baca surat balasannya Lie Leng kepada Souw Boe?" tiba tiba ia tanya. Si nona manggut. Memang ia pernah baca surat itu. Inilah disebabkan karena engkong-nya membandingkan dirinya dengan Souw Boe, maka ia telah minta engkong itu mengajarkannya. "Masa dahulu Lie Leng, dengan tenteranya telah melawan bangsa Ouw," berkata Tjioe Kian. "Serdadunya cuma lima ribu jiwa tapi dia lawan musuh dengan tentera sepuluh laksa jiwa, bisa dimengerti kelemahannya, walaupun demikian, masih bisa ia membinasakan panglima dan merebut benderanya, mengejar sana mengejar sini, hanya pada akhirnya, karena yang sedikit tidak dapat melawan yang banyak, ia kehabisan tenaga dan kena ditawan juga. Kalau diingat, besar jasanya Lie Leng, tetapi pemerintah tidak menghargainya, malah dia dihukum mati serumah tangganya, maka itu, ia jadi putus asa, tak ada ingatannya lagi untuk pulang ke negerinya. Dalam suratnya pada Souw Boe itu, ia teringat kepada ibunya, kepada anak isterinya, ia sesalkan nasibnya yang buruk. Maka itu, Lie Leng itu sungguh harus dibuat menyesal.....” Ia dongak pula, ia menghela napas. "Soesioktjouw," berkata In Loei, "kau tetap menentangi tentara bangsa Ouw, mana bisa kau dipadu dengan Lie Leng?" "Kau belum tahu tentang aku, anak," kata Tjioe Kian. "Dalam usiamu tujuh tahun, kau telah dengar riwayatnya engkong-mu, maka sekarang, akan aku tuturkan kau hal diriku. Dahulu dimasa aku menguasai kota Ganboenkwan, pernah aku melakukan peperangan besar dan kecil sampai beberapa puluh kali, setiap kali berperang, tentu aku peroleh kemenangan, maka sungguh tak diduga, oleh karena dengar hasutan, raja telah memecat aku. Untukku, kejadian itu tidak berarti suatu apa. Tapi engkong-mu? Dia bandingkan dirinya dengan Souw Boe tapi dia mengalami lebih hebat, dia dihadiahkan kematian! Adakah ini adil? Karena itu, aku lantas tinggalkan Ganboenkwan. Mulanya aku tak mempunyai pikiran untuk menduduki gunung, siapa tahu, raja Beng berbuat sama seperti raja Han terhadap Lie Leng. Keluargaku semua telah dihukum mati! Syukur satu bujangku yang setia berhasil menolongi puteraku. Dialah orang yang pancing kau mendaki gunung." In Loei terharu hingga ia mengalirkan air mata. Ketika ia pandang jago tua itu, wajahnya Tjioe Kian muram, jago itu membungkam. Tapi kemudian, dengan goloknya, Tjioe Kian tunjuk benderanya yang melambai-lambai ditiup angin malam yang dingin: "Lihat di sana, benderaku tetap bendera Djitgoat Kie!" In Loei angkat kepalanya, ia turut memandang bendera itu dengan matahari dan bulan sabitnya. Yang luar biasa adalah huruf "djit" — "matahari" dan huruf "goat" — "rembulan," apabila keduanya direndengkan, digabung menjadi satu, kedua huruf itu menjadi huruf "Beng" — "terang," tetapi di sini diartikan "beng" dari kerajaan Beng. "Kiranya sekalipun soesioktjouw menjadi berandal, masih kau tak melupakan kerajaan kita!" ia kata. Tjioe Kian tidak menjawab, ia hanya berkata: "Kalau nanti kau dapat cari kakakmu itu, katakan padanya supaya dia jangan turut dalam ujian boe tjonggoan, tapi lebih baik dia kembali, untuk datang padaku di sini. Pemerintah sangat tidak berbudi, buktinya, lihat yaya-mu itu! Apakah itu tak cukup dijadikan contoh untuk hati menjadi ciut?" Si nona mengangguk. "Soesioktjouw benar," sahutnya. Tjioe Kian lipat suratnya, ia masukkan itu ke dalam sakunya. "Samsoesiok Tjia Thian Hoa mu gagal, dia juga orang yang aku kagumi," dia berkata pula. "Aku ingat pada sepuluh tahun yang lampau, bersama-sama Tiauw Im Taysoe dia telah membuat janji, yang satu memelihara anak tunggal, yang lain menuntut balas. Sekarang ini Tiauw Im Taysoe sudah menitipkan kau kepada adik seperguruannya yang perempuan untuk merawat kamu, akan tetapi tentang pembalasan dari Thian Hoa, entahlah! Tidakkah ini membuatnya orang berduka?" "Nanti aku beritahukan guruku," kata In Loei, "biar ia bersama djiesoepee pergi ke perbatasan untuk mencari samsoepee." "Kau, sendirian saja, mana dapat kau bekerja untuk dua jurusan?" kata Tjioe Kian. "Begini saja. Pergi kau cari kakakmu, aku yang akan memberitahukan kepada gurumu." "Itulah lebih baik. Baiklah besok akan aku berangkat." Tjioe Kian tertawa. "Kau masih mempunyai waktu beberapa hari," katanya. "Dalam hal ilmu silat, kau lebih pandai, tapi tentang pengalaman, kau perlu belajar dari aku.....” Waktu cuaca makin terang dan dentuman sudah mulai sepi, Tjioe Kian dan In Loei kembali ke pesanggrahan. Tepat tengah hari, tentara yang bersembunyi di empat penjuru sudah kembali dengan warta kemenangannya yang besar, tentera Mongol dihajar kucar-kacir dan banyak yang tertawan berikut kudanya. Karena itu, Tjioe Kian menitahkan untuk memberi hadiah, hingga ia menjadi repot untuk beberapa saat. "Kau benar gagah, tetapi mengenai seluk-beluk kaum kangouw, kau masih kurang," berkata pula Tjioe Kian sambil tertawa. "Nanti aku suruh, San Bin mengajarkan padamu." In Loei cerdas, dengan gampang ia dapat mengerti, maka baharu tiga hari, ia sudah tahu baik segala apa mengenai kaum kangouw. Tjioe Kian masih kuatirkan orang kurang pengalaman, kenalan pun ia tak mempunyai banyak, dari itu ia serahkan sebuah benderanya, bendera Djitgoat kie. "Semua orang kaum kita di lima propinsi Utara, baik dari kalangan darat maupun sungai, apabila mereka lihat bendera ini, pasti mereka akan suka mengalah," ia beri keterangan. "Umpama kata kau menghadapi ancaman bahaya, kau keluarkan saja bendera ini. Cuma ingat, tidak dapat kau keluarkan secara sembarangan." In Loei terima bendera itu, ia haturkan terima kasihnya, akan tetapi, di dalam hatinya, ia berpikir: "Aku hendak merantau, aku membutuhkan pengalaman, perlu apa aku dengan perlindungan bendera ini?.....” Tapi tidak ia utarakan pikirannya ini. Tjioe Kian juga keluarkan beberapa potong pakaian orang lelaki, emas dan perak serta permata. Sambil tertawa, ia kata: "Satu nona tunggal membuat perjalanan ke kota raja, kau mudah membangkitkan perhatian orang, maka itu perlulah kau salin pakaian, untuk menyamar sebagai satu pemuda. Uang dan permata ini, kau boleh simpan untuk dipakai di tengah perjalanan." In Loei anggap salin pakaian adalah benar, maka ia tidak membantah. Ia dandan dengan lantas. Ia terima bekalan itu. Segera ia memberi hormat, untuk pamitan. "San Bin, pergi kau antar serintasan!" Tjioe Kian titahkan. Demikian In Loei keluar dari pesanggrahan, ia menunggang kuda pilihannya, maka itu, pada waktu tengah hari ia sudah melintasi Ganboenkwan. "Siokhoe silakan kau kembali!" ia minta pada pengantarnya. San Bin mengawasi dengan tajam. "Kau harus lekas kembali," katanya, suaranya dalam. Ia tidak lantas putar kudanya, sebaliknya, ia jalan terus berendeng dengan si nona, agaknya ia berat untuk berpisah. "Siokhoe, terima kasih untuk kebaikanmu," kata In Loei. "Silakan kembali!" Tiba-tiba wajahnya San Bin bersemu merah, lalu ia tertawa sendirinya. "Sebenarnya perbedaan usia kita berdua tidak seberapa," berkata dia. "Di antara kita ada tingkat, karenanya kita bukan lagi saudara. Coba kita bicara hanya hal umur, lebih tepat kita menjadi kakak dan adik." In Loei menjadi heran. Tiba-tiba ia ingat, selama beberapa hari, San Bin berlaku luar biasa baik terhadapnya. Di dalam hatinya, ia kata: "Paman ini seorang yang baik, sayang cara bicaranya tidak ada batasnya.....” Muda usianya si nona, ia tidak dapat berpikir lebih dalam. "Siokhoe, adakah kau cela aku memanggil paman padamu?" tanya dia sambil tertawa. "Baiklah kalau lain hari aku kembali, aku nanti bicara dengan soesioktjouw supaya kita ubah cara panggilan kita" Kembali mukanya San Bin merah. In Loei tertawa pula, terus ia pecut kudanya untuk dilarikan. Ketika ia berpaling, ia tampak Tjioe San Bin masih duduk diam di atas kudanya mengawasi padanya. Tiga hari In Loei lakukan perjalanannya, pada hari ketiga itu ia tiba di Yangkiok yang ramai, sesampainya di dalam kota, ia tampak banyak rumah makan. Ia lantas merasa lapar. "Sudah lama aku dengar, arak hoentjioe dari Shoasay kesohor, hari ini baik aku mencobanya," pikir nona ini. Lantas ia hampirkan sebuah rumah makan di depan mana ia tampak ditambat seekor kuda putih, putih juga ke empat kakinya, roman kuda pun bagus. Ia menghampiri lebih dekat. Justeru itu matanya berbentrok dengan satu tanda rahasia orang kangouw di pojok tembok, ia jadi heran. Dengan tenang ia bertindak masuk, hingga ia dapatkan di pojok selatan, dekat pada jendela, duduk satu anak sekolah yang sedang minum seorang diri, sedang di sebelah timur duduk dua orang laki-laki yang tubuh dan romannya kasar, yang satu kurus, yang lain gemuk, keduanya minum dengan asyik. Tetapi di mata si nona, mereka itu ternyata sering-sering melirik pada si mahasiswa. Anak sekolah itu indah pakaiannya, dia mirip dengan seorang putera hartawan. Dia juga minum seorang diri, secawan demi secawan, sampai tubuhnya nampak sedikit limbung, suatu tanda bahwa ia telah menenggak terlalu banyak. Tiba-tiba saja anak muda ini menyanyi: "Tuhan wariskan kita kepandaian, itu mesti ada gunanya. Kalau seribu emas dihabiskan, itu mesti dapat balik kembali. Memasak kambing, menyembelih kerbau, untuk berpesta bersenang-senang, maka itu haruslah diminum habis tiga ratus cangkir.....” Ia lantas goyang-goyangkan kepalanya, nampaknya ia tolol. Kembali ia ceguk satu cawan, hingga tenggorokannya berbunyi. Di dalam hatinya, In Loei berkata: "Sioetjay ini benar-benar tolol ia tidak insaf bahwa ini membahayakan perjalanannya. Dua penjahat sedang pasang mata terhadapnya, tapi ia masih tungkuli araknya saja.....” Si kurus di timur itu terdengar berseru: "Minum habis tiga ratus cangkir! — bagus! Hai, saudara, lain orang minum tiga ratus cangkir, kau sendiri, tiga cangkir kau masih belum tenggak!" Sang kawan, si gemuk, berjingkrak. "Kau ngaco!" tegurnya. "Kau cuma minum satu cawan, kau suruh aku habiskan tiga!" "Tapi kau harus ingat, kau lebih besar tiga kali lipat daripadaku!" kata si kurus. "Aku minum satu cawan, kau sendiri mesti tiga, tak boleh kurang!" "Angin busuk ! Angin busuk!" si terokmok mendongkol. "Tidak, aku tidak mau minum!" "Eh kau tidak mau minum?" tanya si kurus. Dia angkat poci arak itu, untuk digelukgukkan. Gusar si terokmok, ia menolak dengan keras, maka arak tumpah menyiram tubuhnya. Si kurus melawan, mereka berdua jadi bergumul, keduanya terhuyung hingga melanggar si mahasiswa. "Kurang ajar!" anak sekolah itu membentak. Ia gusar, ia berbangkit. Berbareng dengan itu terdengar suara barang jatuh, itulah kantong sulam si anak muda dari mana meletik keluar sepotong emas serta serenceng mutiara. Emas masih bagus tapi mutiara itu, di antara sinar matahari, sudah bercahaya terang sekali. Si anak muda angkat kakinya, untuk menginjak kantongnya, lalu ia membungkuk untuk menjemput emas dan mutiara itu. "Kamu hendak merampas?" ia berseru. Dua orang itu berhenti bergumul. "Siapa yang merampas barangmu?" bentak mereka. "Kau berani tuduh orang? Nanti aku hajar padamu!" Beberapa tetamu lain lantas maju, untuk memisahkan. In Loei tertawa menyaksikan pertunjukan itu. Di matanya, sudah terang si gemuk dan si kurus itu ada dua penjahat, mereka sengaja bergumul untuk menjatuhkan kantong uang orang untuk dirampas, sedikitnya untuk mengetahui lebih dulu, kantong itu kosong atau berisi, akan tetapi tak kesampaian maksud mereka. Di dalam hatinya, ia pun berkata: "Di sini ada aku, tidak nanti aku biarkan kamu mencapai maksudmu.....” Nona ini berbangkit, untuk menghampiri. Dengan kedua tangannya, ia tolak si gemuk dan si kurus itu. "Kamu mabuk arak, kenapa kamu bergumul hingga ke tempat lain orang?" ia tegur mereka. Sambil berkata begitu, dengan sebat tangannya meraba sakunya kedua orang itu, akan rampas uangnya. Tidak ada orang yang lihat perbuatannya ini. Ditolaknya dada kedua orang itu, mereka merasa sakit, hingga mereka jadi kaget, karena mana, tidak berani mereka beraksi terlebih jauh. "Siapa suruh dia menuduh kita merampas.....” mereka mendumal. "Sudah, sudahlah!" kata seorang tetamu. "Kamu telah menubruk orang, kamu yang bersalah. Baiklah kamu pulang, untuk minum arak di rumah saja." Si mahasiswa angkat cawannya. "Saudara, mari minum!" ia mengundang, suaranya menyiarkan bau arak yang keras. "Terima kasih," sahut In Loei. Ia duduk pula di kursinya, dari situ ia awasi kedua orang itu. Kedua orang ini terang masih mendongkol, mereka memandang orang dengan sorot mata tajam. Lalu satu di antaranya teriaki tuan rumah untuk membuat perhitungan. Orang yang kedua, si kurus, meraba sakunya. Rupanya ia hendak mengeluarkan uang. Tiba-tiba ia melengak, wajahnya menjadi pucat. Si gemuk lihat roman orang, ia terkejut. Ia lantas raba sakunya. Ia pun melongo dengan mendadak. Sebab ia pun dapatkan sakunya kosong. Keduanya lantas saling mengawasi, mulut mereka bungkam. "Sama sekali satu tail tiga tjhie," kata tuan rumah, yang menghampiri kedua tetamunya itu. Kedua orang itu menyeringai, tangan mereka masih belum ditarik keluar dari saku mereka. "Tuan-tuan, semua menjadi satu tail tiga tjhie," kata pula si tuan rumah. "Apakah boleh kami membayar lain hari saja?" tanya si kurus akhirnya. Tuan rumah memperlihatkan roman heran, habis itu ia tertawa dingin. "Kalau setiap tetamu berhutang, tidakkah kami bakal makan angin?" kata dia. Jongos, yang tidak senang turut bicara: "Apakah kamu berdua bukannya sengaja hendak mengganggu kita? Kamu sudah minum dengan puas, lalu berkelahi, menubruk orang sekarang kamu juga hendak menganglap! Jikalau kamu tidak punya uang, buka saja bajumu!" Kasar suaranya jongos ini tetapi ia membuatnya lain-lain tetamu tertawa, hingga ruangan menjadi riuh ramai. "Memang mereka berdua yang salah.....” ada orang yang turut bicara. Melihat suasana buruk, kedua orang itu membuka bajunya. "Dua potong baju saja belum cukup!" kata si jongos yang tahu-tahu sudah menyambar kopiah orang, lalu dia menambahkan: "Dasar kita yang lagi sial! — Nah, sudah pergilah kamu!" Merah mukanya kedua orang itu, terpaksa mereka ngeloyor pergi. Puas In Loei menyaksikan kejadian itu, ia keringkan lagi dua cawan. Ketika ia menoleh pada si anak sekolah, dia itu masih duduk minum. Tiba-tiba ia ingat suatu apa: "Terang sudah kedua orang itu adalah orang-orang jahat, mereka mesti orang orang sebawahan, kena dihina mereka tidak bisa berbuat suatu apa, tetapi sepulangnya mereka mungkin mereka mengadu kepada kepalanya. Aku sendiri tidak takut tapi bagaimana dengan anak sekolah itu? Ia terancam bahaya.....” Karenanya ia berbangkit, ia teriaki tuan rumah: "Berapa aku telah minum?" Ia sudah ambil putusan akan susul kedua orang itu. Tuan rumah menghampir dengan wajah berseri-seri. Ia telah lihat pakaian orang yang indah. "Semuanya satu tail dua tjhie," ia jawab. In Loei merogo sakunya. Di situ ia taruh uang dari Tjioe Kian. Tiba-tiba ia bercekat. Sakunya itu kosong. Maka lekas ia rogo saku kiri. Di sini ia taruh uangnya dua orang tadi. Kembali ia terkejut. Juga uang copetannya itu lenyap. Tanpa merasa, ia keluarkan keringat dingin. Tuan rumah mengawasi orang merogo dan merogo lagi kedua sakunya. Dari dandanannya, ia tidak percaya bahwa ia sedang menghadapi seorang tukang anglap lain. "Apakah tuan tidak punya uang kecil?" dia tanya. "Uang goanpo juga boleh, dapat aku menukarnya." Bingung In Loei. Takut ia nanti disuruh buka pakaian! Itulah hebat. Tuan rumah mengawasi, orang merogo dan merogo lagi ke kedua sakunya, akhirnya ia menjadi curiga. "Kau kenapa, tuan?" dia tanya, suaranya tawar. Justeru itu si mahasiswa menghampiri, sambil tertawa ia berkata: "Di empat penjuru lautan semua orang bersaudara..... Uang seribu tail dibuyarkan pun bisa dapat kembali..... Biarlah aku yang tolong bayarkan uang araknya engko kecil ini." Ia rogo sakunya, akan keluarkan sepotong perak berat kira-kira sepuluh tail. Ia lemparkan perak itu pada tuan rumah. "Ini uangnya," katanya. "Lebihnya kau boleh ambil." Luar biasa girangnya si tuan rumah. "Terima kasih! Terima kasih!" ia mengucap berulang-ulang. Merah mukanya In Loei. "Terima kasih," ia pun menghaturkan. "Tak usah." kata si anak muda, tenang. "Aku hendak mengajarkan kau satu rahasia. Yaitu lain kali kalau pergi minum arak, harus kau pakai baju dua rangkap, dengan begitu, jangan kuatir apa-apa lagi di waktu hendak membayar uang arak." Di waktu bicara, kembali mulutnya berbau arak keras. Ia tetap berlaku tenang, habis berkata, tanpa pedulikan lagi si anak muda, ia ngeloyor pergi. In Loei mendongkol bukan main, ia jengah. "Satu anak sekolah tidak tahu aturan.....” pikirnya. "Coba tadi aku tidak tolong padamu, pasti uangmu telah orang rampas.....” Kemudian ia mengawasi kesekitarnya, ia tidak lihat satu tetamu jua yang mencurigakan. Ia jadi putus asa. Dengan masih mendongkol dan masgul, ia pun lantas angkat kaki, dengan menunggang kudanya, ia lanjutkan perjalanannya. Bingung juga ia, karena sekarang ia tidak punya uang. Setibanya di luar kota, In Loei lihat si anak muda, yang bersama kudanya yang putih, berada di sebelah depan. "Bukankah dia yang telah main gila?" tiba-tiba ia bercuriga. "Tapi dia tak mirip sama sekali.....” Ia larikan kudanya, untuk menyandak mahasiswa itu, lalu dengan menyambuk seperti juga ia ingin kaburkan kudanya, ujung cambuknya ia arahkan keiganya si anak sekolah. Inilah satu ujian. Kalau si anak muda seorang lihay, ia mesti dapat egoskan tubuhnya, akan menyingkir dari ancaman bencana. Sekonyong-konyong si anak muda menjerit, ia tidak berkelit dari cambuk itu, tubuhnya lantas saja terhuyung, hampir ia jatuh dari atas kudanya. "Maaf, aku kesalahan!" berkata In Loei. "Aku tidak sengaja." Mahasiswa itu menoleh. "Ah, orang yang hendak menganglap....." katanya, "Jangan kau arah aku karena aku mempunyai uang, dengan uangku aku hanya hendak ikat persahabatan..... Orang semacam kau, yang sudah menganglap dan sekarang juga memukul orang, denganmu tak suka aku bersahabat!" In Loei mendongkol berbareng merasa lucu. "Apakah kau masih sinting ?" ia tanya. Si mahasiswa tidak menyahuti, ia hanya ngoceh seorang diri: "Dengan golok membacok air, air tak terputus hanya mengalir terus. Angkat cawan meminum arak, untuk melenyapkan kedukaan, tapi kedukaan tambah kedukaan. Memang hidup di dalam dunia sukar mendapatkan kepuasan maka lebih baik besok pergi main perahu!..... Eh, eh, tak sudi aku minum arak bersama kau, tak sudi aku!" Kelihatan nyata sintingnya mahasiswa ini. Bingung juga In Loei. Ia maju, ia ingin pegang tubuhnya yang limbung di atas kuda itu. Atau mendadak si mahasiswa jepit perut kudanya hingga kuda itu lompat kabur. Kudanya In Loei adalah kuda Mongolia pilihan, akan tetapi ketika ia kaburkan kudanya, untuk menyusul, tidak dapat ia candak si anak muda. "Dia tidak mengerti silat tetapi kudanya jempol sekali..." pikirnya. Terpaksa ia jalan terus seorang diri, pikirannya pepat. Lama In Loei lanjutkan perjalanannya, sampai ia lihat matahari merah mulai condong ke arah barat dan dari sana-sini mulai terlihat asap mengepul, tandanya orang sudah mulai menyalakan api. Ia memikir untuk singgah pada seorang tani. Tapi ia bersangsi. Bukankah ia sudah tidak punya uang? Ia masih jalan terus, sampai mendadak ia dengar kuda meringkik. Nyata di sebelah depannya ada pohon-pohon yang lebat, di situ ada sebuah kuil, dan di muka kuil itu seekor kuda putih sedang makan rumput. Ia segera kenali kuda itu. "Eh, ia pun ada di sini?" pikirnya, heran. "Orang-orang beribadat adalah orang-orang yang murah hati, baik aku singgah di sini saja.....” Ia tambat kudanya di luar, ia bertindak masuk ke dalam kuil setelah menolak daun pintunya yang tertutup rapat. Segera ia tampak mahasiswa lagi nongkrong di depan tabunan, dia sedang menambus ubi. Melihat si nona, atau lebih benar si anak muda, anak sekolah itu perdengarkan suaranya: "Di mana hidup bisa tak bertemu denganmu? Ah, ah, kembali kita bertemu pula!" In Loei awasi. "Apakah kau telah sadar dari sintingmu?" dia tanya. "Eh, kapan aku sinting?" si anak sekolah mem-baliki. "Aku tahu kau adalah si orang yang menganglap.....” In Loei mendongkol. "Kau tahu apa?" katanya nyaring. "Ada orang jahat mencopet uangku!" Berjingkrak si mahasiswa, dia lompat bangun. "Apa?" serunya. "Ada orang jahat? Dikuil ini tidak ada pendetanya, kalau penjahat datang, sungguh hebat! Tidak, aku tidak mau berdiam di sini.....” In Loei mendongkol berbareng geli dalam hatinya. "Kau hendak pergi ke mana?" dia tanya. "Begitu kau keluar dari sini, penjahat akan membegal padamu! Tidak ada orang yang dapat menolongi kau! Dengan ada aku di sini, seratus penjahat pun aku tidak takuti." Si mahasiswa pentang matanya lebar-lebar. Sekonyong-konyong ia tertawa. "Jikalau kau mempunyai kegagahan seperti itu, kenapa kau anglap barang makanan orang?" dia tanya. "Sebab ada copet yang mencuri uangku," In Loei akui. Mahasiswa itu tertawa terpingkal-pingkal, lantas dia tunjuk orang dihadapannya ini. "Kau tidak takuti seratus penjahat, tetapi uangmu dicopet orang!" katanya. "Hahahaha! Nyata kepandaianmu mendusta ada terlebih esay daripada kepandaianmu menganglap...!" Nampaknya dia hendak berlalu, tetapi dia batal sendirinya. Dia tambahkan: "Tak sudi aku dengar kau! Dunia begini aman, di mana ada segala tukang copet?" Dan dia balik-balikkan ubi bakarnya. Bukan kepalang mendongkolnya In Loei. Tak dapat ia gusar karena katakata orang itu beralasan. Tapi tak dapat ia diam saja menahan kemendongkolannya. "Kau tidak percaya, ya sudahlah!" katanya. "Aku pun tak perlu kau mempercayainya!" Ubi bakar itu harum sekali, terseranglah napsu daharnya In Loei. Ia memang telah melarikan kudanya lama dan telah datang rasa laparnya, harum ubi itu menambah hebatnya napsu daharnya. Ia menelan ludah tetapi tidak berani ia membuka mulutnya. Orang sudah mengatakan ia si tukang anglap. Tapi itu ada satu kuil kosong, tidak ada pendetanya, di mana di situ ia bisa cari barang makanan untuk tangsel perutnya? In Loei menderita, apapula ketika ia tampak orang mulai menggayem ubinya yang harum itu. Sambil makan, mahasiswa itu ngoceh seorang diri: "Arak memang dapat membuat orang sinting..... Ikan dan daging memang lezad, tetapi ubi juga enak..... Sungguh wangi, sungguh wangi!" In Loei deliki orang itu, lantas ia melengos. Tiba-tiba si mahasiswa berkata: "Eh, tukang anglap, aku bagi kau ubi ini!" Dan lantas ia lemparkan sepotong ubi yang masih panas. "Siapa kesudian makan ubimu?" bentak In Loei. Ia tidak sambuti ubi itu, hanya sambil telan ludah, ia duduk bersila, matanya melihat hidung, hidungnya "melihat" hati. Dengan begitu, sambil bersamedhi, dapat ia kuasai rasa laparnya. Ia malah cepat merasa lega hati, hingga ia bisa buka kedua matanya. Sekarang ia dapatkan si mahasiswa sedang rebah tidur, ubinya terletak di sampingnya. Menampak demikian, In Loei ulur lidahnya. Ia juga hendak ulur tangannya ketika ia tampak si anak sekolah membalikkan tubuhnya. Dia tidak bangun, tapi dia tidur pula. "Setan alas!" kata In Loei dalam hatinya. "Biar aku kelaparan satu malaman, toh tidak jadi apa!.....” Si mahasiswa tidur dengan menggeros, suaranya sangat berisik. In Loei ingin tidur tetapi tidak bisa. Ia awasi tubuh orang itu. "Tetapi dia ini aneh," ia pikir tentang anak sekolah itu. "Dia berpakaian indah, uangnya pun nampaknya banyak. Kenapa dia membuat perjalanan tanpa ada pengantarnya? Kenapa dia berani mondok di kuil ini, di tempat begini sepi? Kenapa dia justeru makan ubi yang tidak ada harganya? Apa mungkin dia mengerti silat tetapi dia sengaja berpura-pura? Melihat romannya, tak mestinya dia mengerti ilmu silat.....” In Loei berbangkit. Timbul di otaknya pikiran untuk menggeledah anak sekolah itu. Justeru itu, kembali si anak muda membalikkan tubuhnya. "Jikalau ia mendusi, bukankah ia akan sangka aku hendak mencuri uangnya?" ia ragu-ragu. Ia sudah maju tiga tindak, atau ia mundur lagi dua tindak. Tiba-tiba terdengar satu suara keras dari luar kuil, entah suara apa itu. In Loei menoleh, ia tidak lihat suatu apa, ketika ia berpaling kepada si mahasiswa, dia ini tetap tidur mendengkur bagaikan babi..... "Sebenarnya aku tak mau ambil mumat padamu," pikirnya kemudian, "akan tetapi aku kasihan padamu..... Hitung saja untungmu bagus, baiklah, akan nonamu talangi kau menangkis si orang jahat!" Tanpa ragu-ragu, In Loei lari keluar, kemudian ia lompat naik ke atas sebuah pohon, di atas itu ia sembunyikan diri sambil memasang mata. Ia curigai suara itu. Ketika itu cahaya rembulan tampak remang-remang dibantu sinar bintang, In Loei segera tampak datangnya dua orang, muka siapa ditutupi topeng. "Dengan melihat kuda putih itu, terang sudah dia ada di sini," begitu terdengar seorang berkata. "Bagaimana andaikata dia tidak suka menurut?" tanya yang lain. "Jikalau tak dapat dengan cara baik, terpaksa kita mesti ambil batok kepalanya!" menyatakan orang yang pertama bicara. "Bagaimana dapat kita berbuat begitu?" berkata pula kawannya. "Apakah tak cukup kita lukai saja padanya?" In Loei gusar mendengar pembicaraan itu. "Sungguh jahat kamu!" pikirnya. "Sudah hendak merampas harta orang juga kamu menghendaki jiwanya!..." Tiba-tiba salah satu di antaranya berseru: "Awas! Di atas pohon itu ada orang!" In Loei berlaku sebat, dua batang piauw-nya — Ouwtiap piauw, atau piauw Kupu-kupu — telah dilepaskan. Dua orang bertopeng itu gesit, mereka berhasil berkelit. In Loei penasaran, sambil hunus pedangnya, ia lompat turun, untuk serang dua orang yang ia percaya ada orang-orang jahat itu. Dua orang itu, yang satu menyekal tongkat besi, yang lain sepasang gaetan, menangkis serangan itu. Maka bentroklah pelbagai senjata itu. Mereka lantas saja menjadi kaget. Sebab yang bersenjatakan tongkat, tongkatnya sempoak, yang menggenggam gaetan, gaetannya tersampok mental, sukur tidak sampai terlepas dari cekalan. "Mereka lihay juga," begitu pikir In Loei, yang merasakan tangkisan keras. Kedua orang itu kaget, mereka hendak tanya lawannya ini, tetapi mereka tidak punyakan kesempatan. In Loei sudah lantas menyerang pula, dengan gencar. Pedang In Loei adalah pedang Tjengbeng, salah satu dari sepasang pedangnya Hian Kee Itsoe, pedang ini tajam dan biasanya dapat membabat kutung genggaman biasa, tetapi karena tongkat itu besi belongkotan, tongkatnya si orang bertopeng tak kena dibabat kutung, sedang sepasang gaetannya hanya kena tersampok. Orang yang bersenjatakan gaetan itu sebat sekali, bagus juga permainan gaetannya, karena mengetahui pedang lawan tajam, ia tidak mau membuat gaetannya kena ditabas. Ia membalas menyerang, ia lebih banyak berkelit daripada menangkis. In Loei berkelahi dengan gunakan ilmu silat "Hoeihoa poktiap", atau "Bunga terbang menyambar kupu-kupu." Ia pun senantiasa menyingkir dari kedua macam senjata lawan itu, yang mencoba mendesak padanya. Belum lama atau kedua orang bertopeng itu sudah kewalahan, tidak peduli mereka ada berdua dan mendapat ketika baik untuk mengepung, terpaksa mereka main mundur, akan tetapi karena mereka licin, tidak lantas mereka kena dipecundangkan. In Loei menjadi penasaran, hingga ia kertak giginya. Kalau tadinya ia tidak memikir untuk ambil jiwa orang, sekarang ia tak gentar untuk melakukan itu. Begitulah, satu kali ia serang orang yang menggenggam sepasang gaetan dengan tipu silat "Toatbeng sin" atau ""Malaikat menyabut jiwa," yang ia peroleh dari Hoeithian Lionglie. Ia ingin rubuhkan lawan yang satu dulu, baharu nanti yang kedua. Di luar dugaan nona ini, orang bertopeng itu perlihatkan kelicinannya. Dia loloskan diri dari tikaman, berbareng dengan itu, dia membalas dengan gaetannya — gaetan yang kanan. Yaitu selagi pedang lewat, tidak mengenai gaetan kiri, gaetan kanan dipakai menggaet menarik dengan keras. Si nona kaget, hampir saja pedangnya terlepas dari pegangannya. Ia kenali tipu silat gaetan itu adalah salah satu dari tipunya Tantai Mie Ming. "Hai, apakah kamu murid-muridnya Tantai Mie Ming?" ia tegur mereka. Ia desak yang memegang tongkat sambil menyingkir dari orang yang menggenggam gaetan itu. Orang yang pegang gaetan itu menyahut dengan seruannya: "Nyata kau ketahui kita siapa! Karena itu, lain tahun pada hari ini adalah hari peringatanmu mampus satu tahun!" Dan seruan itu disusul dengan serangan hebat. Merah matanya In Loei, ia jadi sangat gusar. "Orang Tartar bernyali besar! Cara bagaimana kamu berani nyelundup masuk ke Tionggoan? Apakah kamu sangka Tionggoan sudah tidak ada manusianya?" dia berteriak. Dia pun balas menyerang dengan dahsyat. Pertempuran berjalan seru, akan tetapi selang sekian lama, In Loei jeri sendirinya. Ia lapar dan kurang tidur, selang seratus jurus, ia menjadi lelah. Keringatnya pun mulai keluar. Di luar sangkaannya, kedua musuh ada tangguh, rapi kepungan mereka. Dengan sendirinya, ia jadi kena dikurung, percuma agaknya ia mempunyai pedang yang tajam itu. "Pedang bocah ini bagus," kata lawan yang pegang tongkat, "bolehkah sebentar pedang itu diberikan padaku?" "Boleh, boleh sekali!" sahut kawannya. "Aku suka mengalah, suka aku berikan pedang itu kepada kau, akan tetapi kau mesti berjanji, kalau sebentar kita bekuk dia, dia mesti diserahkan padaku, kau mesti dengar perkataanku!" In Loei mendongkol mendengar ocehan itu, lebih-lebih perkataannya orang yang bersenjata gaetan itu. Kata-kata itu bisa bermaksud busuk. Karenanya, ia ulangi serangannya yang dahsyat, ia desak lawan yang bersenjatakan tongkat itu. "Aduh!" teriak lawan ini ketika satu kali ia tangkis serangan-serangan dari tipu silat "Hoeipauw lioetjoan" — "Air tumpah terbang mengalir jadi solokan," dan tangannya pun diturunkan. In Loei gunakan ketikanya yang paling baik, ia tunjuk kesehatannya, ialah menyusul itu, pedangnya menyambar ke tenggorokan. Tak sampai menjerit lagi, lawan itu rubuh binasa. Kaget lawan yang menggenggam gaetan itu. Inilah hebat untuknya, sebab selagi ia berdiri ternganga, pedang sudah menyambar pula, hingga gaetannya yang kiri kena terbabat kutung. Kali ini ia tidak tercengang pula, lantas ia lompat mundur, untuk putar diri, buat angkat langkah panjang. In Loei sedang murka, ia menyerang dengan tiga batang Bweehoa Ouwtiap piauw, ia arah bebokongnya akan tetapi terdengarlah suara nyaring beruntun, lantas ketiga piauw runtuh sendirinya, entah kena terhajar apa. Maka dalam sekejap saja, musuh sudah lenyap di tempat gelap. Nona ini tak mengerti sendirinya. Tak mengerti ia kenapa lawan yang bersenjata tongkat itu begitu gampang menurunkan tangannya mestinya dia masih sanggup berdaya. "Apakah ada orang yang membantu aku secara diam-diam ia berpikir. Ia juga heran atas runtuhnya piauw-nya barusan. Apa benar ada orang yang bantui dan berbareng menolongi juga lawannya itu? Tapi itu nampaknya sangat tak beralasan — dugaannya ini bertentangan dengan kenyataan..... Lantas In Loei hampirkan korbannya, topeng siapa ia singkap dengan pedangnya. Ia lihat benar, orang itu adalah orang Tartar. Maka terang sudah, orang ini bukan sembarang penjahat. Siapa dia? Apa maksud mereka berdua? Dengan tidak pikir-pikir lagi, In Loei geladah tubuhnya. Tapinya ia tidak dapatkan apa-apa kecuali beberapa tail perak hancur serta rangsum kering. "Inilah kebetulan untukku!" kata si nona, yang jadi tertawa sendirinya. Maka ia simpan uang dan makanan rangsum kering itu. Tidak lama, dari tempat pohon-pohon lebat terdengar pula suara aneh seperti tadi, lalu muncul lagi dua orang bertopeng, yang berlari-lari ke arah kuil. "Sahahat sekawan, air semangkok mesti di minum bersama!" demikian suara yang terdengar dari satu di antara dua orang itu. Itu artinya, kedua orang itu mau minta bagian. In Loei jadi mendongkol. "Baik!" jawabnya. "Kamu berjumlah berapa orang? Mari semua samasama minum!" Sebenarnya niat ia mengatakan: "Mari rasakan pedangnya nonamu!" Tapi mendadak ia sadar bahwa ia sedang menyamar maka ia mengubahnya. Kedua orang bertopeng itu tertawa terbahak-bahak. "Haha-haha! Ini barulah sahabat baik! Kita harus sama-sama kalau punya makanan!" Orang yang berkata-kata itu, yang sudah lantas datang dekat, segera mengulurkan tangannya, untuk dipakai menanggapi bagiannya. In Loei tertawa dingin, ia menyabet dengan pedangnya. Orang bertopeng itu terkejut, ia tarik kembali tangannya sambil lompat mundur. Tapi begitu ia lolos dari bahaya, mendadak ia maju menyerang, tangannya merupakan bacokan. Sebab yang ia gunakan adalah tipu silat "Toakim natjioe" — "Tangkapan Tangan." Ia bertangan kosong, lain dari kawannya, yang menyekal sebilah golok. In Loei terkejut, ia sodorkan pedangnya guna menangkis sambaran itu. "Awas, dia liehay!" beseru orang yang pegang golok, yang terus membacok. In Loei bela dirinya dengan tipu silat "Tjoanhoa djiauwsie" atau "Menembusi bunga dengan mengitari pohon", dengan begitu ia dapat jauhkan diri dari lawannya yang pertama itu. Nyata kedua lawan itu bukan lawan-lawan yang ringan, syukur pedangnya In Loei liehay, hingga mereka itu kewalahan. "Baiklah!" berseru lawan yang bertangan kosong sesudah melalui lima puluh jurus. "Biarlah kau yang menelannya sendiri! Tapi kau mesti beritahukan she dan namamu agar kemudian kita bisa menjadi sahabat!" "Siapa kesudian bersahabat dengan kamu?" bentak In Loei. "Kejahatanmu hendak merampas barang dapat dimaafkan, tetapi yang hebat adalah kamu telah berkongkol dengan musuh untuk mencelakai negara!" Kata-kata ini dibarengi dengan serangan "Hoen-hoa hoetlioe" atau "Memecah bunga, mengebut pohon", ujung pedangnya menyambar ke kiri tetapi agaknya seperti menikam ke kanan. Tipu ini membuatnya musuh bingung, hingga orang yang menyekal golok lantas saja berkaok keras, karena lengannya kena tertikam, sampai goloknya jatuh terlempar. Lawan yang bertangan kosong itu licin, dengan ciutkan diri, ia lolos dari serangan yang saling susul, tapi ia masih diserang berulang-ulang. In Loei membuat orang tidak berdaya, di saat ujung pedangnya hendak menusuk bebokongnya, tiba-tiba ia rasakan lengannya seperti digigit semut besar, karena mana, tak lurus lagi serangannya, maka lawannya itu dapat berkelit pula, kali ini dia berkelit untuk terus kabur, disusul kawannya yang terluka itu. Keduanya terus lenyap di antara pohon-pohonan yang lebat. "Bangsat tukang bokong, keluar kamu!" berteriak In Loei, yang tidak niat mengejar musuh-musuhnya itu. Tahulah ia sekarang bahwa ia telah dibokong orang yang tidak dikenal. Tidak ada jawaban untuk cacian itu, di sekitarnya keadaan sunyi. Masih In Loei menanti sebentar, apabila tetap tidak ada yang menyahuti, ia lihat lengannya yang terasa digigit semut itu. Di situ ada sekelumit daging munjul, bengkak sebesar kacang kedele. Teranglah, itu adalah hasil serangan gelap dari semacam senjata rahasia, hanya, entah siapa penyerang yang bersembunyi itu, dia terus tidak sudi perlihatkan diri. Tidak puas In Loei sekalipun ia peroleh dua kali kemenangan, karena orang telah membokong padanya, maka itu ia kembali ke dalam kuil dengan perasaan mendongkol berbareng lesu. Tiba di dalam, ia dapatkan si mahasiswa masih rebah tidur, napasnya masih menggeros keras. "Hai, orang mampus!" ia menegur. "Sungguh senang kau tidur!" Mahasiswa itu membalikkan tubuhnya, ia perdengarkan dua kali suara ngulet. "Ada penjahat!!" In Loei teriaki pula. Si anak sekolah membuka kedua matanya, ia berkesap-kesip. Dengan malas ia bangkit duduk. "Impian sedap, siapakah yang lebih dahulu merasai?" katanya seperti orang ngigo. "Itulah aku, aku yang mengetahui.....” "Kau ketahui apa?" kata In Loei, dengan dingin, sambil tertawa tawar. "Ada penjahat datang kemari!" Mahasiswa itu kucak-kucak matanya. "Tengah malam buta kau ganggu orang sedang mimpi," katanya. "He, engko kecil, mengapa sih kau selalu ganggu aku?" Sama sekali ia tidak percaya In Loei, bukan saja ia tidak menyatakan terima kasih, malahan ia menyesalinya. "Jikalau kau tidak percaya, kau keluar melihatnya," kata In Loei. Anak sekolah itu ngulet pula. "Umpama kata benar ada penjahat datang, toh buktinya tidak terjadi apaapa" katanya kemudian, sambil tertawa. "Buat apa kau bangunkan aku?" In Loei mendongkol berbareng merasa lucu. "Akulah yang pukul mundur mereka itu!" katanya, sengit. "Apakah itu benar?" tanya si mahasiswa. "Sungguh bagus! Sungguh bagus! Kau makan sepotong ubi, kali ini kau bukannya menerima upah tanpa jasa, tidak mau aku mengatakan kau menganglap lagi!" Dan "Plok" ia lemparkan sepotong ubi pada si pemuda tetiron, yang menyampok dengan mendongkol. "Siapa yang main-main denganmu?" dia menegur. "Eh, aku tanya kau, kau she apa dan namamu siapa? Kau datang dari mana?" Mahasiswa itu mainkan kedua biji matanya. Tiba-tiba ia ikuti teladan orang, sebelah tangannya dipakai menuding. "Eh, aku tanya kau, kau she apa, namamu siapa? Kau datang dari mana?" demikian pertanyaannya. In Loei jadi sangat mendongkol, ia gusar. "Apa? "katanya. Tapi si anak muda tertawa tawar. "Kau tanya aku seperti kau memeriksa, mustahil akupun tak dapat menanya padamu?" ia jawab. "Apakah kau hakim tukang periksa orang?" In Loei mendongkol tetapi ia bungkam. Anak muda itu berkepala batu tapi dia benar juga. "Mana dapat aku beritahukan tentang diriku?" In Loei berpikir. Mahasiswa itu melirik, sikapnya sungguh membuat In Loei sangat mendelu. Meski demikian, nona ini masih dapat memikir: "Tentang diriku tidak dapat aku beritahukan dia, tentang dirinya mungkin juga tak dapat diberitahukan padaku! Kalau sendiri tak suka, kenapa mesti paksa lain orang? Tentang dua orang Tartar itu, mereka datang dari tempat ribuan lie, bukankah mereka sedang mencari orang seperti yaya-ku, yang kabur dari Mongolia? — Ialah anak sekolah ini!" Menerka demikian, tiba-tiba In Loei jadi ingin menghargai mahasiswa itu, cuma ketika ia lirik orang itu, kembali ia merasa jemu. Tetap tingkah polanya si mahasiswa itu sangat menjemukan dia mengawasi dengan wajah tertawa bukanya tertawa, matanya dikecilkan..... Masih In Loei berpikir. Akhirnya ia keluarkan bendera Djitgoat kie dari Tjioe Kian, ia lemparkan itu pada si mahasiswa. "Ni, aku berikan kau ini!" katanya. "Tak mau aku jalan sama-sama kau!" Mahasiswa itu melirik. "Aku toh bukannya anak wayang!" katanya. "Perlu apa aku dengan benderamu ini yang dua mukanya?" "Kau berjalan sendirian, kau terancam bahaya," berkata In Loei. Terpaksa ia berikan keterangan. "Dengan adanya bendera ini, orang jahat nanti tak berani ganggu padamu." "Apa?" tanya si mahasiswa. "Apakah bendera itu ada suatu firman?" Mau tak mau, In Loei tertawa. "Mungkin ini lebih berpengaruh daripada firman raja! ia jawab. "Ini adalah bendera Djitgoat kie dari Kimtoo Tjeetjoe. Kau datang dari Utara, mustahil kau tidak pernah dengar namanya tjeetjoe itu? Kimtoo Teetjoe mirip dengan kepala penjahat di Utara, di kalangan Rimba Hijau, semua orang menghormati dia." Maksud In Loei baik-baik menyerahkan bendera bulan sabit itu. Tetapi si anak muda, wajahnya berubah dengan tiba-tiba. Ia jemput bendera itu, mendadak ia tertawa dingin. "Satu laki-laki, yang hendak bangkit berdiri, mana dapat ia mengharap perlindungan orang lain?" katanya, jumawa. "Apakah kau pernah baca Khong Tjoe atau Beng Tjoe?" Mendadak ia gunakan tangannya, di antara suara memberebet, bendera Djitgoat kie itu robek menjadi empat helai! -ooo0dw0ooo- BAB IV Merah padam wajahnya In Loei, kegusarannya bukan alang kepalang besarnya. "Kimtoo Tjeetjoe sangat terkenal, dia ada satu laki-laki sejati, kau berani menghina terhadapnya?" dia berteriak, lain sebelah tangannya melayang ke arah kuping orang. Justeru itu ia lihat kulit muka orang yang putih dan halus, bagaikan kulit telur, ia ingat: "Tidakkah tanganku akan membuat mukanya balan? Tidakkah itu hebat?" Karenanya, ia segera tahan tangannya itu. Lantas ia berkata dengan sengit: "Aku tidak mau berlaku sebagai kau, anak sekolah busuk! Baik, baiklah, suka aku memberi ampun padamu kali ini! Kalau besok lusa kau dibegal dan dibunuh orang jahat, bukankah itu karena kau mencari mampus sendiri? Baiklah, aku tak mau pedulikan lagi padamu!" Lantas ia putar tubuhnya, dengan cepat dia lari keluar. Ia sangat menyesal karena maksud hatinya yang baik tidak diterima orang. Ia jadi merasa tak enak sendirinya. Si mahasiswa mengawasi orang dengan sepasang matanya yang tajam, ketika ia tampak orang sudah keluar dari pintu, ia berbangkit dengan perlahanlahan. Nampaknya ia hendak memanggil tetapi ia batal sendirinya, sebaliknya, ia tertawa dingin. Sekeluarnya dari kuil, In Loei lompat naik ke atas kudanya yang ia terus larikan. Ia baharu sampai di tempat yang lebat dengan pohon-pohonan tatkala ia dengar satu suara menyambar di atasan kepalanya. Ia lantas tahan kudanya. "Bangsat tukang membokong, jikalau ada nyalimu, mari keluar!" ia berseru. Kembali terdengar satu suara seperti tadi, atas itu, In Loei tarik kepala kudanya, untuk berkelit. Menyusul itu sebatang pohon jatuh di depannya, pada cabang itu diikatkan satu bungkusan dari saputangan sulam. Ia lantas menjadi kaget. Ia kenali, itulah bungkusannya yang lenyap. Ia segera menjemput, untuk membuka bungkusannya, maka di situ ia dapatkan uang dan permata bekalan Tjioe Kian berikut uangnya boleh mencopet! Heran dan penasaran, dari atas kudanya, In Loei lompat menyambar pohon untuk naik ke atasnya, lalu ia melihat kesekitarnya. Tidak ada orang di dekat situ, ada juga sinar bintang-bintang yang sudah guram dan angin bersiursiur. ""Sudahlah.....” akhirnya ia menghela napas. "Benarlah kata-kata, di luar langit ada lagi langit lainnya..... Siapa sangka di sini aku bertemu dengan orang lihay.....” Ia lantas larikan kudanya, sampai di luar rimba, fajar sedang mendatangi. Menggunakan ketika pagi, ia larikan kudanya maju terus ke barat. Segera ia melihat ada orang-orang yang menunggang kuda, yang romannya gagah. Ia percaya, mereka itu adalah orang-orang kangouw. Ia teringat akan ajaran Tjioe Kian tentang kaum kangouw itu. "Kelihatannya mereka ini hendak menghadiri su- atu upacara besar atau sedikitnya pertemuan kaum Rimba Persilatan," ia menduga-duga. Mereka itu melewati nona ini, sama sekali mereka tidak menaruh perhatian. Mungkin mereka anggap mereka hanya bertemu satu pemuda biasa saja. Setelah jalan serintasan, In Loei merasa lapar. Ia segera mampir pada tukang bubur di tepi jalan yang juga menjual teh. Ia lantas tangsel perutnya. "Hari ini perdagangan ramai," kata ia pada tukang teh, yang tengah memasak dua panci teh. "Tuan, apakah tuan hendak pergi ke Hektjio tjhoeng?" tanya tukang the itu sambil tertawa. "Apa itu Hektjio tjhoeng?" In Loei balik menanya. "Kalau begitu, tuan ada orang luar," sahut tukang teh itu. "Hari ini Tjio Toaya dari Heksek tjhoeng merayakan ulang tahunnya, banyak sekali sahabat kenalannya yang datang untuk memberi selamat." In Loei ingat suatu apa. "Apakah kau maksudkan Hongthianloei Tjio Eng Tjio looenghiong?" ia tegaskan. Segera tukang teh itu perlihatkan sikap menghormat. "Oh, kiranya tuan sahabatnya Tjio Toaya," katanya. "Siapakah yang tidak tahu Tjio looenghiong?" kata In Loei. "Aku memang berasal dari lain propinsi tapi pernah aku dengar namanya Tjio looenghiong itu." Tukang teh itu manggut. "Benar! Tjio Toaya itu luas pergaulannya, semua orang dari pelbagai kalangan, kenal atau tidak, asal datang ke rumahnya, tidak ada yang tidak disambut secara baik." In Loei pun manggut. Tentang Tjio Eng itu, ia dengar dari Tjioe Kian. Katanya Tjio Eng terkenal dengan pedangnya, pedang Liapin kiam, dan senjata rahasianya, batu Hoeihong sek. Adalah karena senjata rahasia ini, Tjio Eng peroleh julukan itu, Hongthianloei — Geledek menggetarkan langit. Sebab bila mengenai tubuh orang, senjata rahasia itu perdengarkan suara nyaring. Tjio Eng gagah dan gemar bergaul, akan tetapi toh tabeatnya aneh. "Siapa tahu dia tinggal di luar kota Yangkiok ini," pikir In Loei. "Baiklah aku pun pergi memberi salamat padanya. Di sana ada banyak orang, mungkin juga ada si orang lihay yang telah permainkan aku." Karena ini, ia pinjam pit dan minta kertas dari tukang teh, untuk menuliskan karcis pemberian selamatnya. "Aku tidak tahu looenghiong merayakan ulang tahunnya, inilah kebetulan" katanya sambil tertawa. Terus ia tanyakan letaknya Hektjio tjhoeng, setelah membayar uang teh, ia naik ke atas kudanya, akan menuju ke rumahnya Hongthianloei. Sudah banyak tetamu di rumahnya Tjio Eng. Setelah In Loei serahkan karcis namanya, ia diterima dengan tak ditanya ini dan itu, terus ia diantar ke taman bunga di mana pesta diadakan, justeru perjamuan hendak dimulai. Ia dipersilakan duduk di meja pojok, kawan-kawan semejanya adalah orang yang ia tidak kenal, hingga ia mesti dengarkan saja mereka itu berbicara. "Hari ini Tjio looenghiong tidak saja merayakan ulang tahunnya, kabarnya, ia hendak memilih juga babah mantu," kata seorang antaranya. "Bisa pusing kepalanya orang tua itu," kata seorang yang lain. "Aku dengar See Tjeetjoe, Han Totjoe dan Lim Tjhoengtjoe berbareng memajukan lamaran! Bagaimana mereka hendak dilayani?" Orang yang ketiga tertawa. "Mau apa kau pusingkan kepala?" ujarnya. "Pasti sekali Hongthianloei mempunyai dayanya sendiri!" ia lantas menunjuk. "Kau lihat!" In Loei berpaling ke arah yang ditunjuk orang itu, maka ia tampak sebuah loeitay — panggung untuk pertempuran yang besar dan tingginya dua tombak lebih. Orang itu tertawa, ia menambahkan: "Hongthianloei telah berlaku terus terang, dia adakan pertandingan untuk pilih menantu, siapa yang menang, dialah babah mantunya itu, untuk ini, ia tidak pandang sanak atau sahabat, karenanya, ketiga pelamar itu, tak dapat berkata suatu apa." "Kalau begitu, pasti bakal ramai!" kata yang lain. In Loei tertawa di dalam hatinya. "Inilah cara aneh!" demikian ia pikir. "Kalau yang menang seorang yang jelek, apa tidak kasihan anak gadisnya.....?" Selagi matahari condong ke barat, lantas terdengar ucapan-ucapan selamat yang riuh, di sana-sini orang pada berbangkit. In Loei pun bangun, sambil berdjingke, ia mengawasi ke arah di mana suara ucapan itu terdengar. Seorang tua, yang mukanya merah, kelihatan muncul, ia menuntun satu nona. Ia minta jalan di antara orang banyak, terus dia lompat naik ke atas loeitay, perbuatannya ditelad si nona. In Loei lihat satu nona yang cantik, wajahnya seperti tersungging senyuman, alisnya lentik dan panjang hampir melekat pada ujung rambutnya. Untuk melihat lebih nyata, ia maju mendekati. Ia dapatkan nona itu polos, tidak pemaluan, tidak jengah dia berhadapan dengan banyak tetamunya. Dari pembicaraan orang banyak, In Loei tahu orang tua muka merah itu adalah tuan rumah, ialah Hongthianloei Tjio Eng, dan nona adalah puterinya, yang bernama Tjoei Hong. "Heran juga," pikir pemuda tetiron ini, "Tjio Eng bermuka bagaikan Loei Kong tetapi ia punyakan anak dara begini elok.....” "Loei Kong" yaitu Malaikat Geledek. Tidak sempat In Loei berpikir lebih jauh, atau ia tampak Tjio Eng tengah memberi selamat pada para tetamunya, kemudian terdengarlah suaranya yang keras: "Hari ini adalah hari ulang tahunku, aku berterima kasih pada saudara-saudara yang telah datang mengunjungi. Sebagai hormatku, marilah minum dahulu tiga cangkir!" "Bagus!" seru sekalian tetamunya, terus mereka keringkan cawan mereka masing-masing. Tjio Eng, urut-urut kumis jenggotnya, ia tertawa. "Hektjio tjhoeng adalah satu desa yang sepi, tidak ada keramaian apa-apa di sini, tetapi saudara-saudara telah datang kemari, harap saudara-saudara jangan tertawakan!" kata pula tuan rumah, melanjutkan. "Anakku ini mengerti ilmu silat kasar, baiklah dia pertunjukkan beberapa jurus, sebagai hidangan saudara-saudara minum arak!" Kembali orang-orang berseru. "Bagus! Bagus" suatu tanda persetujuan. Tjio Eng tertawa pula. "Akan tetapi, bersilat seorang diri saja tidak menarik hati," ia menambahkan, "maka itu aku persilakan putera-putera dari See Tjeetjoe, Han Totjoe dan Lim Tjhoengtjoe untuk naik ke panggung untuk memberi pengajaran pada anakku itu. Aku ingin lihat, siapa di antaranya yang permainannya paling bagus, kepadanya hendak aku hadiahkan sesuatu yang tidak berarti. Samwie sieheng, bagaimana pikiranmu?" Dengan "samwie sieheng" — "tiga kekanda", tuan rumah maksudkan ketiga tetamunya yang disebutkan itu See Tjeetjoe, Han Totjoe dan Lim Tjhoengtjoe. Tuan rumah ini tidak mengatakan terang-terang bahwa pertandingan itu untuk memilih menantu, akan tetapi semua tetamunya sudah mengerti maksudnya itu. "Bagus, bagus!" Han Totjoe dan Lim Tjhoengtjoe menyatakan akur. Lalu keduanya, dengan masing-masing mengajak anaknya, minta jalan di antara para tetamu, sesampainya di depan panggung, dengan saling susul mereka lompat naik. Tampak nyata kegesitan mereka itu. See Tjeetjoe bersangsi sedetik saja, ia pun ajak puteranya lompat naik. Ia dapat melompat dengan sempurna, tapi puteranya, ujung kakinya kena membentur pinggiran panggung, hampir saja ia tergelincir. Menampak ini, semua tetamu heran. Untuk kalangan "Hektoo" — "Jalan Hitam" — See Tjeetjoe terkenal terutama tentang ilmu silatnya, orang percaya puteranya telah mewariskan kepandaiannya itu, karena putera ini pun sudah tersohor menyandak nama ayahnya, maka ada yang menduga, anak itu pasti akan peroleh kemenangan, siapa tahu, dalam hal melompat, dia kalah dengan putera-puteranya Han Totjoe dan Lim Tjhoengtjoe. See Tjeetjoe kerutkan alis, dia hendak bicara tapinya batal, cuma mulutnya kemak kemik. Putera dari Han Totjoe, yaitu Han Toa Hay, sudah lantas maju ke tengah, untuk memberi hormat pada tuan rumah. "Tjio Laopee berlaku baik sekali, aku pun tak sungkan-sungkan lagi," berkata anak muda ini. "Baiklah, aku ingin menerima pelajaran beberapa jurus dari Tjio Siemoay, asal siemoay suka berlaku murah hati....." "Bagus, bagus!" tertawa Tjio Eng. "Memang aku senang pada orang yang berlaku terus terang! Sekarang ini siapa juga tak usah sungkan-sungkan, silakan keluarkan semua kepandaianmu, siapa yang terluka, aku sedia obatnya." "Baik, laopee," kata Toa Hay, yang terus rangkapkan kedua tangan- nya, untuk memberi hormat dengan sikap "Tongtjoe pay Koan Im" atau "Kacung suci menghormat Dewi Koan Im." "Bagus!" Tjio Eng memuji. See Tjeetjoe lihat itu, ia menoleh pada puteranya, yang pun berpaling kepadanya, keduanya lantas menyeringai. Ayah ini hendak bicara, kembali ia batalkan. Segera pertandingan dimulai, Toa Hay menyerang lebih dulu. Tjoei Hong berlaku tenang tetapi gesit, waktu diserang, ia tidak menangkis, ia hanya berkelit ke samping, terus ia lompat ke belakang penyerang itu. Lincah sekali tubuhnya itu. Toa Hay segera putar tubuhnya, ia menyerang pula, apabila ini pun gagal, terus ia merabah, menyerang ke depan, ke kiri dan kanan, akan tetapi, sebegitu jauh, tidak ia peroleh hasil, malah melanggar baju orang pun tidak. "Eh, pelajaran dia sama dengan pelajaranku.....” kata In Loei dalam hatinya apabila ia lihat gerak-geriknya Nona Tjio. Itulah ilmu silat "Patkwa Yoesintjiang" yang bergerak ke delapan penjuru. "Tjoanhoa djiauwsie" yang ia pelajari adalah salah satu tipu silat dari Patkwa Yoesintjiang itu. Toa Hay lantas juga merasakan matanya kunang-kunang, karena ia seperti dilibat si nona, yang seperti berada di "empat muka dan delapan penjuru," melainkan bayangannya saja yang nampak berkelebatan. Diam-diam In Loei tertawa di dalam hatinya. Masih Toa Hay berputaran, masih ia menyerang, walaupun tiap-tiap kali ia serang sasaran kosong, tak sudi ia berhenti. Han Totjoe kerutkan alisnya. "Anak tolol!" akhirnya dia berseru. "Kau bukannya tandingan dari Nona Tjio! Apakah kau tidak hendak undurkan diri?" Mendengar suaranya Han Totjoe itu, Tjio Tjoei Hong segera perlambat gerakannya, tapi justeru itu, Toa Hay lompat menyerang, kedua kepalannya menyambar saling susul. In Loei lihat serangan itu, ia tertawa dalam hati, pikirnya: "Orang tolol yang tidak tahu mundur atau maju! Orang sudah mengalah, dia masih belum tahu.....” Atas desakan itu, Tjoei Hong melejit ke samping, sikut kirinya dilonjorkan untuk dipakai membentur tubuh Toa Hay, atas mana tubuh besar dari putera Han Totjoe segera terhuyung, rubuh terbanting. Tjio Eng lompat maju, guna membangunkan pemuda itu. "Hong-djie, lekas haturkan maaf!" kata tuan rumah ini. "Tidak apa," kata Toa Hay. "Nona Tjio, kau liehay sekali, aku..... aku.....” Nyata pemuda ini tolol dan polos, hampir ia mengatakan “.....aku tidak berani ambil kau sebagai isteriku.....” Baiknya Han Totjoe awasi dia dengan mata melotot dan ia melihatnya, hingga tak jadi ia berbicara terus. Begitu Toa Hay mundur, ia digantikan oleh Too An, puteranya Lim Tjhoengtjoe. Pemuda ini maju dengan perlahan, sambil menggoyang-goyangkan kipasnya. "Aku juga ingin menerima pelajaran beberapa jurus, harap kau suka mengalah, siemoay," kata dia, suaranya seram dan luar biasa. Nampaknya ia, halus bagaikan wanita, demikian juga lagu suaranya. Tapi ia mengerti Tiamhiat hoat, ilmu menotok jalan darah, maka setelah dilipat kipasnya, tahu-tahu kipas itu dipakai menyodok iga si nona. Tjoei Hong berkelit, terus saja ia bersilat pula dengan "Patkwa Yoesintjiang," untuk membuat lawan itu lelah dan kabur matanya, seperti tadi ia berbuat terhadap Toa Hay. Too An cerdik, tidak mau ia menyerang sembrono, sebaliknya, dengan tenang ia lindungi dirinya. Ia pun tidak gencar putar tubuhnya seperti Toa Hay tadi, ia Cuma memasang mata, maka juga, sewaktu-waktu dapat ia balas menyerang dengan totokkannya. Nona Tjio menjadi hilang sabar. "Dia pasti bukan orang benar," ia pun berpikir. "Lihat matanya yang demikian lihay! Dia menjemukan, tidak boleh dia dibiarkan mencapai maksudnya.....” Nona ini tak sudi menikah dengan pemuda lawannya itu, ia pun lantas perhebat serangannya, tubuhnya bergerak sangat lincah mengitari si anak muda. Too An benar-benar liehay, ia tabah dan teliti, dengan sabar ia jaga dirinya. Lima puluh jurus sudah lewat, Tjoei Hong tetap belum berhasil menjatuhkan lawan ini, siapa dalam ketenangannya itu, telah berpikir: "Aku, hendak lihat, berapa banyak kau punya tenaga untuk melayani aku." Dan ia terus berlaku sabar. Mereka bertempur terus sampai, tiba-tiba, selagi ia merangsak, Tjoei Hong tersenyum, hingga tampak kedua baris giginya yang putih halus dan sepasang sujennya yang manis. Sebagai orang cantik, dengan senyumnya, tentu sekali nona ini kelihatan sangat menggiurkan. Hatinya Too An goncang, ia sangat tertarik, hingga ia berpikir. "Orang sebagai aku, yang berkepandaian silat tinggi, pasti aku membuat hatinya kagum....." Maka ia anggap nona itu tentu menaruh hati padanya, nona itu mungkin suka mengalah, karenanya, di waktu ia menutup diri, ia pun tersenyum. Sekonyong-konyong saja Tjoei Hong berseru: "Maaf!" Lalu dengan mendadak kedua tangannya dimajukan kemuka Too An, tangan yang satu menyusul yang lain, hingga si anak muda terperanjat. Ia kaget waktu pempilingannya, kena ditekan si nona, sampai ia berkaok, matanya pun kabur, tidak tempo lagi, ia rubuh di lantai panggung. Lim Tjhoengtjoe mendongkol bukan main menyaksikan puteranya, yang tinggal menangnya saja, dengan mendadak kena dikalahkan, akan tetapi ia tidak bisa berbuat suatu apa. Pertandingan telah dilakukan secara terang. "Tidak apa, tidak apa!" Tjio Eng cepat berkata. "Eh, anak Hong, kenapa kau gerakkan tanganmu secara sembrono sekali?" Justeru itu Too An berbangkit. "Nona Tjio, aku terima pengajaranmu!" katanya sambil tertawa dingin. Lalu, tanpa berkata suatu apa, berbareng dengan ayahnya, ia lompat turun dari panggung. Menampak itu, Tjio Eng menggeleng-gelengkan kepala. Tapi kemudian, sambil mengurut-urut kumisnya dan tertawa, ia kata: "Anakku telah beruntung menangkan dua pertandingan, maka sekarang ada gilirannya Boe Kie Sieheng yang memberikan pengajaran padanya, supaya dia jangan jadi terlalu berkepala besar.....” Boe Kie adalah nama putera See Tjeetjoe. Tjio Eng kenal baik sekali anak muda itu, baik kepandaiannya maupun tabeatnya. Pemuda itu telengas, di dalam Rimba Hijau, dia terkenal tanpa kebijaksanaan. Meski demikian, jago tua ini insaf, manusia tak ada yang seratus bahagian sempurna, maka ia anggap, tidak terlalu kecewa ia dapatkan Boe Kie sebagai babah mantunya. Tjio Eng juga pikir, pastilah Boe Kie senang sekali dengan pertandingan ini, karena anak muda itu pasti berada di atas angin, akan tetapi kesudahannya ia menjadi heran sekali. Tiba-tiba saja Boe Kie kerutkan alisnya dan berkata: "Sudahlah, tak usah aku turut bertanding lagi, karena akhirnya aku mesti kalah!.....” Semua tetamu terkejut bahna herannya, mereka melongo. Tjio Eng menjadi tidak puas. "Tjio Hiantit, mengapa kau mengatakannya demikian?" ia tegur. "Mungkinkah anakku tak dapat diajar?" Boe Kie tertawa meringis, dengan perlahan ia angkat lengannya, lalu ia gulung tangan bajunya, maka tampaklah tanda luka yang panjang dan dalam pada lengannya, sampai tulangnya kelihatan. "Kau kenapa, hiantit?" tanya Tjio Eng terperanjat. Boe Kie memandang sekelebatan ke bawah panggung. "Kemarin ini perahuku karam di dalam sungai," ia menjawab, suaranya menyatakan penasarannya. "Hm! Aku telah dicurangi satu bangsat tidak dikenal!.....” See Tjeetjoe, yang bernama To, melanjutkan puteranya itu: "Kemarin aku titahkan Ouw Loodjie bersama dia pergi mengejar seekor kambing dari Utara. Tapi tak disangka, kambing itu dengan diam-diam dilindungi satu piauwsoe yang lihay sekali dan Boo Kie kena dilukai.....” Dengan "kambing," See To maksudkan orang yang ia hendak jadikan kurban pembegalan. Tjio Eng terperanjat, ia heran sekali. Ia tahu, Ouw Loodjie itu adalah seorang Hoetjeetjoe, sebawahannya See Tjeetjoe, dan kepandaiannya adalah lebih tinggi daripada See Boe Kie. Ini adalah luar biasa yang mereka berdua kena dikalahkan satu piauwsoe. "Nah, Tjio Toako, bagaimana pendapatmu?" tiba-tiba See To menanya. Tjio Eng berdiam sebentar, kemudian ia tertawa. "Nyatalah piauwsoe itu seorang pandai!" katanya. "Entah siapa dia itu dan di mana adanya dia sekarang? Ingin sekali aku menemui dia itu, supaya dapat aku mengadakan perdamaian di antara kamu kedua pihak." Wajah See Boe Kie berubah padam. "Belum pernah aku diperhina secara begini, di sini tidak ada perdamaian!" katanya nyaring. Terang ia sangat sengit. Tiba-tiba ia memandang ke bawah panggung, tangannya segera menuding, dengan keras, ia menambahkan: "Binatang itu nyata telah gegares jantung srigala dan nyali macan tutul, dia sangat berani, dia sekarang ada di sini!" See To sudah lantas berseru: "Kami ayah dan anak ingin menemui kau, orang pandai! Ke mana kau hendak pergi?" Bagaikan bayangan, kedua orang segera lompat turun dari panggung. Semua hadirin heran dan kaget. "Di mana dia?" terdengar orang bertanya. Dia adalah sahabatnya See To dan karenanya niat membantu tjeetjoe itu. Waktu itu juga, See To telah lompat ke depannya In Loei, dengan sebelah tangannya, yang semua jerijinya terbuka, ia menyambar kepala orang. In Loei sudah lantas berkelit, tapi justeru ia berkelit, tikaman pisau belati dari See Boe Kie telah sampai kepadanya. Ia tidak kaget atau takut, malah sambil menangkis, ia kata sambil tertawa: "Oh, kiranya kamu penjahat yang bertopeng itu?" Di antara satu suara nyaring, pisau belatinya Boe Kie terlepas dan jatuh. Hampir berbareng dengan itu, dengan gerakan susul menyusul dengan sikut dan dupakannya, nona dalam penyamaran ini sudah merubuhkan dua penyerang lain, yang menjadi sahabat kedua orang she See itu, habis mana dia lompat naik ke atas sebuah meja. See To hunus goloknya, dia lompat untuk menyerang. "Orang tidak tahu malu, kamu main kerubut!" teriak In Loei. Ia lompat turun, untuk terbalikkan meja, hingga piring mangkoknya jatuh pecah berhamburan. See To tidak dapat berkelit, ia tersiram kuwa, bajunya basah. Tentu saja ia menjadi bertambah gusar, maka ia ulangi serangannya. Ia sangat sebat. In Loei terpaksa cabut pedangnya dengan apa ia tangkis bacokan itu. See To tarik kembali goloknya, lalu ia mendak, untuk membabat ke bawah. "Orang kejam!" teriak In Loei sambil lompat dengan tipu "Yantjoe Siahoei," — "Burung walet terbang nyamping." Dengan begitu ia lolos dari bahaya, setelah mana, pedangnya menikam dada lawan. See To terperanjat, ia menangkis sambil berkelit, maka kedua senjata jadi bentrok, dengan keras, dengan kesudahannya golok kena terpapas kutung! In Loei tidak niat melakukan pembunuhan, tidak demikian dengan See To, walaupun dia terperanjat, dia tidak mundur, sebaliknya, dia menyerang pula dengan sambarannya. Maka si nona sambut tangannya dengan satu babatan, hingga dia menjadi kaget, terpaksa dia tarik kembali tangannya itu. Dia jeri terhadap pedang orang yang tajam, karenanya, dia siap sedia. Masih dia tidak mau menyingkir, dia melawan terus dengan lincah, hingga sukar bagi In Loei untuk memukul mundur tjeetjoe ini, yang sementara itu telah dibantu pula oleh beberapa sahabatnya. "Kau rasakan!" seru See To ketika ia kirim serangannya yang berbahaya. In Loei awas, ia terkejut menampak tangannya merah. Tahulah ia yang tjeetjoe itu pernah meyakinkan Toksee tjiang — Tangan Pasir Beracun. Pantas dia berani sekali dengan tangannya itu. Celaka siapa terkena tangan jahat itu. Maka untuk menolong dirinya, ia tarik satu musuh di sampingnya, guna dipakai menalangi ianya. See To batalkan serangannya itu, untuk tidak mencelakai kawannya. Kesempatan ini dipakai In Loei untuk melompati sebuah meja, lalu dari lain sebelah meja itu, ia sambar mangkok dengan apa ia lempar kalang kabutan hingga ada beberapa sahabatnya See To yang matang biru mukanya, yang pun tersiram sajur. "Hebat! hebat!" lalu terdengar beberapa seruan. Memang, keadaan sangat kacau. See Boe Kie sambar sebuah kursi, dengan itu ia merangsak, berulang kali ia menyerang, tapi In Loei telah membabat kutung kursi itu. Pada waktu itu, See To menyerang pula. Di saat In Loei hendak melayani tjeetjoe itu, satu bayangan berkelebat di antara mereka berdua, dengan pentang kedua tangannya, bayangan itu membuatnya kedua musuh mundur dua tiga tindak. "See Toako, coba pandang padaku!" demikian suara bayangan itu — ialah Tjio Eng si tuan rumah. "Dan kau, engko kecil, coba kau berhenti dulu!" "Toako, aku mohon keadilan kau!" kata See To. "Muka kami ayah dan anak bergantung pada sepatah katamu!" Tjio Eng pandang In Loei, ia heran dan kagum. "Apa benar ada pemuda begini cakap?" katanya di dalam hati. "Jikalau bukannya aku telah saksikan sendiri, sungguh aku tidak percaya dia dapat mengalahkan Boe Kie dan membuat ayah dan anak kewalahan." "Tjio Tjhoengtjoe, maafkan aku," berkata In Loei. "Aku telah bentrok dengan tetamumu yang mulia. Aku sebenarnya datang untuk memberi selamat, tidak kusangka sekarang terjadi perkara ini. Tentu saja aku tidak berani turun tangan kalau tidak terpaksa. Sekarang terserah pada tjhoengtjoe, kau hendak hukum aku atau bagaimana.....” Menurut aturan kaum kangouw, In Loei adalah tetamunya Tjio Eng, maka dalam segala hal, Tjio Eng sebagai tuan rumah harus memegang semua tanggung jawab. Maka itu, mendengar perkataan orang itu, See To mendongkol bukan kepalang. "Manusia licin!" ia mendamprat dalam hatinya, matanya pun mendelik. Tapi tiba-tiba ia dapat daya. Ia lantas hadapkan tuan rumahnya. "Toako, apakah she dan nama engko kecil ini" demikian ia tanya. "Siapakah gurunya?" Tjio Eng melengak ditanya begitu. "Aku tidak tahu," sahutnya, terpaksa. Maka tertawalah See To berkakakan. "Kiranya toako tidak kenal dia siapa!" katanya, puas. "Saudara-saudara hadirin, siapakah yang kenal engko kecil ini?" dia tanya semua tetamutetamunya. Semua orang datang berkerumun, tidak satu di antara mereka yang kenal anak muda ini, mereka itu membungkam atau menggelengkan kepala. Kembali See Tjeetjoe tertawa sekarang ia tertawa dingin. "Baiklah toako ketahui," kata ia pada tuan rumah, "jahanam ini sudah sengaja mengaku jadi tetamu, namanya saja dia datang untuk memberi selamat, sebenarnya dia hendak menyingkirkan diri! Tidak apa dia datang makan di sini, makan tanpa membayar, tetapi perbuatannya ini merusak kaum Hektoo di Shoasay ini!" Tjio Eng menjadi bingung, ia pun tidak senang. "Habis, apakah See Toako pikir?" dia tanya. "Mesti diminta supaya dia keluarkan semua barang berharga dari orang yang dia lindungi!" jawab See Tjeetjoe. "Suruh dia serahkan itu kuda Tjiauwya saytjoe ma! Habis itu, dia mesti dipaksa menyerah untuk Boe Kie tikam lengannya seperti dia tikam lengan Boe Kie! Dengan begitu baharulah urusan dapat diselesaikan. Bercekat In Loei mendengar orang menyebut nama kuda Tjiauwya saytjoe ma. Memang sejak lama ia sudah dengar nama kuda jempolan asal Mongolia itu, yang tak dapat dibeli dengan uang seribu tail emas. Maka tidak ia sangka, kuda si mahasiswa adalah kuda jempolan itu. Lantas saja, di depan matanya, terbayang tampangnya si mahasiswa yang cakap dan sikapnya yang sangat polos. Ia pun jadi semakin curigai mahasiswa itu. Menampak orang diam saja, Tjio Eng sangka si anak muda kaget, maka ia tepuk pundaknya. "Eh, engko kecil, apa kau kata?" dia tanya. In Loei bukannya tidak sadar. "Dia begal orang, aku tolongi orang itu, demikian duduknya hal" sahut ia dengan tenang. "Apa lagi yang hendak dikatakan? Jikalau mereka tidak puas, silakan mereka maju! Asal mereka, ayah dan anak, dapat mengalahkan aku, jangan kata baharu dibacok satu kali lenganku, enam kali mereka tikam tubuhku, masih boleh, tidak nanti aku lari!" Hati tuan rumah itu menggetar. "Nyatalah dia anak ayam yang baharu menetas," pikirnya. "Dia tidak ketahui, dalam urusannya seperti ini, akulah yang berkuasa atas dirinya. Dia menantang mereka, bukankah itu sama artinya dengan menantang aku?" See To pun tertawa berkakakan mendengar perkataan orang itu. In Loei mendelik. "Kau tertawakan apa?" dia tegur. "Kamu ayah dan anak, silakan kamu maju! Apakah kamu sangka aku jeri terhadap kamu? Hm!" Dengan mengucap demikian, In Loei ingat pesannya Tjioe Kian, yaitu kalau menghadapi musuh banyak, terutama musuh kesohor, mesti dijaga supaya musuh itu sendirilah yang mesti ditantang, untuk bertempur satu sama satu. Ia pun merasa, ayah dan anak itu pasti bukan tandingannya, jadi ia tidak perlu takut, ia jadi senang dapat menantang ayah dan anak itu. Ia hanya tidak tahu, pesan Tjioe Kian tidak mengenai urusan seperti kali ini. "Tjio Toako, kau dengar tidak?" tanya See To pada Tjio Eng. "Di mata bocah ini tidak saja tidak ada aku juga tidak ada kau!" Wajah tuan rumah kembali berubah. "Aku tahu!" ia menjawab. Terus ia hadapi si anak muda. "Eh, engko kecil, kau mau adu pedang atau adu kepalan?" dia tanya. "Apa? Bertanding dengan kau?" In Loei tegaskan. "Tjhoengtjoe, Lianin kiam-mu kesohor di kolong langit, cara bagaimana aku yang muda berani melawan kau? Aku hanya hendak main-main dengan mereka berdua!" "Tutup mulutmu!" tiba-tiba Tjio Eng membentak. "Siapa yang ingin bertempur di tempatku ini? Kau lihat!" Dan sinar matanya menyapu. Kata-kata ini dikeluarkan di depan In Loei tapi sebenarnya ditujukan kepada See To ayah dan anak. Kembali In Loei melengak, tak tahu ia bagaimana harus menjawab. Tjio Eng tidak gubris orang berdiam. "Jikalau kau jeri terhadap pedangku, nah mari kita bertanding dengan tangan kosong saja!" Tjio Eng berkata pula. "Aku yang rendah tidak berani," In Loei menyahuti. Wajah tuan rumah ini berubah pula. "Tidak bertanding, itulah tidak bisa!" dia kata. "Tapi mengingat kau satu anak muda, baik, aku memberi ketika, aku tidak melayani kau. — Eh, anak Hong, mari! Coba kau wakilkan aku melayani dia beberapa jurus! Anak, lekas kau naik ke panggung!" Sikapnya Tjio Eng membuatnya semua hadirin heran, malah See To dan anaknya jadi mendongkol, hingga wajah mereka merah padam. Tahulah semua orang, mengapa Tjio Eng menyuruh gadisnya melawan anak muda itu. Itu — terangnya — ada pertandingan untuk memilih jodo untuk gadisnya itu. Tjio Eng melirik, ia tetap bersikap tak mem-pedulikannya. Ia, hanya desak si anak muda. "Eh, bocah bila kau punya nyali untuk menyelundup ke dalam Hektjio tjhoeng ini, kau juga harus punya nyali untuk naik ke panggung!" demikian katanya. "Eh, apakah kau masih tidak mau naik? Apakah kau ingin paksa aku nanti melemparkan tubuhmu?" Desakkan orang tua ini, membuat romannya jadi bengis sekali. Tapi di dalam hatinya semua tetamu tertawa. Semakin terang saja, tuan rumah ini penuju anak muda itu. In Loei berpaling ke atas panggung, di sana ia lihat wajahnya Tjio Tjoei Hong, dengan muka merah dadu, matanya mengawasi ke bawah panggung loeitay, hingga mata mereka berdua jadi bentrok. Tiba-tiba saja ia dapat satu pikiran. Maka lekas lekas ia angkat bajunya. "Baiklah aku turut perintah, aku nanti naik ke panggung untuk terima pengajaran dari siotjia," ia kata. Habis itu, orang banyak sudah membuka jalan, ia bertindak ke arah loeitay ke atas mana lantas ia lompat naik. Tjio Eng segera bicara dengan beberapa pembantunya, kemudian ia duduk menemani See To. "See Toako," katanya sambil tertawa dan mengurut-urut kumisnya, kita bersahabat sudah bertahun-tahun tidak nanti aku membuatnya kau malu." Tjeetjoe itu berdiam ia sedang mendongkol, tak dapat dia bicara, dia pun tak dapat mengutarakan kegusarannya. Tjio Eng tersenyum. "Biar bagaimana, anak-anak muda tak dapat tidak dipupuk," katanya pula. "Jikalau anak muda mesti dibunuh, sungguh, kita jadi menunjukkan pandangan yang cupat.....” Tjio Eng adalah pemimpin Rimba Persilatan di dua propinsi Shoasay , dan Siamsay, karenanya See To mesti menahan sabar. "Toako benar," ia kata. "Aku telah terima pengajaran dari kau. Sekarang ingin aku pamitan." Baru ia hendak berbangkit tapi Tjio Eng telah menekannya. "Kita saksikan dulu pertandingan ini, masih ada tempo," katanya. "Lihat, mereka sedang serunya!" Memang di atas panggung, "pemuda" dan pemudi itu tengah bertempur, tubuh mereka berkelebatan bagaikan bayangan, karena pesatnya mereka bergerak-gerak. Pakaian mereka sangat menarik, yaitu In Loei berbaju putih, dan Tjio Tjoei Hong berbaju hijau dan celana merah, hingga nampaknya bagaikan awan putih yang terseling sinar layung merah di antara laut hijau. Dengan kepandaiannya, In Loei dapat rubuhkan si nona dalam tempo tiga puluh jurus, akan tetapi ia ingin saksikan ilmu silat "Liapin pouw-nya", dari itu ia tidak segera berlaku keras. Liapin pouw ada bertangan kosong, sedang Liapin kiam memakai pedang. "Baik permainannya, sayang belum sempurna," pikir In Loei kemudian. Itu waktu mereka sudah melalui seratus jurus. Tjoei Hong sementara itu telah berpikir juga. Ia lihat bagaimana si "anak muda" melayani ia seperti sedang bermain-main. "Aku mesti perlihatkan kepandaianku, kalau tidak, setelah menikah nanti, ia bisa pandang enteng padaku," berpikir ia lebih jauh. Ia lantas tertarik pada anak muda itu, sedang maksud ayahnya, dapat ia duga. Benar saja, habis berpikir demikian, nona ini menyerang dengan dahsyat. Ia telah keluarkan kepandaiannya, yaitu ilmu silat Liapin pouw —Tindakan Mengejar Mega. Gesit gerakannya, berat tangannya — baik bacokannya, maupun totokannya. In Loei gentar juga menyaksikan perubahan itu, ia lantas melayani dengan ilmu silat Pekpian Hiankee — ilmu pedang yang ia ubah menjadi bertangan kosong. Maka ia pun jadi bergerak sangat lincah. Sebentar saja, pemuda ini telah menguasai pula pertempuran, akan tetapi, ketika si pemudi melihatnya, hatinya menjadi rawan. "Akhirnya dapat juga aku paksa kau keluarkan kepandaianmu," pikirnya. Lalu si nona paksakan berkelahi terus, ia seperti berlaku nekat, ia merangsak, begitu rupa, sampai akhirnya ia masuk ke dalam pelukan orang. Dipihak lain, ia mencoba memegang lengan In Loei. Kaget juga pemuda tetiron itu, sampai ia menjadi bingung. Mau atau tidak, ia terpaksa merangkul dengan tangan kiri, lalu dengan jari tangannya ia pegang iganya, hingga Tjoei Hong rasakan tubuhnya menggetar. Karena jengah, In Loei keluarkan seruan tertahan. Tapi dengan kemalumaluan, di bawah panggung, penonton telah bertampik sorak. Maka lekaslekas ia totok pula si nona, untuk menghidupkan pula jalan darahnya, habis mana ia tolak tubuh nona itu, ia sendiri lompat mundur. "Maaf, nona!" katanya sambil memberi hormat. Tjio Eng perlihatkan wajah berseri-seri, ia urut-urut kumisnya. Tapi sahabatnya, See Tjeetjoe, padam mukanya. "Kionghie, toako, kau telah pilih menantumu!" katanya sambil memberi hormat. "Nah, ijinkanlah aku pulang!" Tjio Eng panggil pembantunya yang tadi. "See Hiantee, toako-mu memohon maaf," ia kata. "Di sini ada sebungkus mutiara, hitunglah sebagai penggantian kerugian. Tentang kuda Tjiauwya saytjoe ma, harap kau tidak buat pikiran pula, karenanya silakan kau pergi ke istalku, akan pilih sepuluh ekor yang paling baik untuk dijadikan gantinya. Hiantee, aku minta sukalah kau berlaku murah hati, untuk membebaskan piauw yang ia lindungi itu." Tuan rumah mengatakan demikian karena ia percaya perkataannya See To bahwa In Loei telah menjadi "piauwsoe diam-diam." See Tjeetjoe tertawa tawar. "Terima kasih, toako," katanya. "Aku masih punyakan hartaku, tidak berani aku memiliki kepunyaan kau. Aku melainkan minta kau suka mentaati undang-undang Golongan Hitam. Dalam hal ini, aku minta toako memberi maaf padaku." Habis berkata, tjeetjoe ini menjura dalam pada tuan rumahnya, lalu ia tarik tangannya Boe Kie untuk diajak berlalu. Tjio Eng menjadi sangat tidak puas, tetapi ia tidak bisa berbuat lain, maka setelah menyuruh pembantunya antar tetamunya, ia sendiri lantas lompat naik ke atas panggung. Tjoei Hong merah wajahnya, melihat ayahnya naik, ia tunduk, tangannya membuat main ujung bajunya. In Loei pun menyeringai, ia jengah. Orang tua itu tertawa berkakakan. "Inilah yang dikata, gelombang sungai Tiangkang yang belakangan menolak gelombang yang terdepan, atau orang yang baharu menggantikan orang yang lama!" katanya. "Kau adalah satu pemuda gagah, kau adalah seorang yang sukar dicari bangsanya.....” Sekarang Tjio Eng sudah ketahui she dan nama orang ini. Tadi ia telah titahkan pembantunya memeriksa karcis namanya. Maka sambil tertawa ia meneruskan berkata: "In Siangkong, kau mempunyai kepandaian, buat apa kau menjadi piauwsoe?" "Sama sekali aku tidak menjadi piauwsoe," In Loei menyangkal. "Kemarin ini di tengah perjalanan aku berkenalan dengan satu sahabat, aku tolongi dia menolak penjahat, aku tidak tahu karenanya aku jadi bentrok dengan See Tjeetjoe ayah dan anak." Lega hatinya Tjio Eng mendengar keterangan ini. "Oh, begitu," katanya. "Di rumah kau masih ada siapa lagi? Apakah kau sudah mengikat jodoh?" In Loei bersangsi sedetik ketika ia menjawab. "Aku punya satu kakak," sahutnya. "Aku belum mengikat jodoh....." Tuan rumah itu tertawa. "Biasanya anak muda, bila ditanya hal jodohnya, dia jengah!" katanya. "Kau telah peroleh kemenangan, hendak aku berikan hadiah padamu!" berkata pula Tjio Eng. Ia keluarkan sebuah cincin batu giok hijau yang ditaburkan dengan dua butir permata "mata kucing," yang cahayanya berkilauan. "Ini adalah peninggalan ibunya Tjoei Hong yang diberikannya di waktu ia hendak menutup mata, sekarang aku haturkan ini padamu." "Karena itu barangnya si nona, tidak berani aku terima," In Loei menampik dengan merendah. Tjio Eng tertawa bergelak. "Ini adalah tanda mata untuk pertunangan kamu, mengapa kau tidak mau terima?" ia kata. "Sebenarnya aku tidak berani terima kehormatan itu." In Loei menolak pula. Mendadak saja wajahnya tuan rumah itu menjadi padam. "Apakah kau cela anakku?" tanyanya, tetapi dengan perlahan. "Mana berani aku mencela," sahut si anak muda. "Aku hanya tak dapat menuruti kehendak loopeh." Tjioe Eng menjadi tidak senang. "Mengapa?" ia tanya, mendesak. In Loei melirik kepada Tjoei Hong, ia lihat si nona, yang pegangi ujung celananya, merah mukanya, kedua matanya yang besar dan bunder diarahkan kepadanya, pada matanya tampak air mata yang berlinang. Tiba-tiba saja ia mendapat satu pikiran. "Baiklah, aku terima dia sampai nanti datang ketikanya aku menggeser." Demikian pikirnya. Ia menyahuti, tapi ia masih berpura-pura. Ia kata: "Aku belum dapat izin dari orang yang lebih tua, cara bagaimana aku dapat dengan diam-diam mengikat jodoh?" "Di manakah kakakmu sekarang?" tanya Tjio Eng. "Aku tak tahu ia berada di mana," jawab In Loei. "Dengan saudaraku, aku berpisah sewaktu kami masih kecil.....” Tjio Eng kerutkan alisnya. "Habis, pada siapa kau hendak beritahukan hal ini, untuk memohon perkenan?" dia tanya pula. "Ayah dan ibuku telah menutup mata, yang masih ada hanya tjeekong," sahut In Loei. "Tjeekong perlakukan aku sebagai cucunya sendiri, maka ingin aku beritahukan padanya urusan perjodohanku ini." "Siapakah nama tjeekong-mu itu?" "Tak dapat aku menyebutkan nama tjeekong di sini," jawab In Loei. "Dia seorang kenamaan dalam Rimba Persilatan." Tjio Eng heran, ia tertawa. "Kalau dia seorang kenamaan, mesti dia tahu namaku!" katanya dengan gembira. "Atau sedikitnya dia kenal aku. Maka baiklah kau jangan kuatir suatu apa." In Loei kena terdesak, ia lantas memberi hormat sambil berlutut pada "bakal mertua" yang ia panggil "gakhoe", habis mana dari sakunya ia keluarkan sepotong batu permata, untuk diserahkan. Tjio Eng terima tanda mata itu, yang ia terus serahkan pada anak daranya, setelah mana ia pimpin bangun babah mantunya, untuk disuruh berdiri di tengah panggung. "Sejak ini, In Siangkong ini adalah bagaikan setengah anakku," ia kata pada tetamu-tetamunya, maka itu aku mengharap, kalau nanti dia membuat perjalanan, sukalah saudara-saudara membantu melihat-lihat padanya." Riuh suara para tetamu menyambut pernyataan itu, mereka pun memberi selamat. Tjio Eng tunggu sampai reda, lalu ia berkata pula: "Aku telah berusia lanjut, dan justeru saudara-saudara berada di sini, baiklah sekarang saja pernikahan dirayakan! Secara begini dikemudian hari tidak usah aku mengundang pula saudara-saudara, yang mana membikin berabe saja!" Orang banyak lantas bertepuk tangan. "Bagus! Bagus!" mereka berseru. Malah seorang lantas menghampiri In Loei dengan arak di tangan, untuk memberi selamat. "Usiaku masih terlalu muda, baiklah pernikahan ditunda dulu.....” kata In Loei. Ia terdesak, ingin ia mengelakkannya. "Aku ingin dapat mendampingi kau, maka itu perlu pernikahanmu dirayakan siang-siang", Tjio Eng mendesak. "Aku Hongthianloei seorang sederhana, aku mengadakan loeitay untuk memilih mantu, sekarang mantu telah aku dapatkan, baik sekarang juga pernikahan dilangsungkan! Dengan begini kita tak usah dipersulit segala adapt istiadat.....” Semua tetamu tertawa, mereka puji cara sederhana ini. Maka In Loei dipaksa menjalankan upacara yang sederhana, yaitu berdua Tjoei Hong ia memberi hormat pada langit dan bumi, lalu pada Tjio Eng, habis mana banyak orang memberi selamat dengan arak! Bukan main masgulnya In Loei, ia mengeluh dalam hatinya. Tak dapat ia meloloskan diri. Inilah main-main menjadi sungguhan. Ia pun tak dapat menolak pemberian selamat dengan arak itu. Ketika ia telah tenggak belasan cawan arak, ia gunakan tenaga dalamnya, lalu dengan suara keras, ia muntahkan itu. Tubuhnya pun lantas limbung. Maka kupingnya lantas dengar teriakan orang banyak: "In Siangkong mabuk!" Memang In Loei tidak kuat minum, sedikitnya susu macan telah mempengaruhi dia, maka selagi berpura-pura sinting, yang orang percaya, sengaja ia, terhuyung kepada Tjoei Hong! "Anak muda tidak biasa minum, dia pun tidak tahu aturan," berkata Tjio Eng, yang juga kena dikelabui babah mantunya itu. "Anak Tjoei, pergi kau bawa dia ke dalam." Lalu pada orang banyak, ia tambahkan: "Aku girang, aku tidak pakai aturan lagi! Saudara-saudara, mari, mari kita minum!" In Loei pejamkan kedua matanya, ia letakkan kepalanya di pundak Tjoei Hong, ia biarkan dirinya dipayang ke dalam, terus ke kamar di mana ia rebahkan diri tanpa salin pakaian lagi. Mulanya ia berpura-pura mabuk, tapi karena pusing dan lelah, ia tertidur sendirinya. Ketika ia mendusin, ia lihat kamar sudah terang dengan cahaya api, tandanya sudah malam. Ia lihat Tjoei Hong duduk di tepi pembaringan, si nona tidak salin pakaiannya, rupanya dia terus menemani. Menampak orang membuka matanya, nona ini tertawa. "Kau mabuk, siangkong?" dia tanya. Lantas dia suguhkan secangkir the tua, katanya: "Inilah teh Sinkiok untuk menghilangkan rasa mabuk. Tidak usah siangkong bangun, aku nanti meminumkan....." Benar-benar, ia angkat sedikit tubuhnya In Loei, ke mulut siapa ia bawakan cangkir tehnya itu. In Loei merasa segar sehabisnya minum air teh itu yang harum. Sekarang ia dapat lihat tegas, kamar yang dihias rapi. Dupa mengepulkan asap di atas sebuah meja kecil, pendupaannya berkaki tiga dan bagus sekali. Menampak perhatian orang itu, Tjoei Hong tertawa. "Turut katanya ayah, inilah pendupaan jaman Tjioe," katanya. "Tapi di mataku, aku tidak melihat perbedaannya. Pun meja kecil itu, katanya terbuat dari kayu wangi asal Lamhay" Heran In Loei. Pendupaan tua dari jaman Tjioe dan meja kayu wangi dari Lamhay? Sungguh itu barang-barang yang mahal sekali harganya. Tapi si nona pandang barang itu sebagai barang biasa saja! Di situ pun kedapatan lain-lain barang berharga, seperti batu giok, mutiara dan lainnya, yang indah adalah pohon karang. "Tjio Eng satu jago silat, siapa tahu, iapun hartawan besar," pikir babah mantu ini. Tjoei Hong dampingi "suaminya" ini. "Siangkong, kau sebenarnya dari keluarga mana?" dia tanya. "Ayah dan ibu menutup mata waktu aku masih kecil sekali," jawab In Loei. "Menurut keterangan, kita adalah dari keturunan keluarga berpangkat." Nona itu mengawasi, alisnya agak mengkerut. "Siangkong, apa benar kau menyintai aku?", ia tanya, perlahan. "Kau cantik sekali, kau juga gagah, bukan cuma aku, setiap pemuda yang melihat kau pasti menyintai kau," jawab In Loei. "Ah, apakah kau kata?" "Aku punya satu saudara angkat, baik roman maupun kepandaiannya, dia melebihi aku," In Loei sahuti. Heran si nona, alisnya sampai bangun. "Saudara angkatmu itu mempunyai hubungan apa dengan aku?" dia tanya. "Ah, aku tahu sekarang..... Tadi kau berulang-ulang menampik, kau sebenarnya tak suka menikah dengan aku.....” In Loei pandang nona itu. "Bukannya aku tidak suka....." katanya. "Kau dengar dulu omonganku. Saudara angkatku itu.....” Mendadak saja Tjoei Hong menangis. "Bagaimana pandanganmu terhadapku?" dia tanya, gusar. "Kalau kau sebutsebut pula tentang saudara angkatmu itu, nanti aku bunuh diri dihadapanmu! Jikalau kau tidak suka padaku, katakanlah terus terang! Memang aku tahu kamu bangsa pembesar negeri, kamu pandang rendah orang sebangsa kami.....” "Ah, mengapa kau ngaco?" berkata In Loei. "Sebenarnya kau bangsa apa? Aku tidak tahu.....” Si nona mengawasi. "Apa benar-benar kau tidak tahu?" tanyanya. "Aku adalah anak tunggal dari satu penjahat besar!" In Loei tersenyum. "Itulah tidak berarti apa-apa!" dia kata. "Saudara angkatku itu juga ada satu penjahat besar.....” Bukan main mendongkolnya Tjio Tjoei Hong. "Kau selalu sebut saudara angkatmu itu, sebenarnya, apakah maksudmu?" dia tanya. Melihat orang murka, In Loei berpikir. Memang tak tepat pada malaman pengantin berbicara tentang seorang lelaki lain. "Aku hendak jodohkan paman San Bin, tidak dapat aku terburu napsu," ia berpikir pula. "Kau belum kenal aku!" kata si nona. "Sejak kecil aku telah ikuti ayah merantau, selama itu entah berapa banyak orang yang telah melamar aku, akan tetapi aku sendiri telah bersumpah, tidak mau aku menikah kecuali pada orang yang aku penuju! Kalau ada orang yang aku penuju tetapi dia tidak suka padaku, tidak ada lain jalan daripada mengorbankan jiwaku! Tadi di atas loeitay, kau telah berlaku ceriwis terhadapku, dan sekarang, setelah kita menikah, kenapa kau tidak pandang aku sebagai isterimu? Apakah memang kau sengaja hendak perhina aku?" In Loei tidak sangka orang berhati demikian keras. Maka kembali ia berpikir. "Dia belum pernah lihat paman San Bin, apakah dia penuju pada paman itu?" demikian ia beragu-ragu. "Kalau begini, tidak boleh aku sembarang timbulkan niatku menggeser pernikahanku ini.....” "Katakan!" Tjoei Hong mendesak, "sudikah kau mengambil aku sebagai isterimu?" lantas saja dia menangis. Kewalahan juga In Loei didesak secara demikian. "Siapa kata aku tidak sudi mengambil kau sebagai isteriku?" dia membaliki. "Jangan kau menangis. Kau ingin aku berbuat bagaimana supaya aku membikin kau puas?" Tjoei Hong hendak mengatakannya tetapi batal, ia malu sendirinya. Cuma air matanya yang mengalir. In Loei cekal tangan orang, untuk ditarik. Ia tersenyum. "Entjie, berapa usiamu?" ia tanya. "Delapan belas tahun," sahut Tjoei Hong dengan ringkas. "Kalau begitu, kau lebih tua satu tahun dari-padaku," menerangkan nona In. "Benar-benar aku mesti panggil entjie padamu. Entjie, adikmu.....” Dengan kata "adik" itu ia maksudkan "moay-moay"-"adik perempuan." Tjoei Hong heran, hingga ia mengawasi. "Apakah kau belum sadar betul dari mabukmu?" dia tanya. "Bukankah tadi telah aku terangkan bahwa aku tidak punya adik perempuan?.....” In Loei melengak. Untuk sedetik, ia lupa bahwa ia tengah menyamar. Lalu ia tertawa sendirinya. "Benar gila!" katanya. "Entjie, bolehkah aku jadi adikmu yang lelaki? Entjie, adikmu ini tidak pandai bicara, aku minta kau tidak persalahkan dia.....” Dengan perlahan ia usap-usap tangannya. Tjoei Hong tertawa. "Benar-benar kau anak tolol!" katanya. "Baiklah! Sekarang kau mesti dengar perkataan ent}ie-mu\ Lekas kau salin pakaianmu, baharu kau tidur pula! Kau lihat, kau tidak loloskan sepatumu! Ah, ini sepre mesti ditukar.....” Kalau tadi si nona masih malu, sekarang ia menjadi berani. Melihat orang tidak mau berbangkit, ia kata: "Apakah kau inginkan entjie-mu yang menukarkan pakaianmu"..... Ia lantas tertawa, mukanya menjadi merah. Ia merasa bahwa ia telah kelepasan berbicara. In Loei berdiam. Ia benar-benar sangsi. Tiba-tiba ada pertanyaan dari luar, dari budak perempuan: "Apa babah mantu sudah sadar dari mabuknya?" "Sudah," sahut Tjoei Hong. "Looya minta nona dan babah mantu menemuinya," kata pula budak itu. "Oh, ya, aku sampai lupa!" kata si nona. Terus ia menambahkan dengan perlahan: "Adikku, mari bangun. Tak usah kau salin pakaian dulu.....” Lega hatinya In Loei. Ia singkap selimutnya lalu lompat turun. Tjoei Hong membuka pintu kamar. "Kau tukar seprenya!" ia perintahkan budaknya. Budak itu lihat sepre bertapakkan sepatu kotor, ia tertawa sambil menutup mulutnya. Tjoei Hong ambil lentera, sambil bawa itu, ia tarik tangannya In Loei, untuk diajak keluar. Mereka mesti melewati beberapa ruangan, untuk sampai di sebuah loteng besar, yang tingginya lima tingkat. Tingkat ke lima itu merupakan satu ruangan, ada meja, dan kursinya. Di atas meja, In Loei lihat, banyak barang permata. Tjio Eng duduk dengan ditemani empat orang di kiri dan kanannya. Menampak babah mantunya, Tjio Eng tertawa. "Anak Tjoei! Anak Loei!" katanya. "Mari kamu pilih ini, masing-masing ambil satu rupa, yang selebihnya adalah untuk sahabat-sahabatku ini!" In Loei heran, ia berdiam. "Inilah aturan kami yang tertentu," Tjoei Hong beritahu. "Kau turut perkataan ayah. Kau pilih satu rupa!" In Loei ambil satu singa-singaan dari batu giok, dan Tjoei Hong mengambil sebatang tusuk konde dari giok juga. Habis itu In Loei pandang ruang itu, yang sangat sederhana, sebab kecuali sebuah lemari besi, perabotan lainnya tidak ada, melainkan di tembok tergantung sebuah gambar yang besar di mana terlukis sebuah kota yang dikitari air, kota itu ada pesebannya, ranggonnya, tamannya, dan penduduknya. Dilihat dari romannya, itu adalah sebuah kota di Kanglam. "Apakah kau suka pada gambar itu?" tanya Tjio Eng sambil tertawa. "Besok akan aku tuturkan kau tentang kota itu. Sekarang kembalilah kamu." Tjoei Hong ajak suaminya undurkan diri, selagi keluar dari kamar, ia masih dengar kata-katanya salah satu tetamu: "Harus sangat disayangkan, ini adalah perdagangan kita yang terakhir.....” Tjio Eng tertawa, ia kata: "Di dalam dunia di mana ada bunga yang tak rontok dalam seratus tahun? Usiaku telah, lanjut, aku pun tidak ingin melakukan perdagangan semacam ini. Baiklah kita pakai cara lama, kamu boleh taksir harganya." In Loei heran, ia ingin mendengar lebih jauh tapi Tjoei Hong sudah menarik tangannya, mengajak ia turun dari loteng. Setibanya di kamar, mereka tampak sepre sudah ditukar dengan yang baru, hingga pembaringan itu nampaknya lebih indah. Pada saat itu dari kejauhan terdengar suara kentongan. "Ah, sudah jam tiga!....." kata Tjoei Hong. "Sekarang ini aku tidak ingin tidur," kata In Loei. "Baik kau beritahukan aku, urusan apakah sebenarnya urusan ayahmu tadi?" "Ayah adalah satu penjahat tunggal," Tjoei Hong menjawab dengan terus terang, "setiap tahun ia cuma bekerja satu kali. Penduduk sini tidak ketahui perbuatan ayah itu. Sudah menjadi kebiasaan, setiap habis bekerja, ayah menyuruh aku memilih salah satu barang hasil kerjanya, yang lainnya lantas dijual habis." "Barang boleh merampas bagaimana dapat dijual?" tanya In Loei. "Sudah tentu dapat, untuk itu ada pembelinya. Begitulah ke empat orang tadi, mereka biasa membeli barang dari ayah. Mereka itu liehay, barang asal utara mereka jual di selatan demikian sebaliknya. Belum pernah mereka itu gagal. Uang yang ayah dapatkan dari penjualan itu, yang sebagian kecil ia tahan untuk dijadikan harta benda, selebihnya ia pakai menolongi sahabatsahabat kangouw yang kesusahan." In Loei heran dan kagum. "Begitu?" katanya. "Pantas ayahmu diberi gelar Say Beng Siang." "Say Beng Siang" berarti "Melebihi Beng Siang", dan "Beng Siang" itu adalah Beng Siang Koen, seorang kenamaan yang biasa mengumpulkan banyak tetamu, dermawan dan berharta besar. Tjoei Hong tersenyum pada "suaminya" itu. Tidak lama terdengar pula suara kentongan satu kali. "Apakah kau ingin aku bicara terus sepanjang malam?" sang isteri Tanya "suaminya" itu sambil melirik dengan tajam dan manis. "Hendak aku menanyakan lagi," In Loei jawab. "Tentang gambar lukisan tadi. Adakah ceritanya mengenai gambar itu?" "Aku tidak tahu. Tentang itu, belum pernah ayah berkata padaku." Ia berdiam sebentar. "Aku pun merasa aneh. Segala apa ayah beritahukan padaku, Cuma gambar itu belum pernah ia menyebutkannya." Tak lama, kembali terdengar kentongan. "Nah, apa lagi kau hendak tanya?" tanya Tjoei Hong sambil tertawa. In Loei berpikir, tidak ia dapatkan daya untuk memperlambat waktu. Tanpa alasan, tentu tak dapat ia bicara terus dengan "isterinya" itu. Maka ia jadi sibuk sendirinya. "In Siangkong," akhirnya Tjoei Hong tanya, perlahan, "apakah benarbenar kau tidak cela aku?" "Untuk selamanya kau akan menjadi entjie-ku, bagaimana dapat aku cela padamu?" In Loei baliki. "Baik!" kata si nona, suaranya halus. "Besok saja kita bicara pula, sekarang kau perlu beristirahat." In Loei raba kancing bajunya. "Benar, sekarang sudah waktunya tidur," katanya. Tapi tangannya Cuma meraba kancing, tidak ia membukanya. Justeru itu, di luar terdengar berisiknya suara banyak orang, antaranya ada yang berteriak-teriak: "Tangkap penjahat! Tangkap penjahat!" Di rumah Hongthianloei ada penjahat, itulah lucu. Di antara tetamu-tetamunya Tjio Eng ada yang numpang bermalam di rumahnya, mereka ini terkejut mendengar teriakan itu, lantas mereka memburu keluar, guna mencari penjahat itu. In Loei tidak kaget, sebaliknya, ia tertawa. "Kita bakalan tak dapat tidur!" katanya. "Penjahat itu tentu datang sebab ayahmu mempunyai banyak barang permata." Tjoei Hong tidak menjawab, dia hanya lari keluar, untuk kabur ke loteng tempat menyimpan permata itu. In Loei ikuti "isterinya" itu. In Loei sempurna ilmu enteng tubuhnya, ia berada di atas kebanyakan orang lain, maka itu kecuali ia telah lombai bujang-bujang dan tetamu-tetamu, ia pun telah tinggalkan Tjoei Hong jauh di sebelah belakang. Hal ini membuat "isteri" itu girang berbareng mendongkol. Girang sebab "suami" ini lihay dan kelihatannya membela betul keluarga Tjio, dan mendongkol karena dipanggilpanggil, dia tidak mau kembali atau menunggu. Luas pekarangan Tjiokee tjhoeng itu, letak loteng tempat menyimpan barang berharga ada di pojok timur, di sana In Loei sampai dalam tempo yang cepat sekali, ketika ia menoleh, ia lihat Tjoei Hong baharu tiba di atas genteng dari rumah besar. Ia tidak mau menantikan, sambil hunus pedangnya, ia lompat untuk sambar payon di mana terus ia cantelkan kakinya, akan ayunkan tubuhnya dengan dibantu oleh tekanan sebelah tangannya, dengan begitu ia sampai di loteng kedua. Di sini ia pasang kuping, hingga ia dengar suara seperti suara setan..... "Bangsat, kau mainkan lelakon iblismu untuk menakut-nakuti aku!" In Loei kata di dalam hatinya. Ia dengar suara dari dalam loteng, untuk masuk ke dalamnya, terlebih dahulu ia nyalakan sumbu bekalannya, yang ia sulut dengan api tekesan. Sebentar kemudian ia sudah berada di dalam, terus ke tangga dari loteng ketiga. Ketika ia angkat kepalanya melihat ke atas, ia tampak bayangan dari empat orang yang tubuhnya besar, mereka itu berdiri dengan sebelah kaki masing-masing, agaknya mereka sedang bertindak untuk lari turun, hanya, seperti dipengaruhi dengan "Tengsin hoat," yaitu ilmu "mendiamkan diri," mereka jadi berdiri diam, cuma mata mereka mendelong dan tenggorokan mereka perdengarkan suara tak nyata. Yang hebat adalah wajah mereka, daging muka mereka pada mengkerut, hingga mereka mirip iblis-iblis bengis dan jahat..... Terkejut juga In Loei setelah dia melihat dengan tegas, tapi dia hunus pedangnya, dia lari naik di tangga, niatnya menyerang mereka itu, yang dia duga adalah si orang-orang jahat. Dia baharu hendak menikam, atau dia batalkan maksudnya. Tiba-tiba saja dia menduga, ke empat orang itu tentu telah jadi korban totokan, sedang dia belum mendapat kepastian mereka itu ada "lawan atau kawan"..... Maka dia lantas suluhi mereka, dia mengawasi. Tidak peduli wajah orang itu jelek, tapi dia kenali, mereka itu adalah orang-orang yang tadi siang menjadi pembeli-pembeli dari barang-barangnya Tjio Eng. Dia menjadi heran, sebab dia percaya, walaupun mereka saudagar, mereka tentunya pandai silat. Kenapa mereka kena ditotok? Siapakah yang menotoknya? "Belum pernah aku saksikan ilmu totokan lihay seperti ini?" In Loei berpikir pula, "Jikalau aku gunakan kepandaianku, dapatkah aku membebaskan mereka ini?" Ia awasi mereka terlebih jauh, ia selidiki dengan teliti. Ia duga orang telah ditotok urat "moa Nafnya atau "ah hiat." Totokan di urat itu bisa menyebabkan tubuh orang seperti mati atau gagu. Ia masih mengawasi sekian lama, baharu ia mencobanya menotok mereka. "Aduh!" mereka itu menjerit setelah kena ditotok, terus mereka rubuh. In Loei lompat minggir. Menyusul itu terdengar suara berisik, dari batu-batu permata yang jatuh dari kantung ke empat orang itu, yang berhamburan di lantai. Itulah harta yang berharga lebih dari sepuluh laksa tail. In Loei melengak. Terang baginya sekarang, penyerang ke empat orang ini bukannya hendak mengambil harta itu. Kalau tidak, harta itu pasti sudah dirampas. "Apakah penyerangmu sudah pergi?" ia tanya ke empat saudagar itu. Ke empat orang itu masing-masing menekan dadanya, dengan sebelah tangan yang lain, mereka menunjuk ke atas. Tidak dapat mereka bicara, napas mereka sesak. Dengan berani In Loei lompat keluar jendela, untuk naik ke loteng ke empat, setibanya di payon, dari atas wuwungan ia dengar suara nyaring dari Tjio Eng: "Kami dua turunan sudah menantikan enam puluh tahun. Apakah benar kau tidak sudi perlihatkan wajahmu terhadap kami?" In Loei naik terus, ia segera nampak bayangan orang, yang telah perdengarkan suaranya "Mari!" Itulah suara yang ia pernah dengar, entah di mana, ia lupa. Tjio Eng ambil gambarnyaij, ia gulung itu, atas mana si bayangan ulurkan kedua tangannya, ia menyambut dengan tangan yang satu, sedang tangan yang lain, agaknya menepuk ke arah kepala tuan rumah. Menampak demikian, In Loei membentak, tubuhnya naik ke genteng, tapi berbareng dengan itu, ia diserang senjata rahasia. Ia menyampok dengan pedangnya, lantas ia rasakan satu dorongan tenaga yang kuat sekali. Benar senjata rahasia itu hancur dan menyemburkan lelatu, tapi nona ini tak dapat pertahankan diri, tubuhnya terhuyung jatuh. Syukur ia masih dapat menyantelkan kakinya ke payon, dengan begitu ia tidak jatuh terus kebawah loteng. Malam itu gelap. Kembali datang senjata rahasia yang kedua, yang perdengarkan sambaran angina seperti yang pertama. Dengan pedangnya, In Loei tangkis pula senjata rahasia itu, yang kembali hancur dan lelatunya meletik berhamburan. Sekarang ternyata, senjata rahasia itu adalah sepotong batu. Pada saat itu, Tjio Eng tongolkan kepalanya. "Siapa?" dia menegur. Belum In Loei menjawab, atau ia dengar suara yang berubah - suara yang agak terkejut: "Anak Loei di situ? Ini bukan urusanmu, lekas kau menyingkir!" Itulah suara Tjio Eng. Mendengar itu, In Loei heran. Sudah terang "penjahat" itu hendak merampas barangnya, kenapa Tjio Eng — si "mertua" — membantu pencuri itu? Kenapa Tjio Eng menyerang dengan batu hoeihongsek untuk mencegah dia membantui? Waktu itu di bawah loteng terlihat beberapa tetamu yang datang untuk memberikan bantuan mereka. Tjio Eng lihat mereka itu, tidak tunggu sampai In Loei menyingkir, ia sudah lompat keluar, sambil berkata dengan nyaring: "Penjahat telah aku usir sudah tidak ada apa-apa lagi! Saudara-saudara, silakan kembali!" Tapi In Loei bermata awas, ia lihat si pencuri lompat keluar dari belakang jendela, pesat sekali gerakannya. Tanpa sangsi lagi, ia pun lompat ke lain arah. Dengan sebat si penjahat sudah sampai di tembok pekarangan. Masih In Loei menyusul, ia juga tunjukkan kesehatannya. Selagi hendak lompat dari tembok, orang yang disangka penjahat itu berpaling, tangannya dilambaikan pada si nona. Nyata ia memakai topeng, sepasang matanya bersinar tajam. Tanpa melihat tegas, In Loei lompat mengejar terus. Di luar tembok pekarangan ada pohon-pohonan lebat, dari sana terdengar suara kuda berbenger, lalu di antara cahaya rembulan, tampak muncul seekor kuda putih. Melihat kuda itu, In Loei terkejut. Ia kenali itu adalah kuda putih dari si mahasiswa. Ia jadi menjublak, ia tak mengerti. Bukankah ia telah uji dan si anak sekolah tidak mengerti silat? Kenapa sekarang dia datang mencuri? Adakah benar orang bertopeng itu si mahasiswa adanya dan dia datang bukan untuk mencuri? Kalau dia benar mencuri, kenapa dia biarkan harta besar di tangan ke empat saudagar itu dan dia cuma ambil gambar lukisan saja, meskipun gambar itu berharga besar sekali. Tapi anehnya, kalau benar si pencuri adalah si mahasiswa, dia baharu berumur dua puluh lebih, kenapa Tjio Eng mengatakan sudah menantikan enam puluh tahun? In Loei masih tercengang terus kalau ia tidak diganggu suara berisik diarah belakangnya, disusul dengan suaranya Tjio Eng yang nyaring: "Jangan kejar penjahat yang sudah kabur! Anak Loei, lekas kembali!" Masih In Loei terbenam dalam keheranan, sebab sikap aneh dari "mertuanya" ini. Terang sudah, Tjio Eng tengah melindungi si penjahat — si orang bertopeng. Karena ini, ia tidak pedulikan panggilannya orang tua itu, ia justeru terus lompat keluar tembok, ke arah pohon-pohonan lebat. Tapi di sini lagi-lagi ia hadapi kejadian yang membuatnya sangat heran. Suara seekor kuda lain terdengar pula, apabila In Loei sudah melihat, ia tercengang. Itulah kuda berbulu merah, kudanya sendiri! Kuda itu, ia tahu benar, ditambatkan di depan kampung. Kenapa kuda itu sekarang berada di dalam rimba? Ketika itu si orang bertopeng sudah duduk di atas kudanya. Ia tidak segera lari, hanya kembali ia menoleh, tangannya menggape kepada si nona. Sekarang In Loei merasa pasti, orang itu adalah si mahasiswa. Tiba-tiba saja ia jadi tidak senang. "Hai, binatang, kenapa kau berulang kali mempermainkan aku?" bentaknya. Terus ia lompat naik ke atas kudanya, ia jepit perut kudanya, untuk mengejar. Kuda putih telah kabur pesat di sebelah depan. Dari suara banyak kuda di sebelah belakang, In Loei percaya Tjio Eng beramai juga mengejar, akan tetapi mereka ini juga ketinggalan jauh. Kuda putih kabur terus, kuda merah tetap menyusul, maka itu, dari Yangkiok, tak lama kemudian, keduanya mengambil jalan besar ke kota raja..... Jarak antara kedua kuda ada kira-kira setengah lie, sampai di situ, kuda putih dikendorkan larinya. In Loei mendongkol berbareng heran, ia penasaran, dari itu, ia keprak kudanya untuk mengejar terus. Malam itu diterangi hanya oleh sisa rembulan. Tanpa diketahui lima puluh lie lebih telah dilalui, dan tanpa merasa sang fajar telah mendatangi. Entah di mana mereka berada, cuma tahu-tahu di depan mereka ada sebuah rimba. "Maaf, tak dapat aku menemani lebih lama!" terdengar suara si orang bertopeng, habis berkata dia larikan kudanya masuk antara pohon-pohonan yang lebat. "Walaupun kau lari keujung langit, akan aku menyusulnya!" teriak In Loei dalam murkanya. Benar saja, ia kaburkan terus kudanya untuk memasuki rimba. Akan tetapi baharu ia sampai di tepian atau ia dengar kuda putih berbunyi nyaring, disusul dengan seruan orang. Ia terkejut dan heran, dengan tiba-tiba ia tahan kudanya. Berbareng dengan itu, tampaklah kuda putih lari keluar tanpa penunggangnya dibebokongnya. In Loei terkejut. Si orang bertopeng mestinya liehay, apa mungkin orang telah mencelakai dia — dengan membokong — hingga tinggal kudanya saja yang lari keluar? Setelah seruan itu, di dalam rimba itu menyusul terdengar teriakan-teriakan. Cuma sedetik In Loei bersangsi, atau ia sudah lompat turun dari kudanya, untuk lari masuk ke dalam rimba itu, untuk lompat naik ke atas sebuah pohon. Segera juga tertampak beberapa orang memburu keluar rimba. "Sayang, sayang!" kata mereka. "Kuda putih itu lolos!..... Eh, eh, ada kuda merah!..... Ah, ah, sayang, dia juga kabur!.....” In Loei tidak kuatirkan kudanya itu, yang jinak dan mengerti. Ia tahu, kudanya telah lari menyingkir. Ia percaya, bila sebentar ia panggil, kuda itu akan kembali. Karena ini, dengan gunakan ilmu enteng tubuhnya, ia melapai dan berlompatan dipohon-pohon itu, dari yang satu kepada yang lain, hingga di lain saat ia telah sampai di dalam rimba. Di sana terdengar suara berisik sekali. Dengan hati-hati In Loei maju terus, lalu ia umpetkan diri, untuk mengintai. Ia lantas saksikan satu pemandangan yang membuatnya heran, yang kesudahannya memberikan penerangan padanya. Di atas sebuah batu besar tampak si mahasiswa berdiri, dia telah melucuti topengnya. Di sekitarnya, di bawah batu, mengurung delapan orang, tubuh siapa tinggi dan rendah tak rata. Dua orang segera In Loei kenali, ialah See To dan puteranya. Yang menjolok mata adalah dua orang lain, ialah satu tauwto yang rambutnya terurai, dan satu imam berjuba hijau. (Tauwto adalah pendeta yang piara rambut). Terdengarlah suara Tjeetjoe See To, suara yang dingin: "Meskipun kau sangat licin, binatang, tidak nanti kau lolos dari tanganku! Apakah kau masih mengharap jiwamu?" Si mahasiswa menggeleng-gelengkan kepala. "Sekalipun semut masih menyayangi jiwanya, apapula manusia?" katanya dengan sabar. "Jikalau begitu," kata See Tjeetjoe, "lekas kau panggil kembali kuda Tjiauwya saytjoe ma-mu! Tentang barang-barang permata, biarlah, tak aku inginkan itu, tidak demikian dengan kudamu!" Mahasiswa itu tetap menggelengkan kepalanya. "Kuda itu ada kuda jempolan, dia tidak mudah berpindah tangan?" dia kata. See To tertawa dingin. "Pembelamu telah menjadi tamu agung di Heksek tjhoeng, di sini siapa yang akan menolong kamu?" katanya mengejek. Anak muda itu tiba-tiba menunjuk. "Kau mana tahu, orang sasterawan!" katanya: "Pembelaku itu telah datang!" Lalu dengan tiba-tiba, ia perdengarkan seruan nyaring: "Pembelaku, kenapa kau tidak lekas, turun untuk menolongi tuanmu!" -ooo0dw0ooo- BAB V In Loei mendongkol bukan main. Tidak ia sangka, tibanya di situ telah diketahui si mahasiswa. Mau atau tidak, terpaksa ia lompat turun dari tempatnya sembunyi di atas pohon itu. Si tauwto kaget, tapi dia tabah, dengan lantas dia menyerang memakai senjata rahasia, ialah tiga batang piauw, yang menyambar dengan beruntun. In Loei terkejut. Ia tengah lompat turun, waktu itu ia belum hunus pedangnya, ia jadi serba salah. Tidak bisa ia menangkis, tak mampu ia berkelit. Justeru itu dengan perdengarkan suara nyaring, ketiga piauw dari si tauwto jatuh ke tanah saling susul, hingga si tauwto jadi kaget. Dengan cepat dia merogo pula sakunya. "Tunggu dulu!" berseru See To. "Biar dia punya sayap, bocah ini tidak nanti mampu terbang?" Terus dia memberi tanda dengan gerakan tangannya, maka In Loei lantas dikurung delapan orang itu. Merah matanya See To Boe Kie menyaksikan si anak muda yang ia pandang bagaikan jarum di biji matanya. Ia jelus dan mendongkol. Dengan tertawa aneh, dia membentak: "Binatang, bukannya kau berdiam di Heksek tjhoeng sebagai tamu, apa perlunya kau datang kemari? Kau tahu, meski tangan Hongthianloei panjang, tangan itu tidak nanti dapat diulur sampai di sini untuk melindungi kamu!" Lantas dia angkat goloknya, hendak dia maju. See To tarik puteranya itu. "Apakah Tjio Eng yang menitahkan kau datang kemari?" tjeetjoe itu tanya. Dia jeri terhadap tuan dari Heksek tjhoeng, tanpa penjelasan, tak berani dia berlaku lancang. Mendahului In Loei, si mahasiswa, yang bercokol di atas batu besar, perdengarkan tertawanya yang nyaring. Dia menggantikan menjawab: "Apakah kamu tidak dengar perkataanku barusan? Akulah yang panggil dia dating kemari! Dialah piauwsoe, pembelaku! Kamu hendak merampas uangku, kamu juga hendak ambil jiwaku, cara bagaimana dia bisa tidak datang? Eh, pembelaku!" dia teruskan berkata kepada In Loei, "kau makan dariku, kau minum dari aku juga, sekarang aku mendapat susah kenapa kau masih tidak hendak turun tangan?" "Apakah benar-benar kamu tidak mempunyai hubungan dengan Hongthianloei?" tanya See To dengan bentakannya. In Loei mendongkol bukan main terhadap mahasiswa itu, akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, tidak dapat ia tidak turun tangan untuk orang yang ia pernah lindungi itu, maka ia hunus pedangnya sambil terus membentak: "Perlu apa kau sebut-sebut Hongthianloei? Aku cuma andalkan pedangku ini untuk pergi ke mana aku suka, pergi sendirian saja, tanpa main gila, liciklicikan, cuma bisa menyuruh lain orang turun tangan!" Dengan kata-kata ini, dengan menyindir In Loei tegur si mahasiswa. Si mahasiswa tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Bagus!" serunya. "Inilah piauwsoe yang tak kecewa untuk diundangnya! Dia benar-benar satu piauwsoe laki-laki!" "Binatang!" See To menjerit. "Karena kau tidak punya hubungan dengan Hongthianloei, tibalah saatnya kau mampus!" Lalu dengan menggerakkan sepasang tangannya, dia lompat maju. Si tauwto dan si imam, juga turut maju, untuk mengepung. Dengan berani In Loei layani tiga lawan, ketika ia lompat, ia barengi menikam pundaknya See To, tapi si tauwto menalangi kawannya menangkis, dengan goloknya, golok kaytoo, dia bentur pedang orang hingga si nona terperanjat. Keras sekali benturan itu, sampai ia rasakan tangannya gemetar. Justeru itu, si imam menusuk dengan pedangnya, hingga ia mesti berkelit, sebab buat menangkis, ia tak punya kesempatan. "Bret!" demikian terdengar suara yang menyusuli tusukan si imam, ujung pedang siapa mengenai bajunya si pemuda tetiron. Sementara itu si tauwto serukan kawan-kawannya: "Awas pedangnya, itulah pedang mustika!" Sebab ia dapat kenyataan, goloknya kena terpapas sedikit. Si imam tidak takut, dia malah tertawa besar. "Bagus!" dia berseru. "Pedang mustika, kuda pilihan, itulah kepunyaan kita!" Terus saja dia menyerang pula. In Loei menangkis. Licin imam ini, ketika ia ditangkis, mendadak saja ia tarik kembali pedangnya, untuk dibalikkan, dipakai menikam terus. Dia pun berseru: "Kena!" In Loei tidak jadi kaget. Melihat orang demikian gesit, ia pun berlaku tak kurang sehatnya. Ia teruskan menikam perut orang sambil berseru pula: "Kena!" Itulah serangan "Tengto imyang", atau "Memutar balikkan im dan yang". Itulah satu nama lain dari ilmu pedang Hian Kee Itsoe yang nama lengkapnya "Pekpian Imyang Hiankee kiam" yang banyak perubahannya, yang diciptakan berbareng dengan satu ilmu pedang lainnya "Banlioe Tiauwhay Goangoan kiam." Kaget si imam, kesatu, sebab tikamannya gagal, kedua karena datangnya serangan membalas itu. Ia sebenarnya gesit, ia sudah lantas berkelit, tapi tidak urung, ikat jubanya kena disambar juga hingga putus, hingga ia mandi keringat dingin. In Loei kecewa karena gagalnya serangan itu, apapula di lain pihak ia mesti tangkis goloknya si tauwto, yang sudah merangsak pula, sedang dari sambarannya See To, yang tangannya lihay, ia mesti egoskan tubuhnya. Si imam juga sangat bengis, habis itu, dia maju pula. Selagi orang dikeroyok, See Boe Kie berteriak: "Jikalau dia tidak dapat dibekuk hidup-hidup, mati pun boleh! Mari maju, kita cincang tubuhnya!" Benar-benar In Loei segera dikurung dengan rapat. See To dan puteranya tak dapat dipandang ringan. Si tauwto dan si iman juga lihay, malah si tauwto menggunakan sepasang golok, maka itu In Loei menjadi repot, dia mesti berlaku sangat gesit dan sebat untuk menangkis sesuatu serangan. Boe Kie merangsak dengan hebat rupanya ia sangat penasaran karena tidak dapat memiliki Nona Tjio. Begitulah kejadian, selagi banyak alat meluruk, Boe Kie membacok dengan golok Kwietauw too-nya. Ia kertek giginya, ia gunakan seluruh tenaganya. Tapi, tiba-tiba ia menjerit keras sekali dan goloknya pun terlepas, terlempar karena ia merasakan sikutnya sakit sekali seperti tertusuk jarum. In Loei terperanjat menampak golok melayang ke arah kepalanya, dengan sebat ia berkelit. Berbareng dengan itu satu penyerang, yang bersenjatakan tombak gaetan seperti arit, juga menjerit seperti Boe Kie, malah dia terus rubuh tanpa bangun lagi, karena dia juga merasa dirinya tertusuk jarum, sampai gaetannya, yang terlepas, menyambar dadanya sendiri. "Bagus! Bagus!" si mahasiswa berseru dengan pujiannya sambil tertawa, apabila dia saksikan "piauwsoenya" lolos dari bahaya dan dua lawannya terluka. "Hai, piauwsoe-ku yang baik, senjata rahasiamu bagus sekali!" Mendengar teriakan itu, In Loei sadar dengan mendadak. "Musuh banyak, aku sendirian, tidak dapat tidak, mesti aku gunakan senjata rahasia!" demikian ia pikir. Maka ketika ia sedang bebas, tangan kirinya merogo kesakunya, untuk meraup piauw Bweehoa Ouwtiap piauw-nya. Dengan itu segera ia menyerang. Belum lama In Loei muncul di dunia kangouw, ia sudah mendapat julukan "Sanhoa Liehiap," itulah karena pandainya ia menggunakan piauw-nya, ini kali ia gunakan senjata rahasia itu, dalam sekejap saja ia membuat musuhmusuhnya kaget dan repot. Berulang kali terdengar suara nyaring dari bentroknya pelbagai piauw dengan senjata-senjata lawan, yang mengadakan penangkisan, sebagai kesudahannya, kecuali See To, si imam dan tauwto, yang lainnya rubuh sebagai korban. Tauwto dan imam itu adalah orang-orang lihay undangannya See To untuk membantu tjeetjoe ini, mereka heran melihat senjata-senjata rahasia. Mereka insaf bedanya senjata rahasia In Loei dari senjata rahasia yang bermula. Mereka tiba-tiba mengerti, selagi dikepung rapat, bagaimana In Loei dapat kesempatan akan menggunakan senjata rahasianya itu. Tapi, kalau senjata itu bukan dilepaskan In Loei, mesti di situ bersembunyi seorang liehay lain yang membantu pemuda ini. Akhirnya si tauwto berseru: "Siong Sek Tooheng, kau tahan dia, libat padanya! See Tjeetjoe, kau rampas pedangnya! Hendak aku melihat-lihat!" Dan "Sret!" terdengar suara halus atau lengan si tauwto kena tertusuk! Si imam berbaju hijau adalah orang terlihay di antara tiga orang ini, ia telah memasang mata sejak tadi, maka kali ini ia dapat lihat si mahasiswa yang sedang bercokol di atas batu telah bergerak tubuhnya. Tidak tempo lagi, ia berseru: "Soeheng, itu kambing yang main gila!" Lalu ia lompat melewati In Loei, guna menyerang anak sekolah itu. "Tolong! Tolong!" si mahasiswa menjerit-jerit, tubuhnya gemetar. Siong Sek Toodjin ada satu murid tingkatan kedua dari Boetong pay, partai yang kesohor dengan ilmu pedang Tjicapdjietjioe Lianhoan Toatbeng kiam, maka itu bisa dimengerti bagaimana hebatnya ketika ia tikam si mahasiswa, akan tetapi kali ini, ujung pedangnya lewat di dekat iga, sama sekali tidak mengenai atau, menyinggung bajunya. Karena itu, ia lantas ulangi serangannya, beruntun sampai empat kali! Bukan main repotnya si mahasiswa, dia berteriak-teriak, dia berlompatan, untuk menyingkir dari ancaman sasarannya, kelihatannya dia seperti sedang bermain-main. In Loei terkejut mendengar jeritan si mahasiswa. Ia sekarang menjadi ringan karena Siong Sek Toodjin meninggalkan padanya, akan tetapi, meski demikian, ia mesti berkelahi secara sungguh-sungguh, sebab si tauwto lihay dengan goloknya, dan See Tjeetjoe berbahaya dengan tangannya. "Apakah aku keliru melihat orang?" nona ini berpikir. "Benar-benarkan si mahasiswa tidak mengerti silat?" Karena ia berpikir, ia jadi alpa, maka satu kali, hampir ia kena dibacok si tauwto. Ia jadi sangat mendongkol terhadap si mahasiswa itu, maka juga di dalam hatinya ia berkata pula: "Menjemukan mahasiswa itu! Aku tolongi dia, dia sebaliknya permainkan aku! Biar habis ini tak akan aku pedulikan lagi padanya1.....” Nona ini mendelu, ia tak tahu, Siong Sek terlebih mendelu pula menghadapi mahasiswa itu, hingga dia seperti kalap. Sebab setiap kali dia menikam, setiap kali juga dia gagal, sasarannya senantiasa meleset. Dan si mahasiswa sendiri, masih saja ia berteriak-teriak: "Tolong! Tolong!" Kemudian dengan mendadak si mahasiswa tertawa terbahak-bahak. "Ha, kiranya kau sedang permainkan aku?" dia berseru. Terus saja dia menghitung "Satu! Dua! Tiga!" terus sampai "Dua puluh!" Dia menghitung setiap kali dia ditikam. Di saat dia menghitung sampai dua puluh. Boe Kie yang terkena jarum tetapi tidak parah lukanya, sudah merayap bangun, terus ia ambil goloknya, lantas ia menghampiri dengan diam-diam pada si anak sekolah. Anak sekolah ini berkelahi sambil tiap-tiap kali kelitkan diri. Ia tidak melihat ke kiri dan kanannya. Maka leluasa Boe Kie mendekatinya, untuk lantas lompat dibarengi dengan bacokannya. Tapi mendahului itu, tangan si mahasiswa melayang ke belakang, tepat mengenai hidung orang, hingga hidung itu menyemburkan darah hidup! "Manusia tolol!" bentak si mahasiswa. "Telah aku tolongi kau, kau sebaliknya menghendaki jiwaku, jikalau aku tidak hajar padamu, kau tidak akan insaf! Apakah kau tidak diajar aturan? Apakah si bangsat tua she See mengajar kau membalas kebaikan dengan kejahatan?" Boe Kie kelabakan karena hidungnya bercucuran darah, ia mesti bekap hidungnya itu. Gagalah bokongannya. Tapi kata-kata si mahasiswa membuat See To, Boe Kie dan In Loei menjadi sadar. Ketika malam itu Boe Kie bersama hoetjeetjoe membokong di kuil tua, dia mestinya terbinasa diujung pedang In Loei, akan tetapi secara menggelap ada orang menolongnya, tangan In Loei kena dihajar senjata rahasia, hingga ujung pedangnya nyasar, dan Boe Kie lolos dari bencana. Tentang kejadian itu, Boe Kie telah katakan pada ayahnya, mereka menduga-duga, sama sekali mereka tidak menyangka si mahasiswalah yang menolongnya. Karena ini, See To jadi melengak. Tapi justeru itu, In Loei menyerang, ia kena dibacok kopiahnya hingga rusak. Ia jadi sangat gusar. Di dalam hatinya, tjeetjoe ini berpikir: "Aku hendak mencuri permata dan kudanya, dia sebaliknya diam-diam membantu aku! Tidakkah ini aneh?" Ia tidak berpikir lama, ia sudah lantas sambar muka In Loei. Juga si tauwto turut menyerang, sebab tauwto ini panas hatinya. Dia satu jago di Jalan Hitam tetapi hampir dia celaka ditangan "pemuda" ini. Tauwto ini telah berpikir, In Loei mesti dirubuhkan dulu, baharu nanti mereka kepung si mahasiswa. Repot In Loei didesak secara hebat, sampai tak sempat ia memperhatikan si anak sekolah, lebih-lebih ketika See To menyambar dadanya dan si tauwto membacok mukanya. Tapi justeru itu, bentrokan senjata terdengar keras dan lelatu api muncrat, dibarengi dengan jeritan si tauwto yang kemudian disusul dengan teriakannya si mahasiswa: "Hai, pendeta, kaulah yang paling menjemukan, hendak aku berikan tanda mata padamu!" Setelah ini tidak ayal lagi, si tauwto lari kabur, diikuti oleh See To. Pada saat si "pemuda" itu terancam bahaya, si mahasiswa sudah tunjukkan kesehatannya yang luar biasa, ia lompat ke arah si tauwto, golok siapa ia tangkis dengan pedang Siong Sek Toodjin yang ia rampas. Hebat tangkisan itu, golok kaytoo menjadi kutung karenanya. Tauwto itu kaget dan jeri, begitu juga See Tjeetjoe, maka keduanya segera angkat kaki. Si mahasiswa lantas tertawa berkakakan, lalu sambil melemparkan pedangnya kepada Siong Sek Toodjin, dia berkata dengan logat anak sekolah: "Menipu uang dan merampas jiwa, itulah perbuatan tak berprikemanusiaan, dan tidak tahu tenaga diri sendiri, itu namanya tolol. Manusia tak berprikemanusiaan dan tolol, bukankah perbuatannya onar belaka? Ini, aku kembalikan pedangmu, supaya kau belajar lebih jauh lagi sepuluh tahun!.....” Imam itu menjadi sangat lesu. "Tolong kau sebutkan namamu," ia minta. Si mahasiswa tertawa. "Apakah kau berniat membalas dendam kepadaku?" dia tanya. "Tidak," sahut si imam. "Jikalau tidak, untuk apa kau tanya namaku? Aku tidak berani bermusuh dengan kau, aku juga tidak ingin bersahabat denganmu, karena kita bukannya musuh dan bukannya sahabat, buat apa kita saling berkenalan?" Siong Sek Toodjin membungkam, ia menghela napas, tapi karena ia sangat mendongkol, ia patahkan pedangnya itu, sesudah mana ia ngeloyor pergi. Seorang diri ia bersumpah untuk selanjutnya tidak lagi menggunakan pedang! Kembali si mahasiswa tertawa besar. "Baik, pergilah kamu semua!" katanya sambil terus mendekati sekalian lawannya, untuk mendupak pergi. Orang-orang yang diserang senjata rahasia In Loei terkena urat-uratnya hingga mereka tak dapat bergerak, sekarang setelak didupaki si mahasiswa, darahnya jalan pula, hingga mereka dapat bergerak lagi. In Loei heran yang si anak muda dapat menyadarkan orang-orang itu sedang ia tahu, totokan piauw-nya adalah totokan istimewa. Si mahasiswa rupanya dapat melihat keheranan orang, sambil tertawa, dia kata: "Kemarin ini kau pecahkan totokanku, sekarang aku pecahkan kepunyaanmu, tidakkah itu sama saja?" Tapi tetap In Loei heran. See Boe Kie telah saksikan perbuatannya si anak sekolah, seperti lupa pada hajarannya si anak sekolah tadi, ia lantas menghampiri, untuk memberi hormat sambil menjura. Ia pun berkata: "Kau telah menolongi jiwaku, kau telah hajar aku dengan tanganmu, maka itu di belakang hari, aku pun hendak memberi ampun satu kali pada jiwamu dan menghajar kau satu kali juga!.....” Mendengar itu dan melihat kelakuan orang, si anak sekolah tertawa. "Aku tolong kau karena aku pandang muka si bangsat tua she See, dari itu tidak usah kau ingat budi," ia kata. "Kau hendak memberi ampun satu kali pada jiwaku, itulah tidak usah, tetapi bahwa kau hendak membayar satu tanganmu, untuk itu aku menanti. Kau kalah dari Siong Sek Toodjin, kau mestinya pulang dulu untuk belajar lagi dua puluh tahun! Nah, pergilah lekas!" See Boe Kie itu cupat pandangannya, bisa dimengerti bagaimana ia mendongkolnya. Ia pandang si mahasiswa dan In Loei dengan mata mendelik, lalu ia ajak kawan-kawannya berlalu. Si mahasiswa menggeleng-gelengkan kepala, ia tertawa melenggak. "Orang she See itu mempunyai nama kosong belaka di Jalan Hitam," katanya, "maka aku tidak sangka dia demikian tak berguna!" Ia nampaknya jadi sangat kecele. In Loei sebenarnya niat berlalu, akan tetapi mendengar perkataan orang itu, ia menoleh. Ia anggap orang telah menghina golongan Jalan Hitam itu. "Bagaimana dengan Kimtoo Tjeetjoe dari Ganboenkwan luar?" dia tanya. "Apakah dia tak dapat dihitung sebagai satu orang gagah?" Berubah wajahnya si mahasiswa, tetapi cepat sekali, ia bersenyum. Ia menggoyang-goyangkan kepala pula. "Kimtoo Tjeetjoe dan See Boe Kie, ayah dan anak, tak dapat dipandang sama," sahutnya. "Mengenai mereka itu ada perbedaan waktunya. Untuk menyebut dia sebagai seorang gagah, itulah belum dapat!" Mendongkol In Loei. "Baiklah!" serunya, "di kolong langit ini rupanya cuma kau saja seorang yang gagah!" Karena tetap masih mendongkol, ia lantas bertindak pergi, akan berlalu dari rimba itu. Belum jauh ia berlalu atau satu bayangan orang berkelebat dihadapannya. "Saudara kecil, perlahan sedikit!" demikian suara bayangan itu — ialah si mahasiswa. "Menurut aku, kaulah si orang gagah!" In Loei melengak tapi segera ia angkat kakinya, untuk pergi terus. Ia bertindak ke kiri, si mahasiswa cegat ia, ia bertindak ke kanan, masih ia dihalangi. Ia bertindak pula ke kiri dan ke kanan, tetap ia dirintangi. Si mahasiswa bergerak dengan sebat sekali. "Kenapa kau cegat aku?" bentak si "pemuda," hatinya panas sekali. Kali ini ia terus lompat, untuk dengan mendadak melewati si mahasiswa itu. Si mahasiswa ulur tangannya, ke arah dada orang, maksudnya untuk mencegah pula. Maka gusarlah si "pemuda", hingga ia mendelik. "Kau..... kau berani menghina.....” bentaknya. Hampir ia mengatakan “.....nonamu!" Syukur dapat ia cegah itu ditenggorokannya, habis mana terus saja dengan pedangnya ia tikam tenggorokannya si mahasiswa, hingga orang menjadi kaget, baiknya dia dapat lompat mundur. Menyusul tikamannya itu, si "pemuda" perdengarkan seruan kaget, terus ia meringis. Tangan kanannya, yang menyekal pedang, telah turun sendirinya. Begitu hebat tikamannya itu, ketika tikaman itu tidak mengenai sasarannya, tangannya terlonjorkan kaget sekali, sedang tubuhnya tertahan kuda-kudanya. Tiba-tiba saja ia merasakan sakit karena lengannya bagaikan copot dari pundaknya. Si mahasiswa lihat itu. "Mari aku tolong sambung lenganmu," katanya, sambil maju, dengan niat memberikan pertolongannya. "Jangan kau pedulikan aku!" bentak si "pemuda." Ia cekal lengan kanannya itu dengan tangan kiri, ia mendorong dengan dikagetkan, dengan begitu, ia sambung pula lengan itu, kemudian dengan membalik tubuh, membelakangi si mahasiswa, ia buka tangan bajunya, terus ia obati lengan yang seperti copot itu. Sebenarnya ia ingin lantas berlalu dari situ, baharu ia berniat angkat kaki, untuk berlari pergi, atau sekonyong-konyong ia rasakan tubuhnya lemah. Segera ia insaf, karena telah bertempur terlalu lama, tenaganya menjadi habis sendirinya..... Si mahasiswa mendekati, ia menjura. "Aku mohon maaf," katanya, perlahan. "Saudara kecil, hatimu polos dan baik, kau dapat menolong sesamanya, ingin aku bersahabat denganmu. Sekian lama, baharu aku ketemukan orang dengan pribadi, sepertimu ini. Aku biasa beradat tinggi, andaikata aku telah berbuat salah terhadapmu, sukalah kau memaafkannya." Dengan matanya yang bersinar hidup, ia awasi wajah orang. Mukanya In Loei bersemu dadu. Di matanya, di dalam hatinya, ia merasa si mahasiswa ini luhur budi pekertinya, kelakuannya dapat membuat orang kagum, "Kenapa kau mencaci Kimtoo Tjeetjoe?" akhirnya ia tanya, sambil tunduk. Tertawa anak sekolah itu. "Orang yang kau kagumi belum tentu dikagumi juga olehku," katanya. "Kenapa kau seperti hendak memaksakan supaya orang turut padamu? Lagi pula, aku tidak mencaci dia. Mungkin dia mempunyai bahagian-bahagian yang membuatnya orang kagum, akan tetapi..... sudahlah, terlalu panjang untuk diuraikan, lebih baik aku tidak mengatakannya." Tergerak hatinya In Loei. "Apakah kau datang dari luar Ganboenkwan?" dia tanya. Si mahasiswa mendongak, ia tertawa. "Sang kupu-kapu terumbang-ambing karena tak ada gunanya, dia terhanyut sampai di sungai dan telaga, tak usahlah tuan menanyakan sebabnya," ia bersenandung seorang diri. Lalu ia tertawa pula, suaranya mengharukan. "Mestinya dia punyakan riwayat sedih," pikir In Loei, "riwayat yang sama dengan lelakon hidupku. Aku tak sudi orang mengetahui tentang diriku, maka buat apa aku menanyakan tentang dia?" Oleh karena ini, dengan tiba-tiba nona ini menaruh rasa simpati terhadap si anak sekolah. "Baik," katanya kemudian, tak nanti aku ganggu pula padamu. Di sini kita berpisah!" Si mahasiswa tertawa pula. "Saudara kecil," katanya, "hari ini kau telah menjadi piauwsoe-ku, sudah seharusnya aku undang kau minum arak. Kali ini kau telah berjasa, wajib kau menerima hadiah, dan tidak lagi aku mengatakan kau penganglap!" In Loei tidak menjadi gusar. Ia anggap biasa saja seperti orang sedang bersenda gurau. Ia lantas memandang ke sekitarnya. "Di hutan sebagai ini di mana ada arak?" tanyanya kemudian. Si anak muda tidak menjawab, dia hanya perdengarkan suitan nyaring dan panjang, setelah itu terdengar jawaban yang berupa bengernya kuda, habis mana, dalam sekejap saja, tampak dua ekor, kuda lari muncul dari dalam rimba. Itulah kuda putih dari si mahasiswa disusul kuda merah si nona. "Lihat, mereka telah mendahului bersahabat!" kata si anak sekolah sambil tertawa. Kuda putih itu menghampiri majikannya, dan si mahasiswa lantas mengulurkan tangannya, guna menurunkan satu kantong kulit dari bebokongnya, dari dalam kantong itu ia keluarkan satu gendul arak warna merah. "Kau telah lelah, silakan kau minum lebih dahulu," katanya seraya mengangsurkan gendul itu kepada si nona. In Loei sambuti gendul itu, ia irup araknya. Tiba-tiba ia kerutkan alisnya. "Ah, kiranya benar kau datang dari Mongolia!" ia kata. Arak itu ada arak susu dari Mongolia — arak yang keras sifatnya dan sarinya agak asam. In Loei kenali arak ini, karena semasa kecilnya pernah ia turut ayahnya meminumnya. Ia tidak suka arak yang keras, karenanya, tak dapat ia melupakan arak ini. Dengan sepasang matanya yang jeli, si mahasiswa mengawasi. "Apakah kau juga datang dari Mongolia?" ia tanya. "Melihat kau begini lemah lembut, mestinya kau kelahiran daerah Kanglam yang indah." Tersenyum In Loei karena pujian itu. Tiba-tiba si mahasiswa bertepuk tangan hingga menerbitkan suara nyaring. Terus ia tertawa. "Kapu-kapu telah hanyut, untuk apa menanyakan tentang sumber asalnya?" katanya. "Bukankah air mengalir dan mega yang melayang harus dibiarkan sekehendak hatinya? Kau tak usah bertanya aku, aku juga tak usah bertanya perihalmu. Dalam halku ini, keliru aku sudah menanyakan kau berasal darimana....."zj In Loei heran, hingga tak dapat ia kendalikan hatinya. "Pada malam itu, apakah kedua orang Tartar itu hendak paksa kau pulang?" dia tanya tanpa merasa. Si anak muda tenggak araknya, ia bersenyum, tidak ia menjawab. In Loei tidak mendesak, hanya seorang diri, ia berkata: "Di antara Watzu dan Tiongkok akan terbit perang, karena kau satu putera Tiongkok, kau telah lari dari wilayah Tartar itu, bukankah begitu?" Si mahasiswa tertawa meringis. Ia tenggak pula araknya, ia tidak menjawab, ia seperti membiarkan si "pemuda" menduga-duga. In Loei angkat mukanya, ia tatap wajah orang. "Dua orang Tartar itu mengejar kau untuk ditawannya, kenapa kau bantui aku membunuh yang satu dan sebaliknya kau tolongi yang lainnya?" tanyanya. Lagi-lagi si mahasiswa tenggak araknya. Tiba-tiba saja ia tertawa. "Saudara kecil, sungguh kau gemar menanya!" katanya. "Tahukah kau, orang macam apa yang telah aku tolongi?" "Dialah muridnya Tantai Mie Ming!" sahut In Loei cepat. Dia seperti keterlepasan buka mulut. Si mahasiswa melirik orang dihadapannya, nampaknya ia merasa aneh. Ia lalu tertawa tawar. "Yang terbinasa adalah salah satu pahlawannya To Hoan," katanya, perlahan. Dan begitu ia berkata, terus ia tutup mulutnya. In Loei heran. Ia berpikir: "Tantai Mie Ming adalah pahlawan paling tanggu dan paling dipercaya dari Thio Tjong Tjioe dan yang mati itu adalah pahlawan To Hoan..... Thio Tjong Tjioe dan To Hoan adalah menteri-menteri dari Watzu, apakah bedanya antara kedua menteri itu? Kenapa sekarang, pahlawan To Hoan dibinasakan dan pahlawan Thio Tjong Tjioe dilepaskan?" Benar-benar si nona tidak mengerti, hingga ia ingin menanyakannya. Akan tetapi ketika ia nampak orang repot menenggak susu macannya, ia batalkan niatnya itu, ia anggap percuma saja untuk menanyakannya pula. Masih si mahasiswa menenggak araknya, lalu ia goyang-goyangkan gendulnya, nampaknya ia terkejut. "Ah, tinggal separuh lagi.....” katanya. Ia nampaknya menyesal. "Apa sih lezatnya arak itu?" kata In Loei tertawa. Di mana-mana di Tiongkok ada orang yang menjual arak! Apakah itu semua tak cukup banyak untuk kau minum?" Berduka nampaknya si anak sekolah, ia kata: "Orang meninggalkan kampong halamannya, rendah terpandangnya, barang-barang meninggalkan tempat asalnya, mahal harganya, itulah sebabnya kenapa aku hargakan arak ini" Ia bawa gendulnya ke hidungnya dan menciumnya. Melihat kelakuan orang itu, In Loei ingat halnya semasa kecil — selagi berumur tujuh tahun. Itu waktu bersama engkong-nya, ia baharu balik ke Tionggoan. Setibanya di luar kota Ganboenkwan, engkong-nya meraup tanah, berulang kali tanah itu diciumnya, romannya sangat bersungguh-sungguh. Ingat ini, tiba-tiba ia tanya si mahasiswa: "Apakah kau orang Han?" Agaknya heran anak sekolah itu. "Kau lihat aku — apakah aku tak mirip orang Han?" dia balik menanya. In Loei menatap muka orang. Ia dapatkan orang beralis kereng dan mata jeli, romannya sangat ganteng, jangan kata di Mongolia, sekalipun di Kanglam, sukar untuk mencari orang secakap dia. Menatap wajah orang, mukanya menjadi dadu sendirinya. "Biar kau telah menutup mata dan menjadi abu, kau tetap orang Han!" ia kata. Tiba ia menjadi jengah sendirinya, ia insyaf bahwa ia telah kelepasan berbicara. Kedua mata si mahasiswa bersinar. "Benar, benar sekali!" katanya. "Meski aku mati menjadi abu, tetap aku seorang Han! Mari minum!" Ia buka tutup gendulnya itu, kembali ia menenggak. In Loei tertawa menampak kelakuan orang itu. "Kau minum bagaikan ikan lodan atau kerbau, dengan beberapa ceguk saja, arakmu kering, apakah tidak sayang?" dia tanya. Memain mata si anak muda, terus ia tertawa bergelak. "Hari ini adalah hari yang paling menyenangkan bagiku, sudah seharusnya aku minum sampai puas!" katanya. "Apakah itu yang paling menyenangkan kau?" Si mahasiswa tertawa. "Pertama-tama aku dapat bersahabat dengan orang semacam kau, dan kedua karena aku peroleh mustika yang langka!" sahutnya. "Mari, mari, saudara kecil! Aku undang kau minum arak sambil memandang gambar yang indah!" Ia rogo kantong kulitnya, akan keluarkan se-gulung kertas, yang mana, ia beber di antara sampokan angin, terus ia gantung dicabang sebuah pohon. "Kau lihat!" katanya pula. "Bukankah ini mustika yang langka?" Dengan "mustika" ia maksudkan gambar yang ia anggap berharga itu. In Loei ada turunan orang berpangkat, engkong-nya pernah menjadi hamba negeri kelas satu dan bertanggung jawab sebagai satu utusan, sedang ayahnya, mulanya satu pembesar sipil kemudian menjadi seorang peperangan, maka ayah itu pandai ilmu surat. Demikian In Loei, sejak ia masih kecil, sudah ia belajar surat, sudah ia mengenal gambar-gambar lukisan, maka tahulah ia gambar mana yang berharga dan mana yang tidak. Sedang gambar ini adalah gambar yang Tjio Eng gantung di Engtjhong lauw, loteng tempat menyimpan barangbarang berharga. Tadi malam ia tak lihat nyata gambar itu, sekarang dapat ia memandangnya dengan tegas. Itu ada pemandangan alam di dalam kota, ada airnya, pepohonan, dan ada juga orangnya, lukisannya bagus, mirip karyanya satu pelukis pandai, hanya bila dipandang terlebih lama, masih ada kekurangannya. Maka itu, ia tertawa di dalam hatinya. "Mahasiswa ini masih kurang pemandangannya tentang seni lukis," pikirnya. Si mahasiswa tenggak habis araknya yang terakhir, ia tertawa. "Apakah kau tak tampak keindahan pada gambar ini?" dia tanya. In Loei belum menyahuti atau si mahasiswa sudah menghampiri gambar itu, untuk terus diusap-usap, untuk dipandang dan dipandang pula, kemudian ia bernyanyi dengan nada tinggi: "Siapakah yang menyanyikan lagu 'Souwtjioe dan Hangtjioe1? Bunga teratai menyiarkan harumnya sepuluh lie dan kembang koeihoa tiga musim, tetapi rumput dan pohon kayu tidak kekal, mereka mengenangkan penderitaan sungai Tiangkang dari berlaksa tahun! Ya, ya, penderitaan sungai Tiangkang dari berlaksa tahun.....” Kata-kata yang terakhir itu diucapkan secara bersenandung. In Loei berpikir: "Orang-orang tua dahulu mengatakan, bernyanyi keterlaluan menyebabkan tangisan, sekarang mendengar nyanyian ini, itu sama hebatnya seperti mendengar tangisan.....” Ia tengah berpikir begitu atau di luar dugaannya, benar-benar si mahasiswa menangis, tangisannya keras dan menyedihkan sekali, hingga umpama kata menyebabkan "daun-daun rontok dan burung-burung terbang pergi" Bingung In Loei, tak tahu ia, kenapa si mahasiswa berduka, kenapa dia menangis, begitu sedih..... Hebatnya, lama anak sekolah ini menangis, hingga si nona menjadi tambah bingung. Bukankah anak sekolah ini orang asing baginya? Bukankah dia satu anak muda? Cara bagaimana ia dapat menghiburnya? Ia pun tidak dapat meninggalkannya, itulah perbuatan tidak pantas. Habis, apa yang mesti dilakukan? Masih si mahasiswa menangis, makin lama makin sedih, mengenaskan mendengarnya, hingga tanpa merasa, si nona turut mengucurkan air mata di luar keinginannya..... Si mahasiswa lihat orang menangis, ia lantas seka air matanya, dengan tibatiba ia berhenti menangis, ketika ia angkat kepalanya, mendongak, dengan tiba-tiba pula ia tertawa terbahak-bahak. "Foei!" In Loei berseru. "Apakah kau telah mabuk?" tegurnya. "Kenapa kau tertawa dan menangis tidak keruan? Apakah sebabnya?" Si mahasiswa mengawasi orang, ia menunjuk. "Kau juga sudah mabuk!" katanya. "Toh sama saja, bukan?" In Loei tunduk, ia lihat bajunya, yang pun basah dengan air mata. Ya, tanpa alasan, ia turut orang menangis. Ia jengah sendirinya, tetapi segera ia tertawa. Si mahasiswa tertawa pula, bergerak-gerak, lalu ia bersenandung pula: "Makin kalap, makin gagah, itu baharulah orang kenamaan sejati — Bisa menangis, bisa tertawa, itulah bukannya orang yang biasa..... Kalau mestinya menangis, menangislah kalau mestinya tertawa, tertawalah! Kenapa mesti malu-malu tak ada perlunya? Kita adalah orang-orang dari satu golongan, kita menangis, kita tertawa, apakah anehnya?" Dengan kedua tangannya, ia gulung gambarnya itu, kembali ia bersenandung: "Sungai Tiangkang terus-menerus mengalir ke timur..... menaruh kaki di tanah daerah asing tetapi cita-cita belum tercapai..... Bila memandang kembali kepada enam puluh tahun yang lampau, di sungai di Selatan, di padang pasir di Utara, tidakkah itu sangat mendukakan orang?" Tergerak hatinya In Loei mendengar itu. Ia berpikir pula: "Ketika tadi malam si mahasiswa ini pergi ke Heksek tjhoeng mengambil gambar, Tjio Eng mengatakan sudah menanti enam puluh tahun, sekarang dia menyebut-nyebut juga hal enam puluh tahun. Kenapa jumlah tahun itu akur satu dengan lain? Teka-teki apakah tersembunyi di dalam ini? Si mahasiswa baharu berumur dua puluh lebih, dan usianya Tjio Eng belum lewat enam puluh, maka apakah yang diartikan dengan enam puluh tahun itu?" Ia pikirkan, ia pikirkan pula, masih ia tidak mengerti, sampai ia dengar pula kata kata perlahan dari si mahasiswa. "Hari ini aku tertawa puas, menangis pun puas, sayang sekali, araknya sudah habis.....” demikian katanya. Rupanya dia sangat menyesal atau sengit, dia banting gendul araknya ke tanah hingga gendul itu pecah hancur. Aneh kelakuan si mahasiswa ini, tetapi pada itu In Loei lihat suatu tenaga menarik yang luar biasa. Waktu itu, matahari sudah menunjukkan lewat tengah hari. "Ah, sudah waktunya kita berpisah.....” kata si nona. Tapi ia mengatakan ini dengan agak sedih. Ia seperti merasa berat untuk berpisahan..... "Kau hendak pergi ke mana?" tanya si mahasiswa. "Apa kau hendak kembali ke Heksek tjhoeng?" "Tak perlu kau ketahui itu," jawab In Loei. Si mahasiswa tertawa. "Apa yang kau perbuat tadi malam, semua telah aku, lihat!" katanya. Teringat pada kejadian di dalam kamar, muka In Loei menjadi merah. "Nona Tjio itu cantik luar biasa," kata si mahasiswa, "dia juga mengerti ilmu silat. Saudara kecil, mengapa kau menampik, tak mau kau menikah dengannya?" "Aku mau atau tidak, apa sangkutannya dengan kau?" In Loei balik menjawab. Mahasiswa itu tertawa pula. "Jikalau malam itu aku tidak mengacau, tidak nanti kau dapat lolos dari Heksek tjhoeng", dia kata. "Kenapa kau tidak menghaturkan terima kasih terhadapku?" Mau atau tidak, In Loei tersenyum. "Kita bangsa orang gagah, kita memang tak boleh terjeblos dalam jebakan sang cinta," berkata si mahasiswa. "Imanmu teguh, saudara kecil, aku kagum terhadapmu." Kembali merah wajah In Loei. Ia jadi jeri untuk bicara lebih lama dengan anak muda ini, ia kuatir rahasianya nanti terbuka, maka tanpa berkata suatu apa lagi, ia lompat ke atas kudanya, yang terus dikaburkan. Baharu ia keluar dari rimba, atau di belakangnya, ia dengar suara kelenengan kuda, hingga ia mesti berpaling, rupanya kuda putih si mahasiswa telah menyandak padanya. "Saudara kecil, aku ingin bicara denganmu!" kata si mahasiswa itu. In Loei tahan kudanya. "Bicaralah!" katanya. Si mahasiswa perlambat jalan kudanya, hingga berendeng dengan kuda si "pemuda". "Di dalam wilayah Shoasay ini, Tjio Eng dan See To sangat berpengaruh," kata si mahasiswa sambil bersenyum, "maka bila kau berjalan seorang diri saja, pada akhirnya kau bukannya dicandak Tjio Eng, untuk dibawa pulang untuk dijadikan babah mantunya, melainkan kau akan dibekuk si orang she See ayah dan anak itu, untuk disiksa mereka. Karenanya, baiklah kau berjalan bersama-sama aku, aku akan menjadi piauwsoe-mu, pembelamu....." In Loei anggap, berjalan bersama itu ada alasannya, akan tetapi, belum sempat ia menjawab, si anak muda sudah menanya pula kepadanya: "Sebenarnya ke mana kau hendak pergi?" "Ke Pakkhia," jawab In Loei. "Sungguh kebetulan!" seru si anak sekolah. "Aku juga hendak pergi ke kota Pakkhia. Baiklah kita mengaku engko dan adik satu sama lain." In Loei tertawa, ia anggap orang lucu. "Aku belum tahu she dan namamu, mana dapat kita berbasa secara demikian?" katanya. "Apa aku mesti selalu panggil engko saja padamu?" Anak sekolah itu tersenyum. "Aku she Thio, namaku Tan Hong," jawabnya. "Tan dari tansim — putih bersih dan Hong dari pohon hong." In Loei tertawa. "Satu nama yang bagus!" pujinya. Akan tetapi di Mongolia tidak ada pohon hong, maka itu, dari mana kau ambil namamu ini?" "Hiantee, namamu?" tanya si anak sekolah, yang tidak menjawab. Ia pun sudah lantas berbasa "hiantee" — adik. "Aku orang she In dan namaku cuma satu, Loei," sahut si "pemuda". "Loei dari pweeloei — pusuh bunga." "Sungguh satu nama yang indah!" tertawa si mahasiswa. Ia pun balik memuji. "Cuma nama itu sedikit berbau nama wanita. Di perbatasan tanah asing di mana ada es dan salju jarang tertampak pusu bunga, dari itu, dari arti apa namamu diambil?" Wajah In Loei berubah. "Cara bagaimana kau ketahui aku menjadi besar di perbatasan tanah asing yang ber-es dan bersalju itu?" dia tanya. Si anak sekolah tertawa. "Dari arakku!" sahutnya. "Begitu kau ceguk arakku, aku mengetahuinya. Bukankah caramu tadi membeber sendiri tentang asal-usulmu?" In Loei berpikir, lantas ia tertawa sendirinya. Tapi, biar bagaimana, ia merasa kurang tenang hatinya. Dilihat dari sikap anak sekolah itu, mungkin dia masih mengetahui terlebih banyak tentang dirinya..... Dengan berbicara terlebih jauh maka tahulah In Loei bahwa Thio Tan Hong ini luas pengetahuannya, tentang ilmu bumi, perihal ilmu alam begitupun pengetahuan ilmu surat, syair dan ilmu silatnya. Dengan sendirinya ia jadi merasa sangat tertarik, hingga tanpa merasa, ia kurang akan penjagaan atas dirinya. Selama berjalan, asyik sekali mereka pasang omong. Tanpa merasa, sang sore telah datang pula. Thio Tan Hong menunjuk dengan cambuknya. "Di depan sana ada sebuah dusun," katanya, "sudah tiba saatnya untuk kita bermalam." Ia bunyikan cambuknya untuk melarikan kudanya. In Loei telad anak sekolah itu, maka kaburlah kuda mereka, hingga sebentar kemudian tibalah mereka di tempat yang ditunjuk anak sekolah itu. Dengan lantas mereka cari rumah penginapan. "Berikan kami sebuah kamar besar yang meng- hadap ke selatan," Tan Hong minta. "Kita inginkan dua kamar!" In Loei campur bicara. Kuasa hotel menggeleng-gelengkan kepala. "Yang betul, satu atau dua?" ia tegaskan. "Dua kamar!" sahut In Loei, cepat dan keras. "Dua kamar!" Kuasa hotel itu mengawasi si mahasiswa. Thio Tan Hong mengawasi juga, ia tertawa. "Baiklah, dua kamar!" sahutnya. "Apakah tuan-tuan cuma berdua saja?" masih pengurus hotel itu menanya. "Ya, cuma kita berdua," jawab si anak sekolah. Pengurus itu heran, ini tampak pada wajahnya. Akan tetapi dua kamar ada terlebih banyak daripada satu kamar, sewanya jadi bertambah, maka ia tidak menegaskan terlebih jauh. Ia lantas ajak kedua tetamunya untuk periksa kamarnya, habis mana, ia undurkan diri untuk menyediakan barang santapan bagi mereka. Di dalam kamarnya, Thio Tan Hong tertawa. "Hiantee, bukannya aku pelit mengeluarkan lagi beberapa potong perak," kata dia. "Dengan berada berdua kita dapat pasang omong. Tidakkah itu lebih baik? Kenapa kau menghendaki dua buah kamar?" "Kau tidak tahu, hianheng," sahut In Loei, yang pun berbasa "kakak" — hianheng. "Seumurku paling takut aku tidur bersama-sama orang lain." Tan Hong tertawa pula. "Pantas di Heksek tjhoeng kau tak mau tidur sama-sama Tjio Siotjia1." katanya. Merah wajahnya In Loei, lantas ia alihkan pembicaraannya. Si anak sekolah juga tidak menanyakan lebih jauh. Habis bersantap malam, dua sahabat ini tidur dalam kamarnya masing-masing. In Loei tidak tenang hatinya, ia palang pintu kamarnya, ia tutup jendelanya, malah di waktu merebahkan diri, ia tidak salin pakaian. Tidak dapat ia lantas tidur nyenyak, masih ia pikirkan si anak sekolah — ia ingat akan katakatanya dan tertawanya. Ia malah tidak rapatkan matanya. Ketika terdengar kentongan tiga kali, hotel sudah sangat sunyi. Sampai saat itu, baharu In Loei merasakan hatinya tak terlalu tegang lagi, ia merasa lega, ia malah tertawa sendirinya. "Tampaknya anak sekolah itu, walaupun ia berandalan, ia bukannya seorang ceriwis.....” ia berpikir. Oleh karena hatinya lega dan merasa ngantuk, In Loei lantas saja tidur pulas. Tidak tahu ia, berapa lama ia sudah tidur, tiba-tiba secara layap-layap ia tampak si anak sekolah mendatangi, mendekati pembaringannya, sambil membungkuk, dia bersenyum. Ia kaget, ia hunus pedangnya, berbareng mana, si anak sekolah menjerit, lalu dalam sekejap saja, dia bermandikan darah seluruh tubuhnya. In Loei kaget sekali, hingga ia berseru. Adalah pada waktu itu, ia dengar ketokan pada jendela. "Hiantee, lekas kemari!" demikian suaranya Thio Tan Hong. In Loei berbangkit, ia kucek-kucek matanya. Insyaflah ia bahwa ia sedang bermimpi. Ia dengar suranya Tan Hong, ia kenali. Ia menjadi heran, hingga ia ragu-ragu, ia tengah bermimpi atau bukan. Kembali terdengar suara Tan Hong, kali ini disusul dengan ringkikan kuda yang berirama sedih. Maka tak ayal lagi, ia lompat turun. Syukur untuknya, ia tidur tanpa salin pakaian. Dengan lantas ia dapat buka pintu, untuk lari keluar. Dari wuwungan rumah, terdengar Thio Tan Hong berseru: "Orang telah mencuri kuda kita! Mari lekas, kita kejar! Lekas!" Kuda Tjiauwya saytjoe ma dan kuda merah dari Thio Tan Hong dan In Loei ada kuda-kuda pilihan, tidak sembarang orang dapat mendekati kedua binatang itu, malah kuda Tan Hong bengis sekali dan mengerti, kecuali tuannya, lain orang tidak dapat mengendalikannya. Karena itu, Tan Hong sangat percaya kudanya itu, barangnya yang berharga pun ia biarkan dibebokong kuda, sama sekali ia tidak kuatirkan apa-apa, maka itu adalah di luar sangkaan, kali ini ada orang mencuri kedua kuda itu. Pastilah pencurinya seorang yang sangat cerdik atau suatu ahli. Tidak peduli ia bernyali besar dan tabah, Tan Hong toh gentar juga. In Loei lompat naik ke atas genteng. "Dapatkah kita susul mereka?" ia tanya. "Kuda kita tentu tak sudi turut lain orang, mesti dapat kita susul," jawab Tan Hong. Ia rogo sakunya, akan keluarkan sepotong perak, yang mana ia lemparkan ke dalam rumah. Sampai pengurus hotel itu mendusi, mendengar suara yang berisik. "Uang sewa kamarmu di lantai!" teriak Tan Hong, habis mana, ia lompatpergi. In Loei segera ikuti kawan ini. Di sebelah depan mereka masih terdengar ringkiknya kuda. Pengejaran dilakukan terus sampai di sebuah tegalan. Di bawah rembulan yang remang-remang, dibantu dengan cahaya bintang-bintang, segera tertampak kedua kuda-kuda itu, — kuda merah di sebelah depan, kuda putih di sebelah belakang. Kedua kuda itu lari dengan berjingkrakan, terang keduanya tak sudi lari, keduanya berontak. Pun si pencuri kuda tampak juga. Mereka mengenakan pakaian biru, muka mereka ditutupi topeng. Masing-masing memegang sebatang hio, yang apinya menyala, hingga sinar api itu mirip dengan cahaya bintang, terutama di tempat yang gelap tampak tegas. Dan dengan hio itu, tiap kali mereka suluti tubuh kuda. Itulah cara paksaan untuk membikin kuda lari, tidak peduli kuda itu meringkik kesakitan dan terus berjingkrakan. Kedua pencuri itu menjepitkan kaki mereka dengan keras, hingga kuda jadi tidak berdaya, saking sakitnya, mau juga kuda itu lari. Disebabkan sering berjingkrak, kedua kuda itu tak dapat lari jauh, atau segera Tan Hong dan In Loei dapat menyusul. Sakit hati Tan Hong dan In Loei mendengar suara kuda mereka yang tersiksa itu, sambil mengejar, mereka memanggil-manggil. Tjiauwya saytjoe ma sudah lantas dengar suara majikannya, dia berjingkrak keras, karena mana, si penjahat lagi-lagi menyulut tubuhnya. Selagi mengejar terus, Thio Tan Hong perdengarkan seruannya yang nyaring, menyusul mana tangannya terayun, hingga belasan sinar perak menyambar ke arah kedua pencuri kuda itu. Tapi mereka seperti punya mata dibatok kepala mereka, atas datangnya serangan itu mereka jatuhkan diri, akan sembunyi diperut kuda. Thio Tan Hong sayangi kudanya, ia tidak mau serang kudanya itu, ia cuma serang si pencuri, karenanya, serangan senjata rahasia itu jadi gagal, tidak ada sebuah jua dari jarumnya yang mengenai sasarannya. Oleh karena sakitnya, kedua kuda itu kabur keras, ke arah gunung. Berdua In Loei, Tan Hong mengejar terus, sampai tiba-tiba terdengar kedua pencuri kuda itu tertawa berkakakan, iramanya seperti tertawa wanita. Tentu saja, In Loei jadi terperanjat bahna herannya. Di atas tanjakan pun segera terlihat cahaya api berkelap-kelip bagaikan kunang kunang bermain di antara gombolan rumput. Tanjakan itu sunyi dan seram nampaknya, sampai In Loei bergidik sendirinya. Tiba-tiba saja Tan Hong tertawa nyaring. "Apakah benar ada si cantik manis yang menjadi pencuri dan di tengah malam buta berkawan dengan iblis?" katanya, nyaring. "Kembalikan kudaku! Tidak sudi aku bertempur dengan wanita!" Ia lantas lompat, untuk mendaki tanjakan itu, In Loei ikuti padanya. Sementara itu terdengar suara nyaring dari wanita "Eh, besar juga nyali si pencuri mustika!" In Loei lantas lihat dua ekor kuda, yang mengangkat tinggi kaki depannya, hingga kedua binatang itu bagaikan orang tengah berdiri ditanjakan yang satu di depan, yang lain di belakang. Kedua kuda itu tidak berbunyi juga tidak bergerak, maka di bawah sinar rembulan yang suram, nampaknya aneh dan luar biasa. Tanpa merasa, In Loei perdengarkan seruan tertahan. Thin Tan Hong, sebaliknya, tertawa dingin, "Oh, kiranya kamu yang main gila!" demikian si mahasiswa. In Loei tenangkan dirinya, ia pasang matanya. Kali ini ia dapat melihat lebih tegas. Ia tampak empat orang tengah berdiri ditanjakan, masing-masing mengangkat sebelah kakinya, sebagi orang sedang menindak turun ditangga loteng, akan tetapi wajah mereka "diam," mereka bagaikan patung-patung saja. Mereka adalah empat saudagar barang permata yang sedang berurusan dagang dengan Tjio Eng, keadaan mereka sekarang ini mirip benar dengan keadaan mereka tadi malam setelah mereka ditotok Tan Hong. Meiihat keadaan orang itu, In Loei menghela napas lega. Ia kagum untuk orang yang pandai menotok itu, yang dapat menotok orang-orang ini tanpa mereka ini bisa berdaya. Ia menduga, mereka ini adalah pencuri-pencuri kuda, rupanya mereka mencuri untuk membalas dendam yang kemarin mereka telah ditotok. Tanpa kuatir suatu apa, In Loei segera hampir-kan ke empat saudagar itu. "Tadi malam aku telah membebaskan kamu dari totokan, kenapa sekarang kamu berbalik mengganggu kuda kami?" ia tegur mereka itu. Empat saudagar itu tidak menjawab, mereka tetap diam sebagai patung. Tiba-tiba dari atas tanjakan terdengar suara: "Apakah tetamu sudah datang? Bawa mereka ke dalam kuburan!" Meneliti suara itu, seolah-olah datangnya dari dalam tanah, seperti jauh, seperti dekat. Mendengar itu, In Loei terperanjat. Itulah suara yang menandakan bahwa orang yang berkata-kata itu mempunyai Iweekang — ilmu dalam — yang sempurna. Menduga orang itu tentulah musuh, In Loei lantas bayangkan ia tengah menghadapi lawan yang merupakan memedi.....” Menyusul suara dalam itu, dari antara tumpukan batu-batu gunung segera tampak munculnya dua tubuh bagaikan bayangan. Mereka ini mengenakan baju hijau, mata mereka masing-masing mencorot tajam. Karena muka mereka ditutupi topeng, mata mereka pun mirip dengan kunang-kunang, yang bercahaya di tempat gelap. Mereka tak mirip wanita Tionghoa. Tapi keduanya terus menekuk lutut mereka, untuk memberi hormat. "Silakan!" demikian mereka mengundang. "Lebih dulu tolongi kuda kita, baharu kita bicara!" kata Tan Hong. "Tuan kami pesan supaya tuan jangan berkecil hati," kata salah satu penyambut ini. "Katanya, tanpa diambilnya tindakan ini, tidak nanti kita dapat pimpin tuan dan kawanmu datang kemari." "Siapa tuan kamu itu?" tanya In Loei karena ia lihat, orang bersikap hormat. Salah satu penyambut itu tertawa, ia menoleh pada kawannya. "Ya, aku sampai lupa pada aturan kamu kaum Rimba Hijau dari Tionggoan." katanya. "Djieso, tolong serahkan karcis undangan kita!" Penyambut yang kedua itu, yang berada di sebelah belakang, sudah lantas putar tubuhnya, kemudian setelah berbalik pula, ia serahkan apa yang dinamakan karcis undangan, ialah dua potong tulang kepala manusia. Melihat kartu nama semacam itu, wajah Tan Hong berubah. In Loei juga terperanjat akan tetapi ia kuasai dirinya. "Kartu undangan ini istimewa sekali!" katanya. Kedua penyambut itu tidak menjawab, mereka cuma bersenyum. "Mari!" mereka mengundang, terus mereka jalan di sebelah depan. Tan Hong dekati In Loei di kuping siapa ia segera berbisik: "Lekas kau singkirkan diri! Majikan mereka adalah Hek Pek Moko!.....” "Hek Pek Moko.....” In Loei ulangi, lalu dalam sekejap saja, ia sadar. Ia segera ingat keterangannya Tjioe San Bin tentang dua orang aneh dari kaum kangouw pada jaman itu, dua "manusia aneh" yang paling ditakuti. Hek Pek Moko itu katanya berayah orang India, yang datang ke Seetjhong atau Thibet, untuk berniaga, lalu dia masuk kebangsaan Thibet, dia menikah dengan satu nona Thibet dari siapa dia peroleh sepasang anak kembar, yang masing-masing berkulit putih dan hitam, yang romannya luar biasa. Menurut bahasa Hindu tua, iblis jahat dipanggil "moko" karenanya orang memanggil kedua anak itu, sang kakak Hek Moko, dan sang adik, Pek Moko. Ayah mereka pandai ilmu silat India, mereka dapat mewariskan kepandaian ayah mereka itu, yang dicampur dengan ilmu silat Thibet dan Mongolia juga, maka mereka mempunyai rupa-rupa ilmu silat, hingga kesudahannya mereka jadi lihay sekali. Katanya, setelah memasuki umur belasan tahun, Hek Moko dan Pek Moko pergi berpesiar, sampai di Tionggoan di mana kabarnya, di Kwietjioe (Canton) mereka telah menikah dengan anak seorang saudagar hartawan bangsa Iran. Untungnya untuk kedua saudara ini, mereka juga pandai bahasa Tionghoa, Iran, Thibet dan Mongolia di samping bahasanya sendiri, bahasa India. Mereka seperti dapat "keluar dan masuk" tanpa ketentuan. Di beberapa tempat mereka mempunyai rumah, hingga mereka bisa tinggal dan berdiam di mana mereka suka. Mereka mempunyai banyak harta dan barang permata, umpama kata ada pembesar Rimba Hijau rakus yang menginginkan permata mereka, pasti mereka akan mendapat bagian, setelah disiksa, dia baharu dibinasakan. Maka kaum Jalan Putih dan Jalan Hitam pandang mereka ini sebagai bintang bencana. Apa sebabnya mereka suka membawa-bawa barang permata, tidak ada orang yang ketahui jelas, orang cuma bisa duga, permata itu berasal curian atau memangnya barang dagangan. Tidak ada orang yang berani menanyakannya. Sedang sebenarnya, mereka adalah tukang-tukang tadah, mereka bisa beli permata dari begal tunggal, yang mereka biasa jual ke India atau Iran, hingga mereka menjadi aman. Maka itu, mereka kenal baik banyak begal atau penjahat tunggal. Demikian Hongthianloei Tjio Eng adalah langganan mereka. Empat saudagar, yang malam itu In Loei lihat, ada pembelinya. Tentu sekali In Loei, juga Thio Tan Hong tidak ketahui rahasianya Tjio Eng serta tukang tadah itu. Walaupun demikian, Tan Hong tahu tanda rahasia dari Hek Pek Moko, ialah tengkorak manusia, karena mana, ia kisiki In Loei untuk lari menyingkir. Tapi In Loei berpikir lain, bukan dia kabur, dia justeru bersenyum. "Bukankah tadi kau menyuruh aku menjadi piauwsoe?" katanya. "Maka sekarang, tak dapat tidak, aku mesti menyertai kau!" Tan Hong percaya orang tak tahu lihaynya Hek Pek Moko, ia memikir untuk menjelaskannya, akan tetapi, untuk itu, ketikanya tidak ada. Untuk itu, ia mesti bicara banyak. Ia lihat tegas, kedua wanita Iran itu tiap-tiap kali berpaling ke arahnya. Karenanya, ia jadi mengeluh sendirinya. "Ah, kau belum tahu lihaynya kedua hantu itu.....” demikian keluhnya dalam hati. Tan Hong keliru apabila ia menduga In Loei tidak tahu ancaman bahaya, In Loei justeru tak hendak meninggalkan dia pada saat seperti itu. Ia ingin turut bersama. Kedua wanita Iran itu jalan di muka untuk memimpin mereka melalui jalan belukar yang banyak batunya, di antara pelbagai kuburan, sesaat kemudian tibalah mereka di depan sebuah kuburan besar luar biasa. Segera terdengar suara nyaring dari dalam kuburan itu: "Apakah yang datang itu dua bocah cilik?" Kedua wanita itu tertawa. "Benar!" sahut satu di antaranya. "Tapi kedua bocah ini besar sekali nyalinya!" "Baik!" terdengar pula suara dari dalam kuburan itu. "Bawa mereka masuk!" Satu wanita mendekati pintu kuburan, ia gunakan sebelah tangannya untuk menekan, atas itu terdengarlah suara berisik pada daun pintu. Justeru itu, dengan mendadak Thio Tan Hong menyerang daun pintu. "Brak!" demikian terdengar suara nyaring dan berisik, karena daun pintu itu segera rubuh menggabruk. Dia terus tertawa, dia pun berkata: "Tidak usah kau nengundang lagi, aku sendiri dapat datang!" Kuburan itu mempunyai thia yaitu ruang muka, yang indah perabotannya, yang mirip dengan ruang suatu istana. Di sini dipasang dua puluh empat lilin yang besar, yang membuat ruangan menjadi sangat terang. Rupanya itu adalah suatu istana di dalam tanah, yang ada hubungannya dengan dunia luar, karena dengan berada di dalam ruang itu orang tidak bernapas sesak. In Loei segera lihat sebuah meja besar di tengah ruangan itu. Meja itu adalah meja marmer. Di tengah meja duduk dua orang, yang romannya benarbenar luar biasa. Rambut mereka bergelintir, hidung mereka bengkung, muka mereka, yang satu putih meletak, yang lain hitam legam, hingga perbedaan antara kedua orang itu sangat tegas. Di kedua sisi mereka duduk masingmasing dua orang Han, yaitu ke empat saudagar barang permata itu. Maka, mengenal mereka itu, In Loei berkata dalam hatinya: "Terang sudah, kuburan ini mempunyai pintu belakang.....” "Apakah mereka berdua ini yang mencuri permata?" tanya Hek Pek Moko, kedua orang dengan roman luar biasa itu. "Itulah yang usianya terlebih tua," sahut satu saudagar. "Yang lebih muda itu ada babah mantunya Tjio Eng, dia tidak turut mencuri, dia malah telah menolongi kami dengan membebaskan kami dari bekas totokan." Hek Moko manggut. "Kau berdiri dipinggir!" kata dia pada In Loei, tangannya menunjuk. Tapi In Loei membangkang. "Aku datang bersama-sama dia," katanya. "Kenapa aku mesti berdiri di pinggir?" Pek Moko kerutkan alisnya. "Bocah cilik, kau tidak tahu apa-apa!" katanya. Hek Moko menuding Tan Hong. "Eh, bocah gede, besar nyalimu!" katanya. "Kenapa kau berani datangdatang ke Heksek tjhoeng untuk mencuri permata dan melukai orang? Kenapa kau pun berani menghajar rubuh pintuku ini? Apakah kau anggap kami dapat dibuat permainan?" Thio Tan Hong tidak menjawab, dia hanya balik menanya. "Berapa lama sudah kamu sampai di Tionggoan?" demikian pertanyaannya. "Apakah maksudmu?" tanya kedua hantu ini, dengan murka. "Pernahkah kamu dengar, satu pepatah Tionghoa yang mengatakan "Dendam ada kepalanya, hutang ada tuannya?" Tan Hong tanya pula. "Jangan kata aku memang tidak pergi ke Heksek tjhoeng untuk mencuri, taruh kata benar apa hubungannya dengan kamu berdua? Tjio Eng toh tidak menginginkan kamu yang campur tahu perkara itu?" Muka kedua hantu itu mendadak berobah. Thio Tan Hong tak menggubris, ia hanya menambahkan: "Adalah kamu yang mencuri kuda kami, kenapa sekarang kamu herankan yang aku hajar rusak daun pintumu? Lagi pula tempat ini bukannya tempatmu, tempat ini adalah tempat orang mati!" "Bagus, kau pandai memutar lidahmu!" bentak Hek Moko. "Kau sekarang hendak menguasai kami!" "Apakah kamu kira cuma kamu sendiri yang boleh menguasai lain orang?" Tan Hong tertawa. "Aku lihat, lebih baik kau tutup rapat pintu kuburanmu ini, jangan kau pergi keluar lagi!" "Apa katamu?" tegaskan Pek Moko, si Hantu Putih. "Ini adalah kuburan suatu pangeran!" kata Tan Hong. "Ia ada Pangeran dari kerajaan Tjhin. Habis kau hendak apa?" tanya Pek Moko. "Ada pepatah yang mengatakan, — Menutup pintu besar untuk menjadi raja" sahut Thio Tan Hong, "maka itu, jikalau sekarang kamu tutup kuburan ini, bukankah kamu pun boleh menjadi raja di sini? Atau, andaikata kamu batal menjadi raja, sedikitnya kamu bisa menjadi pangeran Tjhin! Sebenarnya, untuk menjadi raja tidak ada artinya....." Murka kedua hantu itu dipermainkan secara demikian. Tanpa terlihat gerakan mereka, tahu-tahu mereka sudah mencelat dari kursi mereka masing-masing sampai kepada Tan Hong, empat tangan mereka menyambar ke arah batok kepala orang! In Loei terkejut hingga ia keluarkan seruan tertahan. Menyusul sambaran empat tangan itu, terlihatlah berkelebatnya satu sinar putih bagaikan rantai. Sebab Thio Tan Hong, dengan kesebatannya, telah hunus pedangnya, yang berkelebat mirip bianglala. Kedua hantu Hitam dan Putih ini perdengarkan seruan: "Pedang yang bagus!" Di antara satu suara "Bret!" terlihat tubuh mereka bergerak-gerak bagaikan bayangan. Pada saat itu juga terdengar tertawanya Thio Tan Hong, yang menyambungi: "Bagus, bagus! Hek Moko dan Pek Moko mengerubuti satu bocah!" Mendengar ejekan itu, kedua hantu itu sudah lantas jumpalitan mundur, hingga di lain saat keduanya sudah duduk bercokol pula dikursi mereka masingmasing, muka mereka menyeringai. Mereka ini tidak pandang Thio Tan Hong sebagai tandingan mereka, barusan mereka menyerang disebabkan hawa amarah mereka yang meluap dengan tiba-tiba, hingga mereka melakukan sesuatu yang melanggar hukum Rimba Persilatan. Mereka percaya, dengan satu kali turun tangan, mereka dapat mencekik si bocah gede itu. Tidak tahunya, meleset dugaan mereka, hingga mereka jadi malu sendirinya, mereka jadi jengah. Luar biasa sebat Tan Hong menghunus pedang, cepat sekali ia gerakkan pedangnya itu, meskipun selagi berkelit, bajunya kena disambar hingga baju itu kena disambar hingga baju itu robek, di lain pihak, pedangnya sudah memapas kopiah orang sampai rambutnya ikut terpapas pula. Dan hebatnya, karena perbuatannya itu, Hek Pek Moko pun akan tercela karena mereka telah menghina orang yang terlebih muda..... Hek Moko, si Hantu Hitam, lantas mengawasi Tan Hong. "Bagus ilmu pedangmu!" katanya. "Mari, mari kita mencoba-coba!....." Kali ini hantu itu tidak lagi memandang orang sebagai "bocah", ia anggap sekarang bocah itu adalah pantarannya, maka itu, ia telah ubah sikapnya, ia sudah lantas menantang. Thio Tan Hong bersenyum, ia awasi kedua hantu itu. "Bagaimana kehendakmu?" ia tanya. "Kamu berdua hendak maju berbareng atau melayani satu dengan satu". Bagaimana kalau menang. Bagaimana kalau kalah? Dalam hal ini, perlu kamu mengatur terlebih dahulu!" Hek Moko gusar sekali. "Kamu berdua, kita juga berdua, tidakkah itu berimbang?" katanya. Hek Moko kesohor, sekarang ia ingin bertanding satu sama satu, itu artinya ia sudah lantas merasa agak jeri. Akan tetapi Thio Tan Hong kata: "Urusanku ini tidak ada hubungannya dengan saudaraku ini! Adalah aku seorang diri yang akan melayani kamu.....” "Jikalau demikian," kata Hek Moko, "baik aku sendiri yang melayani kau." Tapi In Loei campur bicara. "Kita datang berdua, maka itu aku juga hendak melayani kamu!" demikian katanya. "Bagus, bagus!" Pek Moko, turut berbicara. "Jikalau kamu turun tangan berbareng, aku suka turut menemani kamu!" "Sudahlah, jangan terlalu banyak omong!" Hek Moko menjadi tidak sabaran. "Aku akan layani kau seorang!" — ia maksudkan Thio Tan Hong. "Jikalau saudaramu tidak turun tangan, saudaraku juga tidak akan turun tangan! Tidakkah ini jelas?" In Loei masih hendak bicara tetapi Tan Hong cegah dia. "Sudahlah, saudara yang baik! Kau biarkan aku yang mencoba-coba dulu. Umpama kata aku tidak berdaya, baharulah kau turun tangan. Apakah itu tak terlambat?" Hek Moko tidak pedulikan kedua saudara itu sedang berebut omong, ia ulurkan sebelah tangannya ke arah tembok, dari situ ia menarik sebatang tongkat kemala, yang mengeluarkan sinar terang bercahaya hijau, setelah itu ia berbangkit dari kursinya, ia bertindak ke ruang yang lega. "Mari, mari!" ia menantang. "Jikalau aku menang maka kuda dan permatamu, semua itu akan menjadi kepunyaanku!" "Jikalau kau yang kalah, bagaimana?" tanya Tan Hong. "Jikalau aku yang kalah, maka tempat ini akan menjadi kepunyaanmu!" hantu itu berjanji. Kuburan itu adalah tempat Hek Pek Moko menyimpan harta besar mereka, di antaranya ada barang berharga yang hampir semahal sebuah kota. Hek Moko anggap, taruhan ini adalah taruhan yang pantas sekali. Akan tetapi Thio Tan Hong berpikir lain. Dia tertawa. "Siapa kesudian menjadi tuan dari guha hantu ini?" katanya mengejek. "Habis, apa yang kau kehendaki?" tanya si Hantu Hitam. "Kau mesti obati kuda kami hingga sembuh!" dia menjawab. Hek Moko juga tertawa bergelak. "Inilah gampang!" jawabnya. Aku biasa berdagang, aku hargakan perkataanku. Baik kita omong secara pantas. Aku pun tidak menginginkan bandamu. Di antara banda kita, sukar untuk menetapkan harganya. Sekarang terserah kepadamu! Nah, majulah!" Thio Tan Hong lantas rapikan dandanannya. Ia loloskan baju panjangnya, yang kena dirobek kedua hantu itu. "Dengan dandananku ini, aku mirip dengan satu pengemis.....” katanya, yang terus merobek baju panjangnya itu. Ia sekarang dandan dengan singset, nyata ia telah pakai baju kutang yang tersulamkan dua ekor naga emas tengah bertarung di tengah laut yang bergelombang. Di antara cahaya lilin, baju kutang itu nampaknya indah. In Loei lihat baju kutang itu, ia heran. "Apakah benar di Mongolia juga ada sulaman Souwtjioe?" tanya ia pada dirinya sendiri. Tapi ia tidak sempat berpikir lama, atau pertandingan sudah lantas dimulai. "Kau yang mulai!" Tan Hong tantang lawannya, setelah ia selesai dandan dan beri hormat sambil menjura. Hek Moko dapat kesan baik untuk kelakuan dan kesopanan orang itu, ia merasa puas hingga ia bersenyum, akan tetapi meskipun demikian, dengan tiba-tiba saja ia mulai dengan serangannya, tongkatnya menyambar ke arah muka. Thio Tan Hong tidak menjadi kaget karena serangan mendadak itu, malah dengan gesit ia telah angkat pedangnya, untuk menangkis, hingga tidak ampun lagi, kedua senjata telah beradu satu sama lain hingga terdengar suara yang keras dan nyaring. Sinar pedang pun menyilaukan mata. -ooo0dw0ooo- BAB VI In Loei terperanjat melihat bentroknya kedua senjata itu. "Aku tidak sangka, tongkat kemala itu ada barang mustika juga," pikirnya. Kedua senjata seperti menempel satu dengan lain, karena masing-masing tidak menarik kembali tangan mereka, sebaliknya, mereka saling menekan. Kedua pihak berdiri tegak dengan kuda-kuda mereka, keduanya samasama empos semangat, untuk mengerahkan tenaga mereka. Karena ini, dalam sekejap saja, keduanya mulai mengalirkan keringat di jidat mereka. Tegang hati In Loei menyaksikan pertempuran adu tenaga dan keuletan itu. "Secara begini, tidakkah keduanya akan sama-sama bercelaka?" demikian ia piker pula. Ia jadi berkuatir. Tak lama kemudian terdengar seruan Hek Moko, tubuh siapa terus mencelat. Menyusul itu terdengar pula suara kedua senjata. Dipihak lain Thio Tan Hong pun mencelat mundur, dengan begitu senjata mereka jadi terlepas dan terpisah. Selagi lompat, Tan Hong perdengarkan seruan: "Celaka!" In Loei terkejut hingga hendak ia hunus pedangnya, cuma sebelum ia sampai berbuat begitu, ia segera dengar tertawanya Tan Hong. "Tidak apa, tidak apa!" demikian Tan Hong buka mulutnya. "Kiranya kau adalah seekor keledai tua! Sekian lama senjata kita sudah bentrok tapi kau tidak mampu berbuat suatu apa! Haha haha! Namamu kosong belaka! Nyata kau tidak sanggup memukul mundur satu bocah! Haha-haha! Haha-haha!" Suara tawa itu belum berhenti atau Hek Moko, dalam murkanya yang hebat, sudah berseru nyaring sekali: "Bocah, kau tidak tahu mampus!" Lalu tubuhnya mencelat maju, sinar hijau dari tongkatnya pun berkelebat, sinar itu menyambar ke arah jidat orang she Thio. Sebenarnya In Loei ingin tertawa mendengar kata-katanya Tan Hong, tapi ia terhenti di tengah jalan, sebaliknya, ia menjerit, "Oh!" disebabkan serangan si hantu yang sangat dahsyat itu. Tiba-tiba terdengar pula tertawa nyaring dari Tan Hong, yang terus berkata dengan keras: "Lihat, lihat! Si bocah akan kemplang kepala si keledai tua!" Atas datangnya serangan dahsyat itu, Tan Hong menyamping satu tindak, sambil mundur ia angkat pedangnya, dengan itu ia membalas menabas ke arah lengan orang. Hek Moko pun sangat awas dan gesit sekali, lekas-lekas ia tarik kembali tangannya. Tan Hong tahu orang liehay, sengaja ia mainkan lidahnya, guna membikin orang mendelu. Ia dapat menduga, Hek Moko mulanya tidak pandang mata padanya, maka ia dipanggil bocah, dari itu, sengaja ia gunakan perkataan bocah itu untuk membuat orang panas hati. Dalam hal ini, ia berhasil membakar hatinya si Hantu Hitam. Menuruti hawa amarahnya, Hek Moko menyerang pula, secara kalap. Bukan main gencarnya serangan itu. Terang ia lupa pantangan bergusar untuk orang yang tengah berkelahi, nyata ia sudah kena terjebak lawannya itu. Satu kali Tan Hong menabas lengan orang, untuk herannya, pedangnya merosot di antara lengan itu. Ia tidak tahu, lawannya mempunyai ilmu silat India yang dinamakan "djiekee", yang membuat tangannya jadi kuat dan licin. Gusar Hek Moko karena serangan itu, hingga dia berteriak: "Bocah, akan aku adu jiwaku dengan jiwamu!" Terus saja dia lompat sambil menyerang dengan tongkatnya. Dengan berani Tan Hong tangkis serangan itu, lalu ia membalas. Hek Moko berlaku cerdik, ia berkelit sambil lompat jumpalitan, waktu ia menaruh kakinya di lantai, ia barengi dengan merubuhkan diri, kemudian menyusul itu — dengan kesebatannya — ia balas menyerang, ujung tongkatnya menyambar lawannya, yang ia sodok hebat sekali. Untung bagi Tan Hong, ia telah berlaku waspada, celi matanya, lincah gerakannya maka itu ketika serangan sampai, ia sempat egoskan tubuhnya. Tentu saja, ia pun tidak mau diam — habis berkelit, ia maju menyerang. In Loei telah saksikan satu pertarungan yang dahsyat sekali. Kedua belah pihak tidak mau menyerah satu pada lain, itulah yang hebat. Sinar hijau dari tongkat kemala seperti bersaing dengan sinar putih dari pedang. Kalau si Hantu Hitam nampaknya ganas, lawannya berlaku tenang, sekarang ini tidak lagi si orang she Thio bersenyum, sebaliknya, ia berlaku sungguh-sungguh. Sebenarnya Hek Moko telah bersilat dengan ilmu tongkat "Thianmo thung" — "Tongkat Iblis," ia andalkan ilmu tongkatnya itu, akan tetapi kali ini, ia kecele. Sudah seratus jurus lebih ia layani Tan Hong, sama sekali ia tidak peroleh hasil, maka akhirnya, ia sedot hawa dingin. Pek Moko, si Hantu Putih, telah saksikan pertempuran itu, ia lihat saudaranya berkecil hati, tetapi karena di antara mereka sudah ada janji, tidak bisa ia nyerbu ke dalam kalangan, untuk membantu saudara itu. Maka ia Cuma bisa menonton saja. Selagi pertempuran berjalan terus, tiba-tiba terdengar suara ayam berkokok dan burung-burung berkicau di luar kuburan. Itulah tanda bahwa sang malam sudah lewat dan sang fajar telah datang menggantikan tugas alam. Hek Moko menjadi tegang sendirinya karena ia tidak dapat peroleh hasil, saking penasaran, ia coba menyerang dengan terlebih dahsyat pula, hingga pertarungan menjadi lebih hebat. Thio Tan Hong berlaku tenang, ia tidak biarkan dirinya dipengaruhi kekalapan orang. Ia berlaku waspada, matanya awas, gerakannya sebat. Ia menangkis dan berkelit dengan beraturan, ia membalas menyerang setiap ada ketikanya. In Loei terus menonton dengan hati tertarik. Sejak masih kecil ia telah belajar silat kepada Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng, karena sekarang ia telah berusia tujuh belas tahun, tepat lamanya sepuluh tahun ia menuntut ilmunya itu. Di samping itu, berkat didikan gurunya, ia juga kenal pelbagai ilmu silat pedang dari lain kaum, hingga ia bisa dianggap sudah ulung juga. Hanya kali ini, heran ia atas ilmu pedangnya Thio Tan Hong. Ia sudah mengawasi begitu lama, ia telah memperhatikannya dengan seksama, tapi tidak juga ia ketahui, dari golongan mana ilmu silat pedang itu. Ia merasa ada persamaannya dengan ilmu pedangnya sendiri ia pun merasakan ada perbedaannya. Ia merasa ia seperti pernah lihat ilmu silat itu akan tetapi tak pernah ia dengar gurunya menceritakannya. Karenanya, ia jadi bersangsi, ia jadi heran. "Ah, mesti ada hubungannya antara ilmu pedang itu dengan ilmu pedangku," akhirnya In Loei ambil kesimpulan sesudah ia mengawasi pula sekian lama. Karena ini, ia seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri, hingga ia tidak perhatikan jalannya pertempuran. Tiba-tiba saja ia ingat kata-kata gurunya pada malam sebelumnya ia turun gunung. Hari itu, adalah malam Tiesek, satu malam sebelumnya tahun baru, di puncak bukit Siauwhan San di Soetjoan Utara, di dalam sebuah guha batu, dinyalakan dua belas batang lilin besar. Dan lilin itu sama rupanya dengan lilin yang ia saksikan sekarang. Ketika itu di antara cahaya lilin, yang mengitarinya, ada duduk seorang wanita dari usia pertengahan serta satu nona yang cantik sekali bagaikan bunga. Mereka itu adalah Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng dan murid satu-satunya yang dia sayangi, ialah In Loei. Di dalam guha itu telah disediakan barang makanan, tetapi bukan untuk pesta menyambut tahun baru, hanya guna perjamuan perpisahan antara guru dan muridnya itu. Pelajaran si nona dianggap sudah sampai pada batasnya dan sang guru menitahkan muridnya turun gunung, untuk mencari pengalaman. In Loei terima titah itu, besoknya hendak ia meninggalkan rumah perguruan. Dari gurunya itu, In Loei telah ketahui asal-usulnya, tentang sakit hati keluarganya. Itu adalah sakit hati yang hebat sekali, bagaikan "laut yang berdarah." Ia senantiasa memikirkannya, ia selalu memikir untuk melampiaskanya. Untuk itu, ia mesti turun gunung. Untuk itu, perlu ia sempurnakan dahulu ilmu silatnya. Adalah di luar sangkaannya, sang guru menjamu ia malam itu dan ia diharuskan turun gunung besok paginya. Kenapa guru itu tidak menyebutkannya, menerangkannya, sejak siang-siang? Kenapa demikian mendadak? Maka itu, selagi menerima titah, In Loei berpikir, pada wajahnya tampak roman heran. Yap Eng Eng telah lihat tegas roman muridnya itu, ia diam saja, cawan demi cawan ia keringkan dan setelah menghabiskan yang ketiga, tiba-tiba ia menghela napas. "Satu tahun akan dilewatkan dalam satu malam," katanya, perlahan. "Pada dua belas tahun yang lampau telah aku antarkan satu orang — bukan, hanya telah aku usir, — dan pada malam ini, kembali hendak aku mengantar kau pergi.....” In Loei berdiam. Tak mengerti ia akan kata-kata gurunya itu, kata-kata yang ia anggap tidak keruan juntrungannya. Ia melainkan awasi gurunya itu. Habis mengucap, Hoeithian Lionglie menghela napas pula, terus ia tatap muridnya. Dengan sekonyong-konyong, ia berkata kepada muridnya itu: "Setelah kau turun gunung, kalau nanti kau tiba di Mongolia, apabila kau menemui seseorang, kau katakan padanya bahwa aku menyuruh dia pulang.....” "Siapakah orang itu, Soehoe?" tanya In Loei, setelah ia berdiam sekian lama. Ditanya muridnya, tiba-tiba Hoeithian Lionglie tertawa. Setelah itu, segera wajahnya menjadi merah. "Itulah Samsoepee Tjhia Thian Hoa-mu," katanya, dengan perlahan. (Samsoepee ialah paman guru lebih tua yang ketiga.) "Samsoepee Tjhia Thian Hoa?" In Loei ulangi. "Bukankah samsoepee telah pergi ke Mongolia, untuk menolongi aku membalas dendam kakekku, ialah guna membinasakan Thio Tjong Tjioe?" "Benar!" sahut sang guru. "Ketika dia pergi ke Mongolia, itu adalah kejadian pada sepuluh tahun yang lalu, akan tetapi waktu dia berpisah dari aku, itu ada pada malam seperti ini pada dua belas tahun yang lampau..... Ilmu silatnya sudah sempurna, diapun pendiam tetapi cerdas. Dia mengatakan dia hendak membalas sakit hati kakekmu, pasti dia telah mewujudkan maksud hatinya itu, malah untuk itu, tak usah dia tunggu sampai sepuluh tahun.....” "Kalau begitu, kenapa setelah pergi sepuluh tahun lamanya, dari dia tidak ada kabar ceritanya?" tanya In Loei. Sang guru menghela napas pula. "Aku duga dia memang tidak berniat kembali," sahutnya. "Kenapa begitu, soehoe?" Sang murid benar-benar tidak mengerti. Hoeithian Lionglie tidak menjawab, ia hanya menyimpang. "Semua ilmu silat pedang dari pelbagai partai telah aku ketahui," berkata guru ini. "Partai banyak sekali jumlahnya. Melainkan satu macam ilmu pedang dari suatu partai, belum pernah aku melihatnya. Kau katakan, tidakkah ini aneh?" In Loei berdiam, akan tetapi hatinya berpikir. Memang jumlah partai ada sangat banyak, dari itu apa yang dibuat heran kalau ada ilmu silat suatu partai yang belum diketahui. Akan tetapi, setelah ia dengar lebih jauh perkataan gurunya, ia menjadi heran sekali, hingga ia terkejut. Dengan sungguh-sungguh, guru itu menambahkan: "Itu adalah ilmu silat pedang dari kaum kita sendiri.....” Karena herannya, In Loei jadi melongo. Ketika itu, api lilin di dalam ruangan tengah memain, dalam keadaan seperti itu, teringat In Loei pada gurunya, pada kata-kata gurunya itu. Ia seperti nampak pula wajah menyesal dari gurunya. Ketika itu, ia telah minta penjelasan pada gurunya. Dan gurunya itu menjawab: "Kau tidak tahu, pelajaranmu sekarang ini memang ada dari partai kita, akan tetapi sebenarnya, apa yang kau dapatkan baharu saja sebagian, separuhnya." "Bagaimana, soehoe?" In Loei ingat ia telah menanya gurunya, karena benar-benar ia sangat tidak mengerti. Bukankah aneh yang ia baharu dapat kepandaian separuhnya saja? Hoeithian Lionglie telah memberikan keterangan terlebih jauh kepada muridnya itu. Duduknya hal adalah disebabkan tabeat dari Hian Kee Itsoe, yaitu tjouwsoe atau kakek guru In Loei. Kakek guru ini di antaranya mempunyai dua macam ilmu pedang "Banlioe Tiauwhay Goangoan Kiamhoat" atau ringkasnya "Goangoan Kiamhoat," dan "Pekpian Imyang Hian Kee Kiamhoat." Dan kedua ilmu pedang itu diturunkan masing-masing kepada guru dan paman guru yang ketiga dari In Loei. Namanya saja mereka telah mewariskan penuh, sebenarnya baharu separuh kakek guru itu memberi penjelasan bahwa dengan susah payah ia telah meyakinkan kedua ilmu pedang itu, yang tidak dapat berbareng diwariskan kedua-duanya kepada satu murid saja. Menurut kakek itu, bila kedua ilmu pedang dipadu satu dengan lain, maka Goangoan Kiamhoat dapat diumpamakan sebagai "naga tidur" dan Hian Kee Kiamhoat bagaikan "burung hong." Katanya, kalau kedua ilmu pedang diyakinkan oleh satu orang akibatnya adalah ancaman marah bahaya. Maka itu kedua muridnya dilarang saling mengajarkan satu kepada lain. Selagi pikiran In Loei melayang kepada hal kedua ilmu pedang itu, tiba-tiba ia dengar Thio Tan Hong tertawa bekakakan, yang mana disusul dengan seruannya Pek Moko. Ia terkejut, segera ia awasi kedua orang yang tengah bertempur itu. Nyata tertawa dan seruan itu disebabkan mereka menghadapi saat yang berbahaya. Pek Moko telah menyerang secara dahsyat, tongkatnya menyambar melintang, tapi serangan itu tak memberi hasil, sebaliknya, ia kena ditikam pada iganya oleh Thio Tan Hong. Maka Tan Hong tertawa dan ia berseru. Karena ini, tidak berani Pek Moko berlaku sembarangan lagi. Mengawasi gerak-geriknya Thio Tan Hong, tiba-tiba In Loei sadar: "Bukankah ilmu pedang Tan Hong ini ada ilmu pedang yang guruku belum pernah lihat dan pelajarkan? Mungkinkah selama di Mongolia, samsoepee telah mendapatkan satu murid? Inilah kepandaian yang tak nanti bisa didapatkan kecuali dengan meyakinkan belasan tahun. Samsoepee bertujuan mewakilkan kakekku membalas dendam, tidak mungkin begitu ia tiba di Mongolia lantas ia terima murid....." Lantas In Loei ingat juga surat dari paman gurunya yang kesatu, yaitu Toasoepee Tang Gak, surat yang di kirim kepada Kimtoo Tjeetjoe Tjioe Kian. Maka berpikirlah ia terlebih jauh: "Kabarnya samsoepee telah ditawan musuh dan telah dipenjarakan di dalam istana bangsa Tartar, maka itu mana bisa jadi dalam tempo yang pendek ia telah menerima murid dalam istana Mongol itu? Dan umpama kata benar ia terima murid, pastilah bukan bangsa Han yang ia terima. Sebenarnya, bagaimanakah duduknya hal?" Maka ia menjadi sangat bingung. "Guruku sangat puji kepandaian samsoepee dan katanya samsoepee bertabeat sangat keras, apa yang dia katakan mesti dia jalankan, maka itu setelah ia berjanji akan mencari balas untuk kakekku, pastilah sakit hati itu sudah terbalaskan, malah tentu telah dijalankan sebelum sampai sepuluh tahun....." In Loei berpikir demikian, ia tidak tahu, sampai pada saat itu, Thio Tjong Tjioe masih ada di Mongolia, musuh itu masih hidup dan berkuasa besar, sedang samsoepee-nya, paman guru yang ketiga itu, entah bagaimana nasibnya. Di kepala In Loei segera terbayang keadaan pada malam perpisahan itu. Ia bayangkan gurunya minum puas-puasan, dengan memakai cawan yang besar pula, sampai tanpa merasa, guru itu sinting. Adalah pada waktu itu, sang guru telah menggulung tangan bajunya hingga pada lengannya tampak tapak luka bekas guratan pedang, yang merupakan setangkai bunga merah. Dengan sedih, guru itu berkata pada muridnya: "Anak Loei, satu manusia tak dapat dia umbar adatnya. Siapa yang umbar adatnya, satu kali dia berbuat salah, dia akan menyesal sesudah kasip. Pada dua belas tahun yang lampau, aku telah mengusir samsoepee-mu, setelah itu setiap malam Tiesek, aku jadi menyesal dan berduka sekali, sakit hatiku bagaikan disayat-sayat, sampai tak dapat aku bertahan, aku hunus pedang Tjengbeng kiam dan mengguratnya di lenganku ini. Hahaha! Nyata itu adalah obat yang mujarab sekali! Begitu aku merasa kesakitan, begitu juga kedukaanku menjadi berkurang, lalu aku gurat-gurat menjadi rangkaian bunga ini..... Kau lihat! Tidakkah bunga merah ini, bunga darah, ada indah?" Ketika itu In Loei coba menghitung guratan bunga itu, benar jumlahnya ada dua belas, tanpa merasa, ia bergidik. Selagi ia tercengang, ia dengar gurunya melanjutkan kata-katanya: "Sudah sepuluh tahun kau ikuti aku, untuk belajar silat, selama itu, belum pernah kau dengar aku tuturkan kau lelakon ini. Kau tahu, pada tiga belas tahun yang lampau, aku mirip dengan kau — aku adalah satu nona yang bergembira, malah aku ada terlebih bebas, hingga dengan merdeka dapat aku turuti adatku. Umpama ada sesuatu yang aku tidak ketahui, mesti aku gunakan segala daya untuk mencari tahu. Soehoe melarang kita saling mengajari ilmu kepandaian, sampai di waktu berlatih, kita dipisahkan, tetapi semakin keras larangan guru, semakin keras juga niatku untuk mengetahui keanehan itu. Thian Hoa dan aku ada bagaikan saudara kandung, maka dapatlah kau mengerti adanya persahabatan kita. Kakek gurumu mempunyai lima murid, kecuali ayahmu, In Teng, yang keluar dari perguruan sebelum tamat dan pergi ke Mongolia, kita berempat telah mendapatkan masing-masing satu macam ilmu kepandaian. Maka itu, sekeluarnya kita dari rumah perguruan, kita seolah-olah mempunyai satu partai tersendiri. Sudah kukatakan, pergaulanku dengan Thian Hoa adalah yang paling rapat, maka selama beberapa hari telah aku desak ia, supaya ia perlihatkan ilmu kepandaiannya itu, tapi ia selalu menampik. Sebetulnya tidak ada niatku akan pelajari kepandaiannya itu, aku melainkan ingin melihatnya, guna menambah pengetahuan. Biasanya Thian Hoa selalu menuruti kehendakku, tapi bila kita bicara tentang ilmu kepandaian, lantas ia bungkam. Pernah pada malaman tahun baru ia dating padaku di gunungku ini, Siauwhan san, selagi pasang omong, aku kembali minta ia mempertunjukkan ilmu silatnya itu, aku malah mendesak. Atas desakan itu, ia tetap pada sikapnya seperti dahulu, ia cuma tertawa, tak mau ia menjawabnya. Aku menjadi tidak senang, hingga aku tegur padanya. Aku katakan padanya: "Kau mengatakan bahwa kau sangat sayangi aku, nyata semua itu palsu belaka!" Ditegur begitu, pucat mukanya, beberapa kali bibirnya bergerak, tetapi akhirnya, tetap ia membungkam. Dalam sengitku, aku cabut pedangku, aku tikam dia pada dadanya. Adalah maksudku mengancam dia, supaya dia menangkis dengan ilmu silatnya yang aku ingin lihat itu, tapi dugaanku meleset. Dia nyata tidak menangkis, dan tidak berkelit juga. Maka pedang, yang tak sempat aku tarik kembali, sudah mengenai lengannya, hingga darahnya menetes jatuh ke salju yang putih meletak, hingga salju itu jadi bercacat dengan titik-titik merah, mirip dengan permata mulus bertotolkan merah sebesar kacang kedele. Aku melengak. Selagi aku berdiam, tiba-tiba dia tutup mukanya, dan menjerit satu kali, habis itu, tanpa pedulikan lukanya, dia lari turun gunung. Beberapa hari sejak itu, kakek gurumu datang padaku, dia umbar hawa amarahnya terhadapku, hampir saja dia hajar mati padaku, sukur toasoeheng, yaitu toasoepee mu, yang datang bersama, dapat mencegah dan membujuk padanya, dengan begitu baharulah aku bebas dari kematian. Meski begitu, aku telah dihukum bathin, yaitu selama lima belas tahun, aku dimestikan bertapa menghadapi tembok, selama lima belas tahun itu, aku dilarang turun gunung, tak boleh sekalipun dengan mencuri berlalu. Selama lima belas tahun itu, aku diperintahkan melakukan dua hal. Kesatu aku dimestikan mempelajari dua rupa ilmu silat yang paling sulit untuk diyakinkan. Kedua aku dimestikan mendidik satu murid yang mesti pandai ilmu silat pedang Pekpian Imyang Hian Kee Kiamhoat. Untuk mendapatkan murid itu, soehoe titahkan orang-orang kaum kita tolong mencarikannya. Padaku diberitahukan, apabila aku telah selesai melakukan dua hal itu, muridku akan diberikan pedang Tjengbeng kiam. Sekarang sudah dua belas tahun, belum dapat aku selesaikan dua rupa iimu silat itu. Adalah murid yang mengerti ilmu pedang Hian Kee Kiamhoat telah aku berhasil mendidiknya.....” Adalah setelah mendengar keterangan itu, In Loei baharu mengerti kenapa Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng, gurunya itu, telah mengambil ia sebagai muridnya. Waktu itu, gurunya masih menerangkan lebih jauh: "Kau tahu, pergaulanku dengan Toasoeheng Tang Gak juga ada baik sekali. Tiga tahun setelah perkaraku itu, pada suatu waktu atas titahnya kakek gurumu, dia pergi ke perbatasan Mongolia dan Thibet untuk suatu tugas. Belum lama sekembalinya dia dari Thibet, kembali dia lakukan perjalanannya yang kedua kali. Kali ini, sebelumnya dia berangkat, dia ambil tempo untuk sambangi aku. Dia nasehati aku untuk bersabar, akan meyakinkan ilmu silat di atas Siauwhan san. Dia kata, mungkin karena kesabaranku, aku peroleh keberuntungan. Dia tanya aku: "Tahukah kau kenapa soehoe melarang demikian keras kau dan soetee Thian Hoa saling menukar kepandaian? Tahukah kau kenapa soehoe jadi demikian gusar?" Atas itu, aku jawab: "Mana aku tahu? Apa yang aku ketahui, adalah kebiasaan soehoe yang ia suka melakukan sesuatu yang berada di luar sangkaan. Hanya pernah satu kali aku dengar soehoe berkata, kedua ilmu silat pedang itu ada bagaikan "naga tidur" dan "burung hong," bahwa naga dan burung hong tak dapat berada bersama-sama pada satu majikan, bahwa bila berada bersama mereka berdua dapat mendatangkan bencana. Rupa-rupanya itu adalah suatu ramalan dari soehoe, kata-kata itu aku tidak mengerti." Mendengar keteranganku, toasoeheng tertawa. Dia tanya aku: "Tahukah kau bahwa pada dua puluh tahun yang lalu, soehoe pernah berebut kedudukan kepala Rimba Persilatan dengan satu hantu? Bahwa karena itu, soehoe dan hantu itu sudah bertempur di puncak gunung Ngobie san selama tiga hari dan tiga malam tanpa ada keputusan siapa menang dan siapa kalah?" Aku jawab, "Aku tahu." Memang aku ketahui tentang pertempuran soehoe itu. Toasoeheng lantas menjelaskan pula: "Hantu itu adalah seorang she rangkap Siangkoan, namanya Thian Va. Dia adalah satu begal besar dari Rimba Hijau. Setelah pertempuran itu, Siangkoan Thian Ya lantas menghilang, orang tak tahu di mana dia sembunyikan diri. Sejak itu, selama dua puluh tahun, soehoe tak pernah berhati tenang mengenai hantu itu. Begitulah aku pergi ke perbatasan Mongolia dan Thibet atas titah soehoe, tugasku itu tak lain tak bukan untuk mencari tahu tentang Siangkoan Thian Ya." Kataku setelah aku dengar, penjelasan toasoeheng itu: "Hantu itu demikian liehay, setelah kau pergi selidiki dia, umpama kata dia pergoki kau, bagaimana nanti jadinya?" Kembali toasoeheng tertawa. Dia jawab: "Hantu itu sederajat dengan soehoe, dia juga sangat jumawa, maka itu, andaikata benar dia ketahui sepak terjangku, aku percaya tidak nanti dia sudi melayani aku, orang dari golongan muda." Keterangan ini membuat hatiku tetap. Sampai ketika itu, masih belum jelas, bagiku apa hubungannya urusan soehoe itu dengan si hantu dengan soal larangan kita saling menukar kepandaian, maka karena ingin mengetahui, aku Tanya toasoeheng. Toasoeheng tertawa, lalu dia menjawab: "Menurut sangkaanku, mungkin soehoe menghendaki kau dan soetee Thian Hoa nanti pergi menghadapi hantu itu, supaya si hantu kena dikalahkan kamu berdua, supaya kekalahannya itu diketahui oleh orang-orang gagah dari seluruh negara. Rupanya soehoe hendak perlihatkan, tidak usah soehoe turun tangan sendiri, cukup dengan muridmuridnya saja yang mempunyai kepandaian liehay." Terperanjat aku dengan keterangan itu. "Bagaimana itu bisa terjadi, toasoeheng?" aku kata. "Kalau kepandaian kita dipadu dengan kepandaian soehoe, itu adalah seumpama terangnya kunang-kunang dengan sinarnya matahari atau rembulan! Mana dapat kita dibandingkan dengan soehoe? Soehoe sendiri tidak sanggup mengalahkan hantu itu, sekarang kita yang dititahkan mewakilkan soehoe, apa itu tak sama saja dengan mengantarkan jiwa? Ah, toasoeheng, tidakkah kau tengah bergurau?" Toasoeheng tertawa berkakakkan. Ia kata: "Jikalau soehoe tidak punya kepercayaan, mustahil dia nanti biarkan kamu pergi untuk mengantarkan jiwa secara cuma-cuma? Kau cerdik sekali, akan tetapi kau tak nanti ketahui maksud soehoe1." Waktu itu aku benar-benar tidak mengerti. Toasoeheng rupanya dapat melihatnya, maka toasoeheng berkata pula: "Goangoan Kiamhoat itu, bersamasama Hian Kee Kiamhoat, adalah ilmu silat yang soehoe ciptakan dan yakinkan dengan susah payah sesudah ia perhatikan ilmu silat pelbagai partai lainnya, yang semuanya ia gabung menjadi satu. Dari kedua ilmu silat itu, bila satu saja orang dapat menguasainya, dia sudah menjagoi dalam dunia kangouw, apalagi kalau orang pandai dua-duanya, maka tak akan ada tandingannya di kolong langit ini. Apa yang luar biasa dari kedua ilmu pedang itu, bertentangan nampaknya, sebenarnya ada bersatu. Dua orang tak usah melatih diri lagi, bila menggunakan dengan berbareng, asal menggunakannya dengan cocok dan tepat. Maka aku percaya, inilah sebabnya mengapa soehoe melarang kamu berdua saling menukarnya. Soehoe tentunya kuatir, bila kamu sudah saling mengetahui, pemusatan pikiranmu bisa terpecah. Tidakkah kemampuan sesuatu orang ada batasnya masing-masing? Kedua ilmu silat itu sangat sulit, untuk mempelajari yang satu saja, orang harus memusatkan seluruh pikirannya, atau orang akan gagal. Orang pun membutuhkan tempo lebih daripada sepuluh tahun. Dari itu, bila mempelajari kedua-duanya dengan berbareng, kesukaran tentu sampai di puncaknya. Lagi pula harus diingat, kedua ilmu pedang itu diperuntukkan dua orang, maka itu, tak usah orang mendapatkan dua-duanya. Masih ada satu soal lain. Siangkoan Thian Va itu sangat liehay, pasti sekali soehoe kuatir dia mengetahui lebih dahulu yang soehoe telah meyakinkan suatu ilmu kepandaian untuk mengalahkan dia." Baharu sekarang dapat aku menginsafinya. Terang sudah, soehoe kuatirkan kita yang masih berusia muda, menuruti nafsu hati kita yang muda itu. Umpama kalau kita tahu kita bisa menjagoi, mungkin kita dapat menerbitkan onar. Atau nanti rahasia bocor dan Siangkoan Thian Ya mengetahuinya, hingga dia dapat bersiap-siap untuk membuat perlawanan. Sampai di situ, aku tidak menanyakan terlebih jauh lagi. "Pada esok harinya, toasoeheng lantas berangkat jauh keperbatasan Mongolia dan Thibet itu. Lalu selang dua tahun lagi, Thian Hoa juga pergi ke Mongolia. Aku tahu sekarang, kedua ilmu pedang itu dapat dipakai bersamasama, akan tetapi belum pernah aku mencobanya. Malah pedang dari Thian Hoa itu, satu jurus pun aku tak mengerti." Itulah semua yang terbayang di kepalanya In Loei selagi ia awasi kedua orang bertempur dengan seru dan ulet. Karena ia sangat cerdas, tiba-tiba ia ingat suatu hal. Ia pikir: "Kalau anak muda ini benar-benar sedang menggunakan Goangoan Kiamhoat, bila aku turut turun tangan, tidakkah musuh dapat segera dikalahkan?" Tengah In Loei berpikir demikian, ia dengar seruan Hek Moko, disusul dengan suaranya Thio Tan Hong, maka ia lantas awasi pula mereka itu. Sekarang ia tampak, suatu perubahan. Hek Moko tidak lagi bergerak dengan lincah dan hebat seperti tadi, sebaliknya, dia ayal bagaikan dia sedang menarik suatu benda berat seribu kati, tongkatnya bergerak-gerak ke timur dan barat dengan lambat, seolah-olah ia harus menggunakan sangat banyak tenaga. Di samping si hantu itu, Thio Tan Hong sudah lintangkan pedangnya di depan dadanya, wajahnya bersungguh-sungguh, terang dia tengah memusatkan semangatnya kepada tongkat lawan. Kedua lawan itu masih saling menyerang, tapi sekarang serangannya sama ayalnya. Mereka bagaikan tengah menghadapi hujan angin hebat yang baharu saja menjadi reda. Sedang sebenarnya, mereka benar-benar sedang adu kepandaian, mereka tengah memperlihatkan keliehayan mereka masing-masing. Setiap serangan merupakan serangan dari bahaya maut. Ilmu pedangnya Thio Tan Hong liehay tapi dia tak dapat menembusi pembelaan tongkat kemala. Menampak itu, In Loei insaf, orang she Thio itu masih kalah dalam hal Iweekang atau ilmu dalam dibanding dengan si hantu, hingga dia agaknya Cuma bisa melindungi diri saja. Ketika itu matahari dari musim semi sudah mulai naik, cahayanya menembus, masuk dari pintu kuburan yang digempur Thio Tan Hong, yang belum sempat ditutup pula, maka itu, cahayanya jadi mengganggu mata, lebih-lebih Thio Tan Hong, yang matanya tersorot sinar tepat sekali. Hek Moko dengan tongkatnya mendesak lawannya, serangan tongkat itu tiap-tiap kali perdengarkan suara angin. Dipihak sana, cahaya pedang dari Tan Hong jadi semakin kecil, sampai cahaya itu seperti berputaran di atas kepalanya saja. Adalah setelah itu, sambil berseru keras, si hantu hitam segera turunkan tangan jahatnya ke arah batok kepala orang! In Loei kaget, sampai ia menjerit, "Celaka!" Tanpa berpikir panjang lagi, ia menyerang dengan tiga batang Bweehoa Ouwtiap piauw. Justeru itu, Tan Hong pun berteriak: "Hiantee, lekas lari!" Ketiga batang piauw menyambar dengan hebat, akan tetapi kesudahannya, tidak ada hasilnya. Ketiga piauw itu terpental ke lain arah, terkena sampokannya pedang dan tongkat yang sedang bergumul. Adalah pada waktu itu Pek Moko, si Hantu Putih, yang sedari tadi diam saja, sudah perdengarkan tertawa yang nyaring, berbareng dengan mana tubuhnya mencelat bagaikan terbang, menyambar ke arah In Loei — kedua tangannya yang panjang menyengkeram kepala orang! In Loei tangkis serangan itu, atau segera ia rasakan pinggangnya kaku, maka dengan gesit ia lompat sejauh setombak lebih. Ia keluarkan napas lega, dengan lintangkan pedangnya, ia memasang mata. Cepat luar biasa, pada tangan Pek Moko sudah tercekal sebatang Pekgiok thung, tongkat putih, dengan itu ia ulangi serangannya pada si orang she In ini. Maka itu, berdua mereka jadi bertempur. Pek Moko tidak tahu bahwa lawannya menyekal pedang mustika, ia baharu terkejut ketika ujung pedangnya menyambar pundaknya, hingga bajunya pecah, daging pundaknya turut terluka. Hasil In Loei ini didapat karena ilmu enteng tubuhnya, yang dapat bergerak dengan gesit dan lincah. Meski begitu, ia juga tak luput dari tangan si hantu putih, urat tjeksim hiat dibebokongnya telah tersapu. Syukur, karena keduanya sama-sama liehay, luka-luka mereka tidak berarti, mereka lanjutkan terus pertempuran mereka. Tongkat Pekgiok thung dari Pek Moko sama tanggunya seperti tongkat Lekgiok thung dari Hek Moko, asalnya adalah dari batu-batu kemala dari India, di samping itu, tenaga dalam dari si Hantu Putih ini ada terlebih kuat daripada In Loei, maka itu, mengetahui tenaga besar dari lawannya tak mau si nona melayani keras dengan keras. Begitu, waktu ia diserang hebat, ia kelitkan diri. Pek Moko liehay, ia pun penasaran, ia perhebat serangannya. Ia desak lawannya hingga In Loei seperti terkurung cahaya putih dari tongkatnya itu. Tongkat itu panjangnya tujuh kaki, tetapi waktu digunakan, nampaknya seperti bertambah panjang satu tombak. Dengan tubuhnya yang enteng, In Loei berkelit dan mengegos tak hentinya dari hujan serangan, tetapi lama-lama, ia kewalahan juga. Adalah di luar dugaan Thio Tan Hong yang In Loei turun tangan, ia menjadi berkuatir untuk si nona. Itu pun sebabnya mengapa berulang kali ia anjurkan "pemuda" itu untuk lekas angkat kaki. Melayani Hek Moko, ia kalah tenaga dalam, ia jadi andalkan ilmu pedangnya yang liehay, dengan itu, dapat ia bela dirinya. Tadi kalangan pedangnya menjadi ciut, itulah daya pembelaannya yang istimewa, dengan begitu ia membuatnya Hek Moko, si lawan, jadi kewalahan mendesak padanya. Dalam keadaan itu, ia mesti saksikan In Loei, kawannya, yang juga terdesak musuh. Bagaimana ia tak jadi kuatir? Maka ia lantas kuatkan hatinya, dengan tiba, ia balas menyerang si Hantu Hitam dengan hebat sekali. Dari terdesak, ia berbalik mendesak. Ia berpendirian: "Untukku, In Loei menghadapi bencana, karenanya, tak dapat aku membiarkan dia terancam, mana boleh aku hidup sendiri?.....” Hek Moko tertawa terbahak-bahak. "Apakah kamu berdua, bocah-bocah, berniat angkat kaki?" katanya secara mengejek. Lalu ia mencoba mendesak pula. Ia telah lihat In Loei berkelahi, ia percaya Pek Moko, saudaranya, tidak bakal kalah, dari itu, tabah hatinya untuk kedua pihak bertempur satu lawan satu. Selagi ia sendiri didesak, mendadak Thio Tan Hong dengar teriakan gembira dari In Loei. Nyata nona itu, setelah dia mendesak dengan dua serangannya, berhasil menikam kaki kiri dan kaki kanan dari si Hantu Putih, tidak peduli tikaman itu tidak membuatnya orang rubuh. Hek Moko pun mendesak, ia menyerang hebat, tapi tongkatnya kena disampok terpental, hingga ia jadi terkejut. Dalam sekejap itu, Tan Hong dan In Loei telah bekerja sama seperti juga mereka sudah berjanji. "Kurung mereka!" Hek Moko berteriak, sambil menganjurkan saudaranya: "Ambil jalan lie, injak jalan soen!" "Lie" dan "soen" adalah garis Patkwa, Delapan Segi, garis-garis mana sudah dicangkok ilmu silat untuk tindakan kaki. Ilmu silat tongkat dari Hek Pek Moko, yang dinamakan "Thianmo Thung" atau tongkat "Hantu Langit" juga bisa dipakai bersilat secara bergabung, jadi mirip dengan ilmu pedangnya Tan Hong dan In Loei itu. Ilmu silat ini berpokok pada garis-garis dari Patkwa, maka juga Hek Moko perdengarkan anjurannya itu kepada saudaranya. Biasanya dengan kurungan ini, kedua hantu itu sukar membuatnya musuh lolos, tidak peduli lawan ada tangguh. Mereka berdua ada saudara-saudara kembar, yang hatinya atau firasatnya sama. Pek Moko tahan rasa sakitnya, ia turut anjuran saudaranya, ia maju untuk mengurung, malah ia berlaku bengis dengan serangan-serangannya. Pertempuran ini membikin mata ke empat saudagar permata menjadi seperti kabur, mereka ini menonton dengan tubuh seperti terpaku. Hek Moko menyontek dengan tongkatnya ke arah tenggorokan In Loei. Ia gunakan tipu silat tongkatnya yang bernama "Thianmo hiantjioe" atau "Hantu Langit menyuguhkan arak," habis mana ia meneruskan tusukannya ke lain arah. In Loei mainkan tipu-tipu silat dari Pekpian Hian Kee Kiamhoat untuk menghindarkan diri dari mara bahaya, mula-mula dengan "Totjoan imyang" atau "Memutar balikan imyang," ia tangkis sontekan itu, lalu ia balas mendesak penyerangnya itu. Tapi Hek Moko dapat selamatkan diri berkat pengalamannya. Di pihak lain, Pek Moko telah menghajar Thio Tan Hong dengan tongkatnya, apamau, Tan Hong menangkis, demikian keras, hingga kedua senjata beradu sambil perdengarkan suara nyaring. Begitu rupa bergeraknya pedang orang she Thio ini, hingga terus menyambar ke arah lehernya Hek Moko! Si Hantu Hitam terkejut terpaksa ia biarkan In Loei, ia segera tangkis pedang ke arah lehernya itu. Ia ada cukup sebat untuk menghindarkan diri dari serangan yang tidak disangka-sangka itu. Setelah ini, ia geser tubuhnya ke garis "kian," sedang Pek Moko menyamping ke garis "twee". Secara begini, kedua saudara ini bisa berbareng menyerang Thio Tan Hong. "Celaka !" teriak Thio Tan Hong, yang belum sempat perbaiki dirinya. Akan tetapi berbareng dengan itu, In Loei telah siap, dengan tangkisannya, hingga dapat ia talangi kawannya itu, hingga Tan Hong jadi bebas dari ancaman. Malah setelah itu, dengan bergeraknya kedua pedang, adalah Hek Pek Moko yang menjadi repot. "Bagus!" teriak In Loei, air muka siapa menjadi bercahaya terang. "Sepasang pedang telah bergabung, benar liehay!" Dan kembali ia menyerang, ditimpali serangannya Tan Hong, hingga kedua pedang bergerak-gerak bagaikan "naga lincah," sampai kedua hantu itu mesti berulang-ulang mundur! Thio Tan Hong merasa sangat heran, ia menjadi bercuriga, ketika ia mengawasi si nona, yang ia lirik, In Loei tertawa. "Lihat!" kata "pemuda" itu. "Bukankah tidak kecewa aku menjadi pelindungmu? Tak dapat kita memberi ampun, mari kita maju bersama!" Luar biasa gembiranya nona ini, hingga ia ucapkan kata-kata "maju bersama" dalam arti "pundak rata," ialah kata-kata kaum kangouw yang ia perolehnya dari Tjioe San Bin. Tan Hong kaget dan heran, ia juga merasa lucu. Tapi ia turut anjuran orang, ia ulangi desakannya, karena mana, Hek Pek Moko mesti keluarkan seluruh kepandaiannya guna membela diri mereka, walaupun demikian, tetap mereka kena dibikin repot. "Bagus, bagus!" berkata Tan Hong kemudian. "Dengan kita bekerja sama, benar-benar kita ada bagaikan batu permata yang digabung menjadi satu!" Mendengar kata-kata orang itu, In Loei terkejut hingga tanpa merasa, wajahnya menjadi merah. Tapi ketika ia tampak Tan Hong tertawa bergelakgelak dan pedangnya dimainkan hebat sekali, ia tidak dapat anggapan jelek mengenai kawan ini, sebab nyata si kawan bukannya hendak berlaku ceriwis menggoda ia. Sambil tertawa, Tan Hong terus mengawasi Hek Pek Moko, yang ia rangsek. Kedua hantu berkelahi dengan ambil kedudukan Patkwa, kalau tadinya mereka menang di atas angin, sekarang setelah kedua pedang "bergabung menjadi satu," mereka terus terdesak, mereka jadi repot sekali, hingga mereka kewalahan melayani runtunan serangan lawan. Sangat rapi desakan In Loei dan Tan Hong, ke kiri dan ke kanan, ke atas dan kebawah, semua serangan mereka ada hubungannya satu dengan lain, pedang mereka bergerak-gerak bergelombang, saling susul, naik dan turun. Heran Hek Pek Moko, tidak peduli mereka telah luas pengalamannya, mereka umpama kata menjadi bengong dengan mulut ternganga. Maka itu tidak heran kalau Pek Moko kembali terkena satu tusukan, dan Hek Moko kena dipapas gelang emasnya untuk menggelung rambutnya. Akhir-akhirnya Hek Moko menghela napas panjang, ia kata: "Ini dia yang dikatakan tua bangka umur delapan puluh tahun kena dipermainkan bocah cilik..... Sudah, sudahlah!" Lantas saja, dengan mendadak, ia tarik Pek Moko, untuk diajak lompat keluar kalangan, sedang tongkatnya, ia lintangkan. Ia pun terus berseru: "Kamu menang! Tempat ini dapat kamu kuasai!" Kata-kata ini disambung dengan seruan yang panjang, sesudah mana mereka, berikut kedua wanita Iran dan tukang belinya, begitu juga si empat saudagar permata, yang mukanya pucat pasi, tanpa berkata suatu apa, terus saja ngeloyor keluar dari kuburan itu. Thio Tan Hong tertawa. "Dua saudara itu benar-benar ada orang-orang aneh!" katanya. "Sayang mereka tak dapat dihitung sebagai orang-orang gagah! Eh, saudara kecil.....” Baharu ia hendak tanya In Loei, atau ia terhenti karena kupingnya segera mendengar suara meringkiknya kuda di luar pintu kuburan, menyusul mana kedua kuda mereka, bergantian lari masuk ke dalam kuburan. Sebab Hek Pek Moko menepati janji, mereka sudah mengobati kedua kuda itu, yang terus mereka lepas untuk dikembalikan kepada pemilik-pemiliknya. Kuda putih yang masuk terlebih dahulu, berjingkrakan, dia jilati majikannya. In Loei segera hampiri kudanya, untuk diusap-usap lehernya. "Kudaku yang baik, kau disiksa makhluk aneh itu!..... katanya. "Eh, toako....." Ia berhenti dengan tiba-tiba, sedang sebenarnya hendak ia tanya Thio Tan Hong dari mana dia dapatkan ilmu silat pedangnya itu. Ia berhenti karena tibatiba saja ia rasakan dadanya sesak. Thio Tan Hong berpaling dengan segera, hingga ia tampak muka orang. Ia kaget. "Eh, saudara kecil, apakah tadi kau kena terpukul tangannya Pek Moko?" ia tanya. "Jangan, jangan kau bicara.....” In Loei mengerti, ia manggut. "Lekas empos napasmu!" Tan Hong berkata pula. "Nanti aku obati kau! Kau telah terluka di dalam.....” Ia lantas ulur tangannya. Dengan tiba-tiba, In Loei geser tubuhnya, ia berbalik, ia menggeleng-gelengkan kepala, habis itu, ia terjatuh duduk, terus ia muntahkan darah. "Tak usah!" katanya. "Aku dapat mengobati diriku." Thio Tan Hong tercengang, tapi segera ia tertawa. "Saudara kecil, sampai saat ini apa kau masih hendak kukuhi pantanganmu?" katanya. "Kau tahu, sejak siang-siang aku telah melihatnya!.....” Merah mukanya In Loei, akan tetapi segera ia singkap kopiahnya, hingga terlihat rambutnya yang panjang dan gompiok. "Sebenarnya tak selayaknya aku mendustai kau, toako," katanya, malu. "Memang aku ada seorang perempuan....." Tan Hong bersenyum, tapi ketika ia berkata, ia bersungguh-sungguh. "Kita cocok satu dengan lain, kita dapat bersahabat, karenanya untuk apa kita ambil mumat bahwa kita ada pria atau wanita?" katanya. "Saudara kecil, apakah benar kau masih tetap berpandangan cupat sebagai mereka yang kebanyakan?" Melihat sikap orang itu, In Loei bersenyum. Tan Hong itu tidak ceriwis. Walaupun demikian, di dalam hatinya, masih hendak ia katakan: "Bukankah kita masih belum kenal baik riwayat masing-masing?" Tan Hong awasi nona itu, ia bersenyum. Kemudian ia goyangkan tangannya. "Saudara kecil," katanya, "aku tahu dalam kalbumu masih ada kesangsian, seperti aku. Aku berniat untuk menanyakan kau beberapa hal. Tapi sekarang kau tengah terluka, tidak selayaknya kau banyak bicara. Biarlah nanti kita bicara pula, lagi tiga atau lima hari. Kau setuju, bukan?" In Loei manggut, tapi tidak membuka mulut. Kembali Tan Hong bersenyum. Ia terus awasi si nona. "Saudara kecil," katanya pula, "bagaimana lukamu? Bagaiman itu harus disembuhkannya? Seharusnya aku mesti omong terus terang padamu." In Loei tersenyum, kembali ia manggut. Ia bungkam akan tetapi di dalam hatinya, ia pikir: "Ini engko polos sekali, aku cocok dengannya. Cuma, mengapa ia selalu bersenyum?" Tan Hong tidak tunggu orang membuka mulutnya, ia berkata pula: "Aku lihat lukamu ini disebabkan Pek Moko telah berhasil menggempur urat tjeksim hiat di bebokongmu, karenanya napasmu jadi tak jalan lancar, hatimu terasa panas, muka dan matamu merah, nadimu berdenyut keras. Inilah luka di dalam, yang dilihat dari luar nampaknya enteng tetapi sebenarnya berbahaya, jikalau tidak lekas disembuhkan, jalan napasmu bisa terganggu untuk selamanya, hingga akhirnya, jikalau orang tidak menemui ajalnya pasti ia akan bercacat seluruhnya. Sukur untukmu, kau mempunyai dasar Iweekang yang baik, dapat kau bantu dirimu dengan menyalurkan napasmu perlahan-lahan dan beraturan. Saudara kecil, akan aku bantu kau dengan samim dan samyang." "Engko ini ada luar biasa," pikir In Loei, tanpa menjawab perkataan orang. "Kemarin ini dia menangis dan tertawa tidak keruan juntrungannya, aku sangka dia orang aneh yang tengah menjelajah di tengah-tengah masyarakat, akan tetapi sekarang dia bicara perihal luka di dalam, nampaknya ia kenal baik ilmu kethabiban. Apakah benar ia pandai segala apa?" Habis bicara, Tan Hong berhenti sebentar, terus ia tertawa. "Aku hendak mohon sesuatu dari kau!" katanya kemudian. "Silakan, toako," sahut In Loei dengan perlahan. Kembali Tan Hong tertawa. "Saudara kecil, permintaanku adalah ini," ia kata, "Waktu aku mengobati kau, kau mesti melupakannya bahwa aku adalah pria, begitu juga kau, kau mesti melupakan dirimu adalah wanita! Sanggupkah kau berjanji?" In Loei berpikir: "Dia hendak bantu aku dengan samim dan samyang, itu artinya tak dapat tidak, ia mesti meraba-raba tubuhku..... Tapi kita telah "angkat saudara," apakah halangannya untuk itu? Kenapa dia masih mengatakan demikian?"..... Lantas ia bersenyum ia awasi pemuda itu. Thio Tan Hong pun awasi si nona, kedua matanya bersinar jeli, wajahnya tersungging senyuman. Menampak itu, malu In Loei, hingga air mukanya menjadi merah dadu..... Tan Hong segera menoleh kesekitarnya. "Suasana di dalam lobang kubur ini mirip dengan Taman Bunga Toh," berkata dia, "tempat ini cocok untuk kau berobat dan beristirahat, cuma kedua kuda itu tak dapat berdiam bersama.....” Ia lantas perdengarkan satu seruan panjang, tangannya pun ditepuk. Menyusul itu kuda Tjiauwya Saytjoe ma, yang telah mengerti benar majikannya sudah lantas lari keluar. Kuda merahnya In Loei, yang sudah jadi sahabatnya kuda putih itu, sudah lantas turut lari keluar juga. Tan Hong melongok keluar kuburan, akan perhatikan letaknya pekuburan itu, habis itu ia masuk pula ke dalam, untuk menutup rapat pintunya. Sekarang ia perhatikan keadaan di dalam kuburan di mana terdapat ruangan tengah dan juga kamar. Pantas kuburan itu jadi kuburan raja-raja muda dari jaman Ahala Tjhin. Kemudian ia raba-raba sekitar tembok, ia ketok-ketok itu. Akhirnya, ia tertawa. "Ada kamar rahasia di sini!" katanya. Ia dongko, untuk menjemput sepotong batu panjang, dengan itu ia menekan pada tembok di mana ada ceglokan, terus ia memutar, ke kiri dan ke kanan. Sebentar saja, tembok itu bergerak, hingga di lain saat terbentanglah satu pintu rahasia, hingga sekarang tertampak sebuah ruangan dalam. Tanpa mensia-siakan tempo, Thio Tan Hong payang In Loei masuk ke dalam kamar rahasia itu di mana terdapat sinar terang bergemerlapan dari barang-barang permata, malah meja dan kursi terbuat dari batu kemala di atas mana tertumpuk barang-barang permata itu. Tan Hong tidak pedulikan barang berharga itu, ia sampok hingga jatuh ke tanah, lalu dengan kakinya, ia kumpulkan di pojok tembok. Sebaliknya, ia dudukkan In Loei di meja itu. "Meja ini hawanya adem, inilah baik untuk membantu menghisap hawa panas dari dalam tubuhmu," kata si anak muda, yang segera mulai dengan pengobatannya, bukan dengan makan obat, hanya dengan menguruti tangannya, dari lengan sampai ke jari-jari. Ia mulai dengan tangan kanan si nona. In Loei merasa aneh, belum lama ia diuruti, ia rasakan hawa panas mendesak ulu hatinya, setelah itu, hawa panas itu mereda dengan perlahan dan akhirnya lenyap, diganti dengan hawa dingin di seluruh tubuhnya. "Sekarang jalan darahmu telah kembali semua," kata Tan Hong, yang segera melepaskan tangannya, akan tunda urutannya. "Baiklah kau beristirahat supaya kembali kesehatanmu. Nanti aku mulai lagi." Dalam ruang itu ada tersedia pelbagai macam barang makanan, yang ditinggalkan pergi oleh Hek Pek Moko, maka Tan Hong dengan merdeka dapat mendahar apa yang ia suka. Ia pun minum banyak, habis mana, tanpa merasa, ia bernyanyi seorang diri. Ia nyanyi tentang peperangan, perihal manusia tak dapat hidup untuk selama-lamanya. "Ya, kalau nanti bangsa Mongolia menerjang masuk, kita semua baik pria maupun wanita, anak-anak, semua mesti angkat senjata," In Loei perdengarkan suaranya. "Kalau kita berkorban untuk negara, biar kita mati, tidaklah nama kita hidup untuk selama-lamanya?....." Menggetar tubuh Tan Hong mendengar pengutaraan itu, tanpa merasa, isi cawan di tangannya tumpah. Lekas-lekas ia berpaling. "Saudara kecil kau beristirahat, jangan kau bicara!" ia kata. "Aku telah minum sampai aku lupa akan diriku, hingga aku mengganggu kau. Saudara, terus kau tenangkan dirimu." "Tetapi, toako, katakanlah, benar atau tidak kata-kataku itu?" In Loei tanya. Tan Hong ceguk araknya. "Benar, benar," sahutnya. "Sudah saudara kecil, kita bicara lagi nanti saja. Teruskan istirahatmu." In Loei berdiam, tetapi hatinya berpikir. Ia dapat kesan yang baik terhadap mahasiswa ini. Ia hanya merasa aneh, agaknya orang berduka mendengar disebutnya Mongolia, kalau bangsa Mongolia menerjang Tionggoan. Maka itu, ia terus awasi anak muda ini. Tan Hong lihat sikap orang, ia menghampiri. "Saudara kecil," katanya, sebenarnya ingin aku bicara dengan kau nanti sesudah kau sembuh, akan tetapi nampaknya kau kurang puas, kau rupanya masih tidak mengerti. Kau tahu, dengan banyak berpikir, istirahatmu bisa terganggu. In Loei tunduk. "Kau benar," sahutnya, perlahan. "Tetapi lukamu melarang kau banyak bicara," Tan Hong menyatakan pula. "Kau harus mengerti, soal-soal yang akan kita perbincangkan tak dapat diakhiri dalam tempo pendek. Sekarang begini saja. Sekarang kau lanjutkan istirahatmu, sebentar waktu kita bersantap malam, nanti aku ceritakan sebuah dongeng padamu. Kau tahu, dalam satu hari, kau mesti dahar satu kali saja, di waktu malam. Menurut dugaanku, setelah tiga hari kau akan sembuh seluruhnya. Maka itu, dengan setiap hari aku dongeng satu kali, di hari ke empat, kau akan sudah sehat kembali seperti sediakala. Sampai waktu itu, saudara kecil, nanti kita saling menuturkan riwayat kita masing-masing. Saudara, jikalau kau tidak dengar kata-kataku ini, maka dongeng pun tak nanti aku tuturkan kepadamu. Nah, cukup sudah, sekarang aku larang kau bicara lagi! Lekas kau bersemedhi!" Di mata In Loei, sinar matanya Thio Tan Hong seperti mempunyai pengaruhapa apa. Ia ingat, semasa kecilnya, setiap malam, waktu ia mau tidur, ibunya selalu mengeloni ia di pembaringan, ibu itu menyanyikan sebuah lagu Mongolia, untuk menidurkan ia. Tak dapat ia lupakan sinar mata halus dan menyinta dari ibunya itu. Dan sekarang, mata Tan Hong itu bersinar bagaikan mata ibunya itu. Ia juga ingat sinar mata kakeknya setiap kali kakek itu memberi pengajaran kepadanya, sekarang sinar matanya Tan Hong mengingatkan ia kepada sinar mata kakek itu. Sinar mata Tan Hong ini menjadi halus dan keren, keren tak dapat ditentang. Dan In Loei, tanpa ia merasa, ia bagaikan kena terpengaruh, hingga hatinya menjadi tenang dan lantas saja ia beristirahat. Sudah diketahui, kuburan itu "menyender" pada gunung, maka juga samping lainnya dari kamar rahasia itu adalah lamping gunung, lamping yang batunya licin dan mengkilap bagaikan kaca. Di sebelah atas, atau bagian wuwungan ruang rahasia itu, ada dua lobang yang merupakan lobang angin, dari situ hawa udara menerabus masuk. Sedang di tembok, yang menghadapi pintu, ada dipayang sebuah kaca kecil dari kuningan. Dari kaca ini orang di dalam dapat memandang keluar, sebaliknya, dari luar, orang tak dapat melihatnya. Ketika itu sinar matahari sudah menebus lobang di wuwungan itu, melihat bayangannya, bisa diduga sang waktu sudah lewat tengah hari. Adalah waktu itu dengan tiba-tiba terdengar satu suara dari luar, suara seperti orang membongkar pintu. Karena pintu bekas digempur, dengan hanya membongkar landasannya saja, pintu itu dengan mudah dapat dibuka. In Loei dengar tegas suara itu, ia memasang mata kepada kaca. Ia tampak satu bayangan orang, samar-samar ia seperti kenal bayangan itu, bayangan dari satu nona. Segera tergeraklah hatinya. Dengan tangan bajunya, ia gosok kaca itu, hingga di lain saat, dapatlah ia melihat lebih jelas. Hampir saja ia menjerit keras. Nona itu tidak lain daripada Tjio Tjoei Hong gadisnya Hongthianloei Tjio Eng. Bagaikan orang meraba-raba, Tjoei Hong bertindak masuk. "In Siangkong1. In Siangkong1." ia memanggil-manggil. In Loei tertawa di dalam hati. "Kita bersuami isteri hanya setengah malaman, siapa sangka ia pikirkan aku begini rupa," demikian pikirnya. Ia terus memasang mata. Ruang kuburan itu guram, tiba-tiba berbareng dengan suara tekesan, api telah menyala. Tjoei Hong, yang menyalakan api. Ketika ia tampak dua belas batang lilin, segera ia sulut itu semua, hingga di lain saat, ruangan jadi terang bagaikan siang. Karena ini, pada kaca di dalam kamar rahasia, terlihat tegas wajahnya Nona Tjio. Menampak roman orang, In Loei terkejut. Beberapa hari saja ia berpisah dari nona itu, atau sekarang si nona telah menjadi sangat perok dan kumal. Masih In Loei mengawasi kepada kacanya. Ia lihat Tjoei Hong jalan mondarmandir di ruang besar, rupanya si nona tengah mencari dia. Tiba-tiba nona itu berjongkok, lalu menyusul tangisnya. Tjoei Hong telah mendapatkan tanda darah di tanah. Itulah tanda darah dari Pek Moko, yang terluka kena pedang. Rupanya si nona sangka, itu adalah darahnya In Loei, "suaminya." Ia tahu Hek Pek Moko ada langganan dari ayahnya, ia tahu juga liehaynya kedua hantu itu, maka ia menyangka, "suaminya" sudah terluka ditangan kedua langganan itu. Mungkin, kalau tidak terbinasa, suami itu terluka parah atau bercacat. Maka itu, ia jadi sangat berduka. Tak tega In Loei menyaksikan orang berduka, ia mau lompat turun, untuk membukakan pintu kamar rahasia, guna menemui. Tapi Tan Hong di sisinya menekan padanya. "Tidak peduli apa akan terjadi di luar, tak dapat kau perdengarkan suara!" si mahasiswa bisiki. Lalu dia tekan telapak tangan orang, untuk membantu si nona mengempos semangatnya, untuk membikin darahnya tetap berjalan dengan sempurna. Tjoei Hong menangis sekian lama, lantas dari sakunya ia keluarkan sepotong batu sanhu, terus ia letakkan di atas meja. Itulah batu yang merupakan tanda mata dari In Loei. Berulang kali ia raba batu itu, setiap kali ia menangis pula. "Adik, adik, aku sangat bersengsara.....” keluh si nona kemudian. In Loei dengar itu, ia merasa kasihan. "Entjie, aku belum mati, aku belum mati," ia menjawab dalam hatinya. Tentu sekali Tjoei Hong tidak dengar itu, ia masih menangis pula. Habis menangis, tiba-tiba Nona Tjio hunus golok yang tergantung dipinggangnya, dengan itu ia mengancam ke udara. "Adik Loei!" ia berseru, "tidak peduli bagaimana lihaynya kedua hantu itu, akan aku minta ayah membalaskan sakit hatimu ini!" Ia jalan beberapa tindak, mendadak ia berjongkok pula. Dari tanah ia pungut dua buah gelang emas. Itulah gelang rambut Hek Moko, yang kena dipapas Thio Tan Hong. Ia awasi gelang itu dengan mendelong. "Ah, apakah benar hantu itu tidak mendustai aku?" katanya seorang diri. Gelang itu ia balikbalikkan, terus ia awasi. Kembali ia bengong. Malam itu seberlalunya In Loei, Tjoei Hong menyusulnya dengan menunggang kuda, di tengah jalan, ia berpapasan dengan Hek Pek Moko, ia tanya kedua hantu itu apa mereka melihat satu anak muda, roman siapa ia petakan. Ia lukiskan potongan tubuh In Loei serta wajahnya. "Siapa dia itu?" tanya kedua hantu itu sambil tertawa dingin. Tjoei Hong berikan keterangannya, atas mana, Hek Moko perdengarkan suara dihidung: "Hm!" Terus dia berkata: "Bagus, keponakanku yang baik, kau telah mendapatkan pasangan yang bagus sekali, ilmu silatnya pun tak ada celanya!" Nona Tjio heran, ia terkejut. "Bagaimana kau ketahui itu?" tanyanya. Kembali Hek Moko tertawa dingin. "Dia telah menalangi kau memenangkan sejumlah harta besar!" sahutnya, tetap dingin. "Semua bandaku di sini telah terkalahkan olehnya! Hongthianloei telah mendapatkan baba mantu semacam dia itu, sungguh, bolehlah dia mencuci tangan, tidak usah dia teruskan pekerjaannya!" Tjoei Hong bertambah kaget. "Apa? Dia berani tempur kamu?" ia tanya, menegaskan. Hek Moko mengawasi dengan sinar mata bengis. Ia menyangka si nona hendak mempermainkan dia. Tapi ia tidak gubris pertanyaan itu, dengan tetap masih mendongkol, ia ajak Pek Moko melanjutkan perjalanan mereka. Tjoei Hong tahu kuburan yang menjadi istana kedua hantu itu, ia langsung menuju ke sarang orang itu. Tidak pernah ia bermimpikan bahwa In Loei dapat mengalahkan Hek Pek Moko. Maka itu, mendapatkan gelang kepala itu, ia menjadi bersangsi. Hek Pek Moko ada sangat liehay, tidak bisa jadi mereka terkalahkan In Loei.....” katanya di dalam hatinya. "Akan tetapi Hek Pek Moko ada orangorang kenamaan yang jujur, tidak nanti mereka mendustai Sebenarnya, apa yang telah terjadi? Mungkinkah ada lain orang yang mencelakai adik Loei?.....” Ia bersangsi pula, kekuatirannya tak segera lenyap. Ia menduga, darah itu ada darahnya In Loei. Tengah ia berpikir keras, ia dengar meringkiknya kuda di luar kuburan, menyusul mana ia tampak satu anak muda bertindak masuk dengan sebelah tangannya menuntun seekor kuda merah. Ia kenali, itulah kuda In Loei. Bahna kaget dan heran, hampir ia berseru. Anak muda itu tidak lain daripada Tjioe San Bin puteranya Kimtoo Tjeetjoe, dia tengah menerima titah ayahnya untuk suatu tugas, kebetulan dia dapat endus halnya In Loei, selagi lewat di tempat itu, dia tampak kuda orang — yang asalnya adalah kuda tunggangnya sendiri — maka dia lantas tuntun kuda itu. Dan kuda itu lantas perdengarkan suaranya, seperti juga ia hendak memberitahukan bekas majikannya ini bahwa majikannya yang baharu berada di lobang kubur itu. San Bin heran, apabila ia ingat pekuburan itu adalah sarangnya Hek Pek Moko, kedua hantu yang aneh itu. Tanpa merasa ia keluarkan keringat dingin. Tapi ia tidak takut, maka sambil menuntun kuda merah itu, ia bertindak masuk ke dalam pekuburan. Ia tampak sinar terang dari api, ia tidak lihat seorang juga, ia menjadi heran dan ragu-ragu. Ia maju terus. Di saat ia pikir untuk buka suara, untuk memanggil-manggil, tiba-tiba ia tampak satu nona dengan rambut terurai muncul dari pojok yang gelap, dan dengan goloknya, mendadak nona itu lompat membacok padanya. Tjoei Hong menjadi sangat bingung dan ber-kuatir, ia tengah bersedih, pikirannya jadi seperti waswas, maka itu, begitu melihat kuda In Loei, ia sangka San Bin ada seorang penjahat, tanpa sangsi lagi, ia lompat menerjang. San Bin terkejut, dia lompat berkelit. Tjoei Hong bagaikan kalap, gagal dalam ba-cokannya yang pertama, ia susul itu dengan yang kedua. San Bin menjadi berkuatir, terpaksa ia hunus goloknya, untuk menangkis. Tjoei Hong membacok untuk ketiga kalinya, lalu untuk ke empat kalinya. "Hai, tahan!" seru San Bin. "Kita tidak bermusuh, kenapa kau bokong aku?" Setelah serangannya yang ke empat kali itu, Tjoei Hong mulai heran, di dalam hatinya, dia kata: "Kelihatannya kepandaian orang ini berimbang dengan kepandaianku, mana pantas dia jadi lawannya In Loei?" Tapi ia masih membacok lagi dua kali, membacok dengan sia-sia, setelah itu, ia menegur: "Binatang, lekas kau bicara! Dari mana kau dapatkan kuda merah ini?" Ditanya begitu, San Bin mendadak tertawa. Ia lompat kepada kudanya, yang tadi ia lepaskan dari tuntunannya, ia usap-usap kuda itu. "Kuda ini asalnya kudaku, untuk apa kau tanyakan?" ia balik menanya. Kuda merah itu diam saja diusap-usap, ia tunjukkan kejinakannya terhadap bekas majikannya itu, ia seperti mau hunjuk, San Bin tidak bicara dusta. Tjoei Hong telah perdengarkan suara "Hm!" dan pedangnya sudah digerakkan pula, baharu ia mau lompat, atau ia membatalkannya. Ia dengar pertanyaan orang, ia saksikan kelakuan kuda itu, ia heran. "Aku tahu kuda merah ini binal, kenapa dia sekarang jadi begini jinak?" demikian ia berpikir. Selagi orang berdiam, San Bin mengawasi ke sekitarnya. Ia lantas lihat sepotong sanhu di atas meja, ia terkejut, hingga wajahnya berubah, dengan cepat ia lompat maju, untuk mengambil batu permata itu. Tjoei Hong lihat gerak-gerik orang, dia lompat, untuk mencegah. "Kau hendak bikin apa?" dia tegur dengan bengis. "Hai, kau sendiri hendak bikin apa?" San Bin baliki. Si nona tertawa dingin. "Adakah sanhu itu kepunyaanmu?" dia tanya. San Bin tertawa, dia melengak. "Bicara terus terang, sanhu ini ada kepunyaanku!" ia jawab. Lalu dengan bengis, dia membentak: "Orang perempuan, lekas kau bicara terus terang! Dari mana kau peroleh batu ini? — kau mencuri atau merampas?" Memang sanhu itu adalah tanda mata dari San Bin kepada In Loei, dan In Loei telah memberikannya kepada Tjoei Hong. Menampak batu itu, pasti sekali San Bin heran dan bercuriga. Tjoei Hong murka sekali, ia merasa diperhina. Ia lompat dan membacok tanpa mengucap sepatah kata juga. Kali ini San Bin menangkis tanpa segan-segan lagi, dia telah menggunakan tenaga besar, hingga golok Tjoei Hong tertangkis hampir terpental. Dalam sengitnya si nona bergerak dengan lincah, sesaat saja, ia telah berada di belakang si anak muda. San Bin ketahui gerakan orang, ia mendahului membacok ke belakang sambil ia putar dirinya, atas mana, Tjoei Hong menangkis. Maka di situ, mereka jadi bergebrak, sekarang secara sungguh-sungguh, sebab mereka saling membalas, bukan seperti tadi, San Bin hanya, menangkis dan main berkelit. In Loei dari tempat sembunyinya menyasikan pertempuran itu, ia menjad gelisah sendirinya, hingga tidak dapat ia tenangkan diri, untuk bersemedhi terus. Thio Tan Hong gunakan kedua tangannya, guna menekan telapakan tangan si nona, sambil berbuat begitu, ia bisiki: "Jangan kau sibuk tidak keruan! Mereka berdua tidak akan dapat menangkan satu dari lain. Apakah kau kenal anak muda itu?" In Loei manggut. Tiba-tiba ia ingat halnya Tan Hong merobek bendera Djitgoat Kie, maka ia awasi pemuda itu sambil mendelik. Sikapnya membikin pemuda itu heran. Pertempuran antara Tjoei Hong dan San Bin berjalan terus, sebentar saja sudah melalui tiga puluh jurus lebih. Benar seperti dugaannya Thio Tan Hong, tidak ada satu yang kalah atau menang. Kalau si anak muda kuat tenaganya, adalah si nona lincah tubuhnya. Tjoei Hong telah membacok pula, habis mana, dia tanya: "Kau kata sanhu itu ada kepunyaanmu, dapatkah kau membuktikan?" San Bin tertawa terbahak pula. "Kiranya pembegal, kau pun tidak tahu apa-apa" katanya. "Coba kau periksa itu, lihat di bawah daun yang ketiga. Tidakkah di situ ada ukiran satu huruf Tjioe?" Tjoei Hong menyayangi sanhu itu, ia bulak balikan entah berapa ratus kali, tidak heran kalau ia tahu benar adanya ukiran huruf itu ia menjadi heran atas pertanyaan si anak muda, ia tanya dalam hatinya, kenapa In Loei memberikan ia tanda mata yang berukiran huruf "Tjioe" itu? Tapi ia cerdas, dengan lekas ia sadar. Maka ia lompat keluar kalangan. "Eh, bukankah kau ada saudara angkat dari In Loei?" ia tanya. San Bin terkejut saking heran ia pun mundur. "Jikalau kau tahu aku ada saudara angkat dari In Loei," dia tanya, "kenapa kau tidak tahu bahwa sanhu ini akulah yang memberikannya kepadanya?" Teringatlah Tjoei Hong pada saat-saat malam pengantin, waktu itu In Loei seperti tak henti-hentinya menyebut nama saudara angkatnya itu. Maka itu, tanpa merasa, ia lirik anak muda ini. San Bin kalah cakap dari In Loei, tapi romannya gagah, ini dapat lantas dilihat oleh nona Tjio. Selagi orang lirik padanya, ia pun melihat si nona, maka sinar mata mereka bentrok satu pada lain. Ia tampak wajah si nona bersemu dadu. "Foei!" berseru si nona dalam hatinya, menyusul mana, ia mendongkol terhadap In Loei. Tentu sekali, San Bin tidak ketahui apa yang si nona pikirkan itu. "Aku adalah saudara angkat dari In Loei, habis kau mau apa?" tanya pemuda ini kemudian. "Lekas kembalikan sanhu itu kepadaku!" "Tidak!" teriak Tjoei Hong. "Ah, bangsat perempuan," kata San Bin, "Kau sendirian saja, berani kau memikirkan untuk membegal barangku?" "Apa, barangmu?" bentak Nona Tjio. "Sanhu ini ada tanda mata dari In Loei untukku! Jikalau aku tidak pandang saudara In Loei, tentu aku sudah bacok belah tubuhmu!" Untuk sesaat, San Bin melengak. "Tanda mata?" dia ulangi. "Pernah apakah kau dengan In Loei?" "Ia adalah suamiku!" sahut Tjoei Hong. "Tak takut aku mengatakannya ini kepadamu" Dengan sekonyong-konyong San Bin tertawa terbahak-bahak. Dengan lantas, ia ingat yang In Loei tengah menyamar, sebab sendirian dia mesti pergi ke kota raja. Tentu sekali, nona itu mesti merahasiakan dirinya. Rupanya, sampaipun terhadap nona ini, dia tidak membuka rahasia. "Maka aku, baiklah aku juga tidak membuka rahasianya itu, segera ia dapat pikiran. Maka itu, sehabis berpikir demikian, ia berhenti tertawa. Ia pun lantas tanya: "Nona, kau she apa dan namamu siapa? Kapan kau menikah dengan saudara In Loei?" Tjoei Hong tidak jengah, dia malah mendongkol. Dengan cekal keras goloknya, dia mengawasi dengan bengis. "Hongthianloei Tjio Eng adalah ayahku!" sahutnya denga nyaring. "Kami menikah tiga hari yang baru lalu. Kenapa, apakah putrinya Tjio Eng tidak sepadan untuk adik angkatmu itu?" Di luar dugaan si nona. San Bin masukkan goloknya ke dalam sarungnya, ia lantas angkat kedua tangannya, untuk memberi hormat. "Teehoe, harap kau tidak gusar," dia berkata. "Sebenarnya tidak ada maksudku untuk mempermainkan kau! Apakah Tjio looenghiong baik?" "Baik" sahut si nona dengan suara yang menyatakan ia masih mendongkol. "Kamu telah menikah tiga hari, adakah selama itu kamu berdiam di Tjio keetjhoeng?" San Bin tanya pula. Dia tidak mau tanya langsung tentang malam pengantin, dia gunakan kata-kata kiasan. "Malam itu dia kejar seorang penjahat berkuda putih, sejak itu tidak ada kabar kabarnya lagi." sahut Tjoei Hong. Terkejut San Bin mendengar keterangan ini. Dia membuat perjalanan justeru karena penjahat berkuda putih itu. "Apakah penjahat itu satu pemuda berkuda putih yang romannya sebagai mahasiswa?" dia tanya, menegaskan. "Belum pernah aku lihat romannya." jawah Tjoei Hong. "Kuda putihnya hebat sekali bukan?" San Bin masih menanya. "Betul." si nona sahuti. "Kuda pilihan dari Tjio keetjhoeng tidak sanggup mengejar kuda putih itu....." "Kalau begitu, mari lekas antar aku kepada Tjio looenghiong,'1 kata San Bin. "Hendak aku lepaskan panah Loklim tjian untuk membekuk penjahat berkuda putih itu! Ah, jangan-jangan In Loei telah kena dicelakai pengkhianat itu!.....” Tjoei Hong terkejut, juga In Loei yang berada di dalam kamar. Nona Tjio kuatirkan dugaan San Bin itu benar, sedang In Loei kuatir anak muda ini benarbenar melepaskan Loklim tjian, ialah "panah Rimba Persilatan" suatu cara paling cepat untuk menyampaikan berita. Ia pun kuatir si mahasiswa benarbenar ada satu pengkhianat. "Pengkhianat?" kata Tjoei Hong. "Yang aku ketahui dia adalah satu penjahat tukang rampas di antara penjahat, cuma ayah menyangkalnya. Pernah aku Tanya ayah, siapa dia, tetapi ayah tidak hendak menerangkannya, malah sebaliknya, ayah seperti menghormati dia. Betul-betul aku heran.....” San Bin tertawa dingin. "Tentang dia? Hm!" Tapi orang she Tjioe ini tidak dapat melanjutkan perkataannya. Bayangan tampak berkelebat di pintu kuburan, lalu terlihat bertindak masuknya satu orang. In Loei terperanjat apabila ia sudah pandang muka orang yang baharu datang ini. Ia kenali orang, itu adalah si orang Tartar, si bangsat dengan siapa ia pernah bertempur di luar kuil tua pada malam itu. Dia itu adalah muridnya Tantai Mie Ming. Ketika Tjioe San Bin sudah melihat tegas, ia lompat sambil membacok, mulutnya pun mengucapkan: "Orang Tartar bernyali besar! Kau telah nyelundup ke Tionggoan, kau hendak berbuat apa?" San Bin segera kenali musuh negaranya, sebab Tantai Mie Ming bersama muridnya itu pernah membawa pasukan tentara menyerang Tjioe Kian dan dia pernah bertempur dengan musuh ini. Murid Tantai Mie Ming itu, yang bernama Katalai, begitu dia masuk ke dalam pekuburan, lantas dia memanggil dengan suara keras: "Thio Siangkong1." Dia kaget apabila tiba-tiba dia dibentak dan diserang. Akan tetapi dia tabah dan sebat, maka dia sempat mencabut sepasang gaetannya, untuk dipakai menangkis, hingga kedua senjata bentrok keras, suaranya nyaring. "Apakah kau telah membunuh Thio Siangkong?" tanya Katalai dengan bentakannya. "Sekalipun kau, hendak aku mencingcangnya!" jawab San Bin, sengit, kembali dia membacok. Katalai menangkis, lalu ia balas menyerang, maka dengan begitu, mereka jadi bertempur. Tapi orang Tartar itu menyerang hebat, ia sudah lantas mendesak, dari itu tidak lama, ia telah membikin San Bin kewalahan, sampai orang she Tjioe ini cuma bisa menangkis, tidak mampu ia membalas menyerang. Hingga pertempuran jadi tidak seimbang. Tjoei Hong berkuatir melihat pemuda itu bakal kena dikalahkan, di dalam hatinya, dia kata: "Toapeh ini kurang ajar akan tetapi mesti aku bantu dia!" Dengan sendirinya, ia akui orang sebagai toapeh-nya — paman dari pihak "suaminya." Maka lantas ia hunus goloknya, terus ia maju menerjang, hingga orang Tartar itu kena dikepung berdua. Dibanding dengan Katalai, Tjoei Hong kalah tenaga, akan tetapi dia menang enteng tubuh, dia jauh terlebih gesit, maka dengan andalkan kegesitannya itu, dapat ia berikan bantuan berharga pada San Bin, hingga San Bin tidak lagi terdesak, malah sesaat kemudian, keadaan jadi berbalik, Katalai adalah yang kena didesak mereka itu. Katalai tahu diri, selagi berkelahi, dia berseru keras, sepasang gaetannya juga bekerja, untuk menyerang dengan hebat kedua lawannya. Nyata ia telah gunakan siasat. Sebab begitu mendesak, dia lantas lompat mundur, dia putar tubuhnya, untuk segera lari keluar kuburan. San Bin lompat untuk mengejar, di belakang dia, Tjoei Hong menyusul, dari itu, sebentar saja, ketiga orang itu sudah lenyap dari kuburan. In Loei, yang menyaksikan pertempuran itu, goncang hatinya. Ia lantas angkat kepalanya, untuk memandang Thio Tan Hong. Justeru itu, si anak muda pun memandang padanya sambil bersenyum, agaknya dia hendak bertanya: "Kau lihat, adakah aku satu penghianat atau bukan?" In Loei sangat percaya Tjioe Kian dan putera-nya, coba ia tidak berada bersama Tan Hong selama beberapa hari, hingga ia dapat menyaksikan kelakuan orang, begitu mendengar ucapan "penghianat" dari San Bin, tentu ia sudah tikam pemuda di sisinya ini. Akan tetapi sekarang, pikirannya jadi berlawanan satu dengan lain. Tidak nanti San Bin lancang menuduh, tapi juga Tan Hong, tidak pantas dia menjadi penghianat bangsa. Selama bergaul rapat beberapa hari, dari "jemu", ia menjadi gemar bergaul dengan orang she Thio ini, malah agaknya ia menaruh penghargaan. "Dia baharu kembali dari Mongolia," demikian ia berpikir lebih jauh, "mungkin dia mirip dengan engkong-ku yang telah menyingkirkan diri dari negara asing, karena mana bangsa Mongolia jadi hendak membekuk dia kembali..... Mungkin karena itu, San Bin menyangka dia ada satu penghianat." Tidak lama In Loei berada dalam kesangsian, atau lantas ia dapat tenangkan diri. Begitulah ia bersenyum sendirinya. "Toako, aku percaya kau," katanya kemudian dengan perlahan. Wajah Tan Hong pun menjadi terang, nyata sekali ia gembira. "Hiantee," katanya, dengan perlahan, "seumurku, kau adalah sahabatku satu-satunya yang mengenal diriku. Sekarang lanjutkan semedimu. Malam ini hendak aku perdengarkan kau dongeng yang kesatu." Tan Hong bertindak keluar dari kamar rahasia, ia pergi menutup pintu depan, yang ia ganjal dengan dua potong batu besar yang panjang, hingga, tanpa tenaga seribu kati, sulit untuk orang membuka pintu kuburan itu. In Loei melanjutkan istirahatnya, semedinya. Ia rasakan darahnya mengalir dengan sempurna, ia merasa tubuhnya jadi sehat sekali. Waktu telah berlalu, tidak ada sinar terang lagi yang molos masuk dari sela-sela di atas wuwungan, itu tandanya bahwa sang magrib telah datang. Hek Pek Moko mempunyai persediaan barang makanan di dalam istananya itu, maka Thio Tan Hong bisa menyalakan api, untuk masak bubur, untuk memanaskan daging dan ayam. Lalu ia suguhkan makanan itu pada In Loei, hingga si nona menjadi bersukur sekali. Tan Hong mengawasi sambil bersenyum ketika ia berkata: "Kesehatanmu telah maju baik akan tetapi kau masih belum boleh bicara banyak. Kau Cuma harus dengarkan aku, tidak boleh kau banyak menanya. Sekarang hendak aku mulai dengan dongengku yang pertama. Nanti, setelah selesai aku ceritakan tiga dongengan, baharu aku tuturkan jelas tentang diriku kepadamu." -ooo0dw0ooo- BAB VII In Loei angkat kepalanya, akan pandang anak muda di depannya itu. Thio Tan Hong sudah lantas mulai dengan dongengnya: "Pada jaman dahulu maka adalah dua orang bersengsara yang bekerja sebagai tukang meluku sawah dari satu tuan tanah. Belakangan, karena malapetaka alam, hidup mereka jadi semakin sukar, hingga kesudahannya, yang satu menukar penghidupannya sebagai pengemis, yang satu lagi menjadi tukang selundup garam gelap. Kedua orang ini hidup sangat akur satu pada lain, hingga mereka mengangkat saudara. "Pada waktu itu, Tionggoan telah diduduki oleh bangsa asing. Karena ini penyinta-penyinta negara, yang hidupnya terpencar, bercita-cita membuat perlawanan. Juga kedua saudara itu berangan-angan besar, mereka mirip dengan Tan Sa dan Gouw Kong di jaman Liat Kok yang hendak merubuhkan kerajaan Tjin. Mereka angkat saudara dengan bertepuk tangan, mereka saling berjanji, apabila mereka berhasil dan menjadi orang besar, mereka tak akan melupai satu pada lain. "Berbareng dengan itu, bersama dua saudara angkat itu ada satu hweeshio. Dia berusia jauh terlebih tua daripada dua saudara itu, dia ajarkan mereka ilmu silat, maka itu, ia dipanggil guru. "Garam itu ada usaha negara, maka kalau rakyat membikin dan menjualnya dengan diam-diam, dia bakal ditangkap pembesar negeri dan dihukum mati. Apa mau si pengemis, si saudara muda, tidak berani bekerja sebagai kakak angkatnya itu, sebaliknya, dia pergi ke sebuah kuil di mana ia sucikan diri sebagai hweeshio. Apa celaka, datanglah musim paceklik, tidak ada dermawan yang menunjang kuil, telah kejadian, dari sepuluh hweeshio, tujuh atau delapan di antaranya mati kelaparan. Dalam kesukaran itu, si kakak, yang jadi penjual garam gelap, menunjang adik angkatnya ini. Karena sisa-sisa hweeshio bubar, si pengemis juga ikut merantau, ia pergi ke mana saja untuk hidup sambil menerima amal. "Belakangan, guru dari kedua saudara itu telah berhasil angkat senjata. Si adik, si hweeshio asal pengemis, turut mereka, gurunya itu, dia ikut dalam pasukan tentera. Dalam satu pertempuran besar si hweeshio guru lenyap tidak keruan paran, ada yang mengatakan dia terbinasa, ada yang mengatakan dia lolos dan kembali menuntut penghidupan sebagai hweeshio. Bagaimana sebenarnya, dengan hweeshio guru ini, pada akhirnya tak ada yang mengetahuinya. "Sekarang diceritakan tentang si tukang garam. Dia telah berusaha jauh sampai di Kangpak Utara, di sana dia dapat kemajuan hingga dia dapat mengumpulkan beberapa ratus pegawai. Dia pun lantas berontak, dia angkat dirinya sebagai raja. Selama beberapa tahun, dia terus berhasil, hingga pengaruhnya jadi tambah besar. Begitulah ia angkat dirinya jadi kaisar di kota Souwtjioe. "Beberapa propinsi di sepanjang sungai Tiangkang adalah wilayahnya raja bekas penyelundup garam ini, maka itu, ia gunakan pengaruhnya untuk mencari adik angkatnya. Sekian lama, tidak pernah ia peroleh hasil. "Sementara itu, kaum pergerakan muncul di sana-sini, di antaranya rombongan Pelangi Merah. Dia pun pengaruhnya besar. Dua tahun kemudian, Pemimpin Pelangi Merah itu telah menutup mata, dia digantikan oleh satu pemuda yang kosen, yang berhasil merampas pelbagai kota hingga daerahnya meluas di Tiangkang Selatan. "Kaisar di Souwtjioe itu terus mencari keterangan perihal adiknya, ia lantas dapat dengar, pemimpin Pelangi Merah itu sebenarnya berasal satu hweeshio. Ketika ia selidiki lebih jauh, ia dapat tahu, pemimpin itu benarlah ada adiknya, si pengemis yang masuk menjadi hweeshio. Tapi berbareng dengan itu, ia dengar juga lelakonnya adik ini. Katanya, ketika adik ini turut gurunya memberontak dan guru itu kalah, diam-diam dia telah jual gurunya pada pemerintah musuh, dia sendiri berpura-pura menjadi orang baik-baik, dia melanjutkan memimpin pasukan gurunya itu, yang dia robah menjadi pasukan Pelangi Merah. Dia berjasa dalam pasukan Pelangi Merah itu, sampai akhirnya ia diangkat menjadi pemimpin utama. Lelakon ini tidak dipercaya si kakak angkat, tapi dia kirim utusan, untuk mengajak bekerja sama, yang mana diterima baik. Adalah setelah ini, ia dapat kepastian pemimpin Pelangi Merah benarbenar ada adik angkatnya itu. "Segera juga ada pertentangan pengaruh di wilayah Tiangkang antara kedua saudara ini. Si kakak mengirim utusan menyeberangi sungai, ia kirim surat yang berbunyi: "Kita berdua bersaudara, siapa pun yang menjadi kaisar, sama saja. Mari kau seberangi sungai, untuk kita bertemu, lebih dahulu kita bicara sebagai saudara, kemudian kita rundingkan dan tetapkan rencana bekerja untuk bersama-sama melawan musuh asing. Di luar dugaan, adik itu merobek surat itu, dia tidak mau menyeberang, malah dia sebaliknya memotong kuping si pembawa surat, siapa disuruh pulang sambil memberikan pesan: "Di atas langit tidak ada dua matahari, di muka bumi tidak ada dua raja, maka itu, sama-sama kita adalah orang-orang gagah dari jaman ini, baiklah jikalau bukan kau yang mati, akulah yang binasa!" "Kakak itu jadi sangat gusar, maka terjadilah peperangan antara mereka berdua. Selama beberapa tahun, mereka bergantian menang dan kalah. Pertempuran terakhir terjadi di Tiangkang. Kesudahannya, sang adik yang menang, si kakak kena ditawan, dia dipaksa untuk menyerah, supaya dia suka jadi hamba dan akui si adik sebagai junjungannya. Si kakak tidak sudi tunduk, sambil tertawa berkakakan, dia kata: "Pengemis, jikalau kau, dapat menurunkan tanganmu, kau bunuh saja aku! Adik itu tidak menyahuti kakaknya, dia hanya perintahkan orang mengemplangi kakaknya hingga binasa, lalu mayatnya ditenggelamkan di dalam sungai Tiangkang. Habis memusnakan kakaknya, adik ini angkat dirinya menjadi kaisar. Beberapa tahun kemudian, raja ini berhasil mengusir bangsa asing dari Tionggoan, dia dapat membasmi lain-lain jago, hingga dia berhasil juga mempersatukan negara. Dengan begitu, jadilah dia satu kaisar yang membuka satu jaman baru. — Nah, adikku, coba kau katakan, kaisar ini jahat atau tidak?" Demikian Tan Hong akhiri dongengnya yang pertama itu. "Adik itu tidak ingat saudara, pasti dia jahat," sahut In Loei, yang mendengarkan dengan perhatian. "Tetapi dia dapat mengusir bangsa asing, dia dapat merampas kembali negara, dia dapat dikatakan satu orang gagah — enghiong atau hookiat." Mendengar itu, air muka Tan Hong sedikit berubah. "Hiantee, kau juga mempunyai pemandangan begini?" kata dia dengan tawar. "Pengemis itu, setelah dia menjadi kaisar, dia bunuh menteri-menteri yang berjasa, dan terhadap turunan kakaknya, dia tak sudi berlaku murah hati dia sudah kirim orang ke empat penjuru untuk mencarinya, turunan si kakak itu hendak dihabiskan. Maka juga, turunan si kakak itu, bersama-sama turunan beberapa menteri berjasa, sudah kabur jauh sekali, mereka telah berpencaran. Eh, adikku, kau telah dahar habis buburmu, bagus! Dongengku juga telah tamat." In Loei angkat kepalanya akan pandang kawannya itu. "Toako," katanya, "tentang dongengmu ini, dapat aku menduganya. Kau bicara tentang permulaan berdirinya kerajaan kita. Si pengemis itu adalah Beng Thaytjouw Tjoe Goan Tjiang, dan si kakak penjual garam gelap itu adalah orang yang menamakan dirinya Thio Soe Seng, kaisar dari Kerajaan Tjioe. Hanya belum pernah aku mendengarnya yang mereka itu berdua telah angkat saudara satu sama lain. Dalam buku hikayat juga tidak ditulis demikian, sebaliknya ada dicatat bahwa Thio Soe Seng itu asalnya seorang yang rendah martabatnya dan Thaytjouw membunuh dia adalah untuk membantu rakyat menghukum pemberontak." Tan Hong tertawa dingin. "Siapa berhasil, dia menjadi raja siapa gagal, dia jadi berandal, demikian bunyi sebuah pepatah," dia kata. "Inilah pepatah yang dari jaman purba sampai sekarang ini tetap menjadi kenyataan. Mengenai mereka mengangkat saudara, jangan kata hikayat tidak berani menuliskan Tjoe Goan Tjiang asal pengemis, asal hweeshio perantauan, malah dalam hikayat buatan negara tak disebutnya sama sekali. Sebenarnya, orang menjadi pengemis, orang jadi hweeshio melarat, bukankah itu tidak menghina leluhur mereka? Hm!" Halnya Beng Thaytjouw Tjoe Goan Tjiang pernah menjadi pengemis dan di kuil Hongkak sie menjadi hweeshio, di kolong langit ini tidak ada orang yang tidak mengetahuinya. Tapi setelah Tjoe Goan Tjiang menjadi kaisar, hal ihwalnya itu ia jadikan pantangan untuk diceritakan orang, karena pantangannya itu, hingga ia telah menghukum mati beberapa orang yang dianggap sudah melanggar larangannya itu. Tentang ini, In Loei pernah dengar engkong-nya bercerita, ia pun ketahui itu. Sekarang, mendengar ceritanya Thio Tan Hong, ia jadi ingat kepada bencana yang dialami engkong-nya itu sendiri, yang teraniaya dan terbinasa secara kecewa. Maka di dalam hatinya, ia berkata: "Dasar mereka yang menjadi raja semua bukan orang baik-baik, peduli apa kau dengan Tjoe Goan Tjiang atau Thio Soe Seng itu? Cuma, apa maksud toako menceritakan dongeng ini? Kenapa dia kelihatannya membenci kepada Beng Thaytjouw pendiri dari kerajaan kita ini?" "Sudah, jangan kau bicara banyak," kata Tan Hong, melarang orang banyak omong, dan ia teruskan menguruti "pemuda" itu. In Loei berdiam, ia berdiam terus, karena ia tertidur. Ketika besok pagi ia mendusi, ia dapatkan Thio Tan Hong tengah berduduk di sisinya, apabila ia lihat tubuh orang, ia dapatkan orang belum merapikan pakaian. Yang membuatnya ia heran, ialah mata si mahasiswa tampak bengkak, suatu tanda bahwa tadi malam kawannya ini banyak menangis. Ia terharu, ia merasa berkasihan. "Pasti dia berduka, sebentar setelah ia selesai menutur padaku, mesti aku hibur dia," ia ambil putusan. Ketika Thio Tan Hong lihat kawannya itu telah bangun dari tidurnya, ia bersenyum. "Adakah kau merasa baikan?" dia tanya. "Banyak baik," sahut In Loei cepat. "Tentunya semalam toako tidak tidur?....." Tan Hong tertawa. "Bagiku tidak tidur beberapa hari atau sekalipun tidur hingga beberapa hari ada sama saja, biasa saja," sahutnya. "Tak usah kau pikirkan aku. Sekarang mari lonjorkan kakimu." In Loei menurut, ia majukan kaki kanannya itu. Tan Hong loloskan sepatu orang, habis itu ia mulai menguruti kaki itu, dari ujung sampai ke mata kaki, ke seputarnya, lalu naik hingga ke betis. Selama itu, In Loei merasakan sedikit sakit. Itulah tanda bahwa urutan itu tepat sekali. Lalu, setelah itu, ia merasakan hatinya lega. "Sekarang, cukup sampai di sini!" kata Tan Hong, yang menghentikan urutannya pada apa yang dia namakan "samyang". "Besok akan kuurut pula, supaya pulih kesehatanmu. Sekarang kau boleh beristirahat pula, kau bersemedi." Habis, berkata, ia geser tubuhnya, un- tuk kemudian keluarkan gambarnya. Ia gunakan terang api lilin untuk memandang gambar itu. Lama ia mengawasi, ia meneliti, seperti ia tengah mencari sesuatu dalam gambar itu. Begitu lama In Loei beristirahat, begitu lama juga ia memandangi gambar itu. Sampai tiba-tiba terdengar tindakan kaki di luar pekuburan. Baharu setelah itu, pemuda ini menghela napas, lantas ia gulung pula gambar itu. "Kenapa sih ada orang yang sangat menyukai tempat hantu ini?" katanya perlahan, setelah mana, ia pesan kawannya: "Tidak peduli apa yang kau saksikan, jangan kau buka suara!" Rupanya di luar kubur itu bukan berada cuma satu orang, itulah ternyata dari suara dan caranya tanah di gali, dibongkar. Tidak lama kemudian terdengar suara menggabruk keras, dari terbukanya daun pintu. Ini juga menandakan usahanya suatu tenaga yang besar sekali. Segera ternyata, mereka itu berjumlah lima orang. Mereka membawa obor. Dengan berlerot, mereka masuk ke dalam kuburan. In Loei pasang matanya. Ia kenali, yang empat adalah si saudagar-saudagar barang permata. Mereka ini, dua jalan di depan, dua lagi di sebelah belakang. Yang jalan di tengah adalah Heksek tjhoeng Tjhoengtjoe, atau tuan rumah dari Heksek tjhoeng atau Tjio keetjhoeng, ialah Hongthianloei Tjio Eng. Ia terkejut. "Empat saudagar itu mestinya ketahui kamar rahasia ini," ia berpikir. "Jikalau Tjio Eng menitahkan aku pulang, bagaimana?" Ia menjadi bingung. "Mereka berdua mesti masih berada di dalam sini," terdengar satu saudagar berkata. "Tjio lootjhoengtjoe, kami mohon pertimbanganmu." Menuruti hawa amarahnya, Hek Pek Moko sudah lantas menuju pulang ke Thibet, karena kepergiannya itu, mereka titahkan ke empat saudagar pergi berusaha ke Selatan, untuk menyelesaikan usaha mereka. Dua hantu ini, dengan sudah menyerahkan harta bendanya, tidak ingin melanjutkan pekerjaannya itu. Tidak demikian dengan ke empat saudagar ini, mereka ini tidak puas, maka kebetulan sekali untuk mereka, di tengah jalan mereka bertemu dengan Tjio Eng yang tengah menyusul gadisnya. Mereka tuturkan pada Tjio Eng apa yang mereka alami, tentang Hek Pek Moko juga, setelah mana mereka minta jago tua ini membantu mereka. Mereka pun sebut nama Thio Tan Hong, yang mereka tunjuk adalah pencuri di rumah Tjio Eng pada malam itu. Mereka tahu, Tjio Eng kalah liehay daripada Hek Pek Moko, akan tetapi tjhoengtjoe ini besar pengaruhnya, kalau "Loklim tjian" diumumkan, mereka percaya, Thio Tan Hong, tidak akan dapat terbang lolos. Tjio Eng memang ingin menemui Thio Tan Hong, dengan menemui Tan Hong, ia percaya, ia harap, nanti ia ketahui juga tentang In Loei, maka itu, ia berpura-pura menerima baik permintaannya ke empat saudagar itu, yang ia terus minta menjadi juru pengantarnya. Demikian, mereka itu telah memasuki lobang kubur. Setelah memutari ruang besar dengan sia-sia, karena mereka tidak dapatkan orang yang mereka cari, ke empat saudagar itu sudah lantas pentang mulut mereka lebar-lebar, mereka berteriak-teriak: "Bocah cilik yang berani lekas kau keluar!" Akan tetapi Tjio Eng segera cegah perbuatan orang itu. "Jangan!" kata tjhoengtjoe itu, yang sebaliknya, sudah lantas mengangkat kedua tangannya, untuk menjura ke arah udara sambil berkata: "Thio Kongtjoe, silakan keluar. Aku si orang tua berdahaga sangat untuk bertemu denganmu. Dengan ada aku di sini, dapat aku damaikan kamu kedua pihak untuk menyelesaikan perselisihan kamu." Tercengang ke empat saudagar itu menampak sikapnya jago dari Tjio keethjung ini. Inilah mereka tidak sangka. Satu di antaranya, yang menjadi kepala, lantas kisiki jago itu: "Lootjhoengtjoe, jangan kau kuatir. Jikalau mereka itu berdua tidak kurang suatu apa, dengan mereka bekerja sama walaupun kita ada berlima, kita memang bukan tandingan mereka, akan tetapi baba mantumu itu telah dilukai Pek Moko, maka itu dengan dia bersendirian saja, pasti dapat kita lawan padanya. Mana bisa dia jadi tandingan kita? Looenghiong, jangan kau kuatirkan lukanya menantumu itu, kami tanggung kami dapat mengobati dia hingga sembuh. Untuk kami, sudah cukup asal bocah berkuda putih mengembalikan barang-barang permata kami.....” Mulanya ke empat saudagar ini tidak mau menyebutkan hal In Loei telah terluka, akan tetapi sekarang, melihat sikapnya Tjio Eng, mereka sangka orang she Tjio ini jeri terhadap Thio Tan Hong, terpaksa mereka buka rahasia, supaya orang menjadi murka. Berkuatir Tjio Eng mendengar baba mantunya terluka akan tetapi meleset dari terkaan ke empat saudagar, ia tak ubah sikapnya. Malah dengan lantas ia sudah berkata pula: "Thio Kongtjoe, aku minta sukalah kau keluar! Menantuku itu tidak tahu suatu apa, untuk perbuatannya yang sembrono, sudilah kau memaafkannya." Di dalam kamar rahasia, Thio Tan Hong tetap tidak perdengarkan suaranya. "Baiklah!" kata ke empat saudagar dengan nyaring, "jikalau tetap kau tidak mau keluar, nanti kami menerjang masuk, nanti kami gusur padamu!" Mereka ini tidak hanya mengancam, mereka sudah lantas mengambil batu potongan dengan apa mereka coba membuka pintu rahasia. Sampai di situ Thio Tan Hong sudah lantas ambil putusannya. Ia berbisik di kuping In Loei, untuk memberikan pesannya, habis mana ia geser kunci rahasia, hingga pintu rahasia itu terpentang sendirinya, menyusul mana ia lompat keluar. Akan tetapi, begitu lekas ia berada di luar, ia segera tutup pula pintu itu. Ke empat saudagar itu tengah berdegingan mengeluarkan tenaga mereka, dengan pintu rahasia terbuka sendiri, habis keseimbangan tubuh mereka, tidak ampun lagi, mereka rubuh dengan sendirinya. Kemudian, ketika mereka telah berbangkit pula, mereka tampak Thio Tan Hong tengah mengipasi diri, dandanannya adalah dandanan seperti dia melayani Hek Pek Moko bertempur, bajunya makwa yaitu baju yang bersulam sepasang naga asyik memperebutkan mutiara di tengah laut. Segera mereka lompat ke empat penjuru, untuk mengambil sikap mengurung, setelah mereka mengepung dengan lekas Tjio Eng mulai menyerang..... Cahaya api menyinari wajah Thio Tan Hong, dia tampaknya sangat tenang. Ia masih mengipas dirinya ketika ia bersenyum menghadapi Tjio Eng. "Tjio Tjhoengtjoe," katanya dengan sabar, sikapnya halus, "mengingat kepada budimu beberapa puluh tahun yang lampau, dengan aku mewakilkan marhum orang tuaku, dengan ini terimalah hormat dan ucapan terima kasihku." Tjio Eng awasi anak muda itu, ia rupanya telah dapat melihat dengan tegas, dengan tiba-tiba saja ia menangis, lalu ia jatuhkan dirinya berlutut di depan anak muda itu, akan manggut-manggut hingga empat kali. "Siauw..... siauw....." katanya, suaranya tertahan. Sebab Thio Tan Hong sudah lantas goyangkan tangannya berulang-ulang terhadapnya, mencegah dia bicara terus. Sesudah itu. Tan Hong maju menghampiri, akan pimpin bangun jago itu, dan ia, sebaliknya, menjura dengan hormatnya, untuk membalas menghormat. Ia bersikap sangat hormat, akan tetapi ia tidak berlutut, maka biar bagaimana, nyata itu ada suatu pemberian hormat dari yang atasan kepada yang bawahan. Sikap Tjio Eng ini membuat heran dan kaget orang-orang yang berada di dalam ruang, ialah ke empat saudagar itu, tidak terkecuali dia yang sedang bersembunyi di dalam kamar rahasia. Cuma In Loei, sehabis itu, hatinya menjadi lega sekali, hingga di dalam hatinya berkata: "Nyatalah toako bukan orang jahat. Melihat Tjio looenghiong bersikap demikian hormat kepadanya, caranya ia membalasnya ada kurang pantas. Dia masih sangat muda, masa dia berani terima hormat orang sambil berlutut?" Ke empat saudagar itu, bahna kaget dan herannya, menjadi berkuatir. Adalah di luar sangkaan mereka, orang yang mereka buat andalan untuk menghadapi musuh, sekarang ternyata adalah sahabatnya musuh itu. Thio Tan Hong seorang diri, mereka sudah tidak sanggup lawan, apa pula dia dibantu Tjio Eng. Tapi Thio Tan Hong tetap bawa sikap tenang dan sabar. "Tjio Tjhoengtjoe ada di sini," kata dia pada saudagar-saudagar itu, ia bersenyum, "coba kamu tanya dia, benar atau tidak aku ada seorang yang serakah akan harta permata hingga aku mencurinya?" Empat saudagar itu bisa bawa diri, dengan lekas mereka ubah sikapnya. Demikian, dengan tersipu-sipu, mereka menjura, untuk memberi hormat. "Kamu tunggu!" dia kata. "Segala harta Hek Pek Moko itu, sama sekali tidak aku taruh dalam hatiku!" Dia lantas membalik tubuhnya, sebelah tangannya diulur. Dia buka pintu rahasia, tetapi dia pentang sedikit saja, hanya muat tubuhnya, untuk dia bertindak masuk. Kamar rahasia itu besar, In Loei duduk di pojok, ia tidak terlihat oleh orang-orang di sebelah luar, sedang ke empat saudagar, berikut Tjio Eng, tidak berani melongok. Mereka ini cuma lihat Tan Hong menjemput sebatang sapu dengan apa si anak muda lantas menyapu di satu pojokan di mana tertumpuk rupa-rupa barang berharga dari Hek Pek Moko, semua itu disapu bagaikan kotoran keluar kamar. Setelah berada pula di luar, Tan Hong ber-dongak, ia tertawa besar. "Umumnya manusia didunia gemar akan permata atau mustika, aku sebaliknya menyukai kepintaran atau pengetahuan!" katanya dengan nyaring. "Mari, mari maju, kamu boleh hitung barang-barang ini, ada yang kurang atau tidak!" Bukan kepalang girangnya ke empat saudagar itu, mereka sudah lantas maju, untuk turun tangan, akan punguti setiap permata dan barang kuno itu, untuk dimasukkan ke dalam kantong mereka yang besar, yang terus mereka gendol di bebokong mereka. "Sekarang pergilah kamu!" Thio Tan Hong membentak. "Pergi kamu beritahukan kepada Hek Pek Moko supaya mereka berusaha dengan baikbaik, jangan lagi mereka main paksa dengan andalkan ketangguan mereka!" Ke empat saudagar itu manggut-manggut. "Ya, Ya," sahut mereka. Lalu mereka mengambil hati: "Bagaimana dengan lukanya sahabatmu itu? Dapatkah kami obati dia.....” "Kamu dapat mengobati dia?" tanya Tan Hong, mengulangi. "Itulah tidak perlu! Siang-siang sudah aku mengobatinya! Sudah, jangan kamu banyak omong lagi, lekas kamu angkat kaki!" "Ya, ya....." sahut ke empat saudagar itu, yang benar-benar tidak berani banyak bicara pula, mereka lantas undurkan diri sambil membungkuk-bungkuk hingga di luar. Thio Tan Hong awasi orang pergi, lalu ia tertawa. "Telah aku sapu bersih semua kotoran ini, sangat lega hatiku!" kata dia. "Barang barang tak halal, sebenarnya, tak usah ditakuti untuk memakainya, cuma haruslah dipakai menurut jalan yang tepat. Tidakkah demikian, Tjio looenghiong?" "Benar apa yang siauwtjoe katakan," jawab Tjio Eng sambil menjura. Sekarang, dengan tidak adanya orang luar, berani ia mengatakannya "siauwtjoe," yang berarti "tuan" atau "majikan muda." "Baiklah," kata Tan Hong. "Kau telah menemui aku, sekarang boleh kau pergi." "Aku minta siauwtjoe suka mengembalikan menantuku," Tjio Eng mohon. "Tentang jodohnya puterimu, kau serahkan saja itu pada In Loei dan aku," jawab Tan Hong. "Jangan kau kuatirkan, tak usah kau pikirkan. Kita pasti akan berikan kau satu baba mantu yang jempol. Aku tidak ingin kau berdiam lama di sini, kau boleh lekas pergi!" Kata-kata "pergi" itu diucapkan dengan keras hingga berupa titah. Tjio Eng menjura. "Kalau begitu, baiklah siauwdjin pergi," kata dia. "Siauwtjoe, kau masih hendak menitahkan apa lagi?" Kata-kata "siauwdjin" itu artinya "hamba yang rendah." Mendengar bahasa merendah dan menampak sikap orang yang sangat hormat itu, In Loei heran. "Tjio Eng ada pemimpin kaum Rimba Hijau di dua propinsi Shoasay dan Siamsay, kegagahannya juga tidak ada di bawahan Thio Tan Hong, kenapa dia nampaknya begini sangat hormat dan takut?" ia pikir. "Kenapa dia memanggilnya siauwtjoe dan membahasakan diri siauwdjin? Mungkinkah dahulu dia ada pegawainya toako?" "Tidak apa-apa lagi," begitu ia dengar Tan Hong menyahuti. Masih Tjio Eng bicara, katanya: "Jikalau siauwtjoe membutuhkan sesuatu, nanti siauwdjin kirim Loklim tjian, biar bagaimana juga saudara-saudara di Jalan Hitam tentulah suka memberi muka padaku." Mendadak, Thio Tan Hong tertawa besar. "Di dalam dunia ini kadang-kadang terjadi apa yang di luar sangkaan kita," katanya. "Maka itu aku kuatir, kalau nanti tiba waktunya, siapa juga tidak akan dapat membantu aku!" Air mukanya Tjio Eng berubah dengan tiba-tiba, ia menjadi jengah. "Walaupun siauwdjin tidak berguna," ia kata, "kalau nanti siauwtjoe menitahkan aku, meski mesti menyerbu api, tidak nanti aku menampiknya!" Thio Tan Hong kibaskan tangannya, ia nampaknya lesu. "Aku terima kebaikanmu ini," ia kata. "Nah, pergilah!" Tjio Eng memberi hormat, lantas ia memutar tubuh dan pergi. Hati In Loei bergoncang, ia merasa tidak tenang. Begitu Tan Hong masuk ke dalam kamar rahasia, kembali ia berkata: "Toako, Tjio Eng tanyakan padamu, kau hendak menitah apa lagi, kenapa kau tidak gunakan ketikamu untuk minta suatu apa daripadanya?" "Apakah itu?" Tan Hong balik menanya. "Kemarin ini, anak muda yang datang bersama Tjoei Hong, bukankah dia pernah menyebutkan tentang Loklim tjian?" tanya In Loei. Thio Tan Hong mengawasi, ia tertawa. "Apakah kau maksudkan itu tjeetjoe muda dari luar kota Ganboenkwan?" ia menanya pula. "Dia dan ayahnya terhitung orang-orang kenamaan juga, jikalau dia bekerja sama dengan Tjio Eng menyiarkan Loklim tjian, akibatnya itu tidak baik bagiku. Aku telah ambil putusan, selama hidupku, tidak sudi aku memohon sesuatu dari lain orang. Lagi pula, menindih orang dengan kekuatan pengaruh, itu membuat mukaku tidak terang. Bicara terus terang, jikalau aku takut orang menyiarkan Loklim tjian, tadi begitu aku keluar, begitu lekas juga dapat aku menghabiskan jiwa kakak angkatmu itu. Aku justeru hendak membiarkan orang mencobanya. — Ya, Tjio Tjoei Hong dengan Tjioe San Bin itu memang setimpal sekali, pantas kau di dalam kamar kemantin selalu menyebut-nyebut kakak angkatmu itu!" Tan Hong ucapkan kata-katanya yang terbelakang ini secara wajar. Biar bagaimana, In Loei toh berduka, ia ber-kuatir. Tidak tahu ia, di antara Tan Hong dan Tjioe Kian ada urusan apa, mungkin antara mereka itu ada ganjalan.....” Thio Tan Hong awasi si nona, ia bersenyum. "Melihat wajahmu, kau maju banyak," ia kata "Sekarang lanjutkanlah istirahatmu. Sebentar, selagi bersantap malam, akan aku ceritakan kau dongeng yang kedua." In Loei turut nasehat itu, karena ia berbakat baik, pada waktu hendak bersantap malam, kesehatannya telah pulih tujuh atau delapan bagian, hingga dapat ia makan rangsum kering. Thio Tan Hong layani orang dahar, sambil melayani, ia ceriterakan dongengnya. "Pada jaman dahulu kala, ada sebuah negara," demikian ia memulai. "Di dalam negara itu ada seorang menteri yang setia. Apa she dan nama menteri itu tidak usah aku menyebutkannya. Sebab tidak peduli di jaman atau kerajaan apa, mesti ada saja semacam menteri setia itu. Mungkin dia she Thio, mungkin dia she Lie, bisa jadi juga dia she Ong atau she In.....” "Di samping negara itu, ada sebuah negara lain yang bertetangga dengannya. Kedua negara itu sering berperang satu pada lain. Suatu waktu, negara yang satu yang menyerbu, ada kalanya, negara yang lain yang menerjang, tapi tidak peduli negara yang mana yang menerjang masuk, kesudahannya yang celaka adalah si rakyat jelata. "Ketika terjadinya dongengku ini, kebetulan negara dari si menteri besar yang setia dan berpengaruh itu, menghendaki negara yang lain itu membayar upeti setiap tahun dan setiap tahun harus mengirim utusan selaku tanda hormat dan setia. Negara ini, yang kalah pengaruh, menjadi sangat tidak puas, maka itu ia mengumpulkan orang-orang cerdik pandai, hingga dengan perlahan-lahan ia pun menjadi kuat. Negara si menteri besar dan setia itu tak senang melihat tetangganya menjadi kuat, dia berkuatir, segera dia kirim si menteri besar dan setia selaku utusan dengan tugas, disatu pihak untuk mempererat persahabatan katanya, di lain pihak untuk dengan cara diam-diam menyelidiki keadaan yang benar dari Negara taklukkannya ini. Di luar sangkaan, menteri besar dan setia itu telah pergi dua puluh tahun lamanya..... Eh, saudara kecil, kau kenapa?..... Kau tahu, kenapa dia pergi sampai lamanya dua puluh tahun itu? Kiranya..... Eh, adik Loei, adik Loei!.....” Thio Tan Hong dongeng sambil mengawasi sahabatnya itu, selama itu hamper setiap detik, ia tampak air muka orang berubah sedikit demi sedikit, sampai waktunya ia menyebutkan "dua puluh tahun," wajah In Loei menjadi pucat sekali dan tubuhnya pun bergoyang, bagaikan hendak rubuh. Ia menjadi kaget, maka dengan lantas ia ulur tangannya, untuk pegang tubuh orang untuk cegah dia jatuh. Walaupun keadaannya sedemikian rupa, bagaikan kesehatannya sangat terganggu dengan tiba-tiba, In Loei masih dapat bicara, malah ketika ia buka mulutnya, ia seperti menyambungi dongengnya Tan Hong itu. Ia kata: "Kau tahu, kenapa menteri besar dan setia itu pergi sampai lamanya dua puluh tahun? Kiranya orang telah menahan dia, dia dipaksa menggembala kuda di tempat di mana ada banyak es dan salju! Sudah, toako, tak usah kau lanjutkan dongengmu ini, tak suka aku mendengarnya.....” Wajah Tan Hong juga lantas berubah menjadi pucat, sepasang alisnya dikerutkan. Agaknya dongengnya ini, dongeng yang tua, sekarang telah berubah menjadi kenyataan. Nampaknya, ia seperti telah sadar dengan tiba-tiba dari mimpinya. Dengan tajam ia terus awasi In Loei. "Saudara kecil," katanya kemudian, "kiranya kau telah ketahui dongeng ini. Kalau begitu, baiklah, besok malam aku akan ceritakan dongeng yang ketiga, nanti kau dapat mengerti semuanya. Saudara kecil, sekarang apapun kau tidak usah tanyakan, apa juga tidak usah kau mengatakannya. Kau harus beristirahat, tak dapat kau banyak bergerak dan banyak berpikir, nanti kau gagal memulihkan kembali kesehatanmu. Saudara kecil, mari aku bantu pula padamu." Ia cekal kedua telapak tangan In Loei, tangan itu, ia rasakan, berhawa panas. Ia juga lihat bahwa sinar mata si nona guram. "Saudara kecil, hatimu sedang pepat" ia kata. "Baiklah kau menunda sebentar untuk bersemedi." Ia lepaskan cekalannya, lantas ia jalan mondar-mandir di dalam kamar rahasia itu, atau ia jalan mengitari ruangan. In Loei mesti tenangkan hati, kalau tidak kesehatannya tak akan pulih. Ia lihat kelakuan orang itu, ia insyaf Tan Hong sedang mendukakan ianya. Beberapa kali hendak ia menanya, ia batal, masih dapat ia kendalikan diri. Akhirnya, ia singkap rambutnya, ia bersenyum. "Toako, perlu kau tidur siang-siang," ia kata. "Akan aku sabarkan diri, untuk menanti sampai besok, guna mendengarkan dongengmu yang ketiga." Setelah mengucap demikian, hati si nona benar-benar menjadi tenang. Thio Tan Hong pun bersenyum, ia angkat ouwkim-nya dari atas meja kemala, lantas ia akurkan talinya, terus ia menabuh, yang mana ia iringi dengan nyanyiannya sendiri. Ia nyanyikan sebuah syair pujian untuk kota Hangtjioe yang indah, syair dari jaman Kerajaan Song. Pandai ia menabuh, merdu ia bernyanyi. Mendengar itu, lega hati In Loei, lenyap kedukaannya. Habis memainkan lagu dan bernyanyi. Tan Hong letakkan ouwkim-nya di atas meja, terus ia hampirkan si nona. Ia usap-usap rambut orang. "Adik kecil, kau tidur, tidurlah," katanya, perlahan. Bagaikan terkena pengaruh sihir, In Loei meram-kan matanya, tidak lama, ia tertidur. Besok, pagi-pagi, apabila ia mendusi, In Loei merasakan tubuhnya segar. Semalam ia tidur nyenyak, tanpa gangguan. Girang Tan Hong menampak keadaan In Loei. "Adik kecil, hari ini kau beristirahat pula," katanya. "Habis ini, kesehatanmu akan kembali seluruhnya, malah tenaga dalammu bukannya berkurang tapi bertambah!" In Loei menurut, ia terus beristirahat, ia terus bersemedi. Tan Hong pun tak bosan-bosan selang setiap satu jam, dengan tetap ia berikan bantuannya, untuk mengempos semangat si nona. Demikian, selewatnya tengah hari, selesailah ia dengan cara pengobatan samyang dan samim-nya. Wajah In Loei telah bersemu merah sekarang. "Saudara kecil," kata Tan Hong dengan girang, "lewat lagi dua jam, kau akan pulih seanteronya!" In Loei girang, ia bersenyum. Selagi ia terus bersemedi, Tan Hong duduk sendirian di sisinya memandangi gambarnya. Berselang setengah jam, tiba-tiba Tan Hong kerutkan alis. Dengan kupingnya yang tajam sekali, ia dengar suara orang di luar pekuburan itu. "Kenapa ada lagi orang datang mengacau?" ia berpikir. Dengan sekonyong-konyong terdengarlah kuda Tjiauwya saytjoe ma berbenger, lalu disusul dengan satu suara sangat keras dan nyaring, yang mengakibatkan gempurnya pintu pekuburan, hingga debu pun mengepul. Lalu menyusul itu terlihatlah seekor kuda putih lari masuk, dibebokongnya ada seorang dengan pakaian hitam. Tanah di mana nancap tiang pintu memang telah lenyap kekuatannya, akan tetapi walaupun demikian, tidak sembarang orang dapat menggempurnya, sekarang orang berpakaian hitam itu dapat melakukannya, itulah suatu tanda bahwa tenaganya besar sekali. Dan yang lainnya yang mendatangkan keheranan adalah si kuda putih, — kuda Tjiauwya saytjoe ma — kuda yang istimewa karena binalnya. Kuda ini tidak akan menurut kecuali pada majikannya, akan tetapi aneh, sekarang dia dapat dikendalikan orang lain. Maka itu, di dalam kamar rahasia, In Loei dan Tan Hong terkejut. Di ruang dalam, kuda putih itu berbenger pula dengan keras, berulang kali. Mulai dari pintu, dia sudah lari keras, sampai di dalam dia lari berputaran. Di ruang dalam itu, si penunggang kuda lompat turun dari bebokongnya, begitu dia injak tanah, dia berulang kali perdengarkan panggilannya: "Tan Hong! Tan Hong!" Sekarang, di antara kaca rahasia, Tan Hong kenali orang itu, ialah Tantai Mie Ming, panglima dari negara Watzu. In Loei kaget sekali, sampai ia menjerit, lalu ia gerakkan tubuhnya, untuk lompat turun, tetapi, belum sampai ia bergerak, ia segera rasakan pinggangnya lemah, kaku, hingga tak dapat ia bergerak. Dengan sebat luar biasa, Thio Tan Hong totok kawan ini menyusul mana dia berbisik di kuping si nona: "Saudara kecil, jangan bergerak, kau lanjutkan semedimu! Aku hendak keluar, segera aku kembali. Kau sabar, kau tunggu, nanti aku tuturkan kau dongeng yang ketiga itu.....” "Tan Hong, kau ada bersama siapa di dalam?" In Loei, yang terus memandangi kaca, dapat melihat dengan tegas. Kuda putih berdiri di dampingnya Tantai Mie Ming, kuda itu seperti telah kenal baik pahlawan asing itu. Tan Hong sudah lantas membuka pintu rahasia, dia lompat keluar. "St!" katanya Melihat si anak muda, Tantai Mie Ming berkata pula: "Tan Hong, Siangya....." Lalu mendadak, ia berhenti. "St!" demikian suara Tan Hong pula. "Tan Hong, ayahmu menyuruh kau pulang!" terdengar Tantai Mie Ming berkata. Tidak lagi ia menyebutnya "Siangya" — "Sri paduka," panggilan untuk perdana menteri. "Tantai Tjiangkoen," Tan Hong menyahut, "tolong kau sampaikan kepada orang tuaku, setelah aku meninggalkan Mongolia, untuk selanjutnya hidupku adalah sebagai bangsa Tionghoa, dan aku tidak akan kembali lagi!" Tantai Mie Ming tidak segera undurkan diri. "Kau ingat, Tan Hong," katanya, "sekalipun kau tidak memikirkan lagi ayahmu, kau toh mesti pikirkan dirimu sendiri. Seorang diri kau memasuki Tionggoan, di antara orang-orang gagah dari Tionggoan itu, siapakah yang ketahui dirimu, siapa yang tahu hatimu?" Tapi Tan Hong menjawab dengan suara dalam: "Walaupun tubuhku hancur lebur menjadi laksaan keping, akhirnya, tubuhku mesti dikubur di tanah Tionggoan! Inilah terlebih baik daripada mayatku dipendam di negara asing, hingga aku meninggalkan bau busuk di negara lain! Aku minta tolong kau sampaikan kepada orang tuaku, pesanlah agar dia rawat dirinya baik-baik.....” Mendengar sampai di situ, bukan main herannya In Loei. "Kalau Tan Hong ada orang Tionghoa yang bertempat di Mongolia, kenapa Tantai Mie Ming berlaku begini baik padanya?" ia berpikir. "Tantai menyebutnya Siangya..... Siangya..... Mungkinkan Tan Hong ada?....." Tak dapat nona ini berpikir, terus, pikirannya itu terganggu oleh seruan Tantai Mie Ming. Panglima Watzu ini mengayunkan tangannya ketika ia menegaskan: "Apakah benar-benar kau tidak hendak turut aku pulang" "Tantai Tjiangkoen," katanya dengan sangat masgul, "kenapa kau begini mendesak aku?" Kembali tangannya Tantai melayang, kali ini ke arah dada. Tan Hong tidak berkelit pula, ia menangkis, tapi karena ini, ia diserang pula, terus menerus, setiap serangan panglima Watzu itu mendatangkan suara angin, satu kali dia menyambar batang leher orang, secara hebat sekali! Kalut pikirannya In Loei. Ia heran, ia kaget, ia pun girang. Ia kaget karena serangan dahsyat dari Tantai Mie Ming, serangan yang jauh melebihi hebatnya serangan dari Hek Pek Moko. Ia girang karena akhirnya Tan Hong membuat perlawanan, hingga teranglah sudah Tan Hong itu bukan orang segolongan Mie Ming. Yang membikin ia heran dan curiga, adalah kata-kata "Siangya" — "Sri paduka perdana menteri." ia sampai merasa uluhatinya bagaikan ditikam pisau tajam. Ia jadi ragu-ragu untuk dirinya orang she Thio ini..... Oleh karena perlawanan Tan Hong itu, pertempuran jadi berlangsung hebat, tubuh mereka berdua melesat pergi datang, mendatangkan sambaran angin tak putusnya. Tubuh mereka bagaikan bayangan-bayangan yang bergerak-gerak cepat tak hentinya. Tantai Mie Ming gesit bagaikan kera, kepalannya berat bagaikan tubrukan harimau. Nyata ia sangat kuat dan lincah. Dengan serbuannya itu ia membuatnya Tan Hong tiap-tiap kali mundur. In Loei bertegang hati, ia sangat berkuatir. Mau ia lompat, tapi tak dapat ia berbuat. Ia coba empos dirinya, akan bebaskan diri dari totokan Tan Hong, ini pun tidak berhasil. Ia jadi mengawasi dengan mendelong, hatinya berdenyut keras. Tiba-tiba Tantai Mie Ming ulur sebelah tangannya, menyambar tubuh Tan Hong, sambil menyambar ia berseru nyaring: "Pergilah kau!" Tan Hong kena disambar, lalu tubuhnya dilemparkan ke atas, dilepaskan dari cekalan! In Loei kaget hingga ia meramkan matanya dan berseru tertahan. Tapi begitu ia buka pula matanya, hatinya menjadi lega. Tubuh Tan Hong terlempar, ketika ia jatuh ke tanah, ia perdengarkan suara, tetapi In Loei dapatkan ia tengah berdiri dengan tidak kurang suatu apa. Benar Tan Hong telah dilemparkan, tetapi ia dilemparkan hingga tubuhnya jumpalitan, maka itu, waktu tubuh itu turun, kakinya yang tiba lebih dahulu di tanah. Sampai di situ, Tantai Mie Ming maju dua tindak kepada si anak muda. Ia tampak bersenyum. "Tan Hong, tidak kecewa gurumu mengajari kau dengan susah payah!" katanya, dengan kagum. "Kau benar-benar liehay! Karena kau sanggup melayani aku selama lima puluh jurus, kau boleh menjagoi di kalangan kangouw. Baiklah, kau boleh bawa dirimu, berlakulah hati-hati! Di depan ayahmu nanti, akan aku talangi kau bicara, kau jangan kuatir." Baharu sekarang Tan Hong ketahui orang sebenarnya mencoba padanya, orang bermaksud baik. Karenanya, ia lantas menjura. "Tantai Tjiangkoen, dalam segala hal, aku mengandal pada kau!" ia kata. Tantai manggut, atau mendadak ia tanya: "Siapa itu di dalam kamar?" "Dia adalah satu sahabatku," Tan Hong beritahu. "Dia tidak ingin bertemu denganmu, dari itu aku mohon, dengan memandang aku, jangan kau membuatnya dia kaget." "Jikalau dia tidak sudi menemui, tak usah dia dipaksa," kata Tantai. "Kau tahu, adalah maksud Thaysoe bahwa pada bulan sepuluh.....” "St!" Tan Hong perdengarkan pula cegahannya. Tantai berhenti dengan tiba-tiba, lalu ia tertawa. "Setelah sekarang ini, tak dapat diketahui di belakang hari kita akan bertemu pula atau tidak," kata dia, menyambungi, "maka marilah kau keluar, untuk kita bicara sebentar." Tanpa tunggu jawaban, Tantai sambar tubuh T an Hong, untuk dibawa lompat naik ke atas kuda, kuda mana segera dikeprak untuk dilarikan keluar kuburan. In Loei bernapas lega, atau segera ia merasa tertekan pula, seolah-olah jantungnya ditindih batu seberat seribu kati. Bukankah Tan Hong diajak keluar dengan paksa? Tapi karena ia tidak berkuatir, cuma hatinya yang tidak tenteram, lekas-lekas ia bersemedi, untuk tenangkan diri. Ia empos semangatnya, ia mencoba kerahkan tenaga dalamnya. Kali ini, di luar dugaannya, ia berhasil. Ia bebas dari totokan! Maka lantas saja ia lompat turun. "Kau tunggu, akan aku pecahkan rahasia dirimu!" ia kata di dalam hatinya. Ia melihat kesekitarnya. Ia dapatkan pedangnya Tan Hong masih tergantung di tembok. Ia hampirkan pedang itu dan menurunkannya. Ia periksa gagangnya, ia dapatkan ukiran dua huruf "Pekin" — "Mega Putih". Lantas hatinya memukul. "Pekin" beserta "Tjengbeng" adalah dua pedang — atau pedang sepasang — yang menjadi peryakinannya Hian Kee Itsoe. Tjengbeng kiam telah diwariskan kepada Tjia Thian Hoa, pedang Pekin kiam kepada Yap Eng Eng. Inilah sebab yang menggoncangkan hati si nona. Dari mana Tan Hong peroleh pedang ini?" dia tanya dirinya sendiri. "Apa mungkin dia muridnya samsoepeh?" Ia awasi pula pedang itu, yang bergantungkan sepotong batu kemala dan berukirkan naga-nagaan. Ia meneliti batu itu, yang pun ada ukiran huruf-huruf "Yoe Sinsiang hoe" — artinya: "Istana perdana menteri muda." Di samping ukiran itu masih ada lain ukiran huruf-huruf yang halus sekali, yang menjelaskan dari mana asal pedang itu. Huruf-huruf halus itu berbunyi: "Hadiah dari Raja ketika anak Hong dilahirkan." Kaget In Loei, lemas kaki tangannya, hingga dengan menerbitkan suara nyaring, pedang Pekin kiam itu terlepas dari cekalannya dan jatuh ke lantai. Terang sudah sekarang bagi In Loei, pemuda itu dengan siapa ia berada sekian lama adalah puteranya Thio Tjong Tjioe yang dipandang sebagai "penghianat besar," dan menjadi musuh besar dari kaum keluarga In. Maka itu, untuk sejenak, kosonglah hatinya, tak sanggup ia berpikir — ia seperti bukan lagi berada di dalam dunia..... Tiba-tiba In Loei, dengan membawakan tangannya ke dada, tanpa merasa, telah membentur suatu barang yang kecil tapi keras. Ia ingat, itu adalah warisan dari kakeknya — yaitu yangpie hiatsie surat darah kulit kambing. Selama sepuluh tahun, selalu ia bawa-bawa warisan istimewa itu, yang bunyinya: "Turunan keluarga In, di mana saja dia bertemu dengan turunan keluarga Thio Tjong Tjioe, tak perduli lelaki atau perempuan, turunan keluarga Tjioe itu mesti dibinasakan." Sudah sepuluh tahun surat wasiat itu disimpan, rasanya masih saja ada bau bacinnya..... In Loei rasakan tubuhnya dan hatinya gemetar. Ia menjadi ngeri tidak keruan. Surat wasiat berdarah itu bagaikan es yang sangat dingin, yang mengurung dirinya. Ia pun merasakan bagaikan ada tenaga yang tak dapat ia melawannya, yang menitahkan ia membunuh Thio Tan Hong dengan tangannya sendiri! Tiba-tiba terdengar suara kuda dari luar liang kubur, itulah tanda bahwa Thio Tan Hong telah kembali. In Loei segera tetapkan hati, ia sampai kertek gigi, ia menggigitnya dengan keras. Dengan cepat ia kembali ke tempatnya beristirahat, ia duduk sambil tunduk, bagaikan ia tengah bersemedi, padahal ia sedang umpetkan mukanya yang pucat pasi itu, supaya Tan Hong tidak dapat melihatnya. Hatinya memukul keras, ia coba menenangkannya. Thio Tan Hong menolak pintu dengan perlahan-lahan, ia bertindak masuk. "Dongengku yang ketiga, segera akan aku tuturkan," katanya, sambil tertawa. "Kali ini aku mempercepat waktunya. Eh, saudara kecil, kau kenapa?" Kendati ia menanya demikian, Tan Hong sebaliknya hampirkan kaca, di depan mana ia rapikan rambutnya yang kusut. Tiba-tiba saja pada kaca itu terlihat bayangan In Loei, kedua mata siapa mendelik berapi, tangannya tengah menikam dengan pedang! Bergetar tangan In Loei itu, tapi hebat serangannya, hingga kaca perunggu itu pecah karenanya. Tan Hong lolos dari ancaman bencana, pedang itu lewat di samping lehernya, di atas pundak, langsung mengenai kaca itu. "Saudara kecil, saudara kecil, kau dengar aku....." kata Tan Hong sambil berpaling. In Loei tidak mempedulikannya, ia menikam pula, kali ini sambil meramkan mata, ketika ternyata ia kembali gagal, terus ia mengulanginya hingga tiga kali! Tan Hong masih berkelit, yang terakhir ia lompat melewati meja. Segera juga terdengar tangisnya In Loei. "Aku sudah tahu semua!" teriaknya. "Tak usah lagi kau tuturkan dongengmu yang ketiga! Ia lompat maju, lagi-lagi ia menyerang. Tan Hong egoskan tubuhnya, ia menghela napas. "Kau toh cucu perempuan dari In Tjeng?" dia tanya. "Dan kaulah anaknya musuh keluargaku!" teriak si nona, seraya menikamkan pedangnya ke arah uluhati. Dengan sekonyong-konyong saja Tan Hong pasang dadanya. "Baiklah, saudara kecil, tikamlah!" berkata dia. "Tak mau aku minta maaf padamu!" Pedang menyambar, tetapi menyimpang ke kanannya Tan Hong dengan begitu bahu pemuda itu lantas saja mengeluarkan darah. Pemuda ini benarbenar tidak berkelit dari tikaman itu, adalah si nona, yang tak dapat menarik pula pedangnya, telah menggeser incarannya. Masih Tan Hong tidak menyingkir. "Adik kecil," berkata pula si anak muda, "kalau sebentar kau telah binasakan aku, kau jangan terus turuti hawa amarahmu, jangan gusar, hanya duduklah diam-diam kira-kira satu jam. Di atas meja kemala itu ada satu botol kecil dari perak, yang berisikan obat, itulah obat yang sengaja aku sediakan untukmu, guna menguatkan tubuhmu. Nah, sudah, adik kecil, tak mau aku mohon maafmu, kau tikam pula padaku!" Kedua mata In Loei lantas mencucurkan air mata, tangannya gemetar, hatinya dirasakan sakit, hampir saja terlepas pedang Tjengbeng kiam dari cekalannya. Berbareng dengan itu, ia juga merasakan seperti surat wasiat darah di dadanya menjadi besar bagaikan bukit, seperti menindih sangat berat kepada hatinya, sebagai juga ia dipaksa untuk melakukan pembalasan sakit hati..... Sesaat saja Nona In berdiam, lantas ia acungkan pedangnya. "Ambillah pedangmu!" ia kata kepada anak muda di depannya. "Aku tidak hendak membinasakan seorang yang tidak memegang senjata di tangannya!" Nona ini tahu baik Tan Hong ada terlebih kosen daripadanya, jikalau mereka berdua bertanding, yang akan terbinasa bukannya si anak muda tapi dia sendiri, setahu kenapa, dia menghendakinya Tan Hong tempur padanya, dia seperti ingin terbunuh Tan Hong. Dia seperti percaya, dengan binasanya dia di tangan Tan Hong, tidak nanti dia merasa kecewa terhadap kakeknya..... Tan Hong berdiri di tempatnya, tanpa bergerak, cuma wajahnya yang berubah daripada biasanya. Ia kelihatan nangis bukan, tertawa bukan. In Loei tak berani mengawasinya air muka orang itu. Melihat orang terus berdiam, si nona kertek giginya. Ia jemput Pekin kiam yang terletak di tanah, terus ia lemparkan itu kepada si anak muda. "Permusuhan kita kedua keluarga ada permusuhan sangat besar bagaikan langit!" ia kata. "Maka itu, jikalau bukannya kau yang mati, tentulah aku! Lekas kau hunus pedangmu!" Thio Tan Hong sambuti pedangnya itu. "Adik kecil," berkata dia, dengan suara duka, "aku telah angkat sumpah, selama hidupku ini, tidak hendak aku bertempur dengan kau, maka itu jikalau kau hendak bunuh aku, bunuhlah! Saudara kecil, jikalau kau tidak hendak turun tangan, aku akan pergi dari sini!" In Loei membabat ke arah muka Tan Hong, akan tetapi pedang Cuma berkelebat di depan muka, lalu ditarik kembali. Menampak demikian, Tan Hong menghela napas, lantas ia lompat keluar dari kamar rahasia itu, setibanya di luar segera ia lompat naik atas kuda putih. "Adik kecil, rawatlah dirimu baik-baik!" terdengar ia berkata dengan nyaring. "Saudara, aku pergi!" Dengan bengernya kuda satu kali, sunyilah istana Hek Pek Moko itu, malah sedetik kemudian, Tan Hong sudah berada jauhnya beberapa lie. Di lain pihak, In Loei berdiri menjublak, pedangnya telah jatuh ke lantai. Dihadapan nona ini, segala apa ada suram, gelap..... -ooo0dw0ooo- BAB VIII Di luar pekuburan terdengar kuda berbenger, lalu keadaan menjadi sunyi dan Thio Tan Hong telah lenyap! Biarlah Thio Tan Hong lenyap untuk selama-lamanya! Misalkan saja di dunia ini belum pernah ada Thio Tan Hong itu! Demikian pikiran aneh yang melayang di kepala In Loei. Tapi Thio Tan Hong yang berdarah daging, yang telah berdiam bersama ia di dalam kamar rahasia, bagaimana bisa dia tidak ada di dunia? Tiga hari mereka berada bersama! Ya, Thio Tan Hong telah pergi jauh, Thio Tan Hong tak tertampak pula. Benarkah dia telah menghilang? Oh, tidak, tidak! Lihat! Kau lihat, dia telah kembali, dia kembali, dia kembali! Bayangannya, secara sangat samar, secara perlahan sekali, telah nelusup masuk ke dalam hati In Loei, dan surat wasiat berdarah itu, telah hilang dialingi bayangan Thio Tan Hong itu..... In Loei berada dalam kegelapan, ia bagaikan meraba-raba. Membencikah ia? Menyintakah ia? Girangkah ia? Atau, berdukakah ia? Inilah ia tidak ketahui, tak dapat ia membeda-bedakannya. Kebaikan budi dan permusuhan sudah melibat menjadi satu, begitupun sang cinta dan kebencian, tak dapat itu diputuskan dengan gunting, hendak dibereskannya, tetap kusut. Pada saat itu, tak dapat In Loei memikir apa jua, otaknya bagaikan kosong, tak suatu apa ketinggalan di kepalanya. Tapi dalam keadaannya seperti itu, dengan lapat-lapat, ia seperti tampak Thio Tan Hong tengah mendatangi ke arahnya, dan akhirnya pemuda itu berbisik di telinganya: "Adik kecil, adik kecil.....” In Loei seperti mendengar kebengisan yang agung dari kakeknya, ia seperti melihat mata yang menyinta dari ibunya..... Ia mendengar satu suara yang halus sekali, yang memanggil-manggil padanya. Di dunia, di mana ada suara si lemah itu? Di mana ada sinar mata sehalus itu? Itulah suara Tan Hong tadi. Itulah sinar matanya Tan Hong tadi..... Kedua mata In Loei, dengan perlahan-lahan, menggeser, berpindah ke arah meja berbatu kemala, di atas mana Tan Hong telah meletakkan botol peraknya yang kecil. Itulah botol yang berisikan obat yang Tan Hong sediakan untuknya. "Bukankah itu ada barang musuh? Tidak, tidak, tak dapat aku memakannya!..... Tetapi ini ada barang yang menandakan kebaikan terakhir dari Tan Hong..... Tidak, tidak selayaknya aku menolaknya..... Kembali dua macam pikiran bertentangan satu pada lain. Kembali dengan sayup-sayup, si nona seperti melihat sinar mata menyinta dari Tan Hong tengah mengawasi ia, lalu di kupingnya terdengar suara yang halus dan merdu: "Adik kecil, meski benar lukamu telah sembuh akan tetapi tenaga dalammu belum pulih seanteronya, maka, adikku, makan, makanlah obat itu.....” Itulah sinar mata yang tak dapat ditentang, itulah suara halus yang tak dapat dibangkang. Tanpa merasa, In Loei ulur tangannya, menjemput botol itu, dari dalamnya ia keluarkan tiga butir obat warna merah terus ia masukkan ke dalam mulutnya..... Tidak tahu In Loei, berapa lama sudah ia duduk menjublak, ia hanya tampak cahaya matahari di luar pekuburan sudah condong ke arah barat, rupanya hari sudah mulai magrib. Sekonyong-konyong, dari luar kuburan terdengar kuda meringkik. In Loei terperanjat, hatinya goncang. Dengan gesit dia lompat bangun, hatinya pun berpikir: "Mustahilkah dia kembali?" Tiba-tiba terdengar satu seruan dari kegirangan yang meluap-luap, lalu di sana, di lorong kuburan, tampak Tjioe San Bin lari mendatangi dengan keras sekali. "Adik In! Oh, sungguh benar kau berada di sini?" demikian seru pemuda she Tjioe itu. Tapi segera suara itu disusul dengan suara kaget dan sangat berkuatir: "Eh, eh, adik In, apakah kau terkena tangan jahatnya binatang itu?" In Loei perlihatkan senyuman tawar, ia menggeleng- gelengkan kepalanya. San Bin sudah lantas sampai pada si nona, malah segera ia duduk di sampingnya, terus ia tatap muka orang. Ia tampak satu wajah yang kumal, roman yang lesu, seperti orang kehilangan semangat, maka itu, ia merasa kuatir untuk nona itu. In Loei berdiam, ia coba tenangkan diri. "Kiranya kau dan dia bersembunyi di dalam kuburan," kata San Bin. "Apakah dia tidak menganggu padamu? Tahukah kau, siapa dia? Dia adalah puteranya penghianat besar Thio Tjong Tjioe! Ya, dia adalah musuh besar dari kakekmu!" San Bin menyangka, mendengar perkataannya itu, si nona akan kaget, tapi sangkaannya itu meleset. "Ya, aku sudah tahu," sahut si nona, perlahan sekali. Maka itu, adalah San Bin yang terperanjat bahna herannya, hingga dia lompat berjingkrak. "Apa?" tanyanya separuh berteriak. "Kau telah ketahui? Bila kau ketahui itu?" Tubuh In Loei tetap tidak bergerak. "Baharu saja aku mengetahuinya," ia menyahut, tetap dengan perlahan. "Tantai Mie Ming barusan datang kemari.....” San Bin keluarkan napas lega. "Begitu?" katanya. "Aku heran, kalau kau tahu dia ada musuhmu, kenapa kau ada bersama dia. Apakah kau telah bertempur dengannya? Apakah kau tidak terluka?" "Aku terluka ditangan Pek Moko," In Loei beri-tahu. Dia justeru yang mengobati aku.....” San Bin heran. "Dia?" ia ulangi. "Dia siapa?" "Ialah dia musuhnya kakekku." San Bin melengak. "Apakah dia tidak tahu bahwa kau cucu perempuannya In Tjeng?" tanyanya. "Aku telah menikam dia dengan pedang. Dia telah mendapat tahu." Kembali San Bin melengak. Tapi kali ini segera ia sadar. "Oh, aku tahu sudah!" ia kata. "Mulanya anak penghianat itu tidak tahu bahwa kau adalah musuhnya, maka itu ia berdaya mengambil hatimu, supaya kau dapat digunakan untuk keuntungan dia, kemudian setelah kau tikam padanya, dan ia tahu bukannya tandinganmu, ia lari kabur! Sayang kau tengah terluka, tenagamu belum pulih, jikalau tidak, pasti kau dapat membunuhnya. Coba aku ketahui, tidak usah kau berdaya demikian keras.....” In Loei tunduk, ia tidak berkata suatu apa. Tapi San Bin, sambil tertawa, berkata pula: "Jikalau aku tahu ilmu silatnya tidak liehay, tidak nanti aku berdaya keras, hingga aku minta Hongthianloei Tjio Eng mengirimkan panah Loklim tjian....." In Loei terkejut. "Apa? Loklim tjian?" dia tanya. San Bin tertawa. "Pengalamanmu mengenal kaum kangouw masih belum banyak," ia berikan keterangannya. "Apakah benar kau masih belum tahu apa itu Loklim tjian? Itulah panah titahan yang di kirim pemimpin kaum loklim kepada jago-jago loklim, siapa yang melihat itu, dia tentu akan datang untuk memberikan bantuannya walaupun dia mesti terjang api. Adik In, inilah pengaruhnya malaikat atau iblis yang membuatnya anak Thio Tjong Tjioe berani seorang diri saja masuk ke Tionggoan. Adik, pastilah sakit hatimu akan dapat dibalas, dilampiaskan." Pada matanya In Loei, surat wasiat berdarah itu tampaknya seperti melar semakin besar. Pada saat itu, tak tahu ia, warta San Bin ini harus diterima dengan kegirangan atau kedukaan. Ia tahu, pesan kakeknya, yang mewajibkan dia menuntut balas, tidak dapat diabaikan, bahwa musuh she Thio itu tidak boleh diberi ampun. Bolehkah dia membiarkannya pembalasan itu dilakukan oleh lain orang? Pantaskah kalau ia tidak turun tangan sendiri? Tapi, ketika ia bayangkan halnya Thio Tan Hong nanti tercingcang goloknya kaum Rimba Hijau, tidak berani ia membayangkannya terlebih jauh, tidak berani ia memikirkannya..... "Adik In," terdengar pula San Bin berkata, "sejak kau meninggalkan gunung, aku selalu pikirkan kau.....” Suara ini sangat perlahan, manis terdengarnya. "Banyak terima kasih untuk perhatianmu," katanya, lemah. Kecewa San Bin melihat orang lesu. "Sejak perpisahan kita itu, aku selalu ingin bertemu pula dengan kau," berkata pula pemuda she Tjioe itu, "sayang, aku senantiasa repot. Mana bisa aku segera cari kau? Baharu satu bulan yang lalu mata-mataku di perbatasan dapat mengendus bahwa putera Thio Tjong Tjioe sendirian saja masuk ke Tionggoan, bahwa dia telah menyamar sebagai satu mahasiswa dengan menunggang seekor kuda putih, kuda jempolan. Lantas ayahku berdamai dengan orang-orang kita. Rata-rata orang anggap kedatangannya Thio Tjong Tjioe ke Tionggoan, tidak nanti dia mengandung maksud baik, pasti dia bertujuan untuk mengacau balau Tiongkok, maka itu ayah menugaskan aku pergi mencari, guna mengintai dia. Aku dipesan supaya bekerja sama dengan semua saudara Rimba Hijau, untuk bersama membekuk dia. Begitulah, loklim tjian telah disiarkan. Tempat ini termasuk wilayah Shoasay, pemimpin Rimba Hijau dari kedua propinsi Shoasay dan Siamsay adalah Tjio Eng, dari itu aku sudah lantas cari ketua she Tjio itu. Sayang, ketika aku sampai di rumahnya, Tjio looenghiong kebetulan tidak ada di rumah, aku cuma dapat bertemu dengan puterinya. Dari Nona Tjio aku mendapat keterangan, kau telah menjadi baba mantunya Tjio looenghiong itu. Selagi aku cari Tjio looenghiong, dia sendiri sedang mencari kau. Haha, adik In, sandiwaramu ini membikin aku tertawa geli sampai perutku mulas! Kau tahu, Nona Tjio itu sungguh-sungguh menyintai kau!" In Loei bersenyum. "Bagaimana kau lihat Nona Tjio itu?" ia tanya. "Ilmu silatnya cukup baik," sahut San Bin. "Yang lainnya lagi?" tanya pula In Loei. "Aku kenal dia sebentar saja, mana aku ketahui sifatnya yang lain lagi?" San Bin membaliki. In Loei bersenyum pula. Hendak dia berkata pula, tapi ia tercegah halnya loklim tjian, panah Rimba Hijau itu. Ia bingung. Tjio Eng begitu menghormati Thio Tan Hong, kenapa dia bekerja sama dengan San Bin menyiarkan panah istimewa itu? Inilah satu soal, yang perlu ia ketahui jelas. San Bin tidak tahu apa yang si nona pikirkan, menerkanya pun tidak. Ia bicara terus. "Itu hari bersama-sama nona Tjio aku telah kejar muridnya Tantai Mie Ming," kata dia. "Murid Mie Ming itu menunggang seekor kuda pilihan, kita kejar dia sampai kira kira empat puluh lie, tapi tak dapat kita menyandaknya. Kuda kita semua telah kehabisan tenaga. Kuda dia lari bagaikan terbang, tak dapat disusul terus.....” "Bagaimana dengan nona Tjio?" tanya In Loei. San Bin tertawa. "Hai, nyonya, rupa-rupanya terhadap aku, kau kandung suatu maksud!" katanya. "Terus menerus kau angkat aku, dari suaramu, agaknya kau merasa kurang puas terhadap kakak angkatmu ini, hingga kau membuatnya aku tidak mengerti! Aku toh kakak angkatmu? Ada hubungan apa antara nona Tjio itu dengan aku?" Di dalam hatinya, In Loei tertawa. Ia ingat halnya sendiri pada malam pengantin, terhadap Tjoei Hong berulang kali ia menyebut-nyebut San Bin. San Bin mengangkat pundak, ia berkata pula: "Oleh karena kita gagal mengejar musuh itu, Tjoei Hong dan aku berselisih mulut sebentar, katanya dia hendak pulang sendirian saja, tidak ingin dia mengajak aku untuk menemui ayahnya. Dia pun membikin banyak ribut, dia ingin aku kembalikan batu sanhu kepadanya, seperti juga dia anggap sanhu itu bagaikan jiwanya.....” Tanpa merasa, In Loei tertawa. San Bin berkata pula: "Aku tahu, batu itu engkaulah yang memberikan padanya selaku tanda mata, terhadapmu, dia sangat menyinta, pantas ia sangat menyayangi batu itu." In Loei tertawa. "Tetapi kali ini adalah kau yang memberikan dia tanda mata, bukannya aku yang memberikannya!" katanya. San Bin tercengang, wajahnya segera berubah menjadi merah. "Ah kau, setan cilik! Kau ngaco belo! Nanti aku robek mulutmu!.....” Dan ia ulur tangannya. In Loei palingkan mukanya, masih ia tertawa. "Mari kita bicara dari hal urusan yang benar," ia kata kemudian. "Nona Tjio tidak sudi mengajak kau menemui ayahnya, habis dari manakah kau dapatkan panah Loklim tjian itu?" "Itu adalah kejadian yang kebetulan saja," jawab San Bin. "Sesudah nona Tjio tidak mau mengajak aku, dia berangkat, kemudian aku pun berangkat. Aku menuju ke barat. Tidak lama kemudian, aku bertemu dengan Hongthianloei Tjio Eng, ayahnya itu. Tjio Eng belum tahu bahwa barusan aku berada bersama gadisnya. Rupanya ayah dan anak itu mengambil jalan yang berlainan, hingga mereka tak bertemu satu dengan lain." "Bukankah Tjio looenghiong itu ada bersama empat saudagar barang permata?" In Loei tanya. "Benar! Dia jalan terburu-buru seperti mempunyai urusan sangat penting, hingga dia tak sempat bicara banyak denganku. Aku minta Loklim tjian padanya. Sebenarnya hendak aku bicara lebih banyak padanya, untuk menceritakan gadisnya, tapi dia sudah mendahului menggoyang-goyangkan tangannya dan berkata: "Nama Kimtoo Tjeetjoe sangat kesohor, siapakah yang tidak ketahui? Kau hendak bekuk seseorang, dia tentunya ada seorang yang jahat tak berampun, maka tentang dia, tak usah kau menjelaskannya. Kau perlu Loklim tjian, kau boleh dapatkan itu. Aku mempunyai urusan penting, maafkan aku, tidak dapat aku menemani kau. Siauwtjeetjoe, kalau urusanmu telah selesai, aku undang kau datang ke Heksek tjhoeng, nanti kita pasang omong dengan asyik..... Tanpa tanya apa-apa lagi, ia serahkan Loklim tjian padaku, terus ia ajak ke empat saudagar itu melanjutkan perjalanannya." "Oh, demikian duduknya hal.....” In Loei berpikir. "Coba Tjio Eng menanyakannya dan ia ketahui siapa yang hendak dibekuk orang she Tjioe ini, tidak nanti akan terjadi kekeliruan semacam ini.....” "Aku bertemu dengan Tjio looenghiong di dekat tanjakan Bengliangkong," berkata pula San Bin, "tempat itu adalah daerah pengaruhnya Tjeetjoe Na Thian Sek. Aku lantas pergi menemui Thian Sek, aku serahkan Loklim tjian kepadanya sambil menitahkan dia agar dalam tempo tiga hari, panah itu sudah sampai kepada seluruh kaum Rimba Hijau. Aku berdiam satu hari di pesanggrahannya, untuk mendengar dengar kabar. Lancar jalannya urusan itu. Dengan bekerja sama antara Tjio Eng dan ayahku, ada beberapa orang yang tadinya tidak sudi mendengar titah, yang biasa menjagoi di tempatnya masing-masing telah menyatakan sudi memberikan bantuannya. Adik In, kali ini pastilah sakit hatimu dapat dibalaskan! Eh, eh, kau kenapa? Kenapa kau kelihatannya tidak gembira?" San Bin terkejut, ia ucapkan kata-katanya yang terakhir ini karena tiba-tiba saja ia tampak wajah si nona menjadi pucat. Akan tetapi nona itu, begitu ditegur, dia telah paksakan diri untuk tertawa. "Sebenarnya aku merasa kurang sehat," ia kata. "Tapi sekarang aku sudah sehat, aku, aku girang sekali." "Tentang Loklim tjian itu, tidak usah aku memperhatikannya terlebih jauh," San Bin menerangkan pula. "Satu kali panah telah di kirimkan, orang-orang loklim sendiri masing-masing tahu bagaimana harus mengurusnya. Aku ingat hari itu di tempat ini aku bertemu dengan kuda merahmu, karenanya aku kembali untuk mencari kau. Thian mengasihani aku, beruntung aku telah bertemu denganmu!" In Loei berdiam. San Bin masih hendak bicara lebih jauh, tapi ia seperti dengar suatu apa, lantas ia jatuhkan diri, untuk mendekam di tanah seraya memasang kupingnya. "Apakah ada orang tengah mendatangi?" tanya In Loei menyaksikan kelakuan orang itu. "Kenapa aku tidak dengar apa-apa?.....” San Bin lantas berbangkit pula. "Ada orang datang, tapi masih jauh," sahutnya. Lantas ia lari keluar, untuk coba menutup pintu, kemudian ia kembali. Itulah "Hoktee tengseng" atau ilmu memasang kuping sambil mendekam di tanah yang San Bin gunakan, itu adalah suatu ilmu istimewa. Pernah In Loei pelajari ilmu itu tetapi belum sempurna. San Bin awasi si nona, lalu ia bersenyum. "Bukankah baik kau salin pakaian?" katanya. Merah wajahnya In Loei. Kata-katanya San Bin seolah-olah merupakan teguran untuknya. Sambil tunduk, ia bertindak masuk ke dalam kamar rahasia, yang pintunya terus ia tutup. Di tinggal seorang diri, San Bin berpikir keras. Ia sangsikan nona ini, ia bercuriga. Bukankah, selama ia belum ketahui Thio Tan Hong ada musuhnya, In Loei telah bergaul rapat sekali dengan Tan Hong? Sampai di mana pergaulan mereka? In Loei sendiri, selagi ia buka bungkusan pakaiannya, di kepalanya seperti terbayang wajah Thio Tan Hong yang seolah-olah sedang tertawa, kupingnya seperti berulangkah mendengar, "Adik kecil, adik kecil....." suara itu halus dan manis yang menggoncangkan semangat. Ia menjadi tidak keruan rasa, hingga ketika ia angkat bajunya, baju untuk wanita, ia merobeknya! Kenapa ia jadi sengit? Bencikah ia pada bajunya itu? Tidak! Tak tahu ia kenapa dengan mendadak ia jadi sengit. Lalu timbul keinginan untuk menjadi seorang lelaki! Ia percaya, kalau ia menjadi seorang pria, mungkin tak akan dialaminya segala kesukaran ini..... Tengah memeriksa pakaiannya, nona ini lihat sepotong baju merah tua. Ia ingat, inilah baju yang pertama kali ia pakai setelah Tan Hong ketahui bahwa dia adalah satu nona. Ketika itu, Tan Hong, yang mengawasi dengan tajam padanya, sangat mengagumi dan memuji kecantikannya. Ia lantas menghela napas. Ia terus pandang bajunya itu. Ya, tidak salah, itulah baju yang dipuji Tan Hong. Ia lantas usap-usap baju itu, lalu disimpan secara hati-hati juga. Di luar kamar rahasia, terdengar tindakan kaki San Bin, yang rupanya sedang jalan mondar-mandir. Mendengar itu, mendadak In Loei sadar dari lamunannya. "Pastilah tak sabaran Tjioe Toako menantikan aku!.....” pikirnya. Maka ia lantas pilih seperangkat pakaian pria dan segera dipakainya dengan cepat, lalu dengan cepat juga ia bertindak keluar. San Bin tengah sandarkan tubuh di pintu batu. "Kau dengar tidak tindakan kaki kuda itu?" dia berkata. "Orang telah dating semakin dekat. Orang yang datang ke tempat pekuburan ini, mestinya bukan sembarang orang. Bagaimana dengan kesehatanmu? Dapatkah kau menggunakan pedangmu?" "Rasanya aku dapat," jawab In Loei. "Tjioe Toako, coba kau tuturkan pula padaku tentang Loklim tjian." Itulah pertanyaan yang San Bin tidak sangka, ia menjadi heran. Bagaimana dalam keadaan demikian si nona masih sempat menanyakan urusan panah kaum Rimba Hijau itu? "Aku percaya sekarang ini, panah itu sudah tersiar luas," ia menjawab. "Apa lagi yang hendak dibicarakan mengenal panah itu?" "Di dalam propinsi Shoasay ini, siapakah jagonya loklim?" In Loei tanya. San Bin mengawasi, ia tertawa. "Ah, apakah kau sangsi tak akan dapat menuntut balas?" dia balik menanya. "Di dalam propinsi ini, ada banyak jago loklim1. Ya, aku sampai lupa memberitahukan kau satu hal. Kau tahu, djiesoepeh Tiauw Im Taysoe-mu, yang belum lama ini baharu kembali dari Mongolia, sekarang berada di dalam daerah ini. Jangan-jangan dia pun telah mendapat tahu tentang panah kita itu." In Loei heran. "Adakah itu benar?" dia tanya. "Kapan djiesoepeh pergi ke Mongolia? Apakah kau telah bertemu kepadanya?" "Aku sendiri tidak menemuinya, aku dengar pembicaraan orang," sahut San Bin. "St, jangan kau bicara pula. Dengar, di luar ada suara orang memanggil kau!" Memang benar kata-kata orang she Tjioe ini. "In Loei! In Loei!" demikian suara panggilan di luar pekuburan. Itulah suaranya Tjoei Hong! In Loei heran hingga ia tercengang. Baharu ia hendak berkata, "Jangan bukakan pintu," atau San Bin sudah pentang pintu kuburan, hingga nona Tjio bisa lari masuk, larinya keras sekali. Begitu ia lihat In Loei, Tjoei Hong girang bukan kepalang. "In Siangkong, kau benar ada di sini!" dia berseru. Cuma itu yang ia dapat katakan, lantas saja ia menangis tersedu-sedu, menangis karena girangnya. "Lukanya In Siangkong baharu baikan, kau jangan ganggu dia," San Bin peringatkan. Baharu sekarang Tjoei Hong lihat pemuda she Tjioe itu, untuk sedetik ia tercengang, habis itu, sepasang alisnya berdiri, wajahnya menunjukkan kegusaran. "Kita ada suami isteri, kenapa kau usilan?" dia bentak. Tapi terus dia hampirkan In Loei. "In Siangkong, adakah kau terkena tangan jahatnya Hek Pek Moko?" dia tanya, dengan perlahan sekali. In Loei manggut. "Kau jangan kuatir, sekarang ini aku sudah sembuh," ia jawab. Ia pegang tangan si nona, untuk ditarik. "Benar apa yang dikatakan Tjioe Toako , perlu aku beristirahat. Kau lihat, hari sudah sore." Mukanya Tjoei Hong menjadi bersemu merah. "Kau bantu kakak angkatmu, kau tidak perhatikan aku.....” katanya dalam hati, saking mendongkol. Ia cuma bisa berpikir, tidak berani ia utarakan kemendongkolannya itu. San Bin di samping mereka tertawa tertahan. "Eh, kau tertawakan apa?" tegur Tjoei Hong, matanya mendelik. In Loei menyelak tanpa tunggu jawaban San Bin, yang bersenyum. "Aku sudah lapar, Nona Tjio, tolong kau masakkan aku makanan," demikian katanya. "Di sini ada beras, ada daging. Ingin aku beristirahat, maka kalau nanti makanan itu sudah sedia, baharu kau panggil aku.....” Habis berkata terus ia masuk ke dalam kamar rahasia. San Bin hendak ikuti si nona, baharu ia jalan dua tindak, Tjoei Hong sudah perdengarkan suaranya yang kaku: "Eh, mari kau bantui aku ambil air untuk cuci beras!" Biar bagaimana, pemuda ini jengah, urung ia masuk ke dalam kamar rahasia. In Loei menoleh, ia bersenyum kepada pemuda itu. Ia bagaikan anak nakal yang merasa sangat puas karena berhasil menggodai orang..... San Bin masgul sekali, dengan mulut membungkam ia bantui Tjoei Hong mengambil air untuk cuci beras, lalu menyalakan api, untuk memasak nasi. Tjoei Hong juga bungkam terus, tidak ia pedulikan anak muda itu, suatu tanda ia murka. Adalah In Loei, yang katanya hendak beristirahat, di dalam kamar rahasia sudah mengasah otaknya. Ia pikirkan, dengan cara bagaimana dapat ia menjodohkan kedua pemuda dan pemudi itu. Ia bersenyum bila ia dengar orang tidak perdengarkan suara satu pada lain. "Tjoei Hong sangat membenci dia, itulah tentu disebabkan karena ia menyangka akan sangat berpihak pada toako San Bin," ia pikir. "Tapi, kalau nanti ia ketahui aku pun seorang wanita sebagai dia, pastilah dia akan tertawa! Adakah ini yang dikatakan, kalau bukan musuh tidak berkumpul menjadi satu?" Selagi memikir demikian, Nona In ini jengah sendiri. Tidakkah ia pun demikian ketika pertama kali ia bertemu dengan Tan Hong? Tidakkah ia juga semula mempunyai perasaan jemu? Karena ini, ia menghela napas sendirinya. In Loei tidak tahu berapa lama ia telah melamun, tahu-tahu ia dengar Tjoei Hong mengetok pintu kamar. "In Siangkong, nasi sudah matang!" kata "isteri" itu. Bagaikan baharu sadar dari mimpinya, dengan gugup In Loei buka pintu. Ia lantas dapat tenangkan diri. Tapi, begitu lekas ia tampak sikapnya San Bin dan Tjoei Hong berdua, yang tetap masih saling membungkam dan tak pedulikan satu dengan lain, tak tertahan lagi, ia tertawa. Tjoei Hong dan San Bin itu berebut hendak menyajikan nasi untuk In Loei, karenanya, nona itu kembali deliki si anak muda, hingga dia ini dengan jengah mesti mengalah. In Loei bersenyum, ia sambuti nasi dari Nona Tjio. San Bin jengah, kuatir ia nanti ditertawakan In Loei, ia diam dengan muka yang merah. "Tjoei Hong," berkata In Loei kemudian, "Tjioe Toako ini adalah Djitgoat Siangkie Kimtoo Siauwtjeetjoe. Ia ada seorang yang banyak pemandangannya, luas pengetahuannya, maka itu pantaslah kalau kau meminta pengajaran daripadanya." Dengan sengaja In Loei menyebutkan lengkap "Djitgoat Siangkie Kimtoo Siauwtjeetjoe" atau "tjeetjoe muda terjuluk Kimtoo, si Golok Emas, dari pesanggrahan yang berbendera Djitgoat Siangkie, bendera sepasang matahari dan rembulan." Mendengar itu Tjoei Hong perdengarkan suara dihidung, "Hm!" "Memang telah aku ketahui, kakak angkatmu itu ada seorang gagah yang luar biasa," demikian katanya secara memandang enteng. "Jikalau bukannya begitu, cara bagaimana kau begini mendengar kata terhadapnya?" Mendengar demikian, San Bin menjadi sangat jengah. Tidak demikian dengan si Nona In, yang tak pedulikan ejekan itu. Ia telah menduga yang ia akan mendapat sambutan demikian. Sambil tertawa, ia berkata pada si nona: "Turut katanya Tjioe Toako, itu hari kau terburu-buru pulang, kenapa sekarang kau keluar pula?" "Memang," jawab Tjoei Hong. "Tidak lama setibanya aku di rumah, ayah pun pulang. Wajah ayah muram sekali, ia seperti tengah menghadapi soal sangat sulit. Aku tanya ayah apa ia dapat menemui kau, ayah jawab tidak. Ayah tahu betul kau masih berada di dalam kuburannya Hek Pek Moko, tetapi ada orang yang mencegah dia menemui kau. Hal itu membuatnya aku heran sekali." San Bin pun heran, hingga ia campur bicara. "Ayahmu ada seorang gagah, ia disegani kaum Rimba Hijau, siapa yang berani merintangi dia?" demikian ia tanya. Mendengar orang memuji ayahnya, kesan jelek Tjoei Hong terhadap pemuda itu berkurang dengan segera. Tapi masih ia tidak mau melayani orang berbicara, ia hanya memandang In Loei. "Berulangkah aku tanya ayah, siapa itu orang yang mencegah dia, ayah tetap tidak hendak mengatakannya," kata Tjoei Hong. Ayah katakan ia tidak takuti siapa pun jua, melainkan perkataan orang itu tak dapat ia tidak mendengarnya. Ayah pun berkata, tentang jodohmu, itu ditanggung olehnya serta In Siangkong. Ia kata tidak usah aku pusingkan kepala lagi. Berkata sampai di situ, merah mukanya Tjoei Hong, hingga tidak berani ia bertemu mata dengan In Loei, tangannya pun membuat main ujung bajunya saja. In Loei tertawa di dalam hati. Ia girang, ia pun berduka. Ia girang menyaksikan kemalu-maluan Tjoei Hong dan Tjio Eng yang demikian menghargai Thio Tan Hong. Tapi ia berduka untuk nasibnya sendiri, yang belum tahu bagaimana jadinya nanti. Bukankah Tan Hong itu musuhnya? Ia tahu benar, orang yang dimaksudkan Tjio Eng itu adalah Thio Tan Hong, tapi tentang pemuda she Thio itu, tidak hendak ia menyebutkannya. "Selama belasan hari ini, sikap ayah menjadi luar biasa sekali," Tjoei Hong menambahkan. "Biasanya, dalam hal apa juga, ayah selalu bicara denganku, hanya selama ini, semua gerak-geriknya ia rahasiakan. Tentang siapa adanya si bangsat cilik berkuda putih itu, perihal selembar gambar lukisan, juga mengenai orang yang mencegah padanya, semua itu ayah tak hendak beritahukan sedikit jua padaku. Ayah sampai tidak mempedulikannya yang aku menjadi gusar. Sebaliknya ayah menghendaki aku segera mengantarkan surat.....” "Mengantarkan surat?" tanya In Loei. "Mengantarkan surat untuk siapa?" ia perlihatkan roman heran dan sangat ingin mengetahui. Tjoei Hong sebaliknya bersenyum. "Surat itu mesti disampaikan kepada seorang kangouw yang kenamaan, yang aneh," ia beri tahu. Tapi cuma sampai di situ ia memberitahukannya, lalu ia tambahkan: "Sekarang ini tidak hendak aku beritahukan dulu kepadamu. Jikalau kau ingin bertemu dengan orang aneh itu, besok kau boleh turut aku pergi bersama!" "Di propinsi Shoasay ini di mana ada orang kenamaan yang aneh seperti yang kau maksudkan itu?" San Bin campur bicara pula. "Apakah dia itu Na Tayhiap? Ataukah Tjek Tjhoengtjoe? Atau?" "Hm!" Tjoei Hong memotong. "Tak usah kau menduga-duga tidak keruan! Kau memang ada Kimtoo Siauwtjeetjoe yang kenamaan akan tetapi tidak nanti kau ketahui orang kangouw kenamaan yang aneh itu!" San Bin ketemu batunya, ia bungkam pula. In Loei tertawa. "Sudahlah, jangan kau main sandiwara!" kata dia. "Akan aku turut perkataanmu. Besok bersama-sama Tjioe Toako, aku akan turut kau! Sekarang sudah malam, hendak aku tidur!" Dia tolak pintu kamar rahasia ke dalam mana ia bertindak masuk. Tjoei Hong cuma bersangsi sebentar, ia turut masuk juga ke dalam kamar itu. "Entjie Hong, di sana masih ada sebuah kamar," berkata In Loei dengan perlahan pada nona ini. Tjoei Hong jengah dan mendongkol, hingga ia berhenti bertindak. Ketika ia hendak buka mulutnya, dari luar ia dengar suara San Bin berkata-kata seorang diri: "Hebat kuburan ini, bagaikan satu dunia baru saja! Ruang di dalam tanah ini bagaikan istana, sudah ada ruang besar, masih ada beberapa kamar lainnya, sungguh bagus! Kamu berdua boleh tidur masing-masing di kamar, aku sendiri, aku tidur di ruang besar ini, untuk berjaga malam. Hiantee, kau baharu sembuh, perlu kau beristirahat, mesti kau tidur siang-siang, jangan kau terlalu banyak bicara.....” Mukanya Tjoei Hong merah hingga kekupingnya, ia lompat keluar kamar rahasia. Di ruang tengah itu ia tampak San Bin mengawasi ia, wajahnya tampak seolah-olah bersenyum..... San Bin menutup mulut. Mendongkol Nona Tjio, hingga ingin ia bacok pemuda itu sampai tubuhnya kutung. Dengan mendongkol, ia tolak keras daun pintu dari kamar yang ditunjukkan In Loei, ke dalam mana ia bertindak masuk. Karena terus mendongkol, sampai jauh malam belum dapat ia tidur pules..... Besoknya, pagi-pagi, bertiga mereka itu telah mendusi dari tidurnya. Mereka berkumpul di ruang tengah. In Loei bicara dengan San Bin, tapi San Bin dan Tjoei Hong tak bicara satu pada lain. Tidak lama, mereka duduk bersantap bersama-sama. Habis dahar, ketika mereka mau keluar dari kuburan itu, tibatiba terdengar di kejauhan suara kuda berbunyi. San Bin lompat bangun. "Cepat sekali datangnya kuda itu!" kata dia. Ia bicara seperti tanpa juntrungan. Baharu ia tutup mulutnya, atau suara kuda terdengar makin dekat. Dua kali binatang itu berbenger. "Eh!" Tjoei Hong berseru, tanpa ia merasa. "Suara kuda itu seperti suaranya Si kuda putih!.....” Mendadak wajah In Loei menjadi pucat, tubuhnya pun limbung bagaikan hendak jatuh. Tjioe San Bin sudah lantas cabut goloknya. "Bagus! Dia telah mendahului datang mencari kita!" ia kata. "Mari kita gabung tenaga kita untuk tempur dia!" In Loei raba pedangnya, tangannya gemetar. Belum lagi ia hunus pedangnya itu, terdengarlah suara berisik dari rubuhnya pintu depan, menyusul mana seekor kuda putih menyerbu masuk! San Bin berseru, kaget tercampur girang, terus dia lompat menyambut sambil memberi hormat kepada orang yang menunggang kuda putih itu. In Loei pasang matanya, ia dapatkan orang itu bukannya Thio Tan Hong yang ia harap-harap, hanya, di luar sangkaannya, orang itu adalah Tiauw Im Hweeshio1. Ia menjadi girang berbareng kecewa, hingga ia berdiri menjublak dihadapannya pendeta itu, tak dapat ia bicara. Si pendeta pun heran menampak orang dandan bagaikan satu pemuda, hingga ia keluarkan seruan tertahan: "Ah!" Kemudian, selagi ia hendak minta keterangan, Tjioe San Bin telah menarik ujung bajunya, mengajak ia ke pinggir, untuk dibisiki. Akhirnya, ia tertawa berkakakan. "Anak Loei, mari!" ia memanggil sambil melambaikan tangannya. "Baharu beberapa tahun aku tidak lihat kau, sekarang kau telah menjadi demikian rupa." "Soesiok." In Loei memanggil, yang maju seraya memberi hormat. Tjoei Hong turut di belakang In Loei, ia pun memberikan hormatnya. Tiauw Im melirik kepada nona Tjio, lalu ia tertawa berkakakan pula. "Sungguh cantik!" katanya, gembira. "Anak Loei, jangan kau sia-siakan padanya!" "Apa soesiok ada baik?" tanya Tjoei Hong. Ia agak malu. Tiauw Im mengawasi, ia tertawa pula. "Kau begini cantik, apakah kau juga bisa masak nasi?" dia tanya. Melengak Nona Tjio ditanya begitu. "Teehoe sangat cerdik!" San Bin menyelak, untuk mewakilkan si nona menjawab paman guru yang Jenaka itu. "Ia bukan cuma pandai masak nasi ia pun pandai masak sayur!" "Bagus, bagus!" seru pendeta itu. "Selama dua hari aku telah melakukan perjalanan tujuh atau delapan ratus lie, sekarang perutku lapar sekali, maka itu, lekas kau matangkan aku nasi dan sayurnya!" Tjoei Hong melengak, di dalam hatinya, ia kata: "Walaupun kau lapar, tidak selayaknya kau berlaku demikian terhadapku! Ayahku sendiri belum pernah menitahkan aku begini rupa.....” Tiauw Im sudah lantas cangcang kudanya, habis itu ia jatuhkan diri untuk duduk. "San Bin Hiantit," kata dia pada pemuda she Tjioe itu, yang ia panggil "hiantit" atau keponakan, "kau juga pergi bantui iparmu masak nasi! Kau masak kira-kira tiga kati beras. Sayurnya tak usah banyak, cukup dengan enam atau tujuh rupa!" Tanpa ragu-ragu lagi Tiauw Im berikan titahnya itu, ia membuatnya Tjoei Hong tak dapat menangis dan tertawa. Di dalam hatinya, ia mengeluh: "Kenapa paman gurunya In Loei begini keterlaluan?" Akan tetapi ia mesti pandang In Loei, walaupun sambil jebikan bibir, ia toh pergi ke belakang. San Bin sudah lantas susul nona itu. "Tak mau aku dibantui kau!" kata Tjoei Hong dengan bengis. Ia tengah mendongkol, tak dapat ia sabarkan diri lagi. "St, perlahan sedikit....." San Bin berbisik. "Kau tidak tahu, paman gurunya In Loei ada seorang sembrono. Jikalau kau berbisik dan ia mendengarnya, nanti di depan In Loei dia ceritakan tentang dirimu!....." Benar-benar Tjoei Hong membungkam. San Bin tidak pedulikan orang gusari dia sambil dideliki, malah sambil tertawa, ia berkata pada nona itu: "Kau dengar apa kata pendeta itu, bukan? Dia berperut besar sekali, dia mengatakannya tujuh macam sayur masih belum banyak. Coba kau pikir, seorang diri saja, dapatkah kau matangkan semua sayur itu?" Tjoei Hong mendongkol tetapi kata-kata pemuda itu benar. Ia menoleh ke arah si pendeta. "Cis" ia meludah. "St!" San Bin mencegah pula. "Paman guru dan keponakan muridnya itu asyik pasang omong, jangan kau ganggu mereka. Pendeta sembrono itu beradat aneh sekali, terhadap dia kau mesti berhati-hati....." Tjoei Hong mendongkol, hingga ia ingin menangis. "Bagus, ya, kamu paman dan keponakan!" katanya, sengit. "Kau perhina aku sebagai orang luar! Nanti aku tegur In Loei!" Justeru itu, dari dalam ruang, terdengar Tiauw Im batuk-batuk. Mendengar suara orang, Tjoei Hong berdiam, dengan masih mendongkol, ia lantas bekerja bersama-sama San Bin..... San Bin geli di dalam hati, ia "layani" si nona, supaya dengan begitu In Loei dapat kesempatan untuk pasang omong dengan paman gurunya itu. Ia berbuat demikian, tak tahu ia, bahwa ia juga tengah dipermainkan In Loei. Karena Nona In bermaksud supaya mereka berada berdua agak lamaan. Selagi pemuda dan pemudi itu berada di dapur, In Loei tuturkan Tiauw Im bagaimana caranya ia "menikah" di Heksek tjhoeng, hingga, mendengar kejadian lucu itu, paman guru itu tertawa tak hentinya. Tapi, setelah ia berhenti tertawa, mendadak ia perlihatkan roman sungguh-sungguh! "Kau berjenaka di sini!" katanya nyaring. "Kau tak tahu, untukmu, aku telah berusaha di Mongolia setengah mati setengah hidup!.....” In Loei terkejut. Mendelong ia mengawasi paman guru itu. "Anak Loei," kata si pendeta kemudian, dengan samar, "masih ingatkah kau ketika itu tahun kau bersama kakekmu kembali ke Tionggoan?" "Aku masih ingat," sahut keponakan murid itu. "Ketika itu ada tahun Tjengtong ketiga." "Dan sekarang?" Tiauw Im tanya, sambil mengawasi. "Sekarang tahun Tjengtong ke- tiga belas." Pendeta itu menghela napas. "Pesat sekali jalannya sang waktu!" dia mengucap. "Sekejap saja sudah sepuluh tahun! Pada sepuluh tahun yang lampau, aku ada bersama samsoepeh Tjia Thian Hoa-mu, kita berada di luar kota Ganboenkwan di mana kita bersumpah sambil menepuk tangan! Kita telah bersumpah, yang satu melindungi si anak tunggal, yang lain harus menuntut balas. Akulah yang bertugas membawa kau ke gunung Siauwhan san untuk diserahkan pada soesoemoay untuk dirawat dan dididik, dan samsoepeh-mu itu bertugas pergi jauh ke Mongolia untuk membunuh Thio Tjong Tjioe si penghianat! Tentang sakit hatimu ini dan tindakan untuk membuat pembalasan, mestinya gurumu telah menuturkan kepadamu, bukan?" In Loei segera mencucurkan air mata. "Ya, soehoe telah menuturkannya," sahutnya, dengan perlahan. "Aku berterima kasih sangat yang soepeh telah bekerja banyak sekali untukku.....” Tiauw Im Hweeshio menghela napas pula. "Terlalu siang kau ucapkan terima kasihmu ini," ia berkata. Ia berhenti sebentar, lalu ia teruskan: "Dengan soetee Thian Hoa itu aku telah membikin perjanjian, setelah sepuluh tahun, kita harus membuat pertemuan di suatu tempat di luar kota Ganboenkwan. Di luar dugaanku, dia tidak datang untuk memenuhi janji kita itu. Menurut kabar angin, tidak dapat dipastikan apakah dia masih hidup atau telah meninggal dunia. Ada yang mengatakan dia telah kena ditawan Thio Tjong Tjioe. Untuk memperoleh kepastian, dengan menunggang kuda, aku berangkat seorang diri jauh ke tanah Ouw, masuk ke dalam wilayah Watzu. Aku telah mengambil keputusan, jikalau benar soetee Thian Hoa nampak bahaya, akulah yang mesti mewakili dia, guna membalaskan juga sakit hatinya.....” "Soehoe katakan, Tjia Soepeh liehay ilmu silatnya, dia gagah dan cerdik," berkata In Loei, "maka itu, aku sangsikan jikalau dia terbinasa di tangan musuh! Mungkinkah itu?" Tiauw Im tertawa dingin. "Memang benar ilmu silatnya Tjia Thian Hoa ada liehay sekali, jikalau tidak demikian, sudah pasti aku telah membalaskan dendammu!" katanya dengan sengit. In Loei heran, hingga ia mendelong mengawasi soepeh itu. "Djisoepeh, aku tidak mengerti," katanya. "Apakah yang soepeh maksudkan?" Tiauw Im menepuk meja, hingga ujungnya gempur. "Aku juga sangat tidak mengerti!" dia berseru. Maka, heranlah In Loei. Paman guru itu menghela napas panjang-panjang. "Setelah aku tiba di Watzu, segera aku mengadakan penyelidikan," ia melanjutkan. "Sekian lama aku telah bekerja, tidak aku peroleh hasil, tidak aku ketahui di mana adanya soetee Thian Hoa atau apa yang telah terjadi atas dirinya. Aku lantas pikir untuk membalasnya seorang diri. Dalam hal ini, aku pun terhalang. Thio Tjong Tjioe terlindung kuat oleh Tantai Mie Ming, sedang gedungnya ada tanggu dan rapat penjagaannya. Tidak bisa aku sembarang turun tangan. Aku menjadi tidak sabaran, hingga aku rasa, satu hari sama lamanya dengan satu tahun." "Akhirnya, datang juga hari yang aku tunggu-tunggu. Aku dapat mengendus bahwa Tantai Mie Ming tidak berada di dampingnya Thio Tjong Tjioe. Mungkin dia dititahkan si penghianat pergi kesuatu tempat jauh untuk suatu tugas penting. Segera aku selidiki kebenaran itu, sesudah mana aku ambil kepastian untuk memasuki gedung si penghianat itu. Aku lakukan ini pada suatu malam yang gelap dan angin tengah menderu keras. Aku datang sendirian, tentu saja, aku juga bekerja seorang diri. Besar sekali gedung si penghianat itu, yang menjadi Yoe sinsiang, perdana menteri muda. Luas sekali pekarangan gedung itu. Melihat gedung itu nyatalah dia hidup mewah dan mulia. Negara asing di utara gobi itu adalah tempat yang dingin dan sulit, tetapi di sana telah dibangun suatu gedung mirip gedung-gedung di Kanglam, ada lotengnya, ada ranggonnya, yang mengambil contoh dari Hangtjioe dan Souwtjioe. Boleh dikatakan setengah malaman aku berkeliaran di luar gedung itu, aku baharu berhasil mempergoki dan mencekik satu kacung dari siapa aku ketahui, tempat kediamannya si penghianat, yaitu di loteng di pojok timur taman. Ketika itu jam sudah menunjukkan pukul lima, akan tetapi sangatlah aneh, sampai pada saat itu si penghianat masih belum tidur. Aku dapatkan dia berada seorang diri, tengah duduk menulis di dalam kamarnya itu. Ia terus tunduk dan menulis, tidak ia menyangka bahwa di luar jendela kamarnya ada orang yang sedang menghadang jiwanya. Aku menggenggam tiga batang kimtjhie piauw. Aku pun tidak hendak mensia-siakan ketika yang baik ini. Begitulah, melalui jendela, aku lakukan penyeranganku, penyerangan yang saling susul terhadap tiga jalan darah tjiangtay hiat, soankee hiat dan kimtjoan hiat. Biasanya, dalam jarak tiga tombak, tidak pernah aku gagal dengan piauw-ku itu. Dan biasanya, jangan kata orang yang tengah duduk menulis dan lengah, walaupun orang yang pandai silat dan siap sedia, sukar dapat meloloskan diri dari serangan ketiga piauw-ku itu. Akan tetapi kali ini, kesudahannya membuat aku melengak. Begitu piauw-ku menyambar, begitu juga aku dengar suara trang-trang tiga kali, lalu ketiga piauw itu jatuh di atas lantai. Di dalam kamar itu ada kamar rahasianya, aku lihat si penghianat lari minggir ketembok, ketika aku menyambar, tubuhnya nyeplos lenyap ke dalam tembok rahasia itu, aku melainkan dapat menjambret ujung bajunya, yang menjadi robek. Selagi aku menyambar, tiba tiba ada orang yang lompat kepadaku dan menolak tubuhku hingga aku jatuh ke atas meja! — Anak Loei, dapatkah kau menerka, siapa orang itu?" "Mungkinkah Tantai Mie Ming tidak pergi ke mana-mana dan ia hanya menggunakan tipu daya untuk mendustai orang?" In Loei balik menanya. Tapi baharu selesai ia menjawab demikian, tiba-tiba ia sadar sendirinya. Bukankah pada permulaan bulan yang lampau ia bersama Kimtoo Tjioe Kian, di luar kota Ganboenkwan, telah mengerubuti Tantai Mie Ming itu? Karenanya, ia lantas menambahkan: "Mungkinkah Tantai Mie Ming mempunyai ilmu memecah tubuhnya? Tapi jikalau bukan Tantai Mie Ming, siapakah yang ilmu silatnya demikian liehay?" Tiauw Im Hweeshio tertawa dingin. "Jikalau dia ada Tantai Mie Ming, itulah tidak aneh!" katanya, dengan keras. "Dia adalah orang yang perhubungannya dengan aku bagaikan kaki dengan tangan! Dia adalah saudara seperguruanku — Tjia Thian Hoa!" In Loei heran bukan kepalang, hingga ia menjerit. "Samsoepeh?" dia tegaskan. Tidak salah! Dialah Tjia Thian Hoa!" Tiauw Im pastikan. "Dia membuat aku mendongkol sekali. Segera aku tegur padanya: Apakah kau telah melupakan janji kita sepuluh tahun yang lalu? Kau hendak menuntut balas atau bekerja untuk musuh? Dia mendelik terhadapku, terus dia menyerang, beruntun tiga kali. Dia telah gunakan pedangnya. Dia mendesak aku mundur hingga keluar. Aku lari, dia mengejar. Di antara saudara-saudara seperguruanku, dialah yang paling liehay, aku tahu aku bukannya tandingannya, akan tetapi aku ada demikian gusar, akhirnya aku berhenti berlari, aku putar tubuhku, hendak aku tempur dia! Aneh sekali sikapnya waktu itu. Di dalam kamar, dia sangat bengis terhadapku, setelah berada di luar, dia sebaliknya tidak gunakan kepandaiannya. Dia Cuma berkelit dari serangan-seranganku. Malah dengan perlahan, dia berkata padaku: Kau tahu, Thio Tjong Tjioe itu orang macam apa? Aku sedang murka, aku damprat dia. "Bagaimana kau dapat bicara begini?" aku tegur dia. Tidak nanti penghianat she Thio itu seorang baik-baik. Kembali aku bacok dia. Aku melakukannya pada malam hari, karenanya tidak dapat aku bawa tongkat sianthung-ku, maka itu aku bawa golok pendek. Senjata itu kurang tepat untukku. Dengan senjata itu, mana dapat aku bacok jitu kepadanya? Baharu aku ulangi bacokanku dua kali, dari yang mana ia selalu egoskan diri, ia berkata dengan perlahan: "Hai, soeheng yang tolol! Dengan mendadak dan sebat sekali, dia desak aku, sebelah tangannya menyambar, hingga aku tertotok, lalu dia panggul tubuhku, untuk dibawa pergi. Waktu itu, aku dengar suara mulai gempar. Terang sudah bahwa pengawal-pengawal telah sadar dan mengendus adanya bahaya. Tapi dia telah membawa lari aku berlompatan, berputaran, hingga tak lama kemudian kita sudah berada di dalam taman bunga, di suatu pojok yang semak, gelap dan sunyi. Di situ pun ada sebuah kandang kuda yang bagus, dari dalam kandang itu dia tuntun keluar seekor kuda putih, yang ia serahkan padaku. Sambil membebaskan aku dari totokannya yang berbahaya, dia bisiki aku: "Kita ada saudara-saudara angkat dari banyak tahun, mustahil kau tidak ketahui aku ada orang macam apa?" — Lekas kau pergi, lekas! Aku tidak mau naiki kuda itu. Aku katakan padanya: Jikalau kau tidak berikan aku keterangan yang jelas, tidak mau aku pergi dari sini! Wajahnya menjadi berubah pucat, lalu merah. Dia bentak aku: "Jikalau kau tidak pergi, jangan sesalkan aku berlaku kejam! Bukan cuma aku inginkan kau berlalu dari gedung ini, aku juga berikan kau tempo tiga hari untuk meninggalkan Mongolia! Atau aku nanti ambil jiwamu!" Aku menjadi sangat gusar, aku sambar dia dengan golokku. Tapi dia pampas golokku itu, di depanku, dia membuatnya patah dua. Belum sempat aku mengatakan sesuatu, dia sudah angkat tubuhku, untuk digabrukkan ke atas kuda. Dia pun membentak pula: "Apakah benar kau tidak menghendaki lagi jiwamu!" Benar-benar, aku tidak sangka dia menjadi demikian rupa. Maka aku pun pikir: "Dia ada begini tidak berbudi, apabila aku korbankan jiwaku, siapa nanti ketahui dia adalah satu murid yang murtad? Baiklah aku menyingkir dulu, biar di belakang hari aku cari pula dia untuk membuat perhitungan. Karena ini, aku lantas angkat kaki. Kuda putih itu benar-benar satu kuda jempolan, tanpa dikendalikan, dia telah bawa aku kabur. Syukur aku pandai juga menunggang kuda. Sia-sia saja aku mencoba kendalikan dia. Dia telah membawa aku menyingkir dari kalangan gedung perdana menteri itu. Di belakangku ada ratusan penunggang kuda yang mengejar aku, mereka pun berteriak-teriak, di antaranya aku dengar ada yang mengatakan: "Besar nyalinya penjahat itu, dia berani curi kuda Yang Mulia Perdana Menteri!" Hai! Kiranya kuda itu ada kuda pilihan kepunyaannya si penghianat she Thio! Besar hatiku. Aku lari terus. Sampai dapat aku mengendalikannya. Kuda itu kabur bagaikan terbang, hingga dalam sekejap saja semua pengejar tertinggal jauh di belakang, tidak dapat mereka mengejar terus kepadaku. Malam itu aku mendongkol bukan main, tetapi di luar dugaanku, aku mendapatkan kuda yang jempolan....." Kuda putih itu ditambat di ruang itu, dia seperti mengerti perkataannya si pendeta, dia berbenger. In Loei pandang kuda itu, ia dapatkan, itulah kuda yang mirip betul dengan kuda Tjiauwya saytjoe ma kepunyaan Thio Tan Hong. Cuma pada leher kuda ini ada tumbuh segumpal bulu kuning. Teranglah, kedua kuda itu ada sebangsa. "Anak Loei, kau diam memikirkan apa?" Tiauw Im tegur si nona. "Aku pikirkan sikap aneh dari samsoepeh," sahut keponakan murid ini. "Jikalau benar samsoepeh kesudian menjadi hambanya musuh kita, kenapa dia serahkan kuda Thio Tjong Tjioe ini?" "Maka itu, aku pun sangat tidak mengerti!" sahut si pendeta. "Tanpa kuda ini, tidak nanti aku lolos dari Mongolia.....” In Loei menggelengkan kepala. "Benar-benar ruwet....." katanya. "Sebenarnya Thio Tjong Tjioe itu orang macam apa? Mustahil dia....." "Plok!" demikian suara yang diterbitkan Tiauw Im, yang kembali mengeprak gempur ujung media kemala. Dia gusar, dia berkata dengan nyaring: "Thio Tjong Tjioe itu ada dari keluarga penghianat, turun menurun dia menghamba pada negeri Watzu, dia yang mengatur tentara Watzu itu. Watzu bercita-cita menelan Tionggoan! Penghianat besar yang diketahui umum oleh dunia adakah dia satu manusia baik-baik?" In Loei teringat pada kakeknya yang tersiksa, yang mesti menggembala kuda dua puluh tahun lamanya di ladang yang ber-es dan bersalju, hatinya menjadi sakit. Maka menggetarlah suaranya ketika ia memberikan jawabannya. "Dia ada satu penghianat besar yang sangat jahat dan tak berampun! Dialah musuh besar keluargaku! — Tapi, soepeh, kau lihat, apakah dia mempunyai suatu maksud lain?" Kedua biji matanya Tiauw Im berputar. Tiba-tiba saja ia ingat suatu apa. Maka lantas ia merogo ke dalam sakunya dari mana ia keluarkan segumpal kertas. Ia buka itu sambil berkata: "Ketika malam itu aku serang si penghianat she Thio dan aku dijoroki Thian Hoa hingga menubruk meja, tanganku kena pegang surat ini yang terus aku tak lepaskan lagi. Inilah surat yang sedang ditulis si penghianat itu. Dia menulis tengah malam, aku duga urusan sangat penting, maka itu, aku bawa surat itu. Sayang dia menulis dalam huruf Tjodjie, yang aku tidak mengerti. Inilah suratnya, coba kau lihat. Setiap barisnya terdiri dari tujuh huruf, tidak kurang tidak lebih, maka itu, semua huruf ada dua puluh delapan. Apakah ini surat biasa atau syair?" In Loei anggap paman guru itu lucu, tak tahan dia tidak tertawa. Tapi dia terima surat itu, untuk dibaca. Sekian lama, dia diam saja. "Apakah yang kura-kura itu tulis?" tanya Tiauw Im. "Syair," sahut In Loei. Terus dia bacakan: "Siapakah yang menyanyikan lagu-lagu Souwtjioe dan Hangtjioe? Bunga teratai harum sepuluh lie, bunga koei dimusim Tjioe. Siapa tahu, rumput dan kayu dasarnya tidak berperasaan! Menyebabkan sungai Tiangkang jadi laksaan tahun kedukaan." Itulah syair yang diucapkan Thio Tan Hong ketika Tan Hong menggelar gambarnya, memandang itu ia rupanya telah mendapat suatu perasaan. Tiauw Im kerutkan alisnya. "Sampai jauh malam penghianat itu tidak tidur, adakah syair semacam ini saja yang dia tulis?" ia kata. "Ia menyebut-nyebut kedukaan — kedukaan apakah itu? Kenapa sungai Tiangkang dapat menerbitkan kedukaan? — Hm, aku tak mengerti, tak mengerti!" In Loei merasa geli hingga tak dapat ia tidak tertawa pula. Ia tertawa tertahan. "Inilah syairnya satu penyair di jaman Song," ia kata. "Sungai Tiangkang itu sejak jaman dulu adalah daerah peperangan antara pihak Selatan dan Utara. Menurut penglihatanku, syair ini bermaksud dalam sekali.....” Tiauw Im jengah, ia tertawa menyeringai. "Kalau begitu, dasar aku yang tak mengerti apa-apa!" katanya. "Coba kau jelaskan padaku, apa maksud dia menulis syair ini?" In Loei berpikir sekian lama. "Syair ini adalah karyanya penyair Tjia Tjie Houw di jaman Song itu," katanya kemudian. "Ada bagian depan dan belakang yang Tjong Tjioe robah. Syair yang asli menyebut-nyebut lagu Hangtjioe tetapi dia ubah dan tambah menjadi Hangtjioe dan Souwtjioe. Pada akhirnya ia tulis laksaan tahun kedukaan sedang aslinya adalah kedukaan dari laksaan lie. Jadi jarak jauh, lie, ia ubah menjadi waktu, tahun. Terang sudah, itu adalah lamunan dari suatu orang yang tengah terluka hatinya. Tetapi Hangtjioe, kenapa itu ditambah dengan Souwtjioe? Apakab artinya? Ah, ya, Tjong Tjioe Tjong Tjioe, Tjong Tjioe....." "Eh, mengapa kau sebut-sebut nama penghianat itu?" tanya si pendeta heran. In Loei tiba-tiba seperti teringat suatu apa, ia tidak menjawab paman guru ini, sebaliknya, dia tanya: "Bukankah djiesoepeh mengatakan bahwa gedungnya Thio Tjong Tjioe itu dibangun mirip dengan gedung-gedung di Kanglam? Belum pernah aku pergi ke Souwtjioe akan tetapi aku tahu, gedung-gedung berikut tamannya di sana ada kesohor sekali. Apakah gedung Tjong Tjioe itu dibuat mirip dengan gedung-gedung di Souwtjioe?" "Memang sama," sahut Tiauw Im. "Nampaknya penghianat itu suka sekali akan kota Souwtjioe." In Loei berpikir pula, ia berdiam sekian lama. Kemudian, sambil tunduk, dengan perlahan, ia menyebut pula "Tjong Tjioe, Tjong Tjioe, Tjong Tjioe....." Tiauw Im terperanjat, ia heran. "Eh, anak Loei, apakah kau kemasukan iblis?" dia tegur. In Loei sebenarnya sedang teringat akan dongengnya Tan Hong, pada otaknya berkelebat suatu ingatan. Ia lantas angkat kepalanya. "Aku mengerti sekarang!" katanya, tiba-tiba. "Thio Tjong Tjioe adalah turunan Thio Soe Seng!....." Pada ketika itu sang waktu belum lewat tujuh atau delapan puluh tahun dari mulainya Tjoe Goan Tjiang membangun kerajaan Beng, lelakon Thio Soe Seng itu masih tersiar di antara rakyat jelata. Tiauw Im Hweeshio melengak. "Thio Soe Seng?" katanya. "Apakah kau maksudkan Thio Soe Seng, yang dengan Beng Thaytjouw telah memperebutkan negara?" "Thio Soe Seng mengangkat dirinya menjadi raja , di Souwtjioe dan dia pakai nama kerajaan Tay Tjioe — Tjioe yang besar!" kata In Loei. "Dan Thio Tjong Tjioe itu, bukankah terang-terang berarti, apa yang dia junjung adalah kerajaan Tjioe yang besar itu dari leluhurnya? Sama sekali dia bukannya menjunjung kerajaan Beng yang besar dari Tjoe Goan Tjiang!" Dengan "tjong" dari "Tjong Tjioe" itu, In Loei artikan "leluhur." "Hai, budak cilik!" seru paman guru yang kedua itu. "Kenapa kau bicara putar balik hingga pengertianmu itu, seperti teka-teki saja?" In Loei tunduk, kata-kata paman guru itu seolah-olah ia tidak mendengarnya. Sang pendeta nampaknya habis sabar. "Aku tidak peduli dia turunan Thio Soe Seng atau bukan!" dia kata dengan nyaring. "Dia membantu bangsa Watzu, dia pasti bukan manusia baik-baik!" In Loei merasakan ruwetnya soal. "Soepeh benar juga," katanya. Tapi, meski mulutnya mengucap demikian, dihatinya, ia kenangkan segala apa selama ia berada bersama-sama Tan Hong beberapa hari. "Pastilah Thio Tan Hong telah sengaja menyingkir dari Mongolia.....” demikian ia berpikir. "Karena dia pasti bukannya sebangsa ayahnya itu..... Akan tetapi soepeh Thian Hoa, dia kesohor gagah..... Jikalau Thio Tjong Tjioe benar ada satu penghianat yang terkutuk dan tak berampun, kenapa dia tidak membunuhnya? Kenapa sebaliknya dia melindunginya?" Soal ada demikian sulit, pada saat itu, tak dapat si nona memecahkannya. Kemudian ia pikir pula, tidak peduli Thio Tjong Tjioe dan Thio Tan Hong buruk atau baik, mereka adalah musuh- musuh besar dari keluarga In, mereka adalah yang kakeknya pesan dalam surat wasiatnya yang berdarah untuk dibasmi habis..... Tiauw Im Hweeshio menghela napas. "Aku tidak dapat memikirnya yang soetee Thian Hoa telah tergoda iblis," katanya. "Karena sudah terang dia telah membantu penghianat, sekarang ini habis sudah persaudaraan antara dia dan aku. Sekarang aku berniat pergi kepada soehoe, untuk minta soehoe mempersingkat waktu dengan tiga tahun, supaya dia ijinkan gurumu segera turun gunung. Kepandaian gurumu itu, dibandingkan dengan kepandaian Thian Hoa, ada berimbang, maka aku percaya, jikalau dia bekerja dengan aku mengepung Thian Hoa, pasti kita dapat menyingkirkan Thian Hoa itu." Mendengar perkataan djiesoepeh ini, tiba-tiba In Loei ingat kejadian itu malam sebelum ia turun gunung. Ketika itu gurunya telah mengadakan perjamuan perpisahan, di waktu sinting, guru itu menuturkan tentang penderitaannya selama sepuluh tahun meyakinkan ilmunya, guru itu tak dapat melupakan Thian Hoa, suatu bukti dia sangat menyayangi saudara seperguruan itu. Maka sekarang, kalau gurunya itu ketahui hal ikhwalnya Thian Hoa, yang "tersesat" itu, tidak tahu berapa besar kedukaannya..... Sementara itu, Tiauw Im tertawa sendirinya. "Thian Hoa memberikan aku kuda ini, inilah kuda yang berguna!" katanya. "Jikalau aku pakai ini untuk pergi ke Siauwhan san, tak sampai satu bulan, aku akan sudah tiba di sana! Sungguh, ini seekor kuda jempolan! Ha-ha-ha!" Selagi paman guru dan keponakannya berbicara, San Bin dan Tjoei Hong telah selesai dengan makanan mereka, yang terus mereka sajikan, sesudah mana, San Bin pergi memandangi kuda si pendeta, kuda mana ia puji tak hentinya, ia sangat mengaguminya. Tiauw Im Hweeshio dahar secara rakus sekali, itulah tanda bahwa ia sangat lapar. Ia hajar daging, ia tenggak arak, ia sapu nasi hingga habis. Akhirnya, ia usap-usap perutnya. "Hai, cucu mantu yang baik!" ia memuji. "Tak tercela masakanmu ini! Nasinya harum, sayurnya lezat!" Kemendongkolan Tjoei Hong belum lenyap, ia cuma bersenyum tawar. Ia berpaling, untuk memandang kuda putih, yang juga ia kagumi. Kembali terdengar si pendeta tertawa. "Kuda ini kuda jempolan," ia kata, "akan tetapi masih ada lain kuda yang terlebih jempolan pula, aku si hweeshio sungguh harus mengaku kalah terhadapnya!" San Bin pandai melihat kuda, ia heran. "Apa?" katanya. "Ada kuda lainnya yang melebihi ini?" Tiauw Im pandang keponakan murid itu. "Benar!" sahutnya. "Memang di kolong langit ini ada seekor kuda lainnya yang melebihi kejempolannya! Keponakan San Bin, kau telah memakai nama Kimtoo Tjeetjoe yang kesohor, dan menggabung itu dengan nama Tjio Eng, untuk menyiarkan panah Loklim tjian. Hal ini baharu saja kemarin dahulu aku mengetahuinya. Di dalam propinsi Shoasay ini, aku kenal semua orang kenamaan dari Jalan Hitam, maka itu menuruti kegemaranku, dengan menunggang kuda putih ini, aku pergi mengunjungi mereka. Nyatalah, orang yang hendak kau bekuk itu adalah satu mahasiswa yang menunggang kuda putih. Dia sungguh seorang yang nyalinya sangat besar, dia sudah membuatnya dunia Rimba Hijau menjadi gempar!" "Apakah yang dia lakukan?" tanya mereka berbareng. Wajah mereka pun menunjukkan bagaimana tergeraknya hati mereka. Tiauw Im adukan jeriji tengahnya dengan jeriji manisnya, hingga perdengarkan suatu suara, habis itu, ia menghela napas. Itu bukanlah helaan napas dari kedukaan atau kemasgulan, hanya dari kekaguman. "Tjioe Hiantit, tahukah kau, orang macam apa si mahasiswa berkuda putih yang kamu sedang cari itu?" dia tanya. "Menurut penglihatanku, dia adalah satu enghiong, seorang gagah!" Kalau orang lain, apabila terhadapnya disiarkan panah Loklim tjian, hingga karenanya ia mesti menghadapi jago-jago Rimba Hijau, sebenarnya, untuknya, untuk menyingkirkan diri saja sudah sulit, akan tetapi lain halnya dengan dia. Dia bukannya pergi bersembunyi, dia justeru pergi menyatroni jago-jago Rimba Hijau itu!" San Bin heran bukan kepalang. "Dia datang menyatroni?" dia ulangi. "Siapa-siapakah yang dia telah satroni itu?" "Mungkin dia sudah satroni semua orang yang telah kau kirimkan panah Loklim tjian itu!" sahut Tiauw Im. "Kemarin dulu aku pergi pada Na Tayhiap, dia baharu saja terima surat golok yang ditinggalkan mahasiswa berkuda putih itu, dia telah ditantang untuk tujuh hari kemudian pergi ke rumah Tjinsamkay Pit To Hoan untuk membuat pertemuan....." San Bin dan Tjoei Hong terperanjat. "Tjinsamkay Pit To Hoan?" mereka ulangi. In Loei tidak tahu siapa itu Pit To Hoan yang berjulukan Tjinsamkay — "orang yang menggetarkan tiga dunia," akan tetapi dari sikapnya San Bin dan Tjoei Hong itu, tahulah dia bahwa orang itu mestinya sangat terkenal. "Benar, Tjinsamkay Pit To Hoan!" Tiauw Im jawab. "Bukankah itu berarti si mahasiswa berkuda putih telah gegaras hati srigala dan jantung macan tutul? — Setelah pamitan dari Na Tayhiap, lohornya aku pergi pada Liong Tjeetjoe. Dia juga baharu saja menerima surat goloknya si mahasiswa berkuda putih, yang pun menjanjikan dia untuk tujuh hari kemudian pergi berkumpul di rumahnya Tjinsamkay Pit To Hoan. Na Tayhiap dan Liong Tjeetjoe ada orang-orang kenamaan kaum Rimba Persilatan, tapi toh si mahasiswa berani masuk ke dalam rumah mereka itu untuk meninggalkan suratnya yang tertusukkan golok itu. Dan itu baharu diketahui sesudah golok ditimpukkan. Maka itu, benar liehay si mahasiswa itu!" Mendengar perkataan soepeh ini, In Loei tidak heran. Beberapa kali ia telah dipermainkan Tan Hong, keentengan tubuh siapa ia telah saksikan. Tidak demikian adalah San Bin dan Tjoei Hong, yang menjadi heran dan kagum. "Karena aku merasa sangat heran, ingin aku cari si mahasiswa," Tiauw Im meneruskan, "Aku percaya betul pada kudaku. Begitulah aku pergi. Aku girang ketika sampai diutara kecamatan Kokkoan, di satu tegalan, aku telah melihat dia. Aku menduga dia, karena dandanan dan kudanya itu. Lantas aku bedal kudaku, untuk susul dia, guna menyandaknya. Dia melihat aku, rupanya dia dapat menerka aku hendak menyusul dia, berulangkah dia berpaling, tiaptiapkali aku dengar suaranya tertawa. Dari kejauhan, dia pun teriaki aku : "Apakah kau juga menerima panah Loklim tjian dari Hongthianloei? Maafkan aku, aku belum tahu di mana letak pesanggrahanmu, hingga belum aku kunjungi padamu! Baiklah, lagi tujuh hari, silakan kau pergi ke rumah Tjinsamkay Pit To Hoan!" Rupanya dia menyangka aku adalah salah seorang yang hendak membekuk dia. Kudaku lari keras, kudanya lari lebih keras lagi, tidak dapat aku menyandaknya. Tak ada makanan di tanah datar itu, dia telah jauh meninggalkan aku, hingga aku dapat melihat hanya titik-titik putih. Sorenya tibalah aku di barat kecamatan Taykoan, di rumahnya Tjek Tjhoengtjoe. Nyata Tjek Tjhoengtjoe, pada tadi magrib, telah juga menerima surat dari si mahasiswa berkuda putih itu. Jadi teranglah, kudanya dapat lari setengah hari lebih cepat daripada kudaku." San Bin heran. "Tjinsamkay Pit To Hoan ada seorang kenamaan di Jalan Hitam dan Jalan Putih," kata dia, "dia biasanya tak ketentuan sepak terjangnya, maka itu, si mahasiswa berkuda putih yang baharu saja sampai dari Mongolia, cara bagaimana dia bisa ketahui tempat tinggal orang itu?" Inilah benar, maka itu, Tiauw Im dan Tjoei Hong turut merasa heran, mereka terperanjat, wajah mereka berubah. Tiauw Im pun heran mendengar disebutnya Mongolia. Tjoei Hong juga merasa heran terhadap San Bin, yang ketahui jelas tentang Pit To Hoan. "Pit To Hoan tinggal di sebuah desa kecil yang dinamakan Hoklok antara perbatasan kedua propinsi Hoopak dan Shoasay," kata Tiauw Im. "Aku pun baharu mengetahuinya setelah aku pergi ke rumahnya Na Tayhiap. Si mahasiswa berkuda putih baharu saja datang dari Mongolia, kenapa dia ketahui jelas tentang orang orang kenamaan dari Tionggoan? Hal ini aneh sekali dan mencurigakan..... Ah, bukankah?.....” Pendeta ini berhenti dengan tiba-tiba, ketika ia hendak melanjutkan, In Loei mendahului dia. "Kamu menyebut Tjinsamkay Pit To Hoan berulang-ulang, dia sebenarnya orang macam apa?" tanya nona ini. -ooo0dw0ooo- BAB IX "Walaupun kau tidak menanyakannya, hendak aku menuturkannya," berkata Tiauw Im. "Keluarga Tjinsamkay Pit To Hoan adalah suatu keluarga paling aneh dalam kalangan Rimba Persilatan. Keluarga itu, turun temurun, memegang kukuh semacam aturan rumah tangga yang aneh sekali untuk kita semua. Setiap anak lelaki she Pit, setelah dia masuk usia enam belas tahun, dia harus mencukur rambutnya untuk menjadi pendeta, dia mesti hidup merantau. Setelah hidup suci sepuluh tahun, anak itu diijinkan memelihara rambut pula. Sampai waktu itu, ia tidak diperkenankan mendirikan rumah tangga, sebaliknya, dia mesti menuntut lain macam penghidupan selama sepuluh tahun. Kali ini dia mesti menderita sebagai pengemis. Adalah sesudah selesai menjalankan tugas sepuluh tahun sebagai tukang minta-minta itu, baharu dia merdeka untuk menikah, untuk berumah tangga, memelihara anak. Oleh karena ini, seorang putera keluarga itu, untuk menikah, dia mesti lebih dahulu berusia tiga puluh enam tahun. Mungkin juga disebabkan kelambatan pernikahan ini, keluarga itu jadi tak banyak jumlah anggauta-anggauta keluarganya. Pit To Hoan sendiri liehay, sepuluh tahun ia jadi pendeta, sepuluh tahun ia jadi pengemis, setelah kembali jadi manusia biasa, banyak penderitaaannya, luas pengalamannya, itulah sebahnya kenapa ia diberi gelar Tjinsamkay, Menggetarkan Tiga Dunia. Dengan dunia diartikan juga kalangan atau golongan, yaitu dunia pendeta, dunia pengemis, dan dunia manusia biasa. Maka itu, orang semacam dia, setelah menerima panah Loklim tjian, dapatkah dia campur tangan?" "Mana aku berani mengirim panah Loklim tjian kepada jago itu?" sahut San Bin. "Hanya, kalau Pit Lootjianpwee sudi membantu, itulah pengharapanku." "Kau minta ayahku turut bersama mengirim panah Loklim tjian, untuk apakah itu?" Tjoei Hong tanya si pemuda she Tjioe. "Dan itu bangsat cilik berkuda putih, dia sebenarnya orang macam apa?" Ditanya begitu, San Bin bersenyum. "Untuk membalaskan dendam suamimu," ia jawab. "Bangsat cilik berkuda putih itu adalah putera tunggal dari penghianat besar Thio Tjong Tjioe, dia adalah musuh besar dari saudara In Loei ini." Ia berhenti sebentar, segera ia menambahkan: "Turut penglihatanku, kebanyakan Pit Lootjianpwee dapat turun tangan untuk memberikan bantuannya, sayang tadinya aku tidak tahu dia tinggal di Hoklok, jikalau tidak sudah tentu aku sudah minta Tjio looenghiong turut mengundang dia." Tjoei Hong segera menoleh kepada "suaminya". "In Siangkong, benarkah bangsat cilik berkuda putih itu musuh besarmu?" dia tegaskan. "Oh, ya....." sahut In Loei, yang mukanya pucat. "Benar, dia adalah musuh keluargaku.....” Sepasang alisnya Nona Tjio berdiri dengan tiba-tiba. Ia tertawa. "Kalau begitu, haruslah kau mengucap terima kasih padaku!" katanya. Ia rogo sakunya, ia keluarkan sesampul surat. Terus ia berkata pula: "Nyata ayahku telah dapat memikirnya! Kamu tidak berani mengundang Pit Lootjianpwee itu, bolehlah aku yang menalanginya!" San Bin lihat alamat surat itu, benar itu adalah untuk Pit To Hoan. Saking girang, ia tertawa sambil menepuk tangan. "Sempurna sekali apa yang Tjio Lootjianpwee pikir!" ia memuji. "Ah, bangsat cilik itu bagaikan melemparkan dirinya ke dalam jala! Hiantee, segera kau dapat lampiaskan dendammu dengan tanganmu sendiri!" Tjoei Hong sangat puas, ia gembira sekali. "Begitu lekas aku pulang, ayah sudah lantas menulis surat ini dan menitahkan aku segera mengirimkannya," ia terangkan lebih jauh. "Sebenarnya aku heran kenapa ayah menjadi demikian tak sabaran, kiranya bangsat cilik itu menjadi satu musuh besar kita. Sebentar kita pergi bersama, akan aku perkenalkan kamu dengan Tjinsamkay Pit To Hoan yang kenamaan itu!" In Loei terkejut di dalam hatinya. "Pernahkah kau baca surat ini?" dia tanya "isterinya". "Eh, apa kau tidak dengar perkataanku barusan?" Tjoei Hong baliki. "Bukankah ayah telah permainkan aku? Apabila aku telah baca surat ini, mustahil sekarang aku masih belum tahu akan duduknya hal? Tapi sekarang ini, dengan tidak usah membaca lagi surat ini, sudah tahu aku akan isinya. Pastilah itu ada permintaan bantuannya Tjinsamkay!" In Loei penuh dengan keragu-raguan. Tjio Eng tidak tahu Thio Tan Hong itu musuhnya. Dan ia telah menyaksikan dengan mata sendiri, terhadap Tan Hong, Tjio Eng bersikap bagaikan pegawai terhadap majikannya. Mustahil sekali, Tjio Eng nanti menulis surat kepada Pit To Hoan, guna meminta bantuan untuk menghadapi Thio Tan Hong, guna membinasakan Tan Hong itu! Habis, apa isi surat itu? Sungguh sukar untuk menerkanya. "Eh, In Siangkong, kau sedang memikirkan apa?" Tjoei Hong menegur. Ia heran. "Ayahku telah menolongi kau membalas dendam, apakah benar kau masih tidak gembira?" In Loei paksakan diri untuk tertawa. "Aku merasa girang luar biasa!" ia jawab. "Nona Tjio, apakah ayahmu serta Tjinsamkay Pit To Hoan itu bersahabat erat sekali?" "Bukan!" sahut Tjoei Hong. "Dia justeru lawan dari ayahku! Dia berlaku sewenang wenang. Belum pernah aku saksikan ada orang yang berani menghina ayahku seperti yang diperbuatnya itu!" "Siapa kata Pit To Hoan berlaku sewenang-wenang?" tanya Tiauw Im. "Eh, ya, cara bagaimana dia menghina ayahmu?" In Loei pun tanya. San Bin pun kurang mengertinya. "Jikalau demikian adanya, mengapa ayahmu menulis surat kepadanya?" dia tanya. "Dikepung" tiga orang, Tjoei Hong tertawa geli. "Memang dia telah menghina ayahku akan tetapi ayahku sangat mengagumi dia!" jawabnya, masih ia tertawa. "Kamu menanya bagaimana caranya dia menghina ayahku? Untuk menutur itu, aku mesti kembali pada kejadian pada sepuluh tahun yang lampau!" Semua orang lantas awasi nona ini. Tjoei Hong tidak berayal untuk memberikan keterangannya. "Ketika itu aku baharu berumur tujuh atau delapan tahun," ia mulai. "Benar usiaku masih sangat muda akan tetapi peristiwa itu aku ingat baik-baik. Pada suatu hari kami kedatangan satu pengemis busuk. Orangku memberikan dia nasi, tapi dia tolak. Dia diberi uang, dia menampik. Dia minta ayah menghadiahkan dia semacam barang permata. Siapa yang tidak tahu ayah adalah seorang saudagar barang permata di kalangan Jalan Hitam? Orang-orangku anggap dia hendak memeras, dia segera diserang. Kesudahannya aneh. Tidak kelihatan dia menggerakkan tubuhnya, tetapi orang-orangku, penyerangnya, terpental sendirinya setombak lebih. Baharulah kemudian aku ketahui dia telah gunakan ilmu silat Tjiamie Sippattiat yang sempurna sekali." Waktu itu ayah tengah mengajarkan aku membaca buku dan menulis surat. Seorang bujang datang masuk, memberitahukan ayah tentang perbuatan dan tingkah laku si pengemis jahat itu. Ayah kaget dan heran, mukanya menjadi pucat. "Baik, silakan dia masuk!" ia titahkan. Sesudah dia masuk, siapa juga tak boleh turut masuk! Umpama kata aku akan dihajar mati olehnya, jika aku masuk! Ayah pun menitahkan aku menyembunyikan diri di kamar tidur, aku dilarang keluar. Aku menjadi takut sekali, tetapi aku masih tidak gubris larangannya itu. Ketika si pengemis masuk, aku sembunyikan diri di satu pojok di luar kamar, untuk mengintai. Luar biasa roman sipengemis itu. Rambutnya kusut kulit mukanya hitam seperti pantat kwali. Dia membawa-bawa sebatang tongkat panjang. Dipandang seluruhnya, dia mirip dengan satu memedi. Begitu dia masuk, terus dia duduk di depan ayah. Dia mengawasi dengan sepasang matanya yang bersinar tajam dan bengis. Sampai sekian lama, keduanya tidak bicara satu dengan lain. Akhir-akhirnya ayah menghela napas, ia bertindak masuk ke kamar dalam, untuk mengambil permata. Ayah tumpukkan barang itu dihadapan si pengemis. "Tuan Pit, inilah semua apa yang aku miliki," kata ayah. Pengemis itu tertawa dingin, dia sampok semua barang permata itu. "Hongthianloei, untuk apa kau berpura-pura?" dia tegur ayah. "Keluargaku telah mencari kau berulang-ulang, sampai beberapa puluh tahun, baharu sekarang kau dapat dicari. Barang itu terang ada padamu, apakah kau masih tidak hendak mengeluarkannya untuk diserahkan kepadaku?" "Barang itu juga bukan kepunyaanmu!" kata ayah. "Alasan apa kau punyai untuk memaksa aku menyerahkannya?" Pengemis itu tertawa dingin. "Mungkinkah barang itu ada kepunyaanmu sendiri?" dia membaliki. "Kau ketahui asal usulnya barang itu, cara bagaimana kau berani mengatakan aku bukan pemiliknya?" Belum pernah aku saksikan ada orang yang berani bicara demikian rupa terhadap ayah. Ayah menjadi lain waktu itu. Bagaikan orang yang memohon sesuatu, ayah katakan pada orang itu: "Memang barang ini pernah kau memegangnya tetapi itu bukan alasan untuk mengatakan kaulah pemilik seluruhnya. Aku mendapat pesan dan pesan itu harus aku jalankan. Aku boleh tak menghendaki rumah tanggaku, tetapi permata itu, Tuan Pit, aku minta sudilah kau lepaskan dari tanganmu!.....” Pengemis itu lantas menjadi gusar, dia lompat bangun. "Rumah tanggamu! Rumah tanggamu!" dia berteriak-teriak. "Siapakah yang kemaruk dengan rumah tanggamu? Katakanlah, hendak kau serahkan atau tidak barang itu padaku?" "Tidak!" sahut ayah dengan tetap. Si pengemis tertawa pula, dengan tawar. Dia putar-putar tongkatnya itu. "Baik!" akhirnya dia berseru. "Karena kau tidak sudi memberikan, sekarang ingin aku menerima pengajaran darimu — pelajaran ilmu silat pedang Liapin Kiamhoat yang menjagoi sendirian di kolong langit ini!" Ayah terima tantangan itu. Dia kata: "Jikalau begitu, maafkan aku untuk kelancanganku!" Ayah lantas hunus pedangnya, maka di situ mereka berdua lantas bertempur, secara bengis sekali. Ketika itu aku masih belum belajar ilmu silat pedang, aku menonton saja dengan perhatian. Ayah bergerak bagaikan harimau kalap, sinar pedangnya bergemerlapan. Terang ayah berkelahi secara mati-matian. Tongkat panjang si pengemis telah terkurung sinar pedang, tapi dia dapat bergerak dengan leluasa bagaikan seekor ular besar. Mataku menjadi seperti kabur karenanya. Sengit sekali mereka bertanding. Sampai sekian lama, masih belum ada keputusannya. Lalu dengan mendadak terdengar bentakan si pengemis: "Kau serahkan atau tidak?" Menyusul itu ayah kena terpukul pundaknya. Ayah berteriak: "Tidak!" Segera ayah pun membalas, hingga pundak pengemis itu mengeluarkan darah. "Satu laki-laki!" seru si pengemis. Masih mereka bertempur. Satu kali, kembali ayah kena terpukul, sesaat kemudian, berhasil tongkat si pengemis yang ketiga kali. Kali ini ayah kena tersampok hingga dia berjumpalitan. Tanpa mengeluh, ayah merayap bangun, untuk menyerang pula. Lalu tidak lama kemudian ayah dapat menikam pula pengemis itu. Seperti ayah, dia juga tidak berteriak kesakitan. "Pertempuran berjalan terus, tak kurang dahsyatnya. Darah telah berceceran di tanah. Beruntun beberapa kali ayah kena dibikin jumpalitan pula, malah jidatnya telah diserempet tongkat hingga kulitnya pecah dan berlumuran darah. Berbareng dengan itu, si pengemis juga tidak unggul banyak, rambutnya yang kusut kena terpapas pendek, tubuhnya terluka beberapa lobang. Setelah lama bertempur, kedua-duanya telah menjadi sangat lelah. Masih ayah kena terpukul pula dan si pengemis kena tertikam lagi. Habis itu keduanya terhuyung rubuh, tidak dapat mereka merayap bangun. Tentu sekali aku menjadi sangat kaget dan ketakutan. Kalau tadinya aku tidak berani muncul atau bersuara, sekarang ini aku menjerit dan menangis. Ayah bergulingan beberapa kali, lalu aku dengar ia paksakan berkata: "Baik, tuan Pit, kau ambillah! Aku menyerah.....” Menggetar suara ayah, suara itu seram, menakutkan. "Tidak, kau tidak kalah," si pengemis pun berkata. "Kau setia kepada pesan yang menjadi tugasmu. Seumurku baharu kali ini aku lihat kau sebagai satu laki-laki! Untuk sementara, permata itu boleh kau simpan terus, tidak hendak aku mengambilnya secara paksa. Sejak ini, apabila kau mendapatkan sesuatu kesukaran, yang harganya seimbang kalau ditukar dengan permata itu, asal kau buka mulutmu, tidak nanti aku tidak berbuat segala apa untukmu." Habis berkata, dia merayap bangun, dia balut sendiri luka-lukanya, dengan gunakan tongkatnya, untuk menahan tubuhnya, dia bertindak keluar dengan limbung. Ayah tidak dapat bangun, aku pergi panggil orang, untuk membantu mengangkat ayah naik kepembaringan. Setengah bulan lebih ayah berobat, baharu dia dapat turun dari pembaringannya, untuk berjalan. Suatu hari dengan berpegangan tembok, seorang diri ayah naik ke loteng tempat ia menyimpan barang-barang permata. Di sana dihadapan sebuah gambar ia keluarkan air mata. Biasanya tidak pernah aku berkisar dari samping ayah, tapi untuk naik ke loteng, aku sembunyi-sembunyi. Aku lihat segala apa, aku tidak berani menanyakannya. Aku tidak berani karena usiaku yang muda sekali. Adalah kemudian, setelah banyak tahun, aku tanya ayah. Ayah tidak mau memberikan keterangan." Hati In Loei tergerak. "Gambar apakah itu?" dia tanya. "Itulah gambar lebar yang pada harian nikah kita kau melihatnya di atas loteng," sahut Tjoei Hong. "Oh....." kata In Loei, yang terus berdiam. "Belakangan baharu ayah mengatakan padaku," Tjoei Hong menambahkan. "Ayah katakan si pengemis jahat sebenarnya bukan seorang jahat, dia malah seorang luar biasa. Dari lagu dan suaranya, nyata ayah sangat kagumi pengemis itu. Tak mau aku percaya ayah. Hari itu aku saksikan sendiri dia sangat menghina ayah, dia berbuat terlalu sewenang-wenang. Orang semacam dia bagaimana bukannya orang jahat? Ayah menjadi saudagar permata di Jalan Hitam, ancaman bahaya terhadapnya banyak dan besar sekali, beberapa kali ia menghadapi bahaya maut. Akhirnya ayah beritahukan padaku bahwa si pengemis jahat dahulu kala adalah Tjinsamkay Pit To Hoan yang sekarang ini. Ayah katakan juga, di dalam segala hal, kalau kita minta bantuan tuan Pit itu, ancaman bahaya bisa berubah menjadi keselamatan. Ayah mengatakan demikian, tetapi sebegitu jauh, belum pernah ayah mohon bantuannya Pit To Hoan. Tapi In Siangkong, kali ini untuk urusan kau, ayah telah menulis suratnya ini. Ini membuktikan bahwa ia menyayangi kau melebihi dirinya sendiri, malah melebihi daripada aku juga. Maka itu, sekarang, tidak peduli dia orang jahat atau bukan, orang luar biasa atau siluman, asal dia suka bantu kau, aku merasa girang sekali, selanjutnya tidak lagi aku mengingat-ingat kejahatannya dahulu itu!" In Loei tengah berpikir keras, perkataan Tjoei Hong itu seolah-olah tidak ia mendengarnya! "Tentang Tjinsamkay Pit To Hoan itu," berkata Tiauw Im, "jikalau kau katakan dia jahat, dia memang jahat sekali, tetapi jikalau kau katankan dia orang baik, dia memang sangat baik." Pada dua puluh tahun yang lalu, pernah aku bertemu dengan dia itu. Ketika itu, ia ada bersamaku, dia ada satu hweeshio, dia belum menjadi pengemis. Pada waktu itu aku baharu keluar dari rumah perguruan, aku telah pergi merantau ke segala penjuru, aku selalu hidup di luaran. Pada suatu hari sampailah aku di Hongyang, dalam propinsi Shoatang. Itulah tempat yang menjadi kampung asalnya kaisar Beng Thaytjouw Tjoe Goan Tjiang. Mengenai kota Hongyang ini, ada ceritera burung yang bunyinya demikian: "Bicara tentang kota Hongyang, mengatakan perihal kota Hongyang, kota Hongyang asalnya ada suatu tempat yang baik, tetapi sejak munculnya kaisar she Tjoe, dalam sepuluh tahun, kota Hongyang mengalami sembilan tahun paceklik, kalau si orang hartawan menjuali barang makanannya, si orang melarat menjuali anakanaknya, dan siapa yang tidak mempunyai anak, pasti dia menggondol tamburnya pergi merantau ke empat penjuru. Maka itu meskipun Hongyang merupakan kota tempat kelahirannya satu raja, kotanya sendiri sedikit juga tak dapat kebaikannya raja itu, sebaliknya raja telah mengadakan berbagai macam pajak yang berat-berat, hingga rakyat hidupnya bersengsara dan celaka, satu kali datang musim kemarau, rakyat kabur terlunta-lunta ke segala jurusan. Demikian tahun itu, kota Hongyang kebetulan sedang menderita musim kering, dari sepuluh rumah, sembilan yang kosong. Bahaya paceklik mengancam demikian hebat tetapi ada sebuah tempat yang indah luar biasa. Kamu tahu, tempat apakah itu? Itu adalah sebuah biara!" In Loei heran sekali hingga ia segera buka mulutnya. "Biara?" katanya. "Bukankah biara itu tempat kediamannya hweeshio?" "Tidak salah, biara itu adalah tempat kediaman hweeshio," jawab Tiauw Im. "Tapi hweeshio yang mendiami biara itu bukannya hweeshio seperti aku ini. Dia adalah satu hweeshio besar yang banyak uangnya, yang besar pengaruhnya. Di sini tidak usah aku takut-takut mengatakannya. Kaisar kerajaan kita sekarang ini, Tjoe Goan Tjiang, di masa mudanya adalah satu hweeshio, dan dia masuk menjadi hweeshio dibiara tersebut. Mulanya biara itu ada sebuah biara kecil, sesudahnya Tjoe Goan Tjiang menjadi kaisar, biara itu dirombak, diperbaharui menjadi besar dan indah, yang menjadi biara paling besar diseluruh negara. Oleh karena satu raja pernah menyucikan dirinya di sana, maka nama biara itu memakai nama Hongkak sie, artinya biara raja." San Bin mendengarkan dengan perhatian. "Bahwa hweeshio-hweeshio dari Hongkak sie menjadi galak dan berbuat sewenang-wenang, tidak usahlah aku ceritakan lagi," Tiauw Im lanjutkan. Mereka itu tidak pantang, mereka tidak hormati aturan suci. Begitulah pada saat paceklik itu, mereka membeli banyak anak-anak perempuan dari orang-orang yang bersengsara dan hendak mengungsi, anak-anak itu dipelihara di dalam biara, mereka dijadikan korban-korban perkosaan. Di sepanjang jalan telah aku dengar orang banyak berbicara tentang anak-anak perempuan yang dijual pada biara itu, ada yang menjualnya buat lima ratus tjhie, ada yang Cuma tiga ratus tjhie. Dan uang sebanyak itu tidak cukup untuk ongkos belanja sepuluh hari. Malah yang lebih hebat lagi, yaitu tidak apa anaknya tidak dibeli, asal saja dapat menumpang di dalam biara itu. Panas hatiku mendengar hal itu! Di kolong langit ini ada semacam biara, ada semacam hweeshio, maka hweeshio sebagai aku ini, yang makan daging, sungguh lenyap muka terangku!" Memang kejadian itu sangat memanaskan hati. "Usiaku waktu itu belum cukup tiga puluh tahun," Tiauw Im melanjutkan pula. Waktu itu aku berdarah panas melebihi sekarang ini. Aku tidak pedulikan lagi bahwa biara itu ada biara raja, dengan membawa tongkatku, aku pergi ke biara itu, aku cari hweeshio kepalanya, yang terus aku damprat habis-habisan. Di luar sangkaanku, rata-rata hweeshio di situ mengerti ilmu silat, malah kepalanya ada satu ahli. Semua hweeshio muncul hendak membekuk aku, untuk menyiksa dan membinasakan aku. Aku layani mereka, hingga dapat aku membinasakan beberapa di antaranya, akan tetapi lama kelamaan aku kehabisan tenaga, ini berbahaya bagiku. Di saat aku sangat terancam, datanglah satu hweeshio perantauan. Dia menabuh bokhie, sambil membaca doa, lalu dia berkata dengan nyaring: "Di waktu langit terang benderang ini, hai kamu kawanan murid-murid murtad dari Sang Buddha, bagaimana kamu berani menganiaya orang?" Habis itu, sambil tetap masih mendoa, ia turun tangan, ia serang hweeshio dari biara itu, hingga banyak hweeshio jahat yang terbinasa atau terluka. Melihat perbuatan hweeshio itu, aku menjadi girang, aku jadi mendapat hati, tetapi berbareng dengan itu hatiku menjadi lemah. "Soeheng, ampunilah mereka itu!" aku teriaki hweeshio perantauan yang kosen itu. Tapi dia menjawab: "Hweeshio dari lain-lain biara boleh diberi ampun, hweeshiohweeshio di sini adalah yang aku paling benci! Jikalau kau merasa kasihan, biarkan aku saja yang turun tangan sendirian!" Dan ia lanjutkan terus serangannya. Di dalam biara itu digantungkan gambarnya Beng Thaytjouw, gambar itu lebih tinggi daripada orang biasa. Adalah lucu di dalam sebuah biara dipajang gambar satu raja. Dan lebih lucu lagi, gambar itu bukannya gambar hweeshio yang gundul kepalanya! Dihadapan gambar itu, hweeshio pengembara itu tertawa tiga kali, lalu dia meludah! Terhadap raja, perbuatan itu merupakan perbuatan sangat kurang ajar. Terhadap segala pembesar jahat dan okpa, yang biasa menindas rakyat jelata, aku sangat membenci, akan tetapi melihat dia demikian menghina raja, aku gentar juga. "Jangan kau takut!" kata hweeshio itu padaku. Dahulu waktu Tjoe Goan Tjiang belum menjadi raja, dia adalah sama sebagai kita. Dia takut sekali orang mengatakannya dia pernah menjadi hweeshio. Aku benci pada sikapnya itu, itulah penghinaan untuk kita hweeshio seumumnya. Kau berani bunuh hweeshio murtad dan cabul ini, kenapa kau tidak benci pada raja yang pernah jadi hweeshio yang mengumbar hweeshio-hweeshio jahat dan busuk melangsungkan kejahatan dan kebusukannya? Dia jadi sengit sekali, akhirnya dia robek gambar raja itu, dihancurkan. Aku sendiri, mendengar teguran itu, bagaikan mendengar pengajaran Sang Buddha, aku jadi sadar dan tidak takut lagi. "Bagus Bagus!" aku berteriak teriak sambil takepkan kedua tanganku. "Puas! Puas !" "Membunuh orang memuaskan, tetapi menolong orang, banyak kesulitannya, berkata pula hweeshio itu. Siapa menjadi manusia, dia tidak boleh cuma merasa puas, tetapi jeri terhadap kesulitan. Dengan berkata demikian, hweeshio itu maksudkan halnya banyak wanita yang disembunyikan di dalam biara Hongkak sie itu. Ayah bunda mereka itu sudah mengungsi, di mana mereka dapat dicari, ke mana kaum wanita itu hendak diserahkan? Tentu saja tidak dapat mereka dibiarkan pergi seorang diri. "Menolong orang harus secara sungguh-sungguh sampai pada akhirnya," berkata hweeshio itu pula. "Mari kita berdua bekerja sama, untuk mengantar mereka, untuk menolongi mereka mencari orang tuanya." Inilah benar. Membunuh orang gampang, tetapi menolong orang sulit. Syukur untuk kami, setelah bersusah payah dua bulan, berhasil juga kami menolong kaum wanita itu. Tentang harta yang tersimpan di dalam Hongkak sie, kita amalkan itu kepada rakyat yang bersengsara. Inilah jasaku yang pertama setelah aku turun gunung, peristiwa itu tak nanti aku lupakan seumur hidupku. "Dua bulan lamanya aku diam bersama hweeshio itu, kita sangat cocok satu dengan lain. Dalam hal ilmu silat, kepandaian kita juga berimbang. Kita lantas ikat persahabatan. Hweeshio itu adalah Tjinsamkay Pit To Hoan yang sekarang ini. Dengan sesungguhnya, aku kangen kepadanya. Sayang, sejak pertemuan yang pertama kali itu, selanjutnya kita belum pernah bertemu pula satu pada lain." Tergerak hatinya In Loei, ia berkesan sangat baik mengenai peristiwa itu, mengenai sikapnya Pit To Hoan. Memikirkan perbuatannya Pit To Hoan, ia bagaikan membayangkan pula waktu To Hoan meludahi gambar Tjoe Goan Tjiang. Kenapa Pit To Hoan begitu membenci kaisar pendiri dari kerajaan Beng itu? Inilah hal yang harus dipikirkan masak-masak. Tiba-tiba In Loe ingat Thio Tan Hong. Ia ingat, waktu berbicara tentang Tjoe Goan Tjiang, Thio Tan Hong memperlihatkan sikap sangat jemu. Kenapa? Ini juga hal yang memusingkan kepala memikirnya..... Tiba-tiba Tjioe San Bin tertawa. "Taysoe, kali ini kau akan bertemu dengannya!" kata orang she Tjioe ini. "Pit To Hoan sendiri sudah cukup untuk melayani bangsat kecil itu, maka ditambah kau, biar dia punya tiga kepala dan enam tangan, tidak nanti dapat dia terbang pergi! Ha-ha, hiantee, sakit hatimu pasti akan terbalaskan!" dia tambahkan kepada In Loei. "Kakekmu di tanah baka tentulah akan meramkan mata.....” In Loei berdiam, matanya mendelong jauh ke depan. Ia tidak menjawab perkataannya San Bin. Sikap ini membuatnya Tiauw Im dan Tjoei Hong menjadi heran. Ketika bayangan matahari menunjukkan sudah dekat tengah hari, Tiauw Im lompat berjingkrak. "Janji atau tantangan si mahasiswa berkuda putih itu tinggal empat hari lagi," dia kata, "maka itu sekarang sudah seharusnya kita cepat-cepat berangkat." Pengutaraan ini dapat persetujuan, maka itu, berempat mereka berlerot keluar dari dalam kuburan. In Loei dongak, ia memandang ke langit, ia rasakan seperti baharu habis bermimpi..... Tiauw Im Hweeshio dengan kuda putihnya adalah yang larinya paling pesat, yang kedua ialah kuda merah dari In Loei, tetapi si hweehsio tidak bedal kudanya itu, maka itu, dapat ia rendengkan binatang itu dengan kuda In Loei. San Bin dan Tjoei Hong jauh tertinggal di belakang, Tjoei Hong jadi sangat tidak puas. Akan tetapi, ia tak dapat berbuat suatu apa. Dekat magrib rombongan ini telah sampai di sebuah dusun kecil ditimur kecamatan Himkoan, di sini mereka kebetulan bertemu dengan dua rombongan lain, yaitu satu rombongan dari Hweesin tan Tjek Tjhoengtjoe dari Thaykok, dan yang lainnya rombongan dari Na Tjeetjoe dari Imma tjee. Tiauw Im dan San Bin kenal kedua rombongan itu, kedua pihak lantas membuat pertemuan. Nyata kedua rombongan itu juga tengah menuju ke rumah Pit To Hoan. Tiauw Im segera mencari sebuah penginapan yang paling besar, ia minta tiga kamar untuknya, yaitu ia bersama San Bin mengambil sebuah kamar, In Loei dan Tjoei Hong ia berikan masing-masing satu kamar. Tjoei Hong menjadi tidak puas, tetapi di situ banyak orang lain, ia terpaksa bungkam. Malam itu In Loei tidak dapat tidur, ia bergelisah di atas pembaringannya, sampai ia dengar ketokan perlahan sekali pada pintu kamarnya. "Siapa?" tanyanya. "Aku.....” Itulah suara Tjoei Hong, suaranya perlahan. Supaya tidak menerbitkan peristiwa yang bisa jadi buah tertawaan, In Loei lantas rapikan pakaiannya, ia pakai kopiahnya, habis mana ia buka pintu untuk menemui "isterinya" itu. Tjoei Hong bermandikan air mata pada mukanya, ia lantas tubruk In Loei hingga nona In ini mesti peluk padanya, lantas ia dibawa kepembaringan. "Kau kenapa?" tanya In Loei. Tjoei Hong mengawasi, sinar matanya mengandung sinar penasaran. "In Siangkong," ia jawab, "aku bukannya seorang hina, tak dapat aku menahan sabar.....” "Kau sebenarnya kenapa? Siapa yang menghina kau?" tanya pula In Loei. "Paman gurumu itu serta kakak angkatmu, kenapa seperti hendak merenggangkan perhubungan kita?" kata Tjoei Hong. "Mereka seperti tidak pandang aku adalah isterimu. Apakah mereka anggap aku tidak pantas untuk jadi pasanganmu? Mungkinkah mereka hendak mencarikan lain pasangan untukmu?" Setelah ketahui urusan itu, In Loei tertawa cekikikan. "Hai, kau memikirkan apa?" dia tanya. "Sebenarnya mereka bermaksud baik!" Tjoei Hong mendongkol. "Bagus betul!" katanya. "Mereka hendak mencarikan kau lain jodoh, kau kata mereka bermaksud baik! Apakah salahku, hingga kau hendak ceraikan aku?" Ia lantas saja menangis. Sibuk juga In Loei. "Apa? Apa katamu?" tanyanya. "Kapan aku hendak ceraikan kau?" "Habis, kau.....kau.....” Tak dapat si nona mengatakan terus, agaknya ia malu. In Loei berpikir keras. "Bagaimana aku harus bersikap sekarang?" dia bingung. "Kau dengar," ia kata. "Kakak angkatku itu.....” "Foei!" Tjoei Hong memotong. "Kakak angkatmu itu! Jikalau kau sebutsebut dia pula, nanti aku segera cari ayahku untuk minta keputusannya! Kau nikah aku atau kakak angkatmu? Hm! Aku benci dia!" In Loei tetap bingung, hingga ia memikirkan untuk membuka rahasia saja. Ia belum sempat membuka mulutnya, ketika ia dengar suara berdehem di luar kamar. "Hiantee, kau bicara dengan siapa?" terdengar San Bin menanya. Hatinya menjadi lega. Ia segera tolak tubuhnya Tjoei Hong. "Tjioe Toako di luar?" tegurnya. "Lekas kau keluar! Kau seka air matamu, supaya dia tidak dapat melihat.....” Tjoei Hong mendongkol bukan main, ia lantas lari keluar, tapi apamau, ia justeru bersomplokan dengan San Bin, dalam sengitnya, ia joroki anak muda itu sampai hampir jatuh. Ia lari terus ke dalam kamarnya, ia tutupi kepalanya dengan selimut, ia menangis..... In Loei heran yang San Bin datang malam-malam padanya. "Hianmoay," ia dengar San Bin, "kita ada bagaikan orang sendiri, tidak ada halangannya untuk kau bicara terus terang. Sebenarnya kau mempunyai kesulitan apa?" Sejenak, In Loei terperanjat. Tapi segera ia tertawa. "Memang ada kesulitanku," ia jawab. "Apakah kau tidak lihat nona Tjio gerembengi aku? Ini sulit, kesulitan ini tidak dapat aku pecahkan. Aku lihat, toako, cuma kau yang dapat membantu aku.....” San Bin terperanjat, wajahnya berubah. "Tjoei Hong adalah satu anak yang baik," berkata pula In Loei, "ia sesuai dengan kau Toako, kau telah berjalan bersama-sama dia, apakah kau tidak pikir suatu apa mengenai dia?" Pemuda itu melengak, ia merasa tak enak. "Adakah In Loei telah melihat lain orang maka hendak ia serahkan Tjoei Hong padaku?" ia menduga-duga. Ia mulai cemburu. In Loei polos, tidak ia menyangka akan kesangsiannya San Bin itu, maka itu, heran ia menampak air muka orang menjadi pucat. Ia tercengang. "Adik In, jangan kau dustakan aku," San Bin berkata pula. "Bukankah kau mempunyai pikiran lain?" "Apa, toako?" In Loei tanya. San Bin menatap. "Anaknya Thio Tjong Tjioe telah melakukan perjalanan bersama-sama kau, bukankah ia baik sekali terhadapmu?" tanyanya, tiba-tiba. Tubuh In Loei gemetar. "Ya, baik sekali," ia menjawab. "Tapi ia ada dari keluarga musuhmu!" San Bin peringatkan. "Tentang itu tak usah kau memperingatkannya," sahut In Loei, "surat wasiat kakekku telah menjelaskannya terang sekali." "Apakah yang ditulisnya?" "Surat wasiat itu menghendaki supaya aku membunuh habis keluarga Thio, tidak peduli lelaki atau perempuan!" "Tetapi dia berlaku baik sekali terhadapmu!" San Bin kata pula. "Baik atau tidak sama saja. Aku..... aku..... aku tidak bisa tentangi pesan kakekku!.....” In Loei menangis tersedu-sedu, tak dapat ia bicara terus. San Bin bingung, hatinya separuh lega. Ia awasi si nona, pikirannya ruwet. Ia merasa tak tega, ia merasa kasihan terhadap nona ini. Ia ulur tangannya, niatnya menghibur si nona, akan tetapi ketika tangannya membentur lengan orang, segera ia menarik kembali. Ia merasakan getaran. Justeru itu di luar penginapan terdengar bentakan keras. "Oh, bangsat!" demikian suara Tiauw Im Hweeshio. "Besar nyalimu! Aku ada di sini, kau berani datang menyatroni!" San Bin kaget, tapi segera ia lompat keluar, tangannya mencabut goloknya. Ia terus lompat naik ke atas genteng. Di bawah sinar rembulan yang permai, di sana tampak satu mahasiswa yang putih bersih, seolah-olah ia sedang bersenyum, dengan tegak ia berdiri di antara siuran angin halus. Ia adalah si "bangsat kecil berkuda putih" untuk melayani siapa San Bin bersama Tjio Eng sudah menyiarkan panah Loklim tjian! Waktu itu Na Tjeetjoe dan Tjek Tjhoengtjoe pun telah muncul di pojok payon. Menampak San Bin, Tiauw Im berkata: "Aku tidak mau melayani anak muda, akan aku gantikan kau mengurus kuda putih itu! Hati-hatilah kamu, supaya dia tidak sampai lolos!" San Bin tidak sahuti paman guru itu, ia hanya berkata: "Adik Loei, lekas kemari!" Tjek Tjhoengtjoe, yang bernama Po Tjiang dan bergelar Hweesin tan, si Peluru Malaikat, sudah lantas menimpuk dengan tiga biji hweetjoe, peluru api, mengarah muka orang. Dengan mengegoskan tubuhnya si mahasiswa lolos dari sesaran peluru liehay itu. Na Tjeetjoe, yang bernama Thian Sek, sudah lantas maju menyerang dengan sepasang Poankoan pit-nya, yaitu alat semacam pit — alat tulis. Si mahasiswa tidak hunus senjatanya, sambil menyamping sedikit, dengan sebelah tangannya ia menangkis, tangan yang lain dipakai membalas menyerang. Secara demikian ia membuat serangan Na tjeetjoe gagal, yang terpaksa mundur dua tindak. Waktu itu, San Bin lompat dengan bacokan goloknya. Gesit sekali mahasiswa itu, ia tidak menangkis atau lari, hanya selagi golok menyambar, ia berkelit sambil memutar diri, tangannya yang sebelah diayunkan, hingga ketika ia berbalik pula, lengan San Bin kena tersampok, sampai lengan itu bengkak dan terasa sakit. In Loei sudah lantas muncul di atas genteng, pedang Pekin kiam pun sudah dihunus, segera ia lihat si mahasiswa, mata siapa seperti menyinarkan api. Ia kertek giginya, terus ia menikam. Si mahasiswa kelitkan dirinya sambil berseru: "Telah aku dengar semua pembicaraanmu! Kiranya kamu semua sangat membenci aku!.....” Ia tidak membalas menyerang si nona. "Tikam dia! Jangan kasi hati!" berseru San Bin. Tjek Po Tjiang kembali menyerang dengan pelurunya, menyusul mana, Tan Hong dikepung bertiga. Dalam saat yang sangat mengancam itu, Thio Tan Hong masih sempat bersenanjung: "Tubuh yang kecil boleh pulang ke dalam tanah, akan tetapi bagaimana, budi permusuhan masih belum jelas?.....” Pemuda ini berkelit pula dari pedang In Loei, berbareng dengan itu ia serang muka Na Thian Sek dengan tangan kosong. Na Tjhoengtjoe berkelit sambil lompat nyamping, untuk membela dirinya. Gerakan ini digunakan sebagai ketika oleh Tan Hong, yang sudah lompat turun. "Kejar dia!" berteriak San Bin. Semua orang lantas mengejar, tidak terkecuali In Loei, tetapi nona ini Cuma ikut ikutan saja, ia sebenarnya tidak punya tujuan. Thio Tan Hong perdengarkan suara nyaring, ia rupanya memanggil kudanya. Sebagai jawaban ia dapatkan kuda itu berbenger, yang berada jauh daripadanya. Ia lari menghampiri. Tiauw Im Hweeshio, di atas kuda putihnya, menghalang antara Tan Hong dan Tjiauwya saytjoe ma. Kuda putih itu seperti kenal baik satu pada lain, maka juga, meski dia dengar panggilan, kuda si mahasiswa tidak mau menghampiri majikannya. Tan Hong perdengarkan pula suara panggilannya, yang panjang. Kali ini Tjiauwya saytjoe ma perdengarkan jawabannya sambil berdiri pada kedua kaki belakangnya. Tiauw Im lihat sikap kuda itu, ia serang batang lehernya. Atas mana, kuda tersebut rubuh. Sakit hati Tan Hong menyaksikan kudanya disakiti, ia menjadi gusar sekali. "Hweeshio bangsat, kau berani lukai kudaku?" dia berteriak. Terus dia maju, menyerang si hweeshio itu, atau segera ia tercandak Tjek Tjhoengtjoe, Na Tjeetjoe, San Bin dan In Loei, yang terus mengurung padanya. Ia menjadi mendongkol, tidak bisa ia lantas loloskan diri. Iapun tidak sempat mencabut pedangnya. Tiauw Im Hweeshio tertawa, dia berkata: "Tanpa kudamu, cara bagaimana kau dapat meloloskan diri?....." Belum pendeta ini menutup mulutnya, sekonyong-konyong kudanya berbenger dan berjingkar, kedua kaki depannya diangkat tinggi, hingga ia menjadi kaget, sebab hampir ia terpelanting dari atas kudanya itu. Inilah ia tidak sangka, sebab setelah sekian lama, dapat ia menjinakkan kuda itu. Pendeta ini tidak tahu, kudanya dengan Tjiauwya saytjoe ma mempunyai hubungan yang sangat erat. Tjiauwya saytjoe ma itu adalah anaknya kuda putih itu! Thio Tjeng Tjioe sangat menyayangi puteranya, ia berikan Tjiauwya saytjoe ma kepada sang putera. Tiauw Im telah hajar kuda itu, tidak heran kudanya menjadi kaget dan marah, setelah berjingkrak, kuda itu lari kabur. Ia mesti mendekam dan pegangi keras kuda itu, yang tak dapat segera dikendalikan. Ia dibawa kabur sampai beberapa lie! Tjiauwya saytjoe ma berbenger pula, terus dia lompat bangun, terus dia lari ke arah majikannya. "Bagus! Bagus!" seru Thio Tan Hong. Na Thian Sek maju dengan pit-nya, Tjek Po Tjiang dengan cambuknya, dan Tjioe San Bin dengan goloknya, bertiga mereka hendak rintangi si anak muda menghampiri kudanya itu. Tan Hong lihat sikap orang, ia justeru lompat ke arah In Loei. Nona In kertek giginya, ia segera serang anak muda itu, akan tetapi dengan mengegoskan mukanya, Tan Hong dapat mengelakkan pedang itu ke samping mukanya. Adalah pada saat itu, Tjiauwya saytjoe ma telah datang dekat pada majikannya. San Bin tidak mau diterjang kuda, ia berkelit. Ketika ini digunakan Tan Hong untuk lompat kebebokong kudanya itu. Tjek Tjhoengtjoe menyerang dengan pelurunya, ia sebat, akan tetapi Tjiauwya saytjoe ma sangat gesit, dia membuatnya peluru lewat di belakangnya! Sambil kaburkan terus kudanya, dari kejauhan, si mahasiswa telah perdengarkan suaranya yang nyaring: "Maafkan aku, tidak dapat aku menemani lebih lama! Nanti saja, lagi tiga hari, kami bertemu pula!" Kata-kata itu, yang seperti ejekan, diakhiri dengan suara tertawa, yang segera lenyap di udara terbuka, di antara sampokannya angin, yang kemudian disusul dengan menghilangnya si penunggang kuda dan kudanya..... In Loei berdiri menjublak, sedang Tjek Tjhoengtjoe, Na Tjeetjoe dan San Bin lesu sekali, mereka menyesal sekali, mereka jengah sendirinya. Beramai mereka tak sanggup membekuk satu orang..... Tidak lama antaranya, tibalah Tiauw Im Hweeshio. Pendeta ini kembali sesudah ia dapat kuasai kudanya, ia merasa kecele, karenanya ia larikan kudanya perlahan lahan. Ketika ia saksikan roman kawan-kawannya, sambil menyeringai, ia berkata: "Malam ini kita rubuh! Nanti, setelah tiga hari, terpaksa aku mesti turun, tangan.....” Besok paginya, perjalanan dilanjutkan. Tjoei Hong mendongkol berbareng berduka, karena kejadian semalam itu. Tak mau ia bicara dengan In Loei. San Bin pun berdiam, akan tetapi ia pikirkan pertempuran semalam. Terang ia dapat melihat, sekalipun In Loei, dia masih kalah terhadap Thio Tan Hong yang liehay itu. Ia juga dapat melihat, Tan Hong tidak berniat mencelakai si nona walaupun nona ini ada musuhnya. Bukankah itu tandanya bahwa antara mereka berdua telah ada perhubungan yang erat? Maka akhirnya, ia menjadi masgul sekali, pikirannya pepat. Ia tidak punya kegembiraan untuk bicara dengan Nona In. Nona ini lihat sikap pemuda she Tjioe itu, ini membuatnya ia berlega hati. Meski demikian, teringat halnya Tan Hong, ia berduka juga. Perjalanan dilanjutkan terus, sesudah tiga hari, sampailah mereka di Hoklok. Perkampungan tempat kediamannya Tjinsamkay Pit To Hoan dikitari air dan bukit, bagus letaknya. Tiauw Im Hweeshio maju di depan, ia temui pengawal pintu, untuk perkenalkan diri dan utarakan maksud kedatangannya, setelah mana, mereka dipersilakan masuk. Nyata di dalam telah ada lain tetamu, roman mereka umumnya tegang. Sudah dua puluh tahun Pit To Hoan dan Tiauw Im tidak pernah bertemu, pertemuan ini membuatnya mereka girang sekali, banyak yang mereka omongkan, tentang kenang-kenangan mereka, perihal kesehatan dan lainnya, hingga untuk sesaat itu, tak sempat Pit To Hoan melayani lain tetamunya, yang semua dating karena menerima panah Loklim tjian atau diundang langsung oleh Thio Tan Hong. Kemudian orang menanyakan Tjioe San Bin tentang Thio Tan Hong, mereka ingin ketahui jelas perihal orang she Thio itu. "Ayahmu, Kimtoo Tjeetjoe," berkata Pit To Hoan, "meskipun dia belum pernah bertemu denganku akan tetapi telah lama aku dengar tentang dia, aku tahu dia orang macam apa, maka aku percaya orang yang dia ingin bekuk mesti ada seorang yang jahat sekali. Sekarang pun terbukti, melihat sepak terjangnya, penjahat itu sangat cerdik dan berbahaya. Maka itu, tidak usah kau menjelaskan banyak, aku berniat turun tangan terhadapnya". Kemudian, menampak Tjio Tjoei Hong, tuan rumah itu urut-urut kumisnya. "Maafkan aku, aku tak tahu sekarang telah muncul seorang wanita gagah", ia kata. Segera San Bin memperkenalkan. "Nona ini puterinya Hongthianloei", katanya. Tjoei Hong segera maju, untuk memberi hormatnya, seraya memberitahukan yang ayahnya telah mengirim surat untuk menanyakan kesehatannya tuan rumah itu. Pit To Hoan girang sekali, ia tertawa. "Jikalau Hongthianloei menitahkan sesuatu, walaupun harus menerjang api, tidak nanti aku menolak!" dia kata. "Sudah belasan tahun aku nantikan suratnya itu!" Tjoei Hong serahkan surat ayahnya, tuan rumah menerimanya, untuk terus dibuka dan dibaca, habis mana mendadak air mukanya berubah menjadi pucat. Hatinya In Loei goncang. Tak tahu ia, apa bunyi surat Tjio Eng itu. Pit To Hoan berlaku tenang, dengan perlahan ia lipat pula surat itu, terus ia masukkan ke dalam sakunya. San Bin mengawasi, ingin ia bicara, untuk menjelaskan perihal si mahasiswa berkuda putih, atau To Hoan, yang memandang padanya, mendahului dia. "Tidak usah kau menjelaskannya, sudah aku ketahui," katanya. Ia segera memandang kepada In Loei ke arah siapa ia berpaling. "Tuan ini adalah keponakan murid dari Tiauw Im Taysoe, ia juga menjadi menantu dari Tjio Looenghiong," San Bin cepat memperkenalkan. "Menantu Hongthianloei telah datang, sayang Hongthianloei tidak." Kata To Hoan. "Aku kuatir urusan tidak akan dapat diselesaikan.....” Ia lantas angkat kepalanya, akan melihat ke atas, hinga tampak sinar kedua matanya yang hitam dan bengis. Habis itu terdengar tertawanya yang kering. "Mari turut aku!" kata ia kemudian sambil melambaikan tangan pada In Loei dan Tjoei Hong. Ia pun memesan: "Kalau si mahasiswa berkuda putih datang dengan tiba-tiba, Tiauw Im Soeheng, tolong kau wakilkan aku melayani dia." Sudah lama To Hoan kembali menjadi orang biasa, bukan hweeshio lagi, tapi kepada Tiauw Im tetap ia memanggil "soeheng" — panggilan cara keagamaan. In Loei dan Tjoei Hong turut tuan rumah itu. Mereka melewati lorong dan naik ke atas sebuah loteng kecil, di situ kedapatan sehelai gambar lukisan kota dan air, dengan pohon-pohon bunga. Mestinya gambar ini dibuat oleh satu pelukis dengan gambar yang ada di rumah Tjoei Hong, bedanya ialah gambar ini jauh terlebih kecil. Belum lagi tuan rumah dan tetamu-tetamunya duduk, atau satu bocah telah datang berlarian, terus saja dia tunjuk gambar itu sambil berseru: "Ayah, berikan padaku, berikan padaku buat main!" Bocah itu baharu berumur kira-kira delapan tahun, gesit dan manis, siapa saja tentu menyukai dia. To Hoan urut-urut kumisnya, ia turunkan gambar itu, lalu ia berikan pada bocah itu. "Pergi ambil!" katanya: "Hari ini akan terlihat gambar aslinya, maka barang tiruan ini tak usah aku menghargainya lagi!" Mendapatkan gambar itu, bocah itu tertawa dan berjingkrakan, lantas dia pergi. Kelihatannya dia seperti sudah sering minta gambar itu kepada orang tuanya dan baharu kali ini diberikannya. Dengan matanya, To Hoan antar bocah itu turun, dari loteng, habis itu ia menoleh kepada Tjoei Hong. Ia tertawa. "Nona Tjio," katanya, "ketika tahun itu aku pergi ke rumahmu, kau masih sebesar dia. Masihkah kau ingat?" "Dua bulan ayahku rebah di pembaringan, mana aku dapat melupainya?" jawab nona Tjio. To Hoan menghela napas. "Hari itu aku sangat ganas," katanya, "sampai pada hari ini, apakah kau masih membenci aku? Apakah yang ayahmu katakan padamu?" "Sedikit juga ayah tidak membenci kau," sahut Tjoei Hong. "Kali ini, apabila kau bisa membantu membalas sakit hati, ayah akan sangat berterima kasih padamu." "Membalas sakit hati?" To Hoan heran. "Sakit hati apakah itu?" Tjoei Hong berbalik menjadi heran. "Apakah ayah tidak menjelaskan dalam suratnya?" ia tanya. "Bukankah si mahasiswa berkuda putih itu ada musuh besar dari In Siangkong?" To Hoan awasi nona itu. "Begitu?" dia tegaskan. Mukanya In Loei menjadi pucat sekali. "Benar apa yang nona Tjio ini katakan," ia turut bicara. "Memang itu ada urusan sakit hati. Hanya dalam hal itu, tidak mau aku pinjam tangan lain orang!" "Bagus, itulah bersemangat!" puji Pit To Hoan. "Tapi aku lihat, di dalam urusan ini terlibat lain urusan lagi, yang menjadi sulit bagiku.....” "Apa?" tanya Tjoei Hong heran. "Inilah aku tidak pikir. Apakah yang ayahku tulis dalam suratnya itu?" To Hoan tertawa tawar, separuh berpaling, ia pandang nona itu. "Sekarang aku undang kau kemari, ini adalah untuk menuturkan kau sebuah dongeng," katanya kemudian. "Dongeng ini tentunya ayahmu belum ketahui semuanya." Dan ia lantas mulai dengan dongengnya itu. Dahulu kala, ada satu hweeshio yang pandai ilmu silat, dan pintar sekali dalam soal agama. Pada masa itu masuklah satu bangsa lain ke Tionggoan dan memerintahnya. Karena itu negara menjadi kalut sekali. Waktu itu hidup dua saudara angkat, si kakak hidup sebagai pedagang garam gelap, si adik menjadi pengemis. Kedua saudara ini berangan-angan besar. Mereka bercita-cita mengumpulkan tentara guna mengusir bangsa asing itu. Akan tetapi si hweeshio telah mendahului mereka, di Hoaysee dia telah mengerek bendera pemberontakan suci. "Hweeshio tua itu mempunyai dua murid, ialah si penjual garam gelap sebagai kakak dan si pengemis sebagai adiknya," In Loei menyelak. Bersinar mata To Hoan, dia pandang tetamu ini. Lantas ia bersenyum. "Kau juga masih belum mengetahui jelas," ia beritahu. "Hweeshio itu bukan mempunyai cuma dua murid tetapi tiga. Siapa menuturkan kau dongeng yang tidak lengkap itu?" "Untuk bicara terus terang, yang mendongengkan ialah orang yang hari ini kamu semua hendak menghadapinya," sahut In Loei. "Dia sebenarnya hendak ceritakan aku tiga buah dongeng. Dongeng yang pertama, ialah apa yang baru saja kau tuturkan. Dongeng yang kedua aku pun sudah ketahui. Tinggal dongeng yang ketiga, yang dia belum ceritakan padaku." Tjoei Hong menjadi heran, hingga ia awasi "suaminya" itu serta To Hoan dengan bergantian. To Hoan bersikap tenang, malah dia seperti sudah ketahui atau telah menduganya. "Benar," kata To Hoan kemudian. "Dibanding denganku, dia itu mengetahui terlebih banyak. Dongengku ini mungkin ada dongeng yang ketiga, tapi hanya sebagian saja." Tjoei Hong bertambah heran, wajahnya padam. Ia melirik pada In Loei, ia agaknya hendak sesalkan "suami" itu mengapa dia sekian lama sudah bungkam saja terhadapnya..... "Oleh karena dia telah menceritakan dongeng itu, baiklah akupun tidak usah menyembunyikan lagi," berkata pula To Hoan kemudian. "Penjual garam gelap itu adalah Thio Soe Seng, dan si pengemis adalah Tjoe Goan Tjiang. Dan si hweeshio tua, yang menjadi guru mereka, adalah Peng Eng Giok." In Loei dan Tjoei Hong mengawasi, keduanya diam. Tjoei Hong nyata masih bingung. Pit To Hoan lanjutkan ceritanya. Peng Eng Giok itu masih mempunyai satu murid lain yang bernama Pit Leng Hie. Murid ini mengerti ilmu perang, dia cerdas sekali. Dia pernah ikuti gurunya merantau, dia pandai menyamarkan diri. Begitulah dia pernah menyamar sebagai hweeshio dan juga sebagai pengemis. "Tjoe Goan Tjiang itu, sebelumnya dia masuk ke dalam kalangan Angkin Koen, — Tentara Pelangi Merah — pernah dia bekerja dalam pasukan suka rela gurunya itu, yang menjabat sebagai satu pemimpin kecil. Mungkin hal ini telah dituturkan orang itu kepadamu, ia tambahkan pada In Loei. Pada masa itu tentara kerajaan Goan ada tangguh. Sebaliknya di antara kaum pemberontak, yang bergerak dengan berbareng, jumlah tenaganya Peng Eng Giok tidak besar. Begitulah, beberapa kali Peng Eng Giok kena dikalahkan pasukan perang Goan, hingga keadaannya menjadi terancam bahaya besar. Tjoe Goan Tjiang telah berpikir lain, untuk mewujudkan pikirannya itu, ia menanti ketikanya. Kembali Peng Eng Giok mendapat pukulan yang hebat. Inilah ketika yang baik bagi Tjoe Goan Tjiang. Dengan akal muslihatnya, ia jual gurunya kepada musuh, ia sendiri, dengan air mata bercucuran, memperlihatkan diri sebagai seorang baik. Habis itu dengan membawa sisa tentara gurunya, ia pergi kepada pasukan Angkin Koen yang paling kuat, dengan siasat ini ia gunakan tentara itu sebagai modalnya untuk merebut negara. Tjoe Goan Tjiang menduga gurunya mesti terbinasa. Dugaan ini meleset. Gurunya itu diantar ke Pakkhia, kota raja bangsa Goan. Di tengah jalan, guru itu disusul Pit Leng Hie. Murid yang setia ini menggunakan segala macam akal, akhirnya berhasil juga dia menolongi gurunya, yang dia ajak menyingkir. Tentang pengalamannya Pit Leng Hie itu, yang sulit sekali, tidak usah aku jelaskan di sini. Keadaan negara telah menjadi kacau sekali ketika itu. Peng Eng Giok dan muridnya tidak dapat kembali ke Kanglam, tapi mereka masih dapat, mengumpulkan pengikut baru, untuk bangun pula. Di Utara ada tempat kedudukan tentara Goan, begitu Peng Eng Giok bergerak, begitu ia diserbu. Dalam satu pertempuran Peng Eng Giok terluka parah. Selagi hendak menghembuskan napasnya yang penghabisan, Peng Eng Giok berkata pada muridnya: "Seseorang tak dapat lolos dari kematian, sekarang aku terbinasa di medan perang, inilah kemenangan yang terhormat. Cuma ada satu hal yang belum aku selesai lakukan, untuk itu aku minta kau yang menggantikan mengurusnya. Melihat keadaan, aku percaya bangsa Han akan bangun pula. Inilah sudah pasti. Di antara jago-jago yang sekarang sedang bergulat, yang mempunyai harapan untuk naik di tahta, menurut pandanganku, mesti kedua adik seperguruanmu, kalau bukan si Tjoe, tentu si Thio. Yang lain-lainnya tidak ada yang mempunyai ketika. Tjoe Goan Tjiang berambekan besar dan cerdik sekali, tetapi dia bersifat buruk, dia tidak kenal budi kebaikan. Bukannya aku benci padanya, yang telah menjual aku, tapi sebenarnya aku tidak ingin dia yang menjadi raja. Dia dapat mencelakai rakyat negeri. Sejak muda aku telah merantau, mengembara di seluruh negeri, karenanya aku ketahui letaknya tempat, yang mana yang baik untuk mengumpulkan tentara. Maka itu aku telah menyiapkan sebuah peta bumi yang dibutuhkan oleh pergerakan tentara. Aku percaya, siapa memperolehnya peta itu, dialah yang akan berhasil dalam usahanya menjadi jago. Sekarang aku minta kau serahkan peta itu kepada Thio Soe Seng." Pit Leng Hie terima pesan itu, dengan menerjang bahaya, dia berangkat ke Selatan. Sayang dia terlambat, waktu dia tiba di Selatan, perebutan kekuasaan sudah memberikan roman baru. Yaitu Thio Soe Seng telah terkurung di daerah Souwtjioe, dalam setiap saat dia dapat dimusnakan. Tapi Thio Soe Seng tidak ingin mati terkurung, dia hendak coba ketikanya yang terakhir. Dia telah tantang Tjoe Goan Tjiang untuk melakukan pertempuran yang memutuskan di sungai Tiangkang! Pit Leng Hie menganjurkan Thio Soe Seng untuk menggunakan seantero kekuatannya yang masih ada, untuk menerjang keluar dari kurungan itu. Thio Soe Seng tertawa dan berkata: "Mana bisa aku menghilangkan kepercayaanku terhadap si pengemis?" Dia lantas perintahkan memanggil seorang pelukis yang kenamaan yang disuruh melukis panorama kota Souwtjioe. Dia gemar main catur, malam itu dengan sikap tenang seperti biasa, dia ajak Pit Leng Hie main catur sambil menghadapi arak. Dia main terus sampai fajar menyingsing, pada waktu itu, selesailah gambar itu. Gambar itu dibuatnya indah dan jelas sekali, sampai bukit bukit dan menara kota pun terlukis lengkap. Sesudah itu Thio Soe Seng menyembunyikan semua sisa harta bendanya, berikut pelbagai permata dan gambar-pesan dari gurunya. Dia sembunyikan itu di suatu tempat yang dia rahasiakan. Tempat itu cuma terlihat di dalam gambar panorama itu. Gambar itu diserahkan pada seorang yang dipercaya, yang ia tugaskan untuk mengajak puteranya menyingkir di waktu malam. Pit Leng Hie berkesan sangat akan putusan dan perbuatannya Thio Soe Seng ini, dari itu ia mengambil putusan untuk tidak meninggalkan kota. Dalam pertempuran yang memutuskan di Tiangkang itu, Pit Leng Hie mendahului Thio Soe Seng terbinasa. Pit Leng Hie mempunyai satu putera, anak itu menyingkir di antara serdadu-serdadu yang lari kalang-kabutan. Sukur untuknya, pada akhirnya dia sampai di tempat yang selamat. Harta bendanya Thio Soe Seng itu ada satu soal, akan tetapi yang sangat berharga adalah gambar panorama itu. Umpama ada seseorang yang mendapatkan itu, dia dapat bergerak dan nanti dapat perebutkan negara melawan anak cucu Tjoe Goan Tjiang." Tjoei Hong heran. "Bagaimana dengan gambar itu?" dia tanya. Belum nona ini menutup mulutnya, atau tiba-tiba, "sret!" lalu terlihat sebuah panah api warna biru melayang naik ke udara, pertandaan itu disusul dengan teriakan-teriakan: "Si mahasiswa berkuda putih telah datang!" Suasana menjadi tegang, genting, akan tetapi Pit To Hoan bersikap tenang sekali. Ia berbangkit dengan ayal-ayalan. Sambil bersenyum, ia jawab si nona: "Gambar itu ada di rumahmu, nona Tjio. Mungkin sekarang gambar itu sudah berada di tangannya si mahasiswa berkuda putih itu!" Tjoei Hong ternganga, matanya mendelong. Pit To Hoan bersenyum, dia berkata pula: "Isi surat ayahmu itu adalah menghendaki aku menemui si mahasiswa berkuda putih itu, sama sekali ayahmu tidak memohon bantuanku, lebih-lebih tidak untuk meminta aku membantui menuntut balas. Di dalam segala hal, ayahmu serahkan segala apa kepada keputusanku. Sebenarnya masih ada beberapa soal yang masih kurang jelas bagiku, sayang ayahmu tidak mau datang sendiri menemui aku. Maka itu, hari ini ia membuatnya aku sukar mengambil keputusan.....” Tjoei Hong melengak, In Loei pun berdiam. Justeru itu lalu terdengar suara tertawa dari Thio Tan Hong. "Si mahasiswa berkuda putih itu sungguh seorang yang luar biasa!" berkata Pit To Hoan. "Ada baiknya untuk menemui dia!.....” Lantas dia gerakkan kedua tangannya, tangan kiri menarik Tjoei Hong, untuk dengan perlahan-lahan mengajak mereka turun dari loteng. Hati In Loei gelisah, ia merasa sangat tegang, karena selagi mendekati keluar, ia sudah mulai dengar riuhnya suara pertempuran. Segera sesampainya di luar, ia tampak Tiauw Im Hweeshio tengah bertarung dengan Thio Tan Hong. Pendeta itu tersohor gwakee kanghoe-nya, ialah ilmu luar yang telah sempurna, maka itu semua tetamunya Pit To Hoan berkumpul untuk menyaksikan pertempuran itu, yang dahsyat sekali. Sianthung dari si pendeta telah perdengarkan suara angina yang keras. Di pihak sana, tubuh si mahasiswa berkuda putih telah bergerak berkelebatan lincah sekali dan sinar pedangnya bergemerlapan bagaikan bianglala. Untuk sekian lama, tidak ada tanda-tandanya akan ada keputusan siapa terlebih tangguh, siapa terlebih lemah. Tiauw Im Hweeshio kemudian perdengarkan seruannya, menyusul mana, ia perhebat gerakan tongkat panjangnya. Atas mana lawannya telah mengubah sikapnya, pedangnya tidak lagi bergerak sama cepatnya, kakinya juga mengambil kedudukan Ngoheng Patkwa — ialah ia main mundur secara teratur. Apabila ia telah menonton sekian lama, Pit To Hoan bersenyum. "Ilmu tongkat Hokmo Thunghoat dari Tiauw Im Soeheng telah maju pesat sekali," katanya. Ia memberi nilai. "Akan tetapi ilmu pedang dari si mahasiswa berkuda putih, belun pernah aku melihatnya!" Pertempuran berlangsung terus, sampai dua puluh jurus, selagi Tiauw Im tetap mendesak setindak demi setindak, sekonyong-konyong terdengar suara "Trang!" dari beradunya senjata yang disusul dengan meletiknya lelatu-lelatu api! "Sungguh pedang yang bagus!" memuji orang banyak. Kedua senjata, tongkat dan pedang, telah bentrok dengan keras, sebagai kesudahan, tongkat si pendeta telah sempoak, hingga semua penonton menjadi terperanjat dan kagum, hingga tanpa merasa, mereka memberikan pujiannya. Tiauw Im Hweeshio tampak lompat merangsak, tongkatnya menyambar lurus ke depan. Serangan tiba-tiba ini adalah suatu ilmu pukulan mematikan dari Hokmo Thunghoat, ilmu tongkat "Menaklukkan Hantu." Itulah ilmu tongkat yang telah diyakinkan selama beberapa puluh tahun. Maka segera juga si mahasiswa berkuda putih seperti dikurung tongkat, di kiri kanan, di atas dan di bawah, dia bagaikan tertutup. In Loei berkuatir sekali, hingga tanpa disengaja ia perdengarkan seruan. Mengakhiri desakannya itu, sekonyong-konyong Tiauw Im Hweeshio tertawa berkakakan. Sebab dengan tiba-tiba pedangnya si mahasiswa telah terlepas dari tangannya dan mental keudara! Karena kagum dan girang, semua penonton, yang terdiri dari jago-jago Rimba Hijau, telah perdengarkan seruan mereka yang gemuruh. Tiauw Im sudah lantas tarik kembali tongkatnya, ia lompat keluar kalangan. Thio Tan Hong juga lompat, akan tetapi dia mencelat tinggi, untuk mengulur tangannya, guna menjemput pedangnya yang tengah jatuh turun, dengan demikian ia dapat ambil kembali pedangnya yang tajam itu. Segera terdengar suara nyaring dari si pendeta: "Gurumu menjemukan! Tapi kau adalah orang muda dari kaum kita, maka itu tak dapat aku sebagai yang tua, menghina yang muda. Nah, pergilah kau!" Kata-kata itu membuatnya semua jago Rimba Hijau heran, mereka saling mengawasi, sinar mata mereka semua merupakan tanda tanya satu dengan lain. Mereka juga lantas berbisik, saling menanya. Cuma Pit To Hoan, yang nampak girang. Dia bersenyum. "Makin lama soal menjadi makin aneh!" katanya. "Bagaimanakah maka mahasiswa berkuda putih ini bisa menjadi orang yang terlebih muda tingkatannya dalam kaum Tiauw Im Soeheng? Tongkat tercacatkan, pedang telah terlempar, mereka ada paman guru dan keponakan muridnya, tetapi mereka bertempur seri! Sungguh, sungguh menarik!" Thio Tan Hong sudah lantas masukkan pedangnya ke dalam sarungnya, ia usap -usap gagang pedang itu. Dengan sikap yang tenang sekali, ia berkata dengan nyaring: "Aku yang muda, Thio Tan Hong, telah datang untuk memenuhi janji. Aku mohon bertemu dengan Pit looenghiong1." Tjek Tjhoengtjoe serta Kong Tjiong, yang menjadi begal tunggal dari Taykoan, adalah orang-orang yang paling keras adatnya di antara hadirin itu, mereka tidak tunggu tuan rumah memberikan jawabannya, mereka sudah lantas mendahului muncul. Mereka ini masing-masing menyekal cambuk dan tiatpay, dengan itu mereka maju menyerang, yang satu seperti menggulung, yang lain dari, atas turun menindih. Thio Tan Hong sudah siap dengan pedangnya, akan tetapi ia tidak melakukan perlawanan atau balas menyerang, ia hanya berkelit. Ia melejit di antara dua senjata jago-jago itu. "Tahan!" Pit To Hoan segera perdengarkan suaranya. "Siapa pun jangan turun tangan! Saudara Thio, silakan turut aku!" Nyaring suara tuan rumah ini. Semua jago Rimba Hijau menduga, Tjinsamkay hendak menandingi si anak muda. Pit To Hoan lantas bertindak, untuk memimpin Tan Hong ke belakang, ke taman bunga. Di sini mereka jalan memutari gunung-buatan, untuk menghampiri sebuah paseban di dalam mana ada satu meja batu. Di atas meja itu ada sehelai papan catur serta biji—bijinya yang letaknya tidak teratur, seolah-olah permainan yang belum berakhir. "Lekas ambil dua poci arak!" To Hoan titahkan hambanya, kemudian dia tambahkan: "Panglima kenamaan gemar catur, ahli surat menyintai gambar lukisan, kesukaan ini dahulu dan sekarang sama saja. Saudara, punyakah kau kegembiraan untuk menemani aku si orang tua main catur untuk satu rintasan? Sayang di sini aku tidak mempunyai lukisan indah yang dapat dipandang.....” Thio Tan Hong mengiringi tuan rumah itu, dia bersenyum, lalu dia menjura dengan dalam. "Boanseng adalah seorang bodoh," dia kata, dengan merendah. Dia menggunakan kata-kata "boanseng" itu, yang berarti "orang yang muda". Tapi dengan mendengarkan nyanyian, tahulah aku maksudnya yang bagus itu. Boanseng membawa sehelai gambar, walaupun itu bukannya karya dari satu pelukis yang kenamaan, mungkin itu ada harganya juga untuk ditonton.....” Lantas ia keluarkan gambar yang ia ambil dari rumahnya Tjio Eng, ia pajang itu di paseban tersebut. Ketika Pit To Hoan memandang gambar itu, ia menghela napas panjang. "Bila negara tak kurang suatu apa, aku akan kembali.....” katanya dengan perlahan. Terus dia menambahkan. "Ketika dahulu gambar ini dilukis, mungkin orang telah menemaninya sambil main catur dan minum arak. Saudara Thio, kau ada dari keluarga terpelajar, silakan kau pegang biji putih." Tingkah polanya kedua orang ini membuat heran orang banyak. Bagaimana penting artinya panah Loklim tjian yang disiarkan, akan tetapi sekarang ini, mereka berdua bercokol memandangi gambar, bermain catur. Tiauw Im tak kurang herannya. "Keponakan muridku ini sebenarnya belum pernah aku melihatnya, kenapa Tjinsamkay ketahui dia ada dari keluarga sasterawan?" ia berpikir. "Kenapa dia ketahui orang pandai main catur?" In Loei berada didampingnya pendeta itu, dia berpaling kepadanya seraya berkata: "Pasti saja dia mengetahuinya, oleh karena gambar itu ada gambar kota Souwtjioe!" Tiauw Im menjadi terlebih heran. "Kau belum pernah pergi ke Souwtjioe, kenapa kau pun ketahui itu?" dia tanya. Tjoei Hong ada bersama mereka ini, dengan dingin dia berkata: "Pasti sekali dia ketahui!" Dengan "dia", dia maksudkan In Loei. Tiauw Im berdiam, ia terbenam dalam kegelapan. Dipaseban sebaliknya, kedua orang yang sedang main catur dengan tenang, asyik menceguk arak mereka. Semua orang mengawasi mereka dari kejauhan, semua terbenam dalam keheranan, hingga mereka jadi masgul sendirinya. Pit To Hoan dengan biji hitamnya telah mengatur siasat "Yan siang hoei" — "Burung walet terbang berpasangan." Ia ambil kedudukan di satu pojok. Atas itu Tan Hong segera menyerang ke tengah, mengambil kedudukan "Thiangoan" — "Asalnya langit" "Ah, saudara, tak segan kau berebut sepotong daerah denganku?" kata Pit To Hoan, yang kena terdesak. Ia berpikir lama, baharu ia geser pula satu bijinya, akan tetapi Tan Hong bertindak seperti tanpa berpikir pula. Kembali dia pengaruhi lawannya. Pertandingan berjalan terus, sampai setengah jam, habis itu, dengan keringatnya mengetel, Pit To Hoan berbangkit, dengan tangannya, ia sampok biji caturnya. "Tak dapat aku lawan terus padamu.....” katanya masgul. Tan Hong berbangkit sambil tertawa. "Terima kasih, kau mengalah!" katanya. Terus ia gulung gambar yang dipajang itu. Semua orang heran, tetapi mereka bergerak. Pit To Hoan dapat melirik sikap tetamu-tetamu-nya itu. "Saudara Thio, bukannya aku si orang tua tak tahu aturan," ia lantas berkata, "karena kau telah mengundang begini banyak sahabat, tidak dapat tidak, mesti aku bertindak dengan turuti aturan. Saudara, ingin aku meminta pengajaran beberapa jurus ilmu pedang darimu.....” Sepasang matanya Tan Hong bercahaya. Baginya, permintaan To Hoan ini seperti di luar sangkaannya. Tetapi tetap ia bersikap tenang. Terus ia menjura. "Jikalau begitu, baiklah," ia kata. "Aku minta lootjianpwee menaruh belas kasihan terhadapku....." Dari pojok tembok, To Hoan turunkan sepotong tongkat panjang. "Tongkat pengemis ini dapat juga digunakan!" katanya. Tan Hong sudah lantas ambil kedudukan di sebelah bawah. To Hoan tahu orang tidak berani turun tangan terlebih dahulu, maka ia tak mau buang tempo lagi. "Awas!" ia peringatkan. Terus ia menyambar pinggangnya si anak muda. "Bagus!" seru Tan Hong sambil lompat, hingga tongkat Hanliong pang, yang terbuat dari kayu hangliong yang kuat, lewat di bawah kakinya. Habis itu, tidak tunggu sampai tubuhnya turun menginjak tanah, pedangnya sudah menggantikan menyambar, menikam ke arah jalan darah hoakhay hiat. Itulah serangan "Pekhong koandjit" — "Bianglala putih mengalingi matahari." "Bagus!" berseru To Hoan, sambil mundur, seraya menarik kembali tongkatnya, untuk dipakai menotok nadi orang. Itulah serangan saling balas yang dahsyat sekali. Tan Hong tarik kembali tangannya berikut tubuhnya, akan menyingkir dari ancaman To Hoan. Ia telah gunakan tipu "Djitgoat kengthian" — "Matahari dan rembulan melewati garis." "Bagus, saudara Thio!" Pit To Hoan memuji pula. "Sungguh liehay ilmu pedangmu!" Selagi memberi pujian, jago tua ini ulangi serangannya yang tak kurang berbahayanya dengan gerakannya yang cepat. Nampaknya tidak ada jalan untuk Tan Hong berkelit atau menangkis, ia sudah sangat terdesak, akan tetapi di saat ujung tongkatnya mengancam, tahutahu! "Trang!" demikian terdengar. Karena keberaniannya, si anak muda toh menangkis juga. Maka itu lelatu api pun muncrat. Pit To Hoan kaget, hingga ia mencelat mundur, kalau tidak, ujung pedang yang menyambar terus, bisa mengenai tubuhnya. Semua tetamu berseru kaget dalam hati mereka. Malah Tiauw Im Hweeshio turut merasa heran juga. Mungkinkah Tan Hong tidak dapat mempengaruhi pula pedangnya? Melainkan To Hoan sendiri yang mengetahui bahwa anak muda itu telah mengalah terhadapnya. Ia lantas periksa tongkatnya, tongkat itu tidak gompal. Ia tertawa. "Pedangmu dan tongkatku sama-sama tidak rusak, mari, tak usah kau sungkan sungkan!" ia menantang. Malah ia yang mendahului menyerang pula. Kali ini, ia berlaku terlebih bengis pula. Dengan sebat tetapi tenang Thio Tan Hong mengadakan perlawanan. Tongkat sangat mendesak, ia melayaninya dengan kegesitan tubuhnya, yang enteng sekali. Cepat jalannya pertempuran, sebentar saja sudah lima puluh jurus. Satu kali Tan Hong menyerang dengan tipu "Liongboen kouwliong" — "Gelombang di Liongboen," di saat ujung pedang hampir bentrok dengan tongkat, mendadak To Hoan menarik kembali, akan berbalik menyambar ke arah pinggang. Diserang secara demikian rupa, Tan Hong mendak, terus ia mencelat ke samping. "Sayang! Sayang!" mengeluh orang banyak dalam hatinya. Tiauw Im kembali heran. Ia tahu, bila tongkat diturunkan sedikit lagi, bebokong atau kempolan Tan Hong mesti kena tersapu. Mungkinkah To Hoan juga tak dapat menguasai tongkatnya itu? Cuma Tan Hong yang tahu, jago tua itu mengalah terhadapnya, seperti tadi ia mengalah terhadap orang tua itu. Selagi ia belum tahu pasti apa baik ia ulangi serangannya atau tidak, tiba-tiba ia dengar tuan rumahnya tertawa terbahak-bahak. -ooo0dw0ooo- BAB X "Saudara Thio, ilmu pedangmu liehay, tetaplah hatiku si orang tua!" To Hoan mengucap habis tertawa. Terus ia menikam dengan tongkatnya ke arah perutnya si anak muda, di depan mana ada melintang pedangnya. Tan Hong menolak dengan pedangnya, untuk mengelakkan diri, dengan begitu kedua senjata jadi membentur satu dengan lain. Tapi inilah gerakan untuk menyudahi pertempuran, untuk mengubah permusuhan menjadi persahabatan. Selagi orang banyak heran, Pit To Hoan telah berkata dengan nyaring: "Saudara Thio, kau adalah sahabatku, maka itu, urusan bagaimana besar juga, dengan memandang mukaku, sukalah kau menghabiskannya!" Terus ia lemparkan tongkatnya, lalu ia cekal tangannya Tan Hong, untuk dituntun sampai di pintu luar, untuk mengantarkan sendiri orang pergi. Sepasang matanya Tjioe San Bin berputar, semua jago Rimba Hijau pun menjadi tegang sendirinya. Dengan sikapnya yang tenang tetapi angker, To Hoan jalan berendeng dengan Thio Tan Hong. Ia tahu sikapnya San Bin dan tetamu-tetamunya, seperti tidak mengambil mumat, ia jalan terus. Ini ada cara agung dari orang kangouw mengantarkan tetamunya pergi pulang. Biar mereka tidak puas, San Bin dan tetamu-tetamunya membiarkan To Hoan mengantar Thio Tan Hong berlalu. Di luar, kuda putih berjingkrakan dan berbenger. Tan Hong hampiri kudanya itu, dengan sebelah tangan memegang gagang pedang, ia menjura kepada Pit To Hoan. "Loopeh, terima kasih!" ia mengucap, menyusul mana tubuhnya mencelat naik ke bebokong kudanya. Terus ia bersenanjung: "Di saat terancam dari Tiongtjioe, akan aku kembali, semoga negara nanti mengeluarkan jago yang pandai. Jikalau nanti datang hari dari gelombang tenang, ingin aku bersama kau mendaki panggung orang-orang cendekiawan." Ketika itu, mata pemuda she Thio ini bentrok dengan sinar mata In Loei, yang mengawasi kepadanya, tetapi terus ia keprak kudanya, untuk dilarikan, hingga sejenak kemudian hilanglah ia dari pandangan mata orang banyak, untuk melalui beberapa lie jauhnya..... Pit To Hoan terus mengawasi tetamunya yang muda dan gagah itu, akhirnya dia tunjukkan jempolnya dan memuji: "Sungguh agung! Dia dapat menangkan leluhurnya! Tidak kecewa Tjio Eng mewakilkan dia menjaganya selama beberapa puluh tahun!" Tjeetjoe Na Thian Sek lampaui orang banyak, akan menghampiri tuan rumah. "Siapakah sebenarnya anak muda berkuda putih itu?" dia tanya. "Hongthianloei bersama Kimtoo Tjeetjoe telah mengirimkan panah Loklim tjian, adakah itu diakhiri secara begini saja?" To Hoan mengalihkan pandangannya ke arah Tjoei Hong, ia tertawa. "Nona Tjioe, mengertikah kau sekarang?" dia tanya. "Kakek guruku itu, Peng Hweeshio, mempunyai tiga murid. Murid yang kedua, Tjoe Goan Tjiang, mulia kedudukannya, dia menjadi kaisar yang membangun Kerajaan Beng yang besar. Murid yang kesatu, Thio Soe Seng, telah terbinasa dalam peperangan di Tiangkang, tetapi si anak muda berkuda putih ini adalah turunannya. Di antara tiga muridnya itu, akulah yang paling tidak berguna, turun temurun, kami tetap hidup sebagai orang biasa saja.....” Semua tetamu belum pernah mendengar riwayat keluarga she Pit ini atau dongengnya itu, mereka semua tidak mengerti. "Apa? Apa kau kata?" tanya mereka. "Jadi si mahasiswa berkuda putih itu turunan Thio Soe Seng? Hubungan apakah yang ada antara Hongthianloei Tjio Eng dengan dia itu?" Tjoei Hong tidak pedulikan pertanyaan orang banyak itu, ia menghela napas. "Ya, mengertilah aku sekarang," ia sahuti tuan rumah itu. "Rupanya leluhurku dulu adalah orang kepercayaan yang telah menerima tugas dari Thio Soe Seng untuk menyimpan gambar itu. Akan tetapi dia ini, dia adalah musuh besar dari In Siangkong....." Pit To Hoan kerutkan alisnya. "Maka itu telah kukatakan, masih ada sesuatu yang belum jelas bagiku," ia berkata, "dan ini adalah satu di antaranya. Dalam surat ayahmu itu tidak dituliskan sesuatu..... In Siangkong, bagaimana caranya maka kau jadi bermusuhan dengan dia itu?" ia terus tanya In Loei. Pucat muka orang yang ditanya itu, air matanya berlinang. Sekian lama, ia berdiam saja. Semua orang makin heran, ada pula yang bertanya. "Marilah, kita bicara di dalam," akhirnya To Hoan mengajak. Mereka kembali ke ruang dalam, untuk duduk. Sekarang ia ingin memberikan keterangannya. "Pada waktu dahulu, tiga saudara angkat telah bersama-sama mengangkat senjata," ia jelaskan, "lalu belakangan, cuma satu yang berhasil membangun negara. Berbicara sebenarnya, aku pun tidak puas. Adalah aturan dalam keluargaku, anak-anak kami mesti hidup sepuluh tahun sebagai pendeta dan sepuluh tahun sebagai pengemis. Inilah peringatan leluhur kami yang pertama, kedua kami diberi ketika untuk merantau di seluruh negeri, guna mencari gambar yang mempunyai hubungan dengan usaha pembangunan negara, supaya setelah mendapat gambar itu, kami bisa berdaya untuk dengan anak cucunya Tjoe Goan Tjiang memperebutkan kegagahan. Sekarang ini tidak usah aku bersusah hati pula, selanjutnya anakku tak usah lagi menjadi hweeshio, tak usah lagi menjadi pengemis!" "Apakah artinya kata-kata kau ini, Pit loo enghiong?" tegaskan Na Tjeetjoe. Pit To Hoan tertawa sedih, ia menyahut: "Pada jaman dahulu Hong Djiam Kek bercita-cita mengendalikan negara, dia telah main catur dengan Lie Sie Bin, belum sampai selesai satu rintasan, atau dia telah mengaduk-aduk biji caturnya, dia kata, tak dapat lagi dia memperebutkan negara. Nyata dia telah putus asa, kalah dari Lie Sie Bin. Aku tidak berangan-angan besar sebagai Hong Djiam Kek itu, sebab dahulunya aku tidak tahu diri, aku masih memikir, setelah aku berhasil mendapatkan gambar itu, hendak aku bergerak, untuk memburu menjangan di Tionggoan. Tapi sekarang ini, ikhlas aku, aku menyerah kalah terhadap Thio Tan Hong. Gambar itu telah bertemu dengan pemiliknya yang sah! Bukankah kamu telah mendengar syairnya Thio Tan Hong itu, yang ia ucapkan tadi. Bagaimana, besar cita-citanya! Dengan menuruti petunjuk dalam gambar itu, Thio Tan Hong hendak menggali harta besar yang dipendam leluhurnya dulu, dengan menggunakan peta buminya itu, dia mencoba bergerak, untuk mendayakan usaha kerajaan, untuk sekali lagi memperebutkan Negara dengan anak cucunya keluarga Tjoe!" San Bin habis sabar, dia berjingkrak. "Hanya aku kuatir dia nanti persembahkan negara kepada bangsa asing!" katanya dengan dingin. "Apa kau kata?" tanya To Hoan, tenang. "Pit Lootjianpwee, apakah kau masih belum ketahui?" San Bin balik menanya, hatinya masih sangat mendongkol. "Ayah si pemuda berkuda putih itu, Thio Tjong Tjioe, berada di negara Watzu di mana dia menjadi perdana menteri muda! Sekarang ini usaha negara Watzu untuk menerjang masuk ke negeri kita boleh dikatakan sudah sampai di depan mata, dia telah dating seorang diri kemari, jikalau dia bukannya mata-mata, habis apa? Malah aku kuatirkan dia lebih berbahaya daripada mata-mata umumnya! Coba pikir! Kalau dia berhasil mendapatkan peta negeri itu, mungkin wilayah kita yang bagus letaknya, akan berada dalam telapakan tangannya, dia dapat melihat dengan tegas, jikalau peta itu diserahkan kepada bangsa Watzu dan bangsa itu mengerahkan angkatan perangnya menuruti petunjuk peta itu, dapatkah Tionggoan melakukan perlawanan?" Wajah Pit To Hoan berubah menjadi pucat. "Benarkah apa yang kau katakan ini?" tanyanya. "Sedikitpun aku tak dusta!" sahut San Bin. "Kami ayah dan anak telah mengerek bendera Djitgoat Kie, kami menentang bangsa Tartar, umum telah ketahui, maka dalam urusan demikian besar mana dapat aku omong kosong! Demikian sakit hati yang besar dari In Siangkong ini, itupun disebabkan si penghianat besar Thio Tjong Tjioe! Adik Loei, cobalah kau ceritakan semua kepada orang-orang gagah ini?" Tak tahan In Loei akan kedukaannya, mendengar perkataan San Bin itu, ia menangis, hingga tak dapat ia bicara. "Jangan berduka, adik Loei," San Bin menghibur. "Pit Lootjianpwee dan semua orang gagah ini pastilah akan berbuat sesuatu untukmu. Baiklah aku yang mewakilkan kau menuturkannya." Segera San Bin ceritakan halnya In Tjeng disiksa menggembala kuda di Negara asing, bagaimana In Tjeng itu teraniaya dalam perjalanan pulang, dan lainnya. Mendengar semua itu, To Hoan rubuhkan diri dalam kursinya. "Pantas keluargaku mencari turunan Thio Soe Seng dengan sia-sia saja," katanya selang sekian lama, "sedikit juga kita tidak dapat mengendus, kiranya dia telah pergi jauh kepadang pasir." Tiba-tiba jago tua ini lompat bangun, nampaknya ia murka. "Benarkah Thio Soe Seng mempunyai anak cucu demikian buruk?" Tanya dia. "Melihat roman Thio Tan Hong, mana pantas dia menjadi satu penghianat?" "Ada bapaknya mesti ada anaknya!" kata San Bin. "Dengan melihat tabeatnya saja mana bisa diputuskan dia sebenarnya manusia macam apa?" Muka To Hoan menjadi merah, matanya menyala, seolah-olah hendak menyemburkan api. "Jikalau demikian, akulah yang keliru!" akhirnya dia berseru. Baharu San Bin hendak melanjutkan, atau Tiauw Im telah menyambungi dia. "Lootoako, aku katakan kau keliru," kata pendeta ini. "Thio Tjong Tjioe itu memang benar satu penghianat besar! Pernah aku mendatangi negara Watzu itu dan karenanya pernah aku tercelakai dia!" Pit To Hoan tunduk, tapi masih ia mengatakan dengan perlahan: "Aku salah! Apa benar aku salah?" Melihat sikap orang, San Bin berkata pula. "Pit Lootjianpwee," katanya, "mungkin karena kekeliruan kau, dan kurang perhatian, kau kena dikelabui penghianat itu. Thio Tan Hong telah mengundang semua orang gagah datang ke rumahmu, ia tentunya telah perhitungkan masak-masak, mungkin ia pergunakan kau sebagai tameng, supaya kau dapat menolongi dia memberi keterangan, untuk memecahkan kesulitannya, supaya selanjutnya kaum Rimba Hijau tidak lagi menyusahkan padanya." "Hm!" jago tua itu perdengarkan suaranya, "apabila dia benar-benar penghianat, pasti akan aku binasakan dia dengan tanganku sendiri!" Matanya lantas bersinar, tapi wajahnya tetap penuh keragu-raguan. San Bin tahu orang tentu belum percaya penuh padanya, masih ia hendak meyakinkannya, tetapi selagi ia hendak buka mulutnya, ia lihat tuan rumah itu pergi keluar sambil memanggil: "Mana orang!" terus dia perintahkan satu pegawainya: "Lekas kau selidiki, apakah orang yang aku titahkan sudah kembali atau belum?" Habis itu, ia kembali ke dalam sambil mengatakan: "Kalau dilihat begini, mungkin di depan mata kita ini akan terbit ancaman bahaya besar!.....” Semua hadirin menjadi heran. "Ancaman bencana apakah?" tanya mereka yang tak mengerti. "Kita berjumlah banyak di sini, bencana apakah itu? Mungkinkah kita tidak dapat menentangnya?" "Saudara-saudara, kamu masih belum mengetahui jelas," sahut Pit To Hoan dengan penjelasannya. "Keluargaku adalah keluarga yang menjadi musuh turunan besar dari kaisar kerajaan Beng. Dimasa hidupnya Tjoe Goan Tjiang, pernah mengumumkan titah rahasia untuk membasmi sampai diakarnya kedua keluarga Thio dan Pit. Keluarga kami menjadi pendeta dan pengemis selama turun temurun, sebabnya, kecuali alasan-alasan yang pernah aku sebutkan, satu alasan lainnya ialah guna melindungi diri dari ancaman bahaya itu. Bersukur kepada leluhurku, berkat perlindungannya, beberapa turunan kami telah selamat tidak kurang suatu apa dan belum pernah kami dapat diendus pemerintah. Atau mungkin karena aku pernah merantau, nama kosongku telah mengundang ancaman bahaya. Ialah sejak beberapa tahun yang lalu, aku tahu ada "elang dan anjing" yang memperhatikan diriku. Itulah sebabnya kenapa aku mengambil tempat yang sepi ini untuk menyembunyikan diri. Tapi aku rasa aku belum bebas. Beberapa hari yang lalu, telah datang beberapa orang asing yang tidak dikenal. Menurut orang-orang kampung, mereka itu telah menanyakan asalusulku. Aku percaya, mereka adalah kaki tangan pemerintah. Baiklah aku bicara terus terang, beberapa hari yang lalu, aku berniat untuk pindah dari sini, akan tetapi karena Thio Tan Hong menjanjikan untuk membuat pertemuan di sini, aku telah menunda kepindahanku itu. Umpama kata pemerintah mengetahui kita akan berkumpul di sini, pasti kaisar she Tjoe itu mengirimkan orang-orangnya yang pandai untuk membekuk kita! Bukankah mereka dapat menggunakan jaring untuk meringkus kita semua?" Mendengar ini, semua tetamu jago-jago Rimba Hijau, jadi bimbang. Dugaan To Hoan masuk diakal. Tjek Po Tjiang, yang pernah dikalahkan Thio Tan Hong, lantas berkata: "Apakah betul urusan begini kebenaran? Va, aku percaya, inilah jebakan yang diatur si bangsat kecil berkuda putih itu!" To Hoan berpikir keras, tidak dapat ia bicara. "Sungguh mencurigakan!" Na Tjeetjoe turut mengutarakan pikirannya. "Bagaimana anak cucunya Thio Soe Seng dapat bekerja sama dengan pemerintah?" To Hoan kemukakan pula kesangsiannya. "Jangan ragu-ragu, lootjianpwee1." kata Tjioe San Bin. "Thio Tjong Tjioe ayah dan anak bisa menjadi mata-mata bangsa Watzu, maka itu, mereka pasti juga bisa menjadi mata-mata pemerintah! Orang sebangsa dia, apa yang dia tidak dapat lakukan?" "Benar!" Tiauw Im campur bicara. "Thio Tjong Tjioe itu pernah berhubungan surat menyurat dengan dorna kebiri Ong Tjin, inilah aku ketahui." Pit To Hoan buat main kumisnya, ia berpikir keras. "Sebenarnya aku tidak menduga jelek terhadapnya," katanya kemudian, "tapi sekarang, mendengar keteranganmu, Tjioe Hiantit, benar-benar sulit untuk aku mengambil keputusan. Ah, urusan ada begini suram, sulit untuk dipecahkannya. Mungkinkah Thio Tan Hong menggunakan akal memperlambat gerakan pasukan guna mencegah kepindahanku, supaya kaki tangan pemerintah keburu datang untuk melakukan penangkapan? Ah, benar-benar, tahu manusia, tahu mukanya, tak tahu hatinya! Apakah aku telah keliru melihat orang?" Pit To Hoan cerdas, ia pandai melihat segala apa, hari ini adalah untuk pertama kalinya ia terbenam dalam kesangsian, hingga tak dapat ia segera mengambil keputusan. Tjioe San Bin telah mengumbar hawa amarahnya. "Urusan ini jangan disangsikan pula!" katanya dengan nyaring. "Pastilah sudah, ini ada jebakan yang dipasang Thio Tan Hong! Maka sekarang marilah kita bicarakan daya untuk mengadakan perlawanan terhadapnya!" Riuh suara para tetamu itu, mereka masing-masing mengutarakan pikiran mereka. Ada yang menghendaki menunggu datangnya musuh, untuk memberikan perlawanan. Ada yang menganggap, lebih baik menyingkir terlebih dahulu, supaya nanti mereka dapat lantas menyiarkan panah Loklim tjian secara luas, guna mengumpulkan semua anggauta Jalan Hitam di Selatan dan Utara, guna bersama sama menghadapi Thio Tan Hong itu, sedikitnya Thio Tan Hong harus dikurung, hingga sulit baginya untuk angkat kaki satu tindak saja. Pit To Hoan menjadi bergelisah, masih ia bersangsi, sedang suara para hadirin itu, hampir semuanya menentang Thio Tan Hong. Di antaranya Cuma In Loei seorang, yang duduk diam di atas kursinya. Dia sangat berduka, air matanya masih berlinang. Menampak sikap orang itu, ia menjadi curiga. "Bicara tentang permusuhan, dialah yang bermusuh paling hebat dengan Thio TanHong," ia berpikir. "Kenapa sekarang dia diam saja? Apakah di sini terselip suatu urusan lain?" Tiba-tiba ingin To Hoan menghampiri In Loei, untuk bicara dengannya — bicara berdua saja, — tetapi waktu itu, orang ramai berbicara, ruang menjadi berisik, tak ada kata-kata yang terdengar nyata. Maka itu, tuan rumah ini kerutkan sepasang alisnya. Dalam keriuhan itu, sekonyong-konyong orang mendengar kuda berbenger. "Si bangsat kecil berkuda putih datang pula!" tiba-tiba ada yang bersuara. Sekejap saja, ruang menjadi sunyi, ketegangan muncul sebagai gantinya. Suara kelenengan kuda pun lantas terdengar nyata, makin lama makin dekat. Pit To Hoan lompat bangun, dia lari keluar. Satu penunggang kuda tengah mendatangi! Dialah Thio Tan Hong! Mukanya pucat, penuh dengan keringat. Begitu sampai, ia lompat turun dari kudanya, menghampiri tuan rumah. "Siepeh, lekas lari!" katanya cepat, singkat. To Hoan mengawasi dengan mata mendelik. "Bagus!" ujarnya dingin. "Lelakon apa lagi kau mainkan?" Tan Hong melengak, mukanya menjadi pucat, tapi segera ia dongak, akan tertawa bergelak-gelak. "Langit yang tinggi, siapakah yang kenal aku?" katanya, lalu ia teruskan: "Tuan Pit, pada saat ini tak ingin aku memainkan lidah, untuk kau mempercayai aku, aku cuma mohon, lekas kau pergi, untuk menyingkirkan diri! Tentara negeri terpisah kurang lebih sepuluh lie lagi dari sini!" Inilah To Hoan tidak sangka, ia menjadi sangat gusar. "Bagus!" serunya. "Aku akan adu jiwaku, akan aku siram tanah dengan darah! Untuk membuat kau.....” Dalam keadaan yang sangat murka, tak dapat To Hoan melanjutkan katakatanya. Sebenarnya hendak ia mengucapkan, .....berhasil!" Tapi berbareng dengan itu, sekarang ia dapat melihat lebih nyata. Ia tampak pakaiannya kecipratan darah, mukanya tegang. Maka itu, dapatkah pemuda ini mendusta? Selagi orang berdiam, Tan Hong berkata pula: "Aku baharu sampai belasan lie di luar kampung ini ketika aku berpapasan dengan pasukan serdadu pemerintah. Kita bentrok. Aku rubuhkan dua di antaranya! Mengandal kepada kudaku ini, yang larinya keras, aku kembali kesini, untuk menyampaikan kabar.....” "Sret!" demikian terdengar satu suara, yang disusul dengan suara menghembus. Dan panah api sudah menyambar ke arah Thio Tan Hong! Hweesin tan Tjek Po Tjiang sangat gusar, maka itu, belum sampai ia lompat maju, panah apinya, tjoayam tjian, telah ia lepaskan. Menyusul ini beberapa orang lompat maju, di antaranya Na Tjeetjoe dari Imma tjoan. "Bocah cilik!" dia mendamprat. "Apakah kau sangka kami bertiga anakanak kecil, hingga dapat kau permainkan?" Dan tidak memberikan ketika untuk orang membela diri ia maju terlebih jauh. Empat lima orang lainnya juga merangsek maju. "Binatang cilik, kau ngaco belo!" mereka itu mencaci. "Siapa yang kau hendak dustai? Kau mesti dibunuh dulu, baharu kita labrak tentera negeri! Jangan harap kau bisa jaring kita semua! Tak gampang!" Cacian ini membikin yang merangsek makin banyak, di lain saat, Tan Hong telah dikurung, diserang pelbagai macam senjata. Mau atau tidak, terpaksa pemuda itu harus menggunakan pedangnya, untuk membela diri. Di antara suara "trang trang" banyak kali, terlihatlah beberapa senjata terbabat kutung oleh pedangnya pemuda itu, hingga kurungan itu nampak sia-sia saja. Siapa tak bersenjata, ia terpaksa mesti mundur. Menampak demikian, San Bin tolak tubuh In Loei. "Lekas maju!" dia menganjurkan. "Gunakan pedangmu untuk melawan dia!" Tanpa merasa orang she In ini menghunus pedangnya, ia menyerbu ke dalam kurungan. Tan Hong berkelebatan di antara pengepung-pengepungnya, baju putihnya pun beterbangan, sambil terus melindungi diri, ia berteriak-teriak pula: "Kamu lihat kudaku! Jikalau benar aku memihak tentera negeri, mana bisa kudaku terluka demikian?" Orang-orang menoleh dan mereka dapatkan pada sebelah kaki kuda itu tertancap dua batang anak panah. Itulah anak panah tentera negeri. Orang-orang kaum Rimba Persilatan sangat menyayangi kuda itu, apapula pooma, kuda "mustika" atau jempolan sebagai Tjiauwya saytjoe ma, maka itu, tertarik hati mereka. Mereka sayangi kuda itu, yang anak panahnya belum sempat dicabut Tan Hong, sebab perlu ia lekas-lekas memberi kabar. "Siapa tahu jikalau ia tidak lagi menggunakan akal menyiksa diri?" teriak Hweesin tan Tjek Poo Tjiang, yang ingat kepada "Kouwdjiokkee" — tipudaya mempersakiti kulit-daging. Dan dengan cambuknya, ia menyerang. Tan Hong tangkis serangan itu, yang hebat, menyusul mana, cambuk itu terpapas kutung ujungnya! "Maju!" San Bin menganjurkan pula. Adalah di saat itu, In Loei telah datang dekat si anak muda, yang terus ia serang dengan pedangnya. Tan Hong terkejut, mukanya menjadi pucat. Ia tidak mau melayani berkelahi, malah menangkis pun tidak, dengan kesebatannya, ia berkelit, terus ia menjauhkan diri. Poo Tjiang lihat caranya orang berkelahi, ia menyangka orang telah mulai jeri, dengan sengit, ia merangsek pula. Mulanya ia putar cambuknya, habis itu, ia menyerang. Mulanya ia mengancam ke atas, dengan tipu "Soathoa kayteng" — "Kembang salju menutupi kepala," setelah itu, ia menyambar kebawah, dengan "Kouwsie poankin" — "Pohon tua terbongkar akarnya." Tan Hong tangkis serangan itu. Akibatnya adalah satu suara nyaring terdengar dari terkutungnya cambuk itu menjadi dua potong, hingga selanjutnya, senjata itu tidak dapat digunakan lagi. In Loei menghampiri pula si anak muda, seperti orang tak sadar akan dirinya, kembali ia menyerang, tapi pedangnya kali ini seperti tertahan di udara, turun tidak, ditarik pun tidak..... Thio Tan Hong berteriak pula: "Api sudah membakar alis, kenapa kamu masih belum hendak angkat kaki? Kenapa kamu masih libat aku?" "Tjis, kau hendak gertak kita dengan tentera negeri?" Na tjeetjoe mengejek. "Kita justeru ada orang-orang yang menjadi besar di antara golok dan tombak tentera negeri itu! — Maju!" Dan ia maju sambil anjurkan kawan-kawannya. Thio Tan Hong memutar diri, pedangnya pun berputaran. Dengan cara itu hendak dia mencegah serangan. "Mereka yang datang itu adalah rombongan pahlawan Kimie wie dari kota raja!" dia masih berteriak, memperingatkan. "Apa kamu sangka mereka ada pasukan serdadu yang biasa? Mungkin juga bersama mereka datang tiga ahli silat terbesar dari kota raja!" Kimie wie adalah pasukan pahlawan berjuba sulam, dan tiga jago yang Tan Hong maksudkan adalah Kimie wie Tjiehoei Thio Hong Hoe, komandan barisan pahlawan berseragam sulam itu, Gietjian Siewie Hoan Tiong, pahlawan pengiring raja dan Lweeteng Wiesoe Khoan Tiong, pahlawan dari keraton. Mereka asalnya tiga jago Rimba Persilatan, mereka kosen dan sangat terkenal, hingga mereka disebut "Kengsoe Samtoa Khotjioe" yaitu tiga jago silat dari kota raja. Mendengar seruan orang yang terakhir ini, baharulah orang-orang Rimba Hijau itu terperanjat. Memang berbahaya kalau dipihak pahlawan-pahlawan Kimie wie, yang tidak boleh dipandang ringan, terdapat juga tiga jago kenamaan itu. Mereka tercengang. Waktu itu kudanya Thio Tan Hong, yang telah terluka itu, memperdengarkan suara nyaring. Ia telah dirintangi Tiauw Im Hweeshio, yang menghalang di depannya. Ia berbunyi karena lukanya di kaki terasa sakit. Melihat kuda itu terluka, Pit To Hoan berpikir. "Kuda ini kuda pilihan, larinya pesat dan kencang sekali, sekarang dia kena dipanah sampai dua kali, benar heran! Orang yang sanggup memanah kuda ini, kalau bukan ketiga jago yang barusan disebutkan itu, mesti ada orang gagah luar biasa lainnya! Maka itu, apa yang dikatakan bocah ini, lebih baik dipercaya daripada tidak!.....” Dalam kesangsian itu, To Hoan masih dengar pula keterangannya Tan Hong. "Di belakang pasukan Kimie wie itu masih ada satu barisan besar tentara Gielim koen!" demikian si mahasiswa. "Jikalau yang hendak ditawan Cuma Tuan Pit seorang saja, untuk apa dikerahkan begitu banyak tentara? Jikalau Gielim koen memecah kekuatannya, untuk menyerbu pesanggrahan tuan masing-masing, bagaimana nanti tuan-tuan melayani mereka?" Besar pengaruhnya perkataan ini, lantas sebagian kecil tetamu yang dengan tersipu-sipu pamitan dari Pit To Hoan, dengan naiki kudanya masing-masing, mereka kabur pulang. Tapi San Bin menjadi sangat mendongkol dan murka. "Penghianat, kau main gertak!" dia berteriak. "Kau bukannya pemimpin pasukan Gielim koen itu, cara bagaimana kau ketahui siasat mereka mengatur tentera? Pastilah kau koncoh mereka!" Thio Tan Hong melengak, dia tertawa terbahak-bahak. Lalu dengan gerakan "Pathong hongie" — "Hujan angin di empat penjuru" — ia halau senjata Na Thian Sek, Tjek Po Tjoen dan San Bin sekaligus. Ia masih tertawa pula dan berkata: "Kecewa ayahmu yang pernah menjadi panglima di perbatasan! Andaikata kau benar belum pernah membaca kitab perang, mestinya kau mengerti ilmu perang walaupun hanya sedikit! Siapa menjadi panglima perang, dia harus dapat menerka peraturan musuh, dia mesti faham akan pertahanan pihak sendiri, atau paling sedikit dia mesti melihat gelagat. Kau menyebut aku penghianat, tapi sekarang kita berhadapan dengan musuh yang berjumlah besar, apa tidak bodoh kalau kamu mencelakai diri sendiri karena aku seorang?.....” Belum sempat Tan Hong menutup mulutnya, sebahagian pengurungnya telah mengundurkan diri, untuk angkat kaki. Muka Tjioe San Bin menjadi merah, ia malu dan mendongkol. "Pesanggrahanku bukan di sini, aku juga tidak takut tentara negeri nanti mengurung aku!" ia berteriak dalam murkanya. "Masih hendak aku mencoba ilmu pedangmu! Adik Loei, maju!" In Loei tangkis pedang Tan Hong, untuk di-sampok, atas mana, San Bin membacok. Tan Hong bersenyum. Pedangnya tidak mental atas sampokannya In Loei, sebaliknya, dengan dibantu gerakan tangan kiri, ia sambarkan itu ke arah San Bin, dari bacokan siapa ia berkelit. Suara "Trang!" segera terdengar, lalu tanpa dia merasa, orang she Tjioe itu kehilangan goloknya, yang telah terlepas dari cekalannya dan jatuh ke tanah! Pit To Hoan saksikan pertempuran itu, ia mengerti, maka diam-diam ia angguk-anggukkan kepalanya. "Jikalau Thio Tan Hong turun tangan sungguh-sungguh, San Bin mesti terbinasa atau sedikitnya terluka, ia berpikir. "Semua orang yang mengepung Tan Hong, tertabas senjatanya, dari sepuluh, sembilan yang terkena.....” Sementara itu si kuda putih masih terhalang Tiauw Im, tak henti-hentinya dia perdengarkan suaranya. Menampak demikian, To Hoan maju, mulutnya perdengarkan suara meniru benger kuda, kemudian sambil menggerakkan tangan kirinya, ia lompat untuk mendekati kuda itu. Kuda putih itu cerdas sekali, dia seperti tahu orang bermaksud baik, dia taruh ke empat kakinya di tanah, tidak lagi dia berlompatan atau berjingkrakan, maka To Hoan dapat menghampiri untuk segera mengusap-usap lehernya, setelah mana, dengan tangan kanan, cepat bagaikan kilat, orang she Pit ini mencabut kedua anak panah yang nancap dipahanya dan kemudian dengan tak kurang sebatnya, ia obati luka itu. Sebagai seorang kangouw ulung, Pit To Hoan mengerti segala apa, sampai sifat kuda dan cara mengobatinya. Tiauw Im tercengang bahna kagumnya. San Bin di lain pihak sudah memungut pula goloknya, untuk bersama Thian Sek mengepung pula lawannya. In Loei pun, dengan bengis, melakukan serangannya berulang-ulang. Tak tenang hati To Hoan menyaksikan pertempuran macam itu. "Saudara Thio, ini kudamu!" akhirnya ia teriaki Tan Hong. "Lekaslah kau berlalu!" San Bin terkejut, ketika ia berpaling, ia lihat To Hoan tengah menolak minggir pada Tiauw Im Hweeshio, akan membiarkan kuda putih lari ke arah majikannya. Tjek Po Tjiang menjadi gelisah. "Pit looenghiong, harap kau pikir masak-masak!" ia serukan tuan rumah itu. "Membekuk harimau mudah, melepaskannya berbahaya!" ia peringatkan. Pit To Hoan seperti tak mendengar perkataan orang. "Saudara Thio, aku mengerti kau, aku terima kebaikanmu!" masih ia berkata pada Tan Hong. "Luka kudamu tidak parah, lekaslah kau pergi!" Karena heran, Na Thian Sek mundur, untuk menghentikan serangannya. Melihat demikian, In Loei pun lompat ke samping. Karena ini, Tjioe San Bin turut mundur beberapa tindak. Thio Tan Hong bersenyum, separuh ber-senanjung, ia berkata: "Persahabatan dari beberapa turunan benar berharga, tapi persahabatan pada suatu saat lebih berharga pula..... Pit Loopeh, jangan kau pedulikan aku, lekas-lekas kau singkirkan dirimu!" "Keluargaku besar, aku pun masih harus be-benah," sahut Pit To Hoan. "Baiklah kau sendiri yang menyingkir terlebih dahulu! — Eh, Na Tjeetjoe, Tjek Tjhoengtjoe, juga engkau Tjioe Hiantit, lekas-lekas kamu angkat kaki! Tentang Thio Tan Hong, tak usah kau pedulikan pula!" Na Thian Sek bingung, akan tetapi tanpa mengucap sepatah kata, ia naik ke atas kudanya, untuk segera berlalu. Tjek Po Tjiang berdiri menjublak, masih ia belum mengerti..... San Bin juga berdiri diam dengan goloknya ditangan, ia masih memikir, kemudian, selagi ia berniat membuka mulutnya, sekonyong-konyong ia dengar suara sangat riuh dari datangnya pasukan tentera dan tindakan ratusan ekor kuda, menyusul mana, anak-anak panah sudah lantas menyambar saling susul, suaranya keras menderu-deru. Bagaikan bukit ambruk, demikian seruan tak putusnya dari tentera negeri, yang mendatangi sangat pesat. Wajah Pit To Hoan menjadi pucat pasi. "Lekas!" ia teriaki pengurus rumah itu. Kemudian, dengan suara sangat berduka, ia menambahkan: "Kamu semua tidak mau siang-siang angkat kaki, sekarang sungguh sukar!.....” Kampung-halaman si orang she Pit dikurung bukit-bukit, dari suatu jalan bukit terlihat tiga orang mendatangi dengan cepat seperti bayangan, di belakang mereka ada beberapa puluh penunggang kuda yang muncul dari antara lembah. Lantas ketiga penunggang kuda itu menghampiri mereka, untuk perlihatkan diri di depan mereka. Habis itu, mereka semua lantas menuju ke arah rumahnya Pit To Hoan. Jauh di belakang seperti terdengar adanya banyak tentera lainnya, yang tengah mendatangi. Menampak datangnya musuh, Pit To Hoan tertawa berkakakan. Segera ia maju, untuk memapak ketiga penunggang kuda itu serta barisan mereka. "Apakah harganya aku si orang tua she Pit dengan beberapa potong tulang-tulangnya yang telah tua?" berkata ia. "Samwie thaydjin, berhubung dengan kunjunganmu itu, aku merasa beruntung!....." Dari ketiga perwira itu, yang di tengah mempunyai "alis pedang" dan "mata harimau" romannya bengis. Ia adalah Thio Hong Hoe, tjiehoei atau komandan dari pasukan pahlawan bersulam Kimie wie. Ia kesohor dengan ilmu golok Ngohouw Toanboen too-nya — "Lima harimau mencegat pintu." Orang yang berada di sebelah kiri komandan ini bermuka hitam bagaikan pantat kwali, kumisnya pendek dan kaku. Dia adalah Gietjian siewie Hoan Tiong, pahlawan kaisar. Sedang yang berada di sebelah kanan, yang wajahnya kuning gelap dengan mata yang belo, adalah ahli silat dari keraton ialah Khoan Tiong yang kenamaan. Hoan Tiong pada belasan tahun yang lampau pernah mengenal Pit To Hoan, maka itu ialah yang mulai bicara. "Pit Toaya, kami datang atas titahnya Sri Baginda," demikian katanya, "maka itu, aku minta janganlah kau sesesalkan aku. Kami minta sukalah kau turut berjalan bersama kami. Tidak nanti kami membuatnya kau susah....." Pit To Hoan menyambut dengan tertawa dingin, ia telah memikir untuk memberikan jawabannya ketika ia dengar Thio Hong Hoe tertawa bergelak-gelak sendirinya, setelah mana, dia berkata dengan jumawa: "Hoan Hiantee, bukankah sia-sia belaka kata-katamu ini? Kau tahu macam apa Tjinsamkay yang kenamaan itu? Mana dia mau menyerah begitu saja? Maka baiklah kita bicara terus terang kepadanya!" Lalu dia pandang To Hoan dan melanjutkan: "Pit Toaya, untuk urusan kita hari ini, tak dapat tidak mesti kita turun tangan! Oleh karena itu, silakan kau hunus senjatamu, mari kau berikan pengajaranmu beberapa jurus! Jikalau kau dapat layani golokku ini, tak peduli urusan bagaimana besarpun, aku berani bertanggung jawab, untuk membiarkan kau angkat kaki! Tentang saudara-saudara kaum Rimba Hijau, yang kebetulan turut hadir di sini, aku pun mengundangnya untuk mereka turun tangan juga, sedang mereka yang termasuk bukan saudara-saudara Rimba Hijau, aku persilakan mereka untuk lekas menyingkir. Kami datang tidak untuk menawan mereka yang tidak bersalah dan berdosa!" Habis mengucap demikian, tiba-tiba matanya tjiehoei dari Kimie wie ini menyapu, sambil menggerakkan goloknya, dia menegur: "Eh, tuan mahasiswa, kau sebenarnya ada hoohan dari golongan apa?" Thio Tan Hong tertawa atas teguran itu. "Kau adalah tjiehoei yang hendak melakukan penangkapan, aku adalah tjinsoe yang hendak membekuk setan!" dia menjawab. Thio Hong Hoe tertawa bergelak. "Jikalau demikian adanya, kita juga harus mengadu kepandaian!" ia kata. Ia sangat menantang. Khoan Tiong adalah yang tadi mendahului rombongan, dialah yang telah memanah kuda putih, maka itu, ia sudah lantas melirik pada Thio Tan Hong. "Ah, kiranya kau juga berada di sini!" kata dia dengan jumawa. "Bagus, bagus! Sahabat, kuda putih itu mesti ditinggalkan di sini untuk aku!" Ia pun segera siapkan busur dan anak panahnya, untuk memanah pula. "Khoan Hiantee, tahan!" seru Hoan Tiong, yang suka sekali pada kuda pilihan itu. "Jangan kau memanah pula, lebih baik kuda itu ditangkap hiduphidup!" Dan Gietjian siewie ini sudah lantas mengajak barisannya maju untuk menangkap kuda putih yang dimaksudkan itu. Tiba-tiba saja beberapa anggota Kimie wie perdengarkan jeritan mereka, jeritan dari kesakitan. Tanpa mereka ketahui apa sebabnya, bahu mereka itu telah diserang senjata bagaikan jarum halusnya, yang membuatnya mereka merasa sangat sakit. Khoan Tiong sudah lantas mengerti. "Ah, kiranya kau pandai menggunakan jarum Bweehoa tjiam!" ia tegur Thio Tan Hong. "Kalau ada kehormatan tetapi tidak dibalas, itu namanya tidak hormat. Nah, kau lihat panahku!" Busur segera ditarik dan anak panah melesat bagaikan bintang jatuh, nyaring bunyinya "Sret!" Thio Tan Hong tidak berani menyambuti anak panah itu, ia hanya berkelit. Anak panah itu melesat menjurus ke muka Tiauw Im Hweeshio. Maka pendeta ini menggunakan tongkatnya, hingga kedua senjata bentrok keras dan lelatu apinya muncrat. Karena serangan ini, dia menjadi murka sekali. "Tjioe Hiantit, mari maju!" dia berteriak dengan anjurannya, lalu dengan memutar tongkatnya itu, dia menyerbu ke dalam pasukan Kimie wie. Hoan Tiong menggunakan sepasang gembolan, ia maju, untuk cegat pendeta itu. Karena ini, senjata mereka berdua jadi bentrok dengan menerbitkan suara keras. Tongkat Tiauw Im kena tersampok hingga sedikit mental ke samping, tetapi di lain pihak, telapak tangan Hoan Tiong terasa sakit dan kesemutan, hampir saja ia lepaskan gembolannya. Tentu saja pahlawan kaisar ini menjadi kaget sekali, sebab di dalam istana, di antara kawannya, ialah yang tersohor sebagai toaieksoe, orang terkuat. Tapi ia tidak menjadi jeri, dengan cepat ia maju pula, untuk melawan pendeta itu. Pit To Hoan saksikan pertempuran itu, ia tertawa terbahak-bahak. Ia lantas ambil toya Hangliong pang-nya. "Thio Thaydjin, kau sangat memandang mata padaku, marilah kita cobacoba!" ia tantang Thio Hong Hoe. "Bagus, bagus!" Hong Hoe pun tertawa seraya memutar goloknya. "Mari kita pakai aturan kaum kangouw, kita bertempur satu lawan satu! Jikalau kau dapat lolos dari golokku ini, aku suka menjelaskannya, di sini tidak akan ada orang yang nanti berani menghalang-halangi pula padamu!" Masih komandan Kimie wie itu memperlihatkan kejumawaannya. Dalam murkanya, Pit To Hoan maju untuk segera menyerang. Thio Hong Hoe bertindak ke samping, untuk melewatkan serangan itu, berbareng dengan tindakannya, goloknya menyambar, untuk membalas. Tanpa dapat dicegah, toya dan golok bentrok keras, hingga mereka masing-masing mundur tiga tindak. "Bagus!" seru Pit To Hoan. "Tak kecewa ahli silat nomor satu dari kota raja!" Sambil mengucap demikian, ia ulangi serangannya. Dengan ujung goloknya, Hong Hoe menyambut toya secara enteng, waktu goloknya mental ke atas, tiba-tiba saja ia membacok, dari atas ke bawah, membabat batang leher! Hebat serangan yang berbahaya itu, hingga To Hoan, untuk menghindarkan diri, sudah menggunakan ilmu silat "Thiepoankioe" atau "Jembatan papan besi". Ialah dengan kaki kiri menahan diri, kaki kanannya diangkat lurus, tubuhnya berbareng melenggak ke belakang, hingga ia jadi terlentang dengan bantuan kaki kirinya itu. Dengan begitu, sambaran golok lewat tanpa mengenai sasarannya. Habis itu, dengan lompatan "Leehie tateng" atau "Ikan gabus meletik", ia bangkit bangun, hingga golok lawan hampir saja kena didupak. "Nama Tjinsamkay bukan nama kosong belaka!" Thio Hong Hoe memuji, sambil maju menyerang pula, dengan desakan "Lianhoan samtoo" atau "Bacokan tiga kali beruntun". Didesak secara demikian, Pit To Hoan main mundur. Dipihak lain, Khoan Tiong sudah bertempur dengan Thio Tan Hong. Pahlawan dari keraton ini menggunakan samtjiat djoanpian, karena ia mengandalkan kepandaiannya, sedang ia juga belum kenal si mahasiswa, ia memandang enteng kepada musuh yang menyerupai anak sekolah itu. Begitulah ia mulai, dengan menindak maju, ia menyerang dengan "Ouwliong djiauwtjoe" atau "Naga hitam melilit tiang", untuk melibat lengan orang dengan cambuknya guna merampas pedangnya. Thio Tan Hong perdengarkan tertawa menghina beberapa kali, ia kumpulkan tenaganya di lengannya, berbareng dengan itu, ia membabat berulang-ulang, tanpa mensia-siakan waktu. Khoan Tiong terkejut, hingga dia mesti lompat mundur. Karena dia seorang ahli, dengan cepat dia dapat perbaiki diri, hingga di saat itu, dia lolos dari bahaya, malah dia dapat gunakan "Kimna host", ilmu "Menangkap", untuk menjambak rambut orang. Tan Hong mengelakkan diri dengan membabat tangan orang, tetapi karena ini, samtjiat pian dari lawan itu menjadi bebas, hingga kembali cambuk itu dapat dipakai menyerang pula. Kali ini sasaran adalah pinggang si mahasiswa. Thio Tan Hong tidak mau mengalah, setelah berkelit dari jambakan itu, kembali ia mendesak, bacokannya menyambar berulang kali, hingga Khoan Tiong mesti mundur. Pahlawan dari keraton itu menggunakan senjata panjang akan tetapi ia tidak mendapat kesempatan mengambil keuntungan dari genggamannya itu. Selagi begitu, sejumlah anggauta Kimie wie telah lari ke arah rumahnya Pit To Hoan. Sambil bertempur, Thio Tan Hong melirik ke arah kawan-kawannya. Tiauw Im dan Hoan Tiong ada seimbang, tidak demikian dengan Pit To Hoan, yang terdesak Thio Hong Hoe. Komandan itu terutama menang di atas angin karena golok Biantoo-nya yang tajam luar biasa dan ia ada terlebih muda dan sedang gagahnya. To Hoan cuma dapat membela diri, maka itu, lama kelamaan ia bisa menghadapi bencana. Melirik ke pihak lain lagi, Tan Hong dapatkan In Loei dengan pedangnya telah membabat kutung senjata pelbagai anggauta Kimie wie, dengan cara itu si nona lindungi Tjioe San Bin dan Tjek Po Tjiang. Tentu saja, mereka itu berkelahi sambil mundur. Hingga akhirnya mereka mendekati Tiauw Im Hweeshio. Hoan Tiong tengah melawan si pendeta dengan hebat, sampai ia berulang kali berseru, tatkala tiba-tiba ia lihat sebatang pedang berkilau menyambar ke arah dadanya. Ia lantas gunakan gembolan kirinya, guna menjaga diri, dengan gembolan kanan, ia menangkis. In Loei berlaku gesit dan cerdik, tidak sudi ia membentur senjata berat dari lawannya itu, maka itu, kecewalah Hoan Tiong, yang menyangka dapat membuat pedang musuh terpental. Selagi ia sibuk mengawasi pedang berkelebatan, gembolannya yang kiri telah kena "ditahan" tongkatnya Tiauw Im Hweeshio, hingga tak dapat ia berbuat suatu apa. Maka pada akhirnya, pundaknya kena tertusuk pedang, dalam murkanya, ia berteriak keras, terus ia menimpuk dengan gembolan kirinya! In Loei berlaku sangat sebat, begitu gembolan melayang, begitu ia egoskan tubuhnya, maka gembolan itu melayang terus. Lalu menyusul suatu suara sangat keras, batu gunung pecah berhamburan. Sebab batu itu kena terhajar gembolan, yang menyambar beberapa tombak jauhnya. Ketika si penyerang berpedang itu berkelit, Hoan Tiong lompat keluar kalangan, guna menyingkir dari kepungan. In Loei tidak mau mengejar, hanya bersama Tiauw Im Hweeshio, ia pun menerjang keluar kurungan, hingga di lain saat, ia telah dihampirkan kudanya, ke atas mana ia lompat naik, hingga seterusnya dapat ia membuka jalan. Tan Hong lega menampak In Loei lolos dari kepungan, karenanya dengan semangat bertambah-tambah, terus ia desak Khoan Tiong, hingga Gietjian siewie itu mesti mundur pula beberapa tindak. Ia segera gunakan ketikanya, akan teriaki Pit To Hoan tentang ancaman bencana, supaya Tjinsamkay angkat kaki. Pit To Hoan tengah berkelahi dengan hebat, ia berdiam, ia tidak sahuti teriakan orang itu. Tan Hong kerutkan alis. Ia tahu, orang tua itu sudah nekat, peringatannya itu tidak digubris. Ketika ia memandang pula ke arah In Loei, ia tampak si nona tetap membuka jalan, di kirinya ada Tiauw Im Hweeshio, di kanannya ada Tjoei Hong bersama San Bin. Tjek Po Tjiang bersama lain-lain orang Rimba Hijau mengikuti di belakang pembuka jalan itu. Kelihatannya mereka segera akan lolos dari kepungan..... "Jikalau tidak sekarang aku menyingkir, aku hendak tunggu kapan lagi?" pikir anak muda ini. Maka dengan nyaring ia teriaki pula Pit To Hoan: "Biarkan gunung tetap hijau, jangan kuatirkan tak ada kayu bakar! Pit looenghiong, mari kita bersama menerjang!" Tjinsamkay tetap tidak menyahuti, hanya dengan Hangliong pang-nya ia layani musuhnya bertarung. Nampaknya ia telah menjadi nekat benar-benar. Dalam masgulnya, tiba-tiba Thio Tan Hong ingat janji tadi di antara Pit To Hoan dan Thio Hong Hoe. Yaitu apabila jago tua itu tak dapat lolos dari golok musuh, atau tegasnya, tak dapat dia kalahkan komandan Kimie wie itu, tidak mau dia angkat kaki, karenanya, walaupun dia terdesak, masih dia ngotot melayani musuh yang tangguh. Itulah berbahaya. "Dalam keadaan seperti ini, mana dapat orang berkepala batu?" pikir Tan Hong terlebih jauh. Tapi tetap ia tidak peroleh daya. Ia tahu, umpama kata ia bantui To Hoan dan mereka menang, tentu To Hoan tidak mau mengakhiri karena mereka itu telah berjanji satu lawan satu. Tiba-tiba terdengar satu suara keras: "Turunkan aku! Hendak aku menghajar penjahat!" Dengan segera tergeraklah hatinya Tan Hong. Orang yang bicara itu adalah puteranya To Hoan. Putera itu tengah digendong koartk.ee, kuasa rumah. Si koankee sendiri, bersama sejumlah orangnya To Hoan, asyik melawan musuh, untuk menoblos kurungan. Bocah itu belum tahu suatu apa, ia berani, maka itu ingin ia turun dari gendongan untuk membantu melabrak musuh..... Tanpa bersangsi pula, Tan Hong tinggalkan lawannya, dengan berlompatan, ia menerjang ke arah rombongan Kimie wiesoe. Ia putarkan pedangnya hingga tidak ada orang yang dapat merintangi padanya. Pada lain saat sampailah kepada si koankee. Dengan tidak berkata suatu apa, ia jambret anaknya To Hoan, hingga koankee itu kaget dan berteriak. "Lekas kamu menyerbu keluar!" Tan Hong serukan si koankee dan kawan-kawannya. Sementara itu ia telah bunuh beberapa musuh, yang mencoba menerjang kepadanya. Ia pun nerobos keluar, akan akhirnya perdengarkan suitan mulut yang nyaring. Kuda Tjiauwya saytjoe ma sedang dikurung, dia menerjang ke sana-sini tanpa hasil, ketika dia dengar suitan tuannya dengan tiba-tiba dia lompat, akan menerjang hebat sekali. Maka kali ini dia berhasil, sebab dua musuh dihadapannya kena ditubruk rubuh dan terinjak tubuhnya. "Duduklah di atasnya!" seru Tan Hong kepada si bocah, tubuh siapa ia naikkan ke atas bebokong kudanya itu, yang telah datang padanya. "Pegang dengan keras!" Bocah itu baharu berumur tujuh atau delapan tahun, dia benar bernyali besar sekali, begitu duduk di bebokong kuda, dia mendekam, dia pegangi suri kuda, yang membawa dia kabur! Thio Tan Hong masih bekerja. Iapun tunjukkan kegesitannya. Dengan berlompatan, dia hampiri Pit To Hoan. Justeru itu beberapa wiesoe mencoba menahan kuda putih, atas itu si bocah berteriak, kuda itu juga berbenger keras. Tan Hong gunakan ketikanya. "Pit Loopeh, kau dengar!" dia berseru. "Apakah masih tak hendak lindungi puteramu itu?" Sambil mengucap demikian, Tan Hong pakai pedangnya akan membentur golok Biantoo dari Thio Hong Hoe yang dipakai membacok si jago tua. To Hoan menghela napas, masih ia menyerang musuhnya hingga dua kali, habis itu ia lari ke arah tengah, ke arah kuda putih beserta kudanya. Karena ini, Tan Hong kembali perdengarkan suitannya, yang ditujukan kepada kudanya, hingga kuda itu tidak lagi menyerbu keras mendobrak rintangan. Dengan cepat To Hoan menghampiri Tjiauwya saytjoe ma, dengan tiga batang senjata rahasianya, ia rubuhkan tiga wiesoe yang mengepung kuda, hingga ia dapat ketika akan datang dekat sekali pada kuda itu, ke bebokong siapa ia segera lompat. Yang paling dulu ia lakukan ialah memondong puteranya.. Kuda putih itu berbenger keras dan panjang, terus dia lompat, untuk lari kabur, hingga sesaat kemudian keluarlah dari kepungan. Thio Hong Hoe menjadi sangat gusar. Ia merasa orang telah permainkan padanya. Maka dengan hebat ia serang Tan Hong, si pengacau itu. Tan Hong tangkis bacokan golok Toanboen too, ia merasakan satu benturan keras sekali, hampir saja pedangnya terlepas dari cekalannya. Ia segera insyaf akan ketangguannya komandan ini. "Dia bukannya bernama kosong, dia benar liehay," demikian ia pikir. "Tidak kecewa dia menjadi jago silat nomor satu dari kota raja." Tapi mahasiswa ini tidak jeri, waktu ia tangkis pula lain bacokan, ia kerahkan tenaga ditangannya, hingga kedua senjata beradu dengan keras. Tapi suara yang diperdengarkan tidak nyaring seperti semula tadi. Kesudahannya pun membuat Hong Hoe kaget. Sebab goloknya telah dibikin sempoak pedang lawannya itu. "Tak takut aku dengan pedangmu!" dia berseru kemudian, sambil tertawa. Lagi-lagi ia menyerang. Tan Hong tangkis serangan itu, kali ini ia menjadi heran. Begitu rupa lawan menggunakan goloknya, hingga golok, Toanboen too itu seperti nempel dengan pedangnya, sulit pedang itu ditarik kembali dan sukar untuk digerakkan terlebih jauh. Itulah ilmu yang dinamakan ilmu "tempel"! "Bagus! Mari kita adu kepandaian!" Itulah suara nyaring dari Tan Hong, yang telah tertawa besar, karena ia tidak menjadi jeri pedangnya hendak dibikin "mati". Dengan satu gerakan lain, pedangnya lantas lolos dari tempelan. Ia tahu tipunya bagaimana melepaskan diri. Waktu itu terdengar suara mengaungnya anak panah, disusul dengan berbengernya kuda putih dan pula dengan teriakan Khoan Tiong: "Toako, lekas kejar! Si bangsat tua she Pit sudah kabur!" Hong Hoe sadar dalam sekejap itu. Tahulah ia bahwa ia telah diperdayai Thio Tan Hong, yang menggunakan akal "Wie Goei kioe Tio" yaitu "mengurung negeri Goei untuk menolongi negeri Tio." Mahasiswa itu melibat ia untuk memberi ketika supaya To Hoan dapat menyingkirkan diri. Meskipun ia sangat mendongkol, Hong Hoe toh lompat keluar kalangan, akan tetapi di samping ia, Thio Tan Hong tidak diam saja, mahasiswa ini pun lompat sambil menikam padanya. Ia putar tubuhnya, ia tangkis pedang, di lain pihak, dengan tangan kiri ia menyerang ke dada lawan. Thio Tan Hong berkelit dengan cepat, tidak urung ia terkena juga angina serangan itu, yang membuatnya ia merasa sakit, hingga ia mesti empos semangatnya, menjalankan napasnya, guna menghindarkan diri dari akibat serangan itu. Thio Hong Hoe berlompat pula, malah segera ia dapat rampas seekor kuda dengan apa ia terus kejar Pit To Hoan atau si kuda putih Tjiauwya saytjoe ma. Thio Tan Hong tertawa menampak musuh mengejar itu. Di dalam hatinya, ia kata: "Walaupun kudaku telah terkena tiga batang anak panah, tidak nanti kau sanggup kejar dan candak dia!" Akan tetapi, ia sendiri pun tidak segera dapat lolos. Selagi ia hendak toblos kepungan, ia menghadapi kepungan berlapis. Sebab Hoan Tiong, sambil memutar gembolannya, menghalang di tengah jalan, dia cegat orang, terus dia menyerang. Hingga Tan Hong menghadapi kesukaran. Sepasang gembolan lawan sangat berat, sulit untuk dilawan dengan pedang. Di samping orang she Hoan itu ada lagi pelbagai pahlawan, anggauta-anggauta dari Kimie wie, yang menerjang sambil mengurung. Hoan Tiong itu gagah, dia berimbang dengan Tiauw Im, maka dia pun standing dengan Tan Hong. In Loei sudah lolos dari kepungan ketika ia dengar suara riuh di belakangnya, ketika ia menoleh, ia tampak Tan Hong tengah dikepung musuh yang berseruseru. Tanpa merasa, ia menjadi berkuatir sekali, hingga untuk sesaat, ia berduduk diam di atas kudanya. Justeru itu Khoan Tiong telah melepaskan anak panahnya yang liehay. Dalam kagetnya, In Loei masih dapat berkelit, tapi celaka, leher kudanya terkena anak panah musuh, hingga pada ketika itu juga kuda rubuh terguling, dan penunggangnya pun turut rubuh juga. Belum sempat ia bangun, atau beberapa wiesoe sudah maju, untuk menubruk, guna menyerbu musuh ini. In Loei masih sempat membalikkan tubuh, begitu berbalik, begitu ia menyabet dengan pedangnya. Hebat tangkisan ini, hingga banyak senjata lawan terbabat kutung. Sekalian musuh itu terkejut, selagi mereka tercengang, In Loei lompat bangun untuk berdiri. Tapi begitu lekas ia bangun, begitu lekas juga datang serangan Khoan Tiong, dengan samtjiat pian-nya, yang mengarah pinggangnya. Dengan kesusu, ia menangkis. Liehay cambuk sambung tiga dari Khoan Tiong, setelah serangannya yang pertama itu gagal, ia mengulanginya, terus ia mendesak. In Loei repot juga, tidak dapat ia membabat kutung cambuk itu, yang dimainkan dengan sempurna oleh pemiliknya. Ia jadi penasaran, ia juga mencoba mendesak. Satu kali, Khoan Tiong lompat mundur tiga tindak, begitu mundur, ia kerahkan tenaganya, ia menyambuk pula. In Loei lompat dari sambaran itu, ia lolos dari bahaya. Keduanya lantas, bertarung dengan seru. Sayang bagi In Loei, ia kalah tenaga, maka itu, berselang kira-kira tiga puluh jurus, keringatnya lantas mengucur, karenanya, tenaganya menjadi berkurang sendiri. Khoan Tiong lihat keadaan musuhnya, ia tertawa besar, ia ulangi desakannya. Ia mengharap segera dapat merubuhkan lawan itu. Belasan anggauta Kimie wie sementara itu telah memecah diri di sekitar kedua orang yang sedang bertanding itu, mereka menjaga supaya In Loei tak dapat kabur dan lolos. Di pihak lain, Thio Tan Hong telah berada dalam kepungan, pedangnya yang tajam itu dibikin tak berdaya oleh sepasang gembolan yang berat dari Hoan Tiong, di samping itu, ia pun harus waspada terhadap senjata kawankawannya Hoan Tiong itu. Selagi ia terkepung itu, Tan Hong lihat In Loei rubuh dari kudanya, hingga ia menjadi kaget sekali. Karena ini, mendadak ia memutar tubuhnya dan pedangnya dibabatkan dengan hebat kepada musuhnya, dengan tangan kirinya ia sambar satu anggauta Kimie wie yang dengan berani merangsak padanya. Ia menyambar leher bajunya, ia tarik musuh itu, hingga tubuhnya terangkat. Ini ada baiknya untuknya hingga musuh lainnya menjadi jeri karena takut menikam kawan sendiri. Hoan Tiong penasaran, dia membalas menyerang. Tan Hong berlaku cerdik, bukannya ia menangkis, ia hanya majukan tubuh musuh yang ia telah bekuk itu. Hoan Tiong kaget, terpaksa, dengan cepat-cepat, ia tarik kembali gembolannya. Ketika ini dipakai Tan Hong untuk menerjang keluar, tubuh mangsanya itu tetap ia gunakan sebagai tameng. Hoan Tiong penasaran sekali, ia mengejar. Tan Hong lihat kelakuan musuh, ia tertawa berkakakan. "Kau sambutlah!" ia berseru, terus ia lemparkan musuhnya ke arah si orang she Hoan. Hoan Tiong tidak dapat berbuat lain daripada menyambuti tubuh anggauta Kimie wie itu. Tan Hong sebaliknya, sambil masih tertawa sudah menyerbu ke dalam kepungan In Loei. Nona In sedang terancam bahaya ketika ia tampak munculnya Tan Hong. Tiba-tiba saja, hatinya bercekat. Dengan lantas ia ingat surat wasiat kulit kambing yang berdarah. Siapa sangka, "musuhnya" ini, yang ia benci, tapi yang ia sayangi, kembali datang untuk menolongi padanya. Maka bimbanglah ia. Apakah orang mesti dipandang sebagai sahabat atau tetap sebagai musuh besar Apakah ia mesti terima bantuannya musuh ini? Oleh karena ia sedang menggunakan otaknya, In Loei terperanjat sekali ketika cambuk Khoan Tiong menyambar ke kepalanya, akan tetapi sebelum ia menangkis atau berkelit, kupingnya mendengar seruan yang ia kenal baik: "Adik kecil, lekas kau menangkis!" Atas ini, benar-benar ia gerakkan pedangnya dan menangkis dengan hebat. Satu suara nyaring terdengar atas tangkisan itu, yang membuatnya Khoan Tiong kaget dan mendongkol tidak kepalang, sebab samtjiat pian-nya kena terbabat kutung menjadi empat potong! Segera juga Tan Hong dan In Loei bertempur berdampingan, pedang mereka dapat digunakan masing-masing, di kiri dan kanan. Sekarang mereka dapat bergerak dengan leluasa. Sebentar saja belasan anggauta Kimie wie rubuh terluka. Hoan Tiong, dengan memutar sepasang gembolannya, datang memburu.KhoanTiong lihat kawan itu, ia berteriak dengan peringatannya: "Djieko, hati-hati!" Dengan tetap berdampingan, Tan Hong dan In Loei berbareng menyerang musuh kosen ini yang bersenjatakan gegaman berat itu. Disambut secara demikian rupa, Hoan Tiong kaget, sampai ia menjadi gugup, bukannya ia menangkis, ia hanya melempar kedua gembolannya, ia sendiri lompat bergulingan, akan tetapi walaupun demikian, meskipun jiwanya tertolong, rambutnya toh terbabat juga hingga putus sebagian! Belum pernah Hoan Tiong dikalahkan begini macam, ketika ia lompat bangun, ia menjadi sangat gusar. "Serbu mereka dengan pasukan, berkuda!" ia berteriak dengan titahnya. Beberapa puluh anggauta Kimie wie taati titah itu, mereka mencari kuda mereka, untuk lompat naik ke atasnya, habis mana, dengan mengatur diri menjadi empat baris, mereka maju untuk menerjang. "Lekas naik ke gunung!" berseru Tan Hong, yang melihat sikap musuh. Kalau mereka sampai kena diterjang, pasti mereka tidak berdaya. In Loei turut nasihat itu, ia sudah lantas lompat mundur, akan seterusnya lari ke arah gunung. Ia lari dengan cepat sekali. Di depan rumah Pit To Hoan, kira-kira satu lie jauhnya, memang ada sebuah bukit. Dengan cepat ia sudah sampai di kaki bukit itu. Tan Hong terus dampingi si nona dengan siapa ia lari bersama. Pasukan kuda musuh juga lari cepat, sebentar kemudian mereka sudah mendatangi dekat. Satu penunggang kuda dapat melampaui kawan-kawannya, ia telah datang dekat sekali. Tan Hong lihat bahaya, ia sambar tubuhnya In Loei, terus ia lemparkan ke arah gunung. Ia sendiri segera memutar tubuh, untuk lompat minggir, hingga musuh melewati ia. Tapi, begitu musuh lewat, begitu ia lompat mencelat, naik ke bebokong kuda di belakang musuh, dan belum sempat musuh berdaya, ia sudah menjambak, ia menarik dengan keras, ia melemparnya, hingga tubuh musuh terpental beberapa tombak di sebelah belakang! Masih sukur untuk anggauta Kimie wie ini, coba dia dilemparkan ke depan kuda, pasti dia kena terinjak-injak kuda yang tengah berlari-lari kencang itu. Dengan kuda musuh itu, Tan Hong lari terus sampai di tepi gunung. Di situ terdapat beberapa pohon kayu besar. Dari atas kudanya, dengan berani Tan Hong lompat, untuk menyambar secabang pohon. Oleh karena gerakannya itu, tubuhnya menjadi terayun. Justeru ia sedang terayun, ia lepaskan cekalannya, maka di lain saat, tubuhnya telah sampai di tanjakan bukit di mana ia bisa menaruh kaki dengan tepat, hingga ia tidak kurang suatu apa. Kemudian ia menoleh ke arah In Loei, si nona tengah berdiri mengawasi padanya. Nona In telah berada di tengah bukit. Ketika itu hari sudah magrib, maka pasukan berkuda Kimie wie tidak berani mencoba mengejar terus, hingga mereka cuma bisa berteriak-teriak di kaki bukit. Hoan Tiong masih penasaran, dia mendatangkan sejumlah pasukan Gielimkoen, untuk membuat penjagaan di kaki bukit yang bersiap sedia dengan panah mereka. Dia pun tertawa dan berkata secara mengejek: "Hendak aku lihat, berapa lama kamu dapat berdiam di atas bukit!" Tan Hong telah menyusul In Loei, mereka naik ke atas, dari sana mereka memandang kesekitarnya. Mereka tampak bukit itu telah terkurung musuh. Yang paling nyata tertampak adalah bendera-bendera Gielim koen, pasukan kaisar. Sesudah bertempur mati-matian sekian lama, Tan Hong dan In Loei merasakan sangat lelah dan juga lapar. Hal ini membuatnya mereka berpikir. Ketika itu adalah musim pertama, dan seperti biasanya dimusim pertama itu, pada siang hari sang siang jadi terang benderang, maka pada magrib atau selewatnya suka turun hujan. Demikian hari itu, tiba-tiba air langit mulai turun. "Adik kecil, mari kita cari tempat berlindung!" Tan Hong mengajak. "Tentang barang makanan, kau jangan kuatir, aku masih membekalnya sedikit ransum kering." In Loei bungkam, ia cuma menoleh. Tak tahu ia, harus bicara atau tidak dengan musuh turunan ini..... "Di sana ada sebuah goa," Tan Hong berkata pula. "Mari kita pergi kesana." Mahasiswa ini bukan cuma mengajak, tapi tanpa menunggu jawaban lagi, ia sambar sebelah tangan orang untuk dituntun. Beradu tangan dengan si anak muda, In Loei merasakan tubuhnya mengkirik, tangannya dingin. Tan Hong merasakan tangan dingin itu, ia dapat menerka hati si nona tentu sedang bimbang, pikirannya tidak tenteram. Goa itu bukan goa sewajarnya, hanya tanah berlubang saja, karena di atasnya terdapat dua potong batu besar yang ujungnya lebih, yang tidak mengenai tanah atau batu karang, hingga di bawahnya ada tempat yang luang, cukup untuk dua orang dan mereka tak akan tertimpa air hujan. Tan Hong tuntun kawannya memasuki goa itu, di situ mereka berdiri berhadapan, hati mereka sama-sama memukul, di dalam hati, mereka saling tanya, apa yang mereka harus lakukan..... Adalah Tan Hong, yang hatinya terlebih tenang. "Adik kecil," berkata si anak muda kemudian, sesudah mereka sama-sama bungkam sekian lama, "benarkah permusuhan kita kedua keluarga tak dapat diselesaikan?" Cuaca waktu itu suram, walaupun mereka berdekatan, Tan Hong tak dapat melihat tegas air muka si nona. Meski begitu, kupingnya dapat menangkap suara baju nona itu, yang disebabkan tangannya telah merabah gagang pedangnya. Tan Hong menghela napas. "Inilah yang dikatakan, kalau bukannya musuh, kita tak dapat berkumpul bersama!" katanya dengan duka. "Adik kecil, baiklah kau bunuh saja aku! Binasa ditanganmu, mati pun aku tak menyesal, tak penasaran.....” Justeru itu gledek menggelegar, kilat menyambar, dengan terangnya cahaya kilat itu, Tan Hong tampak wajah In Loei pucat pasi, sedang matanya berlinangkan air mata. Dengan menyender pada batu, si nona pegangi tali bajunya, sedang pedangnya telah tercabut separuh, suatu tanda ia ingin menghunusnya tetapi tertunda. Dengan lenyapnya cahaya kilat itu, goa pun menjadi gelap kembali. Dalam kegelapan itu, terdengarlah suara napasnya si nona In. Sampai sekian lama, masih tidak terdengar jawabannya atas perkataannya si anak muda. Tan Hong keluarkan rangsum keringnya. "Adik kecil, mari dahar," ia mengundang. In Loei tetap menyender, sedikit jua tubuhnya tak bergeming. Masgul Tan Hong menampak sikap orang itu, tetapi dengan paksakan ia tertawa geli. "Adik kecil, kali ini tidak akan aku katakan kau menganglap makanan!" katanya bergurau. "Mari dahar!" Pemuda ini mengharap si nona gembira, tidak tahunya, "Plok!" tangannya kena disampok nona itu, rangsum keringnya jatuh ke tanah. Ia jadi sangat menyesal, dengan tertawa meringis, ia punguti rangsum kering itu, yang terus ia letakkan di atas batu. In Loei sangat berduka, hatinya pepat sekali, hingga ingin ia menangis, tetapi tidak dapat ia perdengarkan suaranya, air matanya pun tidak mau mengucur keluar. Di dalam kegelapan itu, ia dengar helaan napas dari anak muda di depannya. "Pembalasan sakit hati..... pembalasan sakit hati.....” kata si anak muda, suaranya perlahan. "Sakit hati saling balas, bilakah itu akan berakhir? Leluhurku dengan Tjoe Goan Tjiang telah memperebutkan negara, dia telah mewariskan surat wasiat yang memesan supaya anak cucunya mewakilkan dia menuntut balas..... Meskipun demikian, pesan pembalasan keluargaku itu bukannya dimaksudkan menuruti hawa napsu saja membunuh musuh tetapi yang paling utama adalah berdaya untuk merampas kerajaan Beng" In Loei dengar itu, tubuhnya bergidik. "Memang benar, saling balas ini ada hebat sekali, begitu dahulu, begitu sekarang ia berpikir. "Jikalau keluarga Thio dapat membalas sakit hatinya, bukankah mereka akan membinasakan segenap orang kota, hingga darah mengalir diseluruh tegalan.....” "Jikalau Thio Tan Hong, untuk pembalasannya itu, bersekutu dengan bangsa Watzu, tentera siapa ia bawa masuk ke Tionggoan untuk menggempur kerajaan Beng, maka dia adalah satu manusia yang paling berdosa.....” ia memikir pula. "Jikalau itu sampai terjadi, aku pun tidak akan memberi ampun padanya!.....” Hebat nona ini berpikir, tanpa merasa, tangannya telah meraba pula gagang pedangnya. Tapi segera ia dengar pula suara orang. "Leluhurku menyingkir ke negeri Watzu," demikian Tan Hong berkata, seorang diri. "Ketika itu bangsa Mongolia sedang lemahnya, di bahagian dalam, mereka terpecah belah. Ketika itu juga tentera kerajaan Beng berulang kali datang menyerbu, melakukan perampasan. Di samping itu, kerajaan Beng juga meminta bangsa Mongolia setiap tahun mengantar upeti. Hal ini membuatnya bangsa Mongolia menjadi sangat bersakit hati, merasa penasaran dan bergusar sangat, hingga mereka memikir untuk mencari balas..... Ha, manusia terhadap manusia, Negara terhadap negara, mengapa di antara mereka ada demikian banyak dendaman? Mengapa mereka hendak saling menuntut balas? Sungguh aku tidak mengerti! Kenapa mereka tidak hendak saling memperlakukan sama rata, sama derajat, untuk hidup damai satu dengan lain?" Tertarik hati In Loei mendengar kata-kata itu. "Leluhurku dan marhum raja Watzu sama-sama memikir untuk mencari balas," Tan Hong berkata pula, "mereka hendak mencari balas terhadap kerajaan Beng. Oleh karena minatnya itu, leluhurku telah memangku pangkat di dalam negeri Watzu. Setiap hari bangsa Watzu itu jadi semakin kuat. Berbareng dengan itu, pangkat leluhurku juga setiap waktu menjadi terlebih tinggi. Demikian, setelah turun sampai pada ayahku, bukan saja ayah telah diwariskan pangkat leluhurku itu, malah belakangan dia diangkat menjadi Yoe sinsiang, perdana menteri muda." Belum selesai Tan Hong dengan kata-katanya itu, tidak peduli tidak ada orang yang melayani ia bicara, karena si nona tetap bungkam, ia melanjutkan pula: "Ayahku ingat baik-baik sakit hati itu, maka itu terhadap anak cucunya Tjoe Goan Tjiang, juga terhadap mereka yang sangat menyintai kerajaan Beng, dia mendendam hebat sekali, sampai meresap ke tulang-tulangnya!..... Pada tiga puluh tahun yang lampau ketika engkong-mu diutus ke negeri Watzu," ia menambahkan kepada In Loei, "di sana ia selalu mengutarakan bahwa dia adalah menteri yang sangat setia dari kerajaan Beng. Mendengar itu, ayahku menjadi naik darah, maka ayah segera menahan engkong-mu itu, engkong-mu itu dipaksa berdiam di daerah es dan salju, ia hidup dengan mengembala kuda sampai dua puluh tahun lamanya!.....” In Loei kertek giginya. Kata-kata Tan Hong membuat ia berpikir keras. "Engkong telah menderita selama dua puluh tahun," ia berpikir, "karena sakit hati itu, engkong menginginkan supaya sekeluarga Thio dibunuh semua. Tapi kerajaan Beng telah merampas negara leluhurnya, tidak heran kalau keluarga Thio jadi sangat bersakit hati, sampai karenanya, engkong-ku turut terlibat. Sungguh ini ada dendaman turun temurun..... Dapatkah aku tak mempedulikan sakit hati leluhurku itu? Engkong ingin turunannya membalas dendam, bolehkah aku membiarkannya?" In Loei cekal gagang pedangnya akan tetapi pikirannya sangat ruwet. "Engkong-mu itu mengembala kuda di antara es dan salju sampai dua puluh tahun lamanya, selama itu tidak pernah dia hendak tunduk," terdengar Tan Hong mulai berkata pula. "Oleh karena itu kemudian ayahku pun tertarik hatinya dan mengagumi kekerasan hati dari engkong-mu itu. Ayahku pernah berceritera kepadaku tentang hikayat engkong-mu itu. Ayah katakan ketika engkong-mu secara diam-diam minggat pulang ke negerinya, sebelumnya ayahku telah mengetahui, sekalipun demikian, ayah sengaja tidak mengirim pasukan tentera untuk mencegah, engkong-mu dibiarkan dapat menyingkir. Malah ayahku pun berkata, ketika itu ayah telah tugaskan Tantai Tjiangkoen menyampaikan kepada ayahmu tiga pucuk surat tertutup untuk menolong engkong-mu dari ancaman bahaya maut. Hanya saying sekali, engkong-mu tidak sudi mempercayainya, hingga dengan begitu engkong-mu telah mensiasiakan maksud hati baik dari ayahku itu hingga ayah merasa kecewa." In Loei mendengar, ia bersangsi. Benarkah cerita Tan Hong ini? Masih ia membungkam. Masih ia pegangi gagang pedangnya. Tan Hong menghela napas. "Memang perbuatan ayahku terhadap engkong-mu ada keterlaluan," ia berkata pula, "maka itu tidaklah heran kalau engkong-mu tidak mempercayai maksud baik dari ayahku itu. Orang tua marhum telah berhutang, sudah selayaknya turunannya membayar hutang itu! Maka juga tidak mengherankan bahwa kau jadi membenci sangat padaku! Ah.....” In Loei tetap membungkam. Si anak muda melanjutkan pula: "Negeri Watzu itu setiap hari bertambah kuat, karenanya kerajaan Beng, selanjutnya tidak berani menghina pula. Malah kemudian, keadaan menjadi berbalik. "Pada sepuluh tahun yang lalu, guruku telah datang ke negeri Watzu. Mulanya terdengar kabar, guruku itu datang hendak melakukan pembalasan untuk engkong-mu itu, akan tetapi kemudian, ia berbalik menjadi guruku. Dialah yang mengingatkan aku bahwa aku adalah bangsa Tionghoa, bahwa karenanya tidak dapat aku pandang Tionggoan sebagai musuh! Belakangan, setelah datangnya guruku itu, perangi ayahku telah berubah. Sering aku lihat ayahku di waktu malam, menumbuki dadanya sendiri, seorang diri ia suka jalan mengitari kamarnya. Pernah ayahku mengoceh seorang diri, katanya: "Membalas dendam! Membalas dendam! Harus atau tidak aku membalasdendam?" Dalam keadaan itu, ayah tampak beringas, sikapnya menakutkan. Pernah beberapa kali aku hiburi ayah, tapi ia menjadi gusar, dia deliki aku! Dia kata, "anak, kau mesti ingat sakit hati leluhurmu yang bagaikan gunung besarnya!" "Kau tahu dengan cara bagaimana sekarang aku pulang ke Tionggoan? Sebenarnya aku telah membolos. Dari semua orang, melainkan guruku seorang yang mengetahuinya. Guruku telah menjelaskan segala apa mengenai kaum Rimba Persilatan di Tionggoan. Kau harus ketahui, aku adalah bangsa Tionghoa, pasti aku tidak akan membantu bangsa Watzu menyerbu Tionggoan! Akan tetapi, aku juga hendak menuntut balas.....” "Bagaimana kau hendak membalasnya?" In Loei tergerak hatinya, hingga ia bertanya demikian. "Setelah aku sampai di Tionggoan, yang pertama-tama aku lakukan ialah membuat penyelidikan," sahut Tan Hong. "Aku telah melihat jelas, pemerintahan kerajaan Beng sesungguhnya telah jadi buruk sekali. Maka itu, untuk menuntut balas, nampaknya tidak ada kesukarannya. Apa bila aku mendapatkan peta bumi serta harta yang terpendam, maka dengan menggunakan pengaruh uang itu aku kumpulkan kawan sekerja, untuk kemudian mengerek bendera, dengan demikian tidaklah sukar untuk merampas kerajaan Beng!" In Loei terperanjat. "Apakah kau berniat menjadi kaisar?" dia tanya. Thio Tan Hong tertawa. "Kaisar pun asalnya rakyat jelata!" dia kata. "Negara dari satu keluarga, dari satu she, dapatkah itu dipegang kekal untuk beratus abad? Jikalau aku dapat merampas kerajaan Beng, bukan saja aku hendak menjadi raja.....” "Apakah itu untuk mencari balas?" In Loei tanya pula. "Juga bukan hanya untuk membalas dendam!" jawab Tan Hong. "Andaikata berlaksa negara di kolong langit ini tidak menggerakkan senjata, bagaimana baiknya?....." Ia berhenti sebentar, ia tertawa bergelak. Lalu ia bersenanjung: "Berapakah usianya manusia? Negara aman, bagaimana dapat ditunggu? Coba muncul satu nabi, bukankah persamaan kekal abadi untuk berlaksa abad? Haha! Jikalau dapat aku mencapai keinginan hatiku, untuk apa aku mesti menjadi kaisar?" Di tempat gelap seperti itu, In Loei tidak tampak wajah orang, akan tetapi dapat ia merasakan hati besar orang itu. "Kau menjadi kaisar atau tidak, itulah tidak aneh!" ia campur bicara. Tak sanggup dia untuk terus membungkam. "Hanya jikalau kau bercita-cita merampas Negara yang luasnya sembilan laksa lie dari kerajaan Beng, maka kau menghendakinya atau tidak, aku kuatir kau toh akan membunuh seluruh orang kota hingga darah mengalir seluas tegalan! Sekarang ini bangsa Mongolia hendak menyerbu, jikalau kau memusuhi kerajaan Beng, bukankah kau jadi membantu bangsa Watzu itu?" Ditanya begitu, Tan Hong berdiam sebentar. "Adik kecil, kata-katamu beralasan juga," ia menyahut dengan perlahan. "Adik kecil, kakakmu suka mendengar perkataanmu. Jikalau kau tidak mengijinkan aku menjadi kaisar, aku suka tidak menjadi kaisar. Adik kecil, katakanlah, akan aku turut kau." Halus suara pemuda ini, enak didengarnya. Maka merahlah muka In Loei, ia jengah tetapi iapun girang. Tiba-tiba saja ia gerakkan sebelah tangannya, akan tolak tubuh orang. "Siapakah yang inginkan kau dengar perkataanku!" dia bentak, suaranya gusar..... "Bagaimana? Kembali kau gusar.....” kata Tan Hong. Si nona diam, tidak ia menyahuti. Tan Hong menghela napas, tangannya diulurkan ke batu di mana ia taruh rangsum keringnya. Ia dapatkan batu telah kosong. Rangsum itu telah dimakan si nona! Selama mendengarkan orang berceritera, tanpa merasa, In Loei dahar rangsum itu. Pernah ia insaf bahwa "tidak selayaknya" ia makan rangsum itu, tidak tahunya ia telah dahar hingga potongan yang terakhir! Diam-diam Tan Hong tertawa dalam hatinya. Ketika ia awasi si nona, di tempat yang gelap itu ia hanya tampak sepasang matanya yang bersinar hidup bagaikan bintang di malam gelap gulita. "Adik kecil, sudah waktunya untuk kau tidur," Tan Hong kata kemudian. Lalu, dengan perlahan, ia nyanyikan sebuah lagu halus. In Loei lelah dan ngantuk, ia telah dahar cukup, mendengar lagu itu, hatinya tertarik, di luar tahunya, ia meramkan matanya..... Tan Hong, dengan pedang di tangan, bertindak ke mulut goa, untuk menjadi centeng..... Hujan sudah berhenti akan tetapi di malam buta, tentera pahlawan tidak berani mendaki bukit untuk mengejar terus orang-orang yang menyingkirkan diri itu. " Pemuda itu pun lelah dan ngantuk, akan tetapi untuk menjaga In Loei, ia kuatkan hati untuk tinggal melek. Tidak berani ia tidur. Sekonyong-konyong terdengar teriakan In Loei: "Engko..engko.....Engkong, engkong......" "Ya," sahut si anak muda. Habis itu, ia tidak dengar apa-apa lagi. Ia berpaling ke dalam tapi In Loei diam terus, cuma suara napasnya terdengar perlahan. "Dia ngigo.....” kata si anak muda, yang terus bertindak ke dalam, akan membuka baju luarnya, baju mana ia pakai menyelimuti tubuh si nona, tanpa nona itu sadar. Kemudian ia kembali ke mulut goa di mana ia duduk mendeprok. In Loei tengah bermimpi. Ia lihat Thio Tan Hong melenggakkan kepalanya dan tertawa panjang, tetapi ketika si anak muda mengusap-usap gambar lukisannya, tiba-tiba dia menangis sedih dan kemudian, dia bernyanyi dengan nada tinggi. Heran In Loei atas tingkah laku orang, ia pun merasa kasihan. Maka ia menghampirinya, ia pegang pundak orang. Di saat itu ia tampak engkong-nya menghampiri dia, tangan engkong itu menyekal tongkat bamboo yang ada bulunya. Bengis roman si engkong ketika ia nyelak di antara kedua orang itu, terus dia angkat tongkatnya, dipakai mengemplang! "Engko, tolong!" teriak In Loei dalam mimpinya itu. Segera nona ini lihat soetjiat, yaitu tanda kebesaran ditangan engkong-nya, telah berubah menjadi surat wasiat kulit kambing yang berdarah, dengan surat wasiat itu, sang engkong tutupi kepala cucunya, sambil mendamprat: "Siapakah engko-mu? Lekas kau bunuh dia?" Waktu itu In Loei endus baunya darah yang berbau bacin, yang berulang kali menyerang hidungnya, hingga hampir tak kuat ia menahannya. Lebih celaka lagi, ia tidak dapat berteriak, maka akhirnya, sadarlah ia dari tidurnya, dari mimpinya yang hebat itu. Mengawasi ke mulut goa, si nona tampak sorot matahari yang melusup disela sela. Ia mengawasi, ia tenteramkan hatinya, yang berdenyut. Begitu ia merasa tenang, ia dapatkan tubuhnya berkerudung baju Tan Hong. Segera ia rasakan pipinya panas, hatinya pun memukul. Lantas ia turunkan baju itu, terus iajalan perlahan, menuju ke mulut goa. Tan Hong tengah duduk dibatu, ujung pedangnya menunjang tanah, kepalanya ditundukkan. Karena ngantuknya anak muda ini tidak sanggup bertahan lagi, ia ngelenggut, mendekati terang tanah, ia tertidur juga..... Kembali surat wasiat kulit kambing yang berdarah berkelebat di mata In Loei, terus saja ia cekal keras gagang pedangnya. Di dalam hatinya, nona ini berkata: "Jikalau aku hendak tikam dia, inilah ketikanya yang baik. Ah, ah, mengapa aku berpikir begini macam? Engkong, engkong," ia mengeluh, "engkong, jangan paksa aku, jangan paksa aku!.....” Samar-samar In Loei seperti lihat engkong-nya mendatangi dengan tangannya masih memegang soetjiat, tepat seperti di waktu ia bermimpi, mata engkong-nya itu bengis. "Mustahilkah aku masih bermimpi?" Sambil menanya begitu dalam hatinya, In Loei terus gigit jari tangannya. Kontan ia merasakan sakit. Maka terang sudah, ia bukan tengah bermimpi pula. Tapi, kalau itu bukannya impian, kenapa ia seperti sedang bermimpi, ia bagaikan belum sadar? Kalau ia sadar, sungguh hebat penderitaannya ini. Ia tengah menghadapi musuhnya, yang engkong titahkan ia bunuh! "Jikalau aku lepaskan ketika yang baik ini, aku tidak binasakan orang keluarga Thio, apakah engkong di alam baka tidak sesalkan aku?" demikian ia tanya dirinya. Dengan tangan pada gagang pedang In Loei maju lagi dua tindak, tiba-tiba ia masukkan satu jari tangannya ke dalam mulut, ia menggigit, kembali ia merasakan sakit. Kali ini ia sadar benar-benar, di depan matanya tidak lagi terbayang engkong nya. Maka pedang, yang ia telah cabut, ia masukkan pula ke dalam sarungnya. Sebaliknya daripada menikam pemuda itu, adalah baju orang yang ia keredongkan kepada pemiliknya..... Thio Tan Hong merasa tubuhnya tersentuh, ia segera lempangkan tubuhnya, lantas ia lompat bangun. Segera ia tertawa. "Eh, adik kecil, pagi-pagi begini kau sudah bangun?" dia tanya. "Kenapa kau tidak tidur pula?" In Loei gigit bibirnya, mukanya menjadi pucat. Tan Hong awasi pemudi ini, matanya bersinar halus, ia nampaknya sangat mengasihani si nona. Nona In lihat sinar mata orang itu, ia tampak wajahnya yang sangat simpati, luka hatinya, hingga hampir ia menangis. Lekas-lekas ia putar tubuhnya, untuk tidak mengawasi lebih jauh pemuda itu. Tan Hong menghela napas, terus ia memandang ke arah bawah bukit. Ia lihat beberapa puluh pahlawan Kimie wie, bersama-sama dengan serdaduserdadu Gielim koen, mereka terpecah dalam beberapa rombongan, mereka tengah mendaki bukit. Terang sekali mereka hendak mencari terlebih jauh kedua orang yang mereka sedang kepung-kepung. Bingung juga si anak muda. Tidak sukar menggempur beberapa puluh pahlawan. Tidak demikian dengan kurungan di bawah bukit itu, di mana, tertampak bendera bendera, suatu tanda dari pengurungan yang rapat. Car bagaimana kurungan itu dapat ditoblos? Selagi anak muda ini berpikir keras, ia lihat kawanan pahlawan sudah sampai di tengah bukit. Ia lantas sambar tangannya In Loei, untuk diajak lari ke belakang satu batu besar. Makin lama rombongan pahlawan datang makin dekat. Sekonyong-konyong terdengar seruannya Thio Hong Hoe: "Keluar! Keluar kamu! Aku telah melihat padamu! Hendak aku bicara dengan kamu!" Hati Tan Hong bercekat. Thio Hong Hoe adalah satu jago dari kota raja. Ia tidak sangka orang dapat datang demikian cepat, malah dialah yang pimpin rombongan pahlawan dan serdadu istana itu untuk menggeledah bukit. Dengan golok Biantoo-nya, Thio Hong Hoe menuding ke atas bukit, kembali ia perdengarkan suaranya yang nyaring: "Kenapa kamu main sembunyi-sembunyian? Begitukah kelakuannya satu hoohan?....." Kali ini belum Hong Hoe menutup mulutnya atau satu orang, bagaikan bayangan, telah lompat muncul, bajunya berkibar-kibar ditiup angin. Di tangannya terhunus pedang. "Thio Thaydjin gagah perkasa!" demikian orang itu — ialah Thio Tan Hong — berkata sambil tertawa, "kau telah pimpin beribu-ribu serdadu dan kuda, kau juga telah menyerang bukit ini, sungguh kau satu hoohan1." Melengak Thio Hong Hoe, mukanya menjadi merah secara mendadak. Itulah sindiran hebat. "Jangan kau memancing kemurkaanku!" katanya kemudian. Dapat ia tenangkan diri. "Meski benar di bawah gunung ini ada pasukan perang yang berjumlah besar, kamu sebenarnya boleh berurusan dengan aku si orang she Thio saja!" Thio Tan Hong kibaskan pedangnya. Ia tertawa. "Bagus, bagus!" katanya dengan gembira. "Kalau begitu, silakan kau kemukakan syarat-syaratmu!" Thio Hong Hoe tidak lantas sambut tantangan itu, ia hanya mengawasi dengan tajam kepada dua orang itu. Waktu itu In Loei pun turut munculkan diri. "Aku lihat kamu bukan orang-orang Jalan Hitam," katanya. "Sebenarnya kamu mempunyai hubungan apa dengan Tjinsamkay Pit To Hoan?" "Tentang hubungan itu, tak usah kau mengetahuinya," jawab Tan Hong. "Baik kita jangan ngobrol saja! Mari kita bertempur sampai tiga atau lima ratus jurus! Bagaimana andaikata kau tidak mampu mengalahkan aku?" Tan Hong merasa, dalam tenaga dalam, ia kalah dari komandan Kimie wie itu, akan tetapi dalam hal ilmu pedang, ia menang di atas angin, maka ia percaya, dengan bertanding sekian banyak jurus, mestinya mereka seri. Ini ada baiknya untuknya. Ia tahu Thio Hong Hoe kagumi dirinya sendiri, sengaja ia gunakan kata kata itu untuk membangkitkan kemendongkolan orang. Kembali Thio Hong Hoe lirik kedua orang itu. "Tidak usah kita bertanding satu lawan satu!" katanya dengan jumawa. "Kamu boleh maju berdua berbareng!" Tan Hong tertawa dingin. "Kalau begitu maka sejak ini Kengsoe Samtoa Khotjioe akan tinggal dua orang saja!" katanya secara menghina. (Kengsoe Samtoa Khotjioe berarti "tiga jago terbesar dari kota raja.") Dengan perkataan ini Tan Hong artikan, bahwa ia berdua In Loei mengerubuti komandan Kimie wie itu, sudah pasti si komandan akan terbinasa. Thio Hong Hoe tidak kena dipancing, dia tertawa. "Aku lihat itulah tidak mudah!" katanya. "Ilmu silat kamu berdua telah aku lihat, jikalau kita bertanding satu lawan satu, mungkin kau dapat bertahan sampai lima ratus jurus. Kau majukan tantanganmu ini, mengerti aku maksudmu. Sudah tentu aku tidak sudi dipedayakan!" "Sungguh orang ini liehay!" kata Tan Hong dalam hatinya. Ia bercekat. "Tahu pihak sana, tahu pihak sendiri, demikian pepatah. Pikiran dia sama dengan pikiranku." Lantas dia menyahuti: "Kalau begitu baiklah kita tidak mengadakan batas lima ratus jurus itu! Mari kita bertempur satu lawan satu. Kau boleh utarakan syaratmu!" Thio Hong Hoe sebutkan syaratnya, ia kata: "Tentang sahabatmu ini, dengan ilmu silatnya, mungkin dia dapat bertahan sampai seratus jurus, maka itu, baiklah kita atur begini: Kamu berdua maju bersama, kita bertempur sebanyak lima puluh jurus. Jikalau kamu yang peroleh kemenangan, nanti aku pujikan kamu supaya kamu diangkat menjadi boe kiedjin tahun ini, untuk itu kamu tidak usah diuji pula!" Thio Tan Hong tertawa bergelak. "Untuk kami berdua menangkan kau, itulah gampang, sama seperti kita membalikkan tangan!" katanya. "Perlu apa menunggu sampai lima puluh jurus? Malah dalam lima jurus, bila kami tidak dapat mengalahkan kau, kau boleh perbuat sesukamu atas dari kami! Jikalau dalam lima jurus kami menangkan kau, kami tidak kemaruk dengan gelaran boe tjonggoan-mu, apapula boe tjinsoel Untuk kami, air ada biru, gunung ada hijau, di belakang hari masih dapat kita bertemu pula!" Inilah ejekan untuk Hong Hoe, dia dipancing kegusarannya. Dengan itupun Tan Hong maksudkan, andaikata mereka berdua yang menang, maka Thio Hong Hoe mesti membiarkan mereka angkat kaki tanpa gangguan. Sementara itu Hong Hoe mempunyai maksud, ia berkeras hendak tempur kedua orang ini. Kemarin ia tidak berhasil mengejar Pit To Hoan, ketika ia kembali, ia tampak Hoan Tiong dan Khoan Tiong mendapat luka. Ia menjadi kaget. "Apa yang telah terjadi?" ia tanya kedua kawan itu. Hoan Tiong dan Khoan Tiong tuturkan pengepungannya terhadap Tan Hong dan In Loei, mau atau tidak, mereka mesti puji ilmu silat kedua orang yang hendak ditawan itu. Pada waktu berkatakata, mereka ini nampaknya masih jeri. Mendengar itu, Thio Hong Hoe menjadi sangat heran, hingga ia berpikir. "Dari mereka berdua, si mahasiswa berkuda putih nampaknya yang lebih liehay, kelihatannya dia melebihi satu tingkat daripada Hoan Tiong dan Khoan Tiong, tetapi, dengan berkelahi bersama, dalam tujuh puluh jurus, tidak heran apabila mereka dapat mengalahkan kedua sahabat ini. Yang aneh adalah mereka dapat merebut kemenangan dalam beberapa jurus saja!" Hong Hoe adalah ahli silat kenamaan, ia tahu bagaimana peryakinan ilmu silatnya, maka, mendengar ada orang yang demikian liehay, timbullah keinginannya untuk mencoba-coba kepandaian orang itu. Demikian ia majukan tantangannya. Benar benar ia tidak percaya, di dalam lima puluh jurus ia akan dapat dikalahkan. Tapi sekarang ia dengar Tan Hong mengatakan lima jurus, bukan main mendongkolnya ia. Meski demikian, ia tertawa terbahak-bahak, goloknya diacungkan. "Baiklah!" serunya. "Sekarang jurus yang pertama! Kamu sambut!" Segera golok berkelebat, kelihatannya seperti ke kiri dan ke kanan. Hong Hoe telah menggunakan jurus "Lioeseng siantian" atau "Bintang sapu menyambar, kilat berkelebat." Serangan itu ditujukan ke arah kedua lawannya. In Loei menyender di lamping batu, ia bagaikan orang tak sadar akan dirinya, Tan Hong lihat keadaan orang, dia menyerukan: "Adik kecil, lekas keluarkan kepandaianmu!" Tan Hong tidak hanya berteriak, berbareng dengan kata-katanya itu, tubuhnya mencelat ke depan In Loei, pedangnya digerakkan dalam gerakan "Memotong sungai." Dengan itu ia tangkis serangan pertama dari Hong Hoe. Golok menyerang, pedang menangkis, maka itu, keduanya bentrok keras, suaranya nyaring, tetapi golok Hong Hoe benar-benar liehay, sekalipun ditangkis, sambarannya tak kehilangan sasarannya, masih ujung golok bergerak ke arah In Loei.Nona In sudah lantas menangkis, habis itu tubuhnya limbung, ia mundur dua tindak. Tidak berhasil ia mencegah serangan Hong Hoe itu. Coba Tan Hong tidak mendahului menangkis, mungkin pedangnya terlepas dan terpental dari cekalannya. Thio Hong Hoe lihat ia berhasil, ia tertawa berkakakan. "Kiranya ilmu pedang kamu cuma sebegini!" katanya dengan mengejek. "Hati-hati, kamu sambut golokku! Inilah jurusku yang kedua, namanya "Pathong hongie", yaitu "Angin dan hujan di delapan penjuru"! Kamu mesti menyambutnya dengan pedang berbareng! Aku memberitahukan ini supaya jangan nanti kamu sesalkan aku!.....” In Loei tidak sadar akan adanya bahaya meskipun ia telah dihajar hingga sempoyongan dan mundur, sepasang matanya yang tadinya hidup sekarang lenyap sinarnya. Tan Hong lihat keadaan orang itu, ia segera membisiki: "Adik kecil, meskipun kau membenci aku tapi sekarang mesti kita mundurkan dulu musuh ini! Kau boleh sayangi jiwamu, agar di belakang hari dapat kau mencari balas terhadapku! Oh, adik tolol!....." Adalah di saat itu, serangan yang kedua dari Hong Hoe telah tiba, sinar golok itu berkelebatan menyilaukan mata. Serangan itu ada jurus yang paling liehay dari ilmu silat "Ngohouw toanboen too" atau "Lima ekor harimau mencegat pintu". Sudah tentu jurus ini ada terlebih liehay daripada yang pertama. Tergerak hati In Loei, tetapi air matanya segera mengembeng. Tapi sekarang ia tidak lagi sedungu tadi. Ia angkat pedangnya, dengan putarkan itu, ia menangkis. Perbuatannya ini diturut dengan gerakan serupa dari Thio Tan Hong. Maka itu, berangkaplah pedang mereka masing-masing. Dan gagallah serangan Hong Hoe yang kedua kali itu. "Bagus!" seru komandan Kimie wie itu, "Benar-benar bagus cara kamu menangkis ini! Sekarang sambutlah lagi yang ketiga!" Hong Hoe maju satu tindak, golok Biantoo dimajukan, bukan sejurus, tapi kembali ke kiri dan ke kanan, cepatnya luar biasa. Itu pun ada jurus "Hoenhoa hoetlioe" yaitu "Memisah bunga, mengebut yanglioe". Halus mulanya, keras akibatnya. Dengan cara ini, ia menyerang sambil membela diri. Serangan juga disusul dengan tertawa nyaring dan panjang. In Loei gerakkan tangannya, maka menyambarlah Tjengbeng kiam, diikuti berbareng dengan pedangnya Tan Hong, hingga kedua pedang kembali berangkap jadi satu dengan apa golok lawan dapat ditutup! Kali ini baharulah Thio Hong Hoe terkejut, hatinya bercekat. Lekas-lekas ia tarik goloknya, untuk dipakai melindungi diri. Ia telah kerahkan tenaganya, karena goloknya itu terjepit keras. Ia berhasil juga menarik goloknya akan tetapi ia mesti mundur dengan limbung, napasnya pun memburu. "Bagus, tak kecewa ia menjadi orang kosen nomor satu di kota raja," Tan Hong memuji di dalam hatinya. Sementara itu ia telah memasang mata tajam. Hong Hoe telah memasang kuda-kuda "Poetteng poetpat," goloknya melintang di depan dadanya, kedua matanya dibuka lebar-lebar, sinar matanya masih menunjukkan kagetnya tadi. Tan Hong kerutkan alisnya. Ia berpikir: "Orang ini luas pengalamannya, sekarang ia ambil sikap membela diri, dengan lagi satu jurus, belum tentu dia dapat dikalahkan.....” Setelah memasang kuda-kudanya itu, tenang hatinya Thio Hong Hoe. "Aku telah menyerang tiga kali, masih ada satu kali lagi!" ia berseru dengan nyaring. "Habis itu, akan aku biarkan kamu berlalu terlebih dahulu! — Kamu sudah siap? Bagus! Sambutlah!" Thio Tan Hong melirik pada In Loei, kali ini ia tampak kedua matanya bersinar tajam. Itulah sinar mata yang wajar, nyata keadaan si nona telah pulih kembali. Dengan sinar mata demikian, In Loei tengah mengawasi musuh. Menampak demikian, Tan Hong dapat harapan. Tiba-tiba saja ia berseru, terus ia maju menyerang. Perbuatan ini dengan serentak diturut In Loei, hingga mereka jadi maju berbareng, kedua pedang berkelebatan, ujungnya menikam. Thio Hong Hoe mendak, goloknya dilintangkan, dipakai menangkis kedua pedang lawan. Habis itu, ia putar tubuhnya, goloknya tergerak pula, disusul dengan mencelatnya tubuhnya. Tan Hong tak sangka orang ada demikian sebat, di dalam hatinya, ia mengeluh: "Celaka..... kalau ini gagal, dia lolos, dengan begitu lewatlah jurus ke empat, kita mesti mengaku kalah.....” Maka itu, hendak ia lanjutkan serangan- nya. Untuk itu hendak ia menangkis dulu, baharu ia menikam. Selagi Tan Hong memikir demikian, In Loei telah bekerja. Sekonyong-konyong Hong Hoe menjerit, disusul, dengan rubuhnya tubuhnya. In Loei telah berlaku sangat sebat, selagi pedang Tan Hong melayani golok lawan, ia menyambar kaki orang, tepat ujung pedang itu mengenai sasarannya, maka bahna kaget dan sakit, jago dari kota raja itu tak dapat injak tanah lagi. Tan Hong terkejut karena herannya. Ia menduga, dengan mencelatnya Hong Hoe, pedang In Loei akan menemui tempat kosong seperti pedangnya sendiri. Dengan lompatan "Lehie tateng" atau "Ikan gabus meletik," Hong Hoe mencelat bangun, terus ia pandang kedua lawannya dengan menyeringai. Ia mengibaskan sebelah tangannya, lalu ia berkata: "Benar liehay sepasang pedang kamu! Sekarang kamu boleh pergi!" Khoan Tiong sudah mendampingi kawannya ini. "Toako, secara demikian mudah kau membebaskan mereka?" ia menegur. "Ya," jawab Hong Hoe. "Koentjoe itgan, koayma itpian! Biarkan mereka pergi!" Khoan Tiong seperti menggerutu "Koentjoe itgan, koayma itpian" — "Gentleman dengan sepatah kata, kuda jempolan dengan satu cambukan," tapi ia berdiam tidak berani ia mengucapkan kata-kata. "Mereka bukannya orang-orang Jalan Hitam!" kata Hong Hoe pula. "Dengan melepaskan mereka, kita tidak mendapat salah. Kenapa kita mesti serakahkan jasa semacam ini?" Merah wajahnya Khoan Tiong. "Oleh karena kau yang menanggung jawab, toako, kita tidak dapat berkata apa apa lagi" katanya. Hong Hoe segera berikan titahnya untuk memberi jalan kepada kedua anak muda itu. Thio Tan Hong menghormat pada komandan Kimie wie itu. "Dua kali kita telah bertempur, masih belum tahu aku she dan namamu," berkata Hong Hoe. "Sebenarnya kau datang dari mana?" Tan Hong bersikap lesu, ia menguap. "Kau orang she Thio, aku juga orang she Thio," sahutnya. "Thio kau tidak sama dengan Thio aku, akan tetapi pada lima ratus tahun yang lalu, kita berasal dari satu keluarga. Maka itu, baiklah aku panggil kau toako. "Toako," ia tambahkan, "adikmu telah lelah sekali, di sini pun banyak orang dan berisik, tidak dapat aku tidur di sini, karenanya, maafkan aku, tak dapat kami temani kau lebih lama pula.....” Wajah Khoan Tiong berubah pula menjadi merah, tidak demikian dengan Thio Hong Hoe, dengan sikap wajar dia malah tertawa. "Kau jumawa, kau juga gagah, tidak kecewa aku mendapatkan saudara satu she sebagai kau!" ia kata. "Baiklah saudara, kau boleh pergi!" Tan Hong segera bersenanjung: "Jikalau masih ada sifat orang kangouw, orang menjadi jenderal pun tidak kecewa..... Air biru, gunung hijau, di belakang hari nanti kita bertemu pula, saudara, aku pergi!" ia tambahkan. Terus ia tuntun tangan In Loei untuk diajak turun gunung di mana tidak ada satu serdadu juga yang merintangi mereka. Di sepanjang jalan, In Loei terus bungkam. Setelah melalui kira-kira tujuh lie, mereka tinggalkan tentera negeri jauh sekali di belakang mereka. Di depan mereka terdapat jalan simpang tiga, di situ Tan Hong menguap. "Adik kecil, mari kita cari tempat untuk beristirahat dulu," ia kata pada kawannya. "Jalan yang di tengah ini untuk ke kota Tjengteng, yang di kiri untuk ke kota Loanshin. Aku pikir, baik kita menuju ke Tjengteng saja." In Loei kebutkan bajunya. "Kau ambil jalanmu, aku ambil jalanku!" ia menyahut dengan dingin. Tan Hong melengak. "Demikian rupa kau benci aku?" dia tanya. In Loei menyingkir dari pandangan orang, ia kerutkan alis. "Aku haturkan terima kasih yang kau telah menolong aku," si nona berkata pula, "akan tetapi permusuhan kita kedua keluarga, tidak ada jalan untuk memecahkannya!..... Ah, siapa suruh engkong menutup mata siang-siang, coba ia masih hidup, mungkin aku dapat menasehati supaya dia mengubah pikirannya..... Sekarang sudah tidak dapat lagi..... Pesan dari leluhur, cara bagaimana turunannya dapat menentangnya?..... Ah, ini dia takdir.....” "Aku tidak percaya takdir!" kata Tan Hong, tegas. "Kalau kau tidak percaya, habis kau mau apa?" si nona tanya. "Baiklah, kau boleh pergi! Jikalau kau menuju ke timur, nanti aku menuju ke barat!" Wajah Tan Hong tampaknya muram. "Jikalau sudah pasti kau hendak menuntut balas, kenapa kau tidak lakukan itu sekarang saja?" dia tanya. Ia lesu sekali. Merah mata In Loei, kakinya terus menindak. Ia berjalan dengan sangat cepat, tidak ia menoleh..... -ooo0dw0ooo- BAB XI Walaupun ia berlari-lari, In Loei toh dengar helaan napas panjang di belakangnya, helaan mana disusul dengan kata-kata: "Melihat kau menyebabkan kau berduka, tidak melihat kau maka akulah yang bersusah hati..... Ah, daripada kau yang berduka, baiklah aku saja..... Adik kecil, baik-baiklah kau jaga dirimu. Kau pergi adik, kau pergi!.....” Nona ini keras hati meskipun ia rasakan hatinya itu sakit. Ia masih dapat kuatkan hati, untuk tidak menoleh. Akan tetapi air matanya, tak dapat ditahan. Dengan terbawa angin, In Loei masih dengar kata-kata orang: "Saling melihat tetap tidak seperti saling melihat, merasa cinta toh tidak merasa cinta....." Dalam usianya tujuh belas tahun, belum pernah In Loei memikir halnya kasih sayang antara pemudi dan pemuda, mendengar itu, merah mukanya. Di dalam hatinya, ia jadi memikir: "Apakah benar aku telah terjerumus ke dalam jala cinta?" Lantas hatinya menjadi bimbang, mukanya merah sampai ke kupingnya. Ia lari terus, setelah beberapa puluh tombak, baharu ia berani berpaling ke belakang. Sekarang ini ia tidak lihat sekalipun bayangan Thio Tan Hong! Akhir-akhirnya tibalah In Loei di kota Tjengteng, sebelum matahari terbenam. Ia langsung mencari sebuah hotel besar di mana, dengan mengunci pintu rapat-rapat, ia segera rebahkan diri di atas pembaringan. Tak tahu nona ini, berapa lama ia telah pulas, waktu ia sadar, ia dengar suara gembreng diiringi dengan kata-kata nyaring, seperti orang tengah membentak bentak, suara mana disusul lagi dengan suara jongos hotel, yang mengetuk pintu setiap kamar untuk memberitahukan: "Hotelku telah disewa seluruhnya oleh pembesar negeri, menyesal sekali aku mesti minta tuan meninggalkan hotelku ini untuk mencari lain rumah penginapan. Tentang uang sewa, itu akan aku kembalikan. Inilah terpaksa, harap tuan sudi memaafkannya.....” Seperti sudah menjadi kebiasaan, satu kali sebuah hotel diborong oleh pembesar negeri, penumpang-penumpang itu puas atau tidak mereka harus pindah. Demikianlah tindakan terpaksa dari pemilik hotel. Kamar In Loei diketok paling belakang, ia sudah dandan, sudah siap sedia, begitu ia membuka pintu, ia katakan pada jongos yang mengetoknya: "Kau tidak usah menjelaskan lagi, aku sudah tahu, sekarang aku pergi!" "Maaf," kata jongos itu, yang terus mengawasi tetamunya, dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. In Loei heran atas sikap orang. "Apakah yang kau awasi?" dia tanya. "Aku lihat tuan bukan penduduk sini," sahut jongos itu, "maka itu, dalam keadaan begini mungkin sulit bagi kau mencari lain rumah penginapan." In Loei makin heran. "Apa?" dia tegaskan. "Kenapa jadi sulit?" Jongos itu menutup pintu. "Apakah tuan tahu kenapa pembesar negeri hendak pakai hotel kami ini?" kata dia dengan perlahan sekali. In Loei menggelengkan kepala. "Suara tadi sangat berisik, aku tidak dapat dengar nyata," ia kata. "Apa yang aku ketahui, inilah persiapan untuk melayani utusan dari Mongolia," terangkan jongos itu, suaranya tetap perlahan. "Sampai Sri Baginda menugaskan pasukan Gielim koen guna mengiringi utusan itu. Berhubung dengan itu, semua hotel di Tjengteng, tengah hari telah mendapat pemberitahuan bahwa kalau dihotelnya menumpang tetamu atau tetamu-tetamu yang dapat menimbulkan kecurigaan, dia atau mereka itu mesti dilaporkan pada polisi. Maka itu aku kuatir, dengan pindah ke lain hotel, tuan bisa menemui kesulitan yang memusingkan kepala.....” Mendengar itu, In Loei tertawa. "Habis, cara bagaimana kau berani membiarkan aku tetap menumpang di sini?" katanya. "Apakah aku tidak mendatangkan kecurigaan itu?" Jongos itu berdiam, tiba-tiba ia ingat suatu apa. "Bukankah tuan she In?" tanyanya. In Loei bercekat. Waktu mendaftarkan nama, ia memakai she dan nama palsu. Ia heran kenapa jongos itu ketahui she-nya. Maka segera ia sambar tangan orang, yang nadinya terus ia pegangi. "Kau siapa?" dia tanya dengan bengis. "Jangan kuatir, tuan," sahut jongos itu, agaknya ia tidak takut. "Kita ada orang sendiri. Jikalau tuan tidak percaya padaku, aku mempunyai suatu barang yang tuan telah tinggalkan di sini, kalau tuan melihat itu, tuan akan segera ketahui duduknya hal" In Loei tidak takut. Ia pikir, kalau toh mesti menggunakan kekerasan, jongos ini tidak akan lolos dari tangannya. Karena itu ia lepaskan cekalannya, ia biarkan jongos itu pergi mengambil barang yang dia sebutkan itu. Jongos itu ngeloyor pergi, tidak lama kemudian kembalilah ia bersama kuasa hotel, siapa memegang satu bungkusan kecil yang terbungkus oleh kain sutera, terus ia berikan kepada tetamunya. "In Siangkong, inilah barang yang tetamuku tinggalkan untukmu," ia kata. In Loei terima bungkusan itu, dengan hati-hati ia membukanya. Ia lantas lihat sepotong sanhoe biru hijau, yang mempunyai sembilan tangkai. Ia menjadi tercengang. Karena itulah sanhoe kepunyaannya sendiri yang ia berikan kepada Tjio Tjoei Hong selaku tanda mata. "Apakah dia juga datang kemari?" tanyanya. Dengan "dia" ia maksudkan "dia" wanita. "Apakah dia juga berdiam di sini?" "Nona Tjio sampai di sini kemarin," jawab kuasa hotel itu. "Dia telah melukiskan jelas padaku tentang roman dan potongan In Siangkong, dia minta kami memperhatikannya. Sungguh kebetulan, benar-benar In Siangkong dating ke hotel kami!" In Loei berdiam. Ia segera ingat cintanya Tjoei Hong terhadapnya, yang nona itu tidak dapat lupakan. Karena ini, ia jadi mengeluh sendirinya. "Baiklah aku menjelaskan, tuan," si kuasa hotel berkata pula. "Hotel kami ini adalah miliknya partai Hayyang Pang, dan usaha kita adalah dengan cara diam-diam melayani keperluannya orang kangouw yang menjadi kaum kita. Hongthianloei Tjio Lootjianpwee itu adalah kenalan baik dari kami, dan Nona Tjio datang kesusu kemarin malam, terus dia titipkan barangnya ini. Nona itu juga memesan supaya kau besok pergi ke Tjengliong kiap, untuk menantikan dia. Si nona pesan, bila siangkong sampai di sana nanti ada orang yang menyambut padamu untuk diantarkan." In Loei manggut. "Habis, sekarang aku harus bermalam di mana?" dia tanya. "Oleh karena siangkong ada orang kita sendiri," sahut si kuasa hotel, "aku minta siangkong suka serahkan kamar itu, untuk kami menggantinya dengan kamar kerjaku sendiri. Aku harap siangkong suka memaafkan sikap kami ini." Tetapi In Loei menunjukkan kegirangannya. "Bagus, bagus!" katanya. "Sekalian aku hendak tengok macamnya utusan dari Mongolia itu, bagaimana keangkerannya hingga ia mesti dilayani secara begini!" Maka malam itu, habis bersantap, In Loei berpura-pura tidur. Dengan begitu, ia jadi dapat beristirahat. Segera juga terdengar tindakannya kaki-kaki kuda dan suara bengernya, pun suara manusia terdengar riuh menjadi satu. Dan hamba-hamba hotel lantas berlari-lari keluar untuk mengadakan penyambutan. In Loei tidak berani munculkan diri, maka itu ia cuma mengintai dari selasela pintu. Segera juga tampak empat perwira mengantarkan delapan orang Mongolia memasuki hotel, yang berjalan di tengah, diiring dikedua sampingnya. Dengan segera In Loei kenali orang yang jalan di tengah-tengah, yang istimewa menarik perhatiannya. Dia adalah si pangeran asing yang pernah bertempur dengannya ketika terjadi penyerbuan kepada Tjioe Kian. Hotel itu adalah yang terbesar di kota Tjengteng, banyak kamarnya, ke empat perwira Gielim koen memeriksai semua kamar, habis itu mereka Tanya kuasa hotel: "Apakah di sini tak ada orang lainnya lagi?" "Paduka tuan telah sudi pakai hotel kita, mana kita berani menerima lain penumpang," kuasa itu menjawab dengan hormat. Tadinya masih hendak dilakukan pemeriksaan ke dalam, tempat keluarga kuasa hotel dan orang-orangnya, tetapi si pangeran asing mencegah. "Tak usah tongnia demikian teliti," katanya sambil tertawa, "Walaupun Tionggoan besar, mungkin belum ada orang yang berani menjadi lawan kami! Atau andaikata ada juga yang berani, dia tentunya ingin mencari mampusnya sendiri, untuk itu tak usah tongnia beramai turun tangan, cukup asal kamu bertanggung jawab atas penguburan mereka itu!.....” "Benar, benar!" memuji ke empat perwira Gielim koen itu. "Memang orang-orang gagah dari negeri Tuan, semua tak ada tandingannya di kolong langit ini. Adalah kami yang terlalu berhati-hati.....” Mendongkol In Loei mendengar perkataan orang itu. "Sebentar akan aku berikan kamu pengertian apa yang dinamakan liehay!" pikirnya. Ia anggap orang menghina diri sendiri, sedang di sini ada soal kebangsaan. Sebentar kemudian, selesai sudah utusan itu mengambil kamar, lalu dua orang Mongolia serta dua perwira Gielim koen ditugaskan bergantian berjaga malam. In Loei tunggu saatnya, untuk salin yaheng ie, pakaian untuk keluar malam, begitu lekas ia dengar suara kentongan tiga kali, dengan hati-hati ia keluar dari kamarnya, untuk mendekam dulu di ujung payon. Tapi ia siap sedia dengan senjata rahasianya, Bweehoa Ouwtiap piauw — "Kupu-kupu yang bermain di antara bunga-bunga bwee." Ia tunggu waktu, bila kedua cinteng Mongolia itu membalik belakang terhadapnya, hendak ia serang mereka itu. Tiba-tiba di atas wuwungan berkelebat satu bayangan putih. In Loei lihat itu, ia terkejut. Sekejap saja ia lihat berkelebatnya satu tubuh manusia, orang itu memakai topeng, bajunya putih dan panjang, maka di dalam gelap tampak tegas warna putih dari pakaiannya itu. Segera juga hati In Loei berdenyut. Sekelebatan ia ingat kejadian pada malam itu, waktu Thio Tan Hong nyelundup masuk ke Tjiokee tjhoeng. Karena ini, ia lantas goyangkan tangannya, untuk memberi tanda. Orang bertopeng itu membalikkan tubuhnya, ia rupanya lihat tanda yang diberikan, malah ia membalas menggerakkan kedua tangannya, menunjuk ke arah luar, maksudnya menyuruh si nona lekas berlalu. Belum sempat In Loei berpikir, untuk mengambil keputusan, ia tampak orang itu sudah lompat turun, menyusul mana ia dengar dua jeritan dari kesakitan. Sebab dengan kesehatannya, orang bertopeng itu sudah menyerang dan membinasakan kedua pahlawan Mongolia itu. "Itulah serangan Kimkong tjioe yang liehay!" memuji In Loei, kagum. "Belum pernah aku tampak Tan Hong menggunakan semacam pukulan. Apakah dia adanya atau lain orang?" Tengah si nona berpikir, dari dalam telah lompat keluar kedua cinteng Gielim koen, tetapi kembali dengan kesehatannya, bukan ia menyingkir, si orang bertopeng justeru menerjang, ketika kedua tangannya bergerak, tidak ampun lagi ia menotok urat lemah dipinggangnya. Itulah perwira Gielim koen yang di sebelah kiri, tetapi yang di sebelah kanan, kepandaiannya tidak selemah kawannya, dengan gerakan "Tjioehoei piepee," atau "Tangan mementil piepee," dapat ia egoskan diri dari bahaya. Si orang bertopeng segera berseru: "Kenapa anak cucunya Oey Tee mesti jual jiwa untuk bangsa Tartar?" Suara itu perlahan, In Loei tidak dapat mendengar dengan nyata. Ia hanya heran kenapa dari pukulan kematian, orang itu mengubahnya dengan totokan jalan darah, hingga orang Gielim koen itu tidak dibinasakan. Tidak lama mereka itu bertempur, lantas perwira Gielim koen itu mundur, atas mana si orang bertopeng lompat ke dalam, ke arah kamar dari si pangeran asing. Belum sampai orang itu di muka pintu, dengan tiba-tiba daun pintu terpentang lebar, disusul dengan suara tertawa yang nyaring, dan munculnya satu bayangan, gerakan tubuh bayangan itu mendatangkan siuran angin. Mau atau tidak, si orang bertopeng mundur tiga tindak. In Loei tidak pergi ketika diberi tanda oleh si orang bertopeng, ia diam di tempatnya mendekam, dari situ ia dapat lihat siapa adanya orang yang keluar dari dalam kamar itu, ialah Tantai Mie Ming. Jago Mongolia itu telah memasuki Tionggoan, entah dengan cara bagaimana, sekarang ia menemani si pangeran asing yang menjadi utusan itu. Segera In Loei lihat, setetah mundur, si orang bertopeng maju pula, dia menyerang. Tantai Mie Ming gerakkan tangannya berikut tubuhnya, atas mana si orang bertopeng rubuh terjungkal, jumpalitan, tapi sekejap saja, ia sudah berdiri pula. Kaget sekali In Loei, hingga ia berteriak: "Lekas menyingkir!" sedang tiga batang senjata rahasianya dengan saling susul ditimpukkan kepada Tantai Mie Ming. Ia tujukan ke atas, ke tengah dan ke bawah, untuk membuatnya orang repot. Tantai Mie Ming kibaskan kedua tangannya, belum lagi senjata rahasia tiba pada tubuhnya, tiga-tiganya sudah jatuh kelantai! Selagi jago asing itu menangkis piauw, si orang bertopeng sudah maju pula dengan serangan kedua tangannya. Masih sempat Tantai Mie Ming menangkis, juga dengan kedua tangannya, maka itu ke empat tangan jadi beradu dengan keras hingga terbit suara nyaring. Sebagai akibatnya, si orang bertopeng mundur dengan tubuh limbung, tapi tidak sampai rubuh. "Bagus!" sera Tantai Mie Ming. "Siapa sanggup lawan tanganku, dia terhitung satu hoohan juga!" Setelah kegagalannya ini, si orang bertopeng lari keluar, berniat lompat naik ke atas genteng. Perwira Gielim koen yang tadi menyaksikan jalannya pertempuran, ketika ia lihat orang hendak lari, dengan mendadak ia membokong dengan djoanpiannya, cambuk yang lemas. In Loei saksikan perbuatan orang itu, ia menjadi gusar, serta merta tangannya terayun, sebatang piauw-nya terbang menyambar. Perwira itu tidak sepandai Tantai Mie Ming, lengannya terkena piauw, tak ampun lagi, ia rubuh dengan tak sadarkan diri, cambuknya turut jatuh. Pada saat itu si orang bertopeng pun sudah naik ke atas tembok dari mana ia lompat terus ke atas genteng. "Terima kasih!" ia mengucap dengan perlahan kepada nona kita, ia tidak berhenti lari atau menghampiri, ia berlalu terus dengan cepat sekali. Karena In Loei tercengang menyaksikan kelakuan orang itu, ia hanya melihat bahagian belakangnya saja. Ia jadi berpikir. Mendengar suaranya dan melihat bebokongnya, seolah-olah ia pernah kenal orang itu, orang itu tak mirip dengan Thio Tan Hong..... Sedang ia diam berpikir, beberapa pahlawan Mongolia serta anggautaanggauta Gielim koen tampak mendatangi, malah Tantai Mie Ming menjurus ke arah tempatnya sembunyi, hingga ia menjadi terkejut. Lebih-lebih ketika Mie Ming, sambil memandang ke arahnya, perdengarkan tertawanya. "Mana si orang jahat?" pahlawan-pahlawan itu saling menanya. Sekonyong-konyong Tantai Mie Ming putar tubuhnya dan ia melepaskan panah ke lain arah daripada In Loei, habis mana ia kata: "Orang-orang jahat banyak jumlahnya, di antara kamu, dua orang melindungi ongya, yang lainnya semua turut aku!" Inilah di luar sangkaan In Loei maka ia menjadi heran atas sikap Tantai Mie Ming. Bukankah Mie Ming telah dapat mencari ia? Kenapa dia justeru mengajak rombongannya pergi ke lain jurusan? Sungguh ia tidak mengerti. Setelah orang-orang pergi, In Loei turun dari tempatnya sembunyi, dengan matanya yang awas ia segera tampak jongos hotel, yang menyembunyikan diri dipojok yang gelap, melambaikan tangannya. Ia lantas menghampiri. "Mari turut aku!" kata jongos itu. "Selagi keadaan kalut, kita mesti menyingkir." In Loei ikut dengan tidak banyak omong. Ia percaya jongos itu. Untung bagi mereka, mereka tidak menemui siapa juga. Ketika itu pintu kota masih belum ditutup, si jongos mengajak tetamunya sampai di suatu tanjakan di luar kota. "Sebentar jam lima, ada orang yang akan menjemput siangkong," kata jongos itu lega. In Loei keluarkan napas. "Sungguh berbahaya!" ia kata. Dalam cahaya rembulan dan bintang-bintang yang samar-samar, si nona tampak wajah si jongos berseri-seri. Dia pun berkata: "Nona Tjio memesan supaya siangkong ingat untuk membawa sanhoe. Apakah siangkong telah sediakan itu?" In Loei menjadi masgul, ruwet pikirannya. Baharu tenang satu gelombang, sudah datang gelombang yang lain. "Aku tahu sudah," katanya, dengan terpaksa. Menampak wajah si "pemuda" berubah, jongos itu tidak berani tertawa lagi. Berselang kira-kira setengah jam, dua ekor kuda tampak mendatangi, yang satu ada penunggangnya, yang lain kosong. Setelah penunggang kuda itu dating dekat, ia kenali orang itu adalah Tjek Po Tjiang. Hweesin tan Tjek Po Tjiang itu sangat membenci Thio Tan Hong, terhadap In Loei juga ia tidak berkesan terlalu baik, akan tetapi bertemu kali ini, ia girang juga, maka sambil memberi hormat, ia kata: "Kau juga dapat lolos? Bagaimana dengan si bangsat berkuda putih itu? Bukankah itu hari dialah yang dating membawa pasukan negeri?" Orang she Tjek ini tetap menyangka Tan Hong mencelakai mereka. In Loei menyahut dengan dingin sekali: "Dia justeru mengorbankan segala apa untuk menolongi Pit loo enghiong. Apakah Pit loo enghiong tidak menceritakannya padamu?" "Adakah itu benar?" ia menegaskan. "Aku belum bertemu dengan Pit loo enghiong. Cuma Nona Tjio yang menyuruh aku menyambut kau, supaya dengan menunggang kuda kita mencari dia." Tanpa menjawab kata-kata orang, In Loei menanya. "Di mana adanya Pit iooenghiong sekarang?" demikian pertanyaannya. "Menurut nona Tjio, setelah Pit iooenghiong lolos dari bahaya, dia bernaung di tempatnya Na Thian Sek di Imma tjoan. Tempat itu terpisah dari sini kirakira sepuluh lie. Ah, cahaya terang sudah mendatangi, kita mesti lekas berangkat!" Po Tjiang lantas serahkan kuda yang kosong, ia silakan In Loei menaikinya, sesudah mana ia jalan di sebelah depan sebagai pengantar. Mereka kaburkan kuda mereka dan pada waktu fajar sampailah mereka di sebuah lembah. "Inilah selat Tjengliong kiap," Tjek Po Tjiang memberitahukan. Terus ia bersuit tiga kali beruntun. Dengan lantas suitan itu mendapat sambutan. "Itulah nona Tjio sedang mendatangi," kata Po Tjiang. "Pergi kau masuk kelembah untuk papaki dia. Aku sendiri masih hendak pergi kepada Pit Iooenghiong," In Loei menurut, ia turun dari kudanya, ia lantas bertindak ke dalam lembah. Belum jauh ia jalan atau dari satu tikungan ia tampak munculnya satu orang, ialah Tjio Tjoei Hong. Nona itu mendatangi sambil berlari-lari, air matanya bercucuran, begitu datang dekat In Loei, ia lompat menubruk, ia merangkul dengan keras. "Ah, akhirnya kita bertemu pula!....." serunya. In Loei pegangi orang, untuk diajak duduk. "Kau telah janjikan aku untuk bertemu dengan kau," katanya tertawa, "tentunya itu bukan untuk bicara tentang cinta.....” Tjoei Hong cemberut, matanya melotot, tapi ia seka air matanya. "Thian telah melindungi hingga kita telah bertemu pula," katanya dengan perasaan bersukur, "akan tetapi engko Tjioe.....engko Tjioe....." In Loei terkejut. "Engko Tjioe kenapa?" dia tanya. "Aku berkesan keliru terhadap kakak angkatmu itu, dia sebenarnya orang baik hati....." Tjoei Hong jawab. "Katakan lekas, engko Tjioe kenapa?" tegaskan In Loei tanpa pedulikan pengutaraan orang. "Ketika itu hari kau rubuh dari kuda hingga kau kena terkurung," sahut Tjoei Hong dengan ceritanya, "kami telah kembali dengan niat menolongi kau. Tapi kami telah dipotong musuh. Belakangan muncul Thio Hong Hoe. Dia gagal mengejar Pit iooenghiong, dia rintangi aku dan Tjioe Toako. Kami berdua bukan tandingan dari Hong Hoe, baharu belasan jurus, aku telah kena tersampok belakang goloknya hingga aku rubuh dari kudaku, pada saat itu hampir aku kena dibekuk musuh, Tjioe Toako telah berlaku mati-matian menolongi aku. Ia lompat turun dari kudanya, dengan menerjang bahaya terinjak-injak kaki kuda, ia sambar paha Thio Hong Hoe, ia gigit. Karena ini, Thio Hong Hoe mengemplang dengan goloknya, hingga ia pingsan, habis itu, dia naik ke kudanya untuk lari pergi, mungkin untuk mengobati lukanya, hingga aku tidak dikejarnya terlebih jauh." Di antara In Loei dan Tjioe San Bin ada perasaan yang tak menyenangkan mereka, akan tetapi meskipun demikian, mereka menyayangi satu pada lain bagaikan saudara sendiri, maka itu, mendengar keadaan San Bin itu, In Loei kaget dan kuatir. "Kalau begitu, perlu kita lekas pergi menolongi," katanya. "Aku minta kau datang kemari justeru untuk mencari daya buat menolongi dia," kata Tjoei Hong. "Dengar dulu perkataanku. Masih ada satu hal yang aneh sekali. Setelah hari itu aku lolos dari bahaya, lalu kemarin dulu aku bermalam di kecamatan Keekoan. Di situ, pada waktu tengah malam, aku dibikin sadar karena kaget oleh seorang yang bertopeng, yang memancing aku pergi keluar kota. Turut penglihatanku, ilmu silat dia itu ada terlebih liehay daripada aku, tetapi dia tidak mencelakai aku. Setibanya di luar kota, dia lantas tinggalkan aku pergi. Perbuatannya itu membuat aku jadi heran dan berpikir. Baharu besok siang, aku mengerti perbuatannya si orang bertopeng itu. Kiranya malam itu, polisi di kota Keekoan telah dikerahkan tenaganya untuk melakukan penggeledahan umum. Hotel hotel diperiksa teliti, mereka yang berlalu lintas juga ditanyai melit-melit. Menurut kabar, tindakan itu diambil untuk persiapan menyambut seorang besar, untuk menjaga keamanan. Terang sudah, si orang bertopeng itu memancing aku keluar kota karena ia telah mengetahuinya terlebih dahulu tentang akan dilakukannya penggeledahan itu. Dan tentu sekali, dia bermaksud baik." In Loei menjadi heran sekali. "Orang bertopeng..... orang bertopeng?....." katanya tak tegas. "Bagaimana tentang potongan tubuhnya, dia mirip atau tidak dengan orang yang telah nyelusup masuk ke rumahmu dahulu — yaitu si mahasiswa berkuda putih?" "Di waktu malam gelap seperti itu, aku tidak dapat melihat dengan nyata," sahut Tjoei Hong. "Lain dari itu, aku juga tidak memikir tentang mahasiswa berkuda putih itu. Karenanya, tak dapat aku berkata suatu apa." Dengan sendirinya, wajah In Loei menjadi ber-semu dadu. "Aku tahu siapa si orang besar yang hendak disambut di Keekoan itu," ia beritahu. "Mereka adalah utusan bangsa Mongolia serta sekalian pengiringnya. Oleh karena Keekoan ada sebuah kota besar, rupanya dipandang perlu untuk melakukan penggeledahan umum itu." Tjoei Hong heran. "Bagaimana kau ketahui itu?" tanyanya. "Tadi malam aku juga telah melihat orang bertopeng itu," jawab In Loei. "Tentang ini, belakangan saja kita perbincangkan pula. Baiklah kau bicara terlebih dahulu, tentang kau." Tjoei Hong menurut. "Kemarin malam aku telah bertemu dengan satu sahabat dari ayahku," ia berceritera. "Dari sahabat itu, aku dapat tahu Pit Iooenghiong sudah lolos dari ancaman marah bahaya. Lantas aku cari Pit iooenghiong itu. Tidak tahunya, Pit iooenghiong juga telah bertemu dengan si orang bertopeng dan si orang bertopeng itu telah menitipkan sepucuk surat padanya. Pit Iooenghiong berkata, si orang bertopeng itu mirip seperti Thio Tan Hong yang kedua. Kemudian Pit iooenghiong tiba di rumah keluarga Na, di sana pun si orang bertopeng telah meninggalkan suratnya. Oleh karena ia baharu saja terlepas dari bahaya, Pit iooenghiong tidak berniat untuk mencari tahu tentang orang bertopeng itu." "Bagaimana bunyi surat si orang bertopeng itu?" tanya In Loei. "Surat itu mengatakan bahwa si orang bertopeng ketahui rombongan utusan bangsa Watzu itu pergi ke Pakkhia, yang menjadi pemimpin adalah satu pangeran. Dia menduga bangsa Watzu hendak mengajukan suatu permintaan. Benar perhubungan antara Kerajaan Beng dan negara Watzu telah jadi buruk, tetapi kaisar Beng berniat memperbaiki itu, maka juga terhadap utusan Watzu itu, ia menyambutnya dengan gembira, dalam hal tindakan memberi perlindungan. Ia sangat berhati-hati. Surat itu juga mengatakan, si orang bertopeng ketahui Tjioe Toako berada di tangan tentera negeri. Untuk menolongi Tjioe Toako, dia usulkan supaya kita berkumpul, supaya kita cegat rombongan utusan bangsa Watzu itu, untuk menawan si pangeran juga. Dengan tindakan kita ini, jikalau kita berhasil, kesatu kita dapat menolongi Tjioe Toako, dan kedua, pemerintah juga tak usah dengan tundukkan kepala memohon perdamaian dari bangsa asing itu. Lebih jauh surat itu menunjuk, selat Tjengliong Kiap bagus letaknya, berbahaya, maka ia anggap, di sini dapat kita umpetkan diri, untuk mencegat rombongan utusan itu. Si orang bertopeng berjanji, pada saat pencegatan mungkin dia bisa datang untuk memberikan bantuannya." "Bagaimana pikiran Pit Iooenghiong?" In Loei tanya pula. "Ketika Pit iooenghiong ketahui Tjioe Toako tertawan musuh, ia kaget dan kuatir bukan main. Ia tahu, tidak ada waktu lagi untuk mengirim panah loklim tjian, sebab air yang jauh tidak dapat dipakai menolong kebakaran yang dekat. Maka itu ia setuju akan daya yang disarankan si orang bertopeng, tidak peduli tindakan ini sangat berbahaya. Baiklah kita mencobanya. Karena itu Pit iooenghiong minta kita bergantian memasang mata di sini, untuk menunggu ia datang bersama kawan kawannya." In Loei berpikir, hingga tak dapat ia bicara. Ia tahu Tantai Mie Ming gagah luar biasa, sungguh sulit merampas orang di bawah perlindungan dia itu. Selagi ia masih berpikir, si nona tegur padanya. "Apakah jongos hotel telah menyerahkan sanhoe padamu?" demikian tanyanya. "Ya, sudah," jawab In Loei. "Justeru sekarang masih ada tempo, ingin aku tanya kau suatu hal," kata pula Nona Tjio. "Apakah itu?" In Loei balik menanya. Tjoei Hong mengawasi. "Sepanjang jalan ini, bagaimana sikapmu terhadapku, kau tahu sendiri," ia kata. "Meskipun kita ada suami isteri, yang benar adalah tak pernah kau perlakukan aku sebagai isterimu, bukan?" "Ah, mengapa di waktu begini kau menanyakan urusan itu?" tanya In Loei, romannya tidak wajar, agaknya dia bingung. "Sudah sekian hari hatiku pepat," Tjoei Hong akui. "Aku adalah seorang dengan perangai terburu napsu, maka urusan ini tidak bisa aku tidak menanyakannya dengan jelas." In Loei kewalahan. Ketika itu matahari sudah mulai muncul, maka dapat dipercaya, perutusan Watzu akan segera tiba di selat. Karena ini, In Loei jadi bertambah tidak bernapsu akan bicara tentang perhubungan mereka sebagai suami isteri. Tibatiba ia tertawa, kedua biji matanya pun berputar. "Entjie Hong!" katanya, riang gembira, "aku mengerti maksudmu. Kau suruh si jongos menyampaikan sanhoe padaku ialah agar.....” ia berhenti, agaknya ia tengah berpikir. Tjoei Hong memotong: "Ialah untuk menanyakan pikiranmu. Umpama kata kau tidak suka padaku, sanhoe itu kau simpan, untuk diserahkan pada lain orang. Seandainya kau.....” In Loei pun memotong: "Entjie Hong, sanhoe ini adalah kepunyaanku untuk kau, selaku pesalin, cara bagaimana itu dapat diserahkan kepada lain orang? Sekarang, dengan tanganku sendiri, aku serahkan pula padamu." Tjoei Hong terhibur, ia terima batu permata itu. Tiba-tiba saja, In Loei berkata secara sembarangan: "Ah, Tjioe Toako benar-benar seorang yang baik..... Bukankah aku tidak mendustai kau?" Tjoei Hong tercengang, lekas ia tunduk, hingga ia tampak pada sanhoe itu, dilembaran bunga yang ketiga, ukiran huruf "Tjioe". Lantas saja wajahnya berubah. Tadinya nona Tjio ini hendak bicara, segera ia tercegah oleh berisiknya suara serombongan kuda dan orang yang mendatangi di luar selat, yang terus memasuki selat itu. Dengan lantas In Loei dan Tjoei Hong sembunyikan diri di antara batu besar yang berdiri tegak bagaikan rebung, dari situ mereka tampak serombongan kecil barisan serdadu sebagai pembuka jalan. Di sana terlihat si pangeran Mongolia berjalan dengan merendengkan kudanya bersama Tantai Mie Ming. "Celaka, mereka telah tiba!" berbisik Tjoei Hong pada In Loei, agaknya ia terkejut. "Pit To Hoan sendiri masih belum datang....." Si pangeran mainkan cambuknya, di atas kudanya itu, ia tampak bangga atas dirinya sendiri. Selagi rombongan itu berjalan terus, tiba-tiba terdengar orang menyanyikan satu lagu rakyat Mongolia — si penyanyi tengah mendatangi dari arah depan, memapaki rombongan itu: "Aku adalah garuda dari tanah datar berumput, Sayapku terbuka membiak angin dan mega..... Di waktu pagi, aku terbang kesungai Onan, Di waktu malam, aku menginap di kota Karim. Tiga bulan telah aku terbang, Tak dapat aku bebas dari tangan Khan Terbesar!" Itulah nyanyian rakyat Mongolia yang memuji Khan mereka yang terbesar yaitu Genghis Khan. Mendengar itu, si pangeran jadi gembira bukan main. Tidak ia sangka, di tempat asing ini, dapat ia menemui bangsanya sendiri dan mendengar nyanyian yang paling dibanggakan. Maka segera ia tahan kudanya, ia lompat turun. "Untuk membangun pula kebesaran Khan Terbesar, itu harus dilihat dari kita!" kata ia pada Tantai Mie Ming. Kemudian ia berikan titahnya: "Coba panggil orang Mongolia itu." Masih orang tadi bernyanyi pula: "Tangan Khan Terbesar menungkrap bumi, Di masa hidupnya dia sangat kenamaan, Tetapi dia toh mati dan kembali ke tanah, Luas tanahnya tak lebih daripada satu kuburan.....” Lagu ini dinyanyikan dalam bahasa Mongolia, akan tetapi itu bukannya nyanyian rakyat Mongolia seperti yang pertama itu. Inilah lagu karya si penyanyi sendiri. Mendengar itu, pucat muka si pangeran. Sementara itu si penyanyi telah datang dekat. "Apakah kau datang dari Mongolia?" tanya pangeran ini. "Lagumu yang belakangan itu belum pernah aku mendengarnya. Dari mana kau dapat nyanyian itu?" Penyanyi itu memakai karpus Mongolia, yang pinggirannya terbuat dari kulit kambing hingga menutupi mukanya dan yang tampak hanya sepasang matanya yang tajam. Pakaiannya pun pakaian rakyat Mongolia, hanya dipakainya di tanah daerah Tionggoan hingga nampaknya asing dan, menyolok mata sekali. Tapi ditanya demikian, dia menjura. "Itulah lagu yang istimewa kubuat untuk kau mendengarnya," demikian jawabannya. Lalu habis berkata begitu, sebelah tangannya bergerak bagaikan kilat, menyambar lengan bawah dari si pangeran, bahagian nadinya! Tantai Mie Ming telah siap sedia untuk segala kejadian, dia sangat teliti dan cerdik, dia mempunyai mata yang tajam sekali, begitu ia tampak orang bergerak, begitu dia bergerak juga dengan sikutnya. Si penyanyi itu rubuh sambil menarik si pangeran, demikian keras cekalannya, sampai setelah jatuh bersama, masih ia tidak hendak melepaskannya. Tantai Mie Ming bergerak pula, pesat bagaikan angin kakinya menendang, tangan kanannya menyambar. Si penyanyi menggulingkan tubuhnya, untuk mengegoskan diri dari dua serangan berbareng, akan tetapi dia kalah sebat, tangan Mie Ming telah menyambar lehernya. Si pangeran sendiri juga liehay, dengan gunakan ketika yang baik itu, ia menyerang dengan tangan kirinya yang bebas dari cekalan, sedang dengkulnya dipakai mendengkul perut orang. Diserang secara demikian, terpaksa si penyanyi lepaskan cekalannya, dia lompat, justeru untuk menyambut kepalan Mie Ming, yang telah menyerang pula padanya. Ia berhasil meloloskan lehernya dari jambakan. Waktu lompat dan menginjak tanah, tubuhnya limbung, akan tetapi atas desakan, ia melawan terus hingga dua tiga gebrak. Nyata ia pandai ilmu silat Mongolia, ilmu Taylek Kimkong Tjioe! In Loei kaget dan heran tidak terkira. "Dialah si orang bertopeng!" serunya. Ia tidak lihat tegas roman orang tapi ia seperti mengenalnya, cuma tak ingat ia, siapa orang itu dan di mana mereka pernah bertemu. Tantai Mie Ming bergerak lincah bagaikan kera, kepalannya menyambarnyambar bagaikan tubrukan harimau, dengan cara itu dia membuat si penyanyi tidak dikenal itu mesti senantiasa mundur dengan terpaksa. Cuma kepalannya perdengarkan suara angin tak kalah hebatnya, tak kalah berbahayanya, walaupun ia main mundur ilmu silatnya tidak menjadi kacau. In Loei menjadi gelisah memikirkan orang yang tak dikenal ini. "Dia tak mirip dengan Thio Tan Hong....." katanya dalam hatinya. "Dia dapat melayani Tantai Mie Ming secara begini gigih, kepandaiannya tidak ada di bawahan Tan Hong....." "Juga aneh," si nona berpikir terlebih jauh. "Bukankah kemarin malam Tantai Mie Ming seperti memberi ketika untuk dia menyingkirkan diri tapi kenapa sekarang Mie Ming membela mati-matian pangeran Mongolia itu? Sungguh aneh.....” Setelah dia menang di atas angin, Tantai Mie Ming lanjutkan terus desakannya. Pahlawan-pahlawan Mongolia ketahui baik lihay-nya Mie Ming dan sifatnya juga, yaitu di waktu bertempur, tak sudi Mie Ming dihantui, maka itu, mereka tonton pertempuran itu. Tidak demikian dengan dua anggauta Gielim koen, mereka ini hendak mencari muka, dengan lantas mereka maju dari kiri dan kanan, untuk menyerang secara curang. Dengan sekonyong-konyong Tantai Mie Ming berhenti menyerang. "Minggir!" dia berseru. Akan tetapi selagi jago Mongolia ini membentak, si penyanyi dengan tidak menyia-nyiakan sedetik juga ketikanya yang baik itu, sudah bergerak pula dengan ilmu silat Thaylek Kimkong Tjioe. Maka sekejap saja, kedua serdadu Gielimkoen itu kena disambar, untuk terus dilemparkan ke lembah! Habis itu, tak menunda pula, penyanyi ini kembali maju, untuk tempur Tantai Mie Ming. Ia tidak menjadi jeri walaupun tadi ia kena didesak hebat lawannya yang tangguh itu. Setelah beberapa jurus, Tantai Mie Ming beseru dengan nyaring sekali, seruan itu dibarengi dengan gerakan tangannya. Dengan telak si penyanyi kena dihajar pundaknya, atas itu, dia rubuh terguling, mental sampai sejauh satu tombak, ketika ia lompat bangun pula, tubuhnya limbung dan terhuyung. Tantai Mie Ming tidak maju pula untuk meneruskan serangannya, dia Cuma tertawa riang. Adalah beberapa pahlawan Mongolia lainnya, yang maju dengan berbareng untuk mencekuk si penyanyi itu. Adalah di saat itu, mendadak terdengar suara sangat riuh, dari muncul dan merangsaknya, serombongan orang, hingga pasukan depan si pangeran menjadi kacau dengan lantas. Itulah rombongannya Pit To Hoan, yang telah dating dengan tepat dan membuat tentera negeri tak dapat merintangi mereka. Tantai Mie Ming lompat maju, segera ia cegat Pit To Hoan, hingga mereka jadi bertempur satu sama satu. Dengan tipu silat "Mega melintang, memotong puncak gunung," jago Mongolia ini menurunkan tangan jahat. Pit To Hoan yang bersenjatakan tongkat Hang-liong koen, membebaskan diri, habis mana, ia pun membalas, dengan menotok jalan darah tjiangboen hiat, mengarah kedua mata lawannya. Gelaran Tjinsamkay tersohor selama beberapa puluh tahun karena liehay ilmu silat tongkatnya. "Bagus!" berseru Tantai Mie Ming. Dengan gerakan tubuhnya, ia membuatnya tongkat To Hoan kehilangan sasarannya. Malah sebaliknya, hampir Tjinsamkay kena dijambret, syukur dia keburu tancap kaki dengan ilmunya "Tjinkin twie" — "Berat seribu kati," berbareng dengan mana, tongkatnya menyambar pula! Mau atau tidak, Mie Ming terkejut juga. Selagi keadaan kacau itu, si penyanyi dapat melabrak pengepungnya, hingga beberapa orang kena dirubuhkan, hingga ia mendapat ketika untuk lolos dari kepungan. In Loei kerutkan alis, ia sangat tidak mengerti. Penyanyi itu demikian bernyali besar, seorang diri dia serang si pangeran, tapi sekarang, justeru datang bala bantuan, mengapa dia singkirkan diri. Dan kaburnya pun sangat cepat seperti angina menuju ke arah ia! In Loei tak dapat menahan lagi hatinya, dia lompat keluar dari tempatnya sembunyi. "Kau siapa?" ia menegur selagi ia papaki penyanyi itu. Orang itu tidak membuka mulutnya, ia justeru menyahuti dengan satu kepalannya. Dalam herannya, In Loei berkelit, sesudah mana, ia hunus pedangnya. "Tidak membantu kawan, itulah perbuatan tidak bejik!" kata In Loei. "Mari kita maju untuk membasmi musuh!" Melihat In Loei menghunus Tjengbeng kiam yang tajam luar biasa, si penyanyi juga cabut goloknya, dengan sepasang mata mencorong, ia terus saja membacok. Kembali In Loei menjadi heran, akan tetapi ia menangkis. Habis menyerang, si penyanyi memutar tubuhnya, untuk lari. Tjoei Hong juga lompat keluar. "Sungguh seorang aneh!" katanya. In Loei memandang kekalangan pertempuran. "Baik kita jangan memperhatikan dia," kata nona In. "Mari kita bantui Pit Iooenghiong1." Waktu itu Tantai Mie Ming dan Pit To Hoan bertarung seru selama beberapa puluh jurus, bedanya adalah Mie Ming bertangan kosong, To Hoan bersenjatakan toya. "Bagus!" seru Mie Ming selagi mereka bertempur terus. "Sejak aku menginjak tanah daerah Tionggoan, kau adalah hohan yang pertama-tama aku menemuinya. Sekarang hendak aku menggunakan senjata!" Dan segera ia cabut sepasang gaetannya dengan apa ia tangkis toya Pit To Hoan hingga terpental, setelah itu, ia balas menyerang, terus ia mendesak. Nampaknya To Hoan repot, hingga, melihat itu, In Loei berseru: "Celaka!" Lantas ia maju menerjang. Apa mau ia telah dicegat beberapa musuh, benar ia dapat menahas golok musuh, tapi ia toh kena dilihat oleh dua pahlawan Mongolia, hingga ia mesti melayani dulu mereka itu, yang dua-duanya bersenjatakan gegaman berat yang sulit untuk ditabasnya kutung. Na Thian Sek, Tjek Po Tjiang dan Tjio Tjoei Hong beramai juga menemui tandingannya masing-masing, mereka telah dikurung hingga tak dapat mereka rapatkan diri, untuk berkumpul menjadi satu. Pit To Hoan telah mengeluarkan seantero kepandaiannya, masih ia tidak mampu undurkan Tantai Mie Ming, siangkauw-nya, sepasang gaetan, bergerak-gerak cepat bagaikan ular naga keluar dari laut atau burung garuda mengejar mega..... Beberapa kali Hangliong pang hampir saja kena digaet terlepas. "Aku tidak sangka aku akan terbinasa ditangan orang Ouw ini....." kata To Hoan dalam hatinya, saking berduka. Dalam saat sangat tegang itu bagi pihak penyerbu, mendadak serdadu-serdadu pengiring pangeran berteriak-teriak, semua lari berserabutan, di antara itu terdengar suara menggelugur berulang-ulang, yang menggetarkan selat. Ketika In Loei memandang ke atas bukit, ia tampak perbuatan luar biasa dari si penyanyi yang dandan sebagai orang Mongolia itu, siapa dengan tenaganya yang kuat, satu demi satu batu-batu yang besar dia tolak hingga menggelinding jatuh kebawah bukit hingga melanggar para tentara pengiring, yang menyebabkan mereka berlarian menyingkirkan diri. Selat Tjengliong Kiap terletak di antara kedua bukit yang tinggi, selatnya sempit, dengan bergeluntungan batu-batu besar, maka bahaya itu sangat mengancam, siapa kena dilanggar, tak dapat di kira-kirakan bencana yang dia dapatkan, maka musuh semua buyar, lari berserabutan. Juga pahlawan-pahlawan Mongolia jadi kaget dan ketakutan. In Loei gunakan ketikanya, ia rubuhkan satu di antara dua lawannya, setelah yang kedua mundur, ia lari ke arah Tantai Mie Ming, siapa terus ia serang, malah dengan cara mendesak. "Ha, kembali kau, nona cilik!" seru Mie Ming, yang dengan gaetan kirinya mencoba menempel Tjengbeng kiam. "Mari kita mundur!" kata Pit To Hoan pada In Loei. Sambil mengucap begitu, ia tangkis serangannya Mie Ming, lalu ia mundur dengan cepat, sedang In Loei dapat ketika untuk mundur bersama. Tantai Mie Ming lompat untuk mengejar, tapi baharu ia lari dua tindak, di sebelah depannya, sebuah batu besar menggelinding turun, tepat menjurus padanya. Dalam keadaan seperti itu, ia pasang kuda-kudanya, ketika batu sampai, ia menahan dengan kedua tangannya, lalu dengan mengerahkan tenaganya ia tolak batu itu, hingga batu itu terpental, menimpa batu lainnya yang menerbitkan suara gemuruh, hancurannya terbang ke segala penjuru. Ketika ini digunakan oleh Pit To Hoan beramai akan singkirkan diri ke atas bukit. Tantai Mie Ming masih hendak mengejar, ia dicegah si pangeran. "Tantai Tjiangkoen, sudahlah, jangan kejar mereka!" kata pangeran ini, yang hatinya ciut. Ia juga kuatirkan musuhnya mengatur barisan sembunyi. Pit To Hoan beramai telah lari terus mendaki bukit. "Hoohan, tunggu!" ia teriaki penolongnya. Si orang tidak dikenal yang dandan sebagai orang Mongolia itu telah menantikan sampai To Hoan semua tiba di tengah bukit, tiba-tiba ia perdengarkan suitan panjang, habis mana, ia lari turun ke belakang bukit. Maka ketika To Hoan sampai di atas, orang aneh itu sudah tak nampak sekalipun bayangannya. "Sungguh aneh!" kata Tjinsamkay. Karena terpaksa, ia ajak kawan-kawannya turun gunung, akan kembali ke rumah keluarga Na di mana mereka bicarakan hal si orang luar biasa itu. Mereka menduga-duga. Cuma dalam satu hal mereka sependapat, bahwa orang aneh itu adalah si orang bertopeng..... "Bukan cuma dia yang aneh, juga si orang Ouw," kata To Hoan kemudian. "Ketika kita mulai lari, Tjek Laotee sudah lari lebih dahulu, apabila batu gunung itu jatuhnya ke belakang sedikit, sudah pasti Tjek Laotee terancam bahaya besar." "Mungkin, untuk menghindarkan tentera negeri bercelaka maka dia berbuat demikian," kata Tjek Po Tjiang. Mendengar semua pembicaraan itu, In Loei tertawa. "Dia bukannya orang Ouw, dia adalah Tantai Mie Ming!" ia beritahu. "Dia adalah orang Han yang menjadi besar di Mongolia." Pit To Hoan kerutkan alis. "Walaupun aku benci sangat turunannya Tjoe Goan Tjiang," berkata jago tua ini, "akan tetapi siapa membantu bangsa Ouw, apapula dia bernama Mie Ming, dia sungguh menyebalkan! — Aku benci padanya!" "Mie Ming" itu, atau "Biat Beng," artinya: "Memusnakan ahala Ming (Beng)." In Loei juga tuturkan halnya Tantai Mie Ming yang sengaja membiarkan dia dapat loloskan diri. Kembali orang ramai bicarakan sikapnya Mie Ming itu. "Tentang si orang aneh, lain kali saja kita selidiki asal usulnya," kata To Hoan kemudian. "Tentang sikap Tantai Mie Ming, kita juga baik tunda dulu. Sekarang ini yang paling perlu adalah dengan cara bagaimana kita dapat menolongi San Bin." Mereka itu bungkam, tidak ada yang mendapat pikiran baik. "Oleh karena kita tidak peroleh daya, terpaksa kita mesti gunakan kekerasan!" kata In Loei akhirnya. Kita merampas kereta persakitan di tengah jalan!" "Jumlah tentera pengiring sangat besar," Tjek Po Tjiang peringatan, "juga terdapat tiga pahlawan nomor satu dari kota raja, aku kuatir bukan saja kita tidak akan berhasil, mungkin kita akan nampak kerugian.....” "Sekarang baiklah kita selidiki dahulu," To Hoan usulkan kemudian. Demikianlah mereka bekerja. Pada waktu magrib, penyelidik telah kembali dengan warta yang diperolehnya: Thio Hong Hoe telah menugaskan Khoan Tiong mengepalai sebagian besar serdadu-serdadu Gielim koen serta anggauta Kimie wie, untuk membantu menyapu pelbagai pasanggrahan, sedang dia sendiri bersama Hoan Tiong, dengan mengajak kira-kira tujuh puluh serdadu Gielim koen, sudah berangkat mengiringi orang-orang tawanan pulang ke kota raja. "Besok mereka akan lewat di sini," demikian mata-mata itu mengakhiri laporannya. "Bagus!" seru To Hoan dengan girang. "Biarlah besok kita ambil sikap keras terhadap mereka itu!" -ooo0dw0ooo- BAB XII Malam itu In Loei merasa gelisah, tak dapat ia tidur pules. Ia sangat berduka mengingat San Bin berada dalam tangan musuh. "Besok, sekalipun masti mengadu jiwa, aku mesti tolongi dia!" ia berpikir. Segera ia bayangkan bagaimana San Bin menghendakinya supaya mereka berdua bersikap sebagai kakak beradik satu dengan lain. Ia pun merasa tidak tenteram mengenai kesan San Bin terhadap dirinya. "Untukku berkorban guna menolongi dia, ada urusan gampang," ia berpikir lebih jauh, "akan tetapi untuk aku terima cintanya, itulah tak dapat.....” Waktu itu ia dengar suara batuk-batuk dari Tjoei Hong, yang tidur di kamar sebelah. Ia duga, nona Tjio juga sedang berpikir keras maka nona itu masih belum tidur pules. Tertawalah In Loei seorang diri ketika ia ingat tingkah lakunya Tjoei Hong yang sangat menyintai ia, yang "tergila-gila" terhadapnya. Karena ini, terbayanglah Tjoei Hong dan San Bin di depan matanya. Maka ia tertawa dalam hatinya dan berkata: "Baik, begini harus aku bekerja! Mereka itu mesti dipadukan satu pada lain, dengan begitu terhindarlah aku dari segala kesulitan!.....” Baharu lenyap bayangan San Bin dan Tjoei Hong, atau sekarang berpetalah bayangan dari Thio Tan Hong, si mahasiswa berkuda putih. Ini bukan lagi satu kesulitan, ini adalah "hal yang sangat hebat"..... Bimbang hati In Loei, sampai ia tak dapat memikir suatu apa, ia rasakan otaknya seperti kosong. Tidak mau ia memikirkannya terlebih jauh, tidak berani ia mengingat-ingat pula si anak muda..... Di hari kedua pagi-pagi, Pit To Hoan sudah siap sedia. Ketika In Loei muncul di thia, ruang luar, di sana telah berkumpul kawan-kawan mereka. "Kami telah mendapat keterangan jelas," berkata To Hoan, "Thio Hong Hoe bersama Hoan Tiong telah pimpin lima puluh serdadu Gielim koen, mereka mengiring enam buah kereta persakitan, di antaranya ada sebuah yang besar istimewa, selama dalam perjalanan, Hong Hoe di atas kudanya tak pernah berpisah jauh dari kiri kanannya kereta istimewa itu, keras sekali penjagaannya. Maka itu aku duga, tawanan dalam kereta itu mestinya keponakan San Bin. Mengenai usaha kita ini, tak keburu kita mengirim pula berita loklim tjian. Jumlah orang-orangnya saudara Na serta saudara-saudara yang berada di dekat sini ada lebih daripada empat puluh jiwa, aku anggap jumlah ini sudah cukup. Thio Hong Hoe memang liehay, tetapi aku rasa, dengan aku berdua In Siangkong yang melayani padanya, mungkin kita dapat mempertahankan diri. Tjengliong Kiap ada selat berbahaya, maka kita pun dapat menggunakan akalnya si orang aneh yang kemarin menggelindingkan batu-batu dari atas bukit". "Jika kita menyerang dengan batu besar, apa tak kuatir kita nanti mengenai kereta-kereta persakitan?" tanya Na Thian Sek. "Jangan kita pakai batu yang besar-besar," To Hoan beritahu. "Kita pakai batu-batu koral sebesar telur ayam, dengan itu kita melempari kalang-kabutan pada tentera negeri. Maksud kita adalah untuk membuat mereka kalut, supaya perhatiannya menjadi kacau balau. Na Tjeetjoe, nona Tjio, silakan kamu pimpin belasan saudara, untuk mendaki bukit, guna mengacau musuh itu. Barangkali tentera negeri itu akan sampai di lembah pada waktu tengah hari, maka sekarang juga kita boleh bersiap sedia. Mari kita berangkat!" Segera rombongan itu keluar dari thia, akan naiki kudanya masing-masing dan mulai berangkat. In Loei larikan kudanya berdampingan dengan Tjinsamkay Pit To Hoan. "Pit Lootjianpwee, kenapa kau tidak pakai kuda putih" tanya nona ini. Memang To Hoan tidak pakai kuda putih itu. Ia tertawa. "Telah aku kembalikan kuda itu pada pemiliknya!" ia jawab sambil tertawa. "Apa? Kapan Thio Tan Hong bertemu pula dengan iootjianpwee?" tanya In Loei heran. "Tjiauwya saytjoe ma benar-benar kuda yang sangat luar biasa," jawab To Hoan. "Sifatnya cerdas sekali. Hari itu dia dititahkan majikannya untuk membawa aku kabur, dia telah meloloskan aku dari bahaya, habis itu dia berbenger tidak hentinya, tak mau dia tunduk lagi terhadap aku. Tahulah aku, dia ingat pada majikannya, maka aku lepaskan dia pergi sendirian." "Bagaimana iootjianpwee bisa ketahui dia pasti akan dapat mencari majikannya?" In Loei tanya pula. "Apakah tidak sayang umpama kata dia dicegat orang jahat di tengah jalan?" To Hoan kembali tertawa. "Adalah biasanya kuda perang yang baik dapat mencari majikannya sendiri," ia kata, "apapula Tjiauwya saytjoe ma ada seekor kuda yang luar biasa sekali. Lagi pula, siapa yang tidak liehay luar biasa, tidak nanti dia sanggup mencegat kuda jempolan itu!" In Loei memang ketahui kecerdikan kuda itu, akan tetapi karena ia pikirkan sangat Tan Hong, ia jadi berkuatir juga. Habis berbicara, To Hoan tertawa pula. "In Siangkong," kata dia, kalau nona Tjio tidak memberitahukannya kepadaku, sungguh aku tidak ketahui Thio Tan Hong itu adalah musuh besarmu turun temurun....." Muka In Loei merah. Ia tidak menjawab. Untuk menyingkir dari To Hoan, ia bunyikan cambuknya hingga kudanya lompat kabur. Heran To Hoan menyaksikan kelakuan orang itu. Ia lantas menduga pada sesuatu hal. Karena ini, ia tidak menanyakan terlebih jauh. Tidak lama berselang, sampailah mereka di selat, lantas mereka masuk ke dalam lembah. Seperti telah direncanakan, To Hoan lantas atur rombongan yang mesti sembunyikan diri, habis mana mereka terus menantikan sang waktu. Tepat selagi matahari mulai condong kebarat, dari arah depan datang warta pemberitahuan dari juru pengintai: "Sudah datang! Sudah datang!" Semua orang segera menyiapkan senjatanya masing-masing, tegang hati mereka selagi mereka memasang mata, menanti-nanti. Mereka tidak usah menunggu lama atau mereka lantas nampak lerotan dari enam buah kereta persakitan serta barisan serdadu pengiringnya. Perlahan bergeraknya lerotan itu. "Itulah kereta yang di tengah!" To Hoan kata pada In Loei sambil menunjuk. In Loei mengawasi dengan tajam. Tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring dari Thio Hong Hoe, sambil berkata dengan keras: "Untuk merampas persakitan, inilah saatnya!" To Hoan dan In Loei jadi terperanjat. Nyata, dengan begitu, komandan Kimie wie itu telah menduga maksud mereka dan telah bersedia-sedia untuk menyerbu tukang cegat. Tapi anak panah telah dipasang dibusurnya, tak dapat jikalau tidak terus dipanahkan. Maka To Hoan memberikan isyaratnya. Segera rombongan-rombongan yang bersembunyi munculkan diri. Thio Hong Hoe dengan sebat mengatur barisannya, untuk melindungi kereta-kereta, guna menyambut serangan. Dengan berani To Hoan maju di muka rombongannya, untuk menyerbu. Barisan Gielim koen adalah barisan yang terpilih, mereka sudah terdidik, maka itu rapi perlawanan mereka, tidak peduli rombongan dari Na keetjhoeng ada tangguh, mereka tidak dapat segera digempur hancur, mereka dapat membuat perlawanan yang gigih. Kembali terdengar tertawa nyaring dari Thio Hong Hoe. "Tjinsamkay, orang tua she Pit!" demikian suaranya itu, yang berupa ejekan. "Kemarin ini aku telah membiarkan kau lolos, kenapa sekarang kau berani antarkan diri masuk ke dalam jaring?" Pit To Hoan tahan kudanya. Ia pun bersikap dingin. "Lihat saja siapa yang masuk ke dalam jaring!" sahutnya. Lalu dengan mendadak ia perdengarkan suitan nyaring, yang berkumandang di dalam lembah sampai umpama kata burung-burung kaget dan pada terbang..... Itulah tanda rahasia untuk rombongan tersembunyi di atas bukit, tanda untuk mereka itu mulai turun tangan. Menyambut tanda rahasia itu, Na Poo Tjiang segera perlihatkan diri, di belakangnya ada rombongannya. Belum lagi Poo Tjiang bergerak, atau sekonyong-konyong terdengar suara dari sambar-menyambarnya pelbagai senjata rahasia, hingga ia jadi kaget sekali. "Celaka!" serunya. Juga banyak batu-batu ditimpukkan ke arah rombongan Na keetjhoeng ini. Nyata pihak penyerang dipimpin Hoan Tiong, Gietjian siewie yang menjadi salah satu dari tiga jago nomor satu dari kota raja. Dia mempunyai senjata rahasia "bor terbang" — hoeitjoei. Tjek Poo Tjiang adalah ahli senjata rahasia, walaupun demikian, tidak dapat ia tidak berlaku hati-hati untuk melayani musuh, sedang orang-orangnya menjadi repot, karena mereka kalah desak. Pertempuran dilakukan terutama dengan main saling timpuk batu. Oleh karena serangan di luar dugaan itu, barisan bersembunyi ini jadi tidak mampu membantu kawannya di dalam lembah, untuk membokong tentera negeri. Thio Hong Hoe merasa sangat puas, hingga ia tertawa berkakakan. "Satu panglima, mana boleh tak memeriksa keletakan tempat!" katanya, jumawa. "Satu panglima mesti senantiasa berjaga-jaga! Tjinsamkay, dalam ilmu silat kau liehay tetapi kau kurang membaca kitab perang!" Pit To Hoan jadi sangat mendongkol, ia seperti ngamuk dengan toya Hangliong pang-nya, setelah menyampok beberapa senjata musuh, sambil maju, tangan kirinya menyambar satu musuh yang ia cekuk, habis mana bagaikan entengnya rumput, tubuh itu dilemparkan jauh. In Loei di lain pihak juga sudah menerjang hebat, dengan dua bacokan, ia rusakkan seragam besi orang, hingga musuh-musuh yang berada di depannya terpaksa harus mundur. Dengan begitu, dapat ia merangsak seperti Pit To Hoan. Thio Hong Hoe memimpin dengan tabah, dengan memberikan isyaratnya, barisannya terpecah dua, membiarkan To Hoan dan In Loei menyerbu di antara mereka. Satu pasukan lainnya mencegat majunya rombongan perampas persakitan itu. (bersambung Jilid 2) CATATAN 1) halaman 129--Tjio Eng adalah keturunan dari Tjio Thian Tok (perwira bawahan Thio Soe Seng, leluhur Thio Tan Hong), sedangkan lukisan yang berada di rumah Tjio Eng lalu diambil Thio Tan Hong adalah peta harta peninggalan Thio Soe Seng. Lukisan itu sebelumnya berada di rumah In Boe Yang, lalu oleh istri In Boe Yang diserahkan kepada Tjioe Eng, kejadian ini diceritakan di Hoan Kiam Kie Tjeng (Sebilah Pedang Mustika). Lukisan itu adalah lukisan yang dilihat In Loei dan Tjio Tjoei Hong sewaktu dipanggil Tjioe Eng naik ke atas loteng. 2) halaman 142--"Kapu-kapu telah hanyut, untuk apa menanyakan tentang sumber asalnya?" Thio Tan Hong adalah turunan dari Thio Soe Seng, pada waktu Thio Soe Seng kalah perang dan terbunuh, perwira bawahannya, Tjio Thian Tok (ayah Hongthianloei Tjio Eng) berhasil melarikan anak Thio Soe Seng ke luar perbatasan (Mongolia), anak itu adalah kakek Thio Tan Hong. Baca Hoan Kiam Kie Tjeng (Sebilah Pedang Mustika) 3) halaman 252 — Ternyata urusan peta bumi ini kembali muncul di cerita berikutnya, Sanhoa Liehiap (Pendekar Wanita Penyebar Bunga), kali ini turunan keluarga Pit yang tidak mau kalah dengan keluarga Tjoe dan Thio untuk menjadi kaisar. Sebab dari tiga murid Pheng Hweeshio, Tjoe Goan Tjiang dan Thio Soe Seng sudah mencicipi tahta kerajaan, hanya keluarga Pit yang belum. Turunan keluarga Pit itu juga merasa lebih berhak atas peta tsb, karena leluhurnya ikut membuat. -ooo00dw00ooo- Seri ke 2 Thiansan Karya : Liang Ie Shen Saduran : OKT Ebook oleh : Dewi KZ --- http://zheraf.net/ --- Jilid 2 Bab XII (lanjutan) Dengan membelakangi kereta persakitan, Hong Hoe menuding To Hoan dengan golok Biantoo-nya, sambil tertawa, ia kata: "Tjinsamkay mari kita bertempur pula tiga ratus jurus!" Kemudian ia melirik pada In Loei sambil menambahkan: "Bagus, bagus, kau pun datang bersama. Baiklah kamu boleh maju berbareng! Aku sendiri, aku tidak membutuhkan lain pembantu!" To Hoan rasakan mukanya menjadi panas sekali, ia gusar tak kepalang. "Hari ini kita bertempur untuk kawan masing-masing!" ia kata dengan sengit. "Tidak peduli jumlah kamu jauh terlebih besar, hendak aku adu jiwaku!" Lalu dengan jurus "Honghouw inliong’ "Harimau di antara angin dan naga di dalam mega," ia menyerang hebat sekali dengan toya-nya, anginnya pun menyambar keras. Dengan tubuh tidak bergerak dari tempatnya berdiri, Thio Hong Hoe tangkis serangan toya Tjinsamkay, begitu pula ketika In Loei menikam, ia halau ujung pedang Tjengbeng kiam itu, sesudah mana dengan kegesitannya, ia balas menyerang, beruntun tiga kali. Diam-diam Tjinsamkay mengeluh dalam hatinya. Serangan dahsyatnya telah gagal. Siapa tahu, musuh ada terlebih hebat daripadanya, tak peduli ia berdua. Terpaksa ia ubah caranya bersilat, satu kali ia menyampok sambil memutar tubuhnya. In Loei di lain pihak memperlihatkan kepesatan-nya bergerak, ia menyerang seperti kawannya, sama sekali tak sudi ia kalah desak. Hong Hoe tangguh, dibanding dengan To Hoan, ia menang satu tingkat, maka itu dengan tambah lawan dalam dirinya nona In, berselang tiga puluh jurus, repot juga ia, hingga ia terdesak mundur. In Loei cerdik sekali, menggunakan ketikanya yang baik, dengan kegesitannya, ia tinggalkan lawannya, yang ia biarkan dilayani To Hoan, ia sendiri lompat melesat ke kereta persakitan. Tegang hati si nona. Tidak ia sangka, Hong Hoe dapat dilewatkan secara demikian mudah. Ia merasa curiga juga. Apakah benar Hong Hoe demikian alpa? Akan tetapi, dalam keadaan itu, tak sempat In Loei berpikir lama. Maka juga, dengan cepat ia singkap penutup kereta persakitan itu! Di dalam kereta terdapat satu tubuh orang yang merengket, karena kereta ditutupi kain penutup, maka orang tak dapat melihat dengan jelas. Walaupun begitu, In Loei menjadi sangat girang. "Tjioe Toako." ia berseru. Dan ia pindahkan pedangnya dari tangan kanan ke tangan kiri, lalu dengan tangan itu ia menyambar tubuhnya San Bin. Tiba-tiba tubuh yang merengket itu perdengarkan tertawa iblis "Hm! Hm!" Tubuh itu pun berbangkit, sebelah tangannya menyambar, menyekal keras lengannya In Loei di bahagian nadi. Tidak terkira kagetnya si nona. Sungguh ia tidak menyangka. "Silakan masuk!" terdengar tubuh merengket itu bersuara sambil terus menarik dengan keras. Tanpa ia berkuasa, tubuh In Loei tertarik masuk ke dalam kerangkeng. Ketika ia terbetot pedangnya di tangan kiri itu menyambar tenda hingga tenda itu robek dan mendatangkan cahaya terang. "Ah, kiranya kau?" seru orang yang merengket itu, agaknya ia terkejut. In Loei cerdik, ia tidak menjadi gugup, selagi orang tercengang, pedangnya digerakkan, menikam tangan orang. Orang itu kaget, ia lepaskan cekalannya, terus ia lompat keluar dari kerangkeng. Atas itu, In Loei lompat keluar juga. Sekarang, di udara terbuka In Loei dapat melihat dengan tegas orang yang tubuhnya merengket itu yang memakai kopiah menutupi mukanya, hingga tampak hanya sepasang matanya yang jelilatan tajam. Nyata dia adalah si gembala bangsa Mongolia yang kemarin ini — ialah orang yang menyerang si pangeran asing. Tak berjauhan jaraknya ia berdiri berhadapan dengan orang itu, masih nona In mengawasi dengan tajam. Ia melihat tegas sekali. Maka tidak salah, orang ini, yang tubuhnya kurus, adalah si orang bertopeng juga! Ia menjadi girang berbareng heran. "Tahukah kau dikereta mana adanya Tjioe Toako?" ia tanya. Ia pikir, orang ini mesti ada kawannya sendiri. Dia toh yang mengusulkan tipu kepada To Hoan untuk mencegat si pangeran, untuk membekuk pangeran itu. Dia pun secara diam-diam sudah membantu padanya. Tapi, jawaban yang ia peroleh ada di luar sangkaannya. "Siapa tahu tentang Tjioe Toako kamu itu?" demikian jawaban itu, tawar, ditambah dengan tertawa dingin. Lalu, dengan sebat luar biasa, dengan gerakan Taylek Kimkong Tjioe — "Tangan Arhat yang kuat", ia sambar pedangnya si nona, untuk dirampas. In Loei terkejut, inilah tidak disangka, hingga ia tak berjaga-jaga. Di saat tangan orang itu hampir menyambar pedang, mendadak matanya bersorot tajam, tangannya seperti ditunda. Justeru itu, In Loei sadar, untuk mengirim bacokannya. Orang itu pun terkejut, ketika pedang datang, ia putar tangannya, sambil menyambuti, ia sentil belakang pedang, hingga terbit suara nyaring. Nona In menjadi sangat kaget, sentilan itu membuatnya tangannya sakit, hampir saja pedangnya terlepas dari cekalan. Insaflah ia bahwa latihan Taylek Kimkong Tjioe orang ini mahir sekali. Pada saat itu, di pihak sana terdengar pula tertawanya Thio Hong Hoe, tertawa bergelak-gelak, disusul dengan kata-katanya yang mengandung ejekan: "Orang tua she Pit, kau lihat! Siapakah yang mengantarkan diri ke dalam jebakan?" "Trang!" demikian suara yang menyusuli ejekan itu. In Loei menduga, saking mendongkol, To Hoan menghajar dengan keras, dan tak kurang kerasnya Hong Hoe menangkis, hingga kedua senjata bentrok hebat, sampai telinga bagaikan tuli. Sementara itu, lolos serangannya yang pertama, In Loei telah mengulangi untuk kedua kalinya. Kembali ia gagal. Sangat gesit gerakan si kurus itu, keras sekali sampokannya setiap kali ia menangkis, sampai pedang si nona setiap kali mental. In Loei jadi sangat penasaran, ia menyerang terus. Ia perlihatkan ilmu pedang "Pekpian Hian Kee Kiamhoat" yang beraneka warna gerakan dan perubahannya. Pedang itu membacok ke atas delapan kali, kebawah delapan kali, juga masing-masing delapan kali menikam ke kiri dan kanan, semuanya silih ganti. Orang bertopeng itu liehay, akan tetapi atas desakan itu, ia repot juga. Untung baginya, walaupun ia didesak hebat, pada saat yang berbahaya, In Loei meneruskannya setengah hati, sebab si nona masih ingat, ia seperti kenal orang ini. Entah kapan, entah di mana, pernah rasanya ia menemui si kurus. Ia berkesan baik terhadap orang asing ini, karenanya iapun ragu-ragu..... Setelah serangannya tak hentinya selama tiga puluh dua jurus, baharulah gerakan In Loei menjadi kendor. Dan lawannya yang sejak tadi melawan dengan tangan kosong, telah menghunus goloknya yang tersoreng di pinggangnya, untuk melakukan penyerangan membalas, ia berbalik mendesak, makin lama makin sebat, sinar goloknya bergemerlapan. Kalau tadi ia menyerang, kini In Loei membela diri saja, pedangnya dibuat tidak berdaya, beberapa kali pedang itu kena dibikin terpental, syukur tak sampai lepas dari cekalannya. Nyata sekali golok si penyerang tidak dapat berbuat banyak, adalah tangan kirinya, yang tiap-tiap kali menyampok dengan hebat. In Loei telah terdesak, beberapa kali ia mengalami saat-saat yang berbahaya, akan tetapi sampai pada saat itu, ia bebas sendirinya, golok dan tangan kosong dari lawannya tidak mengenai sasarannya. Entah itu disengaja atu tidak, kejadiannya sama seperti In Loei tadi — tadi In Loei seperti tidak hendak melukai lawannya itu..... Dalam keadaan terdesak sebagai itu, In Loei empos semangatnya, untuk membuat perlawanan dengan gigih, kalau tidak, segera ia akan dirubuhkan. Sementara itu, ia lihat mata orang yang bersinar tajam, yang terus dipakai menatap mukanya, seolah-olah orang itu sangat memperhatikan padanya. Sikap lawan itu membuatnya ia tertarik. Tiba-tiba saja ia menangkis, untuk menahan golok yang dipakai membacok padanya. "Kau siapa?" ia tanya. Orang itu membalas menangkis. "Kau siapa?" diapun tanya. Dibaliki secara begitu, si nona melengak. "Kau sebutkan lebih dulu!" ia bentak. "Kau dulu!" orang itu mengulangi, sementara air mukanya sedikit berubah. In Loei bersangsi. "Mana dapat aku perkenalkan diri padamu?" ia berpikir. Tapi keras niatnya untuk mengetahui orang itu. Lagi-lagi ia menangkis, sampai tiga kali. "Kau bicara lebih dulu!" katanya pula. "Tidak, kau dulu!" orang itu membandel. Dia mirip dengan satu bocah kepala batu, kedua matanya berputar, wajahnya berubah pula. Menyaksikan sikap orang itu, In Loei membayangkan satu sahabatnya semasa mereka masih kecil. Ia mencoba mengingat-ingat dengan terus tak henti-hentinya bersilat. Lawan itu juga melakukan perlawanan, hanya sekarang ia berlaku tak sesehat tadi. Masih ia senantiasa tatap wajah lawannya. Dalam penasarannya, In Loei mendesak, dua kali ia menikam. Kedua-duanya ditangkis oleh lawannya. "Kau bicara lebih dulu!" katanya pula. Selagi kedua orang itu berkutat, membentak satu pada lain, supaya pihak sana yang membuka mulut lebih dahulu, tiba-tiba terdengar seruannya Pit To Hoan, yang memberi peringatan kepada kawan-kawannya bahwa keadaan bahaya mengancam pihaknya. Mendengar suara itu, In Loei melirik kepada jago tua itu. Ia dapat kenyataan, kawan itu telah terdesak, golok Thio Hong Hoe seperti mengurung dia, hingga keadaannya jadi sangat berbahaya, sedang kawan-kawan yang menjadi bala bantuan, kena dirintangi tentera negeri, tak dapat mereka menerjang masuk. Menampak demikian, In Loei menjadi tegang sendirinya. Ia berkuatir untuk pihaknya itu. Maka ia mencoba melakukan perlawanan pula dengan keras sekali, ingin ia menoblos musuhnya. Pihak lawan itu, yang tidak sudi perkenalkan diri, tetapi menghendaki lain orang berbicara terlebih dahulu, juga segera perkeras perlawanannya, bagaikan tembok tanggu, dia menghalang di depan si "anak muda." Hingga tak berhasil In Loei dengan dayanya itu. "Maukah kau bicara atau tidak?" lawan itu masih menanya. In Loei mendongkol, tidak sudi ia menyahuti, dalam sengitnya, ia menyerang dengan terlebih hebat pula. Lima puluh jurus telah lewat, keduanya tetap dalam keadaan seri. In Loei kalah tenaga, ia cuma menang gesit, tapi sekarang ia berkuatir untuk Pit To Hoan, pemusatan pikirannya jadi terganggu, maka itu, lagi beberapa jurus, ia kena didesak hingga ia mesti main mundur. Dalam keadaan yang segenting itu, sekonyong-konyong terlihat debu mengepul di luar selat. Thio Hong Hoe lihat itu. "Siapa berani menyerbu masuk?" katanya nyaring. Pertanyaan itu dijawab dengan suara tertawa aneh yang seperti menggetarkan lembah, lalu tampaklah orang-orang yang menerbitkan debu itu, ialah delapan penunggang kuda yang tengah mendatangi dengan pesat sekali, sedang dua penunggang yang jalan paling depan, — agaknya mereka itu menjadi pemimpin, — berpakaian secara aneh. Mereka itu yang satu putih mulus, yang lain hitam legam. Ketika In Loei melihat tegas kedua orang itu, tanpa merasa ia perdengarkan seruan. Ia agaknya kaget dan heran. Karena ia kenali, kedua orang itu adalah Hek Pek Moko. Empat orang lainnya adalah si empat saudagar permata, yang pernah datang ke Tjio keetjhoeng. Sedang kedua penunggang kuda lainnya, yang berada di belakang, adalah isteri-isteri bangsa Persia dari Hek Moko dan Pek Moko itu. Berdelapan mereka itu maju pesat, tanpa menghiraukan pertempuran yang kalut dan dahsyat itu. Hek Moko adalah yang datang paling dekat. "Kau menggelinding dari, kudamu!" bentak Thio Hong Hoe yang menjadi sangat murka. Dan dengan satu lompatan, ia segera mendahului membacok. Hek Moko perdengarkan tertawanya yang aneh, ia angkat tongkat Lekgiok thung-nya, untuk menangkis bacokan, berbareng dengan itu, ujung tongkatnya meluncur terus ke arah uluhati si penyerang yang bersenjatakan golok itu. Hong Hoe kaget dan heran. Tidak ia sangka orang ada demikian liehay. Ia halau tusukan tongkat itu, habis mana, ia membalas, dengan tak kurang hebatnya. Untuk dua jurus, ia mendesak hebat. Hek Moko juga terkejut melihat ketangguan lawan, ia tidak sangka di antara hamba negeri terdapat pahlawan demikian kosen. Ia penasaran, kembali ia menusuk dada orang. Hong Hoe kembali menangkis, ia tidak mau menyerah kalah. Dalam penasarannya, Hek Moko menerjang berulang-ulang, yang sama dahsyatnya. Thio Hong Hoe tangkis serangan berbahaya itu, sambil menangkis, ia angkat tubuhnya dari bebokong kuda, dengan sebelah kaki, ia injak injakan kakinya, berbareng dengan mana, dengan sebelah tangannya, ia sambar lawannya itu. Dengan jurus Kimna tjioe ia gunakan tangan kirinya untuk mencekuk tangan musuh. Ia berhasil, hingga ia menjadi sangat girang. Sekarang tinggal mengerahkan tenaganya, untuk membetot lawannya itu. Tapi tiba-tiba ia menjadi kaget, karena tangan yang dicekal itu licin bagaikan lindung, yang terus dibalikkan untuk dipakai menampar mukanya! Dalam kagetnya, Thio Hong Hoe masih sempat berkelit, ialah sambil berseru, sebelah kakinya menjejak, hingga tubuhnya mencelat meninggalkan kudanya dan jatuh ke tanah sejauh satu tombak lebih. Hek Moko menjadi heran dan kagum, ia merasa pasti bahwa ia akan dapat menghajar lawannya itu, siapa sangka, lawan itu pun ada licin sekali. Pit To Hoan saksikan pertempuran itu, ia heran, terutama karena ia tidak kenal siapa si hitam ini yang seperti membantu padanya. "Sahabat siapa di sana?" ia tanya. "Di sini Pit To Hoan menghaturkan hormatnya." Ia kesohor dengan gelarannya, Tjinsamkay, ia percaya, dengan menyebut namanya, setiap orang kangouw pasti akan mengenal padanya. Tapi kali ini dugaannya meleset. Hek Moko tertawa pula, dengan suaranya yang aneh itu. "Buka jalan! Buka jalan!" dia berseru-seru. "Menggelinding pergi!" To Hoan tidak mundur, dia malah menghalang di tengah jalan, dengan lonjorkan toya-nya, ia mencegat. Hek Moko biarkan kudanya lompat kabur, dengan tongkatnya ia halau toya Tjinsamkay. Kedua senjata bentrok keras, suaranya nyaring. Pit To Hoan miring tubuhnya karena bentrokan itu, sedang si hitam hampir terguling dari kudanya. "Bagus!" berseru si hitam ini. "Kau pun ada satu hoohanl Kau minggir!" Sekarang tidak lagi ia mengusir dengan kata-kata, "Menggelinding pergi" hanya "minggir!" Ini menyatakan bahwa ia telah menghargai lawannya. Tapi Pit To Hoan tidak minggir, dalam keadaan seperti itu, tak dapat ia menahan toya-nya, serangannya yang kedua telah menyusul, kali ini ia mengarah kudanya. Hek Moko menjadi gusar sekali, ia segera tekan keras toya lawannya itu. Pit To Hoan terperanjat, apapula ketika ia dilepaskan dari tekanan, tubuhnya terjerunuk, hampir ia kena terinjak kudanya si orang hitam itu. Dengan kegesitannya, ia lompat nyamping. Dan kuda lawan dengan pesat luar biasa, sudah lompat di atasan kepalanya! Selagi Hek Moko dilayani Thio Hong Hoe dan Pit To Hoan bergantian, Pek Moko pun telah tiba, ia hanya menyerbu kepada In Loei dan si orang aneh. In Loei segera lihat si putih ini, ia terperanjat, ia heran atas kedatangan orang secara tiba-tiba. Ia ingat bagaimana ia bersama-sama Thio Tan Hong telah menundukkan kedua Moko itu. Maka kalau sekarang Pek Moko ingat sakit hatinya dan dia mencari balas, celakalah ia. Untuk melayani si orang aneh saja, ia sudah repot..... Ketika Pek Moko melihat In Loei, tiba-tiba ia tertawa — tertawa aneh seperti Hek Moko. Kembali ia keprak kudanya, untuk menerjang si orang aneh. Gusar orang aneh itu, ia menyambut dengan kepalannya ke paha kuda. Tepat sambutan itu, hingga kuda itu menekukkan kaki depannya. Menyusul ini, si orang aneh membacok dengan goloknya. Pek Moko menangkis dengan tongkat Pekgiok thung-nya. Itulah tongkat terbuat dari baja tulen. Orang aneh itu tidak ketahui ini, ia baharu terkejut apabila dua senjata telah beradu keras. Terpental golok itu karena bentrokan keras itu, tetapi si orang aneh tangguh, dengan belakang golok yang terayun, ia menyerang pula. Tapi juga Pek Moko tidak kurang liehaynya, masih sempat ia menangkis pula, hingga untuk kedua kalinya, tongkat dan golok bentrok, terus golok terlempar ke udara! "Jika kau sanggup melayani tongkatku, aku suka memberi ampun padamu!" berseru Pek Moko. "Minggir!" Setelah berkata begitu, ia menuding kepada In Loei. "Kau bukannya tandingan orang ini! Kenapa kau tidak hendak lekas menyingkir?" Meskipun ia mengucap demikian, ia jepit perut kudanya, hingga kuda itu lompat kabur. Sebenarnya Hek Pek Moko telah tawar hatinya setelah mereka dikalahkan In Loei berdua Tan Hong, karena kalah bertaruh, harta di dalam kuburan bukan lagi miliknya, maka juga ia titahkan ke empat saudagar menutup buku dan berlalu. Adalah niat mereka untuk pulang ke kampung halaman mereka di Barat. Di luar dugaan mereka, Tan Hong telah berlaku baik budi, harta mereka telah dikembalikan. Kejadian ini membuat mereka sangat bersyukur. Dengan modal itu, mereka lantas berdagang pula. Kali ini mereka dalam perjalanan dari selatan ke utara, ke delapan kuda mereka menggendol banyak barang permata mulia, niat mereka adalah melintasi gunung Himalaya, untuk memasuki India, guna menjual permata itu kepada pangeran-pangeran bangsa India. Adalah di luar dugaan mereka, di situ mereka menghadapi kedua pihak tengah bertempur, malah pihak yang satu adalah In Loei, yang mereka kenal baik. Hek Pek Moko tidak gubris orang dari Jalan Putih atau Jalan Hitam, mereka bekerja dengan ambil jalan sendiri, karena ini, bertemu dengan tentera negeri, mereka kuatir nanti dicegat dan dirampas hartanya, maka ingin mereka nerobos pergi. Ketika, mereka kenali In Loei, ingin mereka membalas budi kebaikannya Tan Hong, dari itu mereka segera berikan bantuan mereka itu. Tidak hanya Hek Moko dan Pek Moko yang liehay, juga isteri-isteri mereka dan ke empat saudagar itu bukannya orang-orang sembarangan, maka itu ketika mereka berdelapan menyerbu dengan kuda mereka, tentera negeri menjadi kalut, lekas-lekas mereka menyingkir. Pihak Pit To Hoan juga tidak terkecuali, hanya To Hoan tidak mau mensia-siakan ketikanya yang baik, dengan memberikan satu tanda, ia ajak rombongannya lari mendaki bukit. Hek Moko tertawa berkakakan melihat "musuh" buyar dan lari kalang kabutan, meski demikian, mereka tidak lantas angkat kaki, masih mereka mondar-mandir di dalam lembah itu, untuk mencegah In Loei beramai dikepung pula tentera negeri itu, adalah setelah In Loei semua sudah tiba di tengah bukit, baharu mereka kabur, untuk melanjutkan perjalanan mereka..... Thio Hong Hoe mendongkol bukan main, ia lantas kumpulkan tenteranya, ia ingin kejar musuh, akan tetapi ia tidak mempunyai ketika lagi. Dari kejauhan, Hek Pek Moko berpaling ke arah bukit. "Hai, babah kecil!" teriak mereka berbareng terhadap In Loei, "babah besar yang menjadi sahabatmu itu tengah menantikan kau di sebelah depan sana! Kenapa kau tidak berada bersama dia?" Tahulah In Loei, dengan "babah kecil" dimaksudkan ia, dan dengan "babah besar" dimaksudkan Thio Tan Hong, karenanya, hatinya bercekat. Jadi Tan Hong berada di sebelah depan. Sebenarnya ingin ia menanyakan Hek Pek Moko, atau: "Siapa kedua orang itu?" Pit To Hoan tanya dia. "Mereka adalah Hek Moko dan Pek Moko dari Tanah Barat," In Loei jawab. To Hoan terperanjat. "Jadi mereka adalah kedua iblis itu!" serunya. "Memang, sudah lama aku dengar nama mereka, baharu kali ini aku melihat mereka itu. Tidak aku sangka, kita dapat lolos dari bahaya karena bantuan mereka. Bagaimana sekarang? San Bin masih belum dapat ditolong.....” "Orang she Pit ini jadi sangat masgul. Tapi, dalam keadaan seperti itu, ia tidak boleh membuang-buang waktu, lantas ia bantu Tjek Poo Tjiang memukul mundur pasukan tersembunyi dari musuh, habis mana mereka mundur dari belakang bukit, untuk pulang ke Na keetjhoeng. Hari sudah magrib ketika mereka tiba di rumah, semuanya lesu, lelah dan masgul, karena sia-sia saja usaha mereka. Waktu mereka asyik berbicara, mereka membicarakan halnya si orang tak dikenal itu, yang menyamar sebagai pengembala bangsa Mongolia, yang kali ini bersembunyi di dalam kereta persakitan tanpa diketahui apa maksudnya. Mereka menduga-duga tanpa ada pemecahannya. "Malam ini pasti Thio Hong Hoe bermalam di dalam kota." kata Pit To Hoan seraya mendongak untuk melihat cuaca. "Aku pikir, lebih baik kita pergi ke kota, untuk mengadakan penyelidikan. Mesti kita ketahui bagaimana nasibnya keponakan San Bin, supaya kita berdaya upaya menolongnya pula. Thio Hong Hoe sangat licin, dia telah memperdayakan kita, maka itu, sulit bagi kita untuk mengetahui, San Bin berada di dalam kerangkeng atau tidak.....” Semua orang berdiam ketika mereka ingat akan keliehayannya Thio Hong Hoe, yang gagah dan cerdik sekali. "Di antara kita, In Siangkong, kaulah yang paling sempurna ilmu entengkan tubuh," berkata pula To Hoan. "Di samping itu, di dalam kota, adalah rumah penginapan kita yang paling besar.....” Mendengar ini, In Loei yang cerdik, segera mengerti maksud orang. "Memang!" katanya. "Pada siang hari kita gagal menggunakan golok dan tombak, tapi pada malam hari kita pasti dapat membuatnya mereka kalut dan repot! Atau sedikitnya, kita mungkin dapat mengetahui keadaan mereka yang sebenarnya..... Thio Hong Hoe gagah perkasa, aku sangsi dia pandai ilmu enteng tubuh, maka andai kata aku gagal, dapat aku menyingkir daripadanya, belum pasti dia dapat mengejar aku dan menyandaknya....." Maka diambillah keputusan, malam itu In Loei akan pergi membuat penyelidikan dan Pit To Hoan turut sebagai kawan yang mengintai di luar hotel. Demikian sekira jam dua, kedua orang itu telah masuk secara diam-diam ke dalam kota di mana mereka segera disambut oleh pihaknya. Benar saja, Thio Hong Hoe beramai telah mengambil tempat di hotel kaumnya Tjinsamkay, dari itu In Loei, dengan mengandal jongos hotel, dapat masuk ke dalam hotel dengan mengambil jalan dari pintu belakang. Ia minta keterangan, kamar mana yang Hong Hoe pakai, habis itu, ia beristirahat sebentar. Kira-kira jam tiga, nona In sudah lantas salin pakaian, untuk memakai yaheng ie, pakaian untuk bekerja malam, tetapi ketika hendak lompat naik ke atas genteng, kupingnya mendengar tindakan kaki kuda, yang dengan cepat sekali telah tiba di muka hotel. Dari dalam rumah penginapan pun sudah lantas keluar serdadu Gielim koen, yang menyambut orang yang baharu tiba itu. "In Siangkong, harap tunggu sebentar," pesan jongos yang melayaninya. Dengan bawa tahang air dan makanan kuda, jongos ini terus pergi keluar. Sampai sekian lama, setelah suara di luar sunyi, baharu ia kembali. "Rupanya itu adalah kabar kilat," ia beritahu In Loei. "Entah urusan apa yang demikian penting." Di jaman itu, surat-surat di kirim dan dibawa bergantian oleh pelbagai pesuruh, yang mempunyai pos-pos sendiri, untuk saling menolong, secara demikian surat-surat dapat disampaikan kepada alamatnya secara cepat sekali. Itulah cara yang dinamakan "Pat pek lie koay ma kee kin" atau "Larinya kuda cepat delapan ratus lie." Dalam satu hari orang dapat mencapai sepuluh pos dan menukar sepuluh ekor kuda, kudanya adalah kuda pilihan, penunggang kudanya jempolan. Maka dalam tempo dua belas jam, kuda itu dapat menempuh jarak sejauh tujuh atau delapan ratus lie. In Loei heran. "Cara bagaimana kau ketahui itu?" ia tanya. "Sebab, kuda pembawa surat itu telah lelah hingga rubuh," sahut si jongos, "dengan pertolongan dua orang, baharu kepala kuda itu dapat diangkat untuk diberi air minum.....” In Loei berpikir. "Baiklah," katanya. "Sekarang ingin aku ketahui, kabar penting apakah yang dibawa itu." Kamar Thio Hong Hoe berada di sebelah selatan, kamar itu besar. Ke sana In Loei nelusup, terus saja ia gelantungkan diri di payon kamar, untuk mengintai ke dalam. Di dalam kamar itu tampak duduk seorang pesuruh, Hong Hoe sendiri tengah menyekal sepucuk surat. "Penjahat yang hari ini kami dapat tawan, satu pun belum sempat kami periksa," berkata Hong Hoe, "karena itu, belum diketahui apa di antaranya ada orang yang dimaksudkan, tetapi umpama kata benar ada, pasti sekali akan aku turuti kehendak Kong Tjongkoan. Kau tentunya letih sekali, pergi kau beristirahat, supaya besok kau dapat segera kembali ke kota raja. Salinan surat dinas ini nanti aku titahkan orang menyampaikannya kepada Khoan Tiong." "Terima kasih, thaydjin1." mengucap pesuruh itu, yang terus meminta diri untuk pergi. Hong Hoe sudah lantas jalan mondar-mandir, kedua alisnya dikerutkan. Terang ia tengah menghadapi urusan sangat penting. "Mana orang!" tiba-tiba ia memanggil. Segera setelah itu, satu serdadu yang menjaga di pintu luar bertindak masuk. Dia ini diberi titah dengan suara hampir berbisik, atas mana, dia keluar pula. Masih Hong Hoe nampak tak tenang, ia garuk-garuk belakang kupingnya. Ia beber kertas di tangannya itu, untuk diawasi. Dari tempatnya mengintai, In Loei dapat lihat kertas itu. Itulah bukan surat dinas, itu adalah lukisan satu orang. Melihat gambar itu, hampir In Loei tak tahan untuk tidak perdengarkan jeritan. Itu adalah gambarnya Tjioe San Bin, yang ia hendak tolongi. Hong Hoe berkata seorang diri, suaranya tak tegas: "Lebih dulu tusuk tulang piepee-nya, lalu kedua matanya dikorek keluar, setelah itu dia masih hendak dipakai sebagai umpan untuk menagih kepada Kim Too Tjeetjoe..... Ah, inilah sungguh kejam!" In Loei terkejut. "Jikalau benar mereka berbuat demikian macam terhadap saudara San Bin, malam ini aku mesti adu jiwaku!" dia berpikir. "Biarlah kita semua bersama binasa!.....” Dan ia genggam Bweehoa Ouwtiap-nya. Hatinya tegang, tubuhnya sampai bermandikan keringat dingin. Tidak lama kemudian terdengar tindakan dari beberapa kaki. "Inilah tentu saudara San Bin yang diiring," In Loei menduga-duga. Ia lantas memasang mata, hatinya jadi bertambah tegang. Tapi, ketika ia lihat dengan nyata, ia jadi melengak, hampir saja ia keluarkan seruan tertahan. Yang datang itu adalah satu perwira muda, dialah orang dengan siapa tadi In Loei bertempur, dia juga si orang aneh yang malam itu membokong si pangeran asing! "Saudara Tjian-lie, urusan ini sangat sulit untuk diputuskan," berkata Thio Hong Hoe kepada anak muda itu. "Apakah itu, Thio Thaydjin?" tanya si anak muda. Hong Hoe tidak segera menjawab, ia hanya maju dua tindak, hingga ia berdiri berhadapan dengan si anak muda. Ia bersenyum. "Kau meninggalkan kota raja pada tanggal tujuh belas, kenapa baru kemarin malam kau tiba di sini?" dia tanya. Anak muda itu nampak kemalu-maluan, ia alihkan pandangan matanya. Habis itu ia paksakan bersenyum. "Di tengah jalan aku diganggu hujan, kudaku tak dapat jalan," ia kata. "Karenanya aku terlambat." Thio Hong Hoe tertawa. "Benarkah itu?" dia tanya pula. Wajah pemuda itu berubah, ia mundur satu tindak, tangannya menekan meja. "Apakah Thaydjin curigai aku?" dia tanya. Thio Hong Hoe tertawa pula, bergelak. "Mustahil aku curigai kau.....” sahutnya. Lalu, dengan suara dalam, dia tambahkan: "Walaupun kau memakai seragam Kimie wie belum cukup satu bulan, tapi aku rasa kita dapat bicara dari hati ke hati bukan?" Dengan bajunya, perwira muda itu menyeka keringat di jidatnya. "Thaydjin setia dan jujur, aku kagum terhadapmu, " ia kata. Thio Hong Hoe maju satu tindak. "Jikalau kau tidak ingin dicurigai, hendaknya kau bicara terus terang," ia kata. "Ketika kemarin ini di Tjengliong kiap terjadi penyerangan kepada utusan bangsa Mongolia, bukankah kau telah mengambil bagianmu?" Perwira itu berdiri tegak. "Baiklah thaydjin ketahui aku bukan cuma turut dalam sebagian, aku malah orang yang memegang peranan!" sahutnya. "Tahukah kau bahwa dia adalah utusan terhormat dari pemerintah kita?" Hong Hoe tanya. "Tahukah kau, apabila terjadi sesuatu atas diri utusan itu, di antara kedua negeri dapat terjadi peperangan?" Anak muda itu tidak terdesak. "Thio Thaydjin, tahukah kau, apa maksud kedatangan utusan itu?" ia balik menanya. "Tahukah thaydjin bahwa utusan itu hendak meminta supaya pemerintah kita menyerahkan tanah daerah untuk mengganti kerugian? Daripada bertekuk lutut terhina, lebih baik kita berperang mati-matian!" "Walaupun demikian," kata Hong Hoe, "kau adalah satu hamba negeri, sebagai hamba negeri, kau serang utusan negara asing, dosamu bukannya kecil!" "Sehebat-hebatnya tidak melebihi hukum picis!" kata si anak muda. "Thio Thaydjin, adakah ini urusan yang membuatnya kau sulit? Siapa berani berbuat, dia mesti berani bertanggung jawab, maka itu, tidak nanti aku bikin kau susah. Thio Thaydjin sekarang juga aku bersedia ditawan, kau boleh legakan hatimu!" Sekonyong-konyong Thio Hong Hoe tertawa bergelak-gelak. "Saudara Tjian-lie, tak usah kau pancing ke-murkaanku!" katanya. "Kesulitanku itu tidak ada sangkutannya dengan kau!" Mendengar ini, tercengang si anak muda. Inilah di luar dugaannya. "Habis, urusan apakah itu?" tanyanya. Dengan sabar Hong Hoe beber kertasnya tadi, dia tunjukkan gambar yang terlukis di atas itu. "Tahukah kau, siapa orang yang tertera di sini?" ia tanya. Wajah si anak muda kembali berubah. "Bukankah ia salah satu penjahat yang thaydjin telah tawan?" tanyanya. "Aku hanya ingin bertanya, kenalkah kau padanya atau tidak?" kata komandan Kimie wie itu. "Tahukah kau tentang diri dia ini?" Si anak muda bersangsi sebentar, lalu ia menghela napas. "Dia adalah putera Kimtoo Tjeetjoe yang sangat disayang dari Ganboenkwan," ia berikan penyahutan. "Aku dengar pada sepuluh tahun yang lampau, Tjioe Kian telah berontak dan kabur keluar perbatasan, dia ditangkap serumah tangganya dan dihukum mati semua, kecuali puteranya ini yang berhasil meloloskan diri.....” Thio Hong Hoe melirik. "Kau masih berusia sangat muda, tapi bukan sedikit hal yang kau ketahui!" dia kata. Tiba-tiba si anak muda berlinangkan air mata. "Thio Thaydjin....." katanya perlahan, tertahan. Hong Hoe memotong: "Sejak saat ini, kita ada seperti kakak dan adik. Mulai sekarang aku minta kau panggil saja namaku!" "Thio Toako," segera si anak muda berkata terus terang, "Kimtoo Tjioe Kian itu adalah tuan penolongku yang besar. Hanya, bagaimana duduknya hingga aku berhutang budi daripadanya, maaf, tak dapat aku menjelaskannya." "Aku pun dapat melihat kesukaranmu hingga kau tak dapat bicara," kata Hong Hoe. "Baiklah, jangan kita bicarakan pula soal itu. Puteranya Tjioe Kian telah kita tawan. Coba katakan, dengan cara bagaimana dapat kita merdekakan dia?" "Urusan ini sangat besar, tidak berani aku campur bicara," jawab si anak muda. "Memang benar Kimtoo Tjeetjoe telah berontak terhadap pemerintah, akan tetapi selama berdiam di Ganboenkwan, berulangkah dia melabrak bangsa Ouw yang datang menerjang daerah kita, jadi dengan sendirinya dia telah berjasa kepada negara! Dia mempunyai hanya satu putera, jikalau putera itu dibawa ke kota raja dan diperiksa, aku kuatir ia tak akan dapat lolos dari hukuman mati. Apabila itu sampai terjadi, sungguh hebat!.....” Pemuda ini berkata, ia tidak berani campur bicara tetapi ia telah mengutarakan rasa hatinya itu! Dengan itu, ia hendak menggerakkan hatinya Hong Hoe, supaya komandan itu suka membebaskan San Bin..... Thio Hong Hoe mengerti maksud orang, ia bersenyum. "Tidak usah dia dibawa ke kota raja, tidak usah dia diperiksa lagi," katanya. "Kong Tjongkoan telah ketahui hal ihwalnya putera Tjioe Kian itu tetapi dia mungkin tak usah menemui ajalnya.....” "Jadi warta kilat tadi ada mengenai urusan ini?" tanya si perwira muda. "Benar!" jawab Hong Hoe. "Itulah hal yang aku katakan sulit. Sungguh lihay mata dan kuping Kong Tjongkoan, dia telah ketahui puteranya Tjioe Kian sudah nelusup masuk ke Tionggoan, dia pun ketahui bahwa kita telah membekuk banyak orang Rimba Hijau kenamaan. Untungnya dia masih belum ketahui, apakah putera Tjioe Kian itu ada di antara orang-orang tawanan kita atau tidak. Maka itu dia telah mengirim warta kilatnya, untuk kita perdatakan putera Tjioe Kian itu. Dia menitahkan, apabila kita berhasil menawan putera pemberontak itu, supaya kita lantas mengalungi tulang piepee-nya, mengorek matanya, untuk melenyapkan kegagahannya, hingga orang tak dapat membawa dia minggat. Setelah itu Kong Tjongkoan hendak menggunakan putera orang itu sebagai barang berharga, sebagai tanggungan, guna memaksa Kimtoo Tjeetjoe, supaya dia tidak menentangi lagi tentara negeri.....” "Sungguh daya yang kejam sekali!" seru si anak muda tanpa merasa. "Kita sama-sama makan gaji negara," kata Hong Hoe, "terhadap penjahat biasa, bila dia kena ditawan, itu berarti pahala untuk kita, dapat kita bertindak dengan hati adem. Akan tetapi Tjioe Kian dan puteranya bukan penjahat biasa, tanpa mereka itu, sudah sejak siang-siang pasukan perang Watzu menyerbu ke tanah daerah kita.....” Pemuda itu membuka dengan lebar kedua matanya, yang bersinar terang. "Thio Thaydjin," katanya, "eh, bukan, Thio Toako, baik kau merdekakan saja dia! Coba siang-siang aku ketahui kau mempunyai maksud begini.....” Thio Hong Hoe tertawa, dia memotong: ".....kau sekarang tidak usah menempuh bahaya dengan menyerang si pangeran asing, bukan? Saudara Tjian-lie, siang-siang aku telah menduga, untuk menyerang si pangeran, kau menggunakan akal dengan sebuah batu mendapatkan dua ekor burung. Kau tidak ingin secara terang-terangan menentang aku, tak ingin kau memerdekakan orang di bawah perlindunganku, maka kau pinjam tangannya rombongan Pit To Hoan. Kau ingin bekuk si pangeran asing, untuk dipakai menukar orang. Bukankah begitu?" "Toako, apa yang kau katakan itu semua benar," jawab si perwira muda. Ia berlaku terus terang. Dengan tiba-tiba saja, Hong Hoe berhenti bersenyum. "Bagaimana gampang untuk memerdekakan orang itu!" katanya. "Apakah kau tidak menginsyafi berbahayanya Kong Tjongkoan? Sudah pasti jabatan komandan Kimie wie ini tak akan aku pangku terlebih lama pula, juga kau sendiri, jangan kau mengharap untuk menjadi boe tjonggoan tahun ini.....” Si anak muda bungkam. Sampai sekian lama, baharu ia buka mulutnya. Ia mendongkol sekali. "Biarlah, tak apa aku tak turut ujian boe tjonggoan1." katanya, sengit. "Tapi aku tak ingin kau mengorbankan pangkatmu!" "Dengan perbuatanku itu," kata Thio Hong Hoe, "tidak saja pangkatku yang akan hilang, juga jiwaku terancam keselamatannya.....” Perwira muda itu nampaknya menjadi sangat lesu. "Sekarang ada titah apalagi dari Thaydjin?" dia tanya dengan tawar. "Kau pergi meronda di luar," kata Hong Hoe. "Kecuali Hoan Tiong, yang lainnya siapa pun tak boleh keluar masuk di sini. Juga kau, aku larang kau bertindak secara sembrono!" "Di bawah perintah kau, toako, — oh, thaydjin," kata si anak muda, "umpama kata aku berani bertindak sembrono, aku toh tidak akan lolos dari golok Biantoo-mu. Thaydjin, legakanlah hatimu, jangan kuatir!" Thio Hong Hoe tertawa, ia kibaskan tangannya. In Loei lihat tegas, anak muda itu mengundurkan diri dengan lesu dan uring-uringan. Seberlalunya si anak muda, Hong Hoe panggil pengawal kepercayaannya yang ia bisiki pesannya, setelah mana, orang itu mengundurkan diri, tetapi tidak lama kemudian ia sudah kembali bersama satu orang. Itulah Hoan Tiong, Gietjian siewie. Kepada pahlawan istana ini, Hong Hoe perlihatkan surat dinas, melihat mana, kedua matanya si orang she Hoan terbelalak, sepasang alisnya berdiri. "Toako." katanya dengan nyaring, "apakah kau masih ingat sumpah kita baru-baru ini?" "Sang waktu telah lewat lama sekali, aku sudah lupa.....” jawab Hong Hoe. Hoan Tiong nampak sangat gusar, ia gebrak meja. "Apakah benar toako telah melupakannya?" dia tegaskan. "Hiantee, cobalah kau katakan....." Hong Hoe minta, sikapnya sabar. "Dengan darah kita yang panas, hendak kita membela negara!" kata Hoan Tiong, keras. "Kita juga tak sudi terima penghinaan dari musuh! Itulah sebabnya kenapa kita masuk tentera! Sama sekali kita tidak mengharapkan anak isteri berbahagia karena kemaruk akan jasa atau pangkat!" ia berhenti sebentar, lalu ia menambahkan. "Adalah maksud hatiku untuk pergi keperbatasan guna dengan golok dan tombakku, mengadu jiwa dengan bangsa Ouw, tetapi Sri Baginda justeru menghendaki aku menjadi pahlawan di dalam istana! Maka dalam beberapa tahun ini, aku merasa seperti tak dapat bernafas.....” Masih ia menambahkan setelah berhenti sebentar: "Sudah tak dapat kita pergi keperbatasan untuk bertempur dengan bangsa asing, guna membela negara, kita sebaliknya telah mencelakai Kimtoo Tjeetjoe serta puteranya yang justeru telah mengeluarkan tenaganya menentang bangsa Ouw itu! Apakah artinya ini? Tidakkah ini memalukan?" "Apa lagi sumpah kita itu?" Hong Hoe tanya pula. "Kita mesti beruntung hidup bersama, celaka sama binasa" sahut Hoan Tiong. "Bagus!" seru tjiehoei itu. "Sekarang ada satu bencana besar yang mengancam kita, yang aku ingin kita menentangnya bersama! Mari dekatkan kupingmu!" Hoan Tiong mendekati, ia pasang kupingnya. Hong Hoe segera berbisik, habis mana, orang she Hoan itu menjura dalam. "Toako, maafkan aku untuk kesembronoanku tadi!" ia mohon. "Tindakanmu ini tidak keliru!" Setelah itu, ia putar tubuhnya untuk berlalu. Thio Hong Hoe mengawasi, ia menghela napas. "Aku hanya kuatirkan djieko-mu tak sama pikirannya.....” ia kata. "Tak usah kita memikir sampai begitu jauh!" Hoan Tiong masih berkata. Tanpa menoleh lagi, ia berjalan terus, ia buka tindakan lebar. Menyaksikan semua itu, In Loei berpikir. "Tidak kusangka mereka ini ada orang-orang gagah sejati," katanya dalam hati. Lantas ia dapat pikiran untuk menyusul Hoan Tiong, guna melihat apa yang dia hendak lakukan. Atau tiba-tiba Hong Hoe yang berpaling ke arahnya, sambil bersenyum lantas melambaikan tangannya dan berkata: "Silakan turun kemari! Sekian lama kau bergelantungan di payon, apakah kau tidak letih?" In Loei berani, ia pun bersenyum. Ia lompat melayang turun, akan hampirkan komandan Kimie wie itu. Segera ia angkat kedua tangannya, memberi hormat. "Thio Thaydjin, kita adalah sahabat-sahabat satu dengan lain!" katanya tenang. "Kau datang untuk menolongi San Bin, bukan?" tanya Hong Hoe. "Tidak salah," In Loei akui terus terang. "Semua pembicaraanmu telah aku dengar tegas. Sekarang ini aku minta sukalah kau serahkan San Bin padaku." Dengan langsung nona ini mengajukan permintaannya itu. Hong Hoe tertawa. "Dengan serahkan ia untuk dibawa pergi, tidakkah itu akan menerbitkan kegemparan?" tanya komandan ini. "Bagaimana kalau kau gagal? Apakah kau tidak memikir kepentingan di pihak kami?" In Loei melengak. Ia lantas berpikir. Memang itu bukanlah cara yang tepat. Tak seharusnya Hong Hoe dibikin repot atau pusing. Ia jadi malu sendirinya. Hong Hoe pandang muka orang, ia bersenyum. "Kini Hoan Tiong telah bawa pergi Tjioe Toako-mu itu dengan diam-diam," ia beritahu. "Aku titahkan mereka untuk tunggui kau di luar pintu kota utara." In Loei ada demikian girang, hingga — sret! — lantas saja ia lompat naik ke atas payon. "Tunggu!" tiba-tiba Hong Hoe mencegah. "Ada apa lagi?" tanya si nona sambil berpaling. "Mana sahabatmu yang menunggang kuda putih itu?" Hong Hoe tanya. Goncang hatinya si nona. "Dia ambil jalannya sendiri, aku juga ambil jalanku sendiri," ia jawab. "Aku tak tahu dia di mana." Hong Hoe menjadi heran sekali. "Kamu berdua merangkap sepasang pedang, kamu menjagoi, mana dapat kamu hidup berpencaran?" dia bilang. "Sahabatmu itu agung sekali, sekali saja orang lihat padanya, orang akan jatuh hati. Kalau nanti kau bertemu pula dengan dia, tolong sampaikan hormatku kepadanya." "Belum tentu aku dapat bertemu pula dengannya," sahut In Loei. "Baiklah, akan aku ingat pesanmu ini. Aku pergi!" Ia hendak ambil langkahnya, atau: "Tunggu dulu!" kembali Hong Hoe mencegah. In Loei menoleh, ia menjadi tidak sabaran. "Ada apa lagi?" tanyanya. "Sekarang ini Tjinsamkay Pit To Hoan ada di mana?" Hong Hoe tanya. Kaget In Loei. "Apakah ia telah ketahui sepak terjangnya Pit Looenghiong?" ia menduga-duga. Karena kesangsiannya, ia tidak segera memberi penyahutan. Hong Hoe awasi kelakuan orang, ia tertawa. "Kau tidak hendak menerangkannya, tidak apa," katanya. "Sekarang aku hendak mohon perantaraanmu untuk menyampaikan kepadanya, bahwa dia adalah beda daripada Kimtoo Tjeetjoe, karena itu, sebab aku telah terima titah untuk membekuk dia, andaikata dia kena tertawan, tidak dapat aku ambil sikap perseorangan dan merdekakan dia. Dia ada seorang gagah, aku hargai padanya, aku minta sukalah dia pergi jauh, supaya tak usah dia bertemu muka dengan aku. Cukup sudah, untuk sahabat baik, cuma sampai di sini saja dapat aku bertindak. Kau pergilah!" In Loei lantas berlalu. Tak habisnya ia memikirkan sikap luar biasa dari Thio Hong Hoe. Itulah sikap di luar dugaannya. Memikir terlebih jauh, ia sayangi orang she Thio itu, yang demikian kosen dan cerdik tapi telah sediakan tenaganya untuk satu kaisar Beng. Itulah tujuan hidup yang tidak ada harganya di matanya. Karena ini juga, ia menjadi ingat engkong-nya, yang disebabkan kesetiaannya sebagai utusan kerajaan Beng, sudah mesti bersengsara puluhan tahun di negara asing, akan akhirnya menghembus napas secara kecewa. "Itulah kesetiaan tolol!" kata si nona perlahan. "Entah berapa banyak penyinta negara yang dikurbankan kesetiaan keliru ini.....” Masih muda nona ini, tak memikir ia soal yang demikian berat yang telah berabad-abad usianya. Ada sangat sulit untuk membedakan kesetiaan terhadap negara dengan kesetiaan terhadap raja. Di jaman feodal siapa tidak sangat cerdas dan tabah, tak dapat dia membedakannya. Tapi ia telah kenal Tan Hong sekian lama, tanpa merasa, ia kena juga terpengaruh anak muda itu, ia dapat juga menganggap rendah sikap engkong-nya yang bersetia secara membuta kepada kaisar Beng. Walaupun hatinya tidak tenteram, In Loei tidak pernah hentikan tindakannya, tidak ia berlambat sejenak jua. Sebentar saja sudah ia berlalu dari hotel. Sampai di seberang, ia lompat naik ke atas genteng dari rumah di sebelah depan. Ia awasi bintang-bintang, ia menerka sudah jam empat. Ia tidak lihat Pit To Hoan, sekalipun ia ketahui, jago tua itu bertugas memasang mata terhadapnya. Ia lantas menepuk tangan tiga kali, perlahan tetapi terang. Ia percaya To Hoan akan mendengarnya kalau kawan itu masih menantikan padanya, karena sangat terang pendengarannya. Akan tetapi, ia tidak peroleh jawaban tidak ada orang yang muncul. Sia-sia ia menantikan sekian lama. Akhirnya, ia menyedot napas dingin. "Ah ke mana perginya. Pit Looenghiong?" ia kata dalam hatinya. "Dia seorang kangouw yang ulung, tidak nanti orang tipu padanya. Apakah dia telah lihat San Bin? Kalau begitu, mestinya dia tunggu atau cari aku, untuk bekerja sama..... Tak seharusnya dia pergi seorang diri dengan diam-diam..... Ke mana dia pergi?" Si nona mengawasi pula ke sekelilingnya, kembali ia menyedot napas dingin. Karena penasaran, ia lantas mencari di sekitar tempat itu sejauh satu lie persegi. Dua kali ia ulangi untuk mencari, matanya dibuka lebar-lebar, kupingnya dipasang. Sia-sia saja, tetap ia tak tampak bayangan si orang tua. "Ah, apakah Hong Hoe telah lihat dia dan telah menjebaknya sehingga kena ditawan?" nona ini mau menduga. "Tidak, itulah tak mungkin! Sebegitu jauh Hong Hoe tetap berada di dalam kamarnya! Kecuali Hong Hoe, tidak ada satu pahlawan lainnya yang sanggup layani Pit Looenghiong1. Sekalipun Hong Hoe sendiri, sebelum lewat lima ratus jurus, tidak nanti ia dapat peroleh kemenangan atasnya! Kenapa dia tak nampak bayangannya? Mustahil dia benar-benar kena tertawan musuh? Apakah ada lain orang gagah, yang telah rubuhkan padanya — merubuhkannya secara curang? Tak bisa jadi Pit Looenghiong dapat dirubuhkan tanpa suara apa-apa.....” Tegang hatinya nona ini, ia berkuatir. Terpaksa ia lari ke pintu kota utara. Dengan cepat ia telah sampai di luar kota, di tempat yang Hong Hoe sebutkan. Di sana katanya Hoan Tiong dan San Bin menantikan ia. Ia lantas pergi ke tempat yang tinggi, ia tepuk kedua tangannya selaku tanda. Dengan mata dibuka lebar, ia tampak jagat yang tertaburkan bintang-bintang dan cahayanya si Puteri Malam. Malam yang tenang, kecuali suara kutu-kutu. Suasana sunyi senyap. Di sana tak ada Hoan Tiong dan San Bin..... Sekian lama In Loei menanti, akhirnya ia jadi kuatir berbareng mendongkol. "Apakah Thio Hong Hoe sedang mainkan akal muslihatnya?" ia jadi curigai pahlawan Kimie wie itu. Kenapa aku gampang mempercayai dia? Mungkinkah dia tidak memerdekakan Tjioe Toako? Tapi, untuk apa dia dustai dan memperdayai aku?" Dalam keragu-raguannya yang sangat, akhirnya In Loei lari kembali ke dalam kota. Dengan cepat ia tiba di muka hotel. Ia lihat pintu besar cuma dirapatkan. Ia heran. Dengan berani ia menolak pintu dan bertindak masuk. Di dalam pekarangan ada belasan ekor kuda, tapi kuda-kuda itu berdiri diam bagaikan manusia, kedua kaki depannya masing-masing terangkat naik. Kuda itu tidak bergerak, tidak berbunyi, sekalipun mereka didupaki. Maka itu, di bawah sinar rembulan, mereka tampaknya menyeramkan. Sejenak In Loei berdiam, segera ia ingat kepandaiannya Hek Pek Moko untuk menakluki kuda. Ia menjadi terperanjat. Ingat ia kepada dua iblis istimewa itu. Kedua mereka itu, jikalau orang tidak ganggu padanya, tidak akan mereka ganggu orang lain. Benar di Tjengliong kiap mereka telah bantui ia secara diam-diam, tetapi itu adalah bantuan sambil lalu, mereka itu tidak tempur terang-terangan tentara negeri. Sekarang, kenapa malam-malam mereka datang kemari dan mempermainkan belasan kuda itu? Itu tandanya merekapun mempermainkan tentara negeri!..... "Jikalau benar Hek Pek Moko yang datang kemari, urusan pasti mesti ada ekornya," In Loei menduga kemudian. Karena ini ia lompat naik ke atas rumah, ia pasang kupingnya. Dalam hotel itu, berikut tentara negeri, penumpangnya berjumlah kira-kira tujuh puluh orang, tetapi waktu itu, tak terdengar satupun juga suara dari mereka, suasana sangat sunyi, sampaipun suara dekur tidak terdengar, hingga kesunyian mirip seperti pekuburan..... Dengan hati-hati, In Loei lompat masuk ke tjimtjhe dalam. Adalah niatnya untuk cari si jongos. Ia tampak pintu besar terbuka terpentang. Dan ia dapatkan, jongos yang pernah jadi penunjuk jalannya, pengantarnya, sedang tidur nyenyak bagaikan mayat. Ia tolak tubuh jongos itu, masih dia itu tak sadar dari tidurnya. Ia taruh tangannya di depan hidung orang, ia merasai hembusan napas. Ia mencoba menguruti jalan darahnya, akan tetapi nampaknya jongos itu bukan bekas kena totokan tiamhiat hoat. Heran dan penasaran, In Loei memeriksa terlebih jauh. ia jadi semakin heran. Beberapa jongos lainnya, jongos dari lain-lain kamar, rebah diam seperti jongos itu. Malah kuasa hotel, yang ia tahu mengerti ilmu silat, tidak menjadi kecuali, rebah seperti semua jongos itu..... "Aku dengar dalam dunia kangouw ada satu penjahat tukang petik bunga yang ada punya asap lupa istimewa," pikir si nona, "siapa terkena asap itu, dia akan tak sadarkan diri sebagai orang telah mati. Mungkinkah mereka ini telah terkena macam obat tidur itu?" Segera In Loei cari air, dengan itu ia sembur mukanya si kuasa hotel. Cuma kedua lengannya si kuasa bergerak sedikit tapi dia tetap tak sadar. Dia nampaknya bukan terkena obat tidur. Walaupun ia bernyali besar menghadapi kejadian itu, si nona bingung juga. Di akhirnya, ia lari keluar, akan periksa lain-lain kamar. Semua pintu kamar terpentang lebar, semua penghuninya, rombongan serdadu, pada tidur nyenyak sekali. Begitu juga serdadu yang rebah menggelar di ruangan tengah. Malah ada yang tidur dengan kaki tangan terpentang merupakan huruf "tay" — "besar." Ada juga mereka yang nyender ngelehek di tembok, kepalanya tunduk, pundaknya turun. Yang paling lucu ialah mereka yang mulutnya mengangah..... Seorang diri, In Loei bermandikan keringat dingin. Ia coba berteriak. Tidak ada jawaban manusia hanya suara kumandang. Ia merasa sangat tegang. Di situ, ia jadi seperti berada seorang diri saja, ia bagaikan hidup sendirian..... Dengan perlahan-lahan In Loei tenangkan dirinya. Ia mengingat-ingatkan akan Thio Hong Hoe yang liehay, juga si perwira muda yang tidak dapat dipandang enteng. Dua orang itu kosen, melayani mereka, belum tentu Hek Moko dapat dengan mudah menang di atas angin. Maka aneh sekali kenapa terjadi demikian rupa terhadap seluruh hotel? Dengan penasaran In Loei lari ke belakang. Di sana ia lihat enam buah kereta kerangkeng. Sekarang semua kerangkeng itu telah terbongkar, jeruji besinya memberi tanda bekas dikutungi senjata tajam. Kosong semua kereta itu, tak ada perantaiannya. In Loei jadi semakin heran. Senjatanya Hek Moko bukan senjata mustika. Siapakah yang telah melakukan semua ini? Benarkah Hong Hoe ramai kena dikelecei secara demikian gampang? Dengan perasaan heran In Loei lari ke kamarnya Hong Hoe. Kalau semua kamar lainnya pintunya terpentang lebar, adalah kamarnya komandan Kimie wie ini, tertutup rapat. Untuk membuka kamar itu, In Loei mendupak dengan kakinya. Begitu lekas daun pintu menjeblak, kamar itu terlihat kosong — Thio Hong Hoe tak nampak dalam kamarnya itu! Memandang ke sekitar kamar, tembok tertampak lukisan dari dua buah tengkorak manusia, yang dilukis dengan arang. Itulah tandanya Hek Pek Moko! Adakah Thio Hong Hoe tercelaka oleh kedua iblis dari Barat itu? Tetapi tidak ada tanda darah di lantai kamar. Hong Hoe liehay, umpama ia kalah terkepung Hek Pek Moko, itu baharu akan terjadi sesudah satu pertempuran yang seru. Sekarang ini keadaan kamar tak berubah sedikit jua, kursi tidak terbalik, meja tak terjungkal. Tidakkah itu aneh? Masih In Loei memandang seluruh kamar, hingga ia tampak, di tembok berhadapan dengan gambar kedua buah tengkorak itu, ada bertuliskan sesuatu yang lain. Yaitu yang satu adalah sebaris huruf, dan yang lain, yang di tengah, ada lukisan seekor kera bertangan panjang, mukanya bengis sekali. Di kiri ini ada lukisan sebatang pedang panjang,yang ujungnya tertusukkan sekuntum bunga merah, didampingi dikedua sampingnya dengan bunga putih. Sebaris huruf itu yang besar-besar, berbunyi: "Tiatpie Kimwan Hoasam Kiam hendak memapas kepalanya Hek Pek Moko! Siapa yang berlaku curang, dia bukannya satu enghiong! Siapa bernyali besar, silahkan datang keselat Tjeng Liong Kiap." In Loei ulangi itu tujuh huruf "Tiatpie Kimwan Hoasam Kiam," atau Hoa Sam Kiam si Kera Berlengan Besi. Ia lantas ingat penuturan gurunya tentang orang-orang liehay dari Rimba Persilatan jamannya itu. Ketua partai Thiamtjhong Pay, yang bernama Leng Siauw Tjoe mempunyai dua murid terpandai, ialah Tiatpie Kimwan Liong Tin Hong dan Hoasam Kiam Hian Leng Tjoe. Kedua murid ini mempunyai masing-masing kepandaiannya yang istimewa, tadinya hidup mereka ada di antara kalangan benar dan sesat, akan tetapi sudah belasan tahun lamanya mereka berdiam "bertapa" di atas gunung Thiamtjong San, untuk melatih lebih jauh kepandaian mereka, hingga mereka tak tampak pula dalam dunia kangouw. Maka adalah aneh, kenapa mereka berdua menantang Hek Pek Moko? Ada perselisihan apakah di antara kedua pihak itu? Memikirkan terlebih jauh, In Loei mau menduga, Hek Pek Moko adalah yang sampai terlebih dahulu di rumah penginapan itu, kemudian baharulah muncul Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam..... In Loei menjadi terlebih bingung lagi. Kejadian yang satu disusul kejadian yang lain. Yang satu aneh, yang lain terlebih aneh pula. Tak tahu ia apa yang harus dilakukan. Maka ia tinggalkan kamar dan pergi keluar, akan melihat-lihat. Ia seperti merondai hotel itu, sampai setibanya ia di belakang, di pintu samping, ia tampak pula satu hal aneh lainnya. Di situ terlihat si perwira muda, goloknya melintang di depan dada, kaki depannya terangkat naik, seperti tengah membuka tindakan lebar. Dia seperti terkena Tengsin hoat, ilmu "Mendiamkan tubuh", kedua matanya dipentang lebar. Dari tenggorokannya terdengar suara gerogokan. Inilah pemandangan mirip dengan yang In Loei tampak di rumah Tjio Eng, ketika Thio Tan Hong totok ke empat saudagar barang permata. "Apakah dia pun datang kemari?" In Loei tanya dirinya sendiri. Ia ingat pada Tan Hong, si mahasiswa berkuda putih. Hatinya jadi berdenyut. Ia berdiri menjublak. Perwira itu tak dapat berkutik, kaki tangan dan tubuhnya juga, akan tetapi kedua matanya bisa ditujukan kepada si nona. Oleh karena ia ingat ilmu totoknya Tan Hong, yang ia mengerti cara membebaskannya, dengan berani In Loei hampiri si anak muda, dengan lantas ia tekan kedua jalan darahnya , ialah "thiansoan" — "teeekie." Sekejap saja perwira itu berseru, menyusul mana, kaki dan tangannya dapat bergerak juga. Tapi, yang hebat, adalah ketika dengan mendadak goloknya menyambar membacok kepada In Loei! Tidak terkira kagetnya si nona, syukur ia tidak gugup, di saat bahaya maut mengancam dirinya itu, dengan kesebetannya ia dapat berkelit. Iapun segera hunus pedangnya, untuk menjaga diri. Perwira muda itu menjadi gusar. "Hai, binatang! Kiranya kau berkomplot dengan si penghianat!" demikian dampratnya. In Loei menjadi mendongkol. "Kenapa kau balas kebaikan dengan kejahatan?" ia tegur. "Sebab tangan jahat dari si penghianat adalah justeru kau yang mengerti ilmu membebaskannya!" bentak pula si anak muda. "Jikalau kau dan dia bukannya asal satu guru, kamu tentulah bersahabat kekal satu pada lain, karenanya kau diajari ilmu membebaskan totokan itu! Apakah kau masih hendak berlaku licik dan menyangkalnya?" In Loei menjadi gusar, hingga ia maju menyerang, beruntun tiga kali. "Kau kurang ajar!" ia membentak. "Jikalau aku kandung maksud jahat, mustahil aku membebaskan kau?" "Kalau bukan sahahat, ada hubungan apa di antara kau dan dia?" membandel perwira muda itu. "Lekas kau bicara!" In Loei tetap murka. "Kau siapa? Pernah apa aku terhadapmu hingga aku mesti turut kata-katamu?" ia bentak pula. Anak muda itu tetap gusar, malah ia balas membacok, dua kali. "Kau tahu siapa yang telah membokong aku?" katanya sengit. "Dia adalah puteranya Thio Tjong Tjioe si perdana menteri muda dari negara Watzu! Aku lihat kau seorang gagah perkasa, maka itu, setelah kau ketahui siapa dia itu, kau mesti bantu aku menuntut balas!" Mendengar itu, di dalam hatinya, In Loei kata: "Sejak siang-siang telah aku ketahui puteranya Thio Tjong Tjioe itu. Untuk apa aku tunggu sampai kau memberitahukannya?.....” Akan tetapi ia merasa aneh, ingin ia mendapat tahu. "Ada permusuhan apa di antara kau dan dia?" ia tanya. "Panjang untuk menuturkan soal itu," jawab si anak muda. "Aku dan dia bukan cuma bermusuh, aku malah hendak basmi semua anggauta keluarganya, tak peduli tua dan muda! Dia adalah puteranya Thio Tjong Tjioe si penghianat benar! Dia menyelusup masuk ke Tionggoan, pastilah dia kandung maksud tidak baik! Karena itu, sebab kau ada satu orang gagah perkasa, kau juga mesti bermusuh dengannya!" Diam-diam In Loei bergidik. Dari omongan orang ia dapat membayangkan bunyi surat wasiat kulit kambing yang berbau bacin. Dan, mengawasi si anak muda, rasanya ia makin kenal, makin kenal..... Dan di akhirnya, ia rasakan hatinya dingin, tubuhnya menggigil, giginya bercatrukan. "He, kau kenapa?" tanya si perwira, heran. Ia mengawasi dengan tajam. In Loei kuatkan hatinya untuk mencoba berlaku tenang. "Tidak apa-apa," sahutnya perlahan. "Syukur!" si anak muda kata. Lalu ia menambahkan: "Kita bertempur, sekarang baiklah kita berdamai. Kau beritahukanlah asal-usulmu, nanti aku beritahukan riwayatku kepadamu.....” "Tentang dirimu, tak usah kau tuturkan padaku," In Loei kata. "Aku tahu, kau datang dari Mongolia.....” "Bagaimana kau ketahui itu?" tanya si anak muda. "Kemarin kau serang si pangeran asing, kau menyamar sebagai pengembala bangsa Mongolia," sahut In Loei. "Dalam segala-galanya, kau mirip sekali." "Oh begitu?" si anak muda tertawa tawar. "Leluhurku, selama dua turunan memang sebagai pengembala dari Mongolia.....” Tiba saja In Loei rubuh sendirinya, ia bagaikan pingsan. Kakeknya In Loei hidup mengembala kuda dua puluh tahun di Mongolia, dan ayahnya, untuk menolongi kakek itu, tinggal di Mongolia juga dengan sembunyikan she dan namanya, selama itu hidupnya sebagai pengembala kambing. Memang, mereka itu adalah pengembala-pengembala di Mongolia, namun mereka adalah pengembala-pengembala yang terpaksa..... Sejenak In Loei merasa bagaikan kontak seluruh tubuhnya, hingga ia menggetar, menjadi seperti beku, habis tenaganya. "Dia inilah kakakku," demikian pikirnya sesaat itu, begitu lekas ia dengar jawaban si anak muda itu. "Tidak salah lagi, pasti dia kakakku! Ah, apakah benar dia kakakku?.....” In Loei datang ke kota raja untuk dengar-dengar perihal kakaknya. Sekarang, setelah bertemu, tiba-tiba saja ia dapat perasaan, ia mengharap, pemuda itu bukan kakaknya itu..... Ia terbenam dalam keragu-raguan. Di waktu menyebut Thio Tjong Tjioe ayah dan anak, nyata sekali kebencian pemuda itu terhadap ayah dan anak itu. Bagaimana kalau pemuda ini benar kakaknya? Bagaimana anggapan kakak ini apabila dia ketahui pergaulannya dengan Thio Tan Hong? Apa akan terjadi kelak? Apakah memang In Loei tidak berniat mencari balas? Bukan! Tak lenyap dari pandangan matanya itu surat wasiat kulit kambing yang berdarah dan berbau bacin. Tapi, ia benci Thio Tan Hong berbareng menyintainya juga..... akan tetapi ia tak menginginkan lain orang membenci Tan Hong itu..... Inilah pertentangan hebat dalam hatinya itu. Inilah yang membuatnya ia, tanpa merasa, rubuh sendirinya. "Kau siapa?" tanya anak muda itu, keras. Masih kalut pikirannya nona ini. "Untuk sementara baiklah aku tidak segera perkenalkan diriku?" ia bersangsi. "Jikalau dia bukan kakakku, tidakkah aku jadi buka rahasiaku sendiri? Bukankah dia seorang perwira.....” In Loei sambar sebatang rumput, lantas ia lompat bangun. "Aku datang mencari Tjioe San Bin!" akhirnya ia jawab. Agaknya pemuda itu heran. "Aku tahu kau datang untuk menolongi Tjioe San Bin," ia bilang. "Pada waktu pertama kali kau datang, kau mendekam di atas gentengnya Thio Thaydjin. Ketika itu sekira jam tiga. Aku telah lihat kau, tetapi aku membiarkannya, tak ingin aku pergoki kau. Yang aku tanyakan bukannya urusan itu....." "Jikalau kau tanya lainnya hal, tak sudi aku bicara," In Loei bilang. "Apakah kau tidak ketahui, urusan ada yang penting dan tidak penting? Kau lihat, cara bagaimana kau sudah mengacau! Bagaimana kau masih hendak menanyakan sesuatu kepadaku? Aku justeru hendak tanya kau, di mana Tjioe Toako itu? Kecuali kau, siapa pernah datang kesini? Apa yang kau bicarakan dengan Thio Hong Hoe, telah aku dengar semua, dari itu aku ketahui, kau juga datang untuk menolongi Toako San Bin itu." Nampaknya pemuda ini bagaikan ingat sesuatu, ia seperti sadar. "Kau benar," ia akui kemudian. "Sekarang mari kita masuk ke dalam untuk melihat-lihat. Mengapa Thio Thaydjin tidak muncul?" Tiba-tiba ia berhenti, akan kemudian menambahkan: "Sebenarnya apa yang kita bicarakan ini bukannya urusan tidak berarti..... Kau mirip dengan itu orang yang aku sedang cari. Sayang kau adalah seorang pria..... Ah, panjang untuk menutur, tak dapat itu dijelaskan dalam tempo satu hari satu malam. Baiklah lain waktu saja kita membicarakannya pula.....” In Loei telah menindakkan kakinya, ia jalan di sebelah depan. Ia tak ingin pemuda itu melihat air mukanya. "Apakah kau masih belum ketahui di dalam telah terjadi kekacauan?" ia tanya, tawar. "Semua serdadumu telah orang buatnya hingga bagaikan mayat-mayat hidup! Thio Thaydjin-mu juga tak nampak.....” Terkejut anak muda itu, hingga ia berseru, lantas ia lari mendahului, hingga ia tampak kejadian di dalam, yang membuatnya ia bergidik. Benar katanya anak muda ini yang ia tidak kenal..... Dan ketika ia masuk ke dalam kamar Thio Hong Hoe, di situ ia dapatkan lukisan tengkorak, kera dan pedang. "Benar-benar mereka yang datang!" katanya seorang diri. "Mereka? Mereka siapakah?" In Loei menegasi. "Itulah Hek Pek Moko bersama kedua paman guru dari Kong Tjongkoan dari keraton," sahut si anak muda. "Oh, kiranya Tiatpie Kimwan Liong Tin Hong serta Hoasam Kiam Hian Leng Tjoe adalah paman guru dari Tjongkoan1." In Loei bilang. "Aku harus beri selamat kepadamu yang telah dapatkan lagi dua orang kosen yang liehay!.....” Tidak senang si anak muda mendengar perkataan itu. "Kau tidak tahu keadaan di sebelah dalamnya" ia bilang. "Apabila Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam ketahui kita yang merdekakan Tjioe San Bin, sudah pasti jiwanya Thio Thaydjin tidak akan dapat dilindungi.....” In Loei heran. "Apakah benar-benar Tjioe San Bin telah dimerdekakan?" tanyanya, menegaskan. "Semula memang aku menyangka Thio Thaydjin tidak niat melepaskannya," jawab si anak muda. "Tak disangkanya, dia telah atur segala apa. Dia telah suruh membawa San Bin keluar dengan diam-diam....." "Tapi sekarang San Bin dan Hoan Tiong tak tahu ada di mana dan entah bagaimana keselamatan mereka," In Loei mengutarakannya. Ia unjuk apa yang ia telah alami. Perwira muda itu menghela napas. "Siapa juga tak dapat menyangka kejadian tak diduga-duga ini.....” bilangnya. Hendak In Loei menanya jelas, atau si anak muda telah menambahkannya: "Hoan Tiong dan Tjioe San Bin keluar secara diam-diam dari pintu belakang," demikian katanya. "Selama mereka berlalu, akulah yang memasang mata untuk berjaga-jaga. Tiba-tiba sang angin berkesiur masuk dengan membawa suatu bau harum. Aku segera menahan napas tetapi bau wangi itu sudah masuk juga sedikit ke dalam hidungku, telah kena aku sedot. Hebat bau harum itu, meskipun aku menyedotnya sedikit, segera aku merasakan tubuhku menjadi lemas. Di saat itu aku tampak satu tubuh melayang turun dari atas tembok. Aku kenali dialah si penghianat Thio Tan Hong yang selama di Mongolia aku telah mengenalinya. Begitu dia turun tangan, dia totok aku dengan ilmu totoknya yang liehay. Aku menahan napas, untuk melawan, percuma saja, aku tak sanggup bertahan, aku malah tak dapat berteriak. Dengan paksa aku lawan padanya, tapi baharu enam jurus, segera aku terpengaruh bau harum itu. Begitulah aku kena ditotok olehnya.....” "Kiranya demikian duduknya hal, pantas dia dapat lekas dirubuhkan Tan Hong," In Loei pikir. "Anehnya, apa perlunya Tan Hong berlaku demikian rupa terhadap dia? Apakah maksudnya?.....” "Setelah aku kena ditotok," si anak muda melanjutkan, "aku lantas tidak ketahui apa juga yang terjadi di dalam hotel ini. Aku juga tidak tahu berapa lama sudah berselang, tiba-tiba dari luar datang masuk dua orang, datangnya pesat bagaikan terbang. Yang satu adalah seorang tua dengan "pinggang biruang dan bermuka kera" yang lainnya satu imam yang menyoreng pedang panjang di pinggangnya. Mereka ini mencoba menotok aku, untuk bebaskan aku dari totokannya Thio Tan Hong, mereka tidak berhasil. Mereka jadi mendongkol, mereka tinggalkan aku masuk ke dalam sambil mereka mengutuk. Sebenarnya kecewa mereka menjadi ketua-ketua dari Thiamtjhong Pay, tak mampu mereka membebaskan totokannya lain kaum, seharusnya mereka mengutuk diri sendiri..... Tidak lama semasuknya mereka, keduanya segera keluar pula, dengan sengit sekali mereka itu mencaci Hek Pek Moko, lalu bagaikan terbang mereka melesat ke atas tembok dan pergi. Ah, kalau saja mereka ketemu dua iblis itu, pasti akan terjadi satu pertempuran dahsyat.....” "Sekarang mari kita pergi ke Tjengliong Kiap untuk lihat mereka," In Loei mengajak. "Baik!" jawab si perwira muda seraya ia terus bertindak keluar. Ketika ia telah saksikan keadaan semua kuda-kuda itu, ia tertawa sendirinya, ia menjadi mendelu. "Lihat dua iblis itu!" katanya, sengit. "Mereka juga turunkan tangan jahat mereka sebagai pencuri-pencuri kuda yang liehay! Syukur aku telah tinggal buat banyak tahun di Mongolia, tahu aku caranya menyembuhkan kuda-kuda yang diperlakukan demikian.....” Sambil mengucap, anak muda ini hampirkan dua ekor kuda, yang ia uruti bergantian, ditepuk-tepuk pulang pergi, hingga darahnya kedua binatang itu berjalan pula seperti biasa, hingga di lain saat, kedua kuda itu dapat pulih kebebasan mereka. Maka berdua mereka naiki kuda itu, untuk kabur keluar kota. Waktu itu sudah jam empat, sang fajar tengah mendatangi. Kedua kuda dilarikan keras, tidak lama kemudian, mereka sudah dapat memandang selat Tjengliong Kiap. Begitu tiba di sebuah tikungan, dari kiri mereka dengar suara bentroknya alat senjata, sedang di sebelah kanan, mereka tampak satu penunggang kuda asik kabur. "Mari kita melihat berpisahan," si anak muda usulkan. "Aku ke kiri, kau ke kanan." In Loei menurut tanpa banyak bicara, ia lari ke kanan. Tidak lama, ia sudah mulai candak penunggang kuda yang satu itu. Ia lantas perdengarkan suitan yang nyaring. Penunggang kuda itu hentikan kudanya dengan tiba-tiba, dengan cepat dia membalik diri. In Loei segera kenali penunggang kuda itu ialah komandan dari Gielim koen atau ahli silat nomor satu dari kota raja yaitu Thio Hong Hoe! Segera In Loei menggape, kudanya dikasi dari terus untuk menghampirkan. Karena Hong Hoe terus tahan kudanya, sebentar saja mereka sudah datang dekat satu pada lain. "Mana sahabatmu?" Hong Hoe mendahului menanya. Si nona terkejut. "Apakah kau telah ketemu dengan dia?" tanyanya, heran. "Aku baharu saja pergi dari tempatmu di sana.....” Hong Hoe berdiam, agaknya ia berpikir keras. "Kalau begitu, kejadian sungguh aneh!" ia bilang kemudian. "Kenapa dia pancing aku keluar? Kenapa kita mesti main petak di tegalan ini, main putar-putaran?" Heran In Loei. "Apa?" ia tanya. "Diakah yang pancing kau datang kemari? Bagaimana dengan Hek Pek Moko?" "Apakah kau maksudkan itu dua mahluk aneh yang kemarin kita ketemukan di dalam lembah?" Hong Hoe menegaskan. "Aku tidak bertemu dengan mereka. Sehabis aku antar kau, aku duduk diam di dalam kamarku, selagi aku pikirkan daya untuk menghadapi segala kemungkinan dari akibatnya tindakanku ini, aku dengar tiga kali ketokan perlahan pada jendela kamarku. "Saudara, kau sudah datang!" demikian aku dengar. Terang dia sangat enteng tubuhnya, karena kedatangannya itu tak aku ketahui sama sekali. Aku lantas lompat keluar. Dia telah lantas berada di atas genteng dari mana dia gapekan aku. Diapun bersenyum berseri-seri....." Ingin In Loei tanya, siapa orang itu, atau Hong Hoe potong padanya: "Apa? Kau masih hendak menanyakannya? Pasti sekali dia sahabatmu yang menunggang kuda putih itu! Apakah namanya dia? Ya, Thio Tan Hong! Sungguh aneh gerak-geriknya itu, tak dapat aku menerkanya. Sebenarnya aku sangat ingin berkenalan dengannya, dari itu, aku segera hampirkan dia. Dalam sekelebatan saja, dia telah melintasi dua wuwungan rumah. Tak dapat aku lukiskan kegesitannya, aku hanya bisa memuji dia. Aku menduga-duga, mungkin dia panggil aku keluar sebab tidak leluasa untuknya akan bicara di dalam kamar. Aku susul dia sampai melewati dua jalan besar, di pojok jalanan aku lihat dua ekor kuda. "Naik kuda!" dia itu kata padaku. Lantas dia mendahului lompat naik atas kudanya yang putih itu. Aku lompat atas kuda yang kedua. Sama-sama kita kabur keluar kota. Semula aku menyangka dia akan hentikan kudanya untuk bicara dengan aku, tetapi dia kabur terus. Aku teriaki dia berulang-ulang, dia seperti tidak mendengarnya. Aku coba menyusulnya, tapi tak berhasil aku menyandaknya. Ketika aku tidak menyusul terlebih jauh, dia justeru perlahankan larinya kudanya, hingga dia membikin aku sangat heran. Demikian di tempat ini, dia pancing aku berlari-lari tidak keruan juntrungan. Sungguh aku tidak mengerti.....” "Sekarang?" In Loei tanya. Ia pun heran. "Sekarang ini dia telah melintasi tepi bukit sana," sahut Hong Hoe sambil menunjuk ke arah depan. "Karena aku dengar panggilan kau, aku tidak susul dia lebih jauh. Ya, kau sendiri, dari mana kau datang? Apakah ada orang yang ketahui perbuatan kita?" In Loei tertawa. "Orang yang mengetahuinya?" katanya. "Sebaliknya daripada sadar, semua orangmu telah dibikin mampus oleh Hek Pek Moko!" Hong Hoe berjingkrak. "Apakah benar Hek Pek Moko ada punya nyali demikian besar?" dia tanya. In Loei bersenyum pula. Tapi ia bersungguh-sungguh. "Bukan mampus benar-benar, tapi tak bedanya dengan mampus," ia bilang. Si nona tuturkan apa yang ia lihat di hotel. Hong Hoe heran. Kenapa orang yang tak sadar tak dapat disadarkan dengan semburan air? Sungguh hebat bau harum itu! Tapi ia tidak berpikir lama, untuk perbuatannya Hek Pek Moko! Di Barat ada semacam obat pingsan itu, yang sangat liehay, biasanya disebut "asap mengembalikan semangat waktu jam lima ayam berkokok." Rupa-rupanya Thio Tan Hong bekerja sama Hek Pek Moko, yaitu Thio Tan Hong yang pancing aku keluar, Hek Pek Moko yang melepaskan bau harum itu. Aku tidak mengerti! Dengan Hek Pek Moko aku tidak bermusuhan, dengan Thio Tan Hong pun aku hanya bentrok kecil sekali, mengapa sekarang mereka berlelucon demikian hebat denganku?" "Akupun sangat tidak mengerti," In Loei turut mengutarakan perasaan hatinya. Ia lantas jelaskan lebih jauh apa yang ia tampak di hotel. Thio Hong Hoe terkejut mendengar Tiatpie Kimwan datang bersama Hoasam Kiam. "Apakah mereka bukan kawanmu?" In Loei tanya. "Kenapa kau takut?" Thio Hong Hoe menggeleng kepala, ia menyeringai. "Jangan tanya dulu. Kau bicara terus," ia bilang. Nona In lanjutkan keterangannya, ia menutur dengan jelas. Mengetahui si anak muda juga rubuh di tangan "lawan", Hong Hoe meringis. "Aku tak mengerti kenapa perwira muda itu sangat benci dia?" tanya In Loei. Dengan "dia" ia maksudkan Tan Hong, tetapi tidak mau ia omong jelas, tentang puteranya Tjong Tjioe itu. Hong Hoe berdiam, agaknya ia berpikir. "Dilihat dari romannya, Thio Tan Hong itu mesti bukan seorang busuk," kata ia kemudian. "Sebetulnya kenapa In Tongnia sangat benci padanya, aku tidak tahu, mengenai ini, nanti aku tanyakan keterangannya." Baharu sekarang In Loei dengar si perwira muda dipanggil she In. Karena mendengar ini, segera mukanya menjadi pucat, tubuhnya limbung hampir rubuh. Inipun suatu keterangan tambahan, yang menguatkan dugaannya mengenai perwira muda itu. Hong Hoe tidak mengerti kenapa orang jadi terhuyung, lekas-lekas ia ulur tangannya, untuk menyambar. "Kau kenapa?" ia tanya. In Loei singkirkan dirinya. "Tidak apa-apa," ia menjawab. "Apakah namanya perwira itu?" "Ia she In, namanya Tjian Lie," Hong Hoe menerangkan. "Kenapakah?" Kembali wajahnya In Loei menjadi tambah pucat. Sekarang ia peroleh kepastian. Nama Tjian Lie itu pasti bukan nama benar, itulah nama bikinan, pecahan dari huruf "Tiong"="berat" atau penghargaan atas diri sendiri. Huruf "Tiong" ini, apabila dipecah, menjadi "tjian lie"="seribu lie". In Tiong itu adalah kakaknya In Loei akan tetapi dua saudara ini, engko dan adik, telah terpisah sejak mereka masih kecil, namun In Loei masih ingat kakaknya itu, malah ia mencarinya. Sekarang ia merasa pasti atas kakak ini, hatinya goncang, saking girang dan kuatir. Ia girang sebab akhirnya ia ketemu juga kakaknya itu. Yang membikin ia kuatir adalah persahabatannya dengan Thio Tan Hong, yang nampaknya dibenci sangat kakaknya itu. Soal ini bisa sangat menyulitkan dia..... "Apakah kau kenal In Tjian Lie?" Hong Hoe tanya. "Dia mirip dengan sahabatku ketika kami masih sama kecil, " In Loei jawab. "Eh, ya, kapankah dia kembali?" "Kembali?" mengulangi Hong Hoe. "Ah, apakah kau juga ketahui dia telah kembali dari Mongolia? Dia memasuki pasukan Gielim koen belum ada satu bulan. Aku menjabat Tjiehoei dari Kimie wie merangkap Tongnia dari Gielim koen, karenanya dengan sendirinya aku menjadi pemimpinnya. Perkenalan kami berjalan belum lama akan tetapi cita-cita kami sama, cocok satu pada lain. Turut saudara In itu, leluhurnya selama dua turunan adalah orang-orang Han yang tinggal di negeri Watzu di mana mereka sangat menderita penghinaan dan kesengsaraan, karenanya dia buron ke Tionggoan, niatnya untuk mencari kedudukan, umpama sebagai kepala perang, menanti kelak tiba harinya memimpin suatu pasukan besar untuk menyerbu dan memusnakan negeri Watzu itu. Demikian karenanya, lebih dahulu ia ceburkan diri dalam pasukan Gielim koen. Sekarang ia tengah bersiap-siap untuk turut dalam ujian umum militer tahun ini, agar ia dapat lulus dan keluar sebagai Boe tjonggoan. Kalau ia berhasil, pasti sekali ia akan dapat capai cita-citanya itu." Mendengar ini, In Loei menghelah napas. "Dia bercita-cita mencari balas dengan jalan memangku pangkat, aku kuatir dia tidak akan berhasil dengan pengharapannya itu," ia bilang. "Thio Thaydjin, harap kau tidak berkecil hati jikalau aku omong terus terang. Untuk melawan bangsa Ouw itu, pemerintah Beng tak dapat dibuat harapan!" Hong Hoe tidak mengerti maksud orang, dia bungkam. "Mungkin sekali kata-katamu ini tak tepat," dia bilang kemudian. "Di dalam pemerintahan kita ada menteri-menteri besar yang jujur dan setia yang berangan-angan menentang bangsa Ouw itu, umpamanya Kokioo Ie Kiam, dialah satu menteri setia yang pantas dihormati." In Loei tidak kenal keadaan pemerintah, tidak ingin ia berdebat. Hong Hoe sementara itu heran juga yang In Loei sangat perhatikan In Tjian Lie, tadinya hendak ia menanyakannya, ketika tiba-tiba ia dengar ringkiknya kuda, menyusul mana ia tampak kuda putih dari Thio Tan Hong telah lari balik, penunggangnya ada bersama, ialah si mahasiswa. "Hai, kau sedang bersandiwara apa?" tegur Hong Hoe. "Sahabatmu ada di sini! Jangan kau main teka-teki pula!.....” Kuda putih itu lari bagaikan terbang, sekejap saja dia telah tiba. "Maaf!" kata penunggangnya kepada komandan Kimie wie itu, lalu terus ia pandang In Loei, akan tanya: "Kau baik?" In Loei pegangi pelana. "Terima kasih untuk perhatianmu....." katanya, tawar. Heran Hong Hoe akan saksikan kedua orang itu bersikap bagaikan bukan sahabat-sahabat kekal, akan tetapi karena ia ingin peroleh keterangan dari Tan Hong, tidak sempat ia untuk menanyakan In Loei akan sikapnya itu. "Saudara Thio," katanya pada mahasiswa itu, "kau dengan aku dapat dikatakan bersahabat erat, kenapa kau sebaliknya telah ajak Hek Pek Moko datang kepadaku untuk mengacau?" Tan Hong melengak, ia tertawa nyaring. "Inilah yang dikatakan, kesulitan orang, tuan tak mengetahuinya dan sia-sia belaka di depan orang yang tersangkut sendiri untuk bicara tentang hutang budi!" katanya. "Sekarang ingin aku tanya kau, tahukah kau siapa yang telah datang menyelidiki kau?" Wajah Hong Hoe menjadi pucat dengan tiba-tiba. "Oh, kau juga ketahui halku itu?" tanyanya. "Memang Tiatpie Kimwan Liong Tin Hong serta Hoasam Kiam Hian Leng Tjoe telah datang kesini." "Memang!" sahut Tan Hong. "Tahukah kau apa maksud sebenarnya mereka datang kesini?" Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam adalah soesiok atau paman guru dari Kong Tiauw Hay, tjongkoan atau kuasa besar dari keraton kaisar dan Kong Tiauw Hay itu adalah murid kepala dari Leng Siauw Tjoe ketua dari partai persilatan Thiamtjhong Pay, dia bertenaga sangat besar, liehay ilmu silatnya bahagian luar, gwakang, tetapi karena dia selalu berdiam di dalam keraton di mana dia in merawati dan melindungi kaisar, dalam dunia kangouw namanya tak terkenal. Dia tidak puas terhadap Thio Hong Hoe yang kesohor sebagai jago silat nomor satu untuk kota raja, pernah tiga kali dia tantang Hong Hoe adu silat, kesemuanya itu dia kena dirubuhkan, karenanya dia menjadi jelus, di mulut dia mengatakan takluk terhadap Hong Hoe, tapi di dalam hatinya dia berdendam, maka itu, dengan diam-diam dia cari jalan untuk singkirkan tjiehoei dari Kimie wie dan Gielim koen itu. Hong Hoe bukannya tidak tahu Tiauw Hay mendendam terhadapnya, akan tetapi karena kedudukan tjongkoan itu ada terlebih kuat daripada kedudukannya, ia hanya bisa berlaku hati-hati saja untuk menjaga diri. Sekarang ia dengar keterangannya Tan Hong itu, tidak heran ia jadi terkejut, hingga mukanya menjadi pucat. "Bukankah Kong Tiauw Hay yang secara diam-diam undang kedua paman gurunya itu datang kemari untuk mencelakai aku?" dia kata. Thio Tan Hong tertawa. "Untuk apa dia berlaku secara diam-diam?" katanya. "Sekarang ini saja dia telah pegangi kakimu yang sakit.....” Hong Hoe jadi semakin heran. "Apa?" katanya. "Kau maksudkan apa?" Tan Hong bersenyum. "Sebenarnya Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam keluar dari kota raja bukan untuk urusanmu," ia bilang, "hanya kebetulan saja mereka ketahui tentang halmu itu. Apakah kau ingin ketahui hal ihwalnya?" "Aku minta kau sudi menceriterakannya," Hong Hoe mohon. "Hek Pek Moko telah menadah serupa barang curian yang berharga besar," Tan Hong berikan keterangannya. "Itu adalah pusakanya satu pangeran di kota raja, ialah sepasang singa-singaan dari batu kumala. Cukup untuk menyebutkannya saja sepasang matanya singa-singaan kumala itu. Sepasang mata singa-singaan itu terbuat dari mutiara sejati, yang harganya ada seumpama harganya sebuah kota. Pencurian itu sangat menghebohkan. Kong Tiauw Hay insyaf dia bukanlah tandingannya dari Hep Pek Moko, karenanya dia undang kedua paman gurunya itu, yang diminta bantuannya untuk selidiki kedua Moko. Mereka menduga Hek Pek Moko menyingkir pulang ke Barat, karenanya mereka menyusul. Kebetulan bagi mereka, mereka lihat kau berada di sini, maka sekalian mereka awasi kau juga. Lebih kebetulan lagi, kau justeru dapat menawan puteranya Kimtoo Tjeetjoe, hal mana mereka dapat mengetahuinya. Yang hebat adalah, selagi kau belum tahu jelas tentang siapa adanya tawananmu itu, Kong Tiauw Hay sendiri sudah lebih dahulu menerima laporan yang jelas. Harganya Tjioe San Bin itu ada di atas harganya sepasang singa-singaan kumala itu, jikalau dia dapat dibawa ke kota raja, itu artinya satu jasa sangat besar, maka itu Kong Tjongkoan segera bertindak. Ia telah ke sampingkan dahulu tentang barang curian itu. Begitulah disatu pihak dia kirim kabar kilat, di lain pihak, dengan berbareng dia undang datang kedua paman gurunya itu untuk menyusul kemari, untuk ambil alih orang tawananmu itu. Kesudahannya, baharu saja kaki depan San Bin menindak keluar dari pintu, atau kaki belakang dari mereka telah tiba.....” Thio Hong Hoe terkejut hingga ia berseru. "Jikalau mereka dapat tahu aku sudah merdekakan Tjioe San Bin, itu artinya bagiku hukuman mati seluruh keluargaku!" katanya. Tan Hong kembali tertawa. "Jangan kau takut!" katanya, tenang. "Aku telah gunai akal memancing mereka ke lain jurusan. Tentang tindakanmu ini, mereka tidak nanti ketahui untuk selama-lamanya!" Hong Hoe bagaikan sadar. "Jadinya kau sudah gunai Hek Pek Moko sebagai umpan untuk pancing mereka itu menyingkir dari arahku?" katanya. "Kau bisa pengaruhi kedua iblis itu, sungguh aku kagum! Tapi, apakah artinya kau mengacau di rumah penginapan itu?" "Sabar, sahabatku," sahut Tan Hong. "Walaupun benar mereka tidak tahu kau telah merdekakan Tjioe San Bin, akan tetapi karena kau telah loloskan seorang tawanan yang penting, dosamu tetap bukannya kecil. Saudara Thio sahabatku, kau pernah baca masak-masak kitab ilmu perang, kau tentunya ketahui kouw djiok kee dari Oey Khay, itu akal mempersakiti diri sendiri.....” Hong Hoe benar-benar sadar, segera ia rangkap kedua tangannya, ia angkat, untuk memberi hormat kepada si mahasiswa berkuda putih itu. "Terima kasih untuk budimu yang besar ini, tak nanti aku melupakannya." ia mengutarakan isi hatinya. In Loei mendengari saja pembicaraan orang, ia tak mengerti. "Hai, sebenarnya kamu tengah bersandiwara apa?" tanya dia, tak sabaran. "Mereka telah bongkar kerangkeng, mereka telah merdekakan perantaian," jawah Hong Hoe. "Karena itu, tak dapat aku lolos dari tanggung jawabku. Yang datang itu adalah musuh-musuh yang liehay sekali, orang-orang kami telah dipengaruhinya, telah kami keluarkan antero tenaga, masih kami tidak berdaya. Sama sekali kami tidak berpura-pura kalah dan membiarkannya perantaian kabur. Karena kami telah melakukan perlawanan, dosa kami bisa menjadi entengan....." "Tetapi itu belum semuanya," Tan Hong bilang. "Melihat nama kamu, dengan nampak kekalahan saja, kamu sudah bersalah. Andaikata musuh dapat mengalahkan orang yang terlebih liehay daripada kamu, mungkin Kong Tjongkoan tak enak hatinya untuk menghukum kau.....” "Adakah ini sebabnya kata-katamu bahwa kau hendak mengasi rasa kepada Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam?" Hong Hoe tanya. "Sudah pastikah kau dapat mengalahkan orang-orang Thiamtjhong Pay itu?" Thio Tan Hong tertawa. "Kau dengarlah dengan saksama!" ia kata. Waktu itu juga dari kejauhan, dari tepi bukit, ada terdengar suara riuh rendah dari pertempuran, agaknya orang tengah mendatangi ke arah mereka. "Masih ada seperjalanan tiga lie!" kata Tan Hong pula. "Thio Thaydjin, hendak aku membingkiskan sesuatu yang tidak berharga kepadamu.....” Tangannya Tan Hong menyekal satu bungkusan merah yang bundar, seperti bungkusannya sebuah semangka, bungkusan itu diangsurkan kepada Hong Hoe yang segera menerimanya dan dibukanya. Ia terkejut hingga wajahnya pucat apabila ia telah saksikan isinya bungkusan itu, ialah sebuah kepala orang. Bahna murkanya, dengan goloknya Hong Hoe segera tabas si mahasiswa berkuda putih itu. "Kenapakah kau bunuh adikku yang kedua?" teriaknya. "Adakah ini yang kau namakan kouw djiok kee, tipu muslihat mempersakiti diri itu?" In Loei di samping mereka pun sudah lantas kenali kepala orang itu, ialah kepalanya Khoan Tiong, Lweeteng Wiesoe yang menjadi salah satu dari tiga jago silat nomor satu dari kota raja! Serangannya Hong Hoe itu ada sangat tiba-tiba, hebat serangan itu, atas itu Thio Tan Hong perdengarkan jeritan "Ayo!" dan tubuhnya pun terhuyung! -ooo0dw0ooo- BAB XIII Tapinya pemuda she Thio itu tidak menjadi kurban, dia pun sangat gesit, dengan mendahului sambaran golok, tubuhnya terhuyung ke arah tujuan serangan, berbareng dengan itu kaki dan tangannya digerakkan bagaikan orang ketakutan sangat. Terang sudah bahwa ia berpura-pura belaka, hingga Hong Hoe menjadi bertambah-tambah murka. "Sengaja kau permainkan aku, apakah maksudmu?" dia membentak pula. Tan Hong tertawa terbahak-bahak. "Sudah bagus kau tidak menghaturkan terima kasih padaku, kenapa kau sebaliknya menjadi demikian gusar" katanya. "Kau lihat, apakah ini?" Dan ia lemparkan sehelai kertas yang bersampul merah. Surat itu adalah sepucuk surat dinas, karena hanya selembar, enteng sekali sampul itu, akan tetapi ketika dilemparkan, timpukannya sangat berat dan keras. Jarak di antara kedua orang hanya setombak lebih, di waktu Hong Hoe menyambutinya, walaupun ia salah satu jago nomor satu dari kota raja, ia pun terperanjat. Lemparan itu bagaikan timpukan senjata rahasia. Dengan sangat bernapsu Thio Hong Hoe beber surat dinas itu untuk dibaca isinya, atas mana, kagetnya bukan kepalang. Itu adalah sebuah surat rahasia Khoan Tiong untuk Tjongkoan Kong Tiauw Hay, terang di situ Khoan Tiong mencatat segala apa sejak dia ikut Hong Hoe keluar dari kota raja, jelas dia menulis sesuatu sepak terjangnya Hong Hoe, sang sep atau toako itu, sampai halnya Hong Hoe dikalahkan Tan Hong dan In Loei dalam lima jurus, dalam mana Hong Hoe melarang orang membantuinya, yang lebih hebat adalah catatan halnya San Bin tertawan, bagaimana San Bin diiring, dicampur di antara orang-orang tawanan lainnya. Setelah Hong Hoe habis membaca, Tan Hong berkata: "Soalnya sudah jelas, Khoan Tiong telah kenali San Bin akan tetapi dia tidak memberitahukannya kepadamu. Waktu itu dia tidak keburu tulis laporan rahasianya, sebaliknya, dia kirim orang kepercayaannya untuk menyampaikan berita ke kota raja. Laporan orang itu tidak lengkap, itulah tidak terlalu membahayakan, akan tetapi surat rahasia ini, apabila ini sampai di tangan Kong Tjongkoan, celakalah kau!" Hong Hoe menjadi lesu sekali dia sampai lemparkan goloknya. "Memang aku tahu saudaraku yang kedua ini sangat rakus dan temaha akan pangkat besar, aku hanya tidak sangka bahwa dia ada demikian hina dina.....!" Bahwa dia ada sangat menyesal, itu terbukti dari air matanya yang segera keluar bercucuran, sedangkan dia sangat percaya saudara angkat yang kedua itu. "Orang semacam dia, untuk apakah kau tangisi?" kata In Loei apabila ia telah ketahui duduknya hal. "Walau bagaimana, kami pernah menjadi saudara angkat," sahut Hong Hoe lemah. "Sekarang tidak aku sesalkan kau bahwa kau telah bunuh dia," ia tambahkan pada Tan Hong "Nah, kau pergilah!" Suara riuh rendah terdengar semakin mendekati. Dengan sebat Hong Hoe bungkus pula kepalanya Khoan Tiong, yang terus ia gantung dipelananya. Selagi berbuat demikian, dia membalik belakang terhadap Tan Hong dan In Loei. Sekonyong-konyong Tan Hong hunus pedangnya yang terus ditikamkan kepada komandan Kimie wie itu. In Loei kaget bukan main "Hai kau, bikin apa?" dia menegur. Hong Hoe sementara itu telah perdengarkan jeritan keras, di waktu In Loei lihat padanya, ia menjadi kaget. Hong Hoe berpaling dengan mata dibuka lebar, romannya ketakutan. Tapi In Loei menjadi lega juga hatinya apabila ia dapat kenyataan orang cuma terluka sedikit bahu kirinya, luka itu tidak berbahaya. "Bagus!" teriak Hong Hoe, murka dan masih kaget. Tapi Tan Hong, dengan suara perlahan, kata padanya: "Lekas kau jumput golokmu, mari kau tempur aku!.....” Kata-kata ini menyadarkan komandan itu, dia lompat kepada goloknya, golok Bianto untuk dipungut, lalu dengan golok itu dia terjang Thio Tan Hong, siapa berikan perlawanan, maka mereka jadi bergumal hebat. Luka di bahu kiri Hong Hoe itu tidak sempat dibalut, luka itu masih mengucurkan darah hidup..... In Loei telah saksikan itu semua, akhirnya iapun insaf, maka seorang diri ia tertawa geli. "Thio Tan Hong ini benar-benar licin!" katanya di dalam hati. "Tipu kouw djiok kee-nya membikin aku kaget sekali..... Kalau Hong Hoe tidak "terlukakan" musuh, dan apabila dia tidak telah dibokong, dosanya memang bukan kecil.....” Tan Hong masih melakukan perlawanan karena Hong Hoe masih terus serang ia secara hebat, walaupun demikian, sambil tertawa, dengan perlahan, ia kata kepada lawannya itu: "Tadi kau bacok aku tapi gagal, sekarang aku menikam kau, dapat aku melukai padamu, maka sekarang baiklah kau menyerah kalah.....” Hong Hoe mendongkol bukan main. Itulah godaan hebat untuknya sekalipun ia tahu mereka sedang main sandiwara, karena itu, permainan goloknya menjadi kalut. Tidak demikian dengan Tan Hong, yang bersilat separuh main-main, separuh benar-benar, hingga perlawanannya atau penyerangannya jadi berbahaya, hampir saja muka si komandan kena tertikam pula. Sesudah ini baharu Hong Hoe takluk benar-benar..... Suara riuh yang mendatangi telah datang semakin dekat, di tikungan sudah lantas tertampak terangnya api obor dan serombongan orang telah memburu, dan di antara terangnya api itu kelihatan yang terdepan adalah Hek Pek Moko, di belakang mereka satu toodjin atau imam berserta seorang tua, ialah kedua paman-paman guru dari Tjongkoan Kong Tiauw Hay. Hek Moko dan Pek Moko berkelahi sambil lari, mereka kelihatannya kalah, mereka terdesak sangat, akan tetapi sekalipun demikian, permainan silat mereka tidak menjadi kalut. Begitu sudah datang lebih dekat, Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe telah dapat lihat Thio Hong Hoe repot melayani satu anak muda dengan pakaian serba putih, ia jadi lebih kaget karena tampak komandan Kimie wie itu sudah terluka, lengannya mandi darah. "Ah, siapakah anak muda itu?" pikirnya. "Dia masih muda sekali tetapi sangat gagah, hingga Thio Hong Hoe dapat dia buatnya menjadi kacau balau? Mungkinkah Kong Tiauw Hay telah omong dilebih-lebihkan tentang kegagahannya Thio Hong Hoe ini?....." Walaupun dia berpikir demikian, Samhoa Kiam toh tinggalkan Pek Moko yang "terdesak" itu untuk memburu kepada si orang she Thio, malah sambil berseru dia berkata: "Thio Thaydjin, kau mundurlah, nanti aku yang hajar padanya!" Tidak kecewa Wan Leng Tjoe menjadi salah seorang kenamaan dari Thiamtjhong Pay, permainan silatnya hebat sekali, begitu ia dekati Thio Tan Hong, sinar pedangnya segera berkilau-kilau, ujung pedangnya lantas menusuk ke kiri dan kanan dengan cahayanya bergemerlapan. Rupanya itulah yang membuatnya ia peroleh gelarannya, Samhoa Kiam — Pedang Berbunga Tiga. Begitu lekas ia dikepung Hian Leng Tjoe, begitu lekas juga Thio Tan Hong menjerit-jerit: "Celaka, celaka!" "Kau tahu celaka, itulah bagus!" teriak Hian Leng Tjoe dengan hinaannya. Dia tertawa dingin. Dan diapun perhebat serangannya. Thio Tan Hong bagaikan terputar-putar, tubuhnya lincah mendahului tikaman, walaupun ia terdesak tetapi ia tidak dapat dilukai. Kejadian ini terulang sekian lama, hingga akhirnya Hian Leng Tjoe menjadi heran. "Hebat keentengan tubuhnya orang ini....." demikian dia berpikir. Karena ini, ia jadi tidak berani lagi memandang enteng seperti bermula tadi. Sebaliknya, ia gerakkan pedangnya lebih gencar, ke atas dan ke bawah, ke kiri dan ke kanan, karenanya, ia membuat enam gerakan saling susul, sinar pedangnya berkilauan. Di antara serbuan itu, tiba-tiba terdengar Thio Tan Hong tertawa terbahak-bahak, menyusul mana, pedangnya juga bercahaya putih mulus, memain di antara sinar pedang lawan yang liehay itu, tak kalah gesitnya. Baharu saja Hian Leng Tjoe terkejut, karena ia dapat lihat tegas permainan pedang lawan, atau ia telah terlambat, cuma terdengar saja jeritannya. "Bagus!" teriak In Loei, yang masih saja menonton..... Hian Leng Tjoe tidak berani tangkis bacokan Tan Hong, tahu bahwa satu bentrokan antara kedua pedang, pedangnya sendiri akan terpapas kutung, karenanya, ia unjuk kesebetannya, dengan satu gerakan, ia tempel pedang lawan. Inilah yang menyebabkan pujian dari si Nona In itu. Tan Hong juga terperanjat dapatkan lawan sanggup elakkan bahaya dan sebaliknya dapat menempel pedangnya itu, oleh karena ini insaflah ia bahwa lawan ini berkepandaian terlebih tinggi daripada Thio Hong Hoe. Karena ini, tidak sudi ia berlaku sembarangan. Bertempur terlebih jauh, Tan Hong unjuk kelonggaran, artinya, ia mengalah terhadap desakan Sam Hoa Kiam, menggunai saatnya, sekonyong-konyong ia membungkuk sedikit, ujung pedangnya menyambar ke arah pinggang lawan. Hian Leng Tjoe tengah membabat kepala musuhnya ketika ia diserang di bahagian bawah itu, tapi masih ia dapat ketika untuk berkelit dengan mundur satu tindak, namun masih ia kurang sebat sedikit, walau pinggangnya terhindar sambaran pedang, ujung bajunya kena terpapas kutung! Bahaya pun sebenarnya mengancam Tan Hong, tapi karena ia keburu membungkuk, ia lolos dari bencana, lalu sebaliknya, ia ancam lawannya itu. Hian Leng Tjoe kaget berbareng gusar. Beberara kali ia gagal, ia menjadi mendongkol sekali. Maka itu ia menyerang pula, ia jadi semakin sengit dan penasaran sekali. Dalam menghadapi lawan biasa, cahaya pedangnya dapat membuat mata lawan silau dan kabur. "Dalam seratus jurus, masih aku bisa lawan seri padanya," Tan Hong berpikir, "selewatnya itu, rahasiaku bisa bocor dihadapannya..... Karena ini segera ia berseru nyaring: "Kita lawan satu sama satu sampai kapan kita bisa selesaikan pertempuran ini? Kau masih ada punya kawan, suruhlah dia maju berbareng untuk kepung aku! — Eh, Hek Pek Moko, kamu biarkan tua bangka itu, kamu tinggalkan dia pergi!" Soeheng, atau kakak seperguruannya Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe, yaitu Tiatpie Kimwan Liong Tin Hong tengah dikepung Hek Pek Moko, satu melawan dua, dia telah jadi sangat repot, napasnya sampai sengal-sengal, tubuhnya pun bermandikan keringat dingin, maka bagaimana lega hatinya ketika dia lolos dari kepungan hebat. Hek Moko dan Pek Moko tertawa dengan berbareng. "Orang tua, kau berumur panjang!" kata dua hantu ini dengan riang gembira. "Kau dengarlah, di sana sahabatku yang muda telah pertanggungkan jiwamu supaya jiwamu ini tak mampus di tangan kami! Nah, kau pergilah, kami ijinkan padamu!" Liong Tin Hong mendongkol bukan main, walaupun dia sudah lelah, masih hendak dia maju menyerang. Akan tetapi dia didahului Hek Moko, yang rabu dia dengan layangkan tongkatnya, hingga mau atau tidak, mesti dia mundur dua tindak! Tetapi dia tak dapat lolos dengan selamat! Hek Pe Moko biasa bertempur berdua dengan teratur, sempurna kerja sama mereka, demikian juga kali ini. Ketika Hek Moko layangkan tongkatnya, Pek Moko tidak berdiam diri, bagaikan sudah dijanji, dia membarengi merangsak, percuma Tiatpie Kimwan si Kera Emas Berlengan Besi, selagi dia dapat berkelit ke kiri, tongkat Pekgiok thung dari si Hantu Putih sudah mampir dibebokongnya! "Hai, kera tak tahu diri, aku ajar adat padamu!" tertawa si iblis putih itu. Hajaran itu tidak parah, tapi setelah itu, keduanya lantas saja memutar tubuh, untuk berlalu sambil tertawa panjang..... Tidak terhingga mendongkolnya Tiatpie Kimwan, hampir dia rubuh pingsan, masih bagus, melainkan tubuhnya sedikit terhuyung. Dia punyakan Iweekang yang terlatih baik, tidak urung dia merasakan sakit bekas hajaran tongkat lawan itu, terpaksa dia empos semangatnya, untuk bertahan diri. Thio Tan Hong lihat orang terhajar, sambil berkelahi, masih sempat ia memasang mata. Maka juga ia tertawa besar. "Hai, kera bangkotan, apakah tulang punggungmu terhajar patah?" demikian godaannya. Tiatpie Kimwan adalah seorang kenamaan sejak puluhan tahun, belum pernah dia terhina, sekarang dia dapat hinaan ini, sudah tentu dia tidak mau mengerti. Maka juga dia berseru nyaring sekali. "Bangsat kecil, kau sangat menghina?" teriaknya lalu dia berlompat maju menghampirkan kawannya, untuk hajar anak muda itu. Dan begitu dia sudah datang dekat, begitu juga dia menyerang, dengan senjatanya yang luar biasa, yaitu tongkat panjang berkepala naga, sedang ujungnya lancip mirip telapak tangan yang berjari lima, yang semuanya tajam bagaikan gaetan, sedang batang tongkat penuh dengan cagak tajam seperti duri. Maka, kecuali kepala naganya serta tempat pegangannya, bahagian-bahagian lainnya tak kena tercekal atau terlanggar tangan kosong. Karena ini juga, selagi digunakan, tongkat itu mirip dengan tangan-tangan kera yang berbulu. Melayani satu Samhoa Kiam, Tan Hong sudah kewalahan, sekarang ditambah lagi satu musuh yang tidak kurang tanggunya, segera dia menjadi repot. Tetapi dia tidak jeri, karena musuh ini sengaja dia undang, hanya pada mulanya, hampir saja batok kepalanya hancur luluh terkena kemplangan tongkat istimewa dari si Kera Emas Bertangan Besi itu. Dalam kagetnya, dia lantas berkelit, terus dia bersilat dengan jurus "Hoenhoa hoetlioe" — "Memecah bunga mengebut yanglioe," untuk perlihatkan kegesitannya. Dia melawan kedua musuh seperti tidak keruan juntrungannya tak tentu arahnya. Tiatpie Kimwan, yang sedang mendongkol jadi semakin mendongkol, ia bersuit dengan pelahan ketika ia mulai pula dengan serangannya. Dengan saling susul ia mendesak tiga kali dengan gegamannya yang luar biasa itu. "Tidak kecewa Tiatpie Kimwan peroleh nama besarnya." pikir Tan Hong, yang harus memuji lawannya itu. "Dia telah berkutat dengan Hek Pek Moko dan telah rasai juga senjata si iblis, sekarang dia masih begini tanggu.....” Pedang Samhoa Kiam dari Hian Leng Tjoe juga telah diperhebat, ujung pedang itu selalu mencari tempat-tempat yang berbahaya, hingga Tan Hong jadi repot. Tapi si mahasiswa ini tidak takut, bahkan sebaliknya, ia tertawa. "Bagus, bagus!" serunya. "Dua tua bangka maju berbareng, mereka boleh di kirim pulang sekalian saja! Eh, adik kecil, mari maju!" In Loei tahu bahwa ia dipanggil, akan tetapi ia masih diam menonton. Tiba-tiba Thio Tan Hong limbung hampir saja ujung pedang Hian Leng Tjoe mengenai tubuhnya, sesudah mana dalam keadaan berbahaya itu, iapun hampir saja tertotok toya-nya Tiatpie Kimwan, syukur ia masih bisa berkelit, hingga tenggorokannya jadi bebas dari totokan itu. Hebat pemandangan itu. Hong Hoe juga menonton, ia mundur kepinggiran. In Loei tetap masih bersangsi, agaknya ia hendak membuka mulut akan tetapi saban-saban urung. Tapi sekarang, mendadak pedangnya yang bersinar hijau telah berkelebat, tubuhnya sudah lompat maju. "Bagus!" seru Tan Hong kegirangan, sesudah mana, pedangnya yang bercahaya putih mengkilap turut bersinar pula. Maka sejenak kemudian, kedua sinar hijau dan putih itu bergabung menjadi satu, bergeraknya cepat, pengaruhnya tersebar. Segera juga Tiatpie Kimwan dan Samhoa Kiam merasai pengaruhnya kedua pedang lawan itu, hingga tidak lama mereka dapat desak Tan Hong, malah sebentar kemudian mereka mesti terpaksa main mundur. Percuma Hian Leng Tjoe mencoba mengintai lowongan, baginya kedua pedang hijau dan putih itu ada terlalu kerap, tiada tempat lowong yang dapat ditoblos. Celakanya, asal ia mencoba maju, kontan pedangnya kena terjepit. Demikian satu kali, ketika ia terlambat, pedangnya kena tertabas pedang lawan hingga kutung menjadi empat potong, hampir saja jari tangannya turut terbabat juga! Tiatpie Kimwan terkejut menyaksikan bahaya yang mengancam kawannya itu, karena itu ia juga lengah, maka begitu terdengar suara senjata-senjata beradu, ujung tongkatnya kena ditabas kutung kedua pedang lawannya itu. Syukur bagi Liong Tin Hong, walaupun ia terhuyung ke depan, ia tidak disusuli tikaman oleh Thio Tan Hong, pemuda ini melainkan mentertawai ia sambil mengejek: "Sungguh seekor kunyuk bangkotan yang tidak tahu diri!" Akan tetapi, sebaliknya daripada menikam atau menahas, Tan Hong ulur sebelah kakinya, dupakannya itu tepat mengenai lutut orang, karena mana tidak ampun lagi, tubuh si Kera Emas Berlengan Besi lantas terpelanting jatuh jauhnya lima enam tindak! Dengan mengeluarkan suara "Bruk!" ia jatuh terlentang, tubuh di bawah, kaki di atas! Dan apes untuk dirinya, sudah bebas dari senjata musuh, ia tidak lolos dari senjatanya sendiri, karena tergulingnya itu, pahanya membentur tongkatnya hingga ia tertusuk duri cagak beberapa lobang! Keduanya Hoasam Kiam dan Tiatpie Kimwan telah tersohor kosen untuk banyak waktu, sekarang mereka dipecundangi dalam tempo belum ada sepuluh jurus, malah mereka rubuh di tangan dua anak muda yang mereka anggap tidak ternama, bukan main mendongkol dan malunya, karena ini, tidak tunggu sampai Tan Hong dan In Loei terjang mereka lebih jauh, mereka segera ambil langkah panjang! Thio Tan Hong tertawa hingga terlenggak. "Adik kecil, lekas kejar!" dia serukan kawannya, tangannya pun dikibaskan. "Kau bekuklah kedua kunyuk tua itu!.....” Bukan kepalang takutnya Hoasam Kiam dan Tiatpie Kimwan, mereka lari ngacir tanpa berani menoleh pula. Sebenarnya Thio Tan Hong hanya menggertak mereka belaka, kalau mereka dikejar betul-betul, dengan gampang mereka dapat dicandak, karena mereka sedang terluka. Hong Hoe tunggu sampai orang sudah kabur jauh, lalu ia tertawa terpingkal-pingkal, begitu juga In Loei yang saksikan pemandangan yang lucu itu. "Aku harus haturkan terima kasih kepadamu," kata komandan Kimie wie itu kemudian pada si pemuda she Thio. "Telah aku rasai pedangmu tapi itu ada harganya. Kalau nanti kau datang ke kota raja, aku undang kau untuk berkunjung ke gubukku." Dan ia sebutkan alamatnya. Lalu ia menambahkan: "Saudara Thio! Saudara In! Sungguh hebat ilmu pedangmu yang tergabung itu, di kolong langit ini tidak ada tandingannya. Pedang kamu dapat berkumpul tak dapat berpisah, maka di antara kamu, kedua sahabat, apabila ada sesuatu pertentangan, haruslah dilenyapkan!" Hong Hoe mengucap demikian tanpa ia ketahui di antara kedua anak muda itu justeru ada "urusan hebat" yang mengganjali ia cuma menyangka hanya bentrok kecil saja..... Iapun mengucap kata-katanya yang belakangan ini hanya sambil mengawasi In Loei seorang. Merah mukanya In Loei, ia tunduk, ia bungkam. "Aneh In Siangkong ini," pikir Hong Hoe menampak orang likat. "Dia gagah, kenapa dia jengah tidak keruan? Dia mirip dengan satu nona remaja....." Sebenarnya komandan ini berniat memberi nasihat, atau "Lihat, mereka tengah mendatangi!" seru Tan Hong, tangannya menunjuk. Hong Hoe menoleh dengan segera, hingga ia tampak In Tiong bersama Hoan Tiong, yang muncul dari tikungan bukit. Tadi malam Hoan Tiong bawa San Bin pergi, baharu ia keluar dari pintu belakang, di luar dugaannya, ia telah dibikin tak berdaya oleh Thio Tan Hong dan Hek Pek Moko. Ketika Tan Hong pancing Hong Hoe, kedua iblis Putih dan Hitam itu lantas gunakan obat pules mereka yang mustajab membikin tentara Gielim koen mati kutunya, kemudian, mereka umpetkan diri, untuk bekerja terlebih jauh. Kebetulan bagi mereka berdua, mereka ketemu Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam, yang keluar dari hotel, maka mereka pancing dua orang ini ke Tjeng Liong Kiap di mana mereka bertempur. Ketika itu Hoan Tiong, yang kena mereka tawan, telah dibawa juga ke selat itu di mana dia ditambat di atas sebuah pohon besar. Pertempuran itu sangat seru, sehingga berlangsung sampai tengah malam, kekuatan mereka berimbang. In Loei bersama In Tiong berada dipersimpangan tiga di mana mereka dengar suara pertempuran berisik di sebelah kiri, ketika In Tiong menyusul kesana, hari sudah terang tanah, di sana segera ia ketemukan Hoan Tiong yang masih, terikat tergantung, sedang Hek Pek Moko bersama Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam tengah bertanding hebat. Ia tidak mau sembarang nyebur dalam pertempuran itu, ia hanya perlukan menolongi Hoan Tiong. Orang she Hoan ini tidak terluka, dia cuma kaku kaki tangannya bekas lama terikat dan tergantung, hingga In Tiong perlu menguruti dia untuk membikin darahnya jalan kembali seperti biasa. Selama In Tiong tolongi Gietjian siewie itu. Hek Pek Moko telah pancing Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam ke lain arah. Maka, ketika dua orang ini muncul, Hian Leng Tjoe dan Liong Tin Hong telah dikalahkan Tan Hong dan In Loei, mereka sudah lari kabur. Atas datangnya kedua orang itu, Hong Hoe lantas menyambut. Sebenarnya ia niat memberi keterangan, tetapi In Tiong sudah lantas unjuk kemurkaannya yang sangat, dia berseru keras kedua matanya bersinar bagaikan api marong itulah tanda kebencian terhadap Tan Hong. "Kau kenapa, In Tongnia?" Hong Hoe tanya "Kenapa kau sangat benci dia?" In Tiong tidak menjawab, ia hanya hunus goloknya dengan apa ia terjang orang she Thio itu, yang lantas dihantui juga oleh Hoan Tiong yang mainkan sepasang gembolannya. Tan Hong melayani dengan kelincahan tubuhnya. In Loei jadi sangat bersusah hati, hingga ia berdiri menyender saja di lamping bukit, matanya mendelong mengawasi pertempuran. Ia sangat berkuatir. "Tahan!" teriak Hong Hoe akhirnya sesudah ia tak berdaya menyabarkan In Tiong dan Hoan Tiong. Hoan Tiong menurut, ia berhenti menyerang, tidak demikian dengan In Tiong, masih dia menyerang dengan seru dengan golok di tangan kiri dan tangan kanan yang tanpa senjata. Malah dia mendesak hebat. "Toako1." serunya sambil berkelahi. "Dia ini adalah puteranya penghianat Thio Tjong Tjioe! Tak dapat dia dikasih lolos" Mendengar itu, Hoan Tiong maju pula, untuk mulai lagi dengan serangannya. Thio Hong Hoe sudah lantas berlompat maju. "Shatee, jangan sembrono!" dia berteriak. "Dalam kejadian tadi malam, dialah penolong kita! Tunggu dulu, hendak aku tanyakan keterangannya!" Dia lantas ulapkan goloknya. "Thio Tan Hong, benar atau tidak apa yang dikatakan In Tongnia?" dia tanya. Thio Tan Hong melenggak, dia tertawa. "Harus ditertawai yang manusia di dalam dunia banyak yang matanya putih, sedang bunga teratai keluarnya dari dalam lumpur!.....” dia bersenanjung. "Kau telah saksikan sepak terjangku, apakah benar kau masih belum bisa menginsafinya aku orang macam apa? Kenapa kau mesti ngoce tak sudahnya? Perlu apa kau tanya lagi asal-usulku?" Hong Hoe melengak. "Inilah benar," pikirnya. "Meski benar dia puteranya Thio Tjong Tjioe dengan dia pribadi ada apakah sangkut pautnya?" Maka segera ia berseru pula: "In Tongnia tahan! Dia benar kandung maksud baik terhadap kita! Jangan kita balas kebaikan dengan kejahatan!" Masih In Tiong menyerang dua kali. "Toako, kau tidak tahu!" dia berseru. "Dia adalah musuh besar dari keluargaku! Sakit hati tidak dibalas, adakah itu perbuatannya satu taytianghoe?" Dengan ilmu Taylek Kimkong Tjioe, In Tiong perhebat serangannya. Thio Hong Hoe menjadi tidak senang. "Baik" serunya. "Kau balas sakit hatimu, aku tidak peduli!" Mendadak terdengar satu suara nyaring, lalu tertampak goloknya In Tiong kena dibabat kutung pedangnya Tan Hong! In Loei kaget, dia lompat maju dengan pedangnya ia menghalau di tengah-tengah kedua jago, ia halangi pedangnya si orang she Thio. Tan Hong tidak niat melukai In Tiong, ia berhenti menyerang, malah lantas ia lompat mundur keluar kalangan. Hong Hoe terperanjat ketika ia tampak In Loei lompat maju dengan pedangnya, ia menyangka orang hendak gunakan ilmu pedang gabungannya untuk kepung In Tiong, ia juga lompat maju pula. Ia baharulah melengak tatkala ia dapati pemuda itu justeru maju untuk memisahkan. Di akhirnya, ia tertawa. "Bagus, bagus!" katanya. "Memang, permusuhan harus dibikin habis, tak mestinya diperhebat! Bagus kau maju disama tengah!" Ia lantas tarik tangan In Tiong sambil berkata: "Kau telah menyaksikannya, bukan? Apa masih kau tidak niat undurkan diri?" In Tiong awasi Tan Hong dengan mata mendelik, nyata sekali kebenciannya. Ia merasa sangat menyesal, sesudah belajar silat sepuluh tahun, masih ia tidak mampu kalahkan anak musuhnya. Karena Hong Hoe menariknya, terpaksa ia menurut diajak pergi. Menampak kakaknya berlalu, mendadak In Loei menangis, iapun jatuh di tanah. In Tiong dengar suara itu, ia menoleh, ia menjadi heran. Hong Hoe kuatir rekan ini kembali, ia mengajak terus. "Untuk apa kau pedulikan urusan lain orang?" katanya, tertawa. Dan ia menarik terus, membawa orang berlalu dari lembah. Ketika kemudian In Loei angkat kepalanya, ia tak tampak kakaknya, tapi ini membuatnya ia menangis terlebih sedih. "Koko....." ia memanggil. Tiba-tiba ia rasakan tangan yang halus mengusap-usap rambutnya, lalu suara yang lemah lembut terdengar di kupingnya. "Adik kecil, kau menangis, kau menangislah! Setelah menangis, hatimu baharu lega.....” Itulah suaranya Thio Tan Hong, yang telah menghampirinya. In Loei berhenti menangis dan bangun berduduk. Ia tolak tangan si anak muda dari rambutnya. "Aku menangis sendiri, siapa ingin kau campur tahu?....." katanya. Tan Hong tertawa. "Adik kecil, kenapa kau bersikap begini?" katanya, manis. "Bukankah di kolong langit ini ada sangat banyak urusan yang dapat membuat orang bersedih hati? Dan kau..... kau punyakan berapa banyak air mata?" In Loei menjadi terlebih sedih, air matanya bercucuran terlebih deras. "Sebenarnya manusia hidup tak sampai seratus tahun," Tan Hong kata pula. "Urusan besar bagaimanapun yang tak dapat dihabiskan? Apakah artinya budi dan permusuhan itu? Kenapa kau memandangnya demikian hebat?" Tiba-tiba In Loei mencelat bangun. Ia menjadi gusar. "Enak benar kau bicara!" tegurnya, nyaring. Mendengar orang bicara, hatinya Tan Hong sebaliknya menjadi lega. "Ayahku memaksa engkong-mu mengembala kuda dua puluh tahun, kejadian itu membuatnya aku menyesal," ia kata pula. "Akan tetapi kejadian sudah terjadi, kejadian itu tak dapat ditarik pulang..... Tentang meninggalnya engkong-mu itu, tiada sangkut pautnya dengan keluargaku..... Berulangkah aku telah menjelaskannya, apakah kau tetap tidak percaya aku?" In Loei ingat surat wasiat engkong-nya, itu surat kulit kambing yang bertuliskan darah dan berbau bacin. Ingat itu ia berpendapat, meski engkong-nya bukan terbinasa di tangan musuh, untuk itu iapun harus menuntut balas..... Hal ini membuatnya ia bertambah sedih. Tan Hong menghela napas. "Ilmu silat Taylek Kimkong Tjioe kakakmu itu lihay," ia bilang, untuk simpangi pembicaraan. "Pernah aku dengar guruku mengatakan, di jaman ini, yang mengerti ilmu silat itu cuma ada beberapa orang saja, di antaranya adalah Tang Soepee yang paling lihay. Turut penglihatanku, kakakmu itu tentulah muridnya Tang Soepee itu....." Setelah mengucapkan kata-kata itu, kembali Tan Hong menghela napas. "Memang ilmu silat kakakku itu ada ajarannya Tang Soepee," sahut In Loei, yang ketarik dengan pembicaraan itu. "Apakah itu ada hubungannya dengan kau? Kenapa kau menghela napas?" "Aku menyesal atas apa yang telah terjadi.....” sahut Tan Hong. "Kita bertiga adalah saudara seperguruan, kita bagaikan satu keluarga, tak disangka-sangkanya, orang yang telah meninggal dunia telah membuatnya urusan bersangkut paut dengan mereka yang masih hidup, hingga sekarang kita jadi berkedudukan sebagai musuh satu dengan lain. Kita sekarang jadi tak dapat hidup damai, apakah itu tidak menyedihkan?" In Loei merasakan seperti terpukul, ia lekas-lekas menyingkir dari pandangan matanya si anak muda, yang mengawasinya dengan tajam. Pikirannya pun kusut, tidak dapat ia mengucap sesuatu. Sekian lama si anak muda mengawasi, lalu ia menghela napas pula. "Oleh karena kau tidak dapat memaafkannya, baiklah kita berpisahan saja.....” ia kata pula, suaranya perlahan. "Secara begini maka tak usahlah kita saling berduka.....” "Eh, tunggu dulu....." mendadak In Loei mencegah. Tan Hong sudah membalik tubuh, mendengar mana ia berpaling pula. "Ah," katanya, "kau memangnya cerdas, otakmu bening bagaikan es dan salju. Adakah kau telah dapat menginsyafinya?" Kembali In Loei menyingkir dari mata orang yang tajam itu. "Di antara kita sudah tak ada apa-apa lagi yang dapat diperkatakannya," kata si pemuda tetiron kemudian. "Bagaimana dengan Tjioe Toako? Ke mana kau buang dia? Bagaimana dengan Pit Lootjianpwee? Apakah kau telah ketemu dia?" Di dalam hatinya, Tan Hong tertawa. Adakah itu yang dimaksudkan sudah "tidak ada apa-apa lagi yang dapat diperkatakan"? Toh yang ditanyakan ada demikian banyak..... Ia tertawa. "Tjioe Toako itu sangat memusuhi aku, telah aku hajar rubuh padanya," jawab Tan Hong. "Apa katamu?" In Loei terkejut. "Ketika dia dibawa keluar oleh Hoan Tiong, Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam juga hampir sampai kepadanya," si anak muda terangkan. "Aku kuatir dia kepergok, itulah berbahaya, maka itu aku telah beri nasehat pada Pit Lootjianpwee supaya dia ajak Tjioe Toako lekas-lekas menyingkirkan diri. Untuk itu aku telah berikan kuda putihku. Tjioe Toako tidak sudi turut nasehatku. Dalam keadaan seperti itu, terpaksa aku totok padanya hingga dia tidak berdaya. Selagi aku titahkan Hek Pek Moko rintangi Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam, aku ajak Pit Lootjianpwee membawa dia menyingkir dari tempat yang berbahaya itu. Bertiga kami naik atas kuda putihku. Sebentar saja, kami telah antar dia ke rumah keluarga Na. Ilmu totokku ada yang berat, dan ada yang enteng, yang enteng itu membutuhkan tempo hanya satu jam, orang akan sadar sendirinya, karena itu sekarang ini mungkin Tjioe Toako sedang menghadapi perjamuan arak untuk bikin lenyap kagetnya.....” In Loei berdiam. Ia kagum berbareng heran. "Sungguh hebat dalam satu malam saja kau telah lakukan demikian banyak," ia kata, tawar. "Kuda putihku bisa lari seribu lie dalam satu hari, apakah artinya semua itu?" sahut si anak muda, sikapnya tetap tenang. Kembali In Loei tutup mulut. Kembali ia menyingkir dari pandangan matanya si anak muda. Ketika itu sang matahari sudah berada di atas Tjengliong Kiap, memberikan pemandangan pagi yang indah dari akhir musim ketiga, pelbagai bunga hutan sedang mekar, segar dan indah, dan bunga lay putih bagaikan salju. Suasana pun tenteram sekali. Dalam keadaan sebagai itu, tiba-tiba Tan Hong keluarkan sepucuk surat. "Tolong kau sampaikan surat ini kepada Nona Tjoei Hong," ia minta. In Loei menyambutinya tanpa berpaling. Ia insyaf tak dapat tidak, mesti ia berpisah dari si anak muda, akan tetapi ia coba atasi diri, supaya tak usah ia tengok pula wajah orang, hal mana cuma-cuma akan menambah kedukaannya. Tan Hong menghela napas, suaranya terdengar si nona, terus ia naik atas kudanya — si kuda putih — yang ia kasi jalan dengan ayal-ayalan keluar dari selat, kaki kuda menginjak pelbagai lembaran bunga yang rontok..... Dengan perlahan Tan Hong bernyanyi, menyanyikan syairnya Ong Pong Hoay di jaman Song ketika dia ini mengenangkan isterinya yang telah menikah pula. Berduka In Loei kapan ia dengar nyanyian itu, hingga ia kata di dalam hatinya: "Walaupun aku jemu terhadapmu tetapi di jaman ini, tidak nanti aku nikah lain orang!..... Oh, mengapakah Thian berlaku begini kejam terhadap aku?.....” Ketika kemudian suara nyanyian berhenti, maka lenyap juga Tan Hong serta bayanganya, tinggal si nona seorang diri, matanya mengembeng air — air matanya itu bersinar di antara sorotnya matahari. Setelah ini, iapun berlalu dari lembah yang sunyi itu. Tepat di waktu tengah hari In Loei sampai di Imma tjoan di rumahnya Na Thian Sek, di mana ia dapatkan San Bin benar seperti katanya Tan Hong, yaitu pemuda she Tjioe itu baharu saja dijamu, diberi selamat yang dia telah lolos dari ancaman bahaya, dan waktu itu dia tengah pasang omong bersama kawan-kawannya. Melihat In Loei, Pit To Hoan tertawa besar. "Sebenarnya aku kuatir ketika tadi malam aku tinggal pergi padamu seorang diri," berkata orang tua itu, "tetapi begitu aku ingat ada Thio Tan Hong yang melindungi kau secara diam-diam, hatiku lantas menjadi lega, aku tak berkuatir lagi." Kata-kata itu membuktikan, jago tua ini percaya penuh pada Tan Hong. "Kami telah berpikir keras, kami telah bekerja hebat, namun kami tak dapat tolong orang," Thian Sek turut bicara, "akan tetapi Thio Tan Hong, begitu dia datang, pertolongan telah dapat dilakukan secara sangat gampang. Sepak terjangnya dia itu sungguh hebat, luar biasa, mengagumkan!" "Teranglah dia satu laki-laki sejati," kata Tjek Po Tjiang, yang tadinya berkesan jelek terhadap Tan Hong, malah memusuhinya. "Nyatalah bahwa kita telah bersikap keliru terhadapnya." San Bin dengar itu semua, ia lirik In Loei. "Maka sayang sekali, dia adalah musuhnya In Siangkong," ia bilang. "Kalau tidak demikian, sungguh harus sekali kita bersahabat erat dengannya.....” Bersemu dadu wajahnya In Loei, ia bungkam. "In Siangkong," kata Tjoei Hong, "dalam hal menolong toako San Bin, kau juga berjasa, mengapa kau diam saja?" "Apa jasaku?" In Loei sahuti. "Umpama permainan catur, aku adalah satu serdadu yang menyerah untuk orang kendalikan sesuka-sukanya saja.....” Tjoei Hong nampaknya tidak senang. "Siapakah yang berbuat sesukanya terhadap dirimu?" dia tanya. Penyahutannya In Loei tadi hanya sekena-kenanya saja. Ditanya begitu, ia insyaf, tapi lantas ia tertawa. "Aku maksudkan aku dipermainkan nasib, tak lagi aku berkuasa atas diriku," ia menambahkan kemudian. Orang semua heran. Kenapa "pemuda" ini mengatakannya demikian putar balik. "Kau benar!" berkata San Bin, yang tak heran seperti yang lain. "Mengenai permusuhanmu dengan Thio Tan Hong, itu memang ada permainannya sang takdir!" San Bin berduka kapan ia ingat permusuhan di antara dua orang itu, karena terhadap Thio Tan Hong, ia berkesan baik. "Eh, mengapa kamu bicarakan urusan nasib saja?" Tjoei Hong campur bicara. "In Siangkong, bukankah kau berniat pergi ke kota raja?" Sebenarnya nona ini hendak mengutarakan maksudnya untuk turut serta tapi In Loei segera memotong pembicaraannya. "Ah, hampir aku lupa!" kata "pemuda" ini. "Ada sepucuk surat yang mesti disampaikan kepadamu! Surat dari Tan Hong....." "Untuk apa ia menyampaikan surat padaku?" tanya Tjoei Hong, heran. Terus ia menambahkan: "Kau dengan dia bermusuhan, kenapa kamu nampaknya seperti sahabat-sahabat kekal? Tidakkah ini aneh sekali?" Sambil berkata begitu, Nona Tjio toh buka suratnya Tan Hong itu. "Kiranya surat dari ayahku!" katanya kemudian. "Ah, ada urusan apakah maka ayah minta aku lekas-lekas pulang? Eh, In Siangkong, dalam surat ini ada terlampirkan sepucuk surat lain untuk disampaikan kepadamu..... bukan untuk kau sendiri..... hanya ini diminta kau tolong sampaikan kepada Kokioo Ie Kiam. Ah, inilah bukan tulisannya ayah!" Dan ia melihatnya dengan teliti. Lalu ia menambahkan: "Nyata surat ini ditulis oleh lain orang..... Kenapa orang main minta surat-surat saling disampaikan?.....” In Loei menyambuti surat yang dikatakan untuknya. Ia tampak tulisan yang sifatnya bagaikan "naga terbang atau burung hong menari." Memang surat itu diminta disampaikan kepada Ie Kiam. Berdenyut berulang kali hatinya In Loei apabila ia telah kenali siapa yang membuat buah kalam itu. Itulah tulisan yang bagus dari Thio Tan Hong. Mungkin Tan Hong kuatir orang menampik permintaan tolongnya, atau dia ada kandung maksud lain..... Tjoei Hong sendiri menjadi kecele apabila ia sudah baca habis surat dari ayahnya itu. "Dalam surat ayahku menyatakan ada urusan penting sekali karena mana ia minta aku lekas pulang," ia bilang, "dan kau hendak pergi ke kota raja. Entah kapan kita bisa bertemu pula.....” In Loei sebaliknya girang bisa "lolos" dari Nona Tjio ini. "Asal ada jodoh, dapat kita bertemu pula!" katanya sambil tertawa. San Bin semua tertawa, mereka menyangka itulah sepasang suami isteri tengah bergurau, karenanya, merah mukanya Tjoei Hong, yang menjadi likat sekali. Pada keesokan harinya, orang semua ber-pisahan, masing-masing menuju kepada arah tujuannya sendiri-sendiri. Pit To Hoan pergi menyingkirkan diri ke Hoasan. San Bin tidak berani berdiam lama di Kwanlwee, siap ia untuk kembali ke sarangnya. Dan In Loei, dengan menunggang kuda, menuju ke kota raja. Tjoei Hong bersama San Bin mengantar orang she In ini. Nampaknya berat sekali "isteri" ini mesti berpisahan dari "suaminya" itu..... Sekonyong-konyong, In Loei berkata: "Entjie Hong, pergi kau pulang lebih dahulu, hendak aku bicara kepada Tjioe Toako....." Merah matanya Nona Tjioe itu. Seandainya In Loei berkata demikian sebelum pengalaman mereka yang paling belakang ini, tentu ia jadi tidak senang dan akan beranggapan bahwa di mata In Loei cuma ada San Bin, tapi sekarang San Bin pernah berkorban untuk menolong padanya, dapat ia bersabar, dengan terpaksa ia pulang seorang diri. "Tadinya aku pandang Tan Hong sebagai penghianat," kata San Bin sesudah mereka berada berduaan, "sekarang aku anggap dia sebagai satu pemuda gagah dan luar biasa. Maka kalau nanti kau sampai di kota raja, kau selidikilah dengan seksama, apabila benar engkong-mu bukan keluarga Thio yang menganiaya dan menyiksanya hingga menderita selama dua puluh tahun, aku anggap tak usah kau bunuh dia untuk menuntut balas." Satu malam sudah San Bin telah berpikir keras, tentang takdir, ia menjadi tawar hatinya. Setelah pengalamannya ini, ia menjadi lebih terbuka pandangannya perihal penghidupan. Begitulah, maka bisa ia mengucap demikian. Tertarik hati In Loei mendengar perkataan orang itu. "Baiklah hal ini kita bicarakan pula lain kali," ia bilang, "Aku punyakan serupa barang untuk haturkan kepadamu..... bukan! Barang ini sebenarnya memang kepunyaanmu!" Ia lantas keluarkan permata sanhoe, sambil menyerahkan itu, ia kata pula: "Sekarang sanhoe ini harus dipulangkan kepada pemiliknya!" Melihat batu itu, berubah parasnya San Bin. "Kau..... kau maksudkan apakah?" dia tanya gugup. -ooo00dw00ooo- BAB XIV Sanhoe itu adalah barang tanda mata, atau pesalin, dari In Loei untuk Tjoei Hong, San Bin ketahui itu, maka cara bagaimana dapat ia menerimanya. Tapi In Loei tertawa. "Memang benar sanhoe ini berasal kepunyaanmu, yang aku cuma pinjam," si "pemuda" terangkan lebih jauh. "Apakah bukan selayaknya kalau barang kembali kepada pemiliknya?" "Adik In," katanya dengan perlahan, "kita sekarang akan berpisah, mengapa kau bergurau begini rupa terhadapku?" Dengan "adik" ia menyebutnya adik perempuan. Iapun nampaknya sedikit tak puas. In Loei mengawasi, ia unjuk roman sungguh-sungguh. "Toako, hendak aku mohon sesuatu kepadamu, kau sudi meluluskannya atau tidak?" ia tanya. "Kita adalah bagaikan kakak dan adik sejati," jawab San Bin, "segala apa yang aku bisa pasti suka aku berbuat untukmu, tak peduli mesti aku serbu api!" In Loei tertawa. "Tetapi permintaanku ini tidak meminta tenaga sedikitpun jua!" ia bilang. San Bin bukannya seorang tolol, dalam sejenak itu sudah ia dapat menerka. Ia jadi agak mendongkol berbareng berduka. Maka, di dalam hatinya ia kata: "Di dalam hatimu sudah ada lain orang yang menempatinya, itulah tidak apa, kenapa sekarang kau hendak menggunai akal memindahkan bunga ke lain pohon?.....” Tadinya hendak ia unjuk tak puasnya itu, atau In Loei telah dului ia. "Nona Tjio menyintai aku secara membuta, ia harus dikasihani," demikian si nona. "Tak dapat aku dustakan ia untuk selama-lamanya yang akan mensia-siakan usia mudanya." "Itu ada sangkut paut apa dengan aku?" tanya San Bin, mendongkol. Matanya In Loei menjadi merah. "Aku sudah tidak punya ayah dan ibu, di waktu aku nampak kesulitan, jikalau aku bukan minta pertolonganmu, kepada siapa lagi dapat aku memintanya?" dia tanya. "Begitulah kesulitanku ini, melainkan kau yang dapat memecahkannya. Sioktjouw dengan Hongthianloei Tjio Eng kenal baik satu pada lain, maka itu kaulah orang yang paling tepat....." "Apa? Bukankah dengan begini kau jadi memaksa aku?" San Bin tanya. "Kau desakkan soal apa yang orang tak inginkan.....” "Kau ketahui apa yang hendak aku minta dari-mu?" balik tanya In Loei. "Aku juga tidak minta kau segera menikah! Kenapa kau bimbang tidak keruan? Aku hanya minta kau terima sanhoe ini untuk disimpan. Kau tunggu sampai nanti telah tiba ketikanya, akan aku bicara kepada Nona Tjio untuk menjelaskan segala-galanya. Apakah untuk ini kau tetap masih tak dapat menerimanya?" San Bin berdiam, ia mengawasi. Ia merasa kasihan terhadap nona ini. Bukankah permintaan itu tidak berat? Maka itu, dengan terpaksa, akhirnya ia terima juga. Sepasang alis In Loei segera terbuka, dari masgul, hatinya menjadi rawan. Ia lantas bersenyum. Segera ia lompat naik atas kudanya yang dilarikan pergi..... Dengan mendelong San Bin awasi orang berlalu, pikirannya tidak keruan rasa. Tak tahu ia mesti bersedih atau bagaimana..... Tidak ada halangan bagi In Loei selama dalam perjalanannya itu, lewat beberapa hari tibalah ia di kota raja, kota mana menjadi tempat kedudukan kaisar sejak pertengahan kerajaan Kim. Dulu memang kota itu sudah indah, setelah pindahnya Kaisar Beng Sengtjouw dari Lamkhia, segala apa telah diperbaiki dan ditambah, hingga sekarang Pakkhia menjadi kota besar dan indah tanpa bandingan. In Loei saksikan Tjiekim shia, Kota Terlarang, ia tampak jalan-jalan besar yang lebar, ia lihat pelbagai toko yang besar-besar dan beraneka warna. Tapi tak sempat ia menikmati keindahan kota, yang paling dulu ia lakukan ialah mencari rumah penginapan. "Di kota raja ini aku tidak kenal seorangpun jua," ia berpikir, "Ie Kiam sebaliknya adalah seorang menteri besar. Sudikah dia menemui aku? Aku juga belum tahu alamatnya.....” Karena ini, ia jadi berpikir. "Terang sudah si perwira muda adalah kakakku," pikir ia kemudian, "ia sekarang berada di kota raja ini, mengapa aku tidak hendak cari ia saja?.....” Tiba-tiba berkelebat diotak In Loei halnya kakaknya itu bermusuh dengan Thio Tan Hong. Ia jadi sangat mangui. Tanpa ia kehendaki ia menghela napas. "Sayang itu hari, saking kesusu, tak bisa aku memberi keterangan kepada kakakku itu," ia sesalkan diri. "Di dalam dunia ini, melainkan dia orang satu-satunya yang terdekat denganku. Harus aku ketemui dia. Untuk ini aku tak hiraukan bahwa aku bakal ditegur dan didamprat. Akan tetapi apabila kakakku itu mendesak aku bantui ia mencari balas, bagaimana? Beberapa kali Thio Tan Hong sudah tolongi aku dari marah bencana, cara bagaimana aku bisa binasakan dia?..... Tidak bisa lain, aku mesti bisa melihat gelagat.....” Berupa-rupa perasaan memenuhi otak In Loei. Ia girang mengetahui tentang kakaknya, ia berduka mengenai permusuhannya dengan Tan Hong. Ia terbenam dalam keragu-raguan. Sampai sekian lama ia berpikir, tidak juga ia dapatkan pemecahannya. "Di mana berdiamnya kakakku sekarang?" kemudian ia tanya dirinya sendiri. "Tidak sukar! Lebih dahulu aku mesti cari Thio Hong Hoe!" Ia ingat perkataannya Hong Hoe baru-baru ini, yaitu kalau ia dan Tan Hong datang ke kota raja, dia hendak undang mereka berdua datang ke rumahnya sebagai tetamu. Ia ingat juga alamatnya Hong Hoe, yang pernah memberitahukannya. Tiga hari lamanya In Loei tinggal di hotel, selama itu ia sering keluar seorang diri, hingga ia jadi kenal baik kota raja, di hari ke empat, ia langsung menuju ke rumahnya Thio Hong Hoe. Komandan Kimie wie itu bukannya seorang hartawan akan tetapi karena kedudukannya baik, ia ada punya sebuah rumah yang besar pekarangannya dan terkurung tembok, di dalamnya ditanami banyak rupa pohon-pohonan. Hanya aneh, di samping pekarangan lebar itu, rumahnya adalah rumah biasa saja yang terdiri dari empat lima ruang. Apakah perlunya pekarangan lebar dan kosong itu? "Ah, dia sebagai komandan Kimie wie, sudah tentu dia membutuhkan lapangan luas untuk melatih barisannya.....” pikir si nona kemudian. Lantas ia hampirkan pintu dan mengetoknya. Satu hamba, yang membukakan pintu, mengawasi sekian lama. "Maaf, engko kecil," dia kata kemudian, "hari ini thaydjin kami tidak menerima tetamu....." Bicaranya tidak lancar. In Loei lantas jadi mendongkol. "Cara bagaimana kau bisa ketahui dia tidak akan menemui aku?" dia tanya. "Thio Thaydjin telah memerintahkannya, selama beberapa hari ini kecuali rekannya dari Kimie wie, lain orang tak dapat ia menerimanya," sahut hamba itu. "Tetapi aku adalah orang undangan thaydjin-mu, bagaimana dia tak terima aku?" In Loei membandel. Hamba itu mengawasi pula tetamunya ini, ia menggelengkan kepala. "Aku tidak percaya!" ia kata. Ia nampaknya memandang enteng. Di dalam hatinya seperti hendak ia mengatakan "Kau orang macam apa sampai thaydjin-ku undang padamu?" In Loei habis sabar. "Jikalau kau tidak wartakan kedatanganku, nanti aku masuk sendiri!" dia bilang, suaranya keras. Dia cekal loneng besi dan menariknya, hingga jeruji sebesar jari tangan lantas jadi melengkung. Kaget juga si hamba. "Harap jangan gusar, engko kecil," katanya kemudian. "Kau tunggu, nanti aku laporkan kedatanganmu ini. Bahwa thaydjin sudi terima kau atau tidak, itu terserah kepada thaydjin.....” Ia lantas bertindak masuk. Ia keluar pula tak berselang lama. "In Siangkong, thaydjin undang kau masuk," katanya sekarang sikapnya berbeda. "Silakan kau ambil jalan sebelah kanan itu, lalu memutar ke kiri, setelah kau tampak pintu batu yang hanya dirapatkan, kau tolak saja. Thaydjin kami ada di lapangan di sana. Aku sendiri mesti terus menjaga pintu ini, maafkan aku, tidak dapat aku antar kau." Sambil berkata demikian, ia membukakan pintu loneng. In Loei bertindak masuk tanpa bilang suatu apa, masih ia mendongkol. "Banyak juga tingkahnya Hong Hoe!" ia pikir. "Selama di Tjengliong Kiap, ia bersikap manis budi, kenapa sekarang, selagi aku mengunjungi padanya, dia tidak sambut aku? Hm, dasar satu orang berpangkat!" Sebentar kemudian sampailah In Loei di sebelah luar apa yang si hamba tadi sebutkan sebagai lapangan, segera ia memikirkan kata-kata untuk diucapkan kepada tuan rumah yang ia anggap besar kepala itu. Tiba-tiba ia dengan suara tertawa: "Hihi! Haha! Hm! Awas!....." Ia terkejut. Ia kenali, itulah suaranya Tantai Mie Ming! Tapi ingin ia lekas mengetahuinya, maka tanpa berpikir lagi, ia tolak daun pintu. Maka untuk herannya, ia tampak banyak anggota-anggota Gielim koen dan Kimie wie, di depan mereka itu berdiri Thio Hong Hoe, sang komandan. Begitu ia lihat In Loei, Hong Hoe lantas manggut. Di tengah lapangan tampak Tantai Mie Ming yang menghadapi satu pahlawan, mereka saling lonjorkan tangan, yang menempel satu dengan lain, tiba-tiba si pahlawan Mongolia itu tertawa, kaki kirinya menyambar. Dan..... "Bruk!" tergulinglah si pahlawan. Tantai Mie Ming tertawa pula. "Mari, mari, lagi satu kali!" katanya. Satu pahlawan lain lompat maju. "Ingin aku mencoba-coba Tantai TjiangkoenV pahlawan itu bilang. Ia membahasakan "Tjiangkoen" — "jenderal." "Bagus, bagus!" ada jawabannya Mie Ming. Pahlawan itu sudah lantas pasang kuda-kudanya, lalu ia kirim serangannya yang berupa kepalannya. Itulah suatu pukulan dari "Sippatlouw Tiangkoen," atau "Kepalan Panjang Jurus Delapan belas." Dengan kuda-kuda yang kokoh kuat, nampaknya hebat jurus ini. Tantai Mie Ming menangkis dengan dua kali dorongan, ia cuma bikin tubuh si pahlawan bergeming tetapi tidak rubuh. In Loei jadi sangat heran. Bukankah Tantai Mie Ming pengantarnya pangeran Watzu itu? Kenapa dia berada di rumahnya Thio Hong Hoe? Kenapa dia uji diri dengan pahlawan-pahlawan kaisar? Heran juga sikapnya Hong Hoe, yang agaknya sangat ketarik hati. Karena ini In Loei tidak segera menghampirkan komandan itu, ia hanya campurkan diri antara orang banyak, untuk menonton terus..... Pelbagai pahlawan Gielim koen dan Kimie wie itu bicara satu dengan lain, tentang Tantai Mie Ming, perihal latihan itu, maka kemudian, In Loei tahu juga duduknya hal. Ialah Mie Ming sudah datang sekian lama di kota raja, dia sudah lantas bergaul rapat dengan rombongan pahlawan, tidak heran apabila kedua pihak suka bicara tentang ilmu silat. Karena Mie Ming adalah pahlawan nomor satu dari Watzu, orang suka mencoba-coba dengannya. Mie Ming sendiri, yang gemar bergaul dan manis budi, ingin juga ketahui kegagahan pihak pahlawan, maka ia telah minta perantaraannya Hong Hoe untuk cari kenalan, katanya untuk "melatih diri sambil main-main," hanya ia tidak sangka, di antara pahlawan ada orang-orang yang benar-benar berniat merubuhkan padanya..... Selama itu, latihan persahabatan sudah berjalan tiga hari, hari ini adalah hari terakhir. Selama tiga hari, Tantai Mie Ming telah merubuhkan delapan pahlawan, dan pada hari penghabisan ini, tetap ia menang terus. Karena pihak pahlawan nampak kekalahan, akhirnya sikap mereka semua menjadi tegang sendirinya. Lawan terakhir dari Tantai Mie Ming adalah Yo Wie, hoetongnia atau komandan pembantu dari Gielim koen, dia kesohor dalam kepandaian Tiatpou san-nya, yaitu ilmu "Baju Besi," yang termasuk kalangan luar, Gwak.ee. Yo Wie percaya betul dia bakal sanggup bertahan, maka itu, dia telah melayani dari sepuluh jurus hingga jurus kedua puluh. Benar-benar pukulan-pukulan dari Sippatlouw Tiangkoen ada hebat. Untuk melayani musuh yang tanggu ini, Tantai Mie Ming gunakan jurus-jurus dari "Tiat Piepee" atau "Piepee Besi" yang biasa saja, meski begitu dengan leluasa ia dapat "temani" pahlawan dari kota raja itu. Adalah sesudah sampai pada jurus ke tiga puluh, Yo Wie mandi keringat sendirinya. "Yo Tongnia, silakan beristirahat!" kata Mie Ming sambil tertawa. Walaupun ia mengucap demikian, ia bukannya mundur, sebaliknya, ia lompat maju, ia menyerang beruntun tiga kali, ketika ia menangkis kedua tangan lawannya, ia merangsak maju dan membentur tubuh orang. Dengan satu gebrakan saja, Yo Wie rubuh terguling. "Maaf!" kata panglima Mongolia itu. Ia maju menghampiri, untuk membangunkan, lalu sambil tertawa, ia menambahkan: "Ini adalah giliran yang ke sepuluh! Apakah masih ada saudara lainnya yang sudi beri pengajaran padaku?" Sampai di situ, Hong Hoe habis sabar. Ia maju. "Suka aku menerima pelajaran dari Tantai Tjiangkoen1." ia kata sambil memberi hormat, suaranya manis. Tantai Mie Ming tertawa lebar. "Sudah lama aku dengar Thio Thaydjin adalah ahli nomor satu dari kota raja ini," dia berkata, "sekarang thaydjin sudi majukan diri, sungguh aku merasa sangat beruntung!" Suara itu manis dan hormat tetapi nadanya agak tinggi, tanda dari kejumawaan yang tak dapat dilenyapkan. Kali ini benar-benar pertandingan adalah yang terakhir, umpama kata Hong Hoe kalah, pahlawan lainnya tidak nanti ada yang berani maju lagi. "Suka aku menerima pengajaranmu," Hong Hoe ulangi, yang terus berdiri berhadapan dengan panglima Mongolia itu, setelah mana ia memberi hormat dengan tiatjoe, dengan tangan kiri dikepal, tangan kanan dibuka, ditaruh di depan dadanya. Sebenarnya itu bukan cuma tanda memberi hormat, berbareng itu ada persiapan untuk mulai pertempuran. Tantai Mie Ming tahu diri, dengan bersenyum ia membalas hormat sambil merangkap kedua tangannya, tapi setelah itu, sebat sekali, ia mulai dengan serangannya tanpa membuka lagi kedua tangannya itu, karena ia menyerang dengan "Pekwan tamlouw" atau "Lutung putih tanya jalan." Serangan dengan kedua tangan dirangkapkan itu diarahkan ke atas, ke umbun-umbun, dari atas turun ke bawah. Thio Hong Hoe buka kedua tangannya, tubuhnya digeser nyamping sedikit, tangan kanan dipakai menangkis, tangan kiri membarengi menyabet, maka, sejenak saja, keduanya sudah saling serang. Tantai Mie Ming berlaku tenang. Ia tarik kembali kedua tangannya, untuk menyingkir dari tangkisan, guna menangkis juga. Tapi ia tidak cuma menangkis, dengan sebelah tangannya yang lain, dengan dua jari, ia menotok ke tulang lemas di pinggang lawannya itu! Kalau totokan ini mengenai tepat, mestinya Hong Hoe rubuh dengan segera, disebabkan tenaganya habis dengan tiba-tiba. Tapi ia ada jago kenamaan, ia juga telah banyak pengalamannya, tak dapat ia diperdayakan secara demikian gampang. Kelihatannya ia majukan diri, tak tahunya, menyusuli serangan lawan yang berbahaya itu, ia juga menyerang, sebelah kepalannya menuju ke uluhati! Itu artinya, apabila kedua pihak sama-sama mengenai sasarannya, mereka bakal terluka dan celaka, sebab Mie Ming akan muntahkan darah! "Sungguh liehay!" berseru Tantai Mie Ming. "Inilah Toota Kimtjiong!" "Toota Kimtjiong" berarti "Menggempur rubuh genta emas" Sama sekali Mie Ming tidak lompat mundur, hanya berbareng dengan seruannya itu, tubuhnya menggeser sedikit, sebelah kakinya menginjak "tiongkiong" (garis tengah), sebelah tangannya "membacok" lengan Hong Hoe. Semua pahlawan berseru bahkan kaget. Nyaring suaranya ketika kedua tangan bentrok satu dengan lain, habis mana baharulah keduanya lompat mundur dengan berbareng, sama-sama memasang kuda-kuda, untuk bersiap sedia kembali. Menampak demikian, semua, penonton bernapas lega. Tapi mereka berlega hati tak lama, atau mendadak mereka lihat tubuh besar dari Tantai Mie Ming merangsak ke depan, seperti rubuh terpelanting, bagaikan runtuhnya sebuah balok besar, kedua tangannya maju sambil menerbitkan angin. Sebab dengan cara luar biasa itu, panglima Mongolia ini sudah mulai pula dengan serangannya! Beda daripada serangan yang datangnya ganas, Hong Hoe sebaliknya berlaku ayal-ayalan, ia menangkis kedua tangan itu bagaikan ia telah kehabisan tenaga. Semua orang heran, tak terkecuali In Loei. Tapi Mie Ming segera berseru: "Inilah Biantjiang Kanghoe yang lihay!" "Biantjiang Kanghoe" ialah ilmu silat "Tangan Kapas," yang lemas. Lalu, sambil tertawa, Mie Ming elakkan dirinya, hingga ia bebas dari serangan membalas dari komandan Gielim koen itu. Hingga kembali mereka lewatkan tiga jurus dengan keduanya tak kurang suatu apa. Hong Hoe tahu ia kalah tenaga akan tetapi ia adalah Lweek.ee, ahli dalam, ia pandai "Biankoen," ilmu silat "Tangan Kapas", ia lawan kekerasan dengan kelembekan. Namanya saja lembek, sebenarnya bukan tangan yang lembek atau tenaga yang lemah, melainkan macamnya, sedang sebenarnya, siapa terkena Biankoen, tangannya bisa remuk seperti batu terpukul hancur. Mie Ming insyaf akan ancaman bahaya itu, tak mau ia menerjangnya. Semua pihak Gielim koen gembira menyaksikan kesudahan itu, akan tetapi, setelak pertempuran dilanjutkan, In Loei tak tenang hatinya. Ia telah tampak, makin lama pertandingan berjalan, Hong Hoe makin tegang wajahnya, tidak demikian dengan jago Mongolia, yang tenang sekali. Dia ini seolah-olah tidak menggunakan tenaga, serangannya enteng, tapi cepat. Pertandingan tidak segera memberikan kesudahan yang memutuskan, cuma Hong Hoe mulai mandi keringat, suatu tanda bahwa ia telah bekerja sungguh-sungguh untuk membela namanya. Kalau lain-lain orang tidak melihatnya, In Loei ketahui itu dengan baik, maka itu, nona ini menjadi berkuatir. "Kepandaian Hong Hoe dibanding dengan kepandaian Tan Hong, ada berimbang," nona ini berpikir. "Selama pertandingan di dalam kuburan, Tan Hong cuma bisa melayani Mie Ming sampai lima puluh jurus, maka itu, Hong Hoe pasti tidak dapat bertahan sampai tujuh puluh jurus. Sekarang sudah lewat lima puluh jurus, mestinya tak lama lagi, Hong Hoe bakal kena dikalahkan.....” Benar, baharu lewat lagi tujuh atau delapan jurus, tampak Hong Hoe sudah sulit bernapas. "Jikalau aku kalah, tak apa untuk nama pribadiku," ia berpikir, "yang celaka adalah nama Tionggoan runtuh karenanya....." Karena ini, di saat terakhir itu, ia mencoba menggunakan ketikanya. Ia empos semangatnya, ia kumpulkan tenaganya ke tangan, waktu Tantai Mie Ming dengan dahsyat menyerang padanya, mendadak ia berseru, ia menyambuti dengan sekuat tenaganya. Serangan membalas ini sangat berbahaya andaikata mengenai sasaran kosong. Mie Ming adalah seorang yang cerdik, tak sudi ia membiarkan dirinya dipedayakan. Maka walaupun ia sedang terancam, dapat ia menghindarkan diri. Ia membalas dengan satu tangan yang berat. Hong Hoe tidak menduga sama sekali lawannya ada demikian licin dan tanggu, ia kaget sekali merasakan dadanya seperti tertindih keras, sampai napasnya sesak dan tubuhnya berhawa panas. Syukur untuknya, ia masih dapat ketika akan mundur teratur, dengan elakkan diri, ia membuatnya tenaga lawan tinggal separuh, hingga ia tak terserang hebat. Dalam keadaan seperti itu, kedua lawan seolah-olah tengah menunggang harimau, duduk terus salah, turun berbahaya. Mie Ming menang di atas angin, tapi ia kagum akan Tangan Kapas yang liehay itu. Ia kaget ketika ia dapat kenyataan, tangannya seperti dilihat, tak dapat segera ia loloskan tangannya itu. "Inilah hebat.....” ia mengeluh. Ia tidak berniat melukai lawannya itu, satu jago, akan tetapi ia terancam bahaya. Daripada bercelaka sendiri, lebih baik ia cari keselamatan. Karena ini, ia mencoba kerahkan tenaganya. Semua penonton kembali menjadi tegang, semua berdiam dengan menahan napas. Kedua lawan memasang kuda-kudanya masing-masing, kedua tangan mereka nempel satu pada lain. Hong Hoe bertahan diri, walaupun napasnya terdengar nyata, keringatnya ngucur dijidatnya. Sedapat-dapatnya ia terus melindungi dirinya. Dalam sibuknya, In Loei berpikir keras. "Bagaimana aku bisa memisahkan mereka?" demikian otaknya bekerja. Hong Hoe akan terbinasa atau terluka parah. Hong Hoe adalah hamba negara tapi dia ada satu laki-laki, jiwanya harus disayangi. Sunyi sekali suasana waktu itu, hingga bila ada jarum jatuh, dapat orang mendengarnya. Semua penonton mengawasi dengan mendelong, hati mereka tegang sekali. Dalam keadaan yang sunyi senyap itu, tiba-tiba terdengar satu suara batuk yang perlahan sekali. Itulah tanda bahwa di situ telah tambah satu orang lain. Kemudian ternyata, tambahan satu orang itu adalah seorang yang mukanya kuning, kumis jenggotnya panjang dan terpecah tiga, usianya lebih kurang lima puluh tahun, bajunya panjang, tangannya menyekal sebuah kipas rusak. Dari romannya dan dandanannya, teranglah ia adalah satu petani, atau seorang yang baharu pulang dari ladang habis meluku..... Semua orang memusatkan perhatiannya pada pertandingan, tidak ada yang lihat datangnya orang baru ini sampai orang mendengar suara batuknya itu. Menyusul itu terjadilah satu kejadian aneh, yang dilakukan orang asing ini. Dia sudah lantas datang kepada kedua orang yang bertempur itu, untuk menyelak disama tengah. "Tuan-tuan, kamu telah lelah, pergilah beristirahat!" demikian suaranya perlahan tetapi nyata. Itulah lagu suaranya Tantai Mie Ming ketika tadi Mie Ming merubuhkan lawan-lawan yang terdahulu. Heran Mie Ming, apa pula ketika orang itu ketengahkan kipas rusaknya di antara mereka berdua, hingga kipas itu hancur dan merosot turun bagaikan terikat sutera..... Hong Hoe terperanjat, sambil berseru, dia lompat mundur. Mie Ming pun terhuyung, lekas-lekas ia tarik kembali kedua tangannya, ia heran sekali. Hebat orang tua itu, yang mengerahkan tenaganya dengan pinjam perantaraan kipas rusak itu, hingga kedua orang yang tengah bertempur itu terpaksa memisahkan diri. Begitu lekas ia telah sadar akan dirinya, Tantai Mie Ming tertawa tergelak-gelak. "Sungguh beruntung hari ini aku bertemu dengan orang pandai!" kata orang Mongolia ini. "Aku Tantai Mie Ming, ingin menerima pengajaranmu!" Sambil pegangi kipas rusak itu, si orang tua perlihatkan roman sibuk. "Haraplah Tantai Tjiangkoen tidak berkelakar denganku," katanya, suaranya kurang nyata. "Aku adalah seorang desa yang telah lanjut usianya, apakah yang aku mengerti tentang ilmu silat?" Mie Ming sebaliknya perlihatkan roman sungguh-sungguh, roman tak senang. "Apakah benar-benar ioosianseng tidak suka memberi pengajaran padaku?" dia tegaskan. Lalu dengan satu gerakan tangannya, dia membuat kutung tulang-tulang kipas rusak dari si orang tua itu, seperti terpapas pisau tajam. Semua orang menjadi kagum dan heran. Itu adalah kekuatan jari-jari tangan yang istimewa. Orangpun heran, kenapa si orang tua membiarkannya, sedang tadi ia yang memisahkan kedua lawan itu. Ketika tadi ia memisahkan, orang tua itu menggunakan akal, yaitu waktu Mie Ming dan Hong Hoe tidak bersiap sedia, dan barusan, Mie Ming juga bergerak secara tiba-tiba, tak sempat si orang tua menolong kipasnya itu, ia cuma dapat melindungi dirinya sendiri. Hong Hoe ketahui semua itu, ia menjadi kagum, di dalam hatinya, ia berkata: "Benar-benar kepandaian manusia tak ada batasnya. Sampai sebegitu jauh, aku merasa puas dengan kepandaianku, sekarang terbukti, Mie Ming adalah terlebih liehay daripadaku, siapa tahu, orang tua ini ada jauh terlebih liehay lagi..... Mereka ini sama liehaynya, entah siapa yang terlebih liehay.....” Karena memikir demikian, hati komandan Kimie wie ini menjadi tidak tenteram. Ia pun berkuatir dalam pertempuran selanjutnya akan meminta korban jiwa. Tidak apa untuk si orang tua, ia tak dikenal, ia adalah rakyat jelata, tidak demikian dengan Tantai Mie Ming. Umpama terbinasa, akibatnya bisa hebat, sebab dia adalah utusan Watzu. Kalau si orang tua terbinasa, cuma Hong Hoe sendiri yang merasa tidak enak, karena barusan ia berhutang budi, ia merasa kasihan terhadap orang tua itu. Jikalau mereka bertempur, siapa sanggup memisahkan mereka?" Semua pahlawan juga merasa heran dan bingungnya seperti Hong Hoe. Di satu pihak, mereka ingin menyaksikan pertempuran, di lain pihak mereka kuatirkan akibatnya, hingga mereka berbareng ingin pertempuran dibatalkan..... Semua mata lantas diarahkan kepada Mie Ming dan si orang tua itu. "Jangan, jangan bertempur....." achirnya Hong Hoe berkata dalam hati. Tiba-tiba si orang tua mengangkat kipasnya. "Kau telah rusakkan kipasku, tak ingin lagi aku akan kipasku ini!" kata ia sambil mengangkat tangannya. Kipas itu tinggal batangnya saja, ketika diangkat, gagangnya menuju kepada jidat Tantai Mie Ming, pada jalan darah "thianleng niat" Tantai Mie Ming terkejut. "Sentilan yang liehay!" dia berseru, saking cepatnya tangan si orang tua. Selagi sekalian pahlawan kaget, Tantai Mie Ming mengangkat tangannya, mengibaskan tangan bajanya, atas mana, tangan baju itu berlubang terkena gagang kipas, dan gagangnya sendiri, yang dilepaskan dari tangan si orang tua, melesat terus, mengenai sebuah pohon hingga menerbitkan suara! "Telah aku saksikan kepandaian jari tanganmu," kata Mie Ming. "Sekarang ingin aku saksikan lebih jauh tanganmu!.....” Menyusul itu, orang Mongolia ini lompat maju, beruntun ia menyerang dengan kedua tangannya saling susul. Orang tua itu menangkis, sambil berseru: "Oh, oh, kenapa kau benar-benar hendak serang aku si orang dusun yang tua?" Kedua tangannya dirapatkan, bagaikan ngempo bayi, sambil menangkis, ia tambahkan: "Boleh, boleh kau patahkan tulang-tulangku yang tua ini!.....” Hong Hoe terkejut melihat bergeraknya tangan dari kedua orang itu. Mie Ming ada bagaikan singa murka, si orang tua sebaliknya seperti ular air yang lincah, tubuhnya setiap saat menyingkir dari serangan si panglima Mongolia. Setelah beberapa kali gagal, Mie Ming berseru, ia menyerang pula berbareng dengan kedua tangannya. "Ah!....." seru si orang tua, tubuhnya terhuyung tiga tindak. Setelah itu, Tantai Mie Ming berseru: "Looenghiong, Taylek Kimkong Tjioe-mu tak ada tandingannya di kolong langit ini, suka aku bersahabat denganmu! Looenghiong, sudikah kau memberitahukan she dan namamu?" "Ehrn!" si orang tua bersuara pula, suaranya dingin. "Tidak berani aku si orang dusun bersahabat dengan seorang besar.....” Sambil mengucap demikian, tangan kirinya menangkis, kaki kanannya menendang, ke arah jalan darah pekhay hiat di betis lawannya. Tiba-tiba Tantai Mie Ming menjadi gusar, hingga ia berseru: "Apakah kau sangka aku benar-benar takut terhadapmu?" demikian suaranya yang nyaring, lalu tangan kirinya dilonjorkan, tangan kanannya menyambar. Si orang tua loloskan diri, ia tertawa dingin. "Telah aku saksikan dua macam kepandaian Thian Ya Lookoay si orang tua aneh!" katanya. "Sungguh ilmu Tiat Piepie Tjioe dan Loohan koen yang liehay!" Mendengar itu, Tantai Mie Ming terkejut berbareng mendongkol. Memang, gurunya adalah Siangkoan Thian Ya, dan guru itu liehay dalam lima macam ilmu kepandaian, yaitu "tangan besi" Tiat Piepie Tjioe, jurus Loohan koen, pedang Gouwkauw kiam, sentilan satu jari Ittjie sian, dan lima batang jarum Hoeihong tjiam, yang di kalangan Boeiim, Rimba Persilatan, kesohor sebagai Boeiim Ngotjiat — lima macam ilmu kepandaian silat yang istimewa. Ia mendongkol karena lagu suara orang, yang seperti memandang enteng kepada gurunya. Maka juga, ia perhebat serangannya. Nampaknya si orang tua jumawa akan tetapi selama berkelahi, ia berlaku sangat hati-hati, tidak mau ia memandang enteng, semua gerakannya adalah penting untuk pembelaan diri, dan dengan Taylek Kimkong tjioe ia layani Loohan koen dan Tiat Piepee tjioe. Makin lama makin seru jalannya pertempuran kedua orang itu. sampai debu mengepul, sambaran-sambaran angin membuat penonton terpaksa mundur sendirinya. Loohan koen adalah ilmu silat biasa, Tiat Piepee tjioe juga tak susah untuk dipelajarinya, hanya, di tangannya Tantai Mie Ming, kedua ilmu silat itu jadi liehay luar biasa, dapat digabung jadi satu, hebat serangannya, sempurna penjagaannya. Demikian juga liehaynya si orang tua, tubuh siapa sangat lincah, hingga Tantai Mie Ming tidak pernah mengenai tubuh orang itu, hingga keduanya bagaikan air banjir menerjang gili-gili panjang, yang tak berhasil merubuhkannya. Di pihak lain, si orang tua juga tidak sanggup merubuhkan panglima Watzu itu. Kalau tadi pertandingan antara Hong Hoe dan Tantai Mie Ming membuatnya semua penonton kagum, sekarang mereka ini menyaksikan sambil menjublak, saking kagum dan heran. Dua lawan ini hebat tapi mereka nampaknya lucu, bagaikan dua bocah tengah bermain-main..... Sudah beberapa puluh jurus mereka itu mengadu kepandaian, kelihatannya Tantai akan mengenai tubuh si orang tua, tahu-tahu orang tua itu dapat membebaskan diri, atau nampaknya si orang tua menang di atas angin, atau si panglima Mongolia mendadak bebas dari ancaman bahaya. Maka semua penonton seperti menahan napas..... In Loei kagum seperti semua pahlawan lainnya. "Hebat Taylek Kimkong tjioe si orang tua ini," demikian pikirnya. "Katanya toasoepee liehay dalam ilmu silat itu, apakah orang tua ini toasoepee adanya!.....” Hian Kee Itsoe mempunyai lima murid, kecuali ayahnya In Loei, yang telah menutup mata, ia masih punya empat murid yang masing-masing dapat mewariskan satu kepandaian tersendiri. Dalam ilmu pedang, yang terliehay adalah muridnya yang ketiga, Tjia Thian Hoa. Mengenai tenaga dalam, yang paling tanggu adalah murid kepalanya yaitu Tang Gak dengan Taylek Kimkong Tjioe. Pikir In Loei terlebih jauh: "Aku dengar toasoepee dan samsoepee pandai ilmu silat dan pintar ilmu suratnya, wajah mereka luar biasa, kalau dia ini benar toasoepee, mengapa dia hanya seorang desa yang tua? Pun katanya, untuk belasan tahun dia pesiar di Mongolia dan Thibet, kenapa sekarang dia mendadak muncul di kota raja ini?.....” Tengah In Loei berpikir keras, pertandingan pun sudah berganti rupa. Kalau tadi mereka itu saling serang dengan hebat, sekarang gerakan kaki tangan mereka jadi lambat, malah ada kalanya mereka seperti saling mengawasi saja, kaki tak bergerak, tangan diam, cuma mata mereka memandang tajam. Mereka pun berhadapan dekat. Tak lama keadaan ini, atau mendadak mereka berubah pula, keduanya lompat maju, lantas mereka memisah diri. Nampaknya tak hebat serangan mereka, tetapi sebenarnya, mereka mencoba mencari kemenangannya masing-masing. Semua penonton tak tahu gerakan mereka itu, karena hebatnya dan anehnya. Tidak lama, juga Tantai Mie Ming telah mandi keringat. Menampak itu, Hong Hoe terperanjat, ia berkuatir. Kelihatannya mereka itu mesti kalah kedua-duanya, sama-sama terluka..... Ia bingung sebab tak tahu ia, bagaimana harus memisahkannya. Seumurnya, Tantai Mie Ming belum pernah menghadapi lawan setanggu ini, ia pun menjadi berkuatir sendirinya. Karena ini, ia nampaknya menjadi nekat. Maka ia menyerang pula dengan sengit, dengan cepat. Ia berseru. Si orang tua melayani sambil mundur, dengan teratur. Ia bertindak dengan gerakan "kioekiong patkwa," sebelah tangannya menangkis, yang lain melindungi dadanya. Tampaknya ia seperti tidak membalas menyerang, sedang sebenarnya, sambil menangkis, ia pun membalas. Dilihat dengan mata biasa, Tantai Mie Ming menyerang hebat sekali, akan tetapi sebenarnya, setiap kali ia tertolak oleh tenaga dorongan Kimkong tjioe dari lawannya itu. "Sudah dua puluh tahun lebih aku malang melintang, kecuali Tjia Thian Hoa, inilah tandinganku yang terkuat," pikir Mie Ming. "Tjia Thian Hoa liehay ilmu pedangnya, tak ada tandingannya di kolong langit ini tetapi bicara hal tenaga dalam, orang tua ini menang daripadanya. Mungkinkah dia sama dengan Tjia Thian Hoa, ialah salah satu murid lawannya guruku?" Memang pada tiga puluh tahun yang lampau, gurunya Mie Ming ini, yaitu Siangkoan Thian Ya, telah bentrok keras dengan Hian Kee Itsoe, bentrok dalam perebutan kedudukan sebagai pemimpin kaum Rimba Persilatan, selama tiga hari dan tiga malam, keduanya sudah bertempur hebat di atas gunung Ngobie San, tanpa ada yang kalah atau menang, hingga kesudahannya Siangkoan Thian Ya pergi menyembunyikan diri di Mongolia, di mana dengan menerima murid, ia mencoba mendirikan satu kaum persilatan tersendiri. Walaupun ia bercuriga demikian rupa, dalam keadaan seperti itu, di saat mati atau hidup, Tantai Mie Ming tidak sempat berpikir lama-lama, ia harus terus melayani si orang tua, siapa meski usianya lebih tua belasan tahun, nyata, tenaga dalamnya ada terlebih tanggu. Orang tua ini tetap membela diri sambil balas menyerang, menyabet atau mencengkram. "Ah, hebat sekali....." Mie Ming menghela napas. Ia menyedot hawa dingin. Diam-diam ia bergidik. Sia-sia belaka ia menyerang, tangan kiri dengan Lohan koen, tangan kanan dengan Piepee tjioe. Terpaksa ia mesti jaga diri baik-baik, ia mesti keluarkan seluruh kepandaiannya yang ia peroleh dari Siangkoan Thian Ya, yang telah mendidik ia dengan sungguh-sungguh hati, dengan susah payah. Sekian lama ia percaya, tidak nanti ada lain orang yang sanggup memecahkan Loohan koen dan Piepee tjioe-nya, tidak tahunya kali ini ia menemui lawannya. "Biarlah, aku tidak akan serang hebat padamu, hendak aku lihat, apa yang kau dapat berbuat terhadap diriku," pikir panglima Mongolia ini kemudian. Dengan begitu ia telah mengambil keputusannya. Jurus-jurus telah lewat, masih mereka sama tanggunya, cuma keringat yang membasahi jidat, mereka masing-masing. Para penonton tetap dalam ketegangan. Biar bagaimana, mereka, mengharapkan si orang tua yang keluar sebagai pemenang, untuk nama baik persilatan Tionggoan. Tentu sekali, mereka tidak tahu, Mie Ming pun asal orang Han sejati. Tantai Mie Ming juga berkuatir akan akibatnya pertandingan ini. Pihak luar niscaya tidak ketahui yang mereka bertanding hanya untuk mencoba kepandaian. Akibat itu bisa mengenai urusan negara dengan negara, sebab ia adalah pahlawan dari utusan Watzu, sedang pihak lainnya adalah pahlawan-pahlawan Beng. Selagi para penonton meragu-ragukan akhirnya pertandingan itu, tiba-tiba si orang tua membuat lagi satu gerakan baru. Tubuhnya tidak bergerak, adalah tangan kirinya dibikin melengkung bundar, lalu tangan kanannya dikepal, dimajukan ke depan. Menyusul tangan kanan itu baharulah tubuhnya turut maju sedikit, diturut dengan tindakan kaki. Dengan satu gerakan, Tantai Mie Ming tangkis serangan itu. Tiba-tiba si orang tua menarik kembali tangan kanannya, untuk dipakai melindungi dadanya, sebaliknya, kepalan kirinya berbalik menyerang. "Kena!" dia berteriak. Lalu tangan kanannya menyusul. Itu adalah tiga serangan kepalan saling susul. Tantai Mie Ming rasakan dorongan keras ketika ia tangkis pukulan yang pertama, selagi ia hendak lawan dorongan itu, mendadak dorongan pihak lawan itu menjadi kendor sendirinya, selagi tubuhnya hampir terjerunuk, mendadak datang dorongan yang lain. Ia segera menangkis pula. Lalu ia tangkis serangan yang ketiga kali. "Kecuali toasoepee, siapa lagi yang tenaga dalamnya begini hebat?" pikir In Loei, yang menyaksikan sambil mendelong. Tanpa merasa, ia berseru dengan kagumnya: "Bagus!" Sekonyong-konyong terdengar satu suara "Duk!" yang keras. Nyata pundak Mie Ming terkena jotosan yang ketiga kali itu. "Celaka!" Thio Hong Hoe menjerit. Ia lantas lompat maju, maksudnya untuk datang sama tengah. Bersama ia maju pula beberapa pahlawan lain. Serangan si orang tua itu membuatnya pundak Mie Ming turun rendah, berbareng itu, kepalan si orang tua seperti terbetot tenaga rahasia. Belum sempat orang tua itu menarik kembali kepalannya, atau Mie Ming sudah membalas menyerang ke arah pinggang si orang tua itu. "Hm! Ha!" demikian terdengar si orang tua, yang tubuhnya mencelat mundur, tinggi, sampai melewati kepalanya beberapa pahlawan, hingga di lain saat ia telah lewati juga tembok pekarangan! In Loei tidak sempat berbuat apa-apa, ia cuma melihat, sinar matanya si orang tua menatap dengan tajam ke arahnya. Tubuh Hong Hoe masih lemah, walaupun ia lompat, ia dapat disusul oleh dua pahlawan yang lompat berbareng dengannya. Kedua pahlawan ini sudah lantas sampai kepada Mie Ming, siapa hendak mereka tolongi. Karena serangannya itu, Mie Ming jatuh duduk, tubuhnya tak lagi bergerak. Mereka ini cekal kedua pundaknya, maksudnya untuk memimpin bangun, atau tiba-tiba di antara jeritan "Ayo!" dua pahlawan itu mundur terhuyung, iga mereka dirasakan sakit. "Ha!" mereka itu berseru. Hong Hoe segera mengerti duduknya hal. Ia halangi kedua pahlawan itu, hingga mereka tak terhuyung terlebih jauh. "Biarkan Tantai Tjiangkoen1." Hong Hoe teriaki kedua pahlawan itu. "Dia tengah empos tenaga dalamnya!.....” Hampir berbareng dengan itu, kelihatan Mie Ming bersenyum, terus ia manggut-manggut kepada si komandan, seperti ia hendak puji komandan itu. Si orang tua turunkan tangannya yang terakhir, dia gunakan Taylek Kimkong tjioe, untung tenaga dalam si panglima Watzu pun liehay, ia pun luas pengalamannya, dari itu, dapat ia mengelakkan diri. Ia turunkan pundaknya untuk menyambut serangan, kecuali mendak, tidak ada lain jalan lagi baginya. Berbareng dengan itu, ia juga coba menyerang, guna meringankan pukulan si orang tua. Walaupun itu semua, pakaian perangnya — lapis baja — telah menjadi korban, jikalau tidak, tentu rusaklah anggota-anggota dalam tubuhnya. Juga si orang tua tidak menyangka, dalam keadaan terancam seperti itu, Mie Ming masih bisa mengelakkan diri, masih bisa membalas menyerang, ia terkejut ketika ia merasa tubuhnya seperti terbetot lawan itu. Ia mencoba pula mengelakkan diri. Syukur untuknya, serangan Mie Ming tak sekuat tenaganya — tenaga Mie Ming tengah terbagi — jadi serangan itu, dalam sepuluh cuma dua tiga bagian saja. Jikalau tidak, juga si orang tua mesti rubuh seperti lawannya ini, yang jatuh duduk numprah. Tapi tidak urung, sekeluarnya dari rumah Hong Hoe, ia mesti juga muntahkan diri, dan tempo ia kembali di pondoknya, ia mesti duduk bersemedhi guna memulihkan kesehatannya. Mie Ming tetap bercokol sekian lama. Ia lolos dari bahaya di dalam, ia tidak bebas dari luka di luar. Tidak berani ia bicara. Ia juga empos semangatnya, untuk mengalirkan jalan darahnya. Hong Hoe mengawasi orang, terus ia berkata pada rekan-rekannya: "Pertandingan sudah berakhir, sekarang silakan saudara-saudara pulang saja!" Semua pahlawan itu juga kuatir nanti terlibat, maka itu, dengan segala senang hati mereka lantas pamitan dan pergi, kecuali dua pahlawan, yang terus berdiri diam, wajah mereka beda dari biasanya. In Loei tak dapat berdiam lebih lama, hendak ia bicara kepada tuan rumahnya, atau mendadak, dua pahlawan itu membuka mulutnya. "Sekarang ini masih pagi, Tantai Tjiangkoen pun belum pulih kesehatannya, kami berdua hendak berdiam dulu di sini," demikian kata mereka. "Tidak berani aku mengganggu djiewie," kata Hong Hoe dengan cepat. "Kami dua saudara pertama-tama ingin menemani Tantai Tjiangkoen, kedua kami hendak gunakan ketika ini untuk melanjutkan pertandingan ini," kata pula mereka itu, yang bicaranya mendesak, "ialah kami ingin belajar kenal sama ilmu golok dari Thio Thaydjin. Karena ini ada latihan belaka, untuk kemajuan kedua pihak, kami percaya Thio Thaydjin tentulah tak nanti sudi tak memberi petunjuk kepada kami." Hong Hoe jadi berpikir keras. Kedua pahlawan itu adalah orang-orang kepercayaannya Soeiee Thaykam Ong Tjin, si orang kebiri yang besar pengaruhnya. Semasa kaisar masih menjadi putera mahkota, Ong Thaykam ini pernah mengajarkan ilmu silat padanya, sekarang, sebagai Soeiee Thaykam, dia jadi sangat berkuasa, dengan gampang dia dapat memfitnah menteri-menteri setia. Dua pahlawan ini, yang bersaudara kandung, adalah Lou Beng dan Lou Liang, kepandaian mereka yang utama adalah genggaman tameng yang bernama ilmu silat Lakcapshalou Koengoanpay hoat, yang terdiri dari enam puluh tiga jurus. Tameng itu istimewanya ialah bukan dikawani dengan golok, hanya dengan pedang, dan kedua saudara ini, yang satu menyekal pedang, yang lain memegang tameng, biasa mereka bertempur bersama. Sebenarnya Hong Hoe tidak mengundang mereka ini, adalah mereka yang datang sendiri. Bingung juga Hong Hoe. Terang sudah, kedua saudara she Lou ini tidak mempunyai maksud baik. Yang hebat baginya ialah selagi ia masih lelah habis melayani Mie Ming, tak dapat ia menampik dengan alasan masih letih itu. Akhirnya, terpaksa ia ambil putusannya. "Oleh karena djiwie mempunyai kegembiraan itu, baiklah, suka aku yang rendah menemaninya," demikianlah penyahutannya. "Tapi karena kita cuma melatih diri, aku harap kita hanya saling menyentuh saja, jangan kita bicarakan urusan kalah atau menang....." "Itulah pasti!" tertawa kedua saudara Lou itu. "Siapa kalah siapa menang, kita sambut dengan tertawa saja!" Lalu, dengan mengambil tempat di kiri dan kanan, kedua pahlawan itu segera siap sedia dengan pedang dan tameng mereka. In Loei menjadi tidak puas sekali. "Tidak keruan-keruan, kembali orang hendak bertanding," pikirnya. Tapi ia ada orang luar, tidak dapat ia menyelak di tengah untuk mencegah pertandingan itu, terpaksa ia berdiri tetap di pinggiran. Thio Hong Hoe hunus goloknya, golok Biantoo. "Silakan!" ia undang. "Thio Thaydjin saja yang mulai!" Lou Beng jawab. Hong Hoe mengerti persiapan kedua saudara itu, tak sudi ia hunjuk kelemahan dirinya. "Baiklah!" ia jawab sambil tertawa. "Maaf!" Dengan satu gerakan menyabet dari ilmu golok Ngohouw Toanboen too, komandan Kimie wie sudah lantas menyerang lengannya Lou Beng. "Trang!" demikian satu suara, ketika pahlawan Ong Tjin menangkis dengan tamengnya. Itulah Lou Liang, yang mendalangi saudaranya. Hong Hoe sudah menduga akan tangkisan itu, maka juga dengan menggunakan ketika itu, ia luncurkan goloknya di antara tameng itu, dengan menerbitkan sinar hijau yang menyilaukan mata, dengan jurus "Anghee toatbak," "Sinar layung menyilaukan mata," ia menikam terus dengan ujung goloknya ke arah tenggorokan. Justeru itu Lou Beng, dengan pedangnya yang tajam, majukan diri sambil memapas, akan tabas kutung lengan si orang she Thio. Dengan cara ini ia berbareng menolongi saudaranya. Dengan cepat Hong Hoe tarik pulang goloknya, untuk menangkis pedangnya. Dalam tempo yang pendek itu Lou Liang dapat kenyataan, tamengnya pada bagian yang terbacok lawan telah melesak, memberi bekas bacokan golok, karena mana, ia terkejut. "Kusangka dia sudah lelah, tidak tahunya dia masih tetap tangguh," ia berpikir. Karena ini, segera ia maju pula, guna membantu saudaranya. Ia mencoba mendesak. Dengan lantas ia perlihatkan liehaynya ilmu silat tamengnya. Desakan ini ada baiknya untuk Lou Beng, yang jadi leluasa dengan pedangnya, sebab dia senantiasa terlindung tameng saudaranya itu. Dalam keadaan biasa, dua saudara Lou itu bukan tandingannya Thio Hong Hoe, sekarang ini komandan itu masih lelah hingga golok yang tajam itu kurang lincah gerakkannya, dengan begitu, bertiga mereka jadi berimbang. Lou Beng dan Lou Liang mencoba mendesak, sebentar saja mereka sudah bertempur kira-kira lima puluh jurus, bagus kerja sama mereka berdua, sempurna serangan dan pembelaan diri mereka, maka sulit bagi Hong Hoe untuk merubuhkan mereka, tidak peduli goloknya itu istimewa tajamnya. Dalam percobaannya mendesak itu Lou Liang kembali menyerang dengan tamengnya, dengan jurus "Soenloei koanteng" atau "Geledek menyambar." Ia arah batok kepalanya Thio Hong Hoe. Komandan Kimie wie itu menginsyafi bahaya tameng itu, yang beratnya sedikitnya seratus kati. Coba ia masih segar, tidak usah ia pikirkan itu. Sekarang adalah lain, tidak mau ia melayani keras dengan keras. Maka itu dengan cepat ia berkelit. Karena ia mengalah, ia jadi terdesak, hingga segera ia berada di bawah angin. Dilindungi tameng saudaranya, pedang Lou Beng mendesak berulang-ulang, bagaikan ular berbisa yang tak hentinya menyemburkan bisanya. In Loei lantas menginsyafi bahaya yang mengancam Thio Hong Hoe itu, ia menjadi heran. "Ini bukan caranya orang berlatih," pikirnya. Tiba-tiba tampak Lou Liang mendekam, tamengnya menutupi seluruh tubuhnya, habis itu dengan cepat, ia lompat bangun, tamengnya itu menyambar, dalam gerakan "Hengsaw tjiankoen" — "melintang menyapu ribuan serdadu." Tameng itu mengarah kepinggang. Hong Hoe berkelit dengan gerakan "Liongheng hoeipou" atau "Naga terbang," ia lolos di bawah tameng, sambil berkelit, ia membalas menyerang dengan bacokan. "Tongleng tianpie" atau "Cengcorang pentang sayap." Kalau ia barusan diarah pinggangnya, ia mengarah sepasang kaki orang. Inilah yang dikatakan "Tong long pok sian, oey tjiak tjay houw," yaitu, sang cengcorang menubruk sang tonggeret, sang burung gereja mengintai di belakangnya. Selagi Hong Hoe membabat kaki Lou Liang, Lou Beng di sampingnya pun menikam dengan pedangnya. Sebab Lou Beng hendak menolongi Lou Liang, sang saudara. In Loei saksikan kejadian itu, ia kaget hingga ia menjerit. Tapi ia tidak hanya menjerit, berbareng dengan itu, jari-jari tangannya menyentilkan Bweehoa Ouwtiap piauw. Lou Beng percaya betul, pedangnya akan mengenai sasarannya. Ia tidak sangka, berbareng dengan satu suara "trang!" ujung pedangnya telah meleset, karena piauw menyampoknya hingga ujung pedang itu menggeser dari arahnya. Coba tidak demikian, sudah tentu tubuh Hong Hoe bakal tertusuk bagaikan sate dipanggang. Tak sempat berpaling lagi, untuk mencari tahu, siapa si pelepas piauw itu, Lou Beng berlompat mundur, sesudah itu, baharu ia pikir hendak menanya. Berbareng dengan itu, juga In Loei hendak lompat maju, untuk majukan diri, atau ia telah didahului Tantai Mie Ming. Panglima Mongolia ini mencelat maju seraya perdengarkan suaranya: "Aku hendak bertempur pula satu gebrakan! Djiewie, kamu suka berdiam di sini, untuk temani aku, maka untuk membalas kebaikanmu ini, suka aku mengorbankan diri untuk menemani kau! — Thio Thaydjin, silakan kau undurkan diri!" Mie Ming bergerak terus menyusuli kata-katanya itu, ia tak tunggu lagi jawabannya kedua saudara Lou itu atau Hong Hoe, tangan kirinya bekerja dibarengi dengan tangan kanan. Kalau tangan kiri menyambar menangkap, tangan kanan menggempur menyampok. Karena kagetnya, tameng Lou Liang sampai terlepas dari cekalannya, terpental tinggi, dan pedangnya Lou Beng kena dirampas, terus dibikin patah menjadi dua potong! Maka melengaklah kedua saudara itu! Tantai Mie Ming tidak berhenti sampai di situ. Dia bekerja terus, kedua tangannya menyambar tubuh Lou Beng dan Lou Liang, yang terus dia angkat sambil berseru "Pergi!" Maka kedua tubuh itu yang bagaikan ditiup angin puyuh, terapung kurang lebih satu tombak jauhnya, perdengarkan jeritan dari kesakitan, mata mereka berkunang-kunang, sebab mereka terbanting keras, sejenak itu juga mereka pingsan! Tantai Mie Ming melenggak, ia tertawa ber-kakakan. "Selama hidupku, inilah hari pertandinganku yang paling memuaskan!" kata dia dengan nyaring. Terus dia manggut terhadap Thio Hong Hoe, sedang terhadap In Loei, dia usapkan tangannya dan berkata: "Aku hendak cari si orang tua tadi, maaf, tak dapat aku temani kamu terlebih lama pula!.....” Dan dia buka tindakan lebar untuk berlalu dari rumah Hong Hoe. Tuan rumah she Thio itu segera lari menghampiri Lou Beng dan Lou Liang, untuk memeriksa keadaannya. Ia dapat kenyataan, tulang iga Lou Beng patah dua buah dan gigi Lou Liang copot dua biji. Sama sekali mereka tidak peroleh luka di dalam tubuh, hingga jiwa mereka tidak terancam bahaya. Maka dengan hati lega, Hong Hoe lantas ambil obat dan obati mereka itu. Habis itu, dengan keluarkan kata-kata tak tegas, dengan tindakan tidak tetap, kedua pahlawan itu juga ngeloyor pergi..... Akhir-akhirnya, Hong Hoe menghela napas. "Sungguh aku tidak duga....." keluhnya. "Apakah yang kau tidak duga?" In Loei tanya. "Biasanya aku tidak pernah berhubungan dengan Ong Tjin," sahut komandan Kimie wie itu. "Dua orang ini adalah pahlawan-pahlawan Ong Tjin, mereka rupanya mendapat titah dari Ong Tjin untuk mencelakai aku. Mungkin ini disebabkan aku tak sudi pernahkan diri di bawah pengaruh orang kebiri itu.....” In Loei berdiam. Baharu sekarang ia tahu, di kota raja ini, juga kaum pahlawan terdiri dari berbagai golongan, bahwa mereka saling berdengki. Tentang ini, tidak sudi ia mencari tahu, ia tidak menanyakannya lebih jauh. "Eh, mana sahabatmu itu, Siangkong Thio Tan Hong?" tanya Hong Hoe kemudian. Wajah In Loei menjadi bersemu merah. "Sejak di Tjengliong Kiap, kita telah berpisah," ia menyahut, terpaksa. "Sayang, sayang," mengeluh Hong Hoe. "Coba kamu berdua ada di sini, dengan pedangmu bergabung menjadi satu, pasti sekali kamu dapat mengalahkan Tantai Mie Ming itu! Selama tiga hari beruntun, terus menerus Mie Ming menangkan belasan pertandingan, beruntung datang orang tua tidak dikenal itu yang membuatnya ia tahu rasa, sayang mereka bertanding seri, sama-sama mereka memperoleh luka..... Ah, sungguh, kali ini runtuhlah kaum pahlawan dari kota raja!.....” In Loei mengerti orang sangat berduka dan menyesal. Tapi ia tertawa. "Sebenarnya kau belum terkalahkan Tantai Mie Ming!" ia kata. "Syukur datang si orang tua, kalau tidak, tetap aku bakal kalah," Hong Hoe akui. "Malah mungkin jiwaku akan lenyap bersama! Tidak tahu aku bagaimana cara datangnya orang tua itu, di sini banyak pahlawan, tidak seorang jua yang mengetahuinya....." Ia berhenti sebentar, untuk menambahkan: "Tantai Mie Ming juga ada seorang aneh. Kalau tadi dia tidak turun tangan, mungkin aku bercelaka juga. Biar bagaimana, aku mesti haturkan terima kasihku untuk Bweehoa Ouwtiap piauw-mu!" In Loei tak gubris pujian itu. Ia mempunyai urusan lain. "Thio Thaydjin," katanya, "aku datang ke kota raja ini untuk satu urusan penting. Hendak aku mohon bantuan kau!" "Katakanlah," jawab Hong Hoe. "Mana dia sebawahanmu, si perwira muda she In?" In Loei tanya. "Aku minta supaya kau ajak dia menemui aku." Hong Hoe mengawasi, nampaknya ia merasa heran. "Adalah untuk ini saja kau datang ke kota raja ini?" dia tegaskan. "Ya, untuk ini saja," In Loei pastikan. "Sebenarnya kau menpunyai hubungan apa dengan In Tongnia itu?" Hong Hoe tanya pula. "Belum pernah aku dengar ia menyebut-nyebut kau.....” "Kita adalah dari satu she, aku ingin berkenalan dengannya," sahut In Loei, yang masih belum ingin menerangkan jelas. "Di kolong langit ini banyak orang yang sama she-nya," pikir Hong Hoe, "maka itu alasanmu tidak masuk diakal.....” In Loei tidak membiarkan orang bungkam. "Jikalau Thaydjin ada punya urusan lain, tolong beritahukan saja alamatnya In Tongnia itu," ia mendesak. "Aku sendiri dapat mencari dia." Tiba-tiba saja komandan itu bersenyum. "Inilah urusan gampang," katanya. "Sekarang silakan kau masuk dulu." In Loei heran, di dalam hatinya, ia kata: "Kalau urusan ada gampang, untuk apa kau undang aku masuk dulu? Tidakkah cukup bila kau beri tahu aku alamatnya perwira muda itu?.....” Tapi ia adalah tetamu, tidak berani ia terlalu mendesak. Hong Hoe pimpin tetamunya berlalu dari tanah lapang, untuk memasuki sebuah ruang tetamu di mana paling dulu ia titahkan pelayannya menyiapkan dua cangkir terisi teh wangi. "Maaf, ingin aku salin pakaian dulu," kata tuan rumah ini kemudian, lalu ia terus masuk. Memang, setelah pertempuran hebat melawan Tantai Mie Ming, pakaian komandan Kimie wie itu telah robek dan kotor, begitupun rambutnya. Mulanya In Loei, karena urusannya, tidak memperhatikan, sesudah orang menyebutkannya, baharu ia melihat terang. Benar-benar tidak pantas tuan rumah menemani tetamu dengan pakaian tidak keruan macam itu. Maka ia jadi tertawa. "Sungguh liehay Tantai Mie Ming itu!" ia kata. "Syukur kau yang melayani dia, coba orang lain, sudah tentu dia tidak sanggup.....” Hong Hoe bersenyum, ia jalan terus. Sebenarnya tidak lama, tapi In Loei menantikan dengan tidak sabaran, baharu hatinya lega apabila ia tampak tuan rumah itu muncul pula. "Thio Thaydjin, di mana tinggalnya In Tongnia itu?" ia tanya tanpa menanti lagi. Ia seperti tak sanggup kuasai pula dirinya. Hong Hoe berlaku ayal-ayalan, ia singkap bajunya untuk duduk dengan tenang. Ia pun angkat dulu cawan tehnya, untuk menghirup teh yang wangi itu. "Sukar untuk menemui In Tongnia itu!" sahutnya kemudian, tapi sambil bersenyum. In Loei heran, hingga tak dapat ia tidak memperlihatkan roman kaget. "Apa katamu?" tanyanya cepat. "Dia kena-pakah?" Hong Hoe lihat tegas kelakuan orang yang luar biasa itu. Itu menyatakan bahwa di antara kedua anak muda itu terdapat suatu hubungan yang erat, kembali ia bersenyum. "Dia tengah menghadapi suatu kejadian di luar dugaan, hanya itu adalah kejadian yang baik," jawabnya kemudian. "Dia telah disetujui oleh Sri Baginda, dia telah diangkat menjadi siewie di dalam keraton. Karena ini dia tidak dapat sembarang keluar, jadi sulit untuk menemui dia." In Loei jadi bingung. "Apakah kau juga tak dapat memanggil dia keluar?" ia tanya. "Sekarang ini dia bukan lagi sebawahanku, pasti tak dapat aku memanggil dia keluar," sahut Hong Hoe. In Loei jadi seperti putus asa. "Habis bagaimana?" tanyanya, lenyap kegembiraannya. "Jikalau kau berniat menemui dia, mungkin setengah bulan lagi baharu ada ketikanya," Hong Hoe beritahu. "Kenapa begitu?" In Loei tanya. "Apakah sebabnya?" "Setengah bulan lagi tibalah waktunya Sri Baginda mengadakan ujian militer tahun ini," komandan Kimie wie itu menerangkan. "Dengan ujian militer" dia maksudkan ujian boe kiedjin. "Saudara Tjian Lie sudah mendaftarkan namanya. Dia pandai ilmu silat, dia paham membaca kitab perang, ada harapan baginya lulus sebagai Boe tjonggoan. Umpama kata dia menjadi Boe tjonggoan, sudah pasti Sri Baginda akan berikan dia pangkat besar dan mendapat kedudukan lain hingga tak usah dia tinggal lebih lama di dalam keraton sebagai pahlawan." Benar-benar lenyap harapan In Loei. Ia jadi memikir untuk pamitan saja. Akan tetapi Hong Hoe tanya ia ini dan itu, ia tetap diajak bicara. Dan bicara tentang kejadian di Tjengliong Kiap, tuan rumah ini kembali puji Thio Tan Hong, ia kata, karena tipu dayanya Tan Hong itu, puteranya Tjioe Kian dan ia sendiri jadi dapat kebaikan. Hati In Loei berdenyut setiap kali ia dengar disebutnya nama Tan Hong. Hong Hoe lihat keadaan orang itu, ia menjadi heran sekali. "Apakah benar Thio Tan Hong itu puteranya Thio Tjong Tjioe?" tanyanya kemudian. "Benar," jawab In Loei, terpaksa. "Kalau benar begitu, benarlah, teratai keluar dari lumpur tetapi tidak kotor!" kata Hong Hoe. "Melihat segala sepak terjangnya, terang dia adalah satu pemuda penyinta negara, maka harus ditertawai saudara Tjian Lie, dia baik dalam semua hal kecuali terhadap Tan Hong, dia sangat berkukuh, dia sangat benci Tan Hong itu." In Loei berdiam, ia rasakan hatinya sakit. "Apakah kau juga datang dari Mongolia?" kembali Hong Hoe menanya secara di luar dugaan. "Di masa kecilku, pernah aku tinggal di Mongolia," In Loei akui. "Kalau benar begitu, kau mirip dengan saudara Tjian Lie itu," kata Hong Hoe. "Tahukah kau orang macam apa pangeran asing serta Tantai Mie Ming yang datang ke Tionggoan ini?" "Aku meninggalkan Mongolia sebelum berumur tujuh tahun," sahut In Loei, "maka itu mengenai Mongolia, sedikit sekali pengetahuanku. Kenapa Thaydjin tanya tentang kedua orang asing itu?" "Sekarang pemerintah kita menghadapi suatu urusan penting," jawab komandan itu. "Itu adalah satu urusan aneh." In Loei tidak menegaskan. Ia anggap ia adalah seorang rakyat jelata, tak ada pentingnya baginya untuk mengetahui urusan negara itu. Hong Hoe sebaliknya pandang "pemuda" ini sebagai sahabat karib, bagaikan saudara kandung, tanpa kekuatiran, ia membicarakannya terlebih jauh. "Pangeran asing itu bernama Atzu," ia berikan keterangan, "di negerinya dia menjabat pangkat tiwan, yang berarti pejabat pemerintah, maka kekuasaannya berada di atasnya lain-lain pangeran, dia cuma berada di bawahan thaysoe. Kali ini dia datang ke negeri kita sebagai utusan, untuk membuat perundingan. Ada tiga syarat yang telah dikemukakan. Pertama-tama dia minta supaya daerah seratus lie di luar Ganboenkwan diserahkan pada negara Watzu, dan kota Ganboenkwan menjadi tapal batas kedua negara itu. Yang kedua dia minta diadakan penukaran antara barang-barang besi kita dengan kuda Mongolia. Dan yang ketiga dia minta supaya puteri raja kita dinikahkan dengan Toto Puhwa, putera raja Watzu itu. Ketiga permintaan itu ditentang keras oleh Ie Kokioo, yang tak dapat menerimanya. Ie Kokioo bilang, tanah daerah Tionggoan, satu dim juga panjangnya tak dapat diserahkan pada lain negara. Kalau besi kita diserahkan pada negara Watzu, itu ada seumpama kita pelihara harimau untuk mendatangkan ancaman bencana di belakang hari, sebab sekarang saja negeri Watzu sudah kuat sekali. Tentang pernikahan, meskipun itu ada urusan keraton, tetapi itu juga mengenai kehormatan kebangsaan, maka itu pun tak dapat diterima." "Ie Kiam adalah satu menteri besar yang jujur, dia sangat setia kepada negara, sikapnya itu pasti tidak aneh," kata In Loei, yang turut juga bicara. "Ie Kiam menentang keras, ia memang tidak aneh," Hong Hoe jawab, "yang aneh adalah sikapnya Ong Tjin. Dia juga menentang, sedang dia secara diam-diam, telah sekongkol dengan negeri Watzu itu, hal mana sudah dapat kita dengar semua. Pada sikap Ong Tjin itu ada satu sebabnya. Daerah seratus lie di luar Ganboenkwan berada dalam pengaruhnya Kimtoo Tjioe Kian, daerah itu tak lagi dapat dikendalikan oleh pemerintah kita. Inilah sebabnya Ong Tjin sangat benci pada Tjioe Kian, selama sepuluh tahun sudah sering dia kirim surat-surat rahasia pada panglima kota Ganboenkwan, mengijinkan panglima itu berserikat dengan tentara Watzu, untuk bersama menghajar dan memusnahkan Tjioe Kian. Karena sebab itu, kita percaya, Ong Tjin tentunya setuju untuk menyerahkan daerah itu kepada bangsa Watzu. Di luar dugaan, dia justeru menentangi! Tentang pertukaran besi Tionggoan dengan kuda Mongolia, hal itu sudah berjalan selama sepuluh tahun, yang melakukan itu, tentu saja secara diam-diam juga, adalah Ong Tjin sendiri." "Mungkin Ong Tjin mainkan siasat, supaya orang tidak tahu jelas akal muslihatnya itu," kata In Loei. "Rupanya dia tidak mau main terang-terangan." Thio Hong Hoe tertawa. "Kenapa Ong Tjin tidak melakukan itu terang-terangan?" katanya. "Ong Tjin itu sudah mempengaruhi Sri Baginda untuk membikin tunduk semua menteri. Di dalam istana, dia telah berkoncoh, mengumpulkan kawan sekongkol, karena itu, ada alasan apa maka ia tidak berani berterus terang? Kau tahu, sekalipun Sri Baginda selalu pandang mata padanya. Sri Baginda sendiri ada seorang yang berhati kecil, bila Ong Tjin menganjurkan perdamaian, tentu semua permintaan Watzu itu akan sudah diterima baik.....” "Tentang keadaan pemerintah aku tidak tahu suatu apa," kata In Loei. "Masih ada yang lebih aneh lagi daripada sikap Ong Tjin itu," Hong Hoe tambahkan. "Sudah dia tentangi perdamaian, dia juga menganjurkan supaya utusan Watzu itu ditahan. Mengenai ini, Ie Kiam tidak mupakat. Ong Tjin biasa membantu Watzu, sekarang dia menganjurkan untuk menahan utusan negara itu, semua menteri tak ada yang tidak merasa heran....." Mendengar ini, panas hati In Loei. Kembali ia teringat pada urusan engkong-nya, yang diutus ke negeri Watzu, lalu ditahan, disiksa sebagai pengembala kuda selama dua puluh tahun, hidup menderita di tempat dingin, es dan salju. "Walaupun kedua negara sedang berperang, tidak seharusnya utusan salah satu negara dibunuh mati!" kata dia dengan sengit. "Karena itu, tidak selayaknya utusan Watzu mesti ditahan!" "Mengerti aku tentang kebiasaan antara negara itu, kata Hong Hoe. "Tapi usul penahanan utusan Watzu itu keluar dari Ong Tjin sendiri, itulah yang membuatnya semua orang tidak mengerti.....” Tanpa merasa, mereka telah bicara banyak, tahu-tahu sang magrib telah tiba, maka Thio Hong Hoe titahkan orangnya menyiapkan barang santapan untuk menjamu tetamunya. "Di manakah In Siangkong ambil kamar?" tanya tuan rumah. "Jikalau kau tidak cela rumahku yang kecil dan buruk ini, aku minta sukalah kau pindah saja pada aku di sini." In Loei menampik dengan segera. Ia mengerti bahwa ia adalah satu gadis dan ia tidak merdeka untuk menumpang di rumah komandan ini. Untuk itu ia menghaturkan terima kasih. "Kenapa ia pemaluan sekali, tingka polanya mirip dengan satu nona remaja?" Hong Hoe berpikir. "Dia beda jauh sekali daripada Thio Tan Hong." Di waktu bersantap, In Loei tanyakan alamatnya Ie Kiam si menteri besar. "Apakah kau berniat menemui Ie Thaydjin?" Hong Hoe tegaskan. "Dalam beberapa hari ini ia ada sangat repot dengan urusan pemerintahan, umpama kata dia sendiri sudi menemui kau, pengawal pintunya pasti akan tak mengijinkannya." Walaupun ia menjawab demikian, Hong Hoe beritahukan juga alamat menteri yang setia itu. Habis bersantap malam, In Loei pamitan tanpa tuan rumah mampu mencegah dia, maka itu Hong Hoe antar tetamunya sampai di luar. Waktu hendak berpisah, sambil tertawa komandan Kimie wie ini berkata: "Kalau nanti sahabatmu juga datang ke kota raja" — ia maksudkan Thio Tan Hong — "dan bila saudara Tjian Lie, telah lulus sebagai Boe tjonggoan, pasti aku akan jadi Lou Tiong Lian si juru perantara, untuk menjamu saudara Tjian Lie itu pada waktu mana kau harus menjadi tetamu yang mengawaninya....." In Loei tertawa menyeringai, ia lihat sendirinya. "Kau baik sekali, Thio Thaydjin," katanya. "Lebih dahulu aku haturkan terima kasih untuk perjamuan itu." Lalu pemudi ini pamitan, akan pulang ke hotelnya. Malam itu In Loei tidur gelisah, tak dapat ia lantas pulas. Sebentar ia ingat akan kakaknya, di lain detik ia ingat Thio Tan Hong. Ia menyesal, begitu jauh ia telah susul kakaknya itu, yang satu-satunya, siapa tahu, sesampainya di kota raja ini, masih ia tak dapat segera menemuinya. Siapa nyana kakak itu telah berada di dalam istana. Memang dapat ia menunggu kakaknya itu, sampai selesai ujian militer, di waktu mana mungkin si kakak akan ke luar sebagai pemenang, akan tetapi, sampai kapankah ia mesti menanti? Pastikah si kakak bakal menang? Siapa tahu, sesudah itu, tidak bakal menyusul lain urusan, yang dapat menghalangi pertemuan mereka? Maka pada akhirnya, ia menghela napas seorang diri. "Dasar nasibku buruk....." katanya dalam hatinya: "Sampai saudara sendiri, sulit aku menemuinya....." Ingat saudara sendiri, In Loei kembali teringat pada Tan Hong. Ada sesuatu yang membikin ia selalu ingat pemuda itu. Teringat pula ia akan kata-katanya Thio Hong Hoe tentang si anak muda. Dengan sendirinya, ia tertawa meringis. "Mana kau ketahui keluargaku dengan keluarganya bermusuhan hebat, laksana dalamnya lautan..." katanya di dalam hati. "Kau berniat memberi nasehat kepada kakakku supaya dia akur dengan Tan Hong, pastilah percobaanmu itu, akan sia-sia belaka akhirnya.....” Ingat Tan Hong, segera In Loei ingat Ie Kiam. Ia lantas rabah sakunya. Ia keluarkan surat Tan Hong yang dititipkan padanya, untuk disampaikan kepada Ie Kiam, menteri setia itu. Ia baca alamat surat itu. Itulah tulisan tangan yang bagus, bagaikan "naga terbang atau burung hong menari." Itulah tulisan si mahasiswa berkuda putih..... Mengawasi tulisan itu, ia bagaikan melihat wajahnya si penulis surat sendiri. "Inilah untuk pertama Thio Tan Hong memasuki Tionggoan, cara bagaimana ia kenal Ie Kiam?" ia tanya dirinya sendiri. "Kenapa ia menulis surat kepada Ie Kiam untuk memperkenalkan aku?" In Loei berpikir Tan Hong itu agak jumawa tetapi orangnya sangat berhati-hati, hingga sebegitu jauh ia tahu, belum pernah Tan Hong melakukan kekeliruan, dan diapun belum pernah mendusta. "Dia menulis surat kepada Ie Kiam, mesti ada sebab yang kuat alasannya," ia pikir lebih jauh. "Tidak ada jalan untukku akan menghadap Ie Kiam, baiklah aku pakai surat Tan Hong ini selaku pembuka jalan. Aku akan mencoba-coba saja! Ah, bagaimana jikalau pengawal pintu tak sudi mengijinkan aku menghadap Ie Kokioo? Apa aku mesti bertindak seperti di rumah keluarga Thio, untuk menyerbu saja? Ie Kiam adalah menteri kelas satu, dialah menteri tertua dan agung, yang dihormati di luar dan di dalam negara, bagaimana dapat aku berlaku lancang? Aku mempunyai kepandaian enteng tubuh, ah, baiklah aku datang saja pada waktu malam, aku datang secara diam-diam....." Setelah malamnya ia mengambil keputusan, besok paginya In Loei sadar dengan segar, akan tetapi hari itu ia keram diri di dalam kamar, untuk pelihara diri, guna sebentar malam bekerja. Begitulah, kira-kira jam tiga, ia sudah lantas salin pakaian, dengan yaheng ie, pakaian untuk keluar malam. Secara hati-hati ia keluar dari hotelnya, lalu langsung mencari gedung Ie Kokioo. Oleh karena Ie Kiam ada satu menteri, di mata In Loei, gedungnya mesti merupakan sebuah istana, besar dan tinggi lotengnya, indah dan agung pemandangannya, akan tetapi setelah ia dapat mencarinya, ia tercengang. Ia dapatkan bukan istana yang bagaikan ia impikan, hanya sebuah rumah besar yang biasa saja, yang di belakangnya terdapat taman kecil. Itulah rumah mirip dengan satu keluarga yang cukup saja..... "Sungguh satu menteri setia," akhirnya si nona menghela napas. "Dengan melihat tempat kediamannya ini dapatlah diduga dia orang macam apa.....” Dengan pesat In Loei lompat naik ke atas genteng, mulai dari payon, ia naik ke atas. Benar-benar ia tampak sebuah rumah yang biasa saja. Ia dapatkan sebuah kamar dengan taman, tiga penjuru jendelanya ditutupi gorden yang berkembang, kembangnya kecil dan besar, tak rata. Setiap jendela ada kacanya. Manis hiasan jendela itu, dari mana muncul sinar api yang terang, hingga di atas meja kelihatan pohon bunga bwee, yang berbayang di jendela. "Melihat cara menghiasnya, rumah ini tidak mirip dengan rumah seorang hartawan," In Loei berpikir terlebih jauh. "Kamar ini pasti kamar tulisnya Ie Kokioo. Karena api belum padam, mungkin Kokioo belum tidur.....” Dengan tindakan perlahan sekali, In Loei menuju ke kamar itu. Begitu ia datang dekat, segera ia dengar suara orang bicara. Ia lantas pasang kuping. Ia dapat mendengar dengan nyata, hatinya lantas saja goncang. Ia kenali, itulah suaranya Thio Tan Hong. "Bukankah aku tengah bermimpi?" ia tanya dirinya sendiri. Hatinya menjadi bimbang. "Kenapa dia berada di sini? Kenapa dia datang secara begini tiba-tiba?" Baharu malam kemarin In Loei mimpikan si anak muda atau sekarang ia dengar suaranya. Ia memikir untuk tidak menemui pemuda itu..... Ia bersangsi. Apakah benar ia tak hendak menemuinya? Tapi ia berdahaga sekali untuk menemui si mahasiswa. Ah!..... "Biarlah aku intip dia.....” Dan In Loei bertindak lebih jauh, dengan tindakan sangat enteng ia mendekati kamar tulisnya Ie Kokioo, untuk memasang mata. Dari kain gorden, ia segera dapat melihat sepasang bayangan manusia. Benar saja, satu di antaranya, adalah bayangannya Thio Tan Hong! -ooo0dw00ooo- Bab XV Untuk sekian lama, In Loei berdiri tegak, tak bergeming. Ia bagaikan terpaku. Syukur untuknya, berselang sesaat, ia sadar kembali. Segera ia menghela napas, untuk melegakan hati. Ia hirup hawa yang berbau harumnya bunga di dalam taman itu. Habis itu, dengan bersemangat, ia mendekam di jendela, untuk memasang kuping. "Walaupun Toto Puhwa adalah raja Watzu, kekuasaan pemerintah berada ditangan Yasian," demikian terdengar suaranya Tan Hong. "Di samping Yasian ini, pangeran Atzu juga mempunyai sebagian kekuasaan atas tentara. Maka itu kenyataannya, Watzu adalah negara yang diperintah tiga orang. Ong Tjin menyarankan untuk menahan Pangeran Atzu, turut penglihatanku, inilah ada atas usulnya Yasian." "Habis, bagaimana sekarang?" terdengar Ie Kiam menanya. "Meminjam golok untuk membunuh orang, itulah suatu siasat untuk menyingkirkan lawan yang tanggu," Tan Hong berkata pula. "Aku kenal baik, Yasian itu ada orang macam apa. Dia bercita-cita sangat besar. Dia pandang dirinya sebagai pengganti dari Djenghiz Khan. Maka itu, lambat laun, dia pasti akan merampas tachta kerajaan. Dia dapat membedakan antara Toto Puhwa dan Atzu, di antara raja Watzu dan pangerannya itu. Teranglah dia percaya, kalau dia sudah dapat menyingkirkan Atzu, dengan gampang nanti dia dapat me- rampas tachta kerajaan." "Mendengar kau, terbukalah hatiku yang cupat," kata Ie Kiam sambil menghela napas. "Harus disayangi bahwa pihak kita sama sekali tak mengetahui keadaan dalam dari musuh sebagaimana yang kau mengetahuinya.....” "Walaupun demikian, apabila benar terjadi perang saudara di dalam negara Watzu, itu pun berarti rejekinya kerajaan Beng," kata Tan Hong. Tiba-tiba anak muda ini tertawa menyeringai, matanya dialihkan ke arah jendela. In Loei terkejut, dengan cepat ia umpetkan diri di antara pohon bunga. Ia berpikir keras, saking tak mengertinya. "Thio Tan Hong anggap kaisar Beng sebagai musuh turunan, kenapa sekarang dia agaknya tengah bekerja untuk kerajaan Beng itu?" ia berpikir, heran. Tidak sempat si nona berpikir lama, atau ia sudah dengar pula suaranya pemuda she Thio itu, mengingat siapa senantiasa hatinya goncang. "Ingin aku menjelaskan tentang Tantai Mie Ming." demikian si mahasiswa berkuda putih. "Dia sebenarnya ada orang bangsa Han kelahiran negara Watzu. Dan dia bersahabat sangat erat dengan tiwan Atzu. Baharu kemarin aku bertemu dengan Tantai Mie Ming dan pasang omong dengannya, aku telah minta dia suka beri nasihat dan anjurkan ayahku agar ayah membantu memperbesar gelombang, untuk menyulut api dari sebelah dalam, supaya dengan begitu bisalah terjadi perang saudara di dalam negeri Watzu." "Maukah ayahmu berbuat demikian?" Ie Kiam tanya. "Untuk tidak mendusta." kata Tan Hong, "ayahku itu mempunyai cita-cita untuk merampas kerajaan Beng, akan tetapi di samping itu, ia tak lupa bahwa ia sendiri adalah putera Han, maka itu, di dalam hal ini, sulit bagiku untuk mengatakan dari sekarang bagaimana perkara ini nanti akan berakhir. Gagalkah atau berhasil?.....” "Jikalau begitu, sieheng," tiba-tiba Ie Kiam berkata kepada Tan Hong. "kenapa tidak kau sendiri saja yang menganjurkan ayahmu itu?" "Sekarang ini belum dapat aku lekas-lekas pulang ke Watzu," Tan Hong akui terus terang. "Kedatanganku ke Tionggoan ini adalah untuk satu tugas yang sangat penting. Hendak aku mencari satu benda berharga yang mengenai nasibnya negara." Ie Kiam sibuk juga. "Kekacauan di dalam negeri Watzu itu jadi boleh diharap dan boleh tidak," ia kata, "sebaliknya tindakan Watzu untuk menerjang Tionggoan ada seumpama, alis akan segera terbakar..... Bagaimana sekarang?" "Sebenarnya tak usah kita berkuatir," Tan Hong jawab. "Tionggoan besarnya berlipat puluh kali dibanding dengan negeri Watzu itu, bila semua rakyat dapat bersatu hati, tak usah kita kuatirkan musuh yang tanggu itu!" "Yang dikuatirkan justeru tak adanya persatuan..." Ie Kiam utarakan. "Piauwkie Tjiangkoen Kwee Teng, Pengpou Tjoesoe Yo Hong, begitu juga Gielim koen Toatongnia Thio Hong Hoe adalah penyinta negara yang dapat diandalkan," kata Tan Hong, "maka berhubung dengan ini, baiklah thaydjin lekas membuat persiapan. Ong Tjin itu besar pengaruhnya, akan tetapi di antara menteri setia dan pengkhianat ada perbedaannya yang nyata, maka bila tiba saatnya negara terancam bahaya kemusnahan, asal thaydjin bergerak secara tepat, mesti thaydjin dapat sambutan hangat dari empat penjuru! Ong Tjin adalah satu hamba kebiri, dia dapat diumpamakan dengan seekor cengcorang yang menerjang kereta, mana dia dapat memusnahkan negara?" Akan tetapi Ie Kiam menghela napas pula. "Sungguh sukar untuk mengatakan, siapa yang akan berhasil dan siapa yang akan runtuh," kata menteri setia ini, "tetapi aku, akan aku habiskan semua tenagaku untuk mencoba melindungi negara!" "Kesesatan tak dapat melawan kebenaran, hal ini harap thaydjin jangan sangsikan!" Tan Hong menganjurkan. "Siesieng, kau dapat melihat segala apa dengan tegas sekali, kau juga berpemandangan luas dan jauh, kau adalah satu orang cerdik pandai luar biasa untuk jaman ini," berkata Ie Kiam, "karenanya, sieheng, kenapa kau tidak sudi bekerja untuk pemerintah?" Thio Tan Hong tertawa. "Seseorang mempunyai pendiriannya sendiri-sendiri!" ia kata. "Lagi pula, untuk satu laki-laki membela negara, apakah dia mesti selalu berdiri dipihak pemerintah?" Ie Kiam diam, dia bungkam. Tan Hong insyaf bahwa ia telah bicara terlalu tandas, maka ia tertawa pula. "Thaydjin adalah tiang negara, tentang thaydjin adalah lain," ia tambahkan. Bukan main tergeraknya hati In Loei mendengar pembicaraan antara Tan Hong dan menteri setia itu, teranglah sudah, mereka itu adalah penyinta-penyinta negara, hanya paham mereka itu yang berlainan. Ia girang dan kagum untuk Tan Hong. Ia kagum karena sepak terjang yang tak dapat diterka-terka dari anak muda itu. Ia girang karena terbukti ia tak keliru mengenali orang — Tan Hong benar-benar satu pemuda gagah dan jujur. Karena ini juga, dalam sekejap itu ia anggap benar-benar "tidak ada faedahnya permusuhan antara kedua keluarga mereka"..... Segera terdengar pula suaranya Tan Hong. "Thaydjin, harap kau maafkan aku, sukalah kau percaya akan janjiku," demikian pengutaraan si anak muda. "Aku telah nelusup masuk ke kota raja ini, aku pun telah lancang menemui thaydjin, tindakanku ini penuh dengan ancaman bahaya, akan tetapi, lega hatiku, karena thaydjin telah mempercayai aku. Thaydjin, apabila di belakang hari kau membutuhkan aku, walaupun tubuhku mesti hancur lebur, masih itu tak cukup untuk aku membalas budi kebaikanmu ini." "Jangan kau mengucap demikian, sieheng," kata Ie Kiam "Untukku adalah sama, kau membalas untuk negara, sama dengan kau membalas untukku!" "Satu laki-laki mesti membalas budi negara, tentang itu tak usah orang sampai dipesan lagi," Tan Hong kata. "Sekarang sudah jauh malam, thaydjin harus beristirahat, maka itu harap thaydjin mengijinkan boanseng mengundurkan diri....." Ie Kiam berdiam, ia bagaikan berbicara seorang diri. "Bila kau akan datang pula padaku?" tanyanya kemudian. "Kalau telah datang saatnya untuk bertemu pula, akan aku datang sendiri," jawab Tan Hong. "Pribahasa kuno mengatakan, "Kepala putih bagaikan baru, membuka tenda bagaikan biasa," pribahasa itu cocok dengan kita," kata Ie Kiam. "Dalam usiaku yang lanjut ini, aku masih dapatkan satu sahabat sebagai kau, sieheng, sungguh aku puas sekali. Sieheng pandai main tabuhan, main catur, melukis gambar juga, kebetulan baru-baru ini aku telah mendapatkan gambar lukisannya Tio Yoe, 'Liang Hoe Gim Touw,1 aku harap sieheng sudi menuliskan sebaris syair untuk gambar itu, untuk dijadikan peringatan di kemudian hari. Sudikah kau menulisnya, sieheng?" Dengan pribahasanya itu, "Kepala putih bagaikan baru, membuka tenda bagaikan biasa," Ie Kiam maksudkan: Ada beberapa orang yang telah bersahabat satu dengan lain, sampai rambut mereka telah ubanan, persahabatan itu masih sama seperti sahabat-sahabat baru, masing-masing tetap tak mengerti satu pada lain. Atau, ada beberapa orang yang telah bertemu di tengah jalan, mereka hentikan kereta mereka, mereka membuka tenda kereta mereka, untuk pasang omong, asyik pembicaraan mereka, hingga mereka jadi mirip dengan sahabat-sahabat lama. Dengan itu diartikan, persahabatan itu, kekal atau tidak, tidak disebabkan melulu dari waktunya bersahabat sudah lama atau masih baharu, hanya dari mereka saling mengerti atau tidak. Atas permintaan menteri itu, Tan Hong jawab: "yang terlebih tua telah memintanya, mana berani aku menampik? Baiklah, akan aku menuliskannya dengan syair The Soe Siauw," In Loei di luar jendela dengar semua pembicaraan itu, lalu ia dengar juga suara goresan, dari jalannya pit di atas kertas, cepat dan tetap, maka tahulah ia, Tan Hong tengah menulis syairnya itu di atas gambar lukisan "Liang Hoe Gim Touw" — "Liang Hoe tengah bersenanjung." Lalu habis itu, terdengarlah Ie Kiam membacakan syair itu, membacanya sambil bersenanjung. "Sungguh indah! kata si menteri kemudian. "Entah bagaimana sieheng telah terpengaruh syair ini.....” Tiba-tiba saja Thio Tan Hong tertawa bergelak, menyusul mana, ia pun bersenanjung: "Di dalam dadaku ada sumpah laksana dalamnya lautan, yang dapat membuat negara bagaikan karam terendam..... Boanseng tidak minum arak tetapi boanseng bagaikan telah mabuk, maka haraplah, thaydjin sudi memaafkan kelakuanku ini yang lancang! Di belakang hari masih ada waktu untuk kita bertemu muka pula, dari itu tidak usahlah thaydjin mengantar aku!" Kata-kata itu disusul oleh Ie Kiam, yang membukakan pintu, atas mana lalu terdengar tindakan kaki Tan Hong, yang pergi berlalu. Sejenak itu, kusut pikirannya In Loei. Ia bimbang, baik ketemui Tan Hong atau jangan. Tak dapat ia ambil putusan dalam sekejap. Sementara itu, Tan Hong sendiri sudah keluar dari kamar tulis, dia tengah memohon Ie Kiam tidak mengantar dia keluar. Di saat tegang itu, mendadak In Loei ingat kata-katanya Tan Hong: "Kalau mesti tertawa, tertawalah! Kalau mesti menangis, menangislah! Kenapa segala apa mesti dipaksakan?....." Karena ini, ia pikir: "Kalau begitu aku pun mesti, kalau mesti bertemu, mesti aku menemuinya, kenapa aku mesti kuatirkan ocehan orang luar?" In Loei segera merasa darahnya berjalan cepat sekali, hatinya menjadi goncang, tapi ia sudah lantas ambil putusannya. Hanya, pada saat ia hendak lompat, untuk menyusul, sekonyong-konyong ia merasa ada angin halus yang menyambar pada bebokongnya, lalu ia merasa ada benturan perlahan pada pinggangnya. Ia kaget, segera ia rabah pinggangnya. Akhirnya ia menjadi kaget sekali. Pedang Tjengbeng kiam, pemberian gurunya, telah dicabut orang, hingga di pinggangnya tinggal sarungnya saja, yang kosong! Walaupun ia sangat kaget, tidak berani ia menjerit, tapi ia teruskan berlompat, kedua tangannya dibuka ke kiri dan kanan. Itulah sampokan untuk menyusul tangan yang membuatnya pedang itu terbang. Tiba-tiba saja, ia rasakan sebelah lengannya lemas bergemetar, lalu ia tampak, di depan matanya, satu tubuh berkelebat bagaikan bayangan. Kecewa dia, yang pandai ilmu silat, telah ditotok orang tanpa dapat bersiap. Dalam keadaan lemah itu, ia merasa orang telah menyambar tubuhnya, dikempit, terus dibawa pergi cepat sekali bagaikan terbang, sampai tak dapat ia berteriak. Tapi selagi dibawa kabur itu, di kupingnya, ia dengar suara Thio Tan Hong: "Turunkan dia! Turunkan dia! — Eh, adik kecil, adik kecil! Benarkah kau?" In Loei merasa bahwa Tan Hong, yang berkata-kata itu, tengah menyusul ia. Larinya cepat luar biasa orang yang mengempit itu, In Loei merasa seperti dibawa terbang di tengah udara. Ilmu enteng tubuh Thio Tan Hong sudah liehay sekali, dalam dunia kangouw jarang ada tandingannya, tetapi kali ini, orang itu seperti melebihinya sebab di lain saat, dia telah membuatnya si mahasiswa berkuda putih jauh tertinggal, di sebelah belakang..... In Loei kaget dan gusar, ia mendongkol tanpa ada gunanya. Sama sekali ia tidak mampu berontak, untuk membebaskan diri dari kempitan. Adalah tidak lama kemudian, si nona merasa ada orang menepuk bebokongnya, menyusul mana dengan perlahan ia dilepaskan, diturunkan ke tanah. Itu waktu, orang telah berhenti berlari-lari yang pesatnya bagaikan terbang. Ia pun segera merasa, darahnya telah mengalir seperti biasa. Sebenarnya, ketika ia menoleh, akan pandang orang yang membawa ia kabur, ia kenali dia adalah si orang tua yang lihay ilmu Taylek Kimkong Tjioe-nya dengan apa dia dapat melukai Tantai Mie Ming! Sedetik saja, kata-kata ketus yang sudah siap untuk dikeluarkan, ia batalkan mengucapkannya, ia tarik kembali ke dalam perutnya..... Si orang tua buat main pedang Tjengbeng kiam-nya, dibulak-balik di tangannya, lalu dengan sepasang matanya yang bersinar tajam, ia tatap si nona. Dengan tiba-tiba dia menanya: "Bukankah gurumu Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng dari Siauwhan San di Soetjoan Utara?" Tanpa bersangsi, In Loei menjawab: "Ya." Orang tua itu lantas menghela napas. "Sudah belasan tahun aku tak pernah bertemu pula dengan dia," ia kata suaranya tak sekeras tadi, "walaupun demikian, dengan melihat pedangnya, aku bagaikan melihat dia sendiri. Dia telah serahkan Tjengbeng kiam kepadamu, rupa-rupanya dia sudah berhasil mewujudkan dua tugas yang menjadi pesan kakek gurunya" Cepat-cepat In Loei manggut kepada orang tua itu. Ia tahu tentang gurunya. Itulah kejadian pada dua belas tahun yang lampau. Ketika itu Hoeithian Lionglie, si Puteri Naga Terbang, yaitu Yap Eng Eng, telah melanggar pesan gurunya, ialah Hian Kee It Soe. Kesalahan itu ialah: dia bersama Tjia Thian Hoa, secara diam-diam telah saling menukar pelajaran ilmu silat pedang. Karena kesalahan itu, Yap Eng Eng dihukum duduk bersemedhi menghadapi tembok di gunung Siauwhan San selama lima belas tahun, dan selama lima belas tahun itu, dia dimestikan menjelesaikan dua rupa urusan, dua tugas. Yang kesatu dia mesti melatih sempurna dua rupa ilmu silat yang paling sulit untuk dipelajarinya, dan yang kedua, dia mesti berhasil mendidik satu murid yang pandai "Pekpian Hian Kee Kiamhoat" yaitu ilmu silat pedang yang mempunyai seratus jurus perubahannya. "Loodjinkee, bukankah kau Kimkong Tjioe Tang Toasoepee?" dia lantas tanya. Ia percaya betul, tidak ada lain orang lagi yang mengetahui hal ikhwal gurunya itu. Orang tua itu, yang benar ada Kimkong Tjioe Tang Gak, tertawa bergelak. "Hai, bocah, kau cerdik sekali!" katanya. "Kemarin malam di rumah Thio Hong Hoe kau menggondol pedang ini dibebokongmu, aku sudah lantas perhatikan padamu, cuma disebabkan kau menyamar sebagai satu pemuda, aku tidak berani berlaku lancang. Nyatalah kau benar ada keponakan muridku! Tahukah kau kenapa aku melarang kau turun tangan?" Heran In Loei "Apa?" dia tanya. Di dalam hatinya sendiri, dia kata: "Aku toh tidak memikir untuk turun tangan terhadap siapa juga.....?" "Bukankah tadi kau berniat munculkan diri untuk membunuh Thio Tan Hong?" Tang Gak tegaskan. "Jikalau kau bunuh dia kau lakukan satu kekeliruan." In Loei meringis. Nyata sudah paman guru itu telah keliru. Tapi ia cerdik. Ingin ia ketahui, apa yang menyebabkan kekeliruan paman guru itu. "Kenapa keliru?" demikian ia tanya. "Thio Tan Hong itu," sahut Tang Gak, menerangkan, "sekalipun benar dia ada puteranya Thio Tjong Tjioe, akan tetapi mendengar kata-katanya dan melihat sepak terjangnya, dia adalah satu penyinta negara. Kemarin ini setelah aku tempur Tantai Mie Ming, malamnya aku datangi tempat kediamannya si pangeran Mongolia, untuk mendengar kabar. Di sana dapat aku dengar pembicaraan antara Thio Tan Hong dengan Tantai Mie Ming itu. Mereka tengah merundingkan suatu urusan rahasia yang maha penting. Tentang itu, tak usah kau mengetahuinya jelas, tetapi itu ada sangat besar faedahnya untuk Tionggoan. Oleh karena itu, meski aku berniat memberi juga satu gaplokan lagi kepada Tantai Mie Ming, kesudahannya aku beri ampun juga padanya." Mendengar ini, In Loei tertawa di dalam hatinya. "Halmu ini telah aku ketahui.....” demikian pikirnya. Tang Gak tidak ketahui apa yang si nona pikir, ia bicara lebih jauh. "Coba kau pikir, jikalau sampai terjadi kau binasakan Thio Tan Hong, tidakkah karenanya kau jadi melakukan satu kekeliruan besar?" katanya. "Lagi pula, dalam hal ilmu silat, kau bukan tandingannya Tan Hong..... Ah, apakah kau belum pernah menyaksikan kepandaiannya yang asli?" "Baharu sebagian saja," In Loei jawab paman guru itu. Orang tua itu kerutkan alisnya. "Nah, itulah tak tepat," katanya. "Satu anggota dari Rimba Persilatan tidak seharusnya menuruti saja ambekannya tanpa mengukur tenaga sendiri. Eh, ya, apakah namamu?" "Aku bernama In Loei," si nona jawab. "Ah!" seru si orang tua, agaknya ia terkejut sekali. "Inilah yang pribahasa bilang, orang mencari sesuatu dengan memakai sepatu besi, sampai sepatu itu rusak, yang dicarinya tetap tak dapat diketemukan, sebaliknya, bila ada jodohnya, yang dicari itu dapat diketemukan dalam tempo sedetik, tanpa susah payah. Kiranya kau adalah adiknya In Tiong! Sungguh beruntung! Sekarang aku tak merasa aneh lagi kenapa kau, sekalipun kau ketahui kau bukan tandingan Tan Hong, tetap kau hendak mencoba membunuh dia!.....” In Loei meringis pula. Tak dapat ia menangis, tak dapat ia tertawa. "Kemarin malam aku dengar Thio Tan Hong bilang, malam ini hendak dia menghadap Ie Kiam," Tang Gak bicara pula, "karena itu, aku pun telah datang kemari. Di tengah jalan tadi, satu urusan telah memhuatnya aku datang terlambat, maka itu, ketika aku tiba, Tan Hong sudah pergi, hingga tak tahu aku apa yang telah mereka bicarakan. Apakah kau dengar pembicaraan mereka itu?" "Aku tak dapat mendengar nyata," sahut In Loei, yang tidak gembira untuk omong banyak. "Aku cuma dengar mereka menyebut-nyebut Watzu dan Tionggoan, mereka hendak menerbitkan perang saudara di Watzu. Ya, tak ingat aku semua apa yang mereka itu katakan." "Itulah soalnya!" kata Tang Gak. "Aku dengar In Tiong juga berada di sini. Pernahkah kamu bertemu satu dengan lain?" In Loei menjawab dengan suara dalam, tanda ia berduka. "Kakakku itu telah diangkat menjadi pahlawan dalam keraton," ia beri tahu. Mendengar itu, Kimkong Tjioe menghela napas. "Bagus cita-cita bocah itu," ia kata, "hanya kali ini, tak tepat tindakannya. Dia berpendapat, untuk dapat membalas sakit hati kakeknya, guna menyuci malu negara, mesti dia menghamba dahulu kepada pemerintah, untuk mendapat pangkat dan pengaruh besar." "Toasoepee benar," kata In Loei, "Di mana ada dorna yang berkuasa dalam pemerintahan, sekalipun Lie Kong yang gagah tak ada jasanya!" Itulah kata-katanya Tang Gak dalam suratnya kepada Kimtoo Tjioe Kian. Heran Tang Gak hingga ia mengawasi si nona. "Eh, apakah kau pun melihat surat itu?" dia tanya. "Sayang si Tiong tak menginsyafi dalil itu. Aku kuatir, karena sikapnya si Tiong itu, akan sukar untuk kita menemui dia.....” "Mungkin, lagi setengah bulan akan ada ketika-nya," In Loei beritahu. Ia utarakan dugaannya Thio Hong Hoe mengenai In Tiong. "Sekarang begini saja," kata Tang Gak kemudian. "Aku pulang secara mendadak, untuk satu urusan sangat penting. Perlu aku segera menemui kakek gurumu. Ini pun sebabnya, sampai aku tak sempat mengunjungi pula Kimtoo Tjioe Kian yang namanya telah lama aku kenangkan. Bahwa aku telah mampir di kota raja ini, itulah untuk sekalian menengok si Tiong. Tidak dapat aku berdiam lama di sini, maka itu, kalau kau bertemu dengan kakakmu, kau sampaikan pesanku ini." In Loei menyanggupi, ia manggut. "Kamu berniat mencari balas untuk keluargamu terhadap keluarga Thio," berkata pula Tang Gak. "Mengenai ini, jikalau kita pakai aturan kaum Rimba Persilatan, tidak dapat aku mencampurinya. Tapi satu hal hendak aku terangkan: Thio Tan Hong itu adalah orang kaum kita dan dia tidak ada hubungannya dengan perbuatan leluhurnya, yang bermusuhan dengan keluargamu, maka itu aku harap, kalau bisa, bereskanlah permusuhan itu. Kakakmu menjadi putera sulung, dalam hal menuntut balas, kau mesti turut pendapat dia. Kau sampaikan kata-kataku ini kepadanya, untuk dia pikirkan dan fahamkan." Turut kebiasaan Rimba Persilatan, mengenai permusuhan ayah, ibu dan leluhur, meskipun satu guru, dia cuma dapat menganjurkan perdamaian, tak bisa dia memerintah atau melarang pembalasannya. Demikian, Tang Gak berikan pesannya itu. "Tentang Thio Tjong Tjioe itu, dia ada seorang baik atau seorang busuk, aku masih belum tahu suatu apa," Tang Gak lanjutkan. "Shatee Thian Hoa terkurung di dalam keraton bangsa Ouw, tentang dia, tentang kejadian yang sebenarnya, aku pun tak mengetahuinya. Karena itu, hendak aku menemui kakek gurumu, ingin aku minta supaya kakek gurumu itu mengijinkan gurumu turun gunung.....” "Mungkin sekarang ini djiesoepee sudah sampai di Siauwhan San," In Loei utarakan dugaannya. Ia beritahukan warta perihal Tiauw Im Hweeshio, djiesoepee-nya itu, paman guru yang kedua. "Bagus, bagus!" tertawa Tang Gak. "Rupa-rupanya kita ke empat saudara seperguruan akan melakukan suatu apa yang menggemparkan di tapal batas bangsa Ouw, malah mungkin kakek gurumu juga akan turut terlibat, hingga dia turut turun gunung!.....” Hian Kee Itsoe telah sekap diri selama tiga puluh tahun lebih, In Loei belum pernah bertemu dengan kakek gurunya itu, maka itu, di dalam hatinya, ia kata: "Untuk melibat kakek gurumu turun gunung, itulah pekerjaan sangat sulit.....” Tentu saja, mengenai orang-orang pihak tertua, In Loei tidak berani campur tahu, karenanya, ia tidak menanyakan terlebih jauh. Tang Gak pun berdiam, ia cuma memandang langit. "Jam sudah hampir pukul empat," ia kata, "karena sebentar pagi aku mesti lantas meninggalkan kota raja ini, tak dapat aku antar kau pulang. Di mana kau tinggal?" "Aku tinggal di rumah penginapan," sahut In Loei. "Toasoepee, silakan berangkat! Aku pun tak dapat mengantar kau." Waktu itu mereka berdua berada di luar kota, di tempat di mana mereka berdiri, terdapat sebuah empang kecil, maka itu, selagi rembulan bersinar terang, tegas sekali bayangan mereka berpeta di muka air itu. Ketika Tang Gak berpaling ke muka air, tiba-tiba ia menghela napas. "Buat belasan tahun aku lewatkan waktuku di tanah yang ber-es dan bersalju, tanpa merasa, rambut kepalaku pun telah berubah menjadi putih," dia kata, menyesal. "Sungguh, sang waktu lewat pesat sekali! Ketika dulu aku berpisah dari gurumu, gurumu itu mirip dengan kau sekarang ini.....” Diam-diam tergerak hatinya In Loei. Ia ingat lelakon asmara antara gurunya itu dengan samsoepee-nya, paman guru yang ketiga. Mengenai kata-katanya toasoepee ini, ia separuh mengerti dan separuh tidak, ia diam saja, tunduk. Maka itu, ketika kemudian ia angkat kepalanya, ia dapatkan paman guru itu sudah tidak ada dihadapannya..... Sampai di situ, In Loei segera putar tubuhnya. Ia tidak balik ke hotelnya, ia hanya menuju kembali ke rumah Ie Kiam. Tepat ketika ia sampai, ia dengar suara kentongan empat kali. Pada waktu itu, ia dapat lihat kamar si menteri masih terang benderang seperti tadi. Heran ia. "Ah, apakah dia masih belum tidur?" dia tanya dirinya sendiri. Dengan perlahan, ia menghampiri pintu. Tanpa sangsi-sangsi, ia mengetok dengan perlahan, beberapa kali. Ie Kiam belum tidur, lantas ia membukakan pintu. "Nona In, silakan masuk!" menteri itu mengundang, sambil tertawa manis, "sudah lama aku tunggui kau!" In Loei tercengang. Ia dandan sebagai satu pemuda, ia anggap tidak ada orang yang ketahui atau kenali padanya, siapa tahu, Ie Kiam sekarang buka rahasianya itu! "Thio Tan Hong telah menuturkan halmu kepadaku," Ie Kokioo kata pula, menambahkan. "Dia juga telah melukiskan potongan tubuhmu dan wajahmu kepadaku. Apakah kau baharu sampai?" Melihat sikap orang demikian ramah tamah, tanpa merasa In Loei jadi sangat terharu, hingga air matanya mengucur. Ia lantas saja berlutut, untuk memberi hormat. Ie Kiam membungkuk, untuk memimpin bangun nona itu. "Ketika dahulu aku diangkat menjadi Hanlim, adalah kakekmu yang menjadi ketua ujian," Ie Kiam kata pula. "Maka itu, andaikata aku tidak dipandang lancang, ingin aku panggil kau titlie saja." Titlie ialah keponakan perempuan. Mendengar disebutnya engkong-nya, In Loei menjadi terlebih berduka. "Bagaimana meninggalnya kakekku itu?" dia tanya sambil menangis tersedu-sedu. "Benarkah dia diberikan kematian oleh raja? Peehoe, tahukah kau keadaan yang sebenarnya?" In Loei sudah lantas memanggil peehoe, paman, kepada menteri itu. "Kau duduk dulu," berkata Ie Kiam serta menuangkan orang secangkir teh, yang masih panas. "Kau seka air matamu, nanti aku jelaskan padamu." In Loei mengucap terima kasih, ia seka air matanya. Ie Kiam mengawasi, ia menghela napas pula. "Ketika hari itu kakekmu menemui kecelakaannya, aku telah menjadi Pengpou Sielong," menteri ini menutur. "Begitu kita dapat kabar buruk dari kota Ganboenkwan, semua menteri, sipil dan militer, menjadi kaget sekali, mereka berduka berbareng gusar. Semua orang anggap kakekmu itu sudah meninggalkan nama baik di negara asing. Selama dua puluh tahun kakekmu mengembala kuda di daerah ber-es dan bersalju, tak sudi ia menyerah di bawah tekanan musuh, sungguh dia mirip dengan Souw Boe yang setia dan keras hati, dialah satu manusia yang langka! Kakekmu menemui ajalnya secara demikian mengenaskan, manusia dan langit bergusar bersama. Demikian satu giesoe yang tak takut mati sudah memajukan surat kepada raja, untuk membalas kakekmu itu, ia minta supaya raja mencuci penasaran itu, agar nama kakekmu diperbaiki, untuk selanjutnya diberi pangkat mulia. "Apa benar In Tjeng telah meninggal dunia?" tanya raja setelah ia baca surat giesoe itu. "Aku masih belum tahu. Baiklah, nanti aku cari keterangan. Suratmu ini akan ditangguhkan dulu." "Lantas raja menitahkan membubarkan persidangan di singgasana. "Menteri besar yang bernama Lauw Tek Sin tidak puas dengan sikap raja. Ia berbangkit, ia susul raja sampai di kamar tulis. "Bukankah Sri Baginda yang membubuhi tanda tangan atas surat titah yang menghadiahkan kematian kepada In Tjeng itu?" dia tanya. "Raja mencoba menyangkal tapi bicaranya tidak jelas. "Mengetahui rajanya disusul Lauw Tek Sin, Soeiee Thaykam Ong Tjin datang menyusul. "Sri Baginda, apakah Baginda telah lupa menulis firman itu?" ia tanya. "Oh, ya, ya," kata raja itu gugup. "Memang benar, akulah yang menulis firman itu. Ya, kenapakah dia diberi hadiah kematian? Baiklah, nanti aku pikir-pikir....." "Ong Tjin, yang mendampingi raja, lantas membantu mengingat. Dia kata, In Tjeng menjadi utusan, dengan tidak tahu malu, dia bekerja kepada musuh. Begitulah maka dia dihadiahkan kematiannya.....” "Benar, benar!" kata raja. "Karena itu dia dihukum mati" "Lauw Tek Sin menjadi sangat murka. "Teranglah kau yang membuat firman palsu, jahanam!" dia damprat orang kebiri itu. "Kau telah memfitnah satu menteri setia dan membinasakannya, kau pakai nama Sri Baginda, dengan begitu kau membuatnya Sri Baginda tak disukai menteri-menterinya!" "Akan tetapi Ong Tjin menjadi gusar sekali. Dia perintahkan menawan Lauw Tek Sin, untuk dijebluskan ke dalam penjara istana, habis mana, dengan mencari akal, menunjuk orang berdosa, dia hendak hukum mati pada menteri itu. Hal ini membangkitkan kegusarannya menteri-menteri sipil dan militer dalam istana, mereka ini memprotes, mereka menuduh Ong Tjin. Karena protes ini, Lauw Tek Sin bebas dari kematian, tetapi dia dipecat, dijadikan rakyat jelata. Sedang giesoe yang setia itu, yang membelai kakekmu, juga dihukum, yaitu dihukum buang ke Haylam. Tidak lama kemudian, giesoe itu terbinasa di bawah tangan jahat dari Ong Tjin. Kemudian lagi, satu demi satu, menteri-menteri yang protes dorna kebiri itu, telah menerima bagiannya, pembalasannya Ong Tjin itu. Aku sendiri tidak terkecuali, aku telah diturunkan pangkat, dipindah ke Kangsee menjadi soenan." Mendengar keterangan itu, bukan kepalang mendongkolnya In Loei. "Sungguh satu dorna kebiri yang sangat menjemukan!" dia berseru. "Jadi dialah yang membinasakan kakekku itu? Kenapa dia membinasakan kakekku?" "Hal itu baharulah kita ketahui kemudian," sahut Ie Kiam. "Sejak siang-siang Ong Tjin itu telah membuat perhubungan rahasia dengan Yasian ayah dan anak, secara diam-diam mereka itu menukar besi kita dengan kuda Mongolia. Perdagangan tukar-menukar secara gelap ini dilakukan secara besar-besaran, dengan begitu Yasian telah mengeruk uang dalam jumlah yang besar sekali. Turut kabar, untuk Mongolia, perdagangan semacam itu dilakukan secara terang-terangan. Kakekmu adalah satu menteri besar, dia ternama baik, sudah begitu, untuk dua puluh tahun dia telah melindungi kesetiaannya, kesetiaan itu tak kalah dengan kesetiaan Souw Boe yang mengembala kambing, umpama kata dia dapat kemerdekaannya, pulang ke negeri, pasti sekali dia akan perbaiki tata tertib di dalam istana, untuk mana tentulah dia akan singkirkan segala dorna. Karena ini semua, pasti Ong Tjin jeri terhadap kakekmu itu, Ong Tjin mestinya telah menerka yang kakekmu telah ketahui rahasianya. Untuk menjaga bahaya di belakang hari, Ong Tjin telah menggunakan firman palsu, untuk mendahului turun tangan terhadap kakekmu itu. Dia berpangkat Soeiee Thaykam, cap kerajaan berada di tangannya, karena semua surat-surat, dari luar dan dari dalam, mesti terlebih dahulu lewat ditangannya, kecuali jikalau yang dihaturkan pribadi oleh suatu menteri. Karena kekuasaannya itu, gampang sekali baginya untuk memalsukan firman." Sampai di situ, In Loei teringat halnya Thio Tjong Tjioe telah memesan Tantai Mie Ming untuk menyampaikan tiga buah kimlong kepada kakeknya. Memang kimlong itu — surat tertutup, yang untuk sementara dirahasiakan dulu — ada luar biasa. Dulu, dimasa ia kecil, In Loei tidak ketahui suatu apa tentang kimlong itu, adalah kemudian, sesudah ia dewasa, ia dengar hal itu dari Tiauw Im Hweeshio, dari Kimtoo Tjioe Kian juga, dan belakangan lagi, dari Thio Tan Hong. Dari ketiga kimlong, yang ketiga memuat sebutir pil lahwan, dan di dalam lahwan ini — lilin bundar — terdapat lagi sehelai surat. Itulah suratnya Ong Tjin yang di alamatkan kepada To Huan (ayahnya Yasian) serta Thio Tjong Tjioe, maksud yang tak adalah surat urusan pertukaran besi Tionggoan dengan kuda Mongolia. Surat rahasia itulah yang menyebabkan In Tjeng ditawan. Sebenarnya Tjia Thian Hoa telah dititahkan pergi ke kota raja, untuk menyerahkan lahwan kepada Ie Kiam, supaya Ong Tjin didakwa. Sayang telah terjadi kegagalan. In Tjeng bukan melainkan kena ditawan, dia malah segera dibinasakan. Meski begitu, terang sudah, itulah maksud baik dari Thio Tjong Tjioe berdua. Surat itu kesampaian. Ingat kebinasaan kakeknya "Apabila lahwan dapat diserahkan kepada Ie Kiam, pasti sudah Ong Tjin dan kawan-kawannya serta pengaruhnya tak jadi sehebat sekarang ini. Dengan bukti itu belum tentu Ong Tjin tak dapat dirubuhkan....." Setelah menutur, Ie Kiam menghela napas. "Memang sakit hati In Thaydjin belum dapat dicuci bersih," kata dia, "akan tetapi ia mempunyai satu cucu perempuan sebagai kau, di alam baka, dia tentunya dapat meramkan mata." Ingat itu, In Loei berpikir itu, hati In Loei panas dengan tiba-tiba. Tiba-tiba saja ia tepuk kedua tangannya satu dengan lain, seraya berseru: "Jikalau aku tidak berhasil mencingcang hancur tubuh dorna kebiri itu, aku bersumpah tak sudi menjadi manusia!" Tapi Ie Kiam menggeleng-gelengkan kepala. "Nona In, sekarang ini, aku tidak setuju kau pergi menuntut balas!" dia kata. In Loei heran. Ia memang sedang murka. "Loopee, apakah artinya perkataanmu ini?" ia tanya. "Sekarang Ong Tjin sedang besar pengaruhnya dan orang-orangnya pun banyak sekali," menteri itu berikan keterangan, "di samping itu, di dalam angkatan perang, banyak panglima yang menjadi anak pungutnya. Maka sekarang lebih baik kita pusatkan seluruh tenaga kita untuk menghadapi penyerbuan bangsa Watzu. Jikalau kita turuti hati saja, bisa-bisa kita mencelakai diri sendiri, bisa kita merusak urusan besar. Tidakkah pepatah mengatakan, 'Kalau seribu orang menuding, tak sakit pun orang dapat mati?' Jikalau orang telah penuh dengan kedosaan dan kejahatan, mana dapat dia hidup senang untuk selama-lamanya? Pendeknya kalau nanti telah tiba saatnya dari terbukanya kebusukan itu, taruh kata kau tidak pergi membalasnya sendiri, mungkin ada lain orang yang akan menyingkirkan dia! Kau pandai silat dan gagah, tapi kau harus ingat, tangan sebelah tak dapat perdengarkan suara. Maka sedikitnya kau mesti tunggu sampai kau bertemu dengan kakakmu, baharu dapat kau berichtiar." In Loei berdiam. Ia anggap pikiran menteri itu benar sekali. Tapi ia jadi sangat bersedih, hingga air matanya membasahi ujung bajunya. Dengan perlahan-lahan, Ie Kiam berbangkit, akan bertindak ke jendela, yang daunnya ia tolak. "Ah, sudah hampir terang tanah!" katanya. "Keponakan Loei, kau tinggal di mana?" Nada suara itu seperti mengandung maksud. "Aku tinggal di rumah penginapan," sahut In Loei. "Di rumah penginapan terdapat orang dari segala macam, kau bersendirian saja, kau pun menyamar, pastilah kau kurang merdeka," berkata menteri itu. "Bukankah ada terlebih baik untuk pindah saja kemari, untuk tinggal bersama aku? Di sini juga kabar-kabar datangnya terlebih cepat." "Jikalau peehoe kehendaki itu, aku menurut saja" sahut si nona. "Baik, akan aku pulang dulu ke pondokku, untuk mengambil barang-barangku." Justeru itu waktu, dari kamar sebelah, terdengar satu suara bocah perempuan yang terang sekali: "Ayah, kembali untuk satu malam kau tidak tidur....." Bangun alisnya Ie Kiam, ia tertawa. "Segera akan aku tidur," ia menyahuti. Ia terus berpaling pada In Loei, untuk meneruskan: "Anakku meminta aku masuk tidur, maka lekaslah kau pergi untuk lekas kembali. Seringkah, karena repot, aku tidak tidur satu malaman, untukku tidak berarti apa-apa, cuma kasihan bagi anak itu, dia jadi kesepian.....” Itulah kecintaan antara ayah dan anaknya, mengetahui itu, In Loei teringat pada kakek dan ayahnya. Ie Kiam ini, dalam hal usianya, tak berbeda daripada kakeknya pada sepuluh tahun yang lampau. Bedanya ialah, kakeknya tidak semanis budi seperti menteri ini. Segera nona ini memberi hormat, untuk berlalu, dan di lain saat, ia telah kembali. Ia pun segera menjadi kawannya si nona tadi, puterinya Ie Kiam. Puterinya Ie Kiam bernama Sin Tjoe,4j usianya baharu sembilan tahun, akan tetapi ia cerdik sekali dan gesit. Ia panggil entjie kepada In Loei, yang sudah lantas dandan sebagai satu nona. In Loei pun senang mendapat kawan yang manis ini. Selama menumpang pada keluarga Ie, In Loei ada kandung suatu maksud. Ialah, ia harap-harap datangnya Tan Hong kembali untuk menemui Ie Kokioo. Akan tetapi, setengah bulan sudah lewat, pemuda itu masih belum kelihatan juga. Sementara itu si pangeran asing beserta Tantai Mie Ming, enam hari sesudahnya In Loei pindah ke rumah Menteri Ie, telah berangkat pulang ke negeri mereka, sebabnya ialah karena pembicaraan mereka gagal. Setelah lewat setengah bulan, tiba-tiba ingatlah In Loei akan omongannya Thio Hong Hoe tentang ujian militer Boe kiedjin istimewa untuk tahun yang sedang berjalan. Hal itu sangat menarik perhatiannya, maka sering sekali ia tanyakan Ie Kokioo, bilamana ujian itu akan diadakan. "Keponakanku yang baik, kau sabarlah," kata Ie Kokioo sambil tertawa ketika ia ditanyakan yang terakhir. "Kalau nanti kakakmu turut ambil bagian, pasti sekali akan aku pertemukan kau dengannya!" "Apakah ujian sudah dimulai?" si nona tanya. "Sekarang baharu permulaan saja. Banyak sekali jumlah mereka yang mengambil bagian. Nanti aku pergi ke Kementerian Perang untuk mencari tahu angka ujiannya kakakmu itu." Lima hari telah lewat sejak pembicaraan itu, atau pada hari ke enam, pagi-pagi sekali, Ie Kiam telah memanggil In Loei, dan semunculnya si nona, ia tertawa dengan manis. "Bukankah kau ingin menemui kakakmu?" ia tanya. In Loei berjingkrak. "Peehoe, apakah sekarang juga kau hendak ajak aku menemuinya?" tanya ia, yang girangnya tak kepalang. "Benar," jawab paman itu. "Hanya kau harus merendahkan sedikit dirimu. Kau menyamar sebagai pengiringku, nanti aku ajak kau ke lapangan pieboe untuk menyaksikan pertandingan." In Loei girang bukan main, dengan lantas ia salin pakaian. Ia sudah biasa menyamar sebagai priya, untuk jadi pengiring atau kacung, iapun tak berkeberatan. Ia seperti tak pedulikan segala apa, asal ia dapat bertemu dengan kakaknya. Kiranya hari itu adalah hari terakhir, untuk memilih Boe tjonggoan. Sudah dikatakan, ujian ada istimewa, maka itu, setelah ujian main panah sambil menunggang kuda, ujian lisan ilmu perang, datanglah ujian untuk pieboe, guna mengadu kepandaian silat. Usul atau saran keluar dari otaknya Taylwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay. Dia ambil alasan, ilmu silat ada banyak macamnya, tak berbatas cuma dengan ilmu panah di atas kuda, ada ilmu tombak atau golok, juga dengan bertangan kosong, tanpa ini, ilmu silat itu tidak lengkap. Senantiasa berdiam di dalam keraton, atau istana, kaisar merasa kesepian, maka itu satu kali ia dengar akan diadakan keramaian — di antaranya termasuk pieboe — dengan segera dia terima baik usul Kong Tjongkoan itu. Demikian di tengah-tengah lapangan segera dibangun satu ioeitay — panggung untuk adu silat itu — dengan di empat penjurunya diberdirikan pula panggung-panggung untuk penonton. Kaisar pun tidak datang menonton sendiri, ia diiring para pahlawan dan thaykam, pun Menteri Perang dan semua menteri lainnya turut mendampingi padanya. Sebenarnya usul Kong Tiauw Hay ini disebabkan dia mempunyai maksud sendiri — urusan pribadi. Dia mempunyai dua soehengtee, saudara-saudara seperguruan yang liehay ilmu silatnya, dia ingin kedua saudara itu memamerkan kepandaiannya, supaya mereka peroleh nama dan kedudukan baik. Tapi kedua saudara itu terlalu rendah pengetahuannya mengenai kitab ilmu perang, maka itu diciptakan akal ini, ialah adu kepandaian silat. Sekitar lapangan dijaga tentara Gielim koen, pasukan pribadi kaisar. Kaisar sendiri, diiring oleh para pangeran dan orang kebiri, mengambil tempat di panggung tengah, yang menghadapi langsung panggung ioeitay. Ie Kiam beserta In Loei, bersama Menteri Perang dan menteri lainnya, mengambil panggung timur, dari mana orang pun dapat melihat tegas ke panggung raja. "Kau lihat," kata Ie Kokioo pada pengiringnya sambil berbisik, "itu orang dengan juba naga di belakang siapa berbaris pahlawan-pahlawan adalah Sri Baginda raja. Di kiri raja, orang yang berdiri mendampinginya adalah Thaykam Ong Tjin." Dengan mata tajam, In Loei awasi orang kebiri itu, untuk mengenali dengan baik roman orang dan potongan tubuhnya. Semua boe kiedjin, yang berhak turut ujian, berkumpul di bawah panggung di mana ada sebuah gubuk istimewa untuk mereka menanti atau beristirahat, sebab sebelum tiba gilirannya, tak dapat mereka sembarang menaiki panggung ioeitay. "Ujian istimewa kali ini namanya saja boleh diikuti oleh siapa saja asal berkepandaian silat dan telah terpilih," Ie Kiam terangkan pada In Loei, "akan tetapi kenyataannya, kecuali mereka yang memang sudah memangku pangkat dalam tentara, dia mesti diberi pertanggungan oleh suatu orang berpangkat, yang pangkatnya mesti sedikitnya sudah tingkat ketiga. Inilah sebabnya kenapa Sri Baginda berani turut datang menonton." Mendengar ini, di dalam hatinya, In Loei kata: "Kalau begitu orang kangouw, yang benar-benar gagah, tak dapat kesempatan untuk turut serta.....” Tiba-tiba terdengarlah suara tambur nyaring, tiga kali. Itulah tanda bahwa pieboe sudah akan dimulai. Mendengar suara tambur itu, In Loei merasa tegang sendirinya, segera ia mengawasi ke arah ioeitay. Yang pertama kali maju adalah dua orang yang romannya kasar, mereka masing-masing bersenjatakan golok tantoo dan sebuah tombak. Sebentar saja, si pemegang golok peroleh kemenangan. Menyusul itu adalah tiga pertandingan lagi. Siapa yang menang, dia mesti bertanding terus. Siapa menang dua kali beruntun, dia dapat hak untuk beristirahat, untuk nanti diadu pula dengan pemenang lainnya. Begitu seterusnya. Selama itu, In Loei belum lihat kakaknya. Pertandingan, ke empat telah selesai, dan pemenangnya adalah seorang yang tubuhnya tinggi tujuh kaki, besar dan tegap, gegamannya adalah sepasang gembolan. Selama itu, kuranglah perhatian In Loei. Sampai ia dengar bicaranya Pengpou Siangsie, menteri perang, kepada Ie Kokioo. Kata menteri itu: "Pemenang ini adalah Tjiangkoen Ouw Tay Keng, panglima yang baru diangkat oleh Kementerian Perang, kedua tangannya bertenaga seribu kati. Sebenarnya jumlah peserta ada banyak sekali, semuanya sembilan puluh enam orang, tetapi Sri Baginda hendak menyaksikan yang paling kosen saja, maka kemarin diadakan ujian istimewa oleh Kementerian, hingga kesudahannya, dari sembilan puluh enam peserta itu sekarang tinggal dua puluh empat orang. Sri Baginda pun ingin supaya ujian selesai dalam hari ini. Dalam ujian kemarin, Ouw Tjiangkoen ini dapat angka baik sekali." Ie Kiam sambut keterangan itu dengan senyuman. Ia tahu, Ouw Tay Keng adalah sanaknya Pengpou Siangsie, sudah tentu Siangsie itu, menteri, mengharap-harap si sanak keluar sebagai pemenang. Segera juga terdengar suaranya kiepaykhoa di muka panggung: "Lim Too An, kiedjin nomor sembilan, naiklah ke atas panggung! Penanggung jawabnya adalah Leepou Tjoesoe Lie Soen." Pemberitahuan itu menunjukkan bahwa peserta Lim Too An bukan perwira, maka ia memerlukan orang yang menanggung dirinya. Heran juga In Loei, maka perhatiannya jadi tertarik sekali. Ia lantas lihat, Lim Too An lompat naik ke atas ioeitay dengan sebelah tangannya menggoyangkan kipas, dandannya pun tidak keruan, ialah sembarangan saja. Dia adalah puteranya Lim Tjhoengtjoe, sahabatnya Hongthianloei Tjio Eng. Dia juga yang beberapa bulan yang lalu telah melamar Nona Tjio Tjoei Hong akan tetapi dia kena dikalahkan Nona Tjio. Too An beri hormat pada Ouw Tjiangkoen sambil menjura seraya pegangi terus kipasnya itu. Ia kata dengan lagu suaranya yang agak seram: "Ouw Tjiangkoen, aku mengharap belas kasihanmu....." "Sial!" keluh Ouw Tay Keng di dalam hatinya. "Dari mana datangnya makhluk aneh ini, priya bukan wanita bukan?....." Tapi waktu menjawab, sambil mengayunkan gembolannya, dia membentak: "Belas kasihan apa! Ini ada tempat resmi! Apakah kau anggap ini bagaikan sandiwara? Lekas kau keluarkan senjatamu!" Jumawa panglima ini, tetapi Lim Too An tidak menghiraukannya. "Boanseng empunya senjata ialah kipas ini," dia menyahut, suaranya halus bagaikan suara wanita. Ia pun membahasakan diri boanseng, artinya yang mudaan. Ouw Tay Keng menjadi gusar sekali, segera ia menghajar dengan sebelah gembolannya. Lim Too An berkelit sambil mendak, berbareng dengan itu kipasnya yang ia buat kuncup, diulurkan ke arah iga dari panglima itu, untuk menotok jalan darah djoanmoa hiat. Lincah gerakannya, tapi tidak segarang lawannya itu. Ouw Tay Keng bertubuh besar, ia kurang gesit, tidak ampun lagi, begitu kena ditotok, tubuhnya itu bergelimpang rubah jatuh di lantai panggung dengan menerbitkan suara keras! Lim Too An tidak berhenti sampai di situ, dengan sebat ia angkat sebelah kakinya, untuk dipakai mendupak, maka tersapulah tubuh besar dari panglima itu, jatuh terbanting ke bawah panggung. "Maaf, boanseng terima kalah!" kata dia sambil tertawa. Masih dia mengejek. Gembira kaisar menampak pertempuran itu. "Bagus!" serunya dengan pujiannya. "Pertandingan yang menyusul akan lebih bagus lagi!" kata Ong Tjin. "Lekas Baginda lihat!" Kiepaykhoa segera perdengarkan pula suaranya: "Nomor 10!" Kali ini yang lompat naik adalah seorang dengan sebelah tangannya mengangkat tinggi sehelai tameng. Dia adalah Lou Liang, adiknya Lou Beng. Lou Beng sendiri kemarin telah dijatuhkan oleh satu anak muda, hingga Lou Liang mesti maju seorang diri. Dua saudara Lou ini adalah orang-orang kepercayaannya Ong Tjin. Lim Too An layani ilmu tameng Koengoan pay dari keluarga Lou dengan tameng besinya, Lou Liang lindungi diri dari totokan ujung kipas. Untuk sementara, Too An tidak bisa berbuat suatu apa, maka itu dengan cepat pertandingan telah melalui kira-kira lima puluh jurus. Lou Liang tahu orang pandai tiamhiat hoat, ilmu totok jalan darah, setelah bertanding sekian lama, ia menggunakan akal. Ialah mengangkat tamengnya demikian rupa hingga ia membuatnya satu lowongan. Too An girang melihat ketika yang baik ini, ia tidak sia-siakan itu, dengan memutar kipasnya, segera ia menotok jalan darah soankee hiat pada dada lawan. Ia percaya, setelah lawan nampaknya lelah, ia akan berhasil. Tiba-tiba saja tameng bergerak sangat cepat. "Prak!" demikian terdengar satu suara. Too An kaget bukan main, karena kipasnya kena dihajar hingga patah seketika. Ia tahu selatan, segera saja ia lompat turun dari panggung. Ong Tjin lantas saja tertawa, wajahnya berseri-seri. "Kongkong, pahlawanmu benar kosen!" kaisar memuji. Ia membuatnya orang kebiri itu bergirang dan bersyukur. "Kiedjin No. “, See Boe Kie, naik ke panggung! Penanggung jawabnya Hoetongnia Yo Wie dari Gielim koen!" demikian suara kiepaykhoa. In Loei terkejut pula. Ia tidak sangka, juga penjahat besar ini, yang telengas, turut serta dalam ujian, malah dengan ditunggui oleh komandan muda dari tentara raja. Ia ingat benar, See Boe Kie adalah orang yang lamarannya telah ditolak Tjoei Hong. Begitu ia mencelat naik ke atas panggung, See Boe Kie tidak berlaku sungkan lagi. "Dengan kepalanku ini akan aku sambut tamengmu!" katanya dengan jumawa. Lou Liang gusar terhadap sikap kasar itu. "Baik, kau sambutlah!" dia jawab, dan tamengnya segera menyambar dari atas kebawah Hebat serangan itu, sampai tameng itu mendatangkan siliran angin. See Boe Kie berkelit ke samping, dari situ ia membalas menyerang dengan kepalannya dibuka, hingga lima jarinya jadi berbaris rapat. Lou Liang terkejut apabila ia tampak telapak tangan hitam dari lawannya ini. Itulah Toksee tjiang — Tangan Pasir Beracun. Lekas-lekas ia menangkis. See Boe Kie sebat sekali, ketika serangan pembalasannya itu gagal, ia menyusul dengan tangan yang lain, ia barengi selagi orang menangkis. Kali ini ia berhasil menimpa pundak orang. "Aduh!" teriak Lou Liang yang dibarengi dengan menggelindingnya tubuhnya ke bawah panggung. Ia sebenarnya kosen tetapi ia kalah sebat. Wajah Ong Tjin menjadi matang biru, karena mendongkolnya, sebab pahlawan yang ia banggakan itu, rubuh sebelum mencapai tiga jurus. Jangan gusar, kongkong1." tertawa Kong Tiauw Hay. "Pada babak selanjutnya, binatang itu tak akan bertahan lama!.....” Lalu terdengar suara kiepaykhoa'. "No. 12, Liok Thian Peng! Penanggungnya, Tayiwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay!" Segeralah lompat naik seorang yang tubuhnya tegap, di pinggangnya terlibat cambuk lemas Kimsie Djoanpian. Dia tidak loloskan senjata itu, hanya sambil tertawa ia kata pada See Boe Kie: "Toksee tjiang-mu liehay sekali, tapi biarlah aku mengalah, kau menyerang dulu dua kali! Bila aku berkelit, anggaplah, aku kalah!" See Boe Kie melengak. Orang ada lebih terkebur daripadanya. "Hayo mulai!" kata Liok Thian Peng. "Kenapa kau belum menyerang juga? Di sini ada ioeitay tempat pieboe, jikalau kau tetap tidak hendak menyerang, hendak kau menggelinding turun saja dari atas panggung ini!.....” See Boe Kie mendongkol, ia penasaran. "Mungkinkah tubuhnya kebal hingga ia tidak mempan racun tanganku yang liehay?" dia berpikir. "Belum pernah aku dengar ilmu kebal semacam itu.....” Lantas ia kata dengan tawar: "Tanganku beracun, Tuan Liok, harap kau berhati-hati!....." Belum berhenti si jago tangan beracun ini berbicara, atau sebelah tangannya sudah menyambar ke arah muka lawan. Sambil menyerang, ia berpikir: "Pada tubuhnya ada bajunya, yang mungkin menjadi alingan, maka akan aku hajar mukanya, yang kulitnya tipis! Mungkinkah mukanya pun kebal?....." Pada saat tangan lawan hampir sampai pada mukanya, mendadak Liok Thian Peng mendak berkelit, menyusul mana, tangannya diangkat, dipakai membentur sikut orang. Hebat benturan ini, See Boe Kie merasakan sakitnya sampai di jantungnya, lengannya yang dibentur pun lantas saja turun tergantung, tetapi ia kuat, masih dapat ia bertahan, maka dengan menuruti amarahnya, ia tidak mau menyerah kalah, lantas dengan menggunakan tangannya yang lain, ia menyambar ke iga Liok Thian Peng, mengarah jalan darah kematian. In Loei saksikan pertempuran itu, ia tahu, kalau sambaran itu tidak gagal, mesti celaka Liok Thian Peng. Tapi yang menjerit hebat adalah See Boe Kie, tangannya semper, tubuhnya rubuh ke bawah panggung. "Hebat!" kata In Loei di dalam hatinya. Ia insyaf atas orang punya ilmu "Tjiamie sippattiat" — "Membentur baju, delapan belas kali terguling." Itulah ilmu tenaga dalam yang paling sempurna. Sedikit benturan saja sudah cukup membuatnya orang kesakitan dan rubuh. Maka berpikirlah ia lebih jauh: "Dalam ujian ini turut ambil bagian orang kosen semacam ini, aku kuatir kakakku tidak akan dapat merebut gelar Boe tjonggoan....." Liok Thian Peng adalah soetee, adik seperguruan, dari Kong Tiauw Hay, kepandaiannya berimbang dengan Tiauw Hay sendiri. Tentu saja dia jadi sangat puas dengan kemenangannya itu, hingga dia jadi bangga sekali. Kemudian terdengar pula seruannya kiepaykhoa: "Kiedjin No. 14 naik ke panggung!" Bukan kepalang girangnya In Loei apabila ia tampak, siapa calon yang ke empat belas itu, dialah In Tiong, kakaknya. "Ha, In Tongnia juga naik!" tertawa Liok Thin Peng. "Silakan tongnia keluarkan senjatamu!" Belum lama In Tiong masuk dalam kalangan Gielim koen akan tetapi namanya menaik dengan cepat sekali, hingga hampir menyamai kesohornya ketiga jago utama dari kota raja. Tentu saja, terhadap tongnia ini, Liok Thian Peng tidak berani memandang enteng, maka itu, ia sudah lantas loloskan cambuk lemasnya. Ia malah segera rebut tempat di kepala di mana ia berdiri dengan siap sedia. Cambuk lemas itu terbuat dari rotan tua terlibat dengan urat harimau, keuletannya istimewa, dapat melibat juga golok atau pedang. Karena In Tiong bersenjatakan golok Angmo Pootoo, dalam tandingan, ia kalah imbangan. Baharu ia hunus goloknya, atau Liok Thian Peng sudah mulai menyerang padanya. Dahsyat serangan cambuk itu, akan tetapi mengimbangi kegesitan lawan, In Tiong kelitkan diri. Nampaknya ia akan tercambuk, tapi kesudahannya, bajunya pun tidak tersentuh. Sebaliknya ia, dari samping, segera membalas membacok. Liok Thian Peng benar-benar liehay. Ia terancam bahaya tapi, dengan mudah ia egoskan tubuhnya, untuk selanjutnya, menyambuk pula berulang-ulang tiga kali, guna mendesak lawannya, yang pun gesit sekali, hingga tiga cambukan itu tidak memperoleh hasil. In Tiong tidak cuma berkelit, dia pun berlompatan pesat, dan di bawah bayangan cambuk itu, ia melakukan serangan pembalasannya. Serangan tiga kali saling susul dari Liok Thian Peng itu adalah serangan jurus-jurus "Kenghong sauwlioe" atau "Angin besar menyapu pohon yanglioe," biasanya sulit untuk orang menghindarkan diri dari bahaya itu, maka itu kagum Thian Peng, terhadap lawannya. Ia pun mengelakkan diri dari pelbagai bacokan, sesudah mana, lagi satu kali ia menyerang hebat, untuk melibat lengan orang. Apabila ia berhasil, yang paling dulu akan terjadi adalah golok In Tiong mesti terlepas dari cekalan dan terlempar. In Tiong perdengarkan suara, bagaikan kaget, berbareng dengan itu, tangan kirinya, yang hendak dilihat itu, dilonjorkan lempang dan kaku, atas mana, dengan sendirinya, libatan cambuk lolos dan cambuk lemas itu mental, tidak mendapatkan korbannya. Tapi itu belum semua, selagi dilonjorkan, tangan In Tiong dan kepalannya, berbareng dipakai menjotos dada lawannya! "Bagus" teriak Liok Thian Peng, yang kaget dan kagum. Kakinya tidak digerakkan, hanya tubuhnya digeser sedikit, untuk melewatkan kepalan itu, menyusul mana tangan kirinya, dengan lima jarinya, dipakai menunjuk, akan menyambuti kepalan lawan itu. Kelihatannya kepalan dan jari-jari tangan akan bentrok satu dengan lain, akan tetapi di saat yang berbahaya, keduanya mundur sendirinya, diganti dengan gerakan cambuk dan golok — cambuk bagaikan terbang, golok bagaikan menari..... Kedua pihak nampak merenggangkan diri tetapi sebenarnya, mereka asyik mengadu kepandaian mereka, hingga penonton rata-rata menjadi kagum, ada yang menyaksikannya seperti matanya kabur. Ilmu silat "Tjiamie Sippattiat" dari Liok Thian Peng liehay, akan tetapi, kali ini, menghadapi ilmu silat "Taylek Kimkong Tjioe" dari In Tiong, dia repot juga. Kelihatannya dia cuma dapat bertahan. Maka itu, dia lantas berlaku sangat hati-hati, dia keluarkan seluruh kepandaiannya untuk dapat melayani terus. "Bagus, bagus!" kaisar memuji berulang-ulang. Ia kagum dan girang. In Loei sebaliknya, berdebar-debar hatinya. Pertempuran seru berjalan terus, sampai kemudian In Loei lihat, gerakan kaki kedua pihak mulai ayal. "Kali ini umpama kata kakak menang," pikir In Loei kemudian, "ia pasti akan jadi sangat lelah, sedang menurut aturan pertandingan, dia mesti melayani terus lawan-lawan baru hingga dua pertandingan, baharu ia boleh beristirahat. Jikalau tandingan kakak yang kedua ada sebangsa Liok Thian Peng kosennya, pasti lenyaplah gelaran Boe tjonggoan1. Sekarang masih belum ada kepastiannya.....” Pertempuran berjalan untuk banyak jurus, kedua pihak masih sama imbangannya, kejadian itu membuatnya kedua pihak tegang sendirinya. In Tiong berkemauan keras untuk menang, ia berani melakukan penyerangan-penyerangan yang berbahaya sekalipun untuk dirinya sendiri, setiap kalinya, pukulannya bertambah berat. Untuk ini ia berlaku lambat dan sebat dengan tiba-tiba. Ia mainkan siasat, ia mencari lowongan, sekalipun dengan memancing. Liok Thian Peng lebih berpengalaman, dia tidak membiarkan dirinya dipancing, dia berlaku tenang, matanya pun dipasang dengan tajam. Selagi pertandingan berjalan, tiba-tiba tubuh In Tiong terhuyung, lalu lolos di antara cambuk, ia menyerang dengan kedua tangannya, golok di tangan kanan, kepalan di sebelah kiri. "Bagus!" seru Liok Thian Peng atas serangan tiba-tiba itu. Ia berkelit dari kepalan dan menangkis golok, sesudah mana, ia pun membalas, yaitu ia membarengi, meneruskan gerakan cambuknya, yang ia pakai menyerang membalas. Hampir In Loei keluarkan seruan karena menyaksikan saat yang sangat berbahaya itu, atau segera ia dengar jeritan "aduh!" dari Liok Thian Peng. Ia pun belum melihat nyata atau ia saksikan Thian Peng rubuh, cambuknya terlempar, tubuhnya terguling di atas panggung. Dengan tibanya serangan membalas itu, tiba-tiba Thian Peng merasakan lengannya tertusuk jarum yang sakit rasanya. Tentu saja ia menjadi sangat kaget, apapula pada saat itu, serangan In Tiong datang menyusul. Tak ada jalan lain, sambil melepaskan cambuknya, ia buang dirinya ke panggung, guna berkelit dari serangan Kimkong tjioe yang dahsyat. Selagi bergulingan, di dalam hatinya, ia kata: "Hm! Kiranya di tangan bocah ini masih ada senjata rahasianya! Kecewa aku terpedaya!" Tapi ia bungkam. Di dalam pieboe itu tidak disebutkan larangan menggunakan senjata rahasia. Tentu saja, ia pun tidak ketahui, penyerang dengan jarum rahasia itu bukannya In Tiong. Di bawah panggung, In Loei heran. Di atas panggung, In Tiong tidak kurang herannya kenapa lawannya itu rubuh sedang serangannya belum lagi mengenal sasarannya. Dengan begitu, selesailah sudah pertempuran itu, maka kembalilah kiepaykhoa dengan tugasnya, memperdengarkan suaranya seperti biasa: "Kiedjin ke lima belas, Thio Tan Hong, naik ke panggung! Penanggungnya Thio Hong Hoe, Tjongkauwtauw dari Gielim koen merangkap Tjiehoei dari Kimie wie!" In Loei mendengar nyata, ia menjadi kaget hingga semangatnya bagaikan terbang pergi. Ia berdiri menjublak. Ia heran bukan main. Kenapa Thio Tan Hong juga turut dalam ujian? Kenapa Thio Tan Hong hendak perebutkan gelar Boe tjonggoan dengan kakaknya itu? -ooo00dw00ooo- Bab XVI Thio Tan Hong lompat naik ke atas panggung dengan sikap yang tenang dan wajah berseri-seri. Seperti biasanya, dia dandan dengan pakaian putih, pun ikat kepalanya putih juga. Sepatunya adalah sepatu yang enteng. Indah gerakannya ketika tubuhnya mencelat ke atas panggung Ioeitay, bagaikan "pohon kemala ditiup angin" atau "bunga lay beterbangan antara salju." Dia pun muda dan cakap romannya, halus gerak-geriknya. Para kiedjin bersorak, waktu mereka menyaksikan munculnya saingan ini. "Sungguh satu pemuda yang cakap!" raja memuji setelah menyaksikan kiedjin No. 15 ini. Hingga ia berkata kepada Kong Tiauw Hay: "Orang ini sepantasnya turut dalam ujian Boen tjonggoan....." "Ya," sahut Kong Tiauw Hay, acuh tak acuh, sebab kedua matanya sedang menatap Thio Tan Hong. Terang nampaknya, dia heran atau curiga.....” Sesampainya di atas panggung, Tan Hong tidak segera tantang In Tiong, dia hanya memandang sekelebatan, menyapu dari kaisar sampai kepada yang lainnya. Terkejut Kaisar Kie Tin ketika sinar matanya bentrok dengan sinar mata Tan Hong, tanpa merasa, ia bergidik sendirinya. Kaisar ini heran sekali, orang ada demikian lemah lembut, kenapa matanya tajam sekali, pada sinarnya seperti berbayang "hawa pembunuhan." Tentu sekali raja ini tidak tahu, leluhur Thio Tan Hong adalah musuh besar dari leluhurnya sendiri — musuh dalam perebutan negara. Munculnya Tan Hong tidak hanya mengejutkan In Loei seorang. Ie Kiam dan In Tiong juga tak menyangkanya sama sekali. Ie Kokioo berpikir: "Tan Hong adalah seorang luar biasa, telah berulang kali aku menganjurkan dia bekerja untuk pemerintah, untuk itu bersedia aku menanggung dia dengan rumah tanggaku, dengan jiwaku, dia senantiasa menampiknya, kenapa sekarang dia muncul di sini hendak memperebutkan segala gelar Boe tjonggoan?" In Tiong sebaliknya berpikir: "Binatang ini adalah pengchianat yang bekerja untuk bangsa Watzu, kenapa dia datang untuk perebutkan gelaran Boe tjonggoan denganku? Apa tidak baik jikalau aku beber saja rahasianya? Tapi dia ditanggung oleh Thio Hong Hoe, pemimpinku, bagaimana?" Karena ini, terpaksa ia bungkam, ia cuma telan sendiri kemendeluannya. Tak berayal lagi, Thio Tan Hong menghadap In Tiong. Ia bersenyum lebar dengan tangannya di gagang pedang. Dengan dalam ia menjura, terus ia berkata dengan hormat: "Saudara In, aku mohon belas kasihanmu.....” In Tiong gusar bukan kepalang, kedua matanya sampai bersinar bagaikan api menyala, akan tetapi dia berada di atas panggung, dia mesti kendalikan dirinya, dia harus mengindahkan adat istiadat, maka itu, dia pun membalas menghormat sambil menjura, cuma waktu dia buka suara, walaupun perlahan, dia kata: "Hari ini jikalau bukannya kau yang mati, aku yang mampus!" Akan tetapi Tan Hong tertawa. "Itulah tak usah!.....” katanya, sabar. Belum orang menutup mulutnya, In Tiong sudah mulai menyerang. Setelah mereka satu pada lain memberi hormat, tak perlu lagi mereka main hormat-hormatan terlebih jauh. Gerakkannya adalah "Kwahouw tengsan," atau "Menunggang harimau mendaki gunung." In Loei telah menyaksikan itu, tanpa merasa, tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Ia berkuatir tak terkira. Di atas panggung, Tan Hong telah perdengarkan seruannya, "Bagus!" lalu tubuhnya bergerak, mengegos dari bacokan In Tiong, atas mana, In Tiong, menyusul dengan bacokan lagi dari samping. Ia jadi penasaran karena bacokannya yang pertama itu dengan mudah dapat dielakkan lawan. Kali ini Tan Hong mencoba tenaga orang, ketika ia melewatkan bacokan itu, ia bentur lengan pemuda she In itu, hingga terjadilah satu peraduan tangan yang keras. Ia pakai tangan kanan, In Tiong tangan kiri. "Nyata Taylek Kimkong Tjioe dari Toasoepee bukan nama belaka!" kata Tan Hong dalam hatinya setelah benturan itu, terus saja ia balas menikam. "Bagus!" seru In Tiong tanpa disengaja ketika ia berhasil mengelakan diri dari tikaman yang berbahaya itu. Ia juga kagumi liehaynya lawan ini. Kedua pihak bertempur dengan hati-hati, apa-pula In Tiong, yang tahu pedang lawan adalah pedang mustika dan goloknya, walaupun tajam, tak akan sanggup melawan pedang itu. Ia tidak membiarkan goloknya dipapas, sedang ia sendiri, ia selalu menahas pedang lawan dari samping. Kedua pihak, berlaku hati-hati, tapi kedua pihak pun saling menyerang secara hebat. Sesudah pertempuran berjalan sekian lama, tiba-tiba Tan Hong merubah gerak-geriknya. Satu kali ia berseru panjang, lalu tubuhnya berkelebat bagaikan bayangan, ke kiri dan kanan, hingga In Tiong seperti dikurung musuh-musuh diempat penjuru. Menghadapi musuh demikian gesit, In Tiong pernahkan diri di tengah-tengah. Ia berputar ke mana lawan berkelebat, ia menangkis sambil membalas membacok. Ia telah mencoba, akan menahas kutung pedang lawan, tapi belum pernah ia berhasil. Ia berlaku sangat cepat, tapi lawan lebih cepat pula. Bagaikan capung menyambar air, demikian samberan Tan Hong dan lewatlah tubuhnya pesat sekali. Sepasang alis kaisar bangun ketika menyaksikan pertempuran setelah tujuh puluh jurus. "Bagus! Bagus!" pujinya berulang-ulang. In Loei kagum, tetapi kekuatirannya menjadi lebih besar. Ia takut kalau-kalau Tan Hong melukai In Tiong, ia kuatir saudaranya nanti melukai mahasiswa itu..... Di mata banyak penonton, kedua pemuda itu setanding, tetapi di mata In Loei, keadaan ada sebaliknya. In Tiong gagah tetapi ia tetap kalah gesit, kalah mantap daripada Tan Hong. Tubuh si mahasiswa, juga pedangnya, bergerak dengan terlebih bebas. In Loei sering bertempur melawan musuh bersama Tan Hong, ia tahu baik tentang liehaynya pemuda ini. Adalah kemudian, lega juga hati si nona. Ia merasa bahwa Tan Hong mempunyai belas kasihan terhadap kakaknya itu..... Ie Kiam pun berkuatir, hingga membuka mulutnya. Ia seperti berbicara sendiri, seperti mengatakan pada In Loei. Katanya: "Kalau dua ekor harimau berkelahi salah satu mesti terluka..... Apakah perlunya itu? Apakah perlunya itu?.....” Tapi pertandingan ini resmi, siapa juga tidak berhak untuk menghentikannya. In Tiong telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, tapi ia hanya dapat bertanding seri terhadap lawan itu, dengan sendirinya, hatinya menjadi tegang. Ia pun baru saja berkutat mati-matian dengan Liok Thian Peng, hingga ia merasa letih bukan main. Maka pada akhirnya, ia menjadi lelah sendirinya. Aneh sikap Tan Hong terlebih jauh. Satu kali agaknya ia peroleh lowongan, lalu ia lepaskan itu, ia sebaliknya bagaikan terancam golok In Tiong. Beberapa kali hal ini terjadi, In Tiong lantas menduga, bahwa Tan Hong tidak berniat mengalahkannya. Tapi hal ini membuatnya ia menjadi panas hati, ia tidak puas..... Bertempur lebih jauh, In Tiong berlaku telengas. Goloknya, di tangan kanan, dan kepalan kirinya mendesak terus hingga tiga kali beruntun. Ia mendesak begitu rupa , hingga Tan Hong mesti mundur. Kemudian, sambil lompat mutar, ia mundur teratur, agaknya desakan itu tidak memberi hasil. Tan Hong tertawa di dalam hatinya. "Kau hendak gunakan akal, siapa sudi terkena tipumu?" kata mahasiswa ini. Ia segera gunakan akal untuk melawan akal. Ialah ia maju, untuk menyusul. Justeru itu, mendadak In Tiong lompat mutar pula, tangan kirinya turut bergerak, melemparkan tujuh butir senjata rahasia Thielian tjie, semacam biji teratai besi, yang semuanya menuju keberbagai anggota berbahaya dari si pemuda she Thio. Itulah senjata rahasia Hian Kee Itsoe. Itulah serangan sangat berbahaya, para penonton menjadi terkejut. Menyusul serangan teratai besi itu, terdengar suara bentrokan nyaring, lalu sirap, hingga orang menjadi heran, cuma In Tiong yang hatinya gentar, sebab ia tahu, serangan itu telah digagalkan lawan. Malah ia menduga juga, senjata rahasia yang dipakai menentanginya adalah sebangsa jarum, yang kecil sekali, hingga heranlah ia, kenapa senjata halus itu dapat melemahkan bijih-bijih besi yang jauh terlebih berat. Lain dari itu, senjata Tan Hong ini membuatnya In Tiong ingat kejadian tadi sewaktu ia bertanding dengan Liok Thian Peng. Tadi ketika berhadapan dengan Thian Peng, In Tiong tahu benar mereka berdua sudah menghadapi jalan buntu, ia mesti celaka, demikian juga Thian Peng, akan tetapi pada saat terakhir, Thian Peng rubuh tanpa sesuatu sebab. Tidak mengerti In Tiong, kenapa lawannya itu kalah tanpa alasan apa-apa. Tapi sekarang, melihat senjata rahasia Tan Hong, segera ia mengerti, ia sadar. Teranglah sudah, tadi Tan Hong telah menyerang Thian Peng secara diam-diam. Maka bingunglah ia kenapa "musuhnya" — "musuh besar" — telah membantu ia secara diam-diam itu. Pada saat itu, In Tiong jadi merasa malu berbareng bersyukur. Malu karena serangannya itu gagal, bersyukur sebab "musuh" telah membantu padanya, telah menolong ia dari ancaman bahaya besar. Sebaliknya, ia juga mendongkol, karena musuh itu sangat tanggu dan tak dapat dirubuhkan. Selagi In Tiong diliputi pelbagai perasaan itu, tiba-tiba terdengar suara Tan Hong. "Lihat pedang!" seru pemuda she Thio itu sambil tertawa, lalu pedangnya berkelebat, bersinar di muka orang she In itu. In Tiong masih sadar akan dirinya, maka dengan sebat ia tangkis tikaman itu, setelah mana, ia melakukan pembalasan. Ia terpaksa membalas, sebab setelah tikaman itu, Tan Hong mengulanginya, hingga dia mesti dilayani terus. In Tiong berpikir, baik atau tidak ia serahkan saja gelar Boe tjonggoan kepada Tan Hong, karena pertempuran mereka ini luar biasa dahsyatnya. Kalau ia mengalah, bahaya sudah tidak ada. Tapi ia didesak, ia jadi berpikir lain. Semuanya terjadi dalam sekejap itu. Tidak banyak waktu untuk berpikir lama-lama. Maka, setelah satu tangkisan tangan kiri disusul dengan bacokan tangan kanan, dengan goloknya, ia memikir untuk menggunakan serangan "Pengin liatsek" atau "Awan buyar, batu gempur." "Jangan!" tiba-tiba terdengar suaranya Tan Hong, perlahan. "Lekas gunakan Samyang kaytay....." Tanpa merasa, In Tiong ubah serangannya, lalu tiga kali beruntun ia memberikan bacokan. Benar saja, ia telah menggunakan tipu silat yang disebutkan pemuda she Thio itu. Tan Hong menutup dirinya dengan tipu silat "Pathong hongie" — "Hujan angin di delapan penjuru," tetapi percuma saja, pembelaannya dapat dipecahkan, hingga ia jadi terdesak, kalau tadi ia menjadi penyerang, sekarang ia berbalik menjadi orang yang diserang, karenanya, ia perdengarkan jeritan terancam bahaya. In Tiong lanjutkan desakannya, ia membuat Tan Hong mundur terus, sampai di pinggir panggung di mana sudah tak terdapat tempat lagi untuk mundur lebih jauh, di saat itu tiba-tiba pemuda she Thio itu mencelat tinggi, ia apungkan dirinya, berjumpalitan, hingga di lain saat, ia telah berada di bawah panggung! Tubuhnya itu telah melayang bagaikan layangan putus..... Bergemuruhlah suara di bawah panggung, sebab pieboe telah berakhir untuk kekalahannya Thio Tan Hong dan kemenangannya In Tiong. Semua orang puji In Tiong dengan jurusnya yang terakhir itu, "Samyang kaytay," — "Selamat tahun baru" Di antara semua penonton, cuma In Loei yang bernapas lega, yang ketahui kemenangan In Tiong itu, sebab Thio Tan Hong bukannya kalah, hanya mengalah. Adalah maksud Tan Hong turut dalam pieboe, bukan untuk merebut kemenangan, bukan untuk menjadi Boe tjonggoan, hanya guna membantu In Tiong, supaya In Tiong dapat menjadi tjonggoan militer, supaya In Tiong berhasil dengan angan-angannya mencari kedudukan tinggi guna nanti mencapai cita-citanya. Tan Hong mengetahui, dua saudara seperguruan dari Tayiwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay turut dalam ujian militer itu. Inilah berbahaya untuk In Tiong sekalipun ia ketahui kepandaian In Tiong dibanding dengan dua saudara seperguruan dari Tiauw Hay itu berimbang. Bahayanya ialah kalau In Tiong mesti bergantian melayani dua musuh tanggu itu, sedang di lain pihak, masih ada beberapa calon lainnya yang tak kurang berbahayanya. Maka ia paksa pernahkan dirinya dalam keadaan berbahaya itu, guna secara diam-diam membantui In Tiong, agar orang she In ini dapat memastikan kemenangannya. Untuk ini, Tan Hong dapat bantuannya Thio Hong Hoe, yang menjadi orang penanggungnya. Bahwa In Tiong sampai sebegitu jauh tidak ketahui Tan Hong turut dalam ujian itulah karena, dalam ujian-ujian pertama, mereka dipisahkan rombongannya, hingga baharulah di babak ini mereka diberikan ketika untuk berhadapan satu pada lain. Kemarinnya, dalam ujian pertama, Tan Hong telah merubuhkan tiga calon yang liehay, yaitu pertama satu soeheng lainnya dari Kong Tiauw Hay, kedua ahli silat Kimkauw Gouwhong, dan ketiga pahlawan istana Lou Liang. Ini pun membantu meringankan In Tiong untuk memasuki babak terakhir. Pada akhirnya, Tan Hong membantu ia merubuhkan Liok Thian Peng, sesudah mana, ia maju sendiri, ia berpura-pura kalah sesudah mengajari In Tiong bagaimana ia harus mendesak padanya..... Begitu rupa Tan Hong telah bertindak, sehingga Thio Hong Hoe dan Ie Kiam tidak mengetahui maksud yang disembunyikan itu. Tetapi ini tidak berarti Tan Hong tidak menghadapi ancaman malapetaka. In Tiong melengak atas kemenangannya itu. Ia berpikir keras karena kemenangan yang tidak wajar itu, walaupun tidak ada satu orang jua yang mengetahuinya. Tengah ia berdiri diam, gemuruhlah seluruh tanah lapang itu. Lalu, di saat ia masih belum ingat untuk mengundurkan diri, guna beristirahat, ia dengar satu teriakan dari panggung muka: "Lekas tangkap pemberontak! Lekas tangkap pemberontak!" In Loei kaget mendengar suara itu, In Tiong pun tak terkecuali, hingga ia jadi sadar. Di panggung muka itu, ialah panggung untuk kaisar menyaksikan pieboe, Kong Tiauw Hay perdengarkan suara nyaring berulang-ulang. Dia berteriak-teriak menitahkan pasukan raja menangkap Thio Tan Hong. Ketika dua soesiok, atau paman guru, dari Kong Tiauw Hay dikalahkan Tan Hong dan In Loei di selat Tjengliong Kiap, maka kedua orang itu — ialah Tiatpie Kimwan Liong Tjin Hong dan Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe — sudah lari pulang ke kota raja. Mereka ini telah bertemu dengan Kong Tiauw Hay, lalu mereka tuturkan tentang Tan Hong dan In Loei, terutama mereka lukiskan tegas roman Tan Hong. Tiauw Hay sangat perhatikan keterangan kedua guru itu, maka sekarang melihat Tan Hong, ia segera dapat mengetahui tidak peduli kedua paman gurunya tak turut menyaksikan pieboe itu. Sekian lama ia telah mengawasi Tan Hong, selama itu ia telah mengambil keputusannya, "lebih baik keliru menangkap orang daripada meloloskannya," maka juga, habis pieboe, ia maju kemuka panggung dan berikan titahnya itu. Semua orang menjadi heran, gemuruh pun lenyaplah. Barisan Gielim koen tidak kurang herannya. Dalam kesunyian setelah teriakan-teriakan Kong Tiauw Hay itu, menyusullan suara tertawa yang tajam dar nyaring, lalu tampaklah Thin Tan Hong lari ke muka — ke panggung muka — panggung kaisar, di atas mana Tiauw Hay tengah menuding kepada pemberontak yang ia titahkan menawannya. Tayiwee Tjongkoan itu tak dapat berteriak lebih jauh, begitu lekas Thio Tan Hong lari sampai di muka panggung, dia pun menjerit keras, tubuhnya terus terguling, jatuh ke bawah panggung. Karena Tan Hong tidak mau membiarkan orang pentang terus bacotnya, dia telah menghadiahkan hoeitjiam, senjata rahasia jarum yang liehay. Kembali orang kaget, mereka menjadi gempar. Semua pahlawan lantas lari maju, untuk memburu. Sekarang mereka tahu pasti, siapa yang dimaksudkan sebagai si pemberontak yang mesti ditawan itu. Tengah orang berlari-lari, di antara suasana kacau itu, Thio Tan Hong segera perdengarkan suitan mulut yang panjang, menyusul mana, dari satu jurusan datanglah kuda Tjiauwya saytjoe ma yang larinya sangat pesat, menuju ke arah majikannya. Thio Tan Hong lantas perdengarkan tertawa berkakakan. Dengan satu enjotan, tubuhnya sudah mencelat naik di bebokong kudanya, sesudah mana, ia mainkan pedangnya secara liehay. Sebab waktu itu, kecuali serdadu-serdadu yang memburu, anak-anak panah juga sudah datang saling sambar, maka anak panah itu mesti ditangkis, disampok jatuh, supaya tidak mengenai sasarannya. Tjiauwya saytjoe ma lari pesat sekali keluar lapangan tanpa ada yang bisa mencegah! Ong Tjin jadi sangat mendongkol, hingga tubuhnya gemetar. "Celaka betul!" teriaknya. "Lekas tawan si penanggung jawab, Thio Hong Hoe!" demikian ia berikan titahnya. "Tunggu dulu!" tiba-tiba terdengar raja mencegah. "Coba tanya dulu Kong Tiauw Hay, bagaimana duduknya perkara!" Raja memang tidak mengetahui duduknya perkara itu. Kong Tiauw Hay adalah seorang gagah, akan tetapi sekarang dia seperti tak berdaya. Saking sakitnya, dia rubuh dari atas panggung. Hoeitjiam tidak meminta jiwanya, akan tetapi jarum itu yang membuat jalan darahnya terganggu dan beberapa uratnya terluka. Untuk menolong dirinya, terlebih dahulu harus dicabut jarum rahasianya dengan kekuatan besi berani. Tapi ia tanggu, dan jatuhnya pun tidak membikin ia terluka parah, maka ia berbangkit, lalu dengan timpang ia bertindak mendaki panggung, untuk menghampiri raja. "Kau kenapa?" tanya kaisar. Tidak berani Kong Tiauw Hay bicara terus terang, ia malu, ia mesti lindungi nama baiknya. "Oleh karena kesusu hendak menawan pemberontak, budakmu telah terjeblos jatuh di pinggir panggung.....” demikian ia menjawab junjungannya itu. Kong Tiauw Hay adalah Tayiwee Tjongkoan, dengan diam-diam ia bersaingan dengan Thio Hong Hoe, kepala Gielim koen, komandan Kimie wie. Ia ingin rebut nama sebagai orang kosen nomor satu untuk kota raja. Tentu saja ia akan merasa malu kalau orang mengetahui ia rubuh di tangan orang sebawahannya Thio Hong Hoe itu. Bukankah Tan Hong pun tak dikenal? Mendengar jawaban tjongkoan itu, kaisar tertawa. "Apakah Thio Tan Hong itu benar-benar pemberontak?" tanya pula junjungan ini. "Benar," sahut tjongkoan itu. "Dia pernah melukai Taytongnia Thio Hong Hoe dari Gielim koen, dia pernah merampas persakitan utama dari tangan Thio Hong Hoe, yaitu putera pengkhianat pemberontak Tjioe Kian! Bukankah Thio Hong Hoe pernah melaporkannya semua kejadian itu? Si perampas persakitan utama itu adalah Thio Tan Hong!" Tanpa pikir panjang lagi, mengikuti kemendongkolannya, Kong Tiauw Hay telah mengucapkan kata-katanya itu. Dengan begitu juga hendak ia lindungi nama baik kedua paman gurunya yang telah dipecundangkan Tan Hong. Dengan begitu ia tumpahkan kesalahan atas diri Hong Hoe. Mendengar jawaban itu, raja tertawa berkakakan. "Aykeng, kau telah membuat kekeliruan!" kata raja ini. Ia memanggil "aykeng" — "hambaku yang disayang" kepada tjongkoan-nya itu. "Jikalau Thio Tan Hong itu pernah melukai Thio Hong Hoe, cara bagaimana sekarang Thio Hong Hoe kesudian menjadi penanggung atas dirinya? Aku lihat Thio Tan Hong itu meski benar dia kena dikalahkan In Tongnia, tidak lemah ilmu silatnya. Dia mempunyai roman yang baik, tenaganya juga dapat dipakai. Sayang kau menyebabkan dia menyingkirkan diri. Sekarang pergilah kau cari dia, untuk mengajak dia pulang, jangan kau membuat dia ketakutan terus menerus!" Kaisar Kie Tin ini, walaupun setiap hari dia dipengaruhi Ong Tjin, belum dapat dikatakan dia kaisar dungu, malah dia sebenarnya gemar juga memperlihatkan kecerdasannya. Demikian kali ini, dia anggap pandangannya jauh terlebih sadar daripada Kong Tiauw Hay, maka dia bergurau dengan hambanya itu, habis mana, dia menjadi puas sekali, dia anggap Kong Tiauw Hay tolol, telah mencari kepusingan sendiri. Thio Hong Hoe telah mendengar semua, dia keluarkan keringat dingin. Dia girang sekali yang raja tidak memperpanjang kejadian itu, kalau tidak, bisa sulit kedudukannya. Habis kekacauan itu, pieboe dilanjutkan pula. In Tiong telah menangkan dua kali, dia dapat hak untuk masuk dalam babak terakhir, karenanya, dia boleh beristirahat. Dengan majunya Tan Hong sebagai calon ke lima belas, masih ada sembilan calon lagi. Sudah diterangkan, cuma ada dua puluh empat calon yang berhak pieboe di atas ioeitay. Pertandingan dilanjutkan antara sembilan calon itu, kesudahannya ada satu orang, yang beruntung menang dua kali beruntun. Dia adalah Hoan Tjoen, salah satu dari tiga jago di kota raja Kengsoe samtoa kotjioe. Dialah adik kandung dari Hoan Tiong, itu Gietjian siewie, kepandaiannya Hoan Tiong yang mengajarkan. Dibanding dengan In Tiong, dia masih beda jauh, maka itu, sebelum pertandingan berakhir, belum sampai tiga puluh jurus, dia telah dirubuhkan In Tiong. Kembali terdengar suara gemuruh diseluruh lapangan. Sebagai penghormatan, In Tiong dikerebongi mantel sendiri oleh kaisar, yang mengumumkan dia adalah Boe tjonggoan. In Loei girang tak terhingga. Begitu pulang ke gedung Ie Kiam, dia nanti-nantikan In Tiong peroleh sesuatu jabatan, untuk In Tiong pindah keluar dari istana. Waktu itu dia berpikir akan minta bantuannya Thio Hong Hoe, supaya mereka dua saudara, kakak dan adik, diperkenalkan, dipertemukan satu dengan lain. Tapi, beberapa hari telah berselang, kabar yang ditunggu-tunggu itu tidak juga kunjung tiba, hingga, selainnya In Loei, Ie Kiam juga turut merasa heran. Menurut kebiasaan, siapa sudah diangkat jadi boe tjonggoan, sedikitnya dia akan diangkat menjadi tjiangkoen, jenderal, dia akan diberikan satu gedung tersendiri untuknya, jadi tidak usah dia berasrama lagi di dalam istana. Maka kali ini, sia-sia saja orang menantikan pengumuman dari kaisar tentang pengangkatan boe tjonggoan itu. Inilah kejadian yang langka. Ie Kiam menjadi bingung juga meski benar ia ada satu menteri, di dalam hal pemberian pangkat atau gelar atau hadiah, dia tidak punya hak untuk mencampurinya. In Tiong sendiri, setelah kemenangannya itu, terus terbenam dalam keragu-raguan, hingga ketika ramai orang memberi selamat, sama sekali ia tidak pernah tertawa. Ia kembali ke asrama, tetap ia menjadi pahlawan, kalau malam, masih ia bertugas meronda keraton. Di dalam istana terdapat batas di antara istana dan keraton. Keraton adalah istana bahagian dalam. Dan bahagian In Tiong adalah keraton, yang disebut iweeteng, perdalaman. Ketika ia kembali ke asramanya, dia lantas keram diri di dalam kamarnya, beberapa rekannya telah datang untuk memberi selamat, tetapi ia tidak mau menemuinya. Karena sikapnya ini, ada rekannya yang menganggap dia jadi angkuh dan kepala besar, tapi ada juga yang mengerti dan percaya bahwa dia sangat letih hingga dia perlu beristirahat. Hanya anehnya, sejak hari kemenangan itu, In Tiong lantas saja menjadi seorang yang pendiam, tidak lagi dia bergembira seperti biasa, malah dia nampaknya tak tenang. Ini pun sebabnya kenapa dia keram diri di dalam kamar. Cuma In Tiong sendiri yang ketahui kenapa ia bawa sikap yang luar biasa ini. Ia tahu, Boe tjonggoan itu ia dapatkan bukan karena kepandaiannya, ia hanya seperti dihadiahkan Thio Tan Hong, yang telah mengalah terhadapnya, hal ini membuatnya ia merasa malu sendiri. Tidakkah ia diberi hadiah oleh "musuh?" Tapi, gelar itu telah ia dapatkan, mustahil kalau ia kembalikan kepada Kaisar. Karena ini, ia jadi berpikir keras, makin ia berpikir, makin ruwet pikirannya. Demikian dalam keadaan bimbang dan berduka itu, tiba-tiba satu thaykam kecil datang padanya, mengetok pintu kamarnya, sambil berkata bahwa kaisar memanggil ia. In Tiong terkejut berbareng girang. Dengan lekas ia salin pakaian, terus ia ikut thaykam itu, melintasi lorong yang panjang, sampai di pendopo Boenhoa thian di mana terdapat giesie pong, kantor kaisar. Dalam kantor itu, yang apinya dipasang terang-terang tampak raja duduk seorang diri. Melihat datangnya Boe tjonggoan, raja memberi tanda kepada thaykam untuk mengundurkan diri sambil menutup pintu kamar. "Liehay keng punya ilmu silat, keng telah menjagoi di kolong langit ini, maka keng harus bergembira, seharusnya keng diberi selamat!" kata raja sambil tertawa. Dan ia beri selamatnya. Muka In Tiong menjadi merah. "Terima kasih untuk pujian Sri Baginda," kata ia, dengan likat. "Untuk budi Sri Baginda ini, walaupun hancur lebur tubuh sin, tidak dapat sin membalasnya." Dengan kata "sin," In Tiong membahasakan dirinya "hambamu." Kaisar awasi tjonggoan baru ini. "Sebenarnya keng asai mana?" ia tanya. ("Keng" adalah kata hormat seperti "kau" atau "kamu" untuk menteri.) In Tiong bersangsi ketika ia menyahuti: "Leluhur sin berasal dari Kayhong dipropinsi Hoolam." Mata kaisar bagaikan terbalik, ia menatap pula. "Kalau begitu," kata raja dengan sekonyong-konyong, "keng berasal dari satu kampung dan satu she dengan menteri In Tjeng dari pemerintah yang terdahulu. Pernah apakah keng dengan In Tjeng itu?" Terharu In Tiong, hingga lantas saja ia bertekuk lutut. 'In Kimsoe adalah sin empunya kakek," sahut ia. Ia menyebutnya "kimsoe" — "utusan kaisar" — terhadap engkong-nya itu. Sekian lama In Tiong sembunyikan diri sebagai turunan dari In Tjeng, yang dipandang sebagai "menteri yang berdosa," tidak berani ia memberitahukan itu kepada siapa juga, tetapi sekarang, ditanya raja, tidak berani ia mendusta. Raja pun terkejut, wajahnya sampai berubah. "In Tjonggoan, adakah keng mengandung rasa benci terhadap tim?" dia tanya. ("Tim" adalah istilah raja membahasakan dirinya sendiri selagi bicara dengan menterinya.) In Tiong merasa hatinya sakit bagaikan disayat-sayat. "Kakek sin itu sangat setia terhadap negaranya, maka itu sin mohon semoga Baginda suka mencuci bersih noda atas namanya itu," ia mohon. Setelah mengucap demikian, air matanya segera bercucuran. Raja tidak mengeluarkan air mata akan tetapi ia berpura-pura menyusut matanya. "Kakekmu itu setia, inilah tim ketahui," ia kata. "Dalam hal tim menghadiahkan ia kematian, itulah sebenarnya bukan kehendak tim sendiri....." In Tiong heran, ia angkat kepalanya akan mengawasi kaisar. "Hanya," kaisar lantas menambahkan, "untuk tim mencuci noda kakekmu itu, guna memulihkan kehormatannya, haruslah ditunggu lain hari.....” Benar-benar, kaisar ini bukan kaisar tolol, dia tidak berdaya karena sejak kecil dia selalu dikekang Ong Tjin, hingga dia tak dapat berdiri sendiri. Pernah dia memikirnya, berulangkah, untuk merampas kembali kekuasaan, haknya sebagai kepala pemerintahan, tetapi pengaruh Ong Tjin besar sekali, hingga dia merasa sulit. Maka tidak ada lain jalan daripada bertindak dengan perlahan-lahan, untuk ini, dia juga perlu mengumpulkan tenaga-tenaga pembantu, akan mengimbangi kekuatan kawannya si dorna kebiri. Sekarang dia lihat In Tiong setia, dan In Tiong kebetulan bermusuh dengan Ong Tjin, orang semacam In Tiong inilah yang sedang dicari. In Tiong sementara itu sedang menangis tersedu-sedu mengetahui kakeknya telah menjadi korbannya Ong Tjin, tidak peduli dihadapan raja tidak dapat ia kuatkan hati lagi. Sekarang telah berubah pandangannya, maka ia mengambil keputusan akan bekerja untuk raja ini, supaya ia dapat membantu menyingkirkan dorna. Raja mengawasi Boe tjonggoan itu, ia tunggu sampai orang menyeka kering air matanya, lalu ia bersenyum dan berkata: "Keng, janganlah kau terburu napsu, kau mesti bersabar, sekarang ini belum sampai ketikanya hingga tak dapat kita menggeprak rumput membikin ular kaget.....” "Jikalau diperkenankan Sri Baginda," In Tiong lantas minta, "sin mohon diberikan tugas di tapal batas, untuk sin memimpin suatu pasukan, supaya bila dikemudian hari tiba saatnya untuk berperang, sin nanti bisa mengumpulkan pasukan-pasukan yang bersetia kepada Sri Baginda. Bila sin mempunyai kekuasaan ketentaraan, sesudahnya memukul mundur angkatan perang Watzu, sin akan segera pulang ke dalam negeri untuk menyapu bersih kawanan dorna!" Raja bersenyum pula. "Tindakan itu pun harus dilakukan dengan sabar," kata dia. Mendengar ini, In Tiong menjadi lesu. Ketika ia pandang kaisar, raja itu sedang mengawasi dia. Kaisar sudah lantas tertawa. "Bukankah boe kiedjin yang tadi bertanding dengan kau bernama Thio Tan Hong?" raja ini tanya. "Tim lihat ilmu silatnya tak dapat dicela!" In Tiong merasakan mukanya panas, hatinya pun berdebar. Ia kertek giginya, untuk dapat menguasai diri. "Harap Sri Baginda mengetahui," dia berkata, "ilmu silat Thio Tan Hong itu sebenarnya berada di atasan sin. Gelar Soe tjonggoan ini pun aku peroleh karena dia mengalah dan memberikannya kepada sin." Kalau tadinya ia merasa tidak tenang, setelah mengucapkan kata-katanya yang terachir ini, hati In Tiong menjadi lega. Wajah raja sedikit berubah setelah mendengarkan perkataan tjonggoan itu. Tiba-tiba dia tertawa pula sambil terus mengatakan: "Keng benar jujur! Sebenarnya, tanpa kau mengatakannya, itu sudah dapat dilihat.....” In Tiong terperanjat, ia heran. "Raja tinggal di dalam istana, dia tentunya tidak mengerti ilmu silat, ia sekarang ketahui Tan Hong mengalah, inilah aneh," pikirnya. "Sekalipun ahli-ahli silat di sekitar Ioeitay tidak ada yang sadar akan peranan Tan Hong itu....." Benar-benar boe tjonggoan itu tak mengerti. "Tahukan kau, orang macam apa Thio Tan Hong itu?" tanya pula raja kemudian. "Tentang ini justeru sin hendak menuturkan kepada Sri Baginda," jawab In Tiong. "Thio Tan Hong adalah puteranya Thio Tjong Tjioe, menteri muda dari negara Watzu. Dia sekarang melusup masuk ke dalam negeri kita, sin kuatir dia mengandung maksud yang tidak baik.....” Raja agaknya heran. "Apa, dia puteranya Thio Tjong Tjioe?" dia ulangi. "Ya," In Tiong pastikan. "Mengenai dia, mungkin Thio Hong Hoe belum tahu jelas, cuma karena melihat dia pandai silat, maka Hong Hoe berikan pertanggungannya. Thio Tongnia setia, sin mohon dia tidak dicurigai." "Siapa tidak bersalah, dia tidak dapat dipersalahkan," kata raja. "Tentang kecurigaan, ah, sebenarnya tim tidak mencurigai Thio Hong Hoe....." In Tiong terperanjat, wajahnya sampai pucat. "Thio Tan Hong mengalah, dia serahkan gelar Boe tjonggoan kepada sin, tidaklah mengherankan jikalau Baginda merasa curiga ia lekas berkata. "Harap Baginda ketahui, Thio Tan Hong itu adalah musuh keluarga sin\" Untuk membuktikan perkataan ini, In Tiong terus tuturkan duduknya permusuhan itu dan akhirnya ia perlihatkan surat wasiat dari kakeknya. Setelah mendengar dan menyaksikan itu, raja tertawa. "Aku pun tidak curigai kau," katanya kemudian. "Sepak terjang Thio Tan Hong itu, menurut penglihatan tim, adalah untuk melepas budi atas dirimu, supaya kau melupakan permusuhan kekeluargaan itu, dan juga tentang sakit hati negara. Tim lihat, kau tentunya tidak akan terpedayakan dia.....” In Tiong setujui pendapat raja itu. "Sekarang kemari kau," kata pula raja, kemudian. Tim hendak perlihatkan keng sehelai gambar lukisan." Raja menghampiri lemari bukunya, lalu membuka pintunya, akan mengambil gambar yang ia maksudkan itu. Di situ terlukis satu orang yang memakai mahkota, jubanya bersulamkan naga-nagaan, romannya keren. "Coba keng lihat, miripkah Thio Tan Hong dengan orang dalam gambar ini?" tanya raja setelah ia menunjukkan gambar itu. In Tiong awasi gambar itu, ia terperanjat. Ia tampak potongan muka dan tubuh yang sama, kecuali orang dalam gambar ini ada terlebih kasar, kalah halus dan tenang dengan Thio Tan Hong. "Mungkinkah Thio Tan Hong seorang anggauta keluarga raja?" ia menduga-duga dalam hatinya. "Tidakkah mereka agak mirip?" raja menegaskan. "Ya, mirip," sahut In Tiong, suaranya tak tegas. Sekonyong-konyong wajah raja berubah, secara tiba-tiba dia tuding gambar itu sambil mengatakan dengan keras: "Kau telah mati tetapi kau tidak meramkan mata, kau masih menugaskan anak cucumu untuk merampas negaraku?" In Tiong kaget, ia heran bukan main. "Dia..... dia siapakah?" ia tanya. Raja menyahut sambil tertawa tawar: "Raja bangsat di dalam gambar ini adalah Thio Soe Seng, kaisar dari kerajaan Tjioe yang palsu!" dia jawab. "Thio Tjong Tjioe dan Thio Tan Hong adalah anak cucunya! Hm! Dia pakai nama Tjong Tjioe, bukankah dengan itu dia bermaksud meminjam tenaga bangsa asing untuk membangunkan pula kerajaan Tjioe itu, untuk memusnakan kerajaanku?" Inilah untuk pertama kali yang In Tiong ketahui Thio Tan Hong adalah turunan Thio Soe Seng. Inilah di luar dugaannya. Maka itu, ia jadi menjublek saja, tak dapat ia mengatakan suatu apa. Tapi, dalam hatinya, ia berpikir: "Pantas mereka ayah dan anak sangat membenci kerajaan Beng. Hanya heran, cara bagaimana Sri Baginda ketahui ini? Raja sudah ketahui Tan Hong siapa, kenapa ia tidak titahkan menawan Tan Hong selagi pieboe berlangsung?" Raja seperti tidak mempedulikan orang terheran, ia berikan keterangannya terlebih jauh. Ia kata: "Ketika dahulu Thio Soe Seng perebutkan negara dengan leluhurku, mereka telah melakukan pertempuran yang memutuskan disungai Tiangkang. Dia kalah, dia pun terbinasa. Menurut ceritera, pada saat menghadapi ajalnya yang terakhir, Thio Soe Seng sudah pendam kekayaannya, yang berupa emas dan, perak dan permata mulia, di suatu tempat di daerah Souwtjioe. Di situ terpendam tidak hanya harta besar itu, juga sehelai peta bumi negara, di mana terlukis jelas tempat-tempat yang penting untuk pergerakan tentara. Kalau peta itu tetap masih ada, itulah berbahaya sekali untuk keamanan negara, karena itu, leluhurku telah meninggalkan pesan agar turunan keluarga Thio itu dibasmi habis, supaya harta dan peta itu dicari, agar dengan secara demikian, amanlah kerajaan Beng. Thio Tan Hong sudah lolos, mestinya dia terus meninggalkan kota raja, tim duga dia pasti menuju langsung ke Souwtjioe, untuk mencari tempat menyimpan harta dan peta itu. Sekarang tim berikan keng seekor kuda, dengan itu keng mesti segera pergi ke Souwtjioe, untuk menyusul Thio Tan Hong. Tugas keng adalah, selama Thio Tan Hong belum berhasil membongkar harta dan peta itu jangan keng turun tangan atas dirinya, adalah setelah ia berhasil mendapatkan harta dan peta itu, baharu keng bunuh padanya, keng rampas harta dan peta itu, untuk dibawa pulang, untuk diperlihatkan kepada tim." In Tiong bergidik seorang diri, ia sampai tidak menyahuti raja. Raja pun melanjutkan perkataannya. Ia bicara sambil tertawa. "Akan tim titahkan tujuh pahlawan untuk turut kau, guna membantu padamu," katanya. "Kamu nanti bertemu di Souwtjioe saja. Jangan kau kuatir." In Tiong terima tugas ini. Ia pikir, meskipun Tan Hong lebih gagah daripadanya tapi dengan mendapat bantuan dari tujuh pahlawan pilihan, pasti dia akan dapat kemenangan. Ia hanya tidak tahu, kenapa raja ketahui asal-usul Thio Tan Hong. Sebenarnya, duduknya hal, ada sederhana saja: Thio Tan Hong turut dalam ujian setelah ia memikir masak-masak, ia sudah mengatur rencana. Ia telah siap sedia bila ada orang hendak turun tangan terhadap dirinya. Karena ini, sesudah bertanding dengan In Tiong, dan Kong Tiauw Hay memberi titah untuk membekuk padanya, dia mendahului turun tangan. Begitu lekas dia telah menghadiahkan jarum rahasia kepada Kong Tiauw Hay, begitu juga ia lemparkan segumpal kertas ke arah raja. Itulah kertas yang ia tulis dan sediakan siang-siang. Ia memang mempunyai kepandaian luar biasa dalam hal melepaskan senjata rahasia. Bukan saja oran lain, raja sendiri tidak merasa yang orang telah menimpuki dengan segumpal kertas kecil itu, yang tepat masuk ke dalam sakunya. Adalah sekembalinya ke keraton, selagi hendak beristirahat, raja dapatkan gumpalan kertas itu. Di dalamnya lebih dahulu Tan Hong membeber rahasia bangsa Watzu akan menyerbu Tionggoan, lantas ia beri nasihat supaya raja membedakan menteri-menteri setia dari dorna supaya raja bersiap sedia menghalau serbuan dari luar. Tan Hong juga memberi bukti dari hal persekongkolan antara Ong Tjin dan raja Watzu dan dimintanya raja bersiap-siap juga. Habis itu baharu Tan Hong tuturkan yang ia, ialah keluarganya, bermusuhan dengan keluarga raja. Meski begitu, ia jelaskan dalam suratnya itu, jikalau raja bersungguh-sungguh hendak melawan musuh, ia bersedia untuk membasmi permusuhan di antara mereka. Akhirnya, Tan Hong beri nasihat supaya raja jangan lagi mencelakai menteri-menteri setia, kalau tidak, hendak ia ambil kepala raja itu. Ia kata, untuk mengambil kepala raja, kerjaannya sama gampangnya seperti orang membalikkan telapak tangan. Terang dan jelas bunyi surat itu, halus dan keras sifatnya. Tan Hong ambil sikap demikian karena ia masih menyintai negaranya, tidak peduli negara itu sedang diperintah oleh musuhnya. Ia hanya tidak sangka, bagaimana nanti kesan raja setelah raja membaca suratnya itu. Mulanya raja terperanjat, kemudian ia berpikir. "Kenapa di dalam dunia ada manusia tolol semacam dia?" demikian pikir raja ini mengenai Tan Hong. "Jikalau dia tidak siang-siang disingkirkan, bukankah jiwaku terancam di dalam tangannya?" Lantas raja menduga, mestinya Tan Hong ada turunan Thio Soe Seng. Bukankah Tan Hong menyebut-nyebut permusuhan keluarga? Untuk dapat kepastian, ia keluarkan gambar Thio Soe Seng, yang disimpan di dalam keraton. Melihat tampang Thio Soe Seng, raja kaget. Tampang itu mirip dengan tampang Tan Hong. Maka ia percaya, tak salah lagi dugaannya itu. Karena ini, ia tak mengambil mumat lagi atas kebaikan Tan Hong, yang sudah membeber rahasia dorna dan memberikan ia nasihat, sebaliknya, ingin ia membinasakan Tan Hong. Begitulah ia berikan tugasnya kepada In Tiong. Thio Tan Hong, dalam tindakannya menulis surat kepada kaisar, untuk membuka rahasia dorna dan memberi nasehat, ada seumpama orang memainkan tabuhan kim terhadap seekor kerbau, hasilnya tak usah diharap. Hanya, ada juga sedikit kebaikannya, yaitu yang mengenai Thio Hong Hoe. Yaitu, sebelum Tan Hong tertawan, raja tidak berani mengambil tindakan apa-apa terhadap pemimpin Gielim koen dan Kimie wie itu. Demikian, karena tugasnya ini, In Tiong seperti telah menghilang dari kota raja. Pada hari kedua, dia sudah lantas berangkat secara diam-diam. Dia mendapat kuda istana, kuda itu tidak dapat menandingi Tjiauwya saytjoe ma, kuda Tan Hong, akan tetapi perbedaannya tidak seberapa, cuma enam atau tujuh hari. Setelah melewati dua propinsi Hoopak dan Shoatang, dia menuju ke propinsi Kangsouw, pada suatu hari tibalah ia di kecamatan Gouwkoan, yang bertetangga dengan kota Souwtjioe, maka itu, dia mulai memperlambat kudanya. Jarak kedua kota itu cuma setengah hari perjalanan. Kanglam adalah satu daerah yang indah, yang kesohor, In Tiong dapat kesempatan untuk melihat-lihat. Pernah ia menyaksikan gurun pasir, yang gundul, yang berhawa panas, sekarang ia menyaksikan Kanglam, sungguh suatu perbedaan besar. Ia merasa seolah-olah hatinya terbuka. Malah ia insaf juga, sebenarnya hidup bergulat, untuk memperebutkan nama, tidak ada artinya.....” Setelah berjalan sekian lama, In Tiong singgah di depan sebuah telaga. Ia turun dari kudanya, ia rebahkan diri di tepi telaga itu, yang airnya jernih dan indah. Langit waktu itu bersinar kebiru-biruan. Dekat tempat In Tiong berbaring terdapat sebuah kuburan tua, selagi berpaling ke arah kuburan itu, matanya terpaku pada batu bongpay atau nisan, yang ada huruf-hurufnya. Ia lantas mengawasi, hingga dapat ia baca huruf-huruf ukiran itu. Ia menjadi heran sekali. Bongpay itu berbunyi: "Kuburan Tantai Mie Ming." "Tantai Mie Ming menjadi jenderal bangsa Watzu," ia berpikir, "bulan yang lalu dia masih ada di Pakkhia, kenapa sekarang di sini terdapat kuburannya. Kenapa kuburan ini beda daripada yang lainnya? Teranglah ini bukan kuburan baru.....” Keras In Tiong berpikir, ketika tiba-tiba datang satu bocah angon, di tanduk kerbaunya tergantung sejilit buku. Dengan perlahan bocah itu berjalan di tepi telaga. "Engko kecil, numpang tanya, tempat ini tempat apa?" In Tiong tegur bocah itu. "Dan kuburan ini kuburan siapa?" Bocah itu memandang orang yang menanya dia, dia tertawa. "Tuan tentu orang yang datang dari tempat jauh," ia menyahut. "Desa ini dipanggil Tamtay Tjoen, dan telaga ini dinamakan Tamtay Ouw. Dan kuburan ini, inilah kuburan leluhur keluarga kami." In Tiong menjadi tambah heran. "Apa?" dia tanya pula. "Kuburan kaum keluargamu?" Bocah itu tertawa pula. "Tuan, aku lihat kau tidak mirip dengan orang yang tidak bersekolah," dia kata. "Mustahil sampaipun Tamtay Biat Beng macam apa kau tidak tahu?" In Tiong melengak. "Tahukah kau akan pepatah yang berbunyi, "Melihat orang dari romannya saja, orang akan keliru mengenali Tjoe Ie?" bocah itu kembali menanya. Ditanya begitu, In Tiong menjadi kurang senang. "Ah, engko kecil, kau menguji aku!" dia kata. "Pepatah itu adalah kata-katanya Khong Hoe Tjoe. Tjoe Ie adalah muridnya Khong Hoe Tjoe, dia pandai, cuma dia beroman jelek. Maka itu Khong Hoe Tjoe mengatakannya demikian. Artinya ialah supaya melihat orang tidak dari romannya saja." "Ya, benarlah begitu," kata bocah itu. "Leluhur kami, Tamtay Biat Beng, adalah salah satu dari ke tujuh puluh dua murid Khong Hoe Tjoe, alias Tjoe Ie. Siapa saja, yang telah membaca kitab Soe Sie, pasti mengetahui tentang ini. Telaga ini mulanya adalah tempat kedudukannya rumah keluarga kami, kemudian karena suatu perubahan alam, tanah ini melesak ke dalam, lalu berubah menjadi telaga, maka itu, namanya dipanggil Tamtay Ouw. Tentang ini, dalam buku riwayat kecamatan kami, ada catatannya." Penyahutan bocah itu membuatnya In Tiong melengak. Guru In Tiong, yaitu Tang Gak, adalah seorang boenboe tjoantjay, yang paham ilmu surat dan ilmu silat berbareng, maka itu selama In Tiong ikuti gurunya, ia juga sekalian belajar surat, hingga pernah ia membaca buku klassik. Memang, di antara murid-murid Khong Hoe Tjoe, ada yang bernama Tamtay Biat Beng itu. Ia ingat sekarang bagaimana pada waktu bermula ia dengari nama Tantai Mie Ming, panglima bangsa Watzu itu, ia merasa lucu, hingga ia tertawa dalam hatinya, sebab seorang militer, malah seorang asing, memakai nama seorang yang terpelajar dalam ilmu surat pada jaman dahulu. Ia mengira, "Tantai" itu she bangsa Mongolia, begitupun nama "Mie Ming" itu. Tapi sekarang ia dapat kenyataan, Tamtay Biat Beng itu benar-benar ada, malah kuburannya masih ada dikecamatan Gouwkouw ini, Kangsouw. Tapi ia percaya, kuburan ini mungkin pernah diperbaiki oleh turunannya, meskipun bentuk kuburan, bentuk bongpay dan huruf-hurufnya sedikit mirip dengan jaman setelah kerajaan Tjin atau Han, jadi bukan kuburan buatan jaman Tjoen Tjioe. Perbedaannya ialah dalam cara membacanya, antara Tantai M i e Ming dan Tamtay Biat Beng. Bocah itu tertawa, ia kata: "Melihat orang dari romannya saja, orang akan keliru mengenali Tjoe Ie, maka sekarang terbuktilah kata-katanya nabi!" Lalu, habis mengucap demikian, ia bawa serulingnya ke mulutnya, untuk meniup lagu, sedang kerbaunya ia jalankan perlahan-lahan.....” In Tiong awasi orang berlalu, sambil memikirkan pepatah itu, yang benar-benar tepat. Ia jadi berpikir keras: "Kalau begitu, aneh Tantai Mie Ming itu. Itulah nama orang Han. Kenapa dia memakainya sebagai she dan namanya sendiri? Sengajakah dia memakai nama sasterawan jaman dahulu itu? Tantai Mie Ming beroman keren dan jelek, ia dapat disamakan dengan Tamtay Biat Beng, tetapi tentang kepintaran dan penghidupannya tidak. Dia telah pergi dan tinggal di negara asing dengan memakai nama asing juga! Adakah ia mengandung sesuatu maksud? Yaitu ia ingin orang jangan hanya memandang ia dari romannya saja? Atau mungkinkah nama Mie Ming itu ia pakai justeru untuk diartikan sebagai kenyataannya, yaitu untuk membikin musnah kerajaan Beng? Mungkinkah Tantai Mie Ming bercita-cita demikian besar?" Setelah beristirahat cukup, In Tiong berbangkit, untuk melanjutkan perjalanannya. Ia memasuki dusun Tamtay Tjoen itu. Karena ia telah peroleh kesan, masih ia pikirkan halnya Tantai Mie Ming. Ia ingat ketika malam itu ia serang si pangeran asing di Tjengteng. Tantai Mie Ming benar-benar kosen, tapi Mie Ming tidak menurunkan tangan jahat terhadap dirinya. Ia ingat juga kepada pieboe di dalam rumah Thio Hong Hoe, waktu itu secara diam-diam Tantai Mie Ming telah menghalau musuh. Ia jadi seperti dibikin pusing. "Ah, sudahlah!" katanya kemudian seorang diri. "Kenapa aku mesti pusingkan kepala bahwa dia Tantai Mie Ming atau Tamtay Biat Beng?" Ia tertawa seorang diri, ia jalan terus. Hari waktu itu sangat panas, In Tiong merasa sangat berdahaga, tenggorokannya kering. Ia hanya merasa aneh, kenapa tempat itu tidak seperti kebanyakan tempat di Kanglam — umpamanya Souwtjioe dan Hangtjioe — di mana banyak kedapatan warung teh atau arak. Sekarang, dia telah melintasi dua petak sawah di kiri dan kanannya, tapi tak tampak olehnya orang membajak sawah, di situ tidak ada warung teh atau arak. "Mungkinkah Tamtay Tjoen ini tidak ada penduduknya?" akhirnya In Tiong tanya dirinya sendiri. Ia menengok kesana kesini, ia jalankan kudanya terus. Ia rasakan lehernya semakin kering. Syukur baginya, akhirnya ia tampak juga sebuah warung teh model paseban dan penjualnya adalah seorang wanita tua. Baharu sekarang ia bisa tertawa. "Begitu jauh aku berjalan, baharu sekarang aku dapatkan tempat untuk minum teh," kata dia seorang diri. "Syukur tidak semua tempat di daerah ini ada semacam dusun ini, kalau tidak, boleh aku anggap bahwa aku tengah membuat perjalanan di padang pasir.....” In Tiong tambat kudannya, ia memasuki paseban. "Ada tamu! Anak Beng, tuangkan teh!" kata si nyonya tua, yang dengan manis menyambut tetamunya. Dari ruang dalam lantas muncul satu bocah wanita umur kira-kira empat atau lima belas tahun, ia membawa tehkoan serta cangkirnya, terus ia tuangkan teh hijau ke dalam cangkir itu, yang disuguhkan kepada tetamunya itu. Anak dara itu berpakaian kain kasar akan tetapi dia mempunyai kulit halus. "Memang Kanglam indah tanahnya, sekalipun penduduk desanya tak sembarang," pikir In Tiong. Oleh karena iseng, In Tiong ajak si nyonya tua bicara, ia tanyakan she-nya. "Kami di sini satu desa, semua penduduknya she Tamtay," sahut orang tua itu. "Untuk aku, cukup kau memanggilnya Tamtay Toanio." Selagi dua orang ini bicara, satu penunggang kuda lewat di depan paseban itu. Orang ini beroman kasar. Tanpa turun dari kudanya, dia bertanya dengan suaranya yang kaku: "Eh, orang tua, ingin aku bertanya, adakah kemarin seorang mahasiswa yang menunggang kuda putih lewat di sini atau tidak?" "Mahasiswa berkuda putih!" pikir In Tiong, yang menjadi kaget sendirinya. Tidak salah, orang mesti maksudkan Thio Tan Hong. Nyonya tua itu membuka kedua matanya lebar-lebar. "Aku tidak dengar nyata!" dia sahuti. Penunggang kuda itu lompat turun dari kudanya. "Aku tanya kau, adakah kau lihat seorang anak sekolah yang naik seekor kuda putih?" dia ulangi pertanyaannya, suaranya keras, seolah-olah menggetarkan genteng. Nyonya itu membuka matanya dan mulutnya ternganga, tetapi ia bungkam. Gusar penunggang kuda itu. "Taruh kata kau tuli, tapi seharusnya kau dapat melihat!" dia berteriak. Dia bertindak masuk ke dalam paseban, agaknya dia hendak menjambret si nyonya tua. In Tiong heran. Tidak dapat ia biarkan kejadian kurang ajar itu di hadapannya, maka itu, sebelum tangan kasar si penunggang kuda mengenai si nyonya tua, ia mendahului melonjorkan tangannya sendiri, untuk mencegah. Ia kerahkan tenaga dalam Taylek Kimkong Tjioe, karena mana, hampir saja penunggang kuda itu terpelanting. Dia jadi kaget, dia mengawasi dengan tidak berani bertindak kasar terlebih jauh. In Tiong pandang orang itu, ia tertawa. "Kalau mau bicara, bicaralah dengan baik-baik, untuk apa kau bergusar?" katanya. "Nyonya tua ini kupingnya kurang sempurna.....” Sebenarnya nyonya itu tidak tuli, tadi pun ia dapat bicara seperti biasa dengan In Tiong. Si anak muda mengatakan demikian hanya untuk meredakan suasana. Si nyonya tua tertawa mendengar perkataan orang itu. "Kupingku ini aneh," kata dia. "Kalau suara terlalu keras, aku tidak dapat dengar, begitupun suara terlalu perlahan, aku tidak dapat dengar juga, hanya suara yang tidak keras dan tidak perlahan, baharu aku dapat dengar nyata. Tadi kau menanyakan apa? Coba kau ulangi." Penunggang kuda itu kendalikan hawa amarahnya. "Aku ingin menanya tentang seorang mahasiswa yang menunggang kuda putih," demikian ia ulangi pertanyaannya, "apakah dia telah lewat di sini?" "Oh, mahasiswa penunggang kuda putih?" kata si orang tua. "Ya, benar! Kemarin ada seorang mahasiswa menunggang kuda putih, tepat pada waktu seperti ini telah lewat di sini. Dia malah telah meninggalkan pesan kepadaku, yaitu kalau ada orang yang menanyakan tentang dia, dia minta disampaikan undangannya pada orang itu untuk besok tengah hari pergi ke Souwtjioe guna membuat pertemuan di Koaywa Lim, dia akan mengundang minum arak." Begitu dengar jawaban itu, tanpa berkata suatu apa lagi, si penunggang kuda lari kepada kudanya, lalu lompat naik ke bebokongnya, untuk segera dikaburkan. Si nyonya tua mengawasi sambil tertawa dingin. "Anak Beng, kau catat!" dia berkata. Nona muda tadi, yang duduk di satu pojok sambil menyulam, menyahuti: "Sudah dicatat!" Terus dia balik sulamannya, maka di situ terlihat sulaman dari tujuh tangkai bunga merah, ada yang benar, ada yang kecil. Ia pun menambahkan: "Inilah yang ke tujuh!" In Tiong berdiam, ia merasa heran. Ia duga nyonya tua dan si nona muda itu bukan sembarang orang. Tapi ia tidak takut, ia percaya akan kepandaiannya sendiri. Maka itu, ia pun tidak ambil mumat pantangan kaum kangouw untuk jangan lancang mencampuri utusan lain orang. "Siapakah mahasiswa penunggang kuda putih itu?" demikian ia tanya. "Dan di manakah letak Koaywa Lim?" Nyonya tua itu pandang tetamunya, ia tertawa. "Tuan, kau seorang baik, aku suka memberi keterangan padamu," ia jawab. Koaywa Lim letaknya di dalam kota Souwtjioe, itu adalah tempat untuk menghamburkan uang. Katanya dahulu, pada masa Thio Soe Seng menjadi kaisar di Souwtjioe, di sana ia telah membangun satu istana peristirahatan. Kemudian, ketika Thio Soe Seng terbinasa dalam peperangan, Koaywa Lim disita pembesar negeri, sebab dipandang sebagai milik pemberontak, lalu dijual. Sekarang ini pemilik dari Koaywa Lim itu adalah Kioetauw Saytjoe In Thian Sek si Singa Berkepala Sembilan, dia membuatnya menjadi taman yang besar, menjadi tempat pelesir dan judi, hingga dia mendapat untung besar terdiri dari uang tak halal, uang itu terus dipakai membeli sawah dan tanah, sampai dia membelinya ke-kecamatan Gouwkoan ini. Begitulah, tanah di dusun Tamtay Tjoen ini, dalam sepuluh bahagian, tujuh atau delapan bahagian telah menjadi kepunyaannya." "Jikalau begitu, Kioetauw Saytjoe itu adalah okpa besar!" kata In Tiong. Dia menyebutnya "okpa," — "hartawan jagoan." "Bagaimana mengenai si mahasiswa berkuda putih? Apakah hubungannya dengan dia itu?" "Nanti aku jelaskan," sahut si nyonya tua, yang suka berbicara dengan anak muda ini. "Tempat di mana pasebanku ini berdiri adalah tanah miliknya Kioetauw Saytjoe, setiap bulannya dia pungut sewa sebanyak tiga tail enam tjhie. Mengenai sewa tanah itu, kami sudah berhutang tiga bulan. Kemarin Kioetauw Saytjoe mengirimkan dua guru silatnya, mereka ini memaksa hendak membawa anak Beng untuk dijadikan budak, katanya sebagai tanggungan dari hutang kami itu. Kebetulan tengah kita berbicara, si mahasiswa penunggang kuda putih itu lewat di sini, dia singgah, begitu dia ketahui duduknya perkara,dia lantas tolongi kami membayar hutang itu. Itu belum semua, dia juga telah menghajar kedua guru silat itu hingga mereka sungsang sumbel." Si nona muda tiba-tiba campur bicara: "Tetapi, ibu, si mahasiswa itu tidak memukul orang itu! Sebaliknya kedua guru silat itu yang memukul padanya! Ah, sungguh menarik hati! Baharu saja kepalannya kedua guru silat itu mengenai tubuh si mahasiswa, lantas mereka menjerit kesakitan, sama sekali tidak terlihat si mahasiswa membalas menyerang, tahu-tahu kedua guru silat itu rubuh terguling-guling. Ketika kemudian mereka dapat merayap bangun, aku lihat kepalan mereka menjadi bengkak matang biru, sebesar mangkok! Tuan, kau tentu banyak pengalaman, luas pengetahuanmu, tahukah kau ilmu silat apa yang digunakan si mahasiswa itu?" "Aku tidak tahu," jawab In Tiong, sekalipun ia tahu betul, si anak muda pasti telah menggunakan tipu silat Tjiamie sippattiat atau sebangsanya yang liehay. "Kedua guru silat itu tidak berdaya, cuma mulutnya yang besar," kata si nyonya tua. "Begitulah terhadap si mahasiswa berkuda putih itu, mereka menantang, katanya: Jikalau kau benar laki-laki, pergilah ke Koaywa Lim untuk menemui Kioetauw Saytjoe kami. Atas itu, si mahasiswa tertawa besar, sambil tertawa melenggak, dia jawab: Lagi dua hari, akan aku pergi menemui dia! Hendak aku lihat, bagaimana galaknya Kioetauw Saytjoe itu!" In Tiong heran. Ia jadi berpikir: "Thio Tan Hong pergi ke Souwtjioe terang-terang untuk mencari harta benda leluhurnya, kenapa sekarang dia mencampuri urusan ini? Dia telah bertentangan dengan satu okpa besar, apa dia tidak kuatir rahasianya nanti terbuka? Jikalau dia hendak berbuat baik, sudah cukup bila dia menghajar kedua guru silat itu dan menolong melunaskan hutang sewa tanah nyonya tua ini dan anaknya. Di kolong langit ini, bangsa okpa sangat banyak dan tak akan habis dengan dihajar saja..... Bukankah dia mempunyai urusan sangat penting, cara bagaimana dia dapat dengan gampang berlaku usilan?" Berpikir sampai di situ, In Tiong tetap tidak mengerti. Ia ingat, Thio Tan Hong itu cerdik sekali, tindak tanduknya senantiasa secara rahasia, yang mengandung maksud dalam dan sukar diduga-duga. Si nyonya tua belum bercerita habis, maka itu dia menambahkan: "Mahasiswa penunggang kuda putih itu, setelah menghajar kedua guru silat hingga mereka itu kabur pergi, sudah lantas berkata kepadaku: pergi kau beritahukan semua orang lelaki di desamu ini, titahkan mereka untuk pergi ke Koaywa Lim guna menyaksikan keramaian, di sana aku mempunyai uang untuk dibagi-bagikan kepada mereka. Tuan, kau tentu tidak menghendaki uangnya itu, sebaliknya, kau tentu sudi menonton keramaian, bukan?" In Tiong manggut. "Sudah lama aku dengar perihal keindahan taman-taman di Souwtjioe," ia menyahut, "kebetulan akan ada keramaian, sudah pasti aku suka pergi ke sana!" Habis berkata, ia membayar tehnya sambil melirik kepada si nona muda, maka terlihatlah olehnya, nona itu sudah menyulam bunga merah yang ke delapan! In Tiong kaburkan kudanya, yang dapat lari keras, sebelum matahari terbenam, dia sudah sampai di Souwtjioe. Yang pertama ia lihat adalah jalan besar yang lantainya berbatu besar kecil dan berwarna belang, yang teratur rata dan rapih, sedang rumah-rumah nampaknya indah, umumnya berbeda daripada yang biasa terlihat di lain-lain kota. Juga terdapat banyak pohon-pohonan, umpamanya pohon-pohon gouwtong dan yanglioe, yang muncul keluar dari tembok-tembok pekarangan. Rumahnya di mana-mana terdapat taman. Jadi Souwtjioe beda jauh sekali daripada gurun pasir. Diam-diam ia menghela napas dan berkata dalam hatinya: "Benarlah perkataan, Sang Yoe Thian Tong, Hee Yoe Souw Hang!....." "Siang Yoe Thian Tong, Hee Yoe Souw Hang" berarti: "Di atas langit ada sorga, di muka bumi ada kota-kota Souwtjioe dan Hangtjioe." Berhubung dengan tugasnya, In Tiong lantas pergi ke kantor soenboe. Ia minta keterangan tentang tujuh pahlawan dari kota raja, yang diperbantukan kepadanya. Ia dapat kenyataan, belum satu dari ke tujuh orang itu yang tiba. Tapi ia mesti menjalankan tugas, tanpa pembantu, ia suka lantas bekerja. Bukankah ia telah mendengar halnya Thio Tan Hong, ke mana tujuan si mahasiswa berkuda putih itu? Begitulah, malam itu ia beristirahat, lalu besok paginya, dengan dandan sebagai rakyat jelata, ia menuju ke Koaywa Lim, taman penglipur. Koaywa Lim terletak di luar kota Souwtjioe sebelah utara. Itu adalah satu taman yang luas. Begitu sampai di pintu, orang dapatkan lorong yang panjang, yang banyak tikungannya, sedang di kedua belah temboknya, terdapat banyak sekali tulisan-tulisan jaman dulu. Rupanya pemilik taman tak tahu cara melindungi huruf-huruf itu, waktu itu banyak huruf yang telah gugur dan tampaknya tak tegas lagi. In Tiong tidak mengenal tulisan-tulisan bagus itu tetapi ia menyayangi, ia menghela napas. Setelah melewati lorong, di kiri dan kanan lantas tampak pelbagai macam pohon, pohon kayu dan bunga, bambu dan tumpukan-tumpukan batu, yang merupakan gunung buatan, ada selatnya, empang teratai dan pasebannya, yang semuanya indah. Yang disayangi ialah di mana-mana dalam taman itu terdapat tempat-tempat perjudian, ada banyak pelancongnya, hingga di situ berisik dengan teriakan-teriakan mereka itu. Tentu saja, suasana itu tak tepat dengan keindahan taman. Diam-diam In Tiong memasang mata. Dengan lantas ia dapat kenyataan, di mana-mana terdapat orang-orang sebagai si tukang pukul, yaitu gundal-gundal. Rupa-rupanya Kioetauw Saytjoe sudah bersedia-sedia untuk menyambut tantangan si mahasiswa berkuda putih, karenanya dia telah menyiapkan orang-orangnya itu. Dengan sikapnya sebagai pelancong biasa, In Tiong cari satu tempat di mana ia dapat memperhatikan sesuatu sambil duduk beristirahat, akan tetapi, sampai lewat tengah hari, ia masih belum tampak Thio Tan Hong muncul. Mungkinkah, karena sesuatu hal, Tan Hong mengadakan perubahan dengan mendadak, hingga ia tak datang hari ini?" ia menerka-nerka. Justeru ia tengah menduga-duga, apa yang menjadi sebab hingga Tan Hong gagal menetapi janji, tiba-tiba kelihatan serombongan orang mendatangi dengan suara yang berisik. Yang menjadi kepala adalah seorang berumur lima puluh tahun, yang mukanya berewokan. "Kioetauw Saytjoe, hari ini aku datang untuk bertaruh denganmu, untuk main, guna melewatkan waktu yang terluang!" begitu terdengar suaranya yang besar dan nyaring. Sejenak saja, taman menjadi sunyi, semua orang berhenti berjudi. In Tiong lantas dengar beberapa orang bicara berbisik. Antaranya ia dengar nyata: "Liong pangtjoe dari Hay liong Pay telah tiba. Teranglah dia mempunyai maksud untuk merubuhkan panggung Kioetauw Saytjoe. Maka lantas juga kita akan menyaksikan keramaian!.....” In Tiong menjadi heran. Inilah di luar dugaannya. Dia muncul di situ untuk menantikan Thio Tan Hong, siapa tahu sekarang telah datang Liong Pangtjoe, Ketua Liong atau Naga, dari Hayliong Pang atau Kawanan Naga Laut. Dari pendengaran terlebih jauh, ia percaya Hayliong Pang Pangtjoe itu mesti ada salah satu okpa dari kota Souwtjioe. Dari sebelah depan, menghadapi rombongan Hayliong Pang itu, dari antara rombongan orang banyak, yang lantas membuka jalan, kelihatan muncul satu orang yang tubuhnya kasar, alisnya tebal, matanya besar. Dia mengenakan thungsha, baju panjang, yang dilapis dengan makwa, semacam rompi, atau baju pendek tanpa tangan. Dia unjuk sikap sebagai satu anak sekolah, yang lemah lembut, tetapi dandanannya tak tepat dengan romannya dan lagaknya. Ia pun diiringi tujuh atau delapan boesoe, guru silat. Ia maju menghampiri Liong Pangtjoe, terus dia angkat kedua tangannya, lalu dirangkapkan, untuk memberi hormat. "Liong Pangtjoe, hari ini angin apa telah meniup kau sampai di sini?" dia tanya. Dia mencoba bersikap ramah tamah. "Silakan duduk, silakan duduk! Mari kita minum teh! — Eh, anak-anak, lekas kamu perintahkan supaya lekas disajikan beberapa rupa kuwe!" Orang telah bersikap manis tetapi si Liong Pangtjoe, dengan roman keren, membawa sikap dingin. "Kioetauw Saytjoe, hari ini aku ketagihan," demikian jawabnya, "maka itu sengaja aku datang kemari, untuk bertaruh denganmu! Untuk minum teh, jangan kau kesusu, marilah kita bertaruh dahulu!" ' Nampaknya Kioetauw Saytjoe In Thian Sek agak jeri terhadap Ketua dari Hayliong Pang itu, dia diperlakukan demikian kasar dan dingin, masih dia bisa tertawa manis. "Kita berdua bersahabat, untuk apa kita membuat renggang persahabatan itu?" berkata ia, dengan sabar. "Kau hendak menitahkan apa? Titahkanlah asal saja yang adikmu sanggup kerjakan!" Ketua Hayliong Pang itu kembali tertawa dingin. "Lao In, siapa yang membuka rumah makan, mustahil dia jeri terhadap perut besar dari tetamu-tetamunya?" begitu dia menjawab. "Kau telah membuka rumah judi, mana dapat kau tolak aku yang telah datang untuk turut adu peruntungan? Apakah kau kuatirkan aku tidak punya uang? Kau tanyakan padaku, apa yang aku hendak titahkan padamu! Nah, aku menghendaki kau berjudi dengan aku! Kau sanggup melakukan ini, bukan?" Habislah kesabaran dari In Thian Sek, mukanya menjadi pucat. Maka berkatalah ia: "Setiap orang ada mukanya, setiap pohon ada kulitnya, karena kau telah mendesak aku di muka orang ramai ini, tidak ada jalan lain, terpaksa aku temani kau! Baiklah! Kau hendak bertaruh apa?" "Main dadu paling menyenangkan!" sahut Liong Pangtjoe. "Kita lempar dadu! — Eh, Lao Kwee, tanganmu dingin, mari kau wakilkan aku melemparnya! — Dan kau, Lao In, apakah kau hendak melemparkan sendiri atau diwakilkan oleh guru besarmu?" Setelah mengucap demikian, dari rombongan Hayliong Pang muncul satu orang tua kurus kering yang romannya tak luar biasa, sambil membuka kopiah kulitnya, dia berkata kepada In Thian Sek: "Aku Kwee Hong, toako, terimalah hormatku!" Selama dia belum membuka kopiahnya, orang tua itu memang beroman biasa, akan tetapi setelah kepalanya tak bertutup lagi, dia membuatnya semua orang heran. Nyata dia mempunyai rambut yang semuanya berwarna merah, rambut itu kusut seperti awan, numpuk di batok kepalanya. In Tiong malah terkejut, karena ia kenali orang tua itu. "Ah, kiranya dia adalah Anghoat Vauwliong Kwee Hong!" kata dia dalam hatinya. Dia pun heran. "Kenapa dia datang kemari?" Kwee Hong adalah pahlawan dorna kebiri Ong Tjin, dalam seluruh tahun, dia keram diri di dalam gedung Soelee Thaykam she Ong itu, karena tugasnya adalah melindungi diri si thaykam. Jarang sekali dia pergi ke mana-mana, maka itu jangan kata orang kangouw jarang mengetahui dia, malah pahlawan atau guru-guru silat di kota raja sendiri, tak banyak yang pernah melihat dia. Keistimewaannya adalah rambutnya yang merah itu. In Tiong juga belum pernah melihat Kwee Hong, ia hanya pernah mendengar dari Thio Hong Hoe, baharu sekarang, ia melihat untuk pertama kalinya, sesudah orang perkenalkan diri sambil membuka kopiahnya. Oleh karena rambutnya juga, Kwee Hong telah memakai julukan itu, Anghoat Yauwliong, si Naga Siluman Rambut Merah. "Inilah aneh," In Tiong berpikir pula. "Ong Tjin telah menjadi hartawan, kenapa dia utus pahlawannya datang kemari untuk dengan satu okpa merebut sebuah taman? Dan Kwee Hong sendiri, karena kedudukannya sebagai pahlawan dorna, tidak sepantasnya dia menjadi kawan atau pembantu seorang pangtjoe. Benar-benar aneh!" Sementara itu, Kioetauw Saytjoe In Thian Sek telah menjawab Liong Pangtjoe. "Oh, Kwee Soehoe yang mewakilkan kau?" katanya. "Baiklah, aku tidak akan memakai wakil, aku akan turun tangan sendiri." Liong Pangtjoe itu lantas saja tertawa terbahak-bahak. "Bagus!" serunya. Di sini ada cek seharga sepuluh laksa tail, inilah cek dari bank besar. Kau lihat biar tegas! Dengan satu dadu, aku bertaruh sepuluh laksa tail perak!" "Ditanganku tidak ada uang demikian banyak," berkata In Thian Sek. Liong Pangtjoe tertawa pula, sampai dia melenggakkan kepalanya. "Apakah kau sangka aku tidak tahu tentang kekayaanmu?" dia kata. "Sawah, kebun dan toko-tokomu berharga empat puluh laksa tail, dan taman Koaywa Lim ini juga berharga empat puluh laksa tail, jadi dengan begitu, kau mempunyai pokok berjudi delapan puluh laksa tail! Maka itu, janganlah kau kuatirkan suatu apa.....” In Thian Sek menjadi mendongkol. Tapi ia tertawa bergelak. "Oh, kiranya kau memikir untuk memiliki Koaywa Lim ini?" dia kata. "Ah, jangan kau mengatakan demikian. Apa benar, sebelumnya kalah, kau sudah jeri?" tanya Liong Pangtjoe. "Aku kuatir kau tak akan berhasil dengan maksudmu," In Thian Sek baliki. "Baiklah! Silakan periksa dulu dadunya." Kwee Hong lantas periksa dadu itu. "Kwee Toako, dadu itu tidak palsu bukan?" Liong Pangtjoe tanya kawannya. Kwee Hong tidak menyahuti, dia hanya angsurkan dadu kepada In Thian Sek. "Kioetauw Saytjoe, kau adalah tuan rumah, silakan kau yang mulai!" kata ia. In Thian Sek sambuti biji-biji dadu itu, segera saja ia lemparkan sambil berseru: "Satu" Lantas enam biji dadu itu berputaran di dalam mangkok yang besar dan cekung. Dan menyusul itu, seorang membuka suaranya: "Dua, enam! satu, empat! Enam belas! Toa" Dalam perjudian dadu itu, angka terbesar adalah delapan belas, maka itu, untuk mendapatkan biji enam belas pun sukar, meski demikian, In Thian Sek telah menyeka keringat dingin ketika ia kata kepada lawannya: "Nah, orang she Kwee, kau susullah aku!" Orang tua berambut merah itu bersenyum, dengan sikap sangat tenang, dia raup semua biji dadu itu, kemudian dengan lekas dia gerakkan jeriji-jeriji tangannya, lalu dilemparkan. Segera tukang tunggu biji pun berseru: "Dua, enam! satu, lima! Tujuh belas! Toa\" Dengan mengatakan "Toa," bandar maksudkan angka besar. Paras Kioetauw Saytjoe menjadi pucat. "Ha, ada saitannya!" dia berseru. "Mari, lagi satu kali!" "Baik!" sambut si orang tua rambut merah. "Kali ini kita bertaruh dua puluh laksa tail!" Tangan Thian Sek berkeringatan, suaranyapun agak gemetar ketika ia berteriak: "It sek" Berbareng dengan itu, biji-biji dadu pun telah dilemparkan. Bandar lantas perdengarkan suaranya seperti biasa: "Dua, enam, satu lima! Bagus! Kembali tujuh belas!" Mendapat angka tujuh belas berarti kemenangan hampir pasti, maka itu kali ini In Thian Sek tampak bersenyum. Seperti lagaknya tadi, si orang tua tidak mengatakan sesuatu, dengan tenang ia raup gambar biji-biji dadu itu, untuk segera dilemparkan, nampaknya ia seperti acuh tak acuh. Para hadirin segera berubah parasnya. Bandar pun berteriak: "Tiga merah, empat! Itsek" Itsek itu, satu warna, apapula warna merah, adalah angka paling besar. Si orang tua berambut merah tertawa, dia kata dengan sabar: "Kau memanggilnya, dia tidak datang! Aku tidak memanggil, dia justeru datang! Nah, mari kita main terus! Kali ini tarohannya empat puluh laksa tail!" In Thian Sek menyeringai, tapi ia terima tantangan itu. Merah urat-urat di dahinya. "Sekarang, kau yang melempar lebih dulu!" dia kata. "Baik!" sahut si orang tua muka merah itu. "Akan aku melempar lebih dahulu!" Kali ini Kwee Hong raup biji-biji itu untuk digenggam dengan kedua tangannya, ketika hendak dilemparkan, tangannya digoyang-goyangkan dulu. Begitu lekas biji-biji itu berhenti berputaran di dalam mangkok, suasana di sekitarnya menjadi sunyi senyap. Parasnya In Thian Sek pun menjadi pucat. Hanya berselang sejenak, bandar perdengarkan suaranya: "Tiga kali enam! Delapan belas, merangkap itsek!. Thongsat!." Kalau itsek hanya serupa warna saja, untuk berbagai macam angka, adalah itsek dengan angka delapan belas, merupakan batas tertinggi, dengan begitu permainan tak dapat dilanjutkan, karena angka itu tidak dapat disusul lagi. "Toa" adalah besar, tetapi "thongsat" adalah terbesar, habis semua. Setelah kesunyian, lalu timbul kegemparan, suara orang ramai menjadi berisik. Semua orang menjadi heran dan kagum terhadap si orang tua rambut merah itu. Kenapa tangannya orang tua ini demikian "soen," begitu mujur! Adalah In Tiong seorang, yang melihat gerakan tangannya Kwee Hong yang mengetahui sebab-sebabnya kemenangan Anghoat Yauwliong. Kalau dalam melepaskan senjata rahasia seorang ahli dapat merdeka mengarah ke mana dia suka, begitu juga dalam hal melemparkan biji-biji dadu. Kwee Hong rupanya seorang ahli, maka ia dapat menguasai biji-biji itu. In Thian Sok tak dapat melihat rahasia kepandaian Kwee Hong itu, karena ia adalah seorang kangouw kenamaan, ia terima kekalahan itu, maka, dengan hati seperti disayat-sayat, dengan meringis, dia kata kepada lawannya: "Baiklah, orang she Liong, Koaywa Lim ini menjadi milikmu!.....” "Pokokmu sama sekali delapan puluh laksa tail," berkata Liong Pangtjoe, "sekarang kau kalah tujuh puluh, masih ada kelebihannya sepuluh laksa, dengan begitu kau masih dapat kembali sepuluh laksa tail itu, katakanlah, kau kehendaki sawah, kebun atau uang kontan? Orang she In, dengan punyakan sepuluh laksa tail, kau masih terhitung orang hartawan juga. Kau lihat, aku tidak berlaku kejam, masih aku pandang padamu!" "Sudahlah, jangan bicara terlalu banyak!" si orang tua berambut merah menyelak. "Sekarang aku berikan ketika, yaitu sebelumnya matahari terbenam, kamu sudah mesti pindah dari Koaywa Lim ini!" Kembali muka Thian Sek menjadi pucat. Nyata sudah bahwa ia telah diusir. Akan tetapi, sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, tiba-tiba terdengar satu suara tertawa tegas, disusul dengan kata-katanya orang yang barusan tertawa itu: "Tunggu dulu. Aku juga hendak turut bertaruh!" In Tiong segera menoleh, lalu di depan matanya berkelebat Thio Tan Hong dengan pakaian serba putih. Tan Hong itu segera muncul dari antara rombongan orang banyak. Dengan sendirinya In Tiong menyesal karena ia lupa, saking tertarik pada permainan dadu, ia sampai lengah memperhatikan pemuda yang ia mesti cari itu. Entah sejak kapan pemuda itu telah berada di antara mereka. Kioetauw Saytjoe In Thian Sek membuka dengan lebar kedua matanya ketika ia menoleh kepada anak muda itu, karena dari orang-orangnya ia dapat melukiskan roman orang dan potongannya, maka tahulah ia, dia ini adalah si mahasiswa berkuda putih yang telah perhina kedua guru silatnya. Tapi ia baharu saja kalah berjudi, sekarang pemuda ini hendak menggantikan tempatnya, ia mencoba menguasai dirinya. Ingin ia ketahui, apa yang orang akan perbuat. Maka itu ia berdiri diam di tempatnya, untuk jadi penonton saja. Thio Tan Hong dandan dengan perlente, lagaknya sebagai satu pemuda hartawan atau anak orang agung, begitu ia sampai di Souwtjioe, segera ia menjadi perhatiannya kawanan Hayliong Pang, segera juga beberapa orang Hayliong Pang itu menguntit ia hingga di hotel. Karena liehaynya, Tan Hong tahu bahwa ia telah dikuntit orang, ia lalu sengaja bersikap berpura-pura tak mengetahuinya, sengaja ia keluarkan barang-barang permata yang ia bekal, ia seperti pertontonkan itu. Beberapa orang Hayliong Pang itu terdiri dari orang-orang berpengalaman, mereka jadi curiga, karenanya, tidak berani mereka lancang turun tangan, mereka lantas kembali untuk memberi laporan kepada ketua mereka. Pada waktu itu, Liong Pangtjoe telah ber-keputusan akan memiliki Koaaywa Lim, untuk bertindak, ia tunda dulu hal si anak muda asing ini, yang ia ingin ketahui jelas asal-usulnya, maka tidak ia sangka, baharu ia selesai berurusan dengan In Thian Sek, si anak muda justeru muncul di antara mereka, malah dia ditantang bertaruh. Anghoat Yauwliong lirik anak muda ini. "Kau hendak bertaruh berapa banyak?" dia tanya. Dia tidak tunggu lagi putusan ketuanya. "Kau sendiri, mempunyai pokok berapa?" Tan Hong balik tanya. Ia menanya sambil tertawa, sikapnya wajar, tenang. Liong Pangtjoe mendahului orang memberikan jawaban. "Pokokku adalah benda miliknya Tuan In ini!" ia jawab sambil tertawa dingin. "Oh, kalau begitu!" kata Tan Hong sabar, "berikut uang kontanmu sepuluh laksa tail, semua cuma terdiri dari sembilan puluh laksa! Baiklah, untuk iseng-iseng, guna melewatkan waktu senggang, suka aku bertaruh dengan kau!" "Untuk permulaan, berapa kau hendak bertaruh?" tanya si orang tua rambut merah. Tampaknya si Naga Siluman Rambut Merah tidak sabaran. Tan Hong bersenyum, dari sakunya ia keluarkan serenceng mutiara, bentuk mutiara itu bundar-bundar dan besar-besar, semuanya bercahaya, maka teranglah sudah, semua mutiara itu tulen dan indah, mahal harganya. Pada renceng itu pun dibandulkan sebuah permata lain, yang sinarnya hijau mengkilap dan membuatnya silau siapa yang memandangnya. "Uang tarohanku adalah mutiara dan permata ini," kata Tan Hong sambil tunjukkan barang berharga itu. "Coba kamu taksir sendiri harganya ini!" Liong Pangtjoe sambuti rencengan mutiara berikut batu permata itu, ia memeriksanya dengan teliti. "Kita di sini biasa bertaruh secara pantas," ia berkata kemudian. "Mutiaramu ini ada seratus biji, setiap bijinya sama besarnya, tidak ada cacatnya, inilah mutiara yang sukar dicari timpalannya. Menurut taksiran, setiap biji mutiara ini berharga seribu lima ratus tail perak, tetapi karena ada seratus biji, harganya mesti dinaikkan sedikit. Aku hitung untuk dua puluh laksa tail!" "Ah, kau tahu juga harga barang!" kata Tan Hong. "Bagaimana dengan batu permatanya?" "Batu hijau ini jarang didapatkan," sahut Liong Pangtjoe, "tentang permata ini, tidak dapat aku menaksirnya. Bagaimana kalau sepuluh laksa tail?" "Sebenarnya buat sepuluh laksa tail masih kurang sedikit," kata Tan Hong. "Akan tetapi kita hendak bertaruh, baiklah, aku tidak hendak memberi harga terlalu tinggi. Kau hitung semua tiga puluh laksa tail, akur! Mari dengan tiga puluh laksa tail kita bertaruh untuk satu kali lempar!" Kecocokan telah didapat, maka orang hendak lantas mulai. Bandar sudah lantas keluarkan dadu yang baru. Tan Hong menangkan undian. "Kalau aku yang melempar terlebih dahulu, lantas aku dapat itsek atau angka delapan belas, kau lantas tidak punya ketika untuk melempar lagi," berkata Tan Hong. "Tidak ingin aku menang secara begitu rupa, sebab kalau kau kalah, kau jadi tidak puas, kau penasaran. Nah, kau boleh melempar lebih dahulu!" In Tiong telah memasang kupingnya, ia menjadi heran. "Ilmu melepas senjata rahasia dari Tan Hong sukar tandingannya di dalam dunia ini," ia berpikir, "kalau dia yang melempar lebih dulu, sudah pasti dia yang bakal menang. Sekarang dia suka mengalah dari Anghoat Yauwliong, ada kemungkinan dia nanti kalah.....” Si orang tua rambut merah tidak berlaku sungkan, dia terima baik usul itu. Dia pun lantas raup biji-biji dadu itu. Dia rasakan biji-biji itu terlebih enteng, tetapi dia tidak pedulikan itu. Dia raup dengan kedua tangannya, terus saja dia lemparkan. Cepat sekali dalam mangkok terlihat tiga biji berhenti bergerak, ketiga-tiganya menunjukkan angka enam dan tiga biji lainnya masih berputaran. Dengan kedua matanya si orang tua rambut merah mengawasi tajam kepada ketiga biji itu. Sebentar kemudian, dua biji pun tak berputaran lagi. Juga kedua biji ini menunjukkan, angka enam! Pada paras si orang tua lantas tersungging senyuman. Hebat biji yang ke enam itu, yang membuat hati semua orang tegang. Dialah yang berputar paling lama. Pada saat dia hendak berhenti, dia perlihatkan angka enam, tetapi tiba-tiba, dia berputar satu kali lagi dan berhenti menjadi angka lima! "Dua enam, satu lima !" teriak bandar. "Tujuh belas. Toal" Adalah keinginan si orang tua rambut merah akan mendapatkan semua biji angka enam, supaya itsek, serupa warnanya, tetapi angka tujuh belas pun sukar didapat, ia terpaksa mesti merasa puas. "Tujuh belas ya tujuh belas, tidak apa," kata dia, menghibur diri. "Sekarang kau susullah!" ia tambahkan kepada lawannya. Thio Tan Hong raup biji dadu itu. "Tujuh belas sukar untuk disusul!" kata dia. Ia angkat kepalanya, akan memandang ke langit. Ia tidak lantas mulai. Suasana menjadi sunyi, sebab semua perhatian tertarik padanya. "Sekarang aku mulai!" kata dia, lalu dengan tiba-tiba, tanpa perhatian, dia lempar biji ke dalam mangkok. Semua orang menjadi tegang, tak terkecuali si orang tua berambut merah. Dia malah pentang lebar kedua matanya! Begitu lekas biji-biji dadu itu berhenti berputaran dan terletak diam, segera terdengar suara si bandar: "Sepasang empat! Dua lima! Lagi sepasang enam! Sie Gouw Lak Tjoansat." Sie gouw lak — dua empat, dua lima dan dua enam — itu artinya "tjoansat" — "kemenangan penuh." Semua orang heran, kecuali In Tiong. Orang heran, sudah si orang tua rambut merah demikian mujur, sekarang ada Tan Hong yang sangat beruntung. Kwee Hong mendelong, ia heran bukan main. Ia mempunyai ilmu Tokliong tjiang, yaitu "Tangan Naga Beracun," dirangkap dengan kepandaian Tokliong teng, ilmu melepaskan senjata rahasia "Paku Naga Beracun." Itulah kepandaian yang membuatnya ia peroleh julukan Anghoat Yauwliong si Naga Siluman Rambut Merah. Itu juga kepandaian yang membikin ia dapat permainkan biji-biji dadu sesukanya, hingga ia peroleh kemenangan atas In Thian Sek, hingga Hayliong Pang dapat menduduki Koaywa Lim. Tapi kali ini, ia rubuh ditangannya Thio Tan Hong, orang yang ia tidak kenal. Tentu saja ia tidak ketahui, selagi Tan Hong raup semua biji, biji-biji itu sudah lantas digenggam begitu rupa. Atas kemenangan itu, Tan Hong perlihatkan roman biasa saja. Dengan tenang, dia kata: "Berikut kemenangan ini, pokokku sekarang berjumlah enam puluh laksa tail. Nah, semua itu aku pakai untuk bertaruh pula!" Si orang tua berambut merah cuma bersangsi sebentar, atau lantas ia berikan penyahutannya: "Baik, akan aku lawan kau satu kali lagi! Sekarang kaulah yang melempar terlebih dahulu!" Mendengar sambutan itu, In Tong menjadi heran. Ia herankan si orang tua. Ia pikir, setelah kekalahannya itu, apa benar orang tua ini tak menginsiafi sebabnya? Kalau dia insiaf artinya dia tahu, kenapa sekarang dia berani melawan pula dengan suruh Tan Hong yang melemparkannya lebih dulu? Tan Hong tertawa yang dia disuruh melempar lebih dahulu. "Kau suruh aku yang melemparkan lebih dahulu, baik!" ia kata. "Aku harap kau tidak menyesal di belakang!" Ia lantas raup ke enam biji dadu itu, lalu dilemparkan pula seperti tadi, tanpa aksi, tanpa memperhatikan pula. Lantas ke enam biji itu berputaran. Si orang tua rambut merah mengawasi semua biji itu, tiba-tiba ia berseru: "Satu" Hampir pada waktu yang sama, ke enam biji itu berhenti berputar. Bandar pun segera berseru: "Sepasang dua, satu satu! lima!" Si orang tua lantas tertawa. "Kiranya lima yang bau!" kata dia. Untuk permainan dadu itu, angka terbesar adalah delapan belas, yang terkecil ialah empat, sekarang Tan Hong dapat angka lima, itu sudah berarti kekalahan pasti. Tetapi In Tiong ketahui sebab-musababnya angka itu. Kwee Hong telah menggunakan ilmu hembusan napasnya "Toanseng tjinboet," yaitu "Dengan suara menggempur barang." "Ah, kali ini Tan Hong mesti kalah," kata ia dalam hatinya. Ia tidak bisa campur mulut kendati ia tahu orang main curang. Di tempat main dadu, orang tidak dilarang untuk berseru-seru. Sekarang datang giliran si orang tua rambut merah. Tampaknya ia sangat gembira. Dengan sebat ia raup biji dadu itu, terus ia lemparkan, hingga mangkok itu perdengarkan suara nyaring. Selagi biji berputaran, Tan Hong mengawasi sambil tertawa berkakakan. Bandar pun segera menyebutkan angka-angkanya: "Sepasang satu, satu dua! Empat! Empat!" Ketika ia ulangi "Empat" itu, suaranya gemetar, suatu tanda ia kaget sekali. Tan Hong kembali tertawa besar. "Ha, kiranya empat busuk!" dia berkata. Muka si orang tua menjadi putih bagaikan lilin, kekalahannya ini berarti ia pun kalah dalam hal ilmu melepaskan senjata rahasia. Tan Hong jetrikan dua jari tangannya, dia tertawa. "Seluruh kekalahanmu berjumlah sembilan puluh laksa tail!" dia kata. "Kau telah menghabiskan pokokmu, cek, tanah milik, berikut Koaywa Lim ini, sekarang menjadi kepunyaanku si orang she Thio!" Dengan sekonyong-konyong saja Kioetauw Saytjoe In Thian Sek lompat bangun, sebelah tangannya menyambar, menjambak ke arah pundak Tan Hong. "Hrn! Kau penipu! Kau berani merampas aku punya Koaywa Lim?" dia berteriak. Tapi dia baharu berteriak atau segera dia menjerit "Aduh!" disusul dengan rubuhnya tubuh, menggeletak di tanah. Thio Tan Hong tertawa sambil berseru: "Hai, kuku singa patah!" Orang semua mengawasi In Thian Sek, mereka lihat ke lima jarinya si Singa Kepala Sembilan telah patah dan berdarah-darah, orangnya pun pingsan. Menampak demikian, semua gundalnya Thian Sek lantas maju menyerang. "Foei! Tidak tahu malu!" teriak Tan Hong. "Siapa suka berjudi, dia mesti terima kekalahan! Aku pun menangkan Koaywa Lim ini bukan dari tangannya si orang she In ini!" Mulut Tan Hong bersuara, tubuhnya pun bergerak, diturut dengan gerakan kaki dan tangannya, yang lincah dan sebat, hingga di lain saat, semua gundal Kioetauw Saytjoe telah rubuh terguling. Si orang tua berambut merah keluarkan sebelah tangannya secara tiba-tiba. "Kioetauw Saytjoe, jangan kau bikin malu kaum kangouw1." dia berseru. Teriakan itu terang ada bantuan untuk Tan Hong menegur Thian Sek, tapi di mulut lain, ditangan lain, tangan jahat Anghoat Yauwliong justeru bergerak ke arah si pemuda berpakaian putih. Tan Hong sangat celi matanya, sangat cepat gerakannya, melihat tangan orang bergerak ke arahnya, ia mengibas dengan tangan bajunya, hingga tangan jahat itu, tangan Naga Beracun, nyasar dari sasarannya. "Nah, itulah baharu kata-katanya satu laki-laki!" kata Tan Hong sambil tertawa. Ia tetap bawa sikap seperti tak tahu bahwa orang telah menyerang ia secara curang. Kemudian ia ambil air teh dingin, yang terus diirup, untuk disemburkan ke mukanya In Thian Sek, hingga di lain saat, orang she In itu telah sadar dari pingsannya. Liong Pangtjoe lantas saja berkata: "Kioetauw Saytjoe, kali ini kita harus mengaku kalah! Baiklah kau pergi ke Hayliong Pang, untuk menjadi hiotjoe1. Kita lihat saja nanti, berapa lama dia dapat kuasai Koaywa Lim ini!" Ketua dari Hayliong Pang ini juga satu ahli silat, mendapatkan Kwee Hong bukan tandingan orang, ia sengaja bawa sikap sebagai seorang kangouw sejati, yang akui kekalahan setelah kena dipecundangkan orang. Tan Hong tidak pedulikan lagak orang, dia hanya kata kepada In Thian Sek: "Kioetauw Saytjoe sekarang kau keluarkan surat-surat tanah serta uang kontanmu!" In Thian Sek tengah mengobati jari-jari tangannya, dia sedang nunduk. "Akan aku turut perintahmu," ia menjawab. "Kau harus bersikap hormat," Thio Tan Hong peringatkan. "Aku tahu berapa banyak tanahmu dan bandamu, maka jikalau kau main gila, meskipun kau mempunyai sepuluh kepala, semua kepala itu akan aku tebas kutung! Eh, siapakah di antara kamu yang suka mengangkut barang-barang?" Dalam sekejap saja serombongan orang telah memajukan diri sambil bersurak. Mereka nyata sebagian adalah penduduk Tamtay Tjoen, sebagian penduduk melarat dari kota Souwtjioe. Memang sejak siang-siang Tan Hong telah pesan mereka berkumpul di taman Koaywa Lim itu. Tan Hong bertindak tegas. Ia bakar hangus semua surat-surat tanah Kioetauw Saytjoe, untuk menghabiskan semua hak si okpa, sedang uang kontan okpa itu, ia bagi-bagikan di antara semua penduduk itu. Sampai lohor baharulah ia selesai dengan pembagiannya itu. Selama itu Kioetauw Saytjoe, Liong Pangtjoe dan Anghoat Yauwliong, berikut orang-orangnya, karena malu, sudah ngeloyor pergi dengan diam-diam. Habis mempesta pora harta orang, Thio Tan Hong tertawa berkakakan. Tiba-tiba ia membungkuk, akan petik setangkai bunga teratai dari dalam empang, terus ia bersenanjung: "Telah dikembalikan asal tanahku, maka hari ini bunga teratai muncul dari dalam lumpur!..... Lalu, kalau tadi ia tertawa terbahak-bahak, sekarang mendadak ia mengucurkan air mata. In Tiong mengawasi terus kelakuan orang, di dalam hatinya, ia kata: "Dia tentu telah menyaksikan yang usaha leluhurnya telah diilas-ilas orang, maka sekarang ia menjadi sangat terharu....." Ketika itu oran g telah mulai bubar, maka In Tiong, yang kuatir dikenali Tan Hong, lekas-lekas juga angkat kaki. Ia kembali ke kantor soenboe. Kali ini ia dapatkan, dari tujuh pahlawan istana, dua baharu saja sampai. Mereka ternyata adalah kedua paman guru dari Taywee Tjongkoan Kong Tiauw Hay, yaitu Tiatpie Kimwan Liong Tjin Hong dan Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe. Selama pieboe, In Tiong telah merubuhkan Liok Thian Peng, keponakan murid dari dua pahlawan ini, karenanya, di antara kedua pihak terdapat ganjalan, akan tetapi sekarang mereka sama-sama ditugaskan kaisar, terpaksa mereka tidak berani timbulkan ganjalan itu. In Tiong tuturkan apa yang barusan ia saksikan di Koaywa Lim. Liong Tjin Hong dan Hian Leng Tjoe adalah orang-orang kangouw berpengalaman, setelah mendengar penuturan In Tiong, keduanya saling memandang, lantas mereka kerutkan alis. "Urusan nampaknya aneh," kata Liong Tjin Hong kemudian. Anghoat Yauwliong adalah tangan kanan Ong Tjin, kenapa dia bantui Hayliong Pang memperebutkan Koaywa Lim? Thio Tan Hong pandang emas bagaikan tanah, dia juga tak ketentuan tempat kediamannya, kenapa sekarang dia justeru menghendaki taman Koaywa Lim itu? Menurut keterangan kau, Koaywa Lim adalah bekas istana peristirahatan dari Thio Soe Seng, siapa tahu kalau harta dan peta Thio Soe Seng itu berada di dalam Koaywa Lim?" In Tiong anggap dugaan itu masuk di akal. Pembicaraan mereka ini ditunda setelah diambil persetujuan untuk sebentar malam mencoba pergi ke Koaywa Lim, lantas mereka bersantap malam, habis bersantap, mereka beristirahat. Di saat genta di loteng kota berbunyi tiga kali, mereka bertiga berdandan, mengenakan yaheng ie, pakaian untuk keluar malam, setelah mana, tanpa ayal lagi, mereka keluar dari kamar mereka, untuk segera menuju ke Koaywa Lim. Setelah berpindah tangan, taman penglipur lara itu telah berubah rupa. Lenyaplah segala keramaian, gantinya adalah kesunyian. Memandang gunung-gunung dan lain-lainnya, perasaan orang seolah-olah dibawa kepada ketenteraman, keindahan alam. In Tiong, Liong Tjin Hong dan Hian Leng Tjoe sempurna ilmu enteng tubuhnya, dengan merdeka mereka dapat melompati tembok pekarangan, untuk masuk ke dalam taman secara diam-diam. Di saat mereka hendak memecah diri, untuk membuat penyelidikan, tiba-tiba mereka dengar suara orang yang datangnya dari arah timur. Mereka memberi tanda satu dengan lain, lantas dengan berindap-indap, mereka menuju ke timur. Setelah datang dekat kepada suara itu, mereka lantas sembunyikan diri di belakang batu gunung-gunungan. Masih suara itu terdengar. "Mungkin Thio Tan Hong, si bocah, jeri terhadap kita," kata seorang di antaranya. "Dia baharu dengar kabar, lantas dia singkirkan diri!" "Apakah mungkin dia telah peroleh hasil?" tanya yang lain. Lalu terdengar suara yang ketiga: "Tepat dugaan Ong kongkong, maka syukur kita telah datang tidak terlambat." Yang belakangan ini adalah suara Anghoat Yauwliong Kwee Hong. In Tiong terkejut. "Benar saja mereka adalah orang-orangnya si dorna kebiri Ong Tjin," kata ia di dalam hati. "Thio Tan Hong datang ke Souwtjioe untuk mencari harta dan peta pendaman, kenapa wartanya telah tersiar di mana-mana?" Sebentar saja In Tiong menduga demikian, lantas ia ingat sesuatu. "Ong Tjin banyak kaki tangannya, dia bermata awas dan berkuping tajam, tentunya dia dapat ketahui yang aku telah di kirim raja kesini," demikian pikirnya pula. "Menurut petunjuk gambar, tempat itu mesti di sini," terdengar pula suara Kwee Hong. Coba lihat, di sini ada bekas-bekas bongkaran, cuma batunya belum terbongkar. Mungkin karena bocah itu bersendirian saja, dia belum keburu membongkar hartanya, begitu dia dengar suara kita, lekas-lekas dia angkat kaki.....” Menyusul kata-kata itu terdengarlah suara pacul dipakai menggali tanah dan suara besi membentur batu. In Tiong gerakkan tubuhnya. Baharu pundaknya bergerak, atau ia telah ditekan Samhoa Kiam. "Jangan kesusu," Samhoa Kiam berbisik. "Kita tunggu sampai mereka sudah selesai menggali, nanti kita datang tinggal mendahar saja!" In Tiong masih mencoba mengintai di antara sela-sela batu. Di depan sebuah batu Thayouw tjio yang besar bagaikan harimau nongkrong, ia lihat kira-kira sepuluh orang tengah berdegingan membongkar batu. Tidak lama, lantas terdengar satu di antara orang-orang itu berseru: "Ini dia, ini dia! Lihat lobang ini! Ah, masih ada menghalang sepotong batu pekgiok pay!" Seorang yang lain mengangkat linggisnya, dia membongkar. Menyusul itu terdengar satu suara nyaring, banyak lelatu api meletik. "Lekas minggir!" Kwee Hong berteriak. Dari dalam liang menyambar keluar sejumlah panah api, lantas enam atau tujuh orang rubuh, muka mereka bermandikan darah hitam. "Panah beracun yang liehay sekali!" Kwee Hong berseru pula. Ia berdiam. Ia tunggu sampai anak-anak panah melesat habis. Masih ia kuatir, maka ia ambil tameng, sambil menggunakan itu, untuk melindungi diri, ia maju kemuka liang. Ia melakukan pemeriksaan. Tiba-tiba ia berseru: "Kita ditipu si bocah!" demikian seruannya. "Hm!" Ia mundur beberapa tindak, melepaskan tamengnya, ia ganti itu dengan pacul. Keras ia memacul ke arah pekgiok pay, hingga batu penghalang itu dapat disingkirkan. Tapi ia kecele. Liang itu kosong. Rombongan orang itu lantas mengutuk, dengan menggendol kawan-kawannya yang terluka, mereka lantas berlalu dari situ. Maka sebentar saja, tempat itu bersih dari mereka. "Mari kita lihat!" Tiatpie Kimwan mengajak. In Tiong dan Hian Leng Tjoe akur, mereka keluar dari tempat sembunyi, akan menghampiri liang bekas galian itu. In Tiong berlaku sangat hati-hati. Mendekati batu bekas bongkaran Kwee Hong itu, yang telah terbelah, mereka lihat ukiran huruf-huruf yang berbunyi: "Manusia mati karena harta, burung mampus karena barang makanan! Tuan-tuan datang kemari, silakan tuan-tuan rasakan lezadnya panah beracun!" Di bawahnya ditambah lagi, bunyinya: "Pay batu ini didirikan oieh Kaisar kerajaan Tjioe, Thio Soe Seng." In Tiong terkejut. "Sungguh hebat!" pikirnya. "Thio Soe Seng telah menduga dari siang-siang bahwa ada orang yang akan membongkar harta simpanannya, maka itu ia telah memasang jebakan panah beracun ini." Anehnya, liang itu dangkal, sedang menurut kabar yang tersiar, jumlah simpanan harta Thio Soe Seng itu banyak sekali, bertumpuk bagaikan bukit. Kalau benar, mana bisa harta itu disimpan dalam lobang seperti ini? Ketiga orang itu saling memandang. "Aku percaya Thio Tan Hong masih belum berhasil mendapatkan harta pendaman itu," Samhoa Kiam utarakan dugaannya. "Bagaimana kau dapat menduga demikian?" tanya In Tiong. "Pertama-tama lobang itu tidak mirip tempat menyimpan harta," Samhoa Kiam terangkan. "Thio Tan Hong pun berada di bawah pengawasan Kwee Hong dan Hayliong Pang, meski dia luar biasa, tidak nanti dia sanggup angkut harta itu. “ "Kata-katamu beralasan, soetee," kata Liong Tjin Hong, "hanya, kalau benar dia belum berhasil membongkar harta itu, kenapa dia tinggalkan Koaywa Lim ini? Mungkinkah harta sebenarnya tidak dipendam di sini?" Selagi kedua orang itu bilang In Tiong mengawasi ke arah pay. Mendadak ia lihat sehelai kertas kecil melekat di samping batu itu, suratnya pun halus. Ia baca dengan cepat: "Seperti yang satu cegluk, yang satu lagi patok, demikian kerajaan keluarga Tjioe, bukan ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, untuk apa bercape hati diperebutkan? Saudara In Tiong, angkat kaki adalah yang paling sempurna. — Dari adikmu, Thio Tan Hong." "Celaka!" berseru In Tiong dengan gusar. Liong Tjin Hong dan Hian Leng Tjoe heran. "Ada apakah?" mereka tanya. "Lihat ini!" sahut kawan itu. Membaca surat itu, kedua saudara seperguruan itu melongo, mereka bungkam. Sementara itu sang ayam sudah mulai berkokok..... -ooo0dw0ooo- Bab XVII Dengan duduk di atas sebuah perahu kecil yang enteng, seorang diri Thio Tan Hong tengah mengayuh dipermukaan telaga Thayouw, tangan kanannya menyekal dayung, tangan kirinya menggenggam sebuah anak kunci dari emas yang bercahaya berkilau-kilauan. Dia pentang kedua matanya, memandang telaga yang luas itu. Dengan riang gembira, dia buka mulutnya dan bersenanjung dengan nada tinggi: "Telaga Thayouw yang luasnya tiga puluh enam ribu bahu, airnya masih tak dapat mencuci kedukaan orang-orang gagah dari jaman dahulu hingga sekarang!" Keras dan nyaring suara itu hingga burung-burung di telaga itu beterbangan karena kagetnya. Itulah anak kunci emas yang Thio Tan Hong dapatkan dari liang di dalam Koaywa Lim. Dengan mengikuti petunjuk gambar itu, tahulah Tan Hong, bahwa harta besar simpanan leluhurnya itu dipendam di dalam taman penglipur itu. Itulah sebabnya ia telah pergi ke Koaywa Lim, untuk turut dalam perjudian dadu yang menggemparkan itu. Sementara itu ia telah ketahui, dari pesan leluhurnya, tempat menyimpan harta itu dipersiapkan dengan panah-panah beracun, maka itu, sebelum menggali, ia sudah membuat penjagaan diri, ini juga sebabnya kenapa ia berhasil membongkar tanpa menemui halangan. Hanya, setelah ia berhasil membongkar pekgiok pay, di situ ia tidak dapatkan barang lainnya kecuali anak kunci emas itu. Cuma, di atas anak kunci itu, ia lipat dua baris ukiran huruf-huruf halus yang berbunyi: "Di telaga Thayouw, dibukit Tongteng San Barat, Dengan anak kunci ini, harta simpanan dapat dicari." Pada waktu ia hendak pendam harta besarnya itu, Thio Soe Seng berpikir keras, ia memikirkan tempat di mana ia dapat menyimpan dengan aman. Ia berkedudukan di Souwtjioe, kalau ia simpan di kota itu juga, pasti Tjoe Goan Tjiang dapat menerkanya. Sebaliknya, jikalau ia menyembunyikan di tempat jauh, sulit pengangkutannya dan itu pun mudah membuat rahasia bocor. Maka akhirnya ia mengambil keputusan untuk menyimpan harta itu di Say Tongteng San, yaitu gunung Tongteng San Barat, di telaga Thayouw. Dari kota Souwtjioe ke gunung itu, perjalanan hanya sehari satu malam. Demikian ia membuat persiapannya dan bekerja. Tentang lukisan yang menunjukkan Koaywa Lim adalah tempat harta, itulah sebagian hanya akal belaka. Di sini cuma dititipkan anak kunci emas itu, yang dilindungi panah api beracun. Setelah selesai segala apa, gambar lukisan itu diserahkan kepada "raja yang muda," yaitu putera Thio Soe Seng serta boesoe-nya, pahlawan kepercayaan, yang setia, ialah leluhurnya Tjio Eng. Pada putera dan pahlawan itu, telah diberitahukan bahwa di dalam liang diatur panah beracun itu serta caranya untuk membongkar pekgiok pay, supaya orang luput dari ancaman anak panah. Perihal anak kunci emas dan tempat yang benar di mana harta terpendam, serta lain rahasia itu, bukan cuma si putera malah si pahlawan juga tidak mengetahuinya suatu apa. Itu artinya selanjutnya si putera atau siapa pun, harus berikhtiar dan mencarinya sendiri. Sewajarnya saja, Thio Tan Hong telah berlaku cerdik. Setelah dia dapatkan anak kunci emas itu, dia tutup dan uruk pula liang itu sebagaimana adanya, kecuali tanah bekas bongkaran sebelah atas, yang tak dapat dia tutup rapi sebagaimana asalnya. Habis itu, sebelumnya rombongan Kwee Hong tiba, dia sudah angkat kaki dari Koaywa Lim. Untuk dapat pergi ke Say Tongteng San, Tan Hong menitipkan dahulu kuda putihnya kepada satu sahabatnya, lalu dengan sebuah perahu kecil dan enteng, yang telah disiapkan sejak siang-siang oleh sahabatnya, dia berangkat memasuki telaga Thayouw. Tempat permulaan berangkat adalah di jembatan Banlian Kio di kota Souwtjioe itu. Ia berangkat tengah malam, maka dengan lekas ia telah keluar dari Siekauw, hingga ia sudah lantas berada di permukaan telaga yang luas dan di lingkungi bukit. Tentu saja, dalam keadaan seperti itu, tidak ada kegembiraan Tan Hong akan menyaksikan keindahan alam di telaga itu, hanya sambil mengayuh, ia keluarkan anak kunci emas itu dan dibulak-balikkan untuk diperiksa. "Huruf-huruf yang terdapat pada anak kunci ini berbunyi: dengan punyakan anak kunci ini, harta simpanan akan dapat dicari," demikian ia berpikir, "akan tetapi, bagaimana aku harus mencarinya? Gunung Say Tongteng San besarnya seratus kali lipat daripada Koaywa Lim, tidakkah aku bagaikan mencari sepotong jarum di laut yang besar? Tentang hartanya sendiri, itu adalah satu soal lain, tidak demikian dengan peta buminya — peta bumi itu berhubungan dengan nasib negara!" Tan Hong memandang ke muka air di sekitarnya. Air, melulu air! Pemandangan tenang tetapi indah, terbuka juga hati Tan Hong. Maka akhirnya, ia tertawa sendirinya. "Dengan perahu di tengah gelombang, tenanglah hati," pikir dia. Di tempat permai ini, di saat begini tenteram, perlu apakah aku berduka tidak keruan? Tidakkah aku tolol?" Ia lantas simpan anak kunci itu, lalu mengayuh pula. Oleh karena perahu itu kecil dan enteng, dia dapat bergerak dengan laju, seperti dibantu oleh layar. Telaga Thayouw mempunyai tujuh puluh dua puncak, di atas itu meganya indah, puas hati memandangnya. Sekarang Tan Hong telah membuktikan benarnya perkataan bahwa Thayouw ini, dengan keindahannya itu, dapat menangkan Tong Gouw. Belum lama ia mengayun perahunya, atau lantas tampak puncak Say Tongteng San. Memang gunung itu tidak dapat menandingi Ngogak, ke lima gunung ternama dari Tionggoan, akan tetapi karena letaknya di antara telaga, gunung ini mempunyai keistimewaan sendiri, tebingnya curam, banyak batu yang aneh-aneh rupanya, yang menerbitkan berbagai kesan. Begitu lekas ia tiba di kaki bukit, Tan Hong segera mendarat. Ia tampak di kaki bukit, sawah berjejer, sedang di atas gunung, banyak macam pohon-pohonan, yang rapat tumbuhnya, ada buahnya, ada bunganya, yang menyiarkan bau harum. "Sungguh tenang dan nyaman jikalau di sini orang mendirikan gubuk untuk bertinggal," Tan Hong melamun. Setelah mencari jalan, Tan Hong mulai mendaki bukit. Ia berjalan sambil berpikir, ke arah mana ia mesti cari tempat rahasia harta itu, tiba-tiba ia lihat dua bocah tukang angon kerbau tengah mendatangi ke arahnya bersama dua ekor binatang angonnya. Dua bocah itu sudah lantas mengawasi anak muda ini, sinar mata mereka menunjukkan keheranan atau bercuriga. Tan Hong segera menghampiri mereka untuk mengajak mereka bicara. "Kedua engko kecil, aku numpang tanya," dia kata. "Aku datang kemari untuk pesiar. Untuk naik ke atas gunung, adakah di sini jalan yang baik?" Kedua bocah itu saling memandang. "Aku tidak tahu!" sahut satu di antaranya, suaranya keras. "Heran," pikir Tan Hong, "kenapa kedua bocah ini begini tidak tahu adat, mereka beda jauh daripada penduduk Tamtay Tjoen?" Selagi Tan Hong berpikir demikian, ia heran mendapatkan kedua bocah angon itu tiba-tiba berselisih mulut, sama-sama mereka mementang mulut lebar. Yang di belakang berkata bocah yang di depan sengaja menginjak lumpur hingga lumpur sawah muncrat mengenai pakaiannya, yang di depan bilang, kawannya itu sengaja membikin kerbaunya menendangi batu hingga ada batu yang terbang ke batok kepalanya. "Lucu," pikir pemuda ini, yang berniat memisahkan mereka itu. Dari berselisih mulut, kedua bocah itu sudah lantas saja berkelahi. Tidak cuma demikian, mereka juga menganjurkan kerbau mereka masing-masing untuk turut berkelahi juga. Hingga sebentar saja, keadaan menjadi kacau. Celaka untuk Tan Hong, selagi jalanan sempit, kedua kerbau itu saling seruduk dan saling uber, ke arahnya. Ia sampai menjerit ketika ia hampir kena diterjang, terpaksa ia pentang kedua tangannya, dengan gerakan "Yama hoentjong," atau "Kuda hutan membuka suri," ia tolak kedua kerbau itu ke kiri dan kanan. Ia dapat lindungi dirinya, kedua kerbau itu ngusruk dan rubuh. Saking kaget, kedua bocah itu menjerit keras. Kalau mau, Tan Hong dapat melukai kedua kerbau itu, tapi ia telah menggunakan hanya tiga bagian dari tenaganya, maka itu, ia menjadi heran, ia menjadi kaget mendengar jeritan kedua bocah itu. "Adakah aku memakai tenaga terlalu besar hingga kedua bocah itu turut terluka?" ia tanya dirinya. Lantas ia awasi kedua ekor kerbau. Kembali ia menjadi terkejut. Kedua kerbau itu tengah berlarian, kedua bocah angonnya tidak nampak. "Ah, ke mana mereka pergi?" pikir Tan Hong. Pada saat ia hendak mencari, dari sebuah tikungan tampak dua orang tani baharu saja muncul, hanya, untuk herannya, ia dengar mereka itu segera berseru: "Setan, hari terang benderang, dari mana datangnya penjahat ini?....." "Kedua engko, dengar dulu," kata Tan Hong dengan cepat. Ia menyangka pasti bahwa orang telah mencurigai padanya. "Aku bukannya orang jahat.....” "Kau bukannya orang jahat?" bentak salah satu petani itu sebelum orang berhenti bicara. "Kenapa kau lukai kerbau kami dan menculik juga kedua anak kami?" Tan Hong heran. "Aku menculik anakmu?" dia tegaskan. "Mereka..... mereka....." Dua petani itu tertawa dingin. "Mereka..... mereka kenapakah?" katanya mengejek. "Kenapa mereka itu lenyap? Jikalau bukannya kau yang menyembunyikan mereka, pasti kau telah menyerahkan mereka kepada koncohmu, untuk segera dibawa pergi, buat dijual!" Mau atau tidak, Tan Hong tertawa. "Mana bisa terjadi demikian?" ia kata. "Coba periksa dahulu kerbaumu, binatang itu terluka atau tidak, habis itu baharu kamu pergi cari kedua bocah itu!" Kedua petani itu menjadi murka, tanpa banyak omong lagi, mereka angkat pacul mereka masing-masing, dengan itu mereka menyerang! Tan Hong terkejut, apapula ketika ia saksikan kesebatan orang. Walaupun dia bertenaga besar, orang tani biasa tidak nanti demikian sebatnya. Terpaksa Tan Hong berkelit dengan gerakan "Poanliong djiauwpou," atau "Naga melilit." Tapi ia tidak cuma berkelit. Berbareng dengan itu ia pun mengangkat kedua tangannya, akan menyambuti pacul orang itu, untuk disamber dan dirampas. "Tolong! Tolong!" teriak kedua petani itu. "Tolong, ada rampok! Ada rampok bunuh orang!" Tan Hong mendongkol berbareng geli dalam hatinya. "Jikalau aku berniat membunuh kamu, siang-siang jiwamu sudah akan melayang!" ia kata pada mereka itu. "Tidak nanti aku biarkan kamu membuat keributan!" Segera ia ayunkan kedua tangannya, akan melemparkan kedua pacul orang. Pada waktu itu pula, muncul lagi delapan orang, yang datang dari mana kedua orang tani tadi keluar, mereka juga membawa pacul, dan tanpa banyak omong lagi, mereka maju mengeroyok Tan Hong, dari depan dan belakang, dari kiri dan kanan. Mau atau tidak, Tan Hong jadi mendongkol. "Tidak keruan-keruan aku mesti berkelahi, sungguh naas," pikirnya. Ia lompat berkelit, ia memikir untuk meloloskan diri, meninggalkan mereka itu, atau mendadak ia jadi heran. Ia telah dikurung ke delapan orang itu, ke mana saja ia noblos, di situ ada petani yang menghalang dan pacul yang melayang ke mukanya. "Inilah cara berkelahi yang terlatih," pikirnya kemudian. Karena ini, ia jadi bersungguh-sungguh, ia tunjukkan kehebatannya. Ia lantas peroleh hasil, tak lama berselang, ia dapat membuat orang kewalahan, hingga mereka itu main mundur, hanya pada saat itu, belum dapat ia mengalahkan mereka itu, kecuali apabila ia menggunakan kekerasan. Latihan mereka itu sempurna, masih dapat mereka mengurung, tidak mau mereka mengalah. Akhir-akhirnya Tan Hong bertindak juga, sambil berseru, ia desak mereka, hingga mereka mundur satu tombak lebih. "Jikalau kamu masih tidak hendak berhenti, jangan salahkan aku, aku tidak akan berbuat sungkan-sungkan lagi!" ia mengancam. Tapi ia tertawa. "Apa artinya tidak sungkan-sungkan?" tanya satu petani, yang rupanya menjadi pemimpin. "Bangsat anjing, apakah kau kira kami takut?" Tan Hong jadi mendelu juga. "Baik aku gunakan pedangku, untuk membuat pacul kalian kutung, hendak aku lihat, kamu jeri atau tidak.....” pikir dia. Lantas dia lindungi diri dengan tangan kiri, tangan kanannya dipakai merabah pedangnya. Justeru itu, dari atas gunung, terdengar suara pertanyaan: "Hai, kenapa kamu berkelahi?" Tan Hong mendongak, akan melihat ke atas, hingga ia tampak satu orang dengan kumis jenggot panjang, jidatnya lebar, hidungnya besar, dan dandannya seperti anak sekolah akan tetapi romannya seperti seorang yang mengerti silat. "Penjahat ini melukai kerbau dan menculik anak kami!" sahut petani yang menjadi kepala itu. "Kerbau kita tidak terluka," kata orang itu, yang terus memanggil-manggil: "A Tjiauw! A Seng!" Tan Hong melirik kepada kedua ekor kerbau. Sekarang ia lihat, kedua binatang itu tidak lagi saling kejar, hanya berhenti berlari dan berdiri diam, dan dari bawah perutnya muncul kedua bocah angon tadi, keduanya sambil tertawa berkakakan! Terhadap Tan Hong, mereka pun mengejek secara Jenaka, hingga pemuda ini tersenyum. "Aku juga heran kenapa kedua kerbau itu berputaran tak hentinya, kiranya mereka ini yang main gila," katanya di dalam hati. "Kepandaian mereka menungang kerbau nyata terlebih liehay daripada orang Mongolia menunggang kuda. Mereka muncul secara tiba-tiba, mereka berbuat itu dengan sengaja atau bukan? Baiklah aku berlaku waspada." Orang di atas gunung itu, yang usianya telah lanjut, terdengar pula berkata: "Orang-orang tani desa biadab dan tidak tahu aturan, ini pun salah pengertian, maka itu aku harap kau tidak berkecil hati tuan. Eh, kenapa kamu tidak lekas-lekas menghaturkan maaf kepada tuan itu? Lekas! Setelah itu kamu lekas pergi meluku!" Ke delapan petani itu, berikut kedua bocah, yang telah berkumpul menjadi satu, lantas menghadap Tan Hong, untuk memberi hormat. Sesudah mana, mereka semua ngeloyor pergi, hingga di situ Tan Hong berada seorang diri saja. "Apakah siangkong datang untuk pesiar?" tanya si orang tua kemudian. "Benar," sahut Tan Hong, singkat. "Tujuh puluh dua puncak tak mudah habis dipandang, sawah yang luas juga dapat menghilangkan duka, maka kalau siangkong datang untuk pesiar, kau mesti berdiam di sini sedikitnya beberapa hari," berkata pula si orang tua. Tan Hong lihat orang berlaku sopan, ia pun bersikap hormat. "Aku ingin bertanya mengenai she dan nama iootiang," ia mohon. "Tak usah kau tanyakan namaku, cukup kau memanggilnya aku iootiang," sahut orang tua itu. "Aku juga, cukup memanggil kau siangkong. Tidakkah ini sederhana?" Tan Hong setuju dengan sifatnya orang tua itu. "Benar," ia jawab. "Aku si orang tua tinggal di atas gunung ini," kata pula orang tua itu. "Beberapa sahabatku menamakan tempat kediamanku ini Tongteng San tjhoeng. Siangkong akan berpesiar beberapa hari di sini, apabila siangkong tidak berkeberatan, baiklah siangkong beri ketika bagiku untuk aku jadi si tuan rumah. Bagaimana siangkong pikir?" "Kau baik sekali, iootiang, terima kasih," sahut Tan Hong. "Aku kuatir aku nanti mengganggu padamu.....” Orang tua itu tertawa lebar. "Sama sekah tidak, siangkong1." ia kata. "Siangkong berpesiar, setelah lelah, kau datang ke gubukku, untuk beristirahat, jikalau ada jodoh, kita berkumpul, kalau tidak, sudah saja. Tidak ada gangguan bagiku.....” Tan Hong girang, ia hampirkan orang tua itu, untuk memberi hormat, yang mana dibalas si orang tua. Ia merasa puas dengan perkenalan ini. Ia memang berniat mencari seseorang yang mungkin bantuannya bisa diharapkan untuk mencari tempat menyimpan harta, sekarang ada si orang tua, inilah kebetulan. Si orang tua menunjuk kelereng gunung, ia berkata: "Di sana tidak ada apa-apa, akan tetapi sedikit sayur dan ikan tersedia juga. Kalau siangkong hendak pesiar, silahkan. Sebentar malam siangkong mampir padaku, akan aku sediakan ikan segar dan arak putih untuk teman kita pasang omong." "Terima kasih," Tan Hong mengucap, tangannya dirangkapkan. Di dalam hatinya, ia berpikir pula: "Kalau orang tua ini tidak menyembunyikan sesuatu maksud, ia mestinya seorang kangouw yang luar biasa, maka berhubung dengan kedatanganku ini, andaikata aku tidak berhasil mencari harta, senang aku dapat bersahabat dengan dia. Rombongan petani itu juga bukan sembarang orang, ada baiknya juga untuk berkenalan dengan mereka.....” Sampai di situ, mereka berpisahan, Tan Hong pun mendaki terus, untuk berpesiar katanya, sedang sebenarnya ia memasang mata, mencari sesuatu. Selama berdiam di atas gunung, terus sampai lohor, dengan matanya yang awas, Tan Hong merasa bahwa kadang-kadang ada seorang petani, atau penduduk gunung itu, yang sedang mengambil kayu atau memetik buah hutan, memasang mata kepadanya. Ia heran, ia jadi bercuriga. Tapi ia tidak jeri. Ia tetap perhatikan tempat yang ia kunjungi, ia ingat baik-baik. Kemudian, ketika matahari sudah mulai turun, ia menetapi janji terhadap si orang tua, ia bertindak ke lamping gunung, ia pergi ke apa yang si orang tua sebutkan kampung Tongteng San tjhoeng. Justeru waktu itu, pintu pekarangan telah dibuka dengan perlahan-lahan, yang membukakannya adalah satu nona, yang kedua matanya bersinar dan kulit mukanya halus seperti nona Kanglam atau nona Utara yang manis..... "Heran," pikir Tan Hong. "Kecantikan In Loei ada bagaikan bunga tjielan, kecantikan nona ini ada seumpama bunga mawar atau hoeyong. Kalau mereka berdua direndengkan, sungguh sulit untuk memilihnya....." Tan Hong baharu hendak membuka mulut, atau si nona telah mendahului. Lebih dahulu nona itu tertawa manis. "Siangkong, adakah kau siangkong yang datang berpesiar di gunung ini?" demikian dia menanya. "Ayah telah berbicara tentangmu kepadaku. Silahkan masuk!" Tan Hong mengucap terima kasih, terus ia ikuti nona itu masuk ke dalam pekarangan di mana tertanam pohon rotan, rupa-rupa pohon bunga, paseban dan empang. Itu adalah sebuah taman yang menarik yang tak kalah dengan Koaywa Lim, hanya kalah besar. Taman ini pun nyaman. Si orang tua, atau tuan rurnah, tampak tengah berdiri di depan paseban di mana telah tersedia arak, melihat tetamunya, ia menyambut dangan manis. "Bagaimana keindahan telaga dan gunung di sini?" ia menanya. "Telaga Thayouw ini jauh lebih indah daripada Tonggouw," jawab Tan Hong. "Airnya, gunungnya, bagaikan lukisan saja. Hal ini pun telah dibenarkan oleh orang-orang jaman dahulu. Boanseng kagum sekali." Orang tua itu tertawa. "Hanya sayang," katanya, "ada orang-orang yang memandang telaga dan gunung ini hingga mereka melupakan nama besar dan kedudukan tinggi, sampai di otak mereka hanya terdapat kuningan yang busuk saja. Tidakkah itu lucu dan mereka harus dikasihani?" Mendengar itu, berdenyut hati Tan Hong. "Mungkinkah dia ketahui bahwa aku datang kemari untuk mencari harta terpendam itu!" ia tanya dirinya sendiri. Tapi segera ia tertawakan dirinya, yang ia katakan banyak kecurigaannya. Tapi ia masih berpikir lebih jauh: "Leluhurku menyimpan harta, itulah satu rahasia. Aku juga ketahui harta disimpan di sini sesudah aku dapatkan anak kunci emas. Maka, cara bagaimana orang tua ini mengetahuinya? Perkataannya barusan mungkin kebetulan saja.....” Tuan rumah silahkan tetamunya duduk, ia mengundang minum, lantas mereka pasang omong terlebih jauh, mengenai pemandangan alam dari telaga dan gunung, dari hal ilmu surat dan seni lukis. Nyata mereka cocok satu dengan lain. Cuma sampai sebegitu jauh, mereka pantang menanyakan asal-usul mereka masing-masing. Setelah tenggak beberapa cangkir arak, orang tua itu kelihatan sudah pusing. "Siangkong, aku sudah pusing, aku ingin tidur," berkata dia. "Pemandangan Thayouw di waktu malam indah sekali, jikalau siangkong ingin menyaksikan, silahkanlah. Tempatku ini ada pintunya yang senantiasa terbuka. Siangkong boleh minta ditemani anakku atau dapat juga pergi seorang diri. Kalau pulang, tidak usah siangkong mengetok pintu, asal ditolak, pintu akan terbuka." "Baik sekali orang tua ini," pikir Tan Hong. "Ia seolah-olah mengetahui isi hatiku. Memang Thayouw mestinya indah di bawah cahaya Puteri Malam." Ia lantas menghaturkan terima kasih. Orang tua itu pun lantas mengundurkan diri. Si nona tertawa manis, ia menanya: "Adakah ini yang pertama kali siangkong pesiar kesini?" "Ya," sahut Tan Hong. " "Siangkong kata, siangkong datang dari Utara, aku lihat kau seperti orang Kanglam," kata pula si nona, sambil tertawa. "Eh, ya, aku seperti pernah lihat siangkong, entah di mana, aku seperti kenal kau.....” ' "Kau omong main-main, nona!" Tan Hong pun tertawa. "Sebenarnya ingin aku lebih siang mengenal kau, maka sayang, baharu sekarang ada ketika bagiku datang kemari untuk menyaksikan keindahan telaga dan gunung di sini." Nona itu tertawa, ia tidak bilang suatu apa. "Silakan siangkong ambil tempat di sini," kata dia. "Tempat kami buruk, harap siangkong tidak mencelanya." Tan Hong sebaliknya melihat sebuah kamar yang bersih yang berada di tengah-tengah empang teratai, yang bunganya sedang mekar, warnanya merah dadu, hingga indah dipandangnya, semerbak harumnya. Sambil tertawa, nona itu mengundurkan diri, akan tetapi masih terdengar suaranya yang halus: "Benar-benar, kalau melihat orang dari romannya, dia akan keliru mengenal Tjoe Ie. Menghadapi pemandangan bukit dan telaga ini, orang bicara dari hal manusia, sekalipun dibanding dengan kaisar, berapakah harga satu kati dari kaisar itu?" Tan Hong lantas berpikir: "Benar-benar, ada ayahnya, ada puterinya! Nona ini sangat sederhana dan polos.....” Lantas ia ingat In Loei, karena mana, bayangan si nona seperti tertindih. Ia mengawasi bunga teratai, ia ingat akan pengalamannya hari ini. Ia merasa aneh, ia merasa melayang, hingga tak ada keinginannya untuk tidur. Tanpa merasa, tak tahu ia berapa lama ia berdiam di dalam kamar itu, Tan Hong tiba-tiba melihat sinar rembulan memasuki jendela, ia pun dengar suara halus dari gelombang telaga itu. Ia lantas kerebongi dirinya dengan baju luarnya, ia tolak daun pintu belakang, untuk pergi keluar kamar, untuk mendaki bukit. Dari sebelah atas, sangat menarik memandang telaga yang indah itu, yang disinari cahaya Puteri Malam. Gunung Tongteng San Barat nyata berdiri agung di tengah-tengah telaga, yang luasnya delapan ratus lie. Tak dapat dilukiskan kepermaian alam itu. Selagi kesengsem dengan pemandangan itu, tiba-tiba Tan Hong dengar nyanyian si nona: "Mega abu-abu menggulung, maka bersihlah langit keperak-perakan, Angin yang halus datang meniup gelombang sang rembulan, Pasir diam, air berhenti, lenyap juga suara dan bayangan. Dengan secawan aku menghaturkan, aku bernyanyi untuk tuan, Bagaikan air jernih cukup untuk mencuci bersih kekotoran. Dalam hidupnya untuk apa manusia menyatakan penyesalan. Emas, perak dan mutiara, semua merupakan benda penghalang, Semua itu harus dihabiskan di antara gelombang! Aku nasihati tuan-tuan Ada arak, minumlah hingga mabuk sendirian, Ada arak tak diminnm, sayanglah sang rembulan." Merdu nyanyian itu, terbawa angin menjelajah telaga Thayouw..... Thio Tan Hong termenung lalu ia berpikir. "Nona ini menyanyikan syair dari jaman Tong. Bukankah dengan itu ia tengah menasehati aku untuk jangan bercapai hati dan tenaga mencari harta simpanan itu? Ah, mana dia tahu cita-citaku! Aku tak berminat menguasai harta besar itu! Mana sudi aku segala benda busuk itu?" Lalu timbul keinginannya untuk membalas si nona. Maka ia menyambutnya: "Tuan, berhentilah bernyanyi, dan kau dengar nyanyianku Puncak ini mendadak menjulang, menunjang "langit perak". Di dalam dunia ini juga ada laki-laki sejati, Berdiri dengan tegak dan gagah, dengan pedang dilintangkan! Gelar kebangsawanan dan permata, semua itulah kotoran, Cita-citanya ialah satu kali menggulung pemerintahan!" Begitu lekas suara Tan Hong lenyap maka di sana, di antara batu-batu berdiri bagaikan ujung rebung, si nona, wajahnya tersungging senyuman. Dia memandang kepada si anak muda, tangannya dilambai-lambaikan dengan perlahan. Tanpa merasa, anak muda ini bertindak menghampiri. "Apakah benar kau hendak kukuhi cita-citamu?" tanya si nona tiba-tiba. "Tak tahu aku, cita-cita apakah yang nona maksudkan," jawab Tan Hong. "Akan tetapi, kalau satu laki-laki melakukan sesuatu, mana dapat dia gampang-gampang merubahnya?" Wajah si nona berubah. "Kau datang kemari dengan pikiran untuk mencuri harta!" dia kata sambil tertawa dingin. "Itulah kau jangan harap!" Dengan sekonyong-konyong nona itu menghunus sebatang pedang pendek, yang sinarnya hijau berkelebat, dengan apa ia menikam dada si anak muda di depannya. Tan Hong kaget, akan tetapi ia dapat berkelit. "Nona, kau siapa?" ia tanya. Nona itu tidak menyahuti, sebaliknya, dengan kegesitannya, ia menikam pula berulang kali. Tan Hong tidak melakukan perlawanan, ia hanya berkelit, karenanya ia jadi terdesak sampai di tempat di mana terdapat banyak batu. "Nona, tunggu,....tunggu!" ia berkata, berulang-ulang. "Dengarkan dahulu.....” Ia belum menutup mulutnya, juga si nona belum menjawab dia, atau mendadak dari antara sela-sela batu yang banyak itu, muncul beberapa orang, di antara siapa terdapat si tuan rumah, yang usianya sudah lanjut dan tangannya menyekal sebatang tempuling, ketika dia lompat ke atas sebuah batu, dia langsung menikam ke arah uluhati si pemuda. Hebat sambaran tempuling itu, maka tahulah Tan Hong bahwa orang tua itu liehay ilmu silatnya. Suara sambaran itu membuktikan orang terlatih baik. "Lootiang, kau kenapa?" Tan Hong masih menanya. "Kenapakah sikap kau ini?" "Hrn! Apakah benar kau sendiri masih belum mengerti?" jawab tuan rumah itu. "Mulanya aku sangka kau seorang terhormat, kiranya kau ada satu manusia jahat yang dipengaruhi harta!" Sementara itu Tan Hong kenali beberapa orang di antaranya adalah petani-petani yang tadi siang ia lihat. "Memang telah kami lihat, kau bukannya orang baik-baik!" berkata beberapa orang itu. "Lihat! Lihat pedang! Lihat tombak cagak!" Memang benar, senjata mereka itu banyak macamnya, ada pacul juga. Tan Hong gentar juga karena orang segera mengepung dia, lebih-lebih tempuling si orang tua dan pedang pendek si nona. Ia tidak diberi kesempatan untuk bicara. Tentu saja, tanpa perlawanan yang berarti, ia bisa terkurung terus di tempat itu, yang banyak batunya. Maka terpaksa ia hunus pedangnya dengan apa segera ia tabas kutung senjatanya dua petani. "Tahan!" ia berteriak, begitu lekas kedua orang itu mundur, mereka kaget sebab senjata mereka kena dibabat kutung. Si orang tua tertawa berkakakan. "Dengan terkurungnya kau di dalam barisan ini, percuma saja pedang mustikamu!" kata dia dengan wajar tetapi jumawa. Lantas dia maju pula, menikam dengan tempulingnya. Tan Hong masih pandang orang tua ini, tidak mau ia mendesak, tidak ingin ia memapas senjata orang, ia hanya melawan yang lainnya. Akan tetapi, kalau yang satu mundur yang lain maju, atau mereka meluruk, atau mereka pun seperti menghilang di belakang batu. Kali ini, mereka itu berlaku sangat licik, tidak sudi mereka membuat senjata mereka bentrok. Setelah berkelahi sekian lama, Tan Hong lantas dapat perhatikan sikap orang. Berikut si orang tua dan si nona, ayah dan anak dara, lawan berjumlah delapan orang, dan kedudukan mereka pun di delapan penjuru, dan caranya mereka bertempur ialah tiap-tiap kali mereka mundur, akan berkelit di belakang batu, akan kemudian muncul lagi untuk melakukan serangan secara tiba-tiba. "Coba aku arah satu orang," pikir anak muda itu. "Ingin aku lihat, cara bagaimana kau sembunyikan dirimu.....” Pikiran itu diwujudkan, Tan Hong desak satu petani, yang ia lihat kepandaiannya biasa saja. Petani itu berlari-lari di batu, lantas dia lenyap, sebagai gantinya, si nona dengan pedangnya dan satu petani lain dengan tumbaknya, menyerang dengan tiba-tiba dari kiri dan kanan dari mana mereka itu muncul secara mendadak. Ketika ia desak si nona, nona itu pun mundur menghilang, lalu si orang tua muncul sebagai gantinya, dan orang tua itu menyerang dengan hebat. "Bagaimana harus aku layani mereka ?" pikir Tan Hong sambil terus melawan musuh-musuhnya. Dari delapan lawan itu, kecuali si nona dan ayahnya, yang enam berkepandaian cukup untuk masuk dalam dunia kangouw, cuma di mata Tan Hong, mereka adalah orang-orang biasa saja, hanya yang aneh adalah caranya mereka berkelahi, main mundur dan menghilang, untuk dengan tiba-tiba muncul pula, menyerang separuh membokong. Pertempuran luar biasa ini berlangsung sekian lama, tetap Tan Hong tidak bisa desak terus satu musuh, tidak mampu lagi ia menabas kutung senjata orang. Di lain pihak, tetap ia terkurung, tiap-tiap kali ia diserang. Lama kelamaan ia jadi kewalahan juga. Syukur untuknya, ia mempunyai pedang yang tajam luar biasa itu, yang ditakuti musuh, hingga musuh tak dapat mendesak ia habis-habisan. Lama juga Tan Hong berpikir, sampai tiba-tiba ia seperti tersadar. Tidakkah kurungan itu mirip dengan kurungan barisan istimewa Pat Tin Touw, atau "Delapan Barisan." dari Khong Beng? Ingat ini, ia lantas perhatikan lebih sungguh-sungguh, ia perhatikan letaknya berbagai batu. Ia lantas dapat lihat "delapan pintu" ialah "hioe" = berhenti, "seng" = hidup, "siang" = luka, "touw" = tutup, "soe"=mati, "keng" = pemandangan, dan "kheng" = kaget. Ia tidak sangka bahwa ia akan menemui Pat Tin Touw di Say Tongteng San di Thayouw ini, sedang panglima-panglima perang, dahulu dan sekarang, hanya beberapa orang yang berhasil melihat itu. Memperhatikan lagi sesaat, Tan Hong tahu pintu "seng" =hidup dijaga oleh si nona yang bersenjatakan pedang pendek itu. Ia lantas saja berpikir bagaimana caranya memukul pecah tin itu, untuk membebaskan dirinya. Lalu, dengan tidak bersangsi sedikit juga, ia lompat mencelat. Dari pintu soe ia lompat ke pintu kheng, dari sini ia melejit ke pintu siang, terus memutar ke pintu touw, akan lebih jauh melesat ke pintu seng1. Dengan cara penyerangan itu, barisan Pat Tin Touw itu lantas menjadi gempar, keadaan menjadi kacau, hingga si nona menjadi kaget sekali. Karena Tan Hong mendesak ia, berulangkah ia main berkelit saja. Sebenarnya tidak sampai hati anak muda ini, akan tetapi ia ingin nerobos keluar, ia ingin, maka terpaksa ia mendesak terus, ujung pedangnya senantiasa bergerak-gerak di bebokong si nona. Dengan cara ini ia hendak paksa si nona keluar dari pintu "hidup" (seng) itu, untuk memimpin atau mengantarkan ia keluar. Segera orang sampai di pintu keluar, si nona mendadak menjerit dengan tajam, agaknya ia sangat ketakutan. Tan Hong melengak, ia menyangka, karena kurang hati-hati, ia telah melukai si nona. Karena ini, terhentilah serangannya. Tapi justeru itu, bagaikan "bumi terbalik, langit berputar, terdengarlah satu suara nyaring, di muka bumi itu terbukalah suatu lobang besar, dan sebelum tahu apa-apa, tubuhnya sudah terjeblos ke dalam lobang itu! Nyatalah, tempat di mana barusan Tan Hong berhenti, adalah lobang jebakan. Atas tanah itu ada urukan pasir. Dalam keadaan biasa, karena liehaynya ilmu enteng tubuhnya, sebenarnya dapat Tan Hong lompat untuk menyelamatkan diri, akan tetapi jeritan si nona membuatnya ia tercengang, hingga ia merandak, dari itu, tak keburulah ia mencelat lagi. Walaupun ia telah terjeblos, Tan Hong tidak lantas jatuh. Ia masih dapat kesempatan untuk lompat jumpalitan, maka ketika kakinya menginjak dasar lobang, ia jalan dengan perlahan. Ia hanya berada dalam gelap gulita, hingga sekalipun ke lima jari tangan di depan matanya, tidak dapat ia lihat. Dalam sekejap ia kaget, lantas ia dapat kuasai pula dirinya. Yang paling dulu ia lakukan ialah merogo ke dalam sakunya, untuk mengeluarkan serenceng mutiara yabeng tjoe-nya, yang ia cantelkan diujung pedangnya, maka, cahaya mutiara itu, yang bentrok dengan cahaya pedang, segera menerbitkan sinar terang, hingga sekarang ia dapat melihat dengan nyata. Lobang itu dalam sekali, kelihatannya sukar bagi orang merayap naik ke atas untuk keluar dari situ. Dasarnya juga tidak rata, dan tanahnya demak, bau demak itu tidak sedap. Untung bagi Tan Hong, lobang itu tidak buntu, ada lobang lainnya yang merupakan terowongan atau lorong. Karena mempunyai api istimewa itu, ia lalu bertindak mengikuti terowongan itu yang jalannya tidak rata, demak semua. Ketika ia tiba pada akhir terowongan, ia berhadapan dengan tembok batu. Jadi sampai di situ habislah terowongan itu. Tanpa merasa, anak muda ini menghela napas. "Tidak kusangka bahwa di sinilah tempat ajalku," katanya dengan perlahan. "Secara begini, aku akan menemui kematianku secara kecewa.....” Tapi ia bukan seorang yang mudah putus asa. Selagi hilang harapan itu, timbul kemurkaannya. Sekonyong-konyong ia ayunkan kepalannya ke arah tembok. "Duk!" begitulah terdengar suara keras. Tiba-tiba, tembok itu tampak bergerak sedikit. "Hai!" berseru anak muda ini, yang timbul pula harapannya. Ia lantas saja bekerja. Tidak lagi ia gunakan kepalannya, hanya ujung pedangnya untuk mengorek-ngorek dan menggurat-gurat. Harapannya makin besar ketika ia dapat kenyataan tembok itu gempur sedikit-sedikit, gempurannya meluruk jatuh. Nyatalah batu itu ditambal, dengan gempurnya tambalan itu, batunya pun nampak bergerak sedikit. Melihat itu, Tan Hong menjadi dapat harapan. Segera ia pasang kuda-kudanya, menghadapi batu itu, setelah mengerahkan tenaganya, ia menolak dengan keras kepada batu itu. Dan..... terdengarlah satu suara keras dan nyaring batu itu rubuh ke lain arah, yang meninggalkan sebuah liang yang hanya muat tubuh satu orang! Tanpa bersangsi, Tan Hong memasuki liang itu, hingga sejenak saja ia telah berada di lain sebelah. Yang hebat adalah kedua matanya lantas menjadi silau. Ia meramkan matanya, ia buka lagi dengan perlahan, untuk meneliti cahaya yang membuat matanya itu silau. Apabila ia sudah melihat tegas, ia menjadi girang bukan kepalang. Di sana terdapat sebuah terowongan, cahaya itu datangnya dari terowongan itu. Ia lantas bertindak ke dalam terowongan itu, yang lebih pendek, dari yang semula tadi, maka itu, sebentar kemudian, sampailah ia di tempat yang buntu. Di situ terdapat sebuah pintu batu, bukan batu biasa, tetapi seluruhnya pekgiok, batu kumala warna putih. Batunya sendiri tidak aneh, yang aneh adalah besarnya. Maka dapatlah dimengerti jikalau kumala putih itu berharga besar bukan main. Sekarang Tan Hong simpan yabeng tjoe-nya, ia rabah pintu kumala itu, yang licin. Ia merabah-rabah ke sekitarnya sampai jari tangannya menyentuh suatu liang kecil. Ketika ia awasi, ia dapat kenyataan liang itu adalah liang kunci. Kembali ia dapat harapan. Tan Hong keluarkan anak kuncinya, ia masukkan itu ke dalam liang kunci itu, apabila ia memutarnya, pintu kumala itu terbuka. Dengan girang ia masuk ke pintu itu, hingga ia berada di lain ruangan. Sambil melewati pintu, tangannya mendorong ke belakang daun pintu, atas mana, pintu itu tertutup pula. Sambil menyimpan anak kuncinya, Tan Hong pentang kedua matanya. Di hadapannya sekarang nampak sinar terang, yang bercahaya berkilauan, itulah sinar dari emas dan perak serta barang permata lainnya. Sekejap itu, ia dapatkan suatu perasaan. Bukankah ia tengah menghadapi suatu harta besar? Tan Hong gunakan tangannya, akan mengangkat berbagai permata itu, sampai di bawahnya ia dapatkan sebuah kotak kumala. Kotak itu tidak dikunci, hingga mudah dapat dibuka. Isinya adalah sehelai peta bumi yang lebar. Ia lantas beber peta itu, ia memandangnya dengan menggunakan sinar pelbagai barang permata itu. Peta itu melukiskan dengan jelas setiap tempat, ada gunungnya, ada kalinya. Untuk tempat-tempat yang harus dibelai, atau diserang, ada petunjuk-petunjuk yang berupa catatan. Melihat jamannya, sangat lengkap peta itu. Tan Hong tahu, itulah peta yang dicari-cari. Itulah peta Pheng Hoosiang, yang dibuatnya tentu dengan susah payah dan memakan waktu, untuk Thio Soe Seng memperebutkan negara dengan Tjoe Goan Tjiang. Mengawasi peta itu, dengan sendirinya Tan Hong mengucurkan air mata. Selagi mengawasi kotak kumala, di atas itu Tan Hong lihat ukiran huruf-huruf yang berbunyi: "Bila peta ini muncul, maka bangkitlah pula Kerajaan Tjioe yang besar." Tan Hong duga bahwa leluhurnya, yaitu Thio Soe Seng, percaya turunannya akan dapat menemui harta dan peta itu, maka ditinggalkannya pesan itu supaya turunan itu nanti mengusahakan untuk mewujudkan cita-citanya merubuhkan kerajaan Beng, untuk membangun pula kerajaan Tjioe. Sambil menghadapi kotak kumala itu, Tan Hong paykoei sampai delapan kali, sambil memberikan hormatnya itu, ia angkat kepalanya, mendongak, seraya mengucap: "Thio Tan Hong, turunan yang tidak berbakti, mohon maaf leluhurnya, bahwa mungkin sekali Tan Hong tak dapat mewujudkan pesan memusnakan kerajaan Beng guna menghidupkan pula kerajaan Tjioe.....” Dengan mencari harta dan peta itu, Thio Tan Hong sudah mempunyai suatu maksud tertentu, yaitu peta dan harta itu hendak ia serahkan kepada Kokloo Ie Kiam, supaya Ie Kokloo menggunakannya untuk menangkis penyerbu, petanya untuk pembelaan dan penyerangan, dan uangnya guna membeayai angkatan perang dan membeli alat senjata dan rangsum. Setelah meneliti peta itu, Tan Hong menggulungnya pula. "Sekarang aku mesti pergi ke mulut gua, untuk perdengarkan suara nyaring, guna membeber cita-citaku, guna memperlihatkan kecintaanku terhadap negara, mungkin Tongteng Tjhoengtjoe dapat mendengarnya dan akan insaf pada cita-citaku itu. Semoga dia nanti menurunkan dadung untuk aku naik ke atas.....” Begitu ia berpikir, begitu Tan Hong bertindak ke pintu kumala. Tadi ia telah menutup pula pintu itu, sekarang ia mesti membukanya kembali. Ia terkejut, ketika ia dapatkan pintu terkunci, hingga tak dapat ia membukanya. Ia mencoba dengan anak kuncinya, akan tetapi terbukti, itu bukanlah anak kunci yang tepat. Nyata pintu itu mempunyai dua macam kunci, satu untuk di luar, dan yang lain untuk yang di dalam. "Celaka!.....” ia mengeluh. Kali ini benar-benar hebat. Pintu itu tidak dapat digempur seperti pintu batu tadi. Di situ cuma ada emas dan perak serta permata, tidak ada barang makanan, itu artinya bahaya lapar mengancam padanya. Di situ pun tidak ada air, hingga tenggorokannya akan lekas menjadi kering. Leher kering sama bahayanya dengan perut kosong. "Kelihatannya pasti aku akan mati kelaparan dan berdahaga di sini.....” pikirnya pula kemudian. Menghadapi ancaman maut adalah sangat hebat, maka itu, dalam putus asanya. Tan Hong berteriak-teriak di muka pintu, ia harap suaranya itu terdengar sampai di luar. Tapi ia pentang suara tanpa ada hasilnya, suara itu cuma terdengar oleh kupingnya sendiri, hingga ia merasa tuli..... "Orang kata, seseorang dapat bertahan selama tujuh hari jikalau ia tidak dahar, tapi aku terlatih ilmu silat, mungkin aku dapat bertahan selama sepuluh hari," pikir ia kemudian, menghibur diri. "Selama sepuluh hari, aku mesti berpikir untuk mendayakan sesuatu.....” Pikiran Tan Hong lantas saja melayang, ke-permusuhan antara kedua keluarga Thio dan Tjoe, yang berjalan turun temurun, atau di lain saat ia ingat In Loei, wajah siapa segera terbayang dihadapan matanya. Ia lihat tegas nona itu cantik dan manis tapi berbareng dengan itu pun bengis, bagaikan tengah murka..... "Oh, adik kecil, sukar bagi kita bertemu pula.....” Tan Hong mengeluh. Tan Hong tahu, sudah beberapa kali In Loei berniat membinasakan dia, tetapi ia tidak bersakit hati karenanya. Ia malah sangat tertarik terhadap nona itu, yang, kecuali sedang murka, juga manis dan menarik hati, karena gerak-geriknya yang halus. "Memang dia berniat membunuh aku, tapi ada kalanya dia sangat lemah lembut," pikirnya pula. "Ya, halus budi pekertinya. Yang kurang padanya adalah kekerasan hati berlainan dengan anak daranya Tongteng thjungtjoe, aku percaya dia berani berbuat dan berani bertanggung jawab, hingga alangkah baiknya apabila sifat mereka berdua dapat digabung menjadi satu. Dengan begitu jadilah dia satu manusia yang sempurna.....” Terkurung dalam guha itu, Tan Hong menjadi tidak keruan rasa. Untuk tungkuli diri, ia periksa semua harta leluhurnya itu, ia angkat sana dan angkat sini, ia balik-balikkan. Tiba-tiba tertindih oleh setumpuk mutiara, ia dapatkan satu kotak pualam lainnya. Ia angkat itu. Di atas kotak itu ia baca ukiran berikut: "Surat-suratnya guru marhum. Soe Seng simpanlah dengan perhatian." Dengan lekas Tan Hong buka kotak itu, untuk melihat isinya, ia dapatkan peta bumi yang masih terpisah satu dengan lain dan sejumlah catatan. Ia mengerti, terang sudah, semua itu adalah berbagai catatan dari Pheng Hoosiang ketika dia mulai dengan pembuatan peta buminya itu, yang dicatat di setiap tempat ke mana dia telah pergi, ketika semua itu telah dihimpunkan menjadi satu, terjadilah peta yang orang berebut mencarinya. Tentu saja sekarang ini, peta kasar itu sudah tidak ada perlunya, kecuali itu pelbagai catatan lain, tentang penduduk sesuatu tempat dan kebiasaannya masing-masing, perihal keletakan pelbagai gunung dan sungai yang mengenai pergerakan tentera. Semua itu pun menyatakan ketelitian Pheng Hoosiang, kesungguhan hatinya, yang sudah bercapai hati untuk mengumpul dan membuat itu. "Semua ini harus aku simpan dan kumpulkan dengan rapih, inilah bagus bila dibuat menjadi satu jilid buku istimewa," demikian Tan Hong pikir. Tapi, bukan bagian petanya, hanya tulisannya. Kali ini ia lihat catatan tersusun, yang merupakan sejilid buku tipis. Buku ini berkalimat "Hiankong Yauwkoat" atau "Rahasia ilmu silat." Ia baca lembaran pertama, tentang ucapan Khong Tjoe perihal "iie"= dasar, "khie"= hawa, dan "siang"=roman. Ia heran. Dari mana Khong Tjoe mengerti tentang hiankong atau Iweekang, ilmu silat bagian dalam? Maka ia membaca terus. Ia dapatkan penjelasannya: "Roman itu bersifat iimu siiat; hawa itu pengaruhnya iimu siiat; dan dasar adalah buahnya iimu siiat. Kaiau ketiganya diperoleh dengan lengkap, gerakan tangan dan kaki tak akan menyeleweng." Lalu, lebih jauh, ada berbagai penjelasan lainnya lagi. Maka, setelah membaca itu, Tan Hong menghela napas saking kagum. Seorang diri ia kata: "Setelah membaca ini, baharu aku kenal akan diriku. Dibanding dengan guru besar ini, aku tak lain daripada sinar kunang-kunang." Karena ini, ia menjadi sangat tertarik, kemudian ia lanjutkan terus. Harus diketahui, Pheng Hoosiang itu bukan sembarang orang. Ia pun telah menjadi guru dari dua kaisar — Tjoe Goan Tjiang dan Thio Soe Seng — maka dapatlah dimengerti yang ia mempunyai kepandaian istimewa, yang melebihi kebanyakan orang. Kebetulan sekali, Tan Hong adalah orang yang mendapatkan kitab warisan itu, dengan kecerdasannya ia dapat menginsyafi isi kitab itu. Kakek guru dari Tan Hong, Hian Kee Itsoe, telah mendidik empat murid, kepada tiap muridnya ia telah mewariskan masing-masing serupa kepandaian. Tan Hong ketahui, toasoepee Tang Gak mendapatkan Taylek Kimkong Tjioe, dan djiesoepee Tiauw Im Hweeshio mendapatkan Gwakang, ilmu silat bahagian luar, atau Ngekang — ilmu keras. Sekarang, setelah ia membaca kitab ini, tanpa petunjuk lisan dari guru lagi, mengertilah ia isi dari kedua ilmu silat itu, hingga ia jadi girang tak kepalang. "Dengan memiliki kitab ini, apabila aku meyakinkannya dengan sungguh-sungguh, bukankah aku akan mengerti maksud setiap ilmu silat dan mudah mempelajarinya sesuatu ilmu?" demikian ia kata seorang diri. Tapi begitu lekas ia sadar bahwa ia tengah terkurung, dengan tiba-tiba saja ia menjadi lesu pula.....” Dengan cara bagaimana ia dapat keluar dari gua ini? -ooo0dw0ooo- Bab XVIII Biar bagaimana juga, Tan Hong adalah seorang yang keras hatinya, yang cerdas, maka setelah memikir sebentar, dapat ia legakan hatinya. Ia anggap tak usah ia pikirkan soal bisa keluar atau tidak, ia hanya harus meyakinkan dahulu kitab itu. Demikian ia bertekun dengan kitab itu. Mulanya Tan Hong mulai merasa lapar, akan tetapi setelah meyakinkan kitab, ia merasa lega, hingga selama setengah hari, ia dapat merebahkan diri dan tidur pulas. Ketika ia mendusin, tidak tahu ia sudah jam beberapa waktu itu. berbagai batu permata bersinar terang sekali. "Coba aku melatih diri," pikir Tan Hong kemudian. Ia ingat Taylek Kimkong Tjioe dari toasoepee-nya, maka lantas saja ia hajar pintu kumala dengan kepalannya. Pukulan itu menerbitkan suara yang keras, pintu tidak terbuka, tapi suara itu sudah menyatakan bahwa ia telah peroleh hasil. Kelaparan satu hari, Tan Hong rasakan ia masih dapat melawannya, yang hebat adalah keringnya kerokongannya disebabkan dahaganya. Umumnya siapa kelaparan terus menerus, dalam tempo tujuh hari baharulah ia akan terbinasa sendirinya, tapi apabila orang tidak minum, kekuatan bertahannya cuma tiga hari atau ia akan meninggal dunia. Sekarang ia mencoba menguatkan hati, untuk menahan serangan lapar dan haus itu. Sementara itu, ia telah selesai membaca kitab "Hiankong Yauwkoat" itu, ia sudah sanggup menghafal di luar kepala. Hasilnya luar biasa, yaitu ia dapat mengurangkan rasa haus dan laparnya itu. Selagi Tan Hong menghafal terus, tiba-tiba kupingnya mendengar satu suara perlahan. Segera ia memasang kuping. Ia dengar suara seperti orang sedang menggali tanah, sedang membongkar. Ia perhatikan arah dari mana suara itu datang. "Siapa?" ia berseru sambil lompat setelah ia ketahui tempat asalnya suara itu, ialah arah pintu. Itu pun suara seperti orang tengah membongkar batu keras. Tidak ada jawaban dari luar, kecuali suara membongkar batu itu, yang masih tetap terdengar. Dalam penasarannya, Tan Hong kerahkan tenaga di tangannya, lalu ia hajar pula pintu batu kumala itu. Pukulannya itu mendatangkan suara keras sekali, akan tetapi pintu tidak rubuh, bergeming pun tidak. Sebaliknya, tangan si penyerang dirasakan sangat sakit, seperti tangan itu hendak copot. "Tidak sembarang alat besi dapat menggempur rubuh pintu ini." ia pikir kemudian. "Siapa itu di luar?" kembali ia tanya. "Kalau kamu hendak menolong aku, kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku?" Tetap tidak ada suara yang menyahuti. Cuma terus terdengar suara menggali tanah itu. "Inilah hebat," pikir Tan Hong. Dari suara galian itu, ia duga orang yang bekerja cuma bersendirian. Apakah artinya tenaga satu orang? Bukankah ia tetap terancam bahaya kelaparan dan kehausan itu? Tengah ia berpikir, Tan Hong lihat tanah gempur di bawah pintu, lantas ia gunakan pedangnya, akan mengorek ke arah itu, habis mana terlihat satu sinar kecil masuk dari bawah pintu. Teranglah, orang di sebelah luar sudah berhasil membongkar dan membuat lobang itu, yang besarnya sejari tangan. Ia menjadi lega, tapi ia pun heran. "Apakah artinya ini?" ia menduga-duga. "Mungkinkah orang membuat liang supaya dia dapat menceploskan barang makanan untukku? Tapi liang ini masih terlalu kecil.....” Ia memasang kuping. Ia dengar suara menggali di sebelah luar telah berhenti. Sebagai gantinya terdengar suara lain, seperti orang mendorong dengan suatu benda keras. Ia lantas saja mengawasi. Tiba-tiba terlihat suatu sinar berkilau, warnanya kuning emas. Segera tertampak diceploskan satu kunci emas. Ketika Tan Hong sambuti itu, ia dapat kenyataan anak kunci itu mirip dengan kepunyaannya. Sebagai seorang yang cerdas, ia lantas dapat menerka maksud orang. Maka tanpa membuang waktu sedetik juga, ia coba masukkan anak kunci itu keliang kunci pintu batu kumala itu. Begitu lekas ia memutar, daun pintu menjeblak dan satu nona cantik, dengan wajah tersungging senyuman manis, tengah berdiri di muka pintu, mengawasi kepadanya. Ketika ia lihat tegas roman orang, Tan Hong merasa ia bagaikan tengah bermimpi. Nona itu, ia kenali, adalah puterinya Tongteng Tjhoengtjoe, yang mukanya kemerah-merahan, yang senyumannya tidak segera lenyap. Nona itu berdiri dengan tangan kirinya menyekal pedang, tangan kanan memegang linggis. Pada ujung pedangnya masih terdapat sisa lumpur. Di mulut gua, sebelah atas, tergantung sebuah tengloleng, hingga karenanya, barang-barang permata itu lantas bersinar di antara cahaya api. "Terima kasih untuk pertolongan kau ini, nona!" kata Tan Hong sambil menjura kepada nona itu. Ia tahu, tidak dapat ia diam dan mengawasi saja. Nona itu tertawa dengan tiba-tiba, lekas-lekas ia tutup mulutnya. "Tuan muda, keluargaku telah menantikan kau selama tiga turunan," berkata ia, suaranya halus dan merdu. "Tadi malam belum tahu kami bahwa kau adalah tuan muda kami, hampir saja kami celakai jiwamu, maka itu, bukannya kau menyalahkan kami, sebaliknya kau menghaturkan terima kasih terhadap kami!" Mendengar demikian, Tan Hong insyaf dengan tiba-tiba. Ia tertawa berkakakan. "Janganlah kau memanggil tuan muda kepadaku," ia mencegah. "Ada hubungan apakah antara aku dengan leluhurku itu yang kebetulan saja mengangkat dirinya menjadi raja? Aku adalah orang she Thio dan namaku Tan Hong, kau panggil aku Tan Hong saja!" "Sejak dua bulan yang lalu aku telah ketahui she dan namamu itu," berkata pula si nona. "Ketika itu telah aku memikirnya, nama itu bagus sekali. Di pekarangan rumah kita ditanam banyak pohon hong, adakah kau melihatnya pohon itu?" Masih si nona suka bersenyum, wajahnya berseri-seri. Ia tak pemaluan, ia bicara dengan si anak muda bagaikan kenalan lama, yang sudah biasa bergurau. Tan Hong lantas saja berpikir. Ia lantas ingat In Loei. Nona ini nyata sangat bebas. Ia awasi nona ini, ia seperti melirik. "Jangan kau kesusu untuk memberitahukan she dan namamu padaku," ia kata. "Kau biarkan aku menerkanya. Bukankah she-mu she rangkap Tamtay dan namamu memakai kata Beng di antaranya?" "Kau menerka tepat," sahut si nona. "Bukankah kau ketahui she dan namaku ini karena kau diberitahu oleh Tamtay Biat Beng?" "Tantai Tjiangkoen belum pernah berbicara denganku bahwa dia mempunyai adik perempuan yang cerdik sebagai kau ini," jawab Tan Hong. Si nona tertawa. "Aku kuatir, sebelumnya ini ia memang belum mengetahui bahwa ia mempunyai adik perempuan yang bodoh sebagai aku ini!" ia kata. "Baharu bulan yang lalu ia datang kemari secara sangat kesusu, untuk belajar kenal dengan keluarga kami, untuk perkenalkan diri dan mengakui pamili, habis itu, cuma menginap satu malam, dia sudah kabur pula!" Tan Hong segera menghitung hari. Hari ketika Tantai Mie Ming datang ke Thayouw adalah harian si pangeran asing hendak pulang ke negerinya. Nyatalah setelah Mie Ming dan ia pergi menghadap Ie Kiam, Mie Ming terus secara diam-diam meninggalkan kota raja tanpa diketahui orang, sedang di kota raja terdapat banyak pahlawan kimie wie. "Kalau begitu," berkata si nona, "seberlalunya Biat Beng dari sini, dia tidak bertemu pula dengan kau. Ketika itu hari dia datang, dia telah berbicara mengenai kau yang secara diam-diam nelusup masuk ke Tionggoan, katanya mungkin kau akan pergi ke Souwtjioe untuk mencari harta benda warisan leluhurnya, karenanya, dia suruh kami perhatikan kau. Sayang dia datang dan pergi secara kesusu begitu rupa, sampai dia tidak sempat melukiskan tampang dan potongan kau. Kita mulanya percaya kau serupa seperti dia, setelah tinggal bertahun-tahun di Mongolia, romanmu seperti orang Mongolia saja. Siapa sangka, kau cakap ganteng melebihi pemuda-pemuda Souwtjioe dan Hangtjioe....." Habis mengucap, si nona bersenyum pula, kedua bibirnya dibuat main. Rupanya dengan mendadak ia telah insyaf bahwa ia telah berbicara secara terlepasan, akan tetapi ia tak malu seperti nona-nona lainnya. Tan Hong pun tertawa di dalam hatinya. Tantai Mie Ming, atau Tamtay Biat Beng, rupanya seperti orang Ouw, orang Mongolia, itulah disebabkan engkong dan ayahnya telah menikah dengan orang Mongolia, jadi roman itu bukan disebabkan karena tinggal terlalu lama di Mongolia dan karenanya, wajahnya bisa berubah. Nona ini nampak cerdas akan tetapi kali ini, ia menduga keliru.....” "Ketika pertama kali kau datang pesiar, kami sudah curiga," berkata pula si nona. "Selama belakangan ini kami tengah menghadapi suatu urusan, yaitu kabarnya ada orang jahat yang telah mendapatkan sehelai salinan peta kota Souwtjioe, karena peta itu, mereka menduga tempat menyimpan harta adalah taman Koaywa Lim, maka selama setengah bulan yang lalu, tak putusnya datang orang ke Koaywa Lim untuk melakukan pemeriksaan. Rahasia kami di sini, tidak diketahui orang luar, akan tetapi tak dapat kami tidak bersiaga. Begitulah kami menyangka jelek padamu." Hong tertawa . "Coba kau pandang aku, adakah aku mirip penjahat?" dia tanya. "Itulah sebabnya," sahut si nona. "Kalau tidak, mungkin kau telah kehilangan jiwamu! Ayah telah melihat romanmu dan dengar suaramu yang halus, ia tak dapat menerka-nerka asal-usulmu. Ayah telah memikir untuk segera mencari tahu, apakah kau benar tuan muda kami atau bukan, ia masih ragu-ragu, ia kuatir nanti gagal dan karenanya, tanpa diinginkan, rahasia di sini terbuka sendirinya, maka itu, ia bersabar. Begitu ayah ambil putusan, biar kau terkurung, jangan kau sembarang kabur. Dikurung di dalam Pat Tin Touw ini, kau tidak diganggu, sebab ayah tak sudi mencelakai orang baik-baik. Kau tahu, meskipun kau kenal Pat Tin Touw dan dapat meloloskan diri, kau tidak dapat kabur terus." Tan Hong mengawasi. "Habis, kenapa akhirnya kamu kenali juga aku?" dia tanya. Si nona juga tertawa. "Di kolong langit ini, kecuali kau seorang, siapa lagi yang sanggup membuka pintu kumala ini dari luar?" dia menjawab. Juga Tan Hong tertawa pula. Ia kata: "Di kolong langit ini, kecuali kau seorang, siapa lagi yang sanggup menolongi aku keluar dari sini?" Nampaknya nona itu sangat puas. Kembali ia tertawa, "Memang seharusnya demikian, bukan?" kata dia. "Kedua anak kunci kita ada luar biasa, tapi pun kebetulan sekali. Tanpa kedua anak kunci ini, pintu tak dapat dibuka dan ditutup kembali.....” Habis berkata, muka si nona menjadi merah sendirinya. Ia nampak malu. Inilah tidak heran. Dengan tiba-tiba ia ingat akan kata-kata ibunya. Waktu ia masih kecil, pernah ibunya berkata padanya: "Jodoh itu ada seumpama anak kunci. Suatu anak kunci mesti ada suatu biang kuncinya, suatu kunci tak dapat dibuka dengan anak kunci lainnya." Dan sekarang, kedua anak kunci itu telah menemui biangnya..... Maka ia menjadi jengah, sendirinya. Tan Hong heran akan kelikatan orang. Ia tidak melihat alasannya untuk itu. Tentu saja, tak tahu ia akan kata-kata ibunya itu. Lalu ia mendehem. "Dari she dan namamu, telah aku ketahui yang tiga," ia kata sambil bersenyum. "Masih ada satu lagi yang aku belum tahu.....” "Kau lihat, benar-benar aku tolol!" kata nona itu. "Sampai pun she dan namaku belum aku beritahukan padamu. Aku ialah Tamtay Keng Beng, ayahku Tamtay Tionggoan, dan kakekku Tamtay Kwie Tjin. Kakekku adalah panglimanya kakekmu, Kaisar Thio itu....." Tan Hong tertawa. "Nama kakekmu itu aku kenal," ia kata. "Secara begini benar-benar aku harus berterima kasih kepada keluargamu. Oleh karena kakekmu itu turut kakekku, dia mendendam penasaran, dia menerima penghinaan. Tidakkah dia telah ikut pindah ke negara asing dan karenanya menjadi orang asing juga? Di pihak lain, keluargamu ini, selama beberapa turunan, telah menjagai gunung ini.....” Tamtay Keng Beng tertawa. "Apakah jeleknya untuk tinggal di sini?" dia tanya "Setiap pagi dan sore kami memandangi telaga dan gunung. Apakah itu tidak cocok dengan kau?" Ditanya begitu, Tan Hong bersenyum. Si nona pun bersenyum, lalu ia berseru: "Ah! Kau lihat, kembali aku lupa suatu hal!" "Apakah yang kau lupakan?" tanya Tan Hong. "Aku lupa bahwa kau telah terkurung di sini satu hari satu malam!" sahut si nona. "Kau lihat, di sini aku telah membawa makanan untuk kau." Dia bertindak keluar, dia ambil sebuah naya yang tadi dia tunda di luar pintu. Dia tenteng itu ke dalam. Isi naya itu ialah buah peksee piepee dari Tongteng San dari Thayouw serta rangsum kering berikut daging. "Mari cobai!" ia kata kepada si anak muda. Lebih dahulu Tan Hong dahar piepee, kemudian ia makan daging. Ia rasakan makanan itu lezad sekali, yang ia belum pernah merasakannya. Tentu saja, untuk makanan itu, ia haturkan terima kasihnya. Selagi orang dahar, Tamtay Keng Beng memandang kesekitar ruangan, ia juga membuat main berbagai mutiara. "Tidaklah heran kalau sejak dahulu kala sampai sekarang ini, banyak orang yang ingin sekali menjadi raja," kata dia kemudian sambil tertawa. "Lihat leluhurmu ini. Dia menjadi raja baharu beberapa tahun, dia sudah lantas dapat mengumpulkan harta begini besar.....” Bagaikan batu, dia lempar-lemparkan beberapa butir mutiara yang besar. Dia bagaikan anak kecil yang gembira dengan barang mainan. Dia pun suka tertawa. "Semua barang ini indah dan bagus untuk dibuat main," kata ia kemudian, "hanya sayang tidak dapat dipakai menghilangkan dahaga dan lapar. Aku lihat, mutiara ini tak seperti piepee-ku!.....” Tan Hong tertawa. "Maka itu, aku lebih suka piepee-mu, tak ingin aku mutiara ini!" ia kata. "Enak didengarnya kata-katamu ini," berkata si nona. "Jikalau kau tidak menghendaki mutiara ini, perlu apa kau melakoni perjalanan yang penuh bahaya, jauh dari Mongolia kau datang ke Thayouw ini?" "Itulah lain," terangkan Tan Hong. "Mutiara ini hendak aku serahkan kepada lain orang." Tamtay Keng Beng heran. "Siapakah orang itu?" dia tanya. "Dialah kaisar dari ahala Beng." Keng Beng terkejut. "Apa?" tanyanya. "Kau hendak serahkan kepada kaisar Beng? Bukankah kaisar itu musuh besar dari keluargamu?" "Benar, kaisar Beng itu musuh keluargaku," Tan Hong akui. "Habis, kenapa kau hendak serahkan harta ini kepada musuh itu?" si nona tegaskan. "Memang niatku untuk menyerahkan harta ini padanya." "Ah, tidak, tidak!" seru si nona. "Harta ini benar kepunyaan keluargamu akan tetapi keluarga kami, telah beberapa turunan mewakili keluargamu menjagainya. Apabila harta ini kau hendak serahkan pada orang lain, untuk itu kau perlu menanyakan dahulu sikap kami!" "Bila aku menyebutkannya, kau tentu setuju," kata Tan Hong, tenang. Dan ia tuturkan cita-citanya untuk melindungi negara, sekalipun kaisar berasal dari keluarga lain, malah musuhnya. Tamtay Keng Beng tertawa. "Kalau begitu bukannya kau langsung memberikan kepada kaisar Beng!" dia kata. "Kau hendaknya menyerahkan kepada orang yang akan menggempur bangsa asing! Ah, kau bikin aku kaget.....” Tan Hong dahar terus piepee hingga habis hampir separuhnya, selama itu Tamtay Keng Beng terus mengajak dia pasang omong, hingga nona ini seperti melupakan bahwa di luar guha, di atas liang, ada orang, yang mengharap-harap mereka berdua. Dengan begini, Tan Hong mengetahui banyak tentang keluarga Tamtay itu. Ternyata dahulu Thio Soe Seng, pada malaman dari keruntuhannya, sudah meninggalkan pesan dan pertanggungkan puteranya kepada Tamtay Kwie Tjin, panglima yang setia itu, habis itu, Kwie Tjin menyingkir jauh ke Mongolia. Tentang Koaywa Lim, yaitu petanya, Thio Soe Seng menitipkan kepada satu pahlawannya yang ia sangat percaya, seorang she Tjio, ialah leluhur Hongthianloei Tjio Eng. Pun secara rahasia, Thio Soe Seng sudah meminta adiknya Tamtay Kwie Tjin, ialah kakeknya Tamtay Keng Beng, untuk tinggal dan menjagai bukit Tongteng San Barat itu, di dalam gunung mana harta besarnya disimpan, untuk pintu rahasianya ia tinggalkan cuma sepasang anak kunci yang dapat membuka pintu itu. Semua itu telah dilakukan secara sangat rahasia. Tantai Mie Ming dengan Tamtay Keng Beng adalah kakak beradik sepupu, saudara tjintong, tapi mereka terpisah jauh satu sama lain, satu di Mongolia, gurun pasir Utara, yang lain di Kanglam, Selatan, sudah begitu, selama beberapa turunan, mereka tidak pernah surat menyurat satu pada lain, baharu bulan yang lalu, Tantai Mie Ming datang secara tiba-tiba, dengan menggunakan ketika itu untuk mengantarkan pangeran asing. Baharu setelah itu, keluarga Tamtay ini ketahui bahwa junjungannya telah meninggalkan keturunan di Mongolia. Senang hati Tan Hong mengawasi Nona Tamtay ini, yang wajahnya bercahaya di antara sinar batu-batu permata, hingga ia teringat sesuatu. "Kalau nanti adik kecilku melihat kau, pasti ia senang sekali!" ia kata. "Apa? Adik kecilmu?" tanya si nona. "Kenapa ia senang padaku?" "Adik kecilku itu sejak kecil telah kehilangan ayah bundanya," sahut Tan Hong sambil tertawa. "Dia yatim piatu, bersendirian saja, tidak ada orang yang bermain dengan dia. Kau dengan dia seumur. Bukankah kamu berdua dapat menjadi sahabat-sahabat kekal?" Tiba-tiba Tamtay Keng Beng menjadi gusar. "Apa? Aku harus menemani adik kecilmu bermain?" dia tegur. "Hm! Aku tidak suka bermain dengan bocah busuk!" Baharu ia ucapkan kata-kata itu, nona ini lalu menjadi jengah sendirinya. Ia telah terlepasan berbicara. Bukankah Tan Hong juga satu "bocah busuk"? Dengan sendirinya, air mukanya menjadi bersemu dadu. Tan Hong tertawa. "Adik kecilku itu bukan satu bocah busuk," ia beritahu. "Kalau bukan bocah busuk tentu bocah harum!" kata si nona. "Hm! Bocah harum pun aku tak sukai!" "Dia juga, bukannya bocah harum!" Tan Hong masih tertawa. "Dia, kau tahu, dia adalah satu nona kecil.....” Keng Beng agaknya tercengang. "Satu nona kecil?" dia tegaskan. "Ya, satu nona kecil," sahut Tan Hong. "Hanya ketika pertama aku bertemu dengan dia, dia dandan sebagai seorang priya, lalu karena kebiasaan, terus aku panggil dia adik kecil, panggilan ini tak dapat dirubah hingga sekarang ini." Entah kenapa, mendengar orang menyebut "adik kecil," Nona Tamtay mendapat perasaan luar biasa. Agaknya orang telah berhubungan erat satu pada lain. Setahu kenapa, ia seperti merasa jelus atau cemburu. Ia merasa, seumurnya, belum pernah ia dapatkan perasaan semacam ini. Maka ia jadi heran sendirinya. Tan Hong juga seperti merasakan sesuatu mengenai nona ini, maka itu, keduanya membungkam saja, sampai sekian lama, mereka terbenam dalam kesunyian. Adalah kemudian, ketika ia ingat sesuatu, Tan Hong pecahkan kesunyian itu. "Kenapa ayahmu tidak datang kemari!" dia tanya. "Ayah dapatkan ada satu musuh mendaki gunung, dia tentunya telah mengatur Pat Tin Touw," sahut si nona, suaranya wajar, bagaikan tak ada ancaman bahaya. Tidak demikian dengan Tan Hong. Pemuda ini agaknya terkejut. "Jikalau ada musuh mendaki gunung, itulah tentu musuh yang tanggu," ia kata. "Mari kita lekas pergi melihat!" "Apa sih yang disebut musuh yang tanggu?" berkata si nona, masih dia acuh tak acuh. "Musuh itu tidak nanti sanggup melawan tempuling ayahku! Atau kalau dia sanggup melawan ayah, dia toh masih tak sanggup lolos dari barisan batu.....” Pat Tin Touw adalah barisan dengan tonggak-tonggak batu yang letaknya seperti tak teratur, maka itu si nona menyebutnya barisan batu. Nona ini juga nampaknya sangat mengandalkan kegagahan ayahnya itu, hingga ia tak berkuatir sedikit juga. Di dalam hati kecilnya, Tan Hong berkata: "Ah, nona cilik, kau mana ketahui, di luar langit ada langit lainnya, di samping orang ada orang lainnya lagi! Musuh yang datang kali ini, kalau bukannya pahlawan-pahlawan dari istana, tentu sebangsa Anghoat Yauwliong.....” Tapi, ia kata kepada si nona: "Lebih baik marilah kita pergi melihat!" "Baiklah!" kata Tamtay Keng Beng. Lalu berdua mereka keluar dari guha, mereka kunci pintu kumala itu. Setibanya di mulut guha, di sana tergantung sehelai dadung, dengan itu keduanya, dengan saling susul, mendaki naik, hingga Tan Hong lihat pula sinar matahari. Ia bernapas lega. Menurut letak matahari, ketika itu adalah tengah hari. Pintu dari Tongteng Santjhoeng telah ditutup rapat, di lereng gunung, di antara batu-batu tampak tubuh orang bergerak-gerak bagaikan bayangan. Dari sana pun terdengar bentrokan keras dari senjata-senjata tajam. Melihat itu, Tan Hong percepat tindakannya, ia hendak lari untuk memberikan bantuannya. "Untuk apa kesusu?" berkata Nona Tamtay Keng Beng. "Ibu dan adik perempuanku pun telah tiba, musuh tangguh apa lagi yang dijerikan?" Tan Hong heran mendengar perkataan nona ini. Ketika ia bermalam di Tongteng Santjhoeng, ia tidak lihat nyonya rumah. "Oh, kiranya kau masih punya ibu?" tanyanya. "Kenapa tidak?" Keng Beng membaliki "Hanya ibuku tidur di lain tempat, setiap sepuluh hari atau setengah bulan sekali, baharu ia datang kemari. Ketika tadi aku melihat ibu mendaki gunung, lekas-lekas aku susul kau, untuk menolongi padamu." Tan Hong menjadi lebih heran, kali ini mengenai sikap nyonya rumah. "Di sini tersedia tempat bagaikan tempat dewa, bukannya suami isteri tinggal bersama-sama, tetapi mereka berpisahan, tinggal berjauhan rumah, kenapakah?" ia berpikir. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak sempat menanyakan keterangan. Maka itu, bersama-sama mereka lari terus. Setibanya di muka Pat Tin Touw, baharulah keduanya — atau lebih benar Tamtay Keng Beng — terkejut. Musuh-musuh yang terkurung di dalam tin, adalah barisan istimewa, yaitu musuh-musuh yang liehay sekali. Yang satu adalah seorang tua, yang lain satu toodjin, atau imam. Si orang tua memegang sebatang senjata luar biasa, tongkat panjang berkepalakan seperti naga dengan di bahagian kepalanya ditambah pula dua rupa alat lainnya, yaitu yang satu menyerupai telapakan tangan dengan jeriji-jerijinya lancip sebagai gaetan, yang lainnya merupakan duri-duri yang tajam, maka selagi tongkat itu diputar, nampaknya seperti lengan orang hutan yang berbulu, seperti orang menerkam. Dan si imam memegang sebuah pedang panjang, yang tidak luar biasa, hanya apabila digerak-gerakkan, pedang itu mengeluarkan sinar sebagai bunga pedang, hingga membuat lawan jeri. Masih ada seorang lainnya, musuh yang ketiga, yang tampak dari dandanannya, nyata dia seorang perwira, yang masih muda. Ia mempunyai kepalan yang liehay, yang menyambar-nyambar sambil memperdengarkan suara angin yang keras. Tamtay Keng Beng mengawasi dengan saksama. Ia lihat ayahnya menjaga pintu "mati." Ayahnya terkurung musuh tetapi penjagaannya masih tetap kuat. Ia ingin membantui ayah itu, maka sambil menghunus pedangnya, ia berseru. Waktu ia hendak lompat menyerbu, ia tampak Tan Hong berdiri menjublak, matanya mendelong. Tentu saja ia jadi heran. "Hai, kau kenapa?" tegur si nona. "Tadi kau sendiri yang tegang tidak keruan, sekarang kenapa kau diam saja? Kau hendak membantui ayahku, apa kau hendak tunggu?" "Celaka!....." Tan Hong, mengeluh dalam hatinya. Ia kenali si orang tua dan si imam, ialah Tiatpie Kimwan Liong Tjin Hong bersama Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe. Ia tidak pusingkan kedua orang itu, tetapi yang membuatnya ia bersangsi adalah si perwira muda, yang tidak lain daripada In Tiong kakak In Loei, itu Boe tjonggoan baru. Ia saksikan hebatnya pertempuran, ia kuatirkan ada jiwa yang melayang. Tan Hong pun masih berpikir terlebih jauh: "Secara diam-diam aku telah membantui In Tiong peroleh gelarnya itu, meski demikian, aku tahu betul, dalam hatinya, ia masih membenci aku, rasa permusuhannya terhadapku masih belum lenyap. Aku telah memberikan penjelasan kepadanya, tapi ia tidak mau percaya, habis bagaimana sekarang? Jikalau sekarang aku maju membantui keluarga Tamtay ini, tidakkah itu akan membikin salah faham menjadi bertambah hebat?" Inilah yang menyebabkan pemuda she Thio ini berdiam saja. Justeru itu Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe, yang sinar pedangnya memain secara liehay, menerjang kepada si nona tua yang menjaga pintu "touw," atas mana, si nyonya berikan perlawanan dengan tongkatnya, tetapi baharu dua gebrakan, In Tiong sudah maju membantui Hian Leng Tjoe, begitu hebat kepalannya itu, hingga si nyonya mesti mundur keluar dari pintu jagaannya itu. Tentu saja, menyaksikan itu, Tan Hong menjadi terlebih kaget lagi. Di lain pintu, yaitu di pintu "kheng," nona yang menjaganya telah dibikin repot oleh musuhnya yang mendesak hebat sekali. "Adakah mereka itu ibu dan adikmu?" akhirnya Tan Hong tanya si nona dengan tidak mempedulikan tegurannya. "Hai, bagaimana? si nona balik menanya, dengan gusar. "Kau hendak tunggu apa lagi?" Tapi kali ini, sambil bicara, Tamtay Keng Beng sudah lari jauh beberapa tombak. Pada waktu itu, Tan Hong sudah mendapatkan ketetapan hatinya. "Kiranya orang-orang dikenal!" serunya sambil tertawa. Dan begitu ia lompat, ia sudah dapat menyandak nona Tamtay, untuk dilalui, hingga dialah yang terlebih dahulu menyerbu ke dalam tin. "Tamtay Toanio, lindungi pintu touw" ia berseru kepada si nyonya tua, sedang kepada si nona, ia berteriak: "Adik Giok Beng, kau mutar ke pintu hioe. Aku datang!" Lagi sekali Tan Hong lompat, ia lewati kepala Tiatpie Kimwan, ia nerobos ke pintu seng, maka di lain saat ia sudah ambil kedudukan didampingnya Tamtay Tionggoan, tjhoengtjoe atau tuan rumah dari Tongteng Santjhoeng, untuk menjaga pintu Pat Tin Touw. Sebenarnya ketika hari itu In Tiong nampak kegagalan di Koaywa Lim, ia sangat mendongkol. Surat Tan Hong, yang merupakan nasehat, dipandang olehnya seperti sindiran. Ketika pulang ke kantor soenboe, besoknya ia bertemu dengan ke tujuh jago dari kota raja, yang telah datang lengkap. Mereka lantas ketahui bahwa Tan Hong sudah pergi ke Thayouw, mereka pun — berjumlah delapan orang — lantas menyusul. Mereka mendaki Tongteng San Barat pada hari kedua dari terjeblosnya Tan Hong ke dalam liang harta rahasia. Adalah di saat mereka tengah mencari Tan Hong, tiba-tiba mereka dengar tertawa ejekkan dari samping mereka, begitu mereka berpaling, mereka tampak satu nyonya tua, yang rambutnya telah putih seluruhnya, tengah melambaikan sehelai kain sulam, yang bersulamkan sepuluh tangkai bunga merah yang besar, di antaranya, tujuh terkurung sulaman benang merah yang menyolok mata. Satu siewie menjadi heran ketika ia mengawasi si nyonya tua. "Eh, apakah dia bukannya si perempuan tua dari warung teh di Tamtay Tjoen?" berkata ia. "Ah, mana dia anak perempuannya? Ketika hari itu aku lewat di warung tehnya, nona itu sedang menyulam bunga ini.....” "Benar," kata pahlawan yang satunya lagi. "Ketika itu hari aku lewat di warung, aku juga lihat si nona sedang menyulam bunga merah itu, malah aku dengar dia mengatakan, itu adalah bunga yang ke sepuluh." Mendengar kedua kawan itu, In Tiong bercekat. Ia ingat, ketika ia lewat di warung teh yang dimaksudkan itu, ia tampak sulaman baharu selesai delapan tangkai. "Bukankah hari itu kamu telah menanyakan tentang Thio Tan Hong?" ia tanya kedua siewie itu. "Betul," sahut kedua siewie. "Apakah hubungannya dia dengan bunga sulaman merah itu?" "Wanita tua ini pasti konconya Thio Tan Hong," In Tiong jawab. Dan segera ia lompat ke arah si nyonya tua. Nyonya tua itu melambaikan pula sulamannya. "Ah, sayang, sayang, kau juga telah datang!.....” katanya, suaranya tak enak didengarnya. "Tiga tangkai bunga merah ini pun akan dipetik Beng-cijie!.....” Dengan "Beng-cijie" itu ia artikan "anak Beng." Tiatpie Kimwan si Kera Emas tangan besi menjadi gusar. "Hai, perempuan siluman, kau tengah main gila!" ia bentak. Lantas ia ajak kawan-kawannya, akan menyusul si nyonya tua, yang sementara itu telah menyingkirkan diri, gesit gerakannya, dan larinya pun berliku-liku tak hentinya, hingga dalam tempo yang pendek, ia sudah pancing In Tiong serta ke tujuh toakhotjioe pahlawan pilihan dari istana, sampai di muka tin. In Tiong segera lihat batu-batu bertumpuk tak teratur, bagaikan pintu-pintu. Ia menjadi curiga. Ia tidak kenal Pat Tin Touw, tetapi ia lebih mengerti dibanding dengan ke tujuh rekannya, ia telah membaca kitab-kitab ilmu perang, maka ia jadi ragu-ragu. Ia merandek sebelum ia maju terlebih jauh, matanya dibuka dengan lebar. Segera juga di antara tumpukan-tumpukan batu itu muncul satu nona. "Hai, kamu telah datang?" berkata nona itu sambil tertawa. "Mereka itu tengah menantikan rekan-rekannya, mereka sudah tidak sabaran!.....” Terus dia menunjuk. Maka di sebelah kiri, di atas tumpukan-tumpukan batu, terlihat berbaris tujuh buah tengkorak. Entah dengan obat apa semua tengkorak itu direndamnya, semuanya mempunyai biji-biji mata dan kulit muka yang hidup. In Tiong terkejut ketika ia kenali roman salah satu kepala orang itu, ialah kepala satu penunggang kuda yang telah melewati warung teh, sedang Tiatpie Kimwan dan Samhoa Kiam kenali kedua yang lainnya ialah pahlawannya Soelee Thaykam Ong Tjin. Malah satu jago lagi mengenali juga satu kepala lainnya ialah kepalanya hoepangtjoe atau ketua muda dari Hayliong Pang! Dalam sedetik itu, semua pahlawan ini sudah lantas menduga bahwa ke tujuh orang itu mestinya sudah datang di Thayouw untuk mencari Thio Tan Hong tetapi celaka, mereka, rubuh di tangan si nyonya tua dan puterinya itu. Tentu saja, mereka jadi sangat gusar. Karena mereka semua bernyali besar, dengan serentak mereka menyerbu ke dalam tumpukan batu itu, yang mereka tidak ketahui barisan rahasia Pat Tin Touw adanya. Malah In Tiong, tanpa ayal lagi, sudah turut menyerbu juga. Dari dalam barisan segera terdengar suatu suara, yang disusul dengan munculnya seorang tua yang berkumis jenggot panjang terpecah tiga, yang tangannya menyekal hietjee, yaitu tempuling ikan, siapa lalu diturut oleh beberapa petani, yang semua bersenjatakan golok, tombak dan pacul, hanya mereka itu selanjutnya menghilang dan muncul dengan bergantian, secara mendadak. Tiatpie Kimwan gusar menampak gerak-gerik orang itu. "Baiklah bekuk dulu si tua bangka!" dia berteriak. Tongteng Tjhoengtjoe dengar suara besar itu, ia tertawa berkakakan, terus ia mendahului menyerang dengan tempulingnya. Dengan satu sampokan tongkatnya, Tiatpie Kimwan tangkis tempuling itu, tetapi baharu satu gebrakan saja atau si orang tua telah melesat ke samping dan segera lenyap dari pandangan si Kera Emas Lengan Besi. Hanya, baharu sedetik, tiba-tiba terdengar sambaran angin di belakangnya si Kera Emas, atau segera terlihat munculnya si nona dengan sepasang goloknya. Nona ini menyerang dengan dahsyat. In Tiong maju akan tangkis serangan si nona, ia menggunakan tangan kosong. "Sungguh liehay!" seru nona itu, yang terus lompat mundur, hingga ia lenyap pula. Samhoa Kiam lompat, menolongi In Tiong mengejar nona itu, atau ia dicegat si nyonya tua, yang seperti tak ketahuan dari mana munculnya, dan dengan sepuluh jari tangannya, nyonya itu mencengkeram ke arah kepala! Samhoa Kiam terperanjat melihat sambaran orang itu, yang ia kenali adalah tipu silat Taylek Engdjiauw Kang, dengan lekas ia mainkan pedangnya, guna menangkis sambaran itu. Si nyonya tua lihat serangannya gagal, ia lantas menyusul dengan serangan lain. Ia berlaku sangat gesit, ia dibantu dengan saksama oleh kawan-kawannya, maka juga In Tiong berdelapan seperti telah terkurung di dalam tin itu. Tujuh jago dari istana itu, bersama In Tiong, adalah orang-orang liehay, akan tetapi mereka tidak kenal Pat Tin Touw, mereka dipermainkan hingga mereka terlepas dari hubungan mereka satu dengan lain. Dengan begitu, tak dapat mereka perlihatkan kegagahan mereka. In Tiong cerdas, ia lantas dapat melihat bahwa keadaan mereka telah menjadi kacau karenanya, segera ia teriaki kawan-kawannya: "Perhatikan! Mereka ada berdelapan, kita juga berdelapan, mari kita lawan satu dengan satu! Jangan kita kalutkan diri sendiri!" Teriakan ini ditaati ke tujuh pahlawan, mereka itu lantas mencari masing-masing satu musuh, maka itu, pertempuran segera berganti rupa. Pat Tin Touw adalah tin yang liehay, sayang bagi Tongteng Tjhoengtjoe, dia cuma tahu tiga bagian saja, karenanya tidak dapat dia bergerak dengan bebas, sedang di antara kawannya cuma dia sendiri, isterinya dan puterinya, yang cukup liehay untuk melayani musuh, yang lainnya bukannya tandingan setimpal dari pahlawan istana itu. Karena ini, walaupun musuh telah terkurung, mereka tidak menghadapi ancaman bencana langsung. Kedua pihak nampak berimbang. Adalah pada saat yang tegang itu, In Tiong perlahan-lahan mulai mengerti kedudukan mereka, tapi justeru Samhoa Kiam mendesak si nyonya tua, tiba-tiba muncullah Tan Hong dengan pedangnya yang hebat. "Awas!" teriak In Tiong, yang menjadi kaget. Samhoa Kiam dan Tiatpie Kimwan lantas kenali Tan Hong, yang pernah permainkan mereka, maka sekarang, kedua pihak saling berhadapan, mereka jadi mendongkol, keduanya maju dengan berbareng, menyerang si anak muda. Tan Hong putar pedangnya hingga terdengar suara menderu-deru, dengan itu ia layani kedua musuhnya. Ia bergerak-gerak sangat gesit, hingga baju putihnya berkibar-kibar di dalam tin itu. Ia melesat ke kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang, pedangnya selalu merupakan tusukan atau tikaman, atau ia main berkelit dari senjata-senjata lawannya itu. Cara berkelahi ini membikin ke lima pahlawan jadi berpencar pula, cuma In Tiong bertiga Samhoa Kiam dan Tiatpie Kimwan yang bisa menghadapi betul-betul musuh-musuhnya. "Bagus!" teriak Tamtay Keng Beng, yang kagum dan girang menyaksikan cara berkelahinya Tan Hong itu. Tongteng Tjhoengtjoe pun girang sekali, Ia dapat kenyataan si anak muda mengerti lebih banyak daripadanya tentang tin itu. Maka ia berseru: "Bagus, majikan tua ada turunannya! Pasti Kerajaan Tjioe yang besar akan bangkit pula!" Sudah delapan puluh tahun sejak Thio Soe Seng meninggalkan dunia yang fana akan tetapi keluarga Tamtay tetap memanggil ia sebagai "laotjoekong" atau majikan tua, hingga Tan Hong pun dipanggil "siauwtjoe" atau majikan muda. Dengan "majikan" itu diartikan junjungan. Pheng Hoosiang pandai mengenai Pat Tin Touw, ia mewariskan kepada Thio Soe Seng, dan Thio Soe Seng, yang menghendaki keluarga Tamtay melindungi harta bendanya, sudah memberikan pelajaran pada keluarga ini. Demikian, pengetahuan tentang tin turun kepada Tamtay Tionggoan, tapi melihat kepandaian Tan Hong, tidak bersangsi lagi ia bahwa si anak muda ini adalah junjungannya yang muda. Demikian ia perdengarkan seruannya secara gembira itu. Dengan nyeburnya Tan Hong dan Tamtay Keng Beng ke dalam medan pertempuran, suasana berubah dengan lantas, kalau tadinya ke delapan pahlawan istana menang di atas angin, sekarang mereka jadi terdesak, dari pihak penyerang, mereka menjadi pihak yang membela diri. Tamtay Keng Beng berlaku sangat gesit, ia menerjang ke segala arah, akan desak setiap pahlawan yang kena dipermainkan, Tan Hong membuat mata mereka itu seperti kabur dan kepala pusing..... Pembela dari pintu "kheng" adalah Tamtay Giok Beng, ialah adiknya Keng Beng. Dia tadi kena terserang In Tiong hampir rubuh, hanya tubuhnya terhuyung, sekarang ia saksikan musuh yang balik diserang, segera dia lompat keluar dari pintu jagaannya. "Entjie." dia berteriak, "mari kita kepung satu musuh ini! Tadi dia menghina aku!" Dan dia tuding In Tiong. Keng Beng sambut adiknya itu sambil tertawa. "Baiklah!" jawab ia. "Kau injak letak kian, maju ke letak kam, seranglah bagian kanannya!" Dan ia sendiri segera maju ke letak iie, untuk menuju letak tjin, lalu dengan jurus "Pekhong koandjit" = "Bianglala putih menutupi matahari," ia menikam pemuda she In itu. In Tiong tangkis serangan itu, hingga pedang si nona terpental, setelah mana, hendak ia melakukan pembalasan, atau mendadak di sampingnya berkelebat satu sinar hijau, karena dengan pedangnya, Giok Beng yang gesit itu sudah taat kata-kata kakaknya untuk menyerang dari arah kanan. Ke arah kanan ini, angin hebat dari kepalannya pemuda itu tak sampai pengaruhnya. In Tiong berkelit dengan lincah. Keng Beng juga berlaku sangat gesit, setelah tarik pulang pedangnya, ia menyerang pula, tikamannya mengarah muka, karena mana, In Tiong terdesak di antara dua tonggak batu, hingga ia cuma dapat berkelit pula. Tapi ia tetap dalam bahaya, karena sempitnya tempat, untuk berkelit pun sukar. Maka ia tetap terancam. Sebenarnya seorang diri In Tiong sanggup layani kedua nona Tamtay kakak beradik itu, Keng Beng dan Giok Beng, tetapi kalau sekarang ia kena terdesak, itu disebabkan ia hadapi tin batu dan kedua nona itu sudah terlatih bertempur di dalam t/n-nya itu. Memang sengaja mereka itu mendesak terlebih dahulu, baharu hendak mereka turun tangan. Dalam saat In Tiong terancam bahaya maut itu, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari bentroknya dua senjata, di situ Tan Hong mendadak muncul dari arah samping, pedangnya dipakai menangkis pedang si nona, hingga pedang itu berubah arah tujuannya, dengan demikian In Tiong telah ketolongan. Inilah Keng Beng tidak sangka, ia menjadi sangat heran. "Apakah yang kau lakukan?" dia tegur si anak muda. "Kau pandang mukaku, luputkanlah tusukanmu kali ini," Tan Hong bilang. Keng Beng tetap heran, akan tetapi ia berlega hati karena ia tampak si anak muda mengawasi ia dengan wajah tersungging senyuman, sinar matanya anak muda itu pun seperti mengandung suatu maksud. Ia tarik pulang pedangnya, tidak lagi ia ulangi serangannya. Tongteng Tjhoengtjoe juga turut menjadi heran. "Siapakah perwira itu?" dia tanya. "Dialah yang bilang bahwa aku adalah musuh besarnya," Tan Hong jawab tuan rumahnya. In Tiong mendongkol, ia gusar sekali. "Siapa kesudian kau menaruh belas kasihan atas diriku!" kata dia dengan nyaring. "Keluarga kita berdua adalah musuh-musuh besar, di jaman ini, semasa kita masih hidup bersama, jangan kau harap bahwa permusuhan itu dapat disudah habiskan!" Dan dengan kepalannya yang dahsyat, pemuda ini maju menyerang. Tongteng Tjhoengtjoe menjadi terlebih-lebih heran. Ia peroleh kesan, orang benar-benar memandang Tan Hong sebagai musuh besar, maka heran, kenapa Tan Hong itu sebaliknya senantiasa melindungi perwira itu. Tan Hong ulur tangannya yang kiri, kelihatannya ia bergerak dengan ayal, akan tetapi ketika ia kena tangkis tangan In Tiong, perwira ini terkejut sendirinya. "He, ia pun telah pelajari Taylek Kimkong Tjioe?" ia kata dalam hatinya. Selagi begitu, ia mesti mundur tiga tindak, kedua tangannya dilintangkan satu dengan lain. Tan Hong juga mundur tiga tindak. "Kakak In Tiong, mundur adalah jalan utama," Tan Hong berkata. Tapi In Tiong menjadi bertambah gusar. "Siapakah kakakmu?" ia membentak. Dan kembali ia menyerang dengan tangannya yang liehay. Tan Hong elakkan diri. "Hendak aku tanya kau, untuk apa kau datang kemari?" ia tanya. Kali ini Tiatpie Kimwan adalah yang campur bicara. "Kau serahkan harta pendaman kepada kami, nanti kami pergi dari sini!" demikian si Kera Emas Lengan Besi dengan suaranya yang keras. Tapi ini adalah gertak belaka, yakni kata-kata untuk lindungi muka sendiri. Ia sudah lantas ketahui, dalam pertempuran ini, pihaknya tidak akan peroleh hasil, maka itu, ia minta harta pendaman itu sebagai pelabi. Tan Hong melenggakkan tubuh, dia tertawa berkakakan. "Jadinya kamu datang untuk harta pendaman leluhurku?" dia tegaskan, mereka itu. "Memang harta itu aku niat menghadiahkannya kepada raja dari ahala Beng, sekarang ada kamu yang hendak tolong mengambilnya, untuk membawanya, sungguh inilah jalan paling baik!" Mendengar perkataan itu, kecuali Tamtay Keng Beng, semua orang menjadi kaget. "Siauwtjoe, apa kau bilang?" tanya Tongteng Tjhoengtjoe. Belum lagi Tan Hong menjawab, In Tiong telah mendahuluinya. Pemuda ini yang masih gusar, kata pada pemuda she Thio itu: "Satu laki-laki terlebih baik mampus daripada terhina, maka itu, Tan Hong, kenapa kau berulang kali menghina aku?" Dalam kemurkaannya itu, tak pernah In Tiong hendak memahami Tan Hong, yang omong dengan sebenar-benarnya. Tan Hong tidak jadi gusar karena sikap orang itu. "Apakah yang kau kehendaki supaya kau dapat mempercayainya?" ia tanya. In Tiong tidak menjawab dengan perkataan, ia hanya menyahuti dengan kepalannya tiga kali beruntun, hingga Tan Hong repot mengelakkan dirinya. Pemuda ini mendongkol juga akan tetapi tak dapat ia turuti amarahnya itu. Ia mesti berlaku sabar. Dalam suasana sedang tegang dan sulit itu, selagi In Tiong belum dapat menjawabnya, mendadak terdengar suara berisik di empat penjuru mereka, lalu dari pinggang gunung, di antara pohon-pohon dan batu-batu besar, tertampak munculnya banyak orang dengan potongan tubuhnya tak rata, ada yang kurus, ada yang gemuk, dan semuanya orang itu tengah mendatangi ke arah mereka. Segera juga Tan Hong lihat seorang dengan rambut merah seluruhnya, yang awut-awutan numpuk di kepalanya, orang mana ia kenali sebagai Anghoat Yauwliong Kwee Hong, orang yang pernah main dadu dengannya. Tapi yang membuatnya ia terperanjat, adalah ketika ia kenali seorang lain yang tubuhnya tinggi tujuh kaki lebih, yang berhidung bengkung dan matanya kelabu, yang gegamannya sepasang kampak besar. Sebab orang itu adalah Chalutu, pahlawan nomor 1 dari guru negara dari bangsa Watzu, yang kekosenannya, untuk di seluruh Watzu, cuma kalah setingkat dari Tantai Mie Ming. Saking heran, ia sampai kata dalam hatinya: "Kwee Hong adalah orang kepercayaannya Ong Tjin, sekarang kenapa berdua mereka ini berada dan bekerja sama? Apakah mungkin bangsa Watzu sudah menyerang Tionggoan?" Ketika Tiatpie Kimwan lihat rombongan itu, dia berteriak-teriak: "Bagus kamu telah datang! Pengkhianat Thio Tan Hong justeru ada di sini!" Kwee Hong tertawa dingin, sembari maju mendatangi, ia memberi tanda kepada rombongannya, untuk mereka itu mengurung, tidak dikecualikan tujuh pahlawan dari istana berikut In Tiong si Boetjonggoan, yang bertugas istimewa untuk raja. Tiatpie Kimwan menjadi kaget sekali. "Eh, eh, apakah kamu sudah tidak kenali kami?" dia berteriak-teriak pula, sekarang saking heran dan kuatir. "Kami berdelapan adalah orang-orang Sri Baginda sendiri!" Kwee Hong tertawa pula dengan sama dinginnya ketika ia berikan penyahutannya: "Dan kami, kami semua bukan suruhannya raja kami! — Hm! Lekas kamu serahkan harta pendaman serta peta buminya!" In Tiong menjadi sangat gusar. "Apakah kamu berani mendurhaka?" dia tegur. "Harta pendaman dan peta bumi itu adalah barang-barang yang dikehendaki Sri Baginda!" "Pergi kamu ke negeri Watzu, akan cari Sri Bagindamu itu!" dia jawab dengan jumawa. "Harta dan peta bumi itu adalah Ong Kongkong yang menghendakinya!" Dengan Ong Kongkong itu, Kwee Hong maksudkan Soelee Thaykam Ong Tjin, si dorna kebiri. In Tiong tercengang. "Apa kau bilang?" dia tanya. "Bagaimana dengan Sri Baginda?" Lagi-lagi Kwee Hong tertawa. "Tidak apa-apa!" jawabnya, sembarangan. "Angkatan perang Watzu sudah masuk ke dalam kota Ganboenkwan dan raja kamu sudah jadi tawanan bangsa Watzu!.....” Tan Hong segera mengerti segala apa, tanpa tunggu In Tiong layani orang she Kwee itu, ia mendahului buka mulutnya. "Kakak In Tiong, insafkah kau sekarang?" katanya. "Kita bergabung melawan musuh, itu yang utama!" Lalu, tanpa tunggu jawaban pula, ia lompat maju akan segera serang Kwee Hong. Dengan tiba-tiba pun In Tiong naik darahnya. Ia berseru dengan keras, ia lompat ke arah si orang asing, untuk lantas menyerang dengan kedua-dua tangannya, yaitu tangan kiri dengan kepalan, tangan kanan dengan goloknya — golok Ngohouw Toanboen too. Chalutu gerakkan sebelah tangannya untuk menangkis, atas mana, In Tiong menjadi kesakitan dan kaget. Pecah telapak tangannya yang menyekal golok, tangan itu berdarah-darah, hingga hampir saja goloknya terlepas dari cekalannya. Tapi orang asing itu bukannya tidak menjerit. Dia telah menangkis dengan sepasang kampaknya, dia berhasil, tetapi pukulan Taylek Kimkong Tjioe dari In Tiong juga membuat tubuhnya tersampok terpelanting. "Bagus, anak, kau liehay!" demikian jeritannya. Sehabis itu, dengan kerahkan semua tenaganya, ia maju mengampak, untuk membalas menyerang. Ia berlaku sangat bengis. Kwee Hong sebaliknya, karena ia kenal liehaynya si anak muda, tidak berani tangkis serangannya Tan Hong. Ia berkelit, ia memutar tubuh, setelah itu baharulah ia balas menyerang. Tan Hong menyerang dengan ancaman belaka, begitu ia tampak gerakan lawan, ia berlompat berbalik, hingga di lain saat ia telah dekati Chalutu si orang asing yang kuat, untuk ditikam, di saat kampak kirinya mendesak In Tiong, hingga karenanya, In Tiong jadi terhindar dari bahaya. Mau atau tidak, diam-diam pemuda ini mesti bersyukur terhadap "musuh besarnya" itu..... Chalutu pentang lebar kedua matanya kapan ia telah lihat tegas, siapa yang merintangi padanya. "Ha, Thio Kongtjoe, kiranya kau!" dia berseru. "Kau bukan berdiam di Watzu, mengapa kau datang kemari, apa perlunya?" Tan Hong balik menanya. "Kau harus ketahui, di sini bukanlah tempatmu! Kau lekas pergi!" Tapi orang asing itu tidak sudi pergi. "Keluargamu telah sering terima budi besar dari raja kami, apakah benar kau berani berontak?" dia pun balik tanya. "Biarpun aku terbakar menjadi abu, aku tetap bangsa Tionghoa!" sahut Tan Hong. "Tak mungkin aku bekerja untuk rajamu!" Chalutu menjadi gusar. "Memang telah aku lihat kau berhati serong!" katanya. "Sekarang teranglah sudah, kau lari pulang secara diam-diam ke negaramu melulu untuk jadi musuh kami! Hm! hm! Mari makan kampakku!" Tan Hong tidak tunggu sampai ia diserang. Ia mendahului menyerang orang kosen dari Watzu itu. Dua kali ia mendesak dengan tikamannya. Chalutu berkelit, dia mainkan kampaknya, yang bagaikan gunung Tay San turun dengan berat ke arah batok kepalanya si anak muda. Tan Hong ketahui tenaga besar musuh, tidak mau ia adu kekuatan. Ia segera perlihatkan kegesitannya untuk mengimbangi orang kuat itu. Kekuatan Chalutu tak di sebawahan Tantai Mie Ming, dalam hal enteng tubuh, ia kalah dari Tan Hong, maka itu, guna layani anak muda ini, ia ambil sikap membela diri, sepasang kampaknya melindungkan tubuhnya. Hingga sinar pedang dan kampak saling berkilauan. Sampai di situ, terjadilah satu pertempuran yang kalut. Kwee Hong datang dalam jumlah kira-kira empat puluh orang, mereka itu adalah orang-orangnya Ong Tjin, di antaranya orang-orang kangouw dari Hektoo, Jalan Hitam, malah juga orang-orang Hayliong Pang yang turut dalam perebutan Koaywa Lim. Dengan jumlah yang lebih besar, bisa Kwee Hong kurung lawannya. Tapi semua lawan adalah orang-orang pilihan, tidak mudah untuk segera dapat dikalahkannya, mereka ini cuma dapat dibikin mengeluarkan tenaga lebih banyak. Thio Tan Hong yang cerdik segera melihat suasana. "Semua mundur ke dalam Pat Tin Touw!" ia berseru setelah ia layani dahulu untuk beberapa puluh jurus. Chalutu tertawa bergelak. "Semua barisan batu, apa dia dapat berbuat terhadapku?" katanya dengan jumawa. Dan ia menyerang dengan kampaknya, membuat setumpuk batu gempur. Dua pahlawan istana maju, untuk rintangi orang kuat dari Watzu ini, tetapi mereka tidak kenal Pat Tin Touw, mereka justeru masuk ke pintu "mati." Tan Hong kaget. "Lekas mundur!" dia teriak-teriak. Chalutu tidak mau memberi ketika, dia mendesak, kampaknya bergerak liehay dari kiri dan kanan. Dua pahlawan itu terdesak di antara tumpukan batu, mereka jadi tak leluasa bergerak, maka itu, ketika kampaknya Chalutu turun dengan hebat, mereka tidak berdaya, tubuh mereka terkampak menjadi dua potong. Karena kemenangannya ini, orang kuat itu tertawa berkakakan. Tiba-tiba ia rasakan desiran angin di bebokongnya, sambil memutar tubuh, ia menangkis ke belakang. Ia menangkis angin tapi berbareng dengan itu, ia dengar suara memberebet, ialah tanda dari ujung bajunya yang kena disabet robek pedang Tan Hong, sebaliknya, tubuh Tan Hong sendiri tak tertampak. Karena ini, ia memikir untuk lompat keluar. Tapi justeru itu, kembali sinar putih dari pedang berkelebat, ia tampak Tan Hong dengan air muka berseri-seri muncul di kiri, dari antara tumpukan batu. Dengan sebat ia angkat sepasang kampaknya, guna menangkis dan teruskan menyerang juga. Tapi ia kalah sebat, lengan kirinya terlanggar ujung pedang hingga bajunya robek dan dagingnya mengucurkan darah. Tentu saja ia jadi sangat gusar, maka sambil berteriak, ia lompat akan mengampak pemuda itu. Tan Hong berada di antara tumpukan batu, ia dapat hindarkan diri, sebaliknya tumpukan batu yang menghalang di hadapannya menjadi gempur runtuh kena kampakan yang dahsyat itu, batu hancurannya terbang berhamburan. Menggunai ketika itu, kembali Tan Hong menyerang, menikam pundak orang. Chalutu hendak membalas menyerang tapi ia tidak berdaya. Dengan batu hancur berhamburan, sukar untuk ia melihat tegas tubuh si anak muda yang lincah. Iapun terhalang oleh tin yang ia tidak kenal, sedang Tan Hong dapat bergerak dengan merdeka di antara pelbagai tonggak batu itu. Sesudah tiga kali kena tertikam, walaupun luka-lukanya tidak berbahaya, baharu Chalutu insyaf, percuma ia andalkan kampaknya atau tenaganya yang besar, maka itu, ia lantas lompat ke tempat yang lebih lega, untuk dari situ putar kampaknya guna bela diri. Tan Hong kenali ilmu silat Chalutu, yaitu dua jurus tipu yang digabung menjadi satu, di atas Chalutu mainkan "Soathoa khayteng" = "Kembang salju menutupi kepala," dan di bawah "Kouwsie poankin" = "Pohon tua rubuh akarnya." Ia biarkan orang bersilat sendiri, ia hanya tertawa terbahak-bahak, di lain pihak, ia berkelebatan ke sana sini, untuk hajar lain lawannya, hingga ia berhasil melukai beberapa orang lagi. Akan tetapi karena musuh berjumlah besar, mereka tidak dapat dipukul mundur, sedang dipihaknya, dua lagi pahlawan telah terbinasa di tangan musuh itu. In Tiong, yang gunai Taylek Kimkong Tjioe, telah perlihatkan liehaynya pukulannya yang dahsyat. Beberapa musuh telah rubuh binasa. Ia tengah berkelahi terus ketika ia tampak Anghoat Yauwliong Kwee Hong sedang didesak Tongteng Tjhoengtjoe, si Naga Siluman Rambut Merah itu mendatangi dekat padanya. Ia kenali si Rambut Merah itu, yang ia benci, maka dengan sekonyong-konyong ia tinggalkan lawan-lawannya sendiri, ia mencelat ke arah Kwee Hong itu, untuk segera menyerang dengan tangan kosongnya ke batok kepala orang. Berbareng dengan itu terdengar teriakan Tan Hong: "Awas, tangannya jahanam itu ada racunnya!" In Tiong tahu teriakan itu ditujukan terhadap ia, ia terkejut, karena dalam keadaan seperti itu, tidak sanggup ia menarik pulang kepalannya itu. Kwee Hong lihat orang menyerang padanya, dia menangkis dengan putar tangannya, yang dia buka kepalannya, hingga terlihat tegas telapak tangannya berwarna merah. Dengan segera kedua tangan bentrok keras, disusul dengan jeritannya Anghoat Yauwliong, yang lengannya kena terpukul parah dan patah seketika, hingga lengannya itu mesti dikasi turun tanpa ia berdaya. In Tiong juga menjadi kaget sekali. Dengan lantas ia merasakan tangannyapun kaku. Karena ini, bukannya ia menerjang terus tapi ia lekas-lekas mundur. "Kakak In, empos semangatmu!" Tan Hong teriaki Boetjonggoan itu. "Tahan napas, jangan kasih hawa beracun naik melewati lenganmu!" In Tiong berpaling kepada anak muda itu, lalu segera ia jatuhkan diri, untuk duduk numprah di tanah. Thio Tan Hong bersuara pula: "Keng Beng, kau lindungi dia! Jangan ijinkan musuh ganggu meskipun selembar rambutnya!" Keng Beng pun menoleh kepada Tan Hong, untuk melirik, setelah itu dengan tidak bilang suatu apa, ia dekati In Tiong, untuk menjadi pelindung. Kwee Hong sementara itu merasakan sakit bukan main, hebat akibat serangan Taylek Kimkong Tjioe dari In Tiong, rupanya ia tidak sanggup menderita lebih lama, maka tiba-tiba, dengan kesehatannya, ia rampas golok seorang kawannya terus dengan itu ia tabas kutung lengannya yang terluka itu sebatas lukanya, setelah mana, seorang diri ia obati lukanya itu. Ia robek bajunya untuk membungkus lukanya. "Aku tidak akan mati!" dia teriaki kawan-kawannya. "Perhebat serangan!" Semua orang heran dan kagum atas kegagahan si rambut merah ini, semua lantas berkelahi pula dengan hebat. Di pihak rombongan Kwee Hong ini, kekurangan satu Kwee Hong memang kurangnya satu tenaga yang berarti tetapi itu tidak membuatnya mereka menderita kerugian sangat besar, itu tidak mengurangkan sangat kurungan mereka. Di pihak Tan Hong hal ada sebaliknya. Kurang satu In Tiong sudah berarti kerugian besar, lalu ditambah dengan Keng Beng, yang seperti ditarik pulang, karena nona ini mesti melindungi In Tiong saja. Di mana jumlah mereka kurang, kehilangan tenaganya Keng Beng besar sekali artinya. Kwee Hong benar-benar ulet. Ia duduk numprah, tetapi ia masih punya sebelah tangan untuk terus pegang pimpinan, melanjutkan penyerangan, hingga ia berbalik menjadi berada di atas angin. Tan Hong mesti saksikan pertempuran yang tak selayaknya itu. Ia mengerti, kalau terus ia bertempur secara demikian, di akhirnya ia bakal nampak kerugian. Ia bersusah hati. Sejenak itu, belum tahu dengan cara bagaimana ia bisa kalahkan musuh, untuk gempur pengurungannya. Ia telah berhasil merubuhkan lagi beberapa musuh, akan tetapi pihaknya sendiri, kembali rubuh satu jago pilihan dari istana dan dua tjhoengteng. Keadaan nampaknya makin berbahaya untuk pihaknya..... Di saat-saat dari kesukaran itu, tiba-tiba dari kejauhan terdengarlah suara seruling, mulanya sayup-sayup, lalu perlahan-lahan menjadi terang, ialah suara itu datangnya dari arah pohon-pohon bunga di lamping bukit. Sang angin telah membawanya suara itu, berikut suara nyanyian yang menimpali irama seruling itu: "Siapakah yang ramai-ramai menyanyikan lagu-lagu Souwtjioe dan Hangtjioe? Bunga teratai tersiarnya sepuluh lie, Bunga koeihoa mekarnya tiga bulan. Siapa tahu, pohon-pohon adalah benda tak berbudi, Dia menyeret bagaikan sungai Tiangkang, Menyebabkan kedukaan dari laksaan tahun! Ya, ya, dia menyeret bagaikan sungai Tiangkang, Dia menyebabkan kedukaan dari laksaan tahun....." Halus tetapi terang nyanyian itu, tarikannya bagaikan tarikan penasaran atau keluhan. Kata-kata nyanyian itu justeru adalah kata-kata tulisannya Tan Hong pada gambar lukisannya! Sejenak saja, bagaikan terkontakkan hawa listrik, Tan Hong tercengang. Tapi ia tak usah tergugu lama atau menanti lama-lama. Segera juga dari antara pohon-pohon bunga, yang banyak bunganya, ia tampak munculnya satu nona remaja yang tangannya menyekal sebuah seruling pendek, tindakannya perlahan. Nona itu mengenakan pakaian warna mirip dengan airnya telaga, ujung baju dan celananya tertiup-tiup angin. Ia beroman cantik sekali, setimpal dengan tindakannya yang elok, hingga ia bagaikan seorang dewi. Terkejut Tamtay Keng Beng menyaksikan nona itu, sedang ia sendiri adalah satu anak dara yang cantik manis, di dalam hati kecilnya, ia menanya: "Adakah dia dewi dari telaga Thayouw ini yang terbang naik ke puncak gunung?" Ia menjadi malu sendirinya, sebab ia biasa merasa angku sekali dengan kecantikannya, sekarang ia kalah pamor..... Beda daripada si nona Tamtay itu, Thio Tan Hong, yang telah sadar dengan segera, sudah segera memanggil: "Adik kecil!" "Oh!....." seru Keng Beng, tertahan. Tak dapat ia mengatakan sesuatu, ia sudah lantas dapat merasakan suatu perasaan, entah perasaan apa itu..... Pada matanya In Tiong juga sudah lantas tampak suatu sinar terang..... Datangnya si cantik secara mendadak itu, menyebabkan pertempuran jadi terlambat, karena semua orang, mau atau tidak, dengan sendirinya, sudah menoleh mengawasi nona itu. "Ah, perempuan ini tentunya perempuan sesat!.....” seru Kwee Hong. "Lekas membagi diri! Cegat kepadanya! Jangan kasi dia menyerbu!" Si nona sendiri, sebaliknya tetap bungkam, hanya tindakan kakinya, yang perlahan, tak ia hentikan. Ia maju terus, tetap dengan perlahan..... Semangatnya Tan Hong terbangun secara tiba-tiba. Dengan mendadak dia perdengarkan suitan panjang, berbareng tubuhnyapun mencelat, lompat dari batu yang satu kepada batu yang lain! Sambil berbuat demikian, ia terjang musuh-musuhnya. Dengan cepat ia telah melukai beberapa di antara mereka itu. Dengan waktu tidak lama, ia sudah lantas berada di luar kurungan di mana, dengan cepat ia lompat kepada si nona yang baharu datang itu, tangan siapa ia segera sambar! "Ah, adik kecil!" serunya, "kau pun datang juga!....." Ia ada demikian bernapsu dan gembira, hingga ia melelehkan air mata. Si nona kibaskan tangannya, untuk lepaskan cekalannya si anak muda. Tetapi ia bukannya bergusar, ia bukannya tak menyukainya, ia hanya pakai tangannya itu untuk menghunus pedangnya. "Sret!" demikian pedangnya itu bersuara. "Mana kakakku?" tanyanya. Nona ini adalah In Loei. Dia telah tiba di Kanglam, wilayah Selatan yang beda sekali daripada tanah Utara, maka juga setibanya ia di sini, ia telah salin pakaian — tidak lagi ia menyamar sebagai satu pemuda. Maka menterenglah kecantikannya itu. "Kakakmu terkurung di dalam tin itu!" Tan Hong beritahu. "Marilah lebih dahulu kita pecahkan kurungan musuh, baharu kita bicara!" Kwee Hong sementara itu sudah berhasil dengan pemecahan tenaganya. Dia telah tugaskan lima jago pilihan untuk rintangi Tan Hong dan In Loei. Lima jago itu tidak kenal si pemudi, mereka memandang enteng pemudi itu, tiga di antaranya sudah lompat menerjang, mendahului dua yang lain. Dan si pemudilah yang mereka serang! In Loei sudah hunus pedangnya, dengan sebat ia menangkis. Maka berkelebatlah suatu sinar pedang yang hijau, menyusul mana, nampak pula cahaya putih yang berkilau, dari pedangnya Tan Hong, ia mendahului sinar hijau itu, hingga kedua sinar, berbaling silih ganti. Dan dengan tergabungnya kedua sinar, yaitu kedua pedang, hebatlah akibatnya. Di mana dua jago yang lain pun telah tiba dengan cepat dan sudah lantas menerjang juga, dalam dua gebrakan saja, ke limanya rubuh semuanya, tanpa mereka sempat menjerit lagi, tubuh mereka bergulingan ke kaki bukit! Kwee Hong saksikan terjangan jago-jagonya, ia lihat kesudahannya pertempuran itu, ia menjadi sangat kaget. Bagaikan dua bayangan, Tan Hong dan In Loei sudah lantas tiba di dalam Pat Tin Touw, keduanya sudah lantas beraksi. Ke kiri dan kanan tubuh mereka bergerak, dengan lincah serta rapi, erat perhubungannya. Di antara tonggak-tonggak batu mereka nyeplos sana dan nyeplos sini, bagaikan capung menyambar air atau kupu-kupu menembus bunga-bunga, sinar pedang mereka tak hentinya berkilau, berkelebatan. Tubuh mereka bagaikan berada di empat penjuru, di delapan persegi, kedua sinar pedang putih dan hijau bergulungan berpencaran, bergulungan pula. Ke mana sinar pedang menyambar, di situ ada musuh yang terluka atau rubuh, maka juga, dalam tempo yang cepat, orang-orangnya Anghoat Yauwliong telah menjadi berkurang lebih daripada separuhnya. Chalutu menjadi bermata merah bahna murka dan mendongkolnya. Ia lompat menerjang, ia mengampak Tan Hong dengan sepasang kampaknya. Thio Tan Hong tertawa, tangannya yang menyekal pedang diputar dari kiri ke kanan, sedang pedangnya In Loei, yang bergerak berbareng, digeser dari kanan ke kiri. Maka bersatulah kedua pedang! Dan terdengarlah satu suara keras dan nyaring, atau kedua kampaknya Chatutu telah tertangkis terpental, hampir terlepas dari cekalan, sebab telapak tangan si pemilik kampak dirasakan sangat sakit, telapak tangan itu bermandikan darah! Chalutu sangat agulkan kekuatannya, dia jumawa sekali, sekarang insyaflah ia, sepasang pedang dari kedua lawannya itu nyatalah ada jauh terlebih hebat daripada sepasang kampaknya itu! Tan Hong pun kagum akan menyaksikan kampak lawan tidak terpental terlepas. Ia lantas tertawa pula! "Nah, marilah sambut lagi ini!" seru dia kepada lawannya itu, lalu sambil miringkan sedikit tubuhnya dari arah samping, ia menikam. Chalutu masih sanggup tarik pulang sepasang kampaknya, masih kuat ia menyekal senjatanya itu, untuk menangkis serangan. Kalau tadi ia yang menyerang, sekarang ia jadi si pembela diri. Ia memecah kampaknya, ke atas dan kebawah, dengan tipu silat "Tjiethian watee," atau "Menundukkan langit, menggores bumi." Di atas ia menangkis untuk bela diri, di bawah ia membabat ke arah kaki. Berbareng dengan itu, juga pedangnya In Loei bergerak, mengimbangi gerakan pedangnya Tan Hong, maka setelah ke empat senjata bergerak berbareng, terdengarlah pula suara nyaring dari bentroknya kedua pasang senjata itu. Begitu hebat kampaknya Chalutu, kedua kampaknya turun terus, mengenai tonggak batu, hingga tonggak itu gempur, batunya hancur, terbang berhamburan! Tapi Tan Hong berdua In Loei, telah berkelit diri. "Kau pergilah pulang!" demikian suara si anak muda, setelah ia maju pula dengan satu lompatan pesat, hingga ujung pedangnya segera dapat diarahkan ke bebokong musuh, ke arah urat besar! Chalutu segera perdengarkan jeritan keras, berbareng dengan terlepas dan terlemparnya sepasang kampaknya, ia menyemburkan darah hidup dan dalam mulutnya, lalu dengan terhuyung-huyung tubuhnya rubuh ke tanah, tanpa bergerak lagi. Melayanglah jiwanya! Kwee Hong yang melihat itu, kaget bukan main, hatinya menjadi ciut. Sekarang tak ingat lagi ia kepada tugasnya memegang pimpinan, malah melupakan lengannya yang sakit, ia ulur tangannya yang satunya pula, ditempel kepada tanah, untuk ia kerahkan tenaganya mengenjot diri, untuk berlompat jumpalitan, untuk setelah itu, mencari jalan menyingkirkan diri. Ia gunai kedua kakinya dan tubuhnya juga, ialah habis berlompat, ia bergulingan..... "Ke mana kau hendak kabur?" bentak Tamtay Keng Beng, yang lihat aksi musuh itu. Sambil berseru, si nona berlompat, pedangnya menuding ke arah musuh, tepat menancap di dada ujungnya tembus ke bebokong, hingga si Naga Sakti Rambut Merah tak dapat bernapas terlebih jauh! Lagi sejenak, maka berhentilah pula pertempuran yang dahsyat itu. Di pihak Kwee Hong, orangnya habis musnah. Di pihak Tan Hong, empat pahlawan istana binasa dan satu terluka. Syukur bagi Tiatpie Kimwan dan Samhoa Kiam, mereka tidak kurang suatu apa. Pada pihaknya Tongteng Tjhoengtjoe ada kerugian beberapa orang binasa dan luka. Dengan tidak membuang tempo lagi, Tan Hong ajak In Loei lari kepada In Tiong yang terluka parah, mereka lihat anak muda itu separuh meram, dan tangannya bengkak seumpama lodong. In Loei lantas bercucuran air mata. "Koko" dia lompat kepada kakaknya itu. Tan Hong segera maju menghampirkan. "Adik kecil, adik kecil!" Tan Hong berkata, "biarkan kakakmu beristirahat! Mari kita gendong dahulu ia, untuk dibawa pulang ke rumah!.....” In Loei sangat menyayangi kakaknya itu, ia berkuatir, dari itu, ia seperti tidak gubris nasihatnya Tan Hong itu. Syukur bagi In Tiong, dia telah dapat empos semangatnya, bisa ia menahan napas, walaupun lengannya parah, namun racun, tidak berhasil mendesak sampai kehati. "Koko, bagaimana kau rasa?" In Loei tanya kakaknya itu. "Toa..... Tan Hong, apakah lukanya kakakku ini berbahaya?" Si nona tanya kakaknya, lalu tanpa tunggu jawahan, ia balik menanya Tan Hong, yang hampir saja ia panggil toako. Memang telah biasa ia menggunakan kata-kata toako itu, hanya sekarang dihadapan In Tiong dan beberapa orang lainnya, tiba-tiba ia merasa likat. Karena menyebut nama Tan Hong itu, dengan sendirinya wajahnya menjadi bersemu dadu. "Tidak, tidak apa-apa....." Tan Hong jawab. "Hanya terlebih baik biarkan dia beristirahat.....” In Tiong sendiri telah tidak jawab adiknya itu, sewaktu ditanya, dia tengah memejamkan mata, ia seperti tak sadar akan dirinya. Baharu kemudian, mendadak ia buka kedua matanya. "Kau siapa?" ia balik tanya adiknya. "Koko, akulah adik kandungmu," In Loei jawab. In Tiong lirik Tan Hong, lalu ia tertawa dingin. "Kau adik kandungku? Apakah kau tidak keliru kenali orang?" dia tanya adiknya. In Loei menangis. "Koko, kau tega." Kata dia. "Betapa sengsara aku mencari kau.....” "Adakah aku mempunyai adik perempuan yang sedemikian baik hatinya?" In Tiong masih mengejek. "Memang aku adalah adik kandungmu." sang adik bilang. "Jikalau kau tidak percaya.....” "Bukti apa kau ada punya?" kakak itu tanya, keras. In Loei kertek giginya, tangannya merogo ke dalam sakunya dari mana ia keluarkan surat wasiat kulit kambing yang bertuliskan dengan darah. "Koko, kau lihat ini!" ia kata. Dua saudara ini memang masing-masing ada punyai separuh dari surat wasiat itu, itu adalah bukti paling kuat. In Tiong lirik surat wasiat itu, lalu ia lirik juga si nona. Ia lihat dua butir air mata jatuh dari kedua matanya adik itu. "Hm," katanya, "masihkah kau ada punya muka untuk keluarkan surat wasiat engkong?" Tahu sudah In Tiong akan adiknya ini tetapi sengaja ia bawa sikapnya itu, untuk paksa si adik keluarkan surat wasiat itu. Sakit rasanya hati In Loei, tetapi karena sikap aneh dari kakaknya ini, ia tidak jadi menangis, air matanya tak mengucur terlebih jauh. Sehabis mengejek adiknya itu, In Tiong pandang Tan Hong, sekonyong-konyong ia angkat tangannya untuk menuding. Di saat ia hendak buka mulut, untuk mengatakan sesuatu, sekonyong-konyong juga Tan Hong berlompat, dengan jari-jari tangannya yang kuat bagaikan tombak cagak, ia totok lengannya In Tiong itu. In Loei kaget bukan kepalang. "Hai, kau berbuat apa?" dia tanya. Tan Hong belum menjawab, atau In Tiong sudah menghela napas. "Thio Tan Hong, tidak usah kau berlaku baik hati, tak usah kau berpura-pura," ia kata. "Aku, walaupun aku mesti terbinasa, tidak nanti aku kesudian menerima budi kebaikanmu.....” Mendengar ini, In Loei lantas insyaf. Nyatalah Tan Hong bukan serang kakaknya itu, yang sedang sakit dan tidak berdaya, tapi Tan Hong justeru menggunakan kepandaiannya untuk tolong sang kakak. Serangan itu adalah semacam pukulan untuk mencegah jalan darah, guna mencegah racun menjalar naik. "Adik kecil, marilah kita lekas pulang!" Tan Hong kata tanpa mempedulikan sikap kasar dari si Boetjonggoan. "Mari, mari, kita, bicara!" Dan dengan ulur tangannya, ia tarik tangan baju si nona. In Loei melirik kepada kakaknya, lantas ia putar pergelangan tangannya, dengan begitu loloskan cekalannya si anak muda. Mukanya menjadi pucat pias, ia berdiri tanpa sepatah kata. Tan Hong jadi sangat bersusah hati, ia pun jengah, maka dengan membungkam ia menjauhkan dirinya. Tamtay Toanio, yang sejak tadi berdiam saja, menggeleng kepala. Tamtay Keng Beng jadi sangat heran, hingga di dalam hati kecilnya, berkata: "Jikalau kata-kata Tan Hong yang aku dengar di dalam guha, terang sekali dia sangat erat hubungannya dengan nona ini, mestinya si nona adalah jantung hatinya, maka heran, kenapa nona ini bersikap begini tawar terhadapnya?" Sambil berpikir demikian, Keng Beng menoleh kepada Tan Hong, justeru si anak muda angkat tangannya, menggape kepadanya. Dengan hati bimbang, Nona Tamtay menghampiri anak muda itu. Tan Hong tunggu orang telah datang dekat sekali padanya, ia berkata dengan perlahan: "Lukanya In Tiong bercampur racun tangan liehay, luka itu tidak dapat dia mengobatinya sendiri. Aku ada punya obat mustajab warisan leluhurku, hendak aku ajarkan kau cara mengobatinya, untuk kau obati dia hingga menjadi sembuh.....” Sambil berkata Tan Hong sambil serahkan obatnya yang lantas diterima oleh Keng Beng. "Siapakah nona itu?" Keng Beng tanya. Tan Hong menyeringai ketika ia jawab: "Aku adalah musuh dia!" Nona Tamtay melengak. "Apa? Dia itu musuhmu?" ia tanya. "Bukan! Akulah musuh dia!" sahut Tan Hong. "Oh, bukan! Dia anggap aku adalah musuhnya.....” "Kalau begitu, kenapa tidak kau sendiri yang obati dia?" Nona Tamtay tanya. Ia masih heran. "Tidakkah dengan begitu, permusuhan dapat dibikin habis?" Tan Hong tertawa. "Aku justeru tidak ingin dia ketahui bahwa akulah yang menolongnya," ia jawab. "Aku tak ingin nanti dia mengatakan, aku tolong dia justeru dia tengah terancam bahaya maut, supaya aku jadi melepas budi terhadapnya." Sementara itu Tongteng Tjhoengtjoe sudah lantas suruh satu orangnya gendong In Tiong untuk dibawa pulang. Ketua Tongteng Santjhoeng ketahui pentingnya waktu, jadi tak dapat mereka berdiam lama-lama di dalam tin itu. In Loei lantas berjalan mengikuti, tapi satu waktu ia menoleh ke belakang, maka matanya segera bentrok dengan satu pemandangan, yang membuat hatinya tergerak. Ia tampak Tan Hong jalan berendeng dengan Keng Beng, pemuda dan pemudi itu tengah berbicara satu dengan lain, muka mereka dekat sekali satu pada lain, hingga mulut si anak muda bagaikan nempel kepada rambut di samping kupingnya si nona. Mereka pun bicara sambil tertawa-tawa, agaknya mereka tengah bergurau. Tak keruan rasa hatinya Nona In ini. "Baiklah, kau tidak pedulikan aku, aku juga tak akan pedulikan kau!" pikirnya, "bila diumpamakan saja sebagai orang yang belum pernah kenal satu pada lain, kita berpisah saja, habis perkara!.....” Tiba-tiba saja muncul kesedihannya si nona, tanpa dapat ia pertahankan lagi, air matanya turun mengetes. "Nona, luka kakakmu tidak berbahaya," berkata Tongteng Tjhoengtjoe, membujuk. "Jangan kau menangis....." Ketua rumah ini tak tahu hati orang, ia menyangka si nona kuatirkan keselamatan jiwa kakaknya, maka itu ia menghiburkannya. In Loei berdiam, ia seperti tidak mendengarnya. Ia sekarang menangis dengan tersedu-sedu. Ketika di akhirnya orang sampai di Tongteng Santjhoeng, itulah waktunya asap mulai mengepul dari dapurnya setiap rumah. Tongteng Tjhoengtjoe pernahkan In Tiong dalam sebuah kamar bersih dan sunyi, ia tugaskan satu orangnya untuk menjaga dan melayaninya. Di lain pihak, ia perintahkan lekas mensajikan barang hidangan. Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam menjadi tak enak hati. Tuan rumah sangat manis budi dan ramah tamah sekali, ia juga tidak hendak sebut-sebut halnya mereka itu datang untuk mencari harta simpanan. Selagi bersantap, dua orang itu menghaturkan terima kasih kepada Tan Hong yang telah tolongi mereka. Tak lama sehabis dahar, semua orang undurkan diri untuk beristirahat. Tamtay Keng Beng taati pesan Tan Hong. Sehabis bersantap, seorang diri ia pergi ke kamar In Tiong. Dari luar kamar ia sudah tampak sinar api, yang memperlihatkan bayangannya In Loei. Ia hentikan tindakannya di muka pintu. "Koko, kakek kita bukanlah dia yang mencelakainya," begitu ia dengar Nona In bicara kepada kakaknya. "Tentang itu, Ie Kokioo sudah membicarakannya dengan jelas sekali. Maka itu, sakit hati itu baiklah jangan dibalas lagi." "Habis apa kau hendak bilang tentang sakit hati selama dua puluh tahun kakek mesti menggembala kuda?" terdengar In Tiong, sang kakak. "Itulah perbuatan ayahnya," In Loei bilang. "Memang perbuatan itu tidak selayaknya. Itu juga bukannya suatu permusuhan yang hebat sekali." In Tiong tertawa dingin. "Pandai kau membelai musuh!" katanya, tajam. In Loei lantas menangis. "Koko....." katanya, tertahan. "Apa?" sang kakak bilang. "Gadisnya Keluarga In dilarang tidak bersemangat jantan!" In Loei gigit giginya atas dan bawah, ia seka kering air matanya. "Koko, gurumu sendiripun mengatakan bahwa Thio Tan Hong itu adalah orang kaum kita," berkata ia, sungguh-sungguh. "Yang mesti diutamakan adalah musuh luar, musuh asing, maka segala apa yang dapat disudahi, baiklah dibikin habis saja.....” Berulangkah In Tiong perdengarkan suara tawarnya, "Hm! Hm!" Kemudian dengan tiba-tiba, ia kata dengan keras: "Aku tahu kau memang cintai bocah she Thio itu!" In Loei sudah pertahankan sedapat-dapat untuk tidak menangis, tetapi mendengar suara kakaknya itu, ia menangis pula menangis dengan merasa malu dan mendongkol. "Siapa bilang aku cinta ke padanya?" dia tanya dengan keras. "Dia..." "Kau cinta dia, baik! Kau tidak cinta dia pun baik!" kakak itu memotong. "Tapi, pendek kata, aku larang kau menikah dengan dia!" "Diapun telah punyakan orang yang dia penujui!" In Loei berseru. "Seumurku, tidak akan aku menikah, maka tak usahlah kau capekan hati untukku!" In Tiong melengak. Ia juga mendongkol. Di dalam hati kecil, ia kata: "Kiranya karena kau tidak dapat menikah dengan Tan Hong, kau jadinya tidak sudi menikah....." Sebenarnya hendak kakak ini tegur adiknya itu, atau ia lihat kedua mata adiknya merah, ia jadi batal sendirinya. Sesaat itu ia ingat bahwa adik ini adalah adik satu-satunya, sedang pertemuan mereka ini adalah yang pertama sejak perpisahan mereka belasan tahun. Ia menjadi tak tega hati. Di akhirnya, ia menghela napas sendiri. Adalah di saat itu, mereka dengar suara pintu berkeletek, disusul oleh suara batuk-batuk perlahan, lalu daun pintu terpentang, tertolak dari luar, dari mana terlihat Nona Keng Beng bertindak masuk. In Loei jengah sendirinya. Baharu ia bicarakan nona itu, sekarang si nona sendiri muncul. Tapi ia paksakan hati, untuk menyambutnya sambil tertawa. "Terima kasih, nona," kata In Tiong. "Sebenarnya tidak berani aku mengharap kedatanganmu ini.....” Nona Tamtay berlaku polos. "Mari ijinkan aku lihat lukamu," ia kata, langsung. "Lukaku tidak berarti, terima kasih untuk perhatianmu," kata pula In Tiong, "Loei, tolong kau antarkan nona ini." Sebenarnya mendongkol Keng Beng melihat sikap dan mendengar perkataan In Tiong itu, akan tetapi ia dapat atasi dirinya. Ia melirik, ia lantas bawa sikap seperti tak terjadi sesuatu. Malah ia tertawa tertahan. "Benarkah tidak apa-apa?" tanyanya, masih tertawa. "Cobalah kau menyedot napas, ingin aku lihat!" Tadi In Tiong bentrok sama adiknya, karena bangkitnya kemurkaannya, lukanya kambu tanpa ia merasa, racun bekerja, maka itu, waktu ia menarik napas, ia merasakan dadanya sesak, iapun ingin tumpah-tumpah. Keng Beng lihat itu, segera ia kata: "Jikalau kau tidak obati lukamu ini, kau tak akan dapat lewatkan malam ini jam dua belas! Untuk satu laki-laki, walaupun ada dibilang, dia pandang kematian bagaikan berjalan pulang, akan tetapi kematianmu secara begini, sungguh-sungguh sangat tidak berharga! Kalau aku, hm, tidak nanti aku sudi menjadi laki-laki semacam itu!.....” Mendadak wajahnya In Tiong menjadi pucat pias. Ia rasakan lukanya mendatangkan rasa sangat sakit yang sangat. "Nona Tamtay, tak dapatkah dia diobati?" In Loei tanya nona rumah. "Aku hanya kuatir kakakmu menolak orang hingga satu lie lebih!" sahut Keng Beng. Penyahutan ini ada mengandung dua maksud: Satu menyindir In Tiong, dan kedua, mengenai juga penolakan In Tiong itu untuk Tan Hong. In Tiong tidak menginsafi itu, ia kata: "Terima kasih, nona. Di sini aku telah menjadi tetamumu, sebenarnya tidak berani aku membuatnya kau berabe.....” In Loei sebaliknya mengarti akan maksud kata-kata itu. "Kiranya Tan Hong telah bicara segala apa kepada nona ini.....” pikirnya. Ia jadi berduka. Tapi di sini ada mengenai keselamatan kakaknya, suka ia menindas perasaan hatinya. Maka ia kata: "Jikalau nona dapat menolong kakakku ini, kita berdua saudara akan bersyukur tak habisnya." "Tak usahlah kamu bersyukur," bilang Nona Tamtay, yang sebenarnya hendak mengatakan, "Sudah cukup untukku asal kau tidak benci dan mencaci aku.....” Tiba-tiba ia merasa seperti melihat Tan Hong lirik ia, maka pikirnya terlebih jauh. "Perlu apa aku melukai hati kekasihnya?" Ia lantas lirik pula In Loei, di dalam hatinya dengan menyesal ia kata: "Nyatalah nona ini ada jauh terlebih beruntung daripada aku.....” Segera nona ini keluarkan obatnya, yang ada dua rupa, yaitu satu untuk dimakan, satu lagi untuk dipakai di luar. Ia juga membekal sebilah pisau perak serta segumpal kapas. "Entjie, kau tolong bantu aku," ia mohon kepada In Loei. Tangan baju In Tiong segera digulung naik. Tempat yang luka, yang bengkak, lantas digurat dua kali, merupakan segi empat, kemudian, dengan cekal lengan orang, Nona Tamtay gunai jari-jari tangannya akan menekan, atas mana, dari luka guratan itu sudah lantas mengucur keluar darah yang hitam, yang berbau bacin. Sebat bekerjanya nona rumah ini. Setelah merasa darah sudah keluar cukup, ia sekai luka itu untuk bersihkan darahnya, lalu ia memborehkan obat, yang lebih jauh ia tutup pula dengan kapas untuk terus dibalut. Lengan In Tiong itu sebenarnya kaku dan ba'al, tidak mendatangkan rasa sakit, akan tetapi setelah perawatannya Keng Beng itu, sebentar kemudian, anak muda ini merasakan tekanan, atau pencetan, sepuluh jari si nona, membuatnya ia merasa sakit sedikit, sakit-sakit enak..... Selama di gurun pasir Utara, jarang In Tiong melihat nona-nona remaja, sekarang ia menghadapi nona ini, yang cantik manis luar biasa, tanpa merasa hatinya tergerak, jantungnya berdenyut dan goncang bagaikan berlompatan. Kulit mukanyapun ia rasakan panas sendirinya. "Budimu yang sangat besar ini, nona, tidak nanti aku melupakannya," kata ia akhirnya. "Menyesal aku telah membuatnya kau bercape lelah.....” Tamtay Keng Beng tidak angkat mukanya ketika ia berikan penyahutannya: "Aku lihat kau adalah satu laki-laki sejati, mengapa sekarang kau bawa sikapmu sebagai satu nona pemaluan?" In Tiong adalah satu laki-laki, jikalau di waktu-waktu biasa ada orang mengatakan ia bersifat bagaikan perempuan, ia tentu akan gusar, sebab ia anggap itu suatu penghinaan besar, tetapi sekarang Tamtay Keng Beng yang mengatakan itu, sebaliknya, ia jadi merasa sangat senang. Begitulah ia merasa mukanya panas..... "Terima kasih, entjie," kata In Loei setelah nona itu selesai dengan tugasnya. "Biarlah selanjutnya aku yang merawati kakakku ini." Memang niat Keng Beng, sehabis mengobati, hendak ia lantas undurkan diri, maka ketika mendengar perkataan itu, ia tinggalkan sisa obat, ia berikan petunjuk terlebih jauh, setelah kesemuanya itu, tanpa mengucap sepatah kata, cuma dengan manggut perlahan kepada Nona In itu, ia bertindak pergi. Heran In Loei menyaksikan sikap itu. "Nona ini datang untuk menolongi, kenapa sikapnya begini dingin?" ia berpikir. "Mungkinkah dia telah dengar perkataan-perkataanku tadi?.....” Karena ini, ia menjadi merasa kurang tenang. In Tiong tunggu sampai suara tindakan kaki orang mulai lenyap, baharu ia buka mulutnya. "Nona Tamtay itu baik sekali!" bilangnya. Pada sinar matanyapun nampak tanda bahwa ia merasa puas, sinar mata itu bersorot halus. Mendengar ini, melihat sinar mata kakak itu, hati In Loei tergerak. Segera teringat ia akan pertemuannya tadi dengan Tan Hong. Ia pandang kakaknya itu, hendak ia bicara, atau ia batal sendirinya. In Tiong lihat wajah adiknya itu, kelakuan mana agak luar biasa, ia menjadi heran. Bibir adik itu sudah hendak bergerak, lalu urung. Sinar mata adik itupun yang semula bercahaya, lalu guram. Nampaknya adik itu berkuatir atau tegang. Paras adik itu mendatangkan rasa kasihan orang..... Nona Tamtay di lain pihak sudah berjalan terus, ia melintasi lorong, ia mutar ke gunung-gunungan palsu, dari mana ia hendak langsung pergi kepada Tan Hong, untuk melaporkan bahwa tugasnya telah selesai. Tan Hong tetap bertempat di dalam kamar indah di tengah empang teratai itu. Ketika itu sang rembulan dari tanggal muda baharu saja mulai muncul, menyinari bunga teratai, membuatnya suasana di situ sangat tenang. Ketika itu si pemuda tengah menyenderkan tubuh kepada loneng. Ia mengenakan pakaian serba putih, yang putih mulus bagaikan salju. Matanya memandang jauh ke depan, dari mulutnya terdengar suara bersenanjung perlahan. Keng Beng menghentikan tindakannya ketika ia dengar suara orang, yang telah terbawa angin. Ia mengawasi sambil memasang kuping. Yang disuarakan itu adalah syair "Lim Kang Sian" atau "Dewi turun ke sungai" dari Lok Kian Ie dari negeri Houw Siok, Siok Belakangan, dari jaman Ngo Tay. Tamtay Keng Beng kenal syair itu, di dalam hati kecilnya, ia kata: "Dia pinjam syair itu, inilah sangat tepat. Tepat tempatnya, tepat suasananya. Dari telaga ini ia memandang keselatan, di sanalah kota Souwtjioe. Kota Souwtjioe itu dahulu adalah tempat letaknya istana Thio Soe Seng, hanyalah sekarang, istana itu telah menjadi tanah belukar, gempur temboknya, lebat lumut dan rumputnya. Pantas dia teringat akan itu semua.....” Setelah berdiam sejenak, nona ini berpikir pula: "Dia mengenangkan negaranya begini rupa, toh dia hendak serahkan peta buminya dan harta pusakanya kepada musuh dari leluhurnya, yaitu kaisar ahala Beng, sikapnya dan perbuatannya itu, sungguh ada hal yang ganjil.....” Selagi ia bagaikan melamun, nona ini dengar lebih jauh suara orang, yang di akhiri tangisan sesegukan. Ia menjadi heran sekali. Tidak ia sangka, pemuda yang gemar tertawa itu pun bisa menangis. Ia turut menjadi terharu. Tapi, sehabis menangis, tiba-tiba Tan Hong tertawa, akan akhirnya dia bersenanjung pula: "Tali baju menjadi longgar, tidak aku menyesal, untuk dia aku menjadi kurus layu, aku pun puas. Apakah yang hendak dibuat duka? Ya, adik kecil, adik kecil, walaupun kau menyiksa pula padaku, tidak nanti aku gusar dan sesalkan kau.....” Mendengar itu, Keng Beng menjadi tidak keruan rasa, perasaannya pun menjadi campur aduk. Ia berduka. Ia tersadar dengan terkejut ketika kemudian ia tampak bayangan bunga telah bergeser, sedang dari luar pekarangan, ia dengar suara kentongan, yang berbunyi tiga kali. Tidakkah ia datang ke situ untuk memberi laporan kepada Tan Hong? Kenapa ia berdiam saja di tengah jalan, seperti ia takut menemui Tan Hong itu? "Nyatalah sangat sekali cintanya ia terhadap In Loei," ia berpikir. "Untuk In Loei itu, ia rela menderita. Seandainya ada lain orang yang menyinta aku seperti cintanya dia itu, oh, matipun aku puas..... Ah, sayang sekali mereka ada dari keluarga-keluarga yang saling bermusuh. In Tiong ada demikian berkeras hati, bagaimana nanti -ooo00dw00ooo- Bab XIX Nona Tamtay terus berdiri diam, pikirannya terus bekerja keras, hingga tak sadar ia bahwa sang waktu telah berjalan terus, sampai kemudian, ketika ia angkat kepalanya memandang ke arah Tan Hong, anak muda itu telah lenyap dari tempatnya meloneng tadi. "Rupanya sia-sia ia menantikan aku, ia sudah lantas pergi tidur," ia berpikir. Karena ini, Keng Beng lantas membalik tubuh, untuk jalan kembali. Tengah ia keluar dari gunung-gunungan, ia lihat satu tubuh berkelebat di antara pohon-pohon bunga, segera ia lompat maju untuk memapaki, segera In Loei tampak di depannya. "Oh, entjie." ia membuka suara. "Sudah begini malam, kenapa kau masih belum tidur?" Nona In melengak. "Aku baharu saja tunggui kakak tidur," ia menyahut kemudian. "Aku keluar untuk mencari angin.....” "Bagaimana keadaannya kakakmu?" Keng Beng tanya pula. "Terima kasih, entjie. Sungguh kau pandai mengobati, sekarang bengkaknya lengan kakakku telah kempes delapan atau sembilan bagian. Aku percaya, besok kakakku akan sudah dapat turun dari pembaringan." Selagi mengucap demikian. In Loei merasa sangat heran. Ia berpikir: "Tadi di waktu merawat kakak, dia bersikap sangat tawar, mengapa sekarang dia sangat ramah tamah terhadap aku?" Keng Beng bersenyum. Ia seperti tidak ambil pusing bahwa orang heran, ia malah ulur tangannya ke pundak nona itu, ia dekatkan mulutnya kekuping si nona. Terus saja ia berbisik: "Entjie, jangan kau mengucap terima kasih terhadap aku..... kau seharusnya bersyukur kepada Tan Hong....." In Loei makin jadi heran. "Apa?" tanyanya. "Obat adalah kepunyaannya, pun cara mengobatinya dialah yang mengajarinya padaku," Nona Tamtay jawab. "Oh!" In Loei berseru, lalu ia bungkam, matanya mendelong. Untuk sejenak itu tak dapat ia berkata-kata. Keng Beng melanjutkan perkataannya. Ia kata: "Kemarin dia lihat In Toako memaksa kau keluarkan itu surat wasiat kulit kambing yang berdarah, dia tidak menghendaki kau dan kakakmu ketahui bahwa dialah yang memberi obat, maka dia pinjam tanganku." Mendengar itu, di dalam hatinya, In Loei kata: "Kiranya kemarin mereka bicarakan urusan ini, nyatalah anggapanku itu keliru." Karena ini, ia jadi bersyukur kepada Tan Hong, ia menginsyafi perhatiannya anak muda itu. "Ah, mengapa ia mesti berbuat demikian?" katanya, menanya. "Umpama akupun menyukai satu orang, aku akan berbuat demikian juga," ia bilang. "Asal saja orang akan merasa beruntung, tidak ada artinya kalau kita sendiri rugi sedikit.....” Kembali In Loei melengak. "Nona ini baharu kenal aku, kenapa dia bergurau begini rupa?" ia pikir. Tapi ia merasa bahwa orang rupanya bersungguh-sungguh, maka ia menatap, hingga sinar kedua pasang mata jadi bentrok satu pada lain. Ia lantas lihat bahwa pada senyuman nona itu ada apa-apa yang dingin. Nona Keng Beng ada cerdik sekali, melihat wajahnya In Loei, ia menduga bahwa orang masih bercuriga, maka itu, ia gigit kedua baris giginya dengan keras, untuk menguasai dirinya, guna cegah berdenyutnya jantungnya. "Kakakmu adalah satu laki-laki, entjie, hanya sayang ia sedikit keras kepala," ia bilang. Kembali heran In Loei akan dengar kata-kata itu, akan tetapi kakaknya dipuji, ia lantas tertawa. Apakah kau hanya punya satu kakak?" Keng Beng tanya pula, secara mendadak. "Ya, aku hanya punya seorang kakak," In Loei jawab. "Apakah ada lain orang lagi dalam rumahmu?" lagi-lagi Keng Beng tanya. "Masih ada ibuku, tetapi sekarang ia berada di Mongolia, entah di mana," In Loei jawab. "Di belakang hari, akan aku cari ibuku itu.....” "Kecuali ibu, apakah tidak ada lagi sanak terdekat?" Keng Beng tanya pula. Ia seperti tak habisnya menanya. "Tidak ada lagi. Kakakku masih belum menikah." "Oh, entjie belum punya enso?" Sampai di situ, keheranan In Loei bersalin rupa. Terang si nona tengah mencari jalan untuk bicara tentang kakaknya. Mulanya ia menyangka, nona itu menaruh hati kepada Tan Hong, tapi nyatanya sekarang bahwa dia sebenarnya memperhatikan kakaknya itu. Hampir saja ia mengatakannya: "Jikalau kau sudi jadi enso-ku, itulah baik sekali!" Tapi masih dapat ia mengatasi diri, terhadap seorang yang baharu dikenal, tidak berani ia sembarang bergurau. Hanya pada alisnya sajalah tampak tegas kegirangannya. Ia awasi nona itu, ia bersenyum. "Ya, aku masih belum punya enso....." ia jawab. In Loei tidak tahu bahwa sebenarnya, dengan paksakan diri, Keng Beng ucapkan kata-katanya melulu untuk melenyapkan kecurigaan, atau cemburu terhadap ia. Di antara sinar rembulan, yang nyeplos antara daun-daun pohon-pohonan, kelihatan kedua nona itu saling menjabat tangan, keduanya bertindak dengan perlahan dengan hati mereka masing-masing bergoncang sendirinya. Mereka berjalan di tepi pengempang teratai, hingga di lain saat, di antara tedengan gorden, mereka lihat suatu bayangan tubuh. "Tan Hong masih belum tidur!" kata Keng Beng sambil tertawa. "Dia tengah menantikan kau, entjie1." "Cis" seru In Loei, yang segera merasakan mukanya panas sendirinya. Ketika tadi ia keluar dari kamar In Tiong memang hatinya pepat, ingin ia melegakannya. Ia bimbang. Adalah niatnya untuk menyingkir dari Tan Hong, akan tetapi, adalah niatnya juga, untuk tengok anak muda itu, maka ia telah bertindak ke arah pengempang. Adalah di luar dugaannya bahwa rahasia hatinya itu dapat dibade Keng Beng. Maka ia menjadi jengah. Keng Beng sudah lantas tertawa geli, ia terus putar tangannya untuk dapat terlepas dari cekalannya si Nona In, setelah mana, ia lari mutar ke gunung-gunungan akan kemudian lenyap dalam semak-semak pohon bunga. In Loei awasi orang menyingkir. Kapan kemudian ia menoleh ke arah paseban di tengah empang, ia tampak Tan Hong sudah pentang daun jendela dan kepalanya ditongolkan keluar. "Adik kecil! Adik kecil!" demikian suaranya anak muda itu, perlahan tetapi tedas di antara kesunyian malam itu. In Loei tidak jawab panggilan itu. Ia seperti terhilang rasa, tetapi dengan perlahan-lahan, ia bertindak ke arah empang teratai itu. Keng Beng dari tempatnya sembunyi saksikan pemandangan itu, ia menjadi girang berbareng sedih, hingga tanpa merasa, ia mengucurkan air mata. In Tiong sementara itu dapat tidur nyenyak selama satu malam, ketika keesokannya ia mendusi, ia tampak matahari sudah naik tinggi. Ia ingat kepada lukanya, ia lantas menggerak-gerakkan lengannya yang sakit. Untuk kegirangannya, ia dapat bergerak dengan leluasa, seperti biasa. Melainkan tubuhnya, ia rasakan masih sedikit lemah. Ia berdahaga, ia lantas ceguk secawan air. Kemudian ia berbangkit akan rapikan pakaiannya, untuk bertindak keluar dari kamar, dengan begitu dengan lantas ia dapat saksikan keindahannya Tongteng Santjhoeng dengan gunung dan gua palsunya, dengan tamannya, dengan pengempangnya dan lain-lainnya lagi. Dengan pikiran terbuka, In Tiong jalan terus, tindakannya lambat. Ketika ia tiba di depan gunung-gunungan, tiba-tiba ia dengar suara orang bicara di arah belakang gunung palsu itu. Suara itu keras. Itulah suara orang bertengkar, berebut omong. "Harta simpanan ini telah kita jagai untuk iaotjoekong selama beberapa turunan," demikian satu orang, "kenapa sekarang harta itu hendak diserahkan kepada musuhnya, kepada kaisar keluarga Tjoe? Di alam baka, pastilah Iaotjoekong tak akan meram mata!" ("Laotjoekong" ialah "majikan atau junjungan yang tua"). "Duduknya hal tidak demikian," terdengar satu suara orang tua, yang tegas dan nyata. "Benar seperti katanya siauwtjoe, dahulu adalah dua keluarga memperebutkan negara, akan tetapi sekarang adalah suatu bangsa asing hendak datang menyerbu! Dalam hal ini kita mesti menimbang berat dan entengnya, maka itu mestilah kita bersatu hati dan bersatu tenaga, untuk menangkis musuh luar!" Seorang lagi berkata: "Aku tidak percaya kaisar keluarga Tjoe hendak bersungguh-sungguh hati menangkis serangan musuh luar itu!" Kembali terdengar suara angker dari si orang tua tadi: "Dalam keadaan hebat seperti ini, dia tidak melawan juga tak mungkin! Kita harus ingat, di samping kaisar itu, ada Ie Kiam dan lain menteri besar yang setia kepada negara. Sekarang telah pasti keputusanku, hendak aku turut perkataannya siauwtjoe, maka kamu semua jangan banyak omong pula!" ("Siauwtjoe" ialah "tuan atau junjungan yang muda.") In Tiong kenali, orang tua itu adalah Tongteng Tjhoengtjoe, tuan rumah dari Tongteng Santjhoeng itu, maka yang lainnya tentulah orang-orangnya si tuan rumah. Hatinya lantas saja bercekat. "Sri Baginda telah menganggap Thio Tan Hong mencari harta simpanan dan peta bumi itu hendak dipakai memberontak melawan pemerintah," ia berpikir, "tetapi sekarang buktinya, harta besar itu justeru hendak dipersembahkan kepada Sri Baginda!" In Tiong merasa aneh, ia menjadi kagum, hatinya goncang keras. Dalam saat seperti itu, ia tak bisa berbuat lain daripada berdiri terpaku bagaikan patung. Atau mendadak: "Hai Tjonggoan thaydjin kau pun telah datang kemari?" demikian satu teguran, yang datangnya dari arah lorong, teguran mana diberikuti suara tertawa. Dengan terkejut In Tiong menoleh. Maka dilorong itu, ia tampak dua orang tengah mendatangi ke arahnya. Ia segera kenali, mereka itu adalah si ibu dan anak daranya yang ia ketemukan di warung teh. Tentu saja sekarang tahulah ia siapa ibu dan anak itu. "Peebo" ia lantas memanggil sambil terus memberi hormat. Tamtay Toanio lantas tertawa. "Bagaimana, kau telah sembuh?" tanya nyonya itu. "Sungguh kau beruntung!" Dan si nona atau Tamtay Giok Beng, telah bawa kejenakaannya. Ia tertawa haha-hihi ketika ia berkata kepada ibunya: "Aku telah dengar entjie mengatakan bahwa kemarin dia masih berlagak menjadi satu laki-laki!.....” Paras In Tiong menjadi merah sendirinya. Nona yang jail itu tidak memperdulikannya, dia malah tertawa dingin sekarang. Dengan sebat dia rogo sakunya, untuk tarik keluar sehelai saputangan tersulam, dengan satu gerakan tangan, ia kibaskan itu yang membuatnya terbeber, maka di dalam saputangan itu tertampaklah sulaman dari sepuluh tangkai bunga merah, yang berkibar secara menyolok mata! In Tiong lihat saputangan dengan sulaman bunganya itu, kembali hatinya bercekat. Tamtay Toanio tertawa. "Anak Beng, jangan kau bikin kaget tetamumu!" dia kata. Masih Giok Beng tertawa cekikikan. Dengan dua jari tangannya yang sebelah, ia gulung tujuh tangkai bunga merah itu, sambil menggulung ia berkata dengan wajar: "Ini tujuh butir telur busuk yang hendak bikin celaka toako Tan Hong telah aku petik! Tinggal tiga lagi tetapi Toako Tan Hong larang aku mengganggunya, di larang sekalipun disentuh saja!.....” In Tiong bercekat pula. Ia tahu, tiga tangkai itu dimaksudkan terhadap dia bersama Tiatpie Kimwan dan Samhoa Kiam. Tamtay Toanio tertawa pula. "Sejak di paseban teh telah aku lihat In Siangkong adalah orang baik-baik," ia bilang. "Sudahlah, anak Beng, aku larang kau bergurau pula!" Keluarga Tamtay ini bertugas melindungi harta simpanan, oleh karena itu Tongteng Tjhoengtjoe Tamtay Tionggoan telah wajibkan diri menduduki Tongteng San Barat itu. Selaku persiapan, bagaikan mata-mata, telah diadakan warung teh itu, yang dilakukan Tamtay Toanio serta puterinya, untuk mengawasi setiap orang yang mendaki bukit di tengah telaga itu. Sebelum ia masuk ke Tongteng Santjhoeng, Tan Hong sendiri tidak tahu bahwa nyonya dan nona itu adalah isteri dan anaknya Tamtay Tionggoan. Tamtay Toanio tidak pedulikan orang heran atau bingung. "In Siangkong," ia berkata pula kepada tetamunya itu, "mari aku ajak kau melihat-lihat sesuatu!" Dalam keadaan seperti itu, tak dapat tidak, In Tiong lantas ikuti nyonya itu. Mereka jalan di lorong, memutari gunung-gunungan, sampai di suatu tempat di mana — begitu berkilau sinar terang mengkilap — In Tiong tampak tumpukkan emas dan perak, dari barang-barang permata lainnya! Di sana pun berdiri Tongteng Tjhoengtjoe bersama beberapa petani, mendampingi harta besar itu. "Ha, In Thaydjin, bagus kau datang!" seru tuan rumah begitu ia tampak tetamunya itu. Kemudian, menoleh kepada satu orangnya, ia menitahkan: "Pergi kau undang Thio Siangkong datang kemari!" Tongteng Tjhoengtjoe biasa memanggil siauwtjoe, tuan muda, kepada Thio Tan Hong, akan tetapi Tan Hong keras menampik, maka kesudahannya dia mengubahnya panggilan itu, dari siauwtjoe menjadi siangkong. Tidak berselang lama, tampak Tan Hong datang bersama-sama In Loei. Mereka itu bertindak di antara jalanan yang berbariskan pohon-pohon bunga. Waktu In Loei lihat kakaknya, ia segera kendorkan tindakannya, dari berendeng, ia jadi ketinggalan di sebelah Tan Hong. In Tiong saksikan pemandangan itu, diam-diam ia menghela napas, ia merasa likat sendirinya. Tapi sekarang ia tidak lagi bergusar seperti kemarinnya. "Bagaimana dengan lukamu, saudara In?" tanya Tan Hong begitu lekas ia telah datang dekat. Sebenarnya In Tiong tidak niat menjawabnya, akan tetapi kesopanan memintanya, maka ia manggut dengan tawar. "Tak usah kau kuatirkan, aku masih hidup," ia jawab. Tan Hong tidak marah, ia malah bersenyum. "Bagus!" katanya. Ia menanya pun dengan sengaja, karena ia tahu kemujaraban obatnya, yang begitu dipakai tentu bakal menyembuhkan lukanya. Tongteng Tjhoengtjoe tidak pedulikan ketegangan di antara kedua anak muda itu. "Harta ini aku telah menjaganya selama beberapa turunan," ia berkata, maka sekarang telah tiba saatnya untuk aku melepaskan pikulanku yang beratnya ribuan kati! In Thaydjin, aku minta sukalah kau beristirahat sedikitnya dua hari lagi di sini, setelah itu hendak aku mohon agar kau angkut harta ini ke kota raja, untuk dipersembahkan kepada junjunganmu supaya dipakai sebagai belanja tentera." Tan Hong tidak tunggu jawabannya In Tiong lagi, berkata: "Apa yang dikatakan Anghoat Yauwliong kemarin bukan kedustaan belaka," ia bilang. "Telah aku peroleh kabar pasti, angkatan perang Watzu benar-benar sudah menerjang ke Ganboenkwan, di sana telah terbit perang di antara kedua negeri!" In Tiong dengar itu, ia menjadi sangat gusar, hingga dengan tangannya ia sampok batu gunung-gunungan dihadapannya. "Jikalau aku tidak sapu habis tentara Watzu, aku sumpah tak akan jadi manusia!" Tiba-tiba ia terhuyung, dari mulutnya ia muntah-kan darah hidup. In Loei kaget, ia lompat akan tubruk kakak itu, untuk pegangi tubuhnya Tan Hong pun sambar tangan orang akan periksa nadinya. "Jangan kuatir," kata ia setelah memeriksa. "Ini cuma disebabkan kemurkaan disatu saat. Saudara In," ia tambahkan, "lagi dua hari, kau akan sembuh pula. Jangan kau pikirkan tentang bahaya perang, walau keadaan sangat genting, peperangan bukannya urusan dua tiga hari. Yang penting adalah harta besar ini, di waktu diangkut, kau harus mohon bantuannya Tjhoengtjoe, supaya nanti di tengah jalan tak sampai ada yang begal!" "Dan kau?" Tongteng Tjhoengtjoe tanya anak muda itu, menegasi. "Aku masih punyakan lainnya yang jauh lebih penting dari harta ini," jawab Tan Hong. "Ah, peta bumi, kau maksudkan?" tanya Tongteng Tjhoengtjoe. "Benar," sahut Tan Hong. "Sekarang ini musuh tangguH dan kita lemah, peta itu penting bagi pihak kita. Bukankah kita jadi berada di tempat terang dan musuh di tempat gelap? Itu artinya lebih berfaedah daripada tambahan sepuluh laksa serdadu!" Mendengar itu, Tongteng Tjhoengtjoe tiba-tiba menggeleng kepala, pada wajahnya pun lantas tampak roman berduka. "Kenapa ha?" tanya Tan Hong. "Thio Siangkong," sahut orang tua itu, "walaupun kau gagah dan cerdas, dengan kau hanya seorang diri, hatiku tidak tenteram. Peta itu ada mengenai nasibnya negara kita, dan dorna Ong Tjin telah ketahui halnya itu! Benar rombongannya Anghoat Yauwliong telah dapat kita tumpas, tetapi tak dapat kita pastikan bahwa dia tidak akan mengirim lain rombongan lagi! Perjalanan ada ribuan lie jauhnya, kau berjalan seorang diri, jikalau terjadi sesuatu di tengah jalan kami tentunya tidak ketahui itu.....” Tan Hong rupanya menginsyafi itu, ia bungkam. "Selayaknya aku titahkan orang untuk temani siangkong," Tongteng Tjhoengtjoe berkata pula, "akan tetapi, sayang aku tak dapat lakukan itu. Orang-orang di sini, semua kepandaiannya ada di bawahan siangkong, maka jikalau siangkong menghadapi musuh tanggu, siangkong tidak ada orang yang membantuinya....." "Memang juga perjalananku kali ini agak berbahaya," Tan Hong akui, "tetapi aku cuma membawa sehelai peta bumi, itu tidaklah terlalu menyolok mata. Adalah kau, yang mengangkut harta besar, kau memerlukan banyak tenaga. Maka untuk aku, janganlah kau memecah-mecah tenaga." In Tiong yang mendengar orang "adu mulut" jadi berpikir keras. Tapi lekas sekali ia telah dapatkan pikiran. Maka ia angkat kepalanya. "Adik Loei, kau pergilah bersama dia!" tiba-tiba dia kata, suaranya nyaring. Mendengar itu, semua orang tercengang. In Loei sendiri girang berbareng kaget, hatinya goncang. Inilah ia tidak sangka. Rupanya In Tiong tahu keheranan semua orang, berikut adiknya itu. "Aku tahu kamu berdua mempunyai ilmu silat pedang yang tergabung menjadi satu," ia tambahkan, "maka itu, walaupun musuh ada jauh terlebih liehay, masih kamu dapat melayaninya. Dengan kau yang pergi, hatiku tenang." Dengan "ilmu silat pedang yang tergabung menjadi satu" itu, In Tiong maksudkan "Siangkiam happek," yang ringkasnya, "sepasang pedang terangkap." Tan Hong segera menjura dalam kepada orang she In itu. "Terima kasih, saudara In!" ia mengucap. "Hm!....." In Tiong perdengarkan suara dingin. "Terima kasih apa? Aku tidak memikir untuk kau!" "Aku tahu maksudmu kepada peta bumi," sahut Tan Hong. "Bagaimana jikalau aku menghaturkan terima kasih kepadamu atas namanya negara kerajaan Beng?" "Baik!" jawab In Tiong. "Karena kau hendak bekerja untuk Kerajaan Beng, suka aku membalas hormatmu!" Dan ia lantas menjura. Mau atau tidak, In Loei jadi bersenyum. "Loei, mari!" In Tiong panggil adiknya itu. In Loei hampirkan kakaknya, lalu berdua, sambil bergandengan tangan, mereka bertindak ke arah pohon-pohon yang lebat. Di sini In Tiong usap-usap rambut yang halus dari adiknya itu, sinar matanya pun menyatakan ia sangat mengasihi adik itu. "Adikku, adakah kau gusar kepadaku?" ia tanya, perlahan, suaranya halus. "Koko, aku justeru sangat girang!" sang adik jawab. "Sejak kita berpisahan, tiada satu saat yang aku tidak pikirkan kau," kata kakak itu pula. "Aku kangen terhadap kau, Loei, sehingga kadang, aku bermimpi menemui kau..... Aku mimpikan kau bagaikan kau baharu berumur tiga tahun, dengan tiga untai kuncirmu, bagaimana dipadang rumput kau mengawasi ibu mengembala kambing.....” In Loei girang dan terharu, hingga ia mengeluarkan air mata. "Koko, aku tahu, kau memang menyayangi aku, mengasihi aku....." katanya. In Tiong menghela napas panjang. "Kemudian," katanya, meneruskan, "tatkala untuk pertama kali kita bertemu di Tjengliong Kiap, ketika itu kau menyamar sebagai laki-laki, kau justeru membantui musuh menentang pihakku. Itu waktu aku telah berpikir, di mana pernah aku lihat orang ini? Ah, dia mirip dengan saudaraku..... Karena itu juga waktu itu aku tidak memikir untuk berlaku telengas." "Ya, kita yang bersaudara, perasaan kita memang sama." kata In Loei. "Ketika itu, koko, aku juga berpikir seperti kau pikir itu." "Kemarin," tiba-tiba In Tiong bicara getas, "tahulah aku bahwa kau adalah adikku, aku jadi sangat girang, tetapi berbareng akupun berduka, sakit hatiku..... Ya, kau nampaknya bergaul sangat erat dengan dia itu!" Hati In Loei memukul, ia lantas tunduk, air, matanya pun segera mengucur dengan deras. "Adikku," In Tiong berkata pula, "ilmu pedangmu sudah cukup untukmu menjelajah dunia kangouw, hanya sayang, hatimu terlalu lemah. Kau sebagai gadisnya keluarga In, sekarang aku ingin supaya kau kuatkan hatimu dan jawab satu hal." Parasnya In Loei menjadi pucat, tetapi ia menyahuti. "Silahkan bilang, koko," katanya. In Tiong awasi adik itu. "Sakit hati terhadap Thio Tan Hong boleh aku tidak membalasnya," ia bilang, "akan tetapi, walau bagaimanapun, dia tetap seorang putera dari musuh kita yang kakek paling bencikan, maka itu kau, selama hidupmu sekarang, di jaman ini, tak dapat kau dan dia menjadi suami isteri! Kalau sekarang kau pergi bersama ia, untuk mengantarkannya, itu melulu untuk mengantar peta bumi itulah untuk Kerajaan Beng kita yang terbesar! Selama di tengah jalan, tak dapat kau kasi dirimu ditipu dengan kata-katanya yang manis. Jikalau sampai kejadian kau benar-benar sukai dia, baiklah persaudaraan kita kakak beradik dibacok kutung saja menjadi dua potong! Loei, sekali lagi aku peringatkan aku larang kau dan dia menjadi suami isteri! Ini adalah apa yang hendak aku katakan. Dapatkah kau meluluskan atau tidak? Bilang, bilanglah! Bilanglah!" In Loei jadi sangat serba salah. Iapun ada sangat berduka. Kalau kakak itu bicara seperti kemarin, keras dan kasar, mungkin ia segera berikan jawabannya yang sama kerasnya, menuruti napsu amarahnya. Tapi sekarang..... sekarang kakak ini menatap ia dengan sinar mata yang memohon sangat..... Ia mencoba kuatkan hatinya. Ia angkat kepalanya, untuk membalas menatap kakak itu. Di akhirnya, ia menjawab dengan perlahan: "Baiklah, koko, aku berjanji....." Sehabis bersantap pagi, Thio Tan Hong bersama In Loei pamitan dari orang banyak, mereka turun dari bukit, untuk menyeberangi telaga. Keluarga Tamtay, ayah dan gadisnya, mengantar sampai di tepi telaga. Sebuah perahu telah tersedia di tepi telaga, di bawah sebuah pohon yanglioe, itulah sebuah perahu yang enteng, yang di dalamnya itu telah disiapkan arak harum buatan Tongteng San, berikut daging kering dari ayam dan lainnya. Semua itu adalah hasil dari perhatian yang besar dari Tongteng Tjhoengtjoe. Tamtay Keng Beng, dengan tangan memegangi cabang yanglioe yang meroyot turun, mengawasi orang naik keperahu. Dengan perlahan sekali, ia mengucapkan: "Ribuan oyot yanglioe tak dapat mengikat menghentikan sebuah perahu yang berlayar....." Wajahnya tampak suram. "Entjie Keng Beng," berkata In Loei kepada nona itu, "tolong kau perhatikan kakakku! Lain hari nanti kita bertemu pula di kota raja!" Keng Beng tertawa. "Entjie In Loei," ia menjawab, "tolong kau perhatikan siauwtjoe kami!" Tongteng Tjhoengtjoe juga nimbrung: "Aku pujikan supaya kamu selamat di perjalanan, supaya peta bumi dapat dibawa ke kota raja, supaya tidak sia-sialah yang keluarga kami telah melindunginya selama beberapa turunan!" Di mukanya In Loei tertampak warna merah, tetapi tjhoengtjoe itu bicara secara sungguh-sungguh, ia lantas angkat kedua tangannya, untuk membalas hormat sambil mengucapkan terima kasih. Thio Tan Hong telah kenyang melawan gelombang, sekarang dapat ia berkumpul berdua dengan In Loei, ia girang bukan kepalang. Maka juga, selagi membuatnya perahunya laju, ia menepuk-nepuk irama untuk bernyanyi. Tapi, ketika ia menoleh ke tepi tadi, ia tampak Tamtay Keng Beng masih memegangi cabang yanglioe dan matanya si nona mengawasi kepadanya..... "Eh, saudara kecil, mengapa kau tidak tertawa?" tanya Tan Hong, yang lihat orang diam membungkam. "Apakah yang mesti ditertawainya?" tanya In Loei sambil membuat main tali bajunya. "Kita dapat membuat perjalanan bersama, apakah itu bukan suatu hal yang menggirangkan?" tanya Tan Hong. "Jaraknya perjalanan tapinya terlalu pendek," kata si nona. Untuk sejenak, Tan Hong melengak. Tapi segera ia insyaf. Maka ia pikir dalam hatinya: "Memang, perjalanan hidup manusia ada jauh tetapi perjalanan kita terlalu pendek.....” Lalu ia kata: "Tidak usah kau mengatakannya, aku dapat menerka apa katanya kakakmu kepadamu. Tentang itu kau tidak usah kuatir. Tujuan kakakmu sama dengan tujuan kita, mungkin akan datang waktunya yang ia nanti ijinkan kita melakukan perjalanan jauh bersama-sama....." Mendengar ini, hati In Loei tergerak. "Memang, sikap kakak kemarin dan hari ini beda sekali," pikir ia. "Sebelumnya ia sangat keras mencegah aku berjalan bersama Tan Hong. Dahulu ia membenci sangat Tan Hong, ia berkukuh hendak membalasnya, tetapi sekarang, permusuhan itu telah berkurang banyak. Benar seperti kata toako, dalam dunia ini tak ada benda yang selamanya tak berubah.....” Baharu nona ini berpikir demikian, atau lain pikiran datang pula. "Apa yang pagi ini koko katakan, semuanya beralasan," demikian pikirnya pula. "Aku kuatir setelah ini, untuk selanjutnya, ia tak dapat mengalah lebih jauh.....” Karena ini, ia jadi bertambah duka. Tapi, hendak ia hiburkan diri. Maka ia pikir, baiklah ia ke sampingkan dahulu urusan pernikahan, lebih baik ia mementingkan kejadian yang ia hadapi. Bukankah sudah cukup asal ia sering bertemu muka sama Tan Hong, bertemu muka bukan sebagai musuh? Tan Hong biarkan orang berpikir, ia mengawasi sambil bersenyum. Ia telah menerka apa yang si nona pikirkan, ia sengaja membiarkannya saja, tak mau ia mengganggunya. Dengan membungkam, orang bisa dapatkan sesuatu yang baik..... Di waktu magrib, kedua anak muda ini telah seberangi telaga Thayouw. Mereka bermalam di kota Souwtjioe. Ketika pertama kali ia mendaki Tongteng San, Tan Hong telah titipkan kudanya, Tjiauwya saytjoe ma, pada satu keponakannya Tamtay Toanio, sekarang ia ambil kudanya itu, untuk di hari kedua ia bersama In Loei lakukan perjalanan ke Utara. Di sepanjang jalan mereka lihat banyak kuda kereta berjalan bererot mengangkut rangsum, tahulah mereka artinya kegentingan ketenteraan. Begitu lekas mereka memasuki wilayah propinsi Hoopak, Tan Hong dan In Loei saksikan suasana yang terlebih tegang. Mereka yang menuju ke Utara sedikit sekali, sebaliknya mereka yang menuju ke Selatan, makin lama makin banyak, mereka menyingkir untuk mengungsi. Lagi dua hari mereka berjalan, kecuali mereka berdua, tidak tampak orang lainnya lagi. Di jalan besar, di jalan kecil, sampai di gili-gili sawah, yang tampak adalah mereka yang tengah mengungsi, berisik suara mereka itu. Orang-orang tua dipayang, anak-anak kecil dituntun..... Dan anak-anak yang lebih kecil ada yang memanggil-manggil ayah dan ibunya..... Mereka itu sangat mengharukan dipandangnya. Kabar angin juga berbareng ada tersiar luas. Ada yang mengatakan bahwa pasukan perang Mongolia sudah menerjang masuk ke kota Kieyongkwan atau telah tiba di Hoaydjoe atau Bitin, dua kecamatan di utara kota raja. Ada lagi yang bilang musuh sudah lintasi Patatleng. Yang lebih hebat lagi adalah kabar burung bahwa ibu kota Pakkhia sudah dikurung musuh. Sejumlah rakyat pengungsi itu ketika ketahui Tan Hong berdua hendak pergi ke Pakkhia, semua mereka menunjukkan roman heran dan kaget, lalu mereka memberi nasehat untuk keduanya mengurungkan niat mereka, sebab katanya itulah perjalanan mengantarkan jiwa..... Mau atau tidak, Tan Hong jadi berduka juga. Ia mesti pergi ke Pakkhia, walaupun keadaan genting dan berbahaya. Tidak bisa lain, ia ubah ambil jalan, yaitu ia tak lagi ambil jalan besar, ia hanya ambil jalan kecil untuk memotong jalan ini, baharu dua hari, mereka sudah tidak bertemu seorang jua. Di kampung-kampung dalam sepuluh, sembilan orang telah pergi menyingkir. Terang sudah, siapa yang dapat mengungsi, dia telah singkirkan dirinya dari daerah perang. Segera Tan Hong dan In Loei tiba di sebuah desa dekat Pong San. Di sini mereka berputar-putar mencari rumah penduduk yang ada penghuninya, setelah setengah harian, baharu mereka ketemui satu keluarga tani yang belum mengungsi. Keluarga ini terdiri dari satu nyonya tua dan satu anak muda, ibu dan anak. Si ibu sudah tua dan lemah, tak kuat jalan, dan si anak tak tega meninggalkannya. Tan Hong minta dikasi menumpang. Nyonya tua itu baik budi, suka ia memberi tempat meneduh, tetapi ia bilang, tak dapat ia menyediakan beras atau nasi. "Tidak apa," kata Tan Hong, yang terus berikan separuh dari bekalan sekantong berasnya. Malah iapun obati nyonya itu, yang dapat sakit mejen. Ia memang ada membekal obat-obatan. Si orang tua bersyukur, karena dengan lekas ia telah sembuh dari sakitnya itu. Ditanya tentang keadaan perang, nyonya tua itu tidak dapat memberi keterangan kecuali katanya menurut kabar bahwa kota Hoaydjoe sudah jatuh, sedang kota itu terpisah dari kampungnya cuma kira-kira seratus lie. Kabar itu ia dengar dari sanaknya yang lewat mengungsi di kampungnya itu. Nyonya rumah tidak punya kamar lebih, Tan Hong dan In Loei terpaksa rebahkan diri di kamar yang dijadikan gudang kayu. In Loei telah menyamar sebagai satu pemuda, ia tak usah kuatir mendatangkan kecurigaan orang. Tetapi mereka tak dapat tidur pules, mereka kuatirkan urusan negara. Tepat jam tiga, Tan Hong dengar pintu depan didobrak terbuka, ketika ia lompat keluar, ia dapati tuan rumah yang muda sedang dicekal keras oleh satu perwira yang mukanya berlumuran darah. "Lekas masak nasi untukku, atau aku bunuh kau!" demikian si perwira mengancam. "Berlakulah murah hati, tuan, lepaskan anakku," memohon si nenek. "Baik, tapi lekas masak nasi!" kata perwira itu. "Di sini ada dua ekor kuda, mari kasikan yang satu padaku. Anakmu pun mesti gendol barangku!..... "Akan aku masak nasi, tuan," kata pula si nenek. "Tapi kasihani anakku yang tinggal satu-satunya ini. Dari tiga anakku, yang dua sudah dipaksa dibawa pergi oleh kamu. Kasihani kami, tuan, bebaskanlah dia....." "Tua bangka tolol" Bentak perwira itu. "Tentara Mongolia sudah menerjang, siapa juga mesti pergi perang!..... Tiba-tiba ia menoleh, ia lihat Tan Hong di pojokan yang suram, karena api pelita yang kelak-kelik. Ia lantas saja tertawa, terus ia kata: "Hai, babi tua, kau mendustai Lihat di sana, apa bukan masih ada satu lagi anakmu?" Sambil pegangi tangan si anak muda, yang ia pencet nadinya, perwira itu maju kepada Tan Hong, untuk jambak pemuda kita itu. Tan Hong mengawasi dengan dingin. "Bukannya kau pergi berperang, kau sebaliknya mengganggu rakyat!" katanya dengan bengis. Ia menangkis sambil berniat cekal tangan perwira itu. Si perwira tarik tangannya, ia lantas menyerang. Tapi Tan Hong dapat menangkis pula. Setelah dua tiga gebrak, Tan Hong heran. Ilmu silat si perwira ternyata adalah ilmu silat dari Tiamtjhong Pay. Terpaksa ia mendesak, untuk bikin perwira itu lepaskan cekalannya kepada tuan rumah, setelah mana, ia mendesak lebih jauh. Masih si perwira melawan, sampai kemudian dia berteriak "Aduh!" dan tubuhnya rubuh terguling, karena tak dapat dia bertahan lama. "Eh, eh, kau toh Thio Tan Hong?" dia berseru selagi dia rebah dan matanya mengawasi orang yang merubuhkan padanya. "Kau, kau..... ampunilah aku, jangan kau tangkap aku dan bawa ke Mongolia!.....” Tan Hong heran, ia mengawasi. "Jangan ngaco!" katanya. "Siapa mau tangkap kau untuk dibawa ke Mongolia?" Ia maju akan cekal tangan orang, untuk menyeka mukanya yang penuh darah itu, setelah meneliti, iapun melenggak. Perwira itu nyata adalah Taylwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay, pantas dia liehay. "Memang, segala pembesar banyak yang galak.....” kata si nenek. Ia menghela napas. "Tapi kasihan dia ini, dia terluka begini rupa.....” Tubuh Tiauw Hay itu terlukakan belasan anak panah, dua antaranya belum tercabut. Kecuali mukanya, pakaiannya pun berlepotan darah. Dia ada sangat lelah, kedua matanya pun hilang sinarnya. "Dia benar tangguH, walanpun dia terluka parah, masih sanggup dia melayani aku beberapa jurus," pikir Tan Hong. Tapi, ketika ia periksa luka orang, kebanyakan luka itu tidak berbahaya, kecuali dua yang anak panahnya masih menancap. Ia lantas cabut terus ia memberikan obat. "Apakah dia sahabatmu?" si orang tua tanya. "Ya," sahut Tan Hong sembarangan. Tapi ia jengah untuk mengucap demikian. Di dalam hati kecilnya, ia berkata: "Apabila orang tahu dia ini Taylwee Tjongkoan, sekalipun raja akan turut dapat malu....." Setelah itu, si nenek hendak pergi masak nasi. "Tidak usah," Tan Hong cegah, "nanti aku sendiri yang layani dia." Benar-benar Tan Hong pergi untuk memasak nasi. "Kong Tjongkoan, kau dahar seadanya saja," ia bilang kemudian. Di waktu pieboe, Tiauw Hay telah menitahkan orang bekuk Tan Hong, sekarang ia lihat orang bersikap baik, kepadanya dengan diobati dan dikasi makan, tidak berani ia banyak omong. Ia dahar dengan cepat dan banyak, hingga dengan cepat juga ia mulai pulih kesegaran tubuhnya. "Kong Tjongkoan, kenapa kau tidak ikuti Sri Baginda?" tanya Tan Hong kemudian. "Kenapa kau menyingkir seorang diri kemari?" Tjongkoan itu perlihatkan rupa berduka. "Panjang untuk berceritera," ia jawab. Ia menghela napas. "Sebenarnya aku memang mengiringi Sri Baginda, tentera kita berjumlah lima puluh laksa jiwa, tetapi pasukan itu termusnah semua, jikalau aku tidak lekas lari, sudah pasti jiwaku pun turut lenyap....." Tan Hong terkejut, hingga ia memotong: "Apa?" tanyanya. "Benarkah kau ikuti Sri Baginda? Mungkinkah tentara Mongolia sudah masuk ke Pakkhia?" "Bukan," Tiauw Hay jawab, cepat. "Sebenarnya Sri Baginda mengepalai sendiri angkatan perangnya, sekarang dia berada di luar kota Hoaydjoe di mana dia telah dikurung rapat-rapat oleh musuh.....” Kembali Tan Hong terkejut. "Apa? Sri Baginda pimpin sendiri angkatan perang?" dia tanya. "Usul siapakah itu?" "Itulah kehendak Ong Kongkong....." sahut Tiauw Hay. Tan Hong ada demikian gusar hingga ia hajar meja di depannya sehingga ujung meja itu pecah. "Ong Tjin, itu jahanam!" teriaknya. "Sunguh dia sangat jahat!" Tiauw Hay tidak berani buka mulut, ia bungkam. In Loei, yang sejak tadi diam saja, datang menghampirkan. "Jangan kau bergusar," ia menyabarkan. "Cobalah tanya dia lebih jauh." "Kenapa tidak dititahkan Ie Kiam Ie Thaydjin yang mengepalai angkatan perang?" Tan Hong tanya. "Itu ada urusan pemerintah, aku tahu apa?" Tiauw Hay jawab. "Apa yang aku dengar, orang mengatakan Ie Kiam adalah menteri sipil, dia tidak mampu memimpin tentara." "Hm! Sekarang mereka itu yang pegang pimpinan, bagaimana dan jadinya?" Tiauw Hay tidak menjawab, tetapi dia menutur: "Sri Baginda bersama Ong Kongkong yang pegang pimpinan, mereka berangkat dari Pakkhia pada tanggal enam belas bulan tujuh, tanggal sembilan belas mereka lewat di Kieyongkwan, tanggal dua puluh tiga tiba di Soanhoa, lalu pada tanggal satu bulan delapan mereka memasuki kota Taytong. Selama itu, beberapa hari lamanya, terbit hujan angin besar, tentara menderita kedinginan. Karena tidak ada persiapan baju dingin. Di kota Taytong itu, beberapa laksa jiwa mati beku, maka belum mereka menghadapi musuh, barisan itu sudah kacau sendirinya. Celakanya, Pengpou Siangsie Kong Tim telah jatuh dari kudanya dan terluka parah. Oleh karena kejadian-kejadian tidak diingin itu, Hoepouw Siangsie Ong Tjo mengusulkan untuk menarik pulang angkatan perang. Ong Kongkong tolak usul itu, malah ketika angkatan perang diberangkatkan lebih jauh, Hoepouw Siangsie dihukum berlutut di tanah berumput. Pada tanggal dua bulan delapan, Sianhong Tjio Heng telah mulai menghadapi tentara Watzu di Vanghookauw, dia kalah dan barisannya musnah. Pangeran Boetjinpek Tjoe Bian merangkap tjongpeng dan Pangeran Seelenghouw Song Eng merangkap tjongtok dari Taytong telah terbinasa bergantian dalam pertempuran itu. Atas itu Tjongpeng Kwee Teng dari Taytong mengasi pikiran kepada Sri Baginda untuk mundur dari kota Tjiekengkwan, tetapi kembali Ong Kongkong menolak. Ong Kongkong adalah orang asal Wietjioe, dia hendak ajak Sri Baginda pergi ke rumahnya, karena mana, angkatan perang lantas di pimpin ke kota Wietjioe itu. Orang baharu jalan empat puluh lie, tiba-tiba tujuan diubah ke arah timur, alasannya ialah Ong Kongkong kuatirkan sawah ladangnya nanti ludas terinjak-injak pasukan tentera. Kesudahannya orang ambil jalan bekas, untuk kembali ke Soanhoa. Ketika pada tanggal sepuluh pasukan tentara tiba di kota Soanhoa, pasukan musuh telah dapat menyandak. Pertempuran terjadi di bukit Yauwdjieleng. Di sinilah angkatan perang kena dipukul rusak dan buyar. Baharu kemarin dahulu Sri Baginda menyingkir ke Touwbokpo. Pasukan depan dari musuh sementara itu, dengan ambil jalan kecil, sudah mendahului Sri Baginda, maka itu pasukan musuh itu dapat balik kembali, untuk terus melakukan pengurungan." Thio Tan Hong menjadi terlebih-lebih gusar. Tahulah ia sekarang bahwa orang yang menganjurkan raja maju perang sendiri, yang pimpin tentara, yang mengajaknya mundur, semua adalah dorna Ong Tjin seorang. Terang sudah, Ong Tjin sudah merencanakan semua itu, hingga karenanya, angkatan perang Kerajaan itu menjadi hancur lebur. Selagi anak muda ini mencoba menenangkan diri, Kong Tiauw Hay telah bicara pula. Kata dia: "Syukur aku dapat melihat gelagat, diam-diam di waktu malam, aku nerobos keluar dari kepungan. Seandainya aku terus terkurung di Touwbokpo itu, jikalau aku tidak terbinasa dalam peperangan, tentulah aku mati kelaparan.....” Tan Hong perdengarkan suara dingin "Hm!" "Di bebokongmu ini ada tergendol bungkusan besar yang agaknya berat, barang apakah itu?" ia tanya sambil menunjuk ke belakangnya tjongkoan itu. Kong Tiauw Hay tidak segera menjawab, tetapi mukanya menjadi pucat. Sebet bagaikan kilat, tangannya Tan Hong menyambar ke bebokong orang, hingga dalam sedetik bungkusan itu telah berpindah tangan, lalu terus si anak muda membantingnya di tanah, sehingga bungkusan itu pecah dan isinya berhamburan. Untuk herannya semua orang, isi bungkusan itu adalah goanpo atau uang emas potongan semua. Tan Hong tertawa dingin. "Jadinya kaburmu ini ialah untuk harta besar ini!" katanya. Kong Tiauw Hay turut tertawa. "Harta ini semua adalah hadiah Sri Baginda kepadaku," ia berikan, keterangan. "Semua ini bukannya harta tidak halal. Hari ini kau telah tolong aku, suka aku untuk kita membagi dua harta ini.....” Kembali Tan Hong tertawa dingin. Tapi setelah itu, mendadak ia unjuk roman bengis. "Kecewa kau menjadi Taylwee Tjongkoan1. Kecewa kau menyebut-nyebut budinya Sri Baginda!" kata dia. "Sri Baginda telah berlaku baik hati terhadap kau, kenapa di saat Sri Baginda terancam bahaya, kau tinggal dia lari?" Kong Tiauw Hay melengak. Ia tahu Thio Tan Hong ini musuh raja, maka ia heran kenapa anak muda itu menegur ia secara demikian. Ia berani majukan usulnya itu pun karena menganggap pemuda ini musuh junjungannya. "Malam ini kau berdiam di sini," kata Tan Hong. "Besok pagi kau turut aku pergi ke Touwbokpo." "Apa? Pergi untuk mengantarkan jiwa?" Tiauw Hay tanya. "Kau gegares gaji negara, sekalipun nyata-nyata ada untuk antarkan jiwa, itu sudah seharusnya!" Tan Hong bilang. "Kenapa kau takut? Kau toh antarkan jiwa bukannya sendirian saja? Kamipun antarkan jiwa bukannya sendirian saja? Kamipun turut antarkan jiwa bersama?" Wajahnya Tiauw Hay menjadi pucat sekali. Ia tidak bilang apa-apa lagi, hanya lantas ia membungkam, untuk terus punguti uang goanpo itu, untuk dikumpulkan. Tan Hong bersama In Loei tertawa dingin, mereka mengawasi tanpa mencegah. Kuda putih dari Tan Hong dan kuda merah dari In Loei berada didekat mereka, ada goanpo yang mencelat ke kuda itu, maka Tiauw Hay terus punguti semua uangnya. Di saat ia datang dekat kuda putih, mendadak ia lompat akan sambar lehernya kuda itu! Tjiauwya saytjoe ma bukan kuda sembarangan, dia kaget dan berontak, lantas dia menyentil berulang-ulang, dia meringkik tak hentinya. "Hai, apa kau bikin" bentak Tan Hong. Tiauw Hay tidak menjawab, karena dia tidak bisa takluki kuda putih itu, ia terus lompat naik ke bebokongnya kuda merah. Ia lantas saja tertawa. "Aku Kong Tiauw Hay masih ingin hidup senang lagi beberapa tahun, maka maafkan aku, tidak dapat aku antarkan kamu!" kata dia, yang terus gunakan goloknya menumblas kempolan kuda, saking kaget dan sakit, kuda itu sudah lantas berlompat lari, kabur keluar, hingga sesaat kemudian kuda dan penunggangnya lenyap di malam yang gelap itu. In Loei jadi kaget. "Toako, mari kita kejar!" dia berteriak. Tan Hong tapinya menggeleng kepala. "Orang semacam dia, dicandak pun tidak ada faedahnya.....” ia bilang. Ia terus menarik napas panjang, dengan lesu ia jatuhkan diri ke kursi, ia kata: "Dahulu Gak Boe Bok pernah bilang, 'Pembesar sipil doyan duit, pembesar militer sayang jiwa, kalau begitu, apakah artinya urusan penting?1 Dan sekarang ini, pembesar sipil, pembesar militer, semuanya doyan duit! Kejahatannya Ong Tjin itu nyata tak kalah daripada kejahatannya Tjin Kwee, karenanya aku kuatir hikayat Ahala Song bakal terulang pula, kehinaannya Baginda Hwie Tjong dan Baginda Kim Tjong, yang tertawan musuh, akan terlihat pula hari ini!.....” "Di dalam kerajaan ada Tjin Kwee, di sana pun ada Gak Boe Bok," berkata In Loei, "Di mana Ie Kokloo tidak kalah daripada Gak Boe Bok itu, aku harap toako tidak menjadi tawar hati." "Hanya sayang Ie Kokloo itu tidak punya kekuasaan atas tentara," bilang Tan Hong, yang masih berduka. "Menyesal aku tidak punya sayap untuk terbang ke Pakkhia, supaya aku bisa bantu Ie Kokloo itu....." Dua anak muda ini jadi sangat bersusah hati. Karena ini, tidak tunggu sampai pagi, mereka sudah lantas pamitan dari si nenek dan anaknya, dengan menunggang kuda putih, mereka berangkat pergi. Belum lama mereka jalan mereka lantas dengar suara tambur dan terompet yang datangnya dari arah depan. Tan Hong larikan kudanya mendaki tanjakan, dari situ ia memandang jauh ke depan, hingga ia tampak banyak bendera, boleh dibilang di seluruh bukit dan tegalan, tertampak tentara Mongolia..... "Tidak dapat kita lewati mereka itu.....” kata In Loei, lesu. "Aku ada akal," kata Tan Hong. "Kau turunlah dan tunggu di sini." In Loei menurut. "Kau umpetkan diri," Tan Hong kata pula. Lalu ia larikan kudanya turun gunung, ia menghampirkan dan masuk ke dalam pasukan musuh! In Loei kaget bukan main, mukanya pucat sekali. Syukur ia tak usah ketakutan terlalu lama. Sebab segera juga ia lihat Tan Hong telah kembali bersama dua perwira bangsa Watzu. Tentu saja, ia sekarang menjadi sangat heran. Nona In tidak ketahui bahwa Tan Hong pandai bahasa Mongolia, bahwa di dalam sakunya pemuda ini ada menyimpan sehelai lengtjhie, bendera pertandaan militer, yang dia curi ketika dahulu dia keluar dari Mongolia, untuk menyusup masuk ke Tionggoan. Sekarang lengtjhie itu dia gunakan, dia akui bahwa dirinya adalah mata-mata Watzu yang diutus ke Tionggoan semenjak sebelumnya perang. Dan dia dipercaya dua perwira Mongolia itu. Tan Hong mendusta terlebih jauh, katanya di bukit itu dia lihat seorang yang mencurigakan, dia ajak kedua perwira, untuk memeriksa, maka itu, mereka datang bersama. Tapi, begitu lekas mereka sudah mendaki bukit di mana In Loei berada, dengan sekonyong-konyong dia hajar dua perwira itu hingga mereka rubuh binasa sebelum tahu apa-apa. Bukit itu terpisah dari barisan Mongolia beberapa lie jauhnya, maka itu, tidak ada satu serdadu Mongolia yang lihat apa yang terjadi dengan kedua perwira mereka. In Loei telah saksikan kejadian itu, ia lantas muncul. "Bagus!" kata Tan Hong kepada kawannya itu. "Sekarang mari kita menyamar sebagai dua perwira Mongolia ini. Bukankah kau belum lupa akan bahasa Mongolia?" "Ya, aku masih belum lupa!" sahut In Loei sambil tertawa. "Aku tidak sangka bahwa sekarang bahasa itu berguna bagi kita..." "Aku telah cari keterangan jelas," Tan Hong berkata pula. "Mereka ini adalah pasukan tangga ketiga dari resimen kedua, dan kemarin, barisan ini baharu saja melakukan pertempuran hebat. Mungkin barisan ini telah bentrok dengan Gielim koen di bawah Thio Hong Hoe dan mendapat kerugian besar maka sekarang mereka sedang disiapkan untuk dipersatukan dengan pasukan lainnya. Maka cocoklah kalau kita menyamar jadi kepala barisan mereka. Ingat, kau bernama Hawa dan aku Talai." In Loei manggut, ia bersedia akan iringi kawannya itu. Keduanya lantas lucuti seragam kedua perwira Mongolia itu, untuk mereka pakai. Syukur bentuk tubuh mereka tidak beda jauh. Tan Hong tunggu sampai sudah magrib, baharu ia ajak In Loei turun dari tempat sembunyi itu, untuk larikan kuda mereka ke dalam barisan Mongolia itu, untuk campurkan diri. Mereka tidak tampak kesukaran, karena pemuda she Thio itu ketahui baik segala aturan tentara Mongolia. Mereka dapat tempat dalam satu pasukan yang baharu saja disusun rapi. Keesokan paginya, barisan ini sudah lantas dimajukan pula. Mereka di kirim ke Touwbokpo sebagai bala bantuan. Lewat tengah hari, mereka tiba di medan perang. Begitu melihat keadaan pihak Beng, Tan Hong kaget sekali. Barisan Beng itu telah kena dihajar hingga hancur menjadi sejumlah barisan-barisan kecil, yang berserabutan ke timur dan barat..... -ooo00dw00ooo- Bab XX Dengan berisik terdengarlah suara terompet di dalam pasukan perang Watzu, disusul gemuruhnya suara tambur perang, lalu di atas gunung terlihat berkibarnya sehelai bendera besar dengan tanda hurufnya "Komandan." Dan satu perwira Mongolia,yang dandan sebagai pangeran, kelihatan bercokol di atas kudanya di atas gunung itu. Dengan cambuknya, pangeran itu menunjuk ke arah depan. Dia itu adalah Thaysoe Ya Sian, orang yang pegang kekuasaan besar atas bala tentera Watzu. Dia sedang pimpin barisannya, akan hajar tentera kerajaan Beng itu, yang dicegat sana sini, hingga tentera itu jadi kalut sekali. Dalam keadaan kacau itu, sekonyong-konyong di sebelah timur, muncul satu pasukan Beng yang mengibarkan bendera naga, ketika tentera Watzu lihat bendera itu, mereka lantas saja berteriak-teriak: "Ha, raja Bengtiauw ada di sana!" Menyaksikan itu Tan Hong kertek gigi. "Sungguh Ong Tjin jahat sekali!" kata dia dalam hatinya. "Nyatalah dia masih kuatir musuh tidak tahu di mana adanya Sri Baginda!" Sebab maksud dikibarkannya bendera raja itu adalah untuk memberi tanda kepada musuh, agar musuh ketahui di mana adanya raja. Kaisar Kie Tin dari Kerajaan Beng telah terkurung satu hari dan satu malam di benteng Touwbokpo, ia berkuatir bukan main. Ia telah saksikan angkatan perangnya telah dihajar rusak oleh musuh, sampai ia tidak sanggup mengumpulkan dan menyusunnya pula dengan sempurna. Ia sekarang hanya mengandalkan kepada Thio Hong Hoe serta pasukan pengawalnya sendiri. Begitulah ia ajak komandan dari Kimie wie itu membicarakan soal menoblos kurungan musuh. Raja dan pahlawannya ini tengah berbicara tatkala mereka lihat Ong Tjin berlari-lari datang dengan muka terpucat-pucat, dan begitu tiba di hadapan raja, orang kebiri itu perdengarkan suaranya yang tak wajar: "Sri Baginda, celaka! Tentera lapis besi musuh sudah sampai di muka kubu-kubu! Lekas Sri Baginda titahkan Thio Tongnia pergi menangkis mereka!.....” Selagi raja tercengang, Thio Hong Hoe sudah perdengarkan suaranya: "Jangan kaget, Sri Baginda!" demikian pahlawan ini. "Hari ini, meski mesti kurbankan jiwa, hambamu akan lindungi Sri Baginda menoblos kurungan!" Sehabis mengucap demikian, pahlawan ini segera lari keluar, untuk wujudkan kata-katanya, guna memukul mundur musuh. Seberlalunya pahlawan itu, tiba-tiba saja Ong Tjin tertawa menyeringai. Tidak lagi ia bermuka pucat dan beroman sangat ketakutan seperti tadi. Ia malah bergembira. "Sri Baginda," berkata dia, "hari ini habis sudah harapan kita, kecuali kita menyerah dan menakluk, tidak ada lain jalan hidup pula. Hambamu mohon agar Sri Baginda sudi pergi ke tangsi Watzu untuk mohon perdamaian....." Kaisar kaget bukan main mendengar perkataan hambanya ini. "Cara bagaimana aykeng dapat mengatakan begini?" dia tanya. "Aykeng" berarti "menteri yang dicintai." Ong Tjin tidak menjawab rajanya itu, yang masih menghargai padanya. Dengan tiba-tiba ia perlihatkan roman bengis. "Mana pahlawanku?" dia memanggil. Atas panggilan itu, dari luar kemah muncul pahlawan dorna kebiri itu, dan raja, tanpa berdaya, sudah lantas saja diringkus. Hong Hoe sendiri, selekasnya dia tiba di luar kemah, dia kaget bukan main. Dia telah saksikan dikereknya bendera naga. Seperti Tan Hong, segera dia insyaf akan akal muslihatnya Ong Tjin yang jahat itu. Sebenarnya ingin dia kembali ke dalam kemah, akan tengok junjungannya, akan tetapi tentara Watzu benar-benar sudah menerjang, terpaksa ia maju terus, untuk melakukan perlawanan. Hebat untuknya, dengan lekas ia telah kena dikurung musuh, yang telah memutuskan jalannya kembali kepada rajanya. Sementara itu, darah In Loei bergolak-golak saking murkanya. "Toako, mari kita bunuh Ong Tjin, untuk menolong Sri Baginda!" ia ajak Tan Hong. Bersama-sama Tan Hong, In Loei ini memimpin satu barisan tengah, dari itu, di depan mereka terdapat lain barisan, yang berjumlah besar, maka, untuk bisa menyerbu ke arah kaisar Beng, adalah sulit sekali. Mungkin mereka tidak mampu berbuat demikian sekalipun mereka mempunyai kuda-kuda jempolan. Tan Hong tertawa meringis. "Di saat seperti ini tidak lagi kita dapat berlaku nekat," katanya, masgul. "Mari kita naik ke tempat tinggi, untuk melihat keadaan.....” Dan dari tempat yang tinggi, mereka saksikan Ong Tjin menaikkan Kaisar Kie Tin ke atas kuda dengan tubuh terbelenggu. Dengan tangannya sendiri, dorna kebiri itu mengangkat naik bendera putih, untuk dilambai-lambaikan, hingga bendera tanda menakluk itu berkibar-kibar di antara sampokan angin. Beberapa pahlawan yang setia telah mencoba maju, untuk menolongi raja, akan tetapi mereka dirintangi oleh pahlawan-pahlawannya si dorna. Dipihak lain, barisan musuh sudah datang mendekati raja yang tak beruntung itu. Dalam saat seperti itu, sekonyong-konyong terdengar suara teriakan keras bagaikan guntur, lalu tertampak Hokwie Tjiangkoen Hoan Tiong, dengan sepasang gembolan di tangan, mengaburkan kudanya ke arah raja. Panglima ini seperti kalap, tak lagi ia menghiraukan dirinya. Tapi ia pun segera dicegat dan dikepung oleh pahlawan-pahlawannya Ong Tjin dibantu tentara watzu yang melepaskan anak panah. Hoan Tiong mengenakan lapisan baja di depan dadanya dan kopiah di kepalanya, kedua belah anggota tubuh itu bebas dari anak-anak panah, tidak demikian dengan pundak dan bebokongnya, maka itu, belasan anak panah, telah menancap di tubuhnya itu, tetapi ia tangguh sekali, ia tak rubuh karenanya. Ia paksa maju terus ke arah junjungannya, hingga ia datang dekat si dorna kebiri. Ong Tjin terkejut menyaksikan kegagahan orang itu. "Hoan Tjiangkoen, marilah kita bicara!" ia serukan. Ia sangat berkuatir. Jawaban Hoan Tiong adalah teriakan berguntur: "Hari ini aku akan mewakili negara membasmi penghianat!" Dan teriakan itu dibarengi dengan turunnya sebilah gembolannya yang berat itu, menimpa Ong Tjin, hingga tubuh si dorna rubuh dari atas kudanya. Sementara itu, dia sendiri pun tidak bebas dari beberapa bacokan musuh. Dalam keadaan luka parah itu, Hoan Tiong tertawa berkakakan, lalu tiba-tiba ia ayunkan gembolannya ke arah kepalanya sendiri, maka sedetik saja, ia rubuh dari kudanya dengan kepalanya pecah, jiwanya melayang. Ia lebih suka bunuh diri daripada tertawan atau terbinasa ditangan musuh. Bagaikan air bah, demikian serbuan tentara Watzu, maka sejenak kemudian, kaisar Beng yang sudah tidak berdaya itu telah menjadi orang tawanan, sedang menteri-menterinya, yang turut ke medan perang, seperti Siangsie Kong Tim, Ong Tjoh, Haksoe Tjo Teng dan Thio Ek, pangeran Enqkok-kong Thio Hoe dan lainnya, telah berkurban untuknya. Juga di antara pahlawan-pahlawan Ong Tjin, ada delapan atau sembilan yang terluka dan terbinasa. Kejadian yang menyedihkan dalam hikayat Kerajaan Beng ini adalah yang dinamakan "Peristiwa di Touwbok." Thio Hong Hoe telah lihat junjungannya tertawan, mendadak saja ia muntahkan darah hidup. Kemurkaannya tak terkira. Dengan nekat ia lantas terjang musuh, dalam tempo pendek ia telah rubuhkan belasan musuhnya, tetapi ia pun tetap terkurung, jumlah musuh yang besar membikin mereka merupakan seperti tembok besi dinding tembaga, tidak dapat ia pecahkan kurungan itu. Akhir-akhirnya ia berteriak: "Raja terhina, menteri terbinasa!" dan ia balikkan goloknya, untuk menabas batang lehernya sendiri. Tapi anak panah musuh mendahului ia, lengannya kena terpanah, goloknya terlepas dari cekalan, jatuh ke tanah, hingga di lain saat, ia pun menjadi orang tawanan. Dengan kemenangan besar itu, dengan membunyikan gembreng, tentera Watzu telah menyelesaikan peperangan. Daerah Touwbokpo itu yang luasnya beberapa ratus lie lantas dibersihkan dari musuh, di situ didirikan kemah. Segera pun babi dan kerbau disembelih, untuk membikin pesta besar, untuk merayakan kemenangan. Di dalam tentera itu, terdapat Thio Tan Hong dan In Loei. Mereka tak dikenal dalam penyamaran mereka. Maka itu mereka dapat mendengar pembicaraan di antara beberapa perwira. "Malam ini di dalam kemah jenderal akan diadakan keramaian yang istimewa," kata satu perwira, "sayang aku hanya berpangkat kapten, aku tak berhak untuk turut hadir dalam pesta itu.....” "Keramaian apakah itu?" tanya satu perwira lain. Perwira yang pertama bicara itu menyahuti: "Aku dengar malam ini jenderal kita hendak paksa kaisar Beng menjadi pelayannya, untuk melayani dia minum arak. Tidakkah itu luar biasa bagus?" "Ya, benar bagus!" kata perwira yang menanya. "Kaisar Beng telah kita tawan, aku lihat peperangan akan segera berakhir, dengan begitu, lekas juga kita akan pulang," berkata satu perwira lain lagi. "Kita akan merayakan tahun baru kita!" "Tetapi kita masih belum masuk ke Pakkhia," kata satu perwira rekannya. "Tionggoan itu luas tanahnya, banyak rakyatnya, mereka tak dapat dibunuh habis, maka itu tidak mudah urusan peperangan ini dapat diselesaikan?" Perwira yang pertama itu tertawa. "Bangsa Han pandang rajanya sebagai naga sejati," kata dia pula, "kalau rombongan naga tidak ada kepalanya, mana mereka dapat berperang? Kalau rajanya itu sayangi jiwanya, dia mesti menakluk dengan baik-baik, dia mesti umumkan pernyataannya suka menjadi taklukkan kita. Setelah itu baharulah negara Beng itu menjadi kepunyaan kita." Mendengar pembicaraan itu, hati Tan Hong panas berbareng duka. "Memang sungguh celaka kalau Sri Baginda suka menyerah," pikir dia. "Aku harap saja Sri Baginda bukannya raja yang takut mati.....” Perwira yang pertama berbicara itu masih mengatakan pula: "Tentera Beng itu tidak harus dibuat takut. Lain halnya dengan Kimtoo Tjeetjoe di luar kota Ganboenkwan, dia masih saja bergelandangan di luar kota itu, sebentar muncul, sebentar menghilang, sukar untuk menumpas padanya. Dia baharulah yang dinamakan bahaya di dalam tubuh!" Tapi satu perwira lain tertawa. "Tapi pesanggrahannya telah kita serbu hingga rata dengan tanah!" katanya. "Bangsat tua Kimtoo itu serta anaknya, meskipun mereka dapat lolos, mereka tak lebih tak kurang seperti penyakit di kulit saja! Lagi pula sekarang Jenderal Tantai telah menempatkan tenteranya di kota Ganboenkwan, sudah pasti dia tidak akan dapat mengacau pula, maka itu, untuk apa kita kuatirkan dia?" Mendengar pembicaraan itu, lega juga hati Tan Hong dan In Loei. Sekarang mereka ketahui halnya Tjioe Kian ayah dan anak, yang tak kurang suatu apa, sedang mereka pun mendapat tahu di mana adanya Tantai Mie Ming. Pada waktu itu kaisar Beng sebagai tawanan musuh, oleh Yasian, perdana menteri Watzu, telah di tempatkan di dalam kemah yang terjaga kuat hingga tiga lapis, sedang di dalam kemah sendiri, dia diawasi oleh tiga pahlawan pilihan, yang setiap saat meletakkan tangan di gagang pedang. Di antara tiga pahlawan itu, yang satu adalah Ngochito, pahlawan harimau dari Yasian sendiri. Dia ini selainnya liehay ilmu silat pedang Hongloei kiam yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus, orangnya pun cerdik sekali. Maka itu, berduka kaisar itu, yang melihat tidak mempunyai harapan untuk kabur. Tapi yang membikin Kie Tin sangat berkuatir adalah ketika ia dengar malam itu Yasian hendak mewajibkan dia melayani perdana menteri itu minum arak. Dia jadi mendongkol dan malu, dia jadi sangat bingung. "Aku hadiri pesta itu atau jangan?" dia tanya dirinya berulang-ulang. Dia insyaf, kalau dia hadir, dia akan jadi kedua Kaisar Hwie Tjong dan Kim Tjong dari ahala Song, yang mesti hinakan diri di hadapan musuh. Perbuatan itu tidak saja merendahkan dirinya dan negaranya, dia pun akan menjadi buah tertawaan berabad-abad. Kalau dia tidak hadir, dia kuatirkan keselamatan jiwanya..... Tengah kaisar ini berputus asa, tiba-tiba di luar kemah terdengar suara panggilan, katanya: "Thaysoe undang Jenderal Ngochito datang ke markas untuk berbicara!" "Thaysoe" adalah sebutan untuk Perdana Menteri Yasian. Berbareng dengan itu satu perwira bertindak masuk dengan tangannya menyekal sebatang lengtjhie, panah titahan. Ngochito sangat teliti, ia sambut lengtjhie itu untuk diperiksa dulu, hingga ia peroleh kenyataan keasliannya. Panah titahan itu cuma dipakai oleh pembesar paling tinggi dalam suatu angkatan perang, sebab itu adalah hadiah dari raja Watzu sendiri, terbuatnya pun dari kemala hijau. Percaya bahwa Yasian mempunyai urusan penting hendak dibicarakan dengannya, Ngochito lantas saja tinggalkan kemah jagaannya itu. Perwira yang membawa lengtjhie itu, begitu ia lihat Ngochito sudah pergi jauh, dengan mendadak ia putar tubuhnya sambil mengayunkan kedua tangannya, masing-masing diarahkan kepada kedua pahlawan lainnya, yang berdiri dekat dengannya. Luar biasa sebat gerakannya, tidak peduli kedua pahlawan itu liehay, mereka toh kena ditotok, tanpa bersuara lagi, keduanya jatuh rubuh. Lekas sekali si perwira pembawa lengtjhie membuka kopiahnya, sambil bersenyum, dia kata kepada Kie Tin: "Sri Baginda, masih ingatkah Sri Baginda kepadaku?" Raja Beng memang heran atas kejadian itu, ia mendelong mengawasi perwira itu. Akhirnya, ia jadi terperanjat. Ia lantas kenali siapa orang itu yang berdiri dihadapannya, ialah Thio Tan Hong. Ayahnya Tan Hong, yaitu Thio Tjong Tjioe, menjadi Yoesinsiang, Menteri Muda dari raja Watzu, dengan begitu kedudukannya seimbang dengan kedudukan To Huan, Tjosinsiang, yang menjadi ayahnya Yasian. Mereka sama pengaruhnya, mereka disayangi Raja Watzu, dan keduanya pun berkuasa mencampuri urusan ketenteraan. Maka itu raja memberikan mereka masing-masing sebatang lengtjhie dengan apa mereka berhak memanggil setiap perwira menghadap mereka. Adalah kemudian, setelah kedudukan To Huan turun kepada puteranya, Yasian, pengaruhnya ini meningkat, hingga dia mengangkat dirinya menjadi Thaysoe, Mahaguru. Thio Tjong Tjoe sebaliknya, untuk menjaga dirinya, tidak perhatikan urusan tentera, maka itu, sudah sepuluh tahun belum pernah ia pakai lengtjhie itu. Ketika Tan Hong berlalu dari Watzu, dia curi lengtjhie ayahnya itu, tidak pernah ia menyangka, kali ini, di sini, dapat dia pakai panah titahan itu untuk mengelabui Ngochito. "Di harian pieboe di atas loeitay, telah aku kirimkan kau sepucuk surat, sudahkah kau baca itu?" Tan Hong tanya pula. "Kau? Kau jadinya Thio Tan Hong?" raja tegaskan, suaranya menggetar. "Tidak salah!" Tan Hong jawab.. "Aku adalah musuhmu yang kau hendak tawan!" "Baiklah!" kata raja itu, yang hatinya menjadi mantap. "Hari ini aku terjatuh ke dalam tanganmu, tidak usah kau banyak omong lagi, lekas-lekas kau bunuh aku!" Tapi Tan Hong tertawa. "Jikalau aku hendak bunuh kau, apa kau kira aku menanti sampai hari ini?" kata dia. "Sekalipun aku memakai pakaian asing, hatiku adalah hati Han!" "Kalau begitu, kau tolonglah aku!" kata raja. Kie Tin seperti lupa bahwa ia tengah dikurung berlapis-lapis. Bagaimana gampang untuk buron..... Tan Hong awasi raja itu, ia tertawa pula. "Sri Baginda," katanya, "hari ini cuma kau sendiri yang dapat menolong dirimu." Raja heran. "Apakah kau kata?" dia tanya. "Malam ini Yasian akan memaksa kau menyatakan menakluk," kata Tan Hong. "Jikalau kau menakluk, bukan saja dengan itu kau lenyapkan negara Kerajaan Beng yang terbesar yang luasnya sembilan laksa lie, juga jiwamu sendiri tidak akan terjamin. Tapi jikalau kau menolak, maka Kokloo Ie Kiam akan membangun angkatan perang suka rela, untuk berperang membelai negara. Di dalam negara Watzu tidak ada persatuan, maka itu Yasian akan terserang musuh dalam dan luar. Hal ini diketahui baik sekali oleh Yasian, karenanya, mana dia berani bunuh kau? Oleh karena itu, sekarang ini, kau bersabarlah, kau pertahankan diri untuk menderita. Dengan bersabar, bukan saja negara akan dapat dilindungi, kami juga kemudian akan mendapat jalan untuk menolongi kau. Kau bukannya seorang tolol, hal ini tentunya kau dapat pikir sendiri.....” Raja tidak menjawab, ia perdengarkan suara perlahan sekali. "Harta pusaka leluhurku berikut peta buminya, telah berhasil aku cari dan mengambilnya," Tan Hong beritahu, "harta dan peta itu tengah diangkut ke Pakkhia, bersama dengan itu, aku sendiri akan menghabiskan tenagaku untuk membantu Ie Kokloo. Masih ada lagi yang kami dapat lakukan, dari itu, jangan kau berduka." Thio Tan Hong perlihatkan sinar matanya yang tajam, yang menandakan kekerasan hatinya, yang membuatnya orang menaruh kepercayaan terhadap dirinya. Bibir raja sudah bergerak seperti ia hendak mengucap sesuatu, tetapi ia urung. Tan Hong awasi raja itu, matanya mencilak. "Menteri besarmu In Tjeng telah menggembala kuda di negara asing selama dua puluh tahun, selama itu dari awal hingga akhirnya, ia tidak bertekuk lutut!" katanya dengan nyaring. "Kau adalah orang yang paling agung dari satu negara, apakah kau mesti kalah dengan menterimu?" Raja pun mengawasi. "Baik!" dia jawab akhirnya. "Aku juga tidak akan pikirkan pula kehidupanku, akan aku perbuat seperti katamu!" Tan Hong masih hendak berbicara ketika, "Bret!" dan robeklah tenda kemah, terbelah dua, dari situ tampak Ngochito lompat masuk, pesat bagaikan angin puyuh. Ketika dia lihat siapa yang rebah di tanah, kemurkaannya bertambah meluap. "Bangsat bernyali besar, mari makan pedangku!" dia mendamprat sambil menikam dengan pedangnya, dengan tipu silat "Geledek menyambar batok kepala". Tan Hong terkejut ketika ujung pedang menjurus ke tenggorokannya. Ia pun tidak menyangka Ngochito bisa kembali demikian lekas, walaupun ia tahu, ia hanya dapat mengabui untuk sementara waktu saja. Sudah dibilang, Ngochito adalah seorang yang cerdik. Baharu saja ia sampai di luar kemah, ia lantas dapat pikiran. Ia telah berpikir: "Thaysoe menghendaki aku mengawasi kaisar Beng. Tidakkah tugas itu sangat penting? Mungkinkah dia hendak menukar tugasku itu? Lagi pula perwira pembawa lengtjhie itu sangat asing untukku. Kalau Thaysoe mengutus orang membawa lengtjhie padaku, ia mestinya menitahkan orang di kiri kanannya, yang ia percayai. Juga, kenapa perwira itu tidak turut aku keluar? Inilah mencurigakan.....” Keras Ngochito berpikir, kecurigaannya jadi semakin besar, maka akhirnya ia putar tubuhnya, untuk balik ke dalam kemah, begitu sampai, ia tidak lagi ambil jalan pintu kemah, tapi ia merobek kain tenda. Karenanya ia segera dapat lihat kedua kawannya rebah di tanah. Ia lantas menduga, mereka itu tentu telah kena ditotok, bahwa si perwira mestinya orang jahat, dari itu, ia menyerang tanpa buang tempo lagi. Tan Hong kaget tetapi ia tidak gugup, dengan sebat ia berkelit. "Sungguh Hongloei Kiamhoat yang liehay?" ia serukan. Ilmu silat pedang Ngochito benar-benar liehay. Lolos tikaman yang pertama, segera menyusul yang kedua, yang ketiga, cepat dan bengis. Tan Hong menjadi repot juga. Ia tidak sempat membuat perlawanan, ia selalu egoskan diri. Apamau kemah itu tidak terlalu luas, tak merdeka ia berlompat ke kiri dan ke kanan. Sementara itu di luar pun segera terdengar suara riuh. Mestinya itu adalah bala bantuan untuk Ngochito. "Trang!" demikian terdengar sekonyong-konyong. Ujung pedang Ngochito telah mengenai kopiah perang Tan Hong, tetapi serangan itu tidak tepat, pedang meleset ke samping. Tan Hong telah menggunakan tipu yang berbahaya. Ia sengaja memberikan kopiahnya ditikam, selagi tertikam, ia miringkan kepalanya. Karena pedangnya meleset, Ngochito tak dapat unjuk kesehatannya untuk segera menarik pulang, malah saking heran, ia melengak sebentar. Ketika yang baik itu digunakan Tan Hong dengan sebat sekali, selagi ia ditikam, ia gunakan kesempatan akan menghunus pedangnya, pedang Pekin kiam hadiah dari gurunya, pedang mana tadi tak sempat ia mencabutnya karena ia didesak terus-menerus. Sekarang, setelah menghunus pedang, ia teruskan itu, ia pakai menabas ke arah pedang musuh. "Trang!" kembali suara terdengar, tetapi tak sekeras, tadi. Karena kali ini, kedua pedang beradu sepintas lalu, dan ujung pedangnya Ngochito kena tertabas kutung! Panglima Watzu itu kaget tidak terkira. Ia tahu tajamnya pedangnya, yang terbuat dengan campuran bahan emas, sudah tajam, pedang itu jauh lebih berat daripada pedang-pedang seumumnya. Tapi pedang itu kutung dengan satu kali bentrok saja! Tan Hong gunakan ketikanya, ia tunjukkan kecerdikannya. Selagi lawan berdiam, ia lompat ke samping sambil memutar pedangnya. Dengan satu tabasan saja, ia bikin tenda terbelah, menyusul mana, selagi dengan tangan kiri ia menyambar, akan pentang tenda itu, tubuhnya mencelat lebih jauh, noblos keluar dari lobang pecahan itu. Ngochito heran menampak kecerdikan musuh, untuk kesehatannya itu. Mengertilah ia bahwa musuh ini liehay sekali. Tapi ia pun satu pahlawan Watzu, tidak sudi ia menunjukkan kelemahannya. Maka sambil memutar pedangnya, ia juga noblos keluar dari liang tenda dari mana Tan Hong nerobos keluar. Setibanya di luar, ia lihat musuh sudah melintasi dua undakan kemah. "Tangkap penjahat!" ia berteriak. Ia lompat, untuk mengejar. "Sar ser!" demikian terdengar suara ketika Ngochito lihat musuh memutar tangannya ke belakang, terayun, menyusul mana tertampak sinar-sinar kecil berwarna perak menyambar ke arahnya. Itulah senjata rahasia jarum dari Tan Hong, yang ia gunakan untuk menahan musuh yang mengejarnya. Ngochito insyaf kepada malapetaka itu, ia putarkan pedangnya, untuk menangkis. Gagal serangan Tan Hong itu. Gagal separuhnya. Sebab dengan repot menangkis, majunya Ngochito tercegah, hingga terlambat. Dan kelambatan ini digunakan Tan Hong untuk lari lebih jauh, ke lapis tenda yang ketiga. Cuaca malam itu gelap, cuaca ini menolong banyak pada Tan Hong. Ia dengar suara riuh dari tanda bahaya, ia lari terus. Segera juga anak-anak panah menyambar saling susul, tetapi tidak ada satu yang mengenai sasarannya. Ia terus lari, hingga melintasi belasan tenda. Ngochito mengejar terus, tapi ia kalah dalam ilmu enteng tubuh, ia tidak dapat menyandak, meski begitu, Tan Hong toh repot, sebab suara tanda bahaya telah membangunkan tentera Watzu dipelbagai tangsi, sedang seluruh tangsi luasnya kira-kira seratus lie. Ketika ia sudah melewati puluhan tangsi, Tan Hong tiba di suatu tempat yang merupakan tanah kosong, di situ ada dua baris tangsi, yang berjejer di kedua tepi. Di tenda, atau kemah sebelah depan, api dipasang terang-terang, samar-samar tertampak serdadu ronda. Apa yang beda, dari tangsi di depan itu tidak merubul serdadu-serdadu Watzu seperti dari tangsi-tangsi lainnya. Heran juga Tan Hong, karena ia tahu, tata tertib tentera Watzu biasanya keras sekali, begitu ada pertandaan, semuanya mesti bergerak. Tetapi ini satu tidak. "Mungkinkah di sini ada dua jenderal yang masing-masing memegang pimpinan?" bertanya hati kecilnya. "Walaupun ada dua pemimpin, mereka tetap berada di bawah satu pemerintah, tidak seharusnya mereka berlainan pimpinan.....” Tidak peduli ia heran atau bersangsi, Tan Hong insyaf ia tidak boleh membuang-buang tempo, maka itu, ia lompat, untuk lari terus. Ia dapat kenyataan, di belakangnya ada pengejar-pengejar yang menunggang kuda. Ia tiba di tengah tegalan itu di mana terdapat banyak tumpukan rumput yang tinggi bagaikan bukit kecil. Itulah tumpukan rangsum kuda, yang tentera Watzu paksa penduduk setempat mengumpulkannya. "Baiklah aku menyusup kesalah satu tumpukan, untuk sembunyikan diri," pikir Tan Hong. "Aku mesti tunggu, sampai semua sudah sirap, baharu aku berlalu dengan diam-diam." Tan Hong pikir, kalau toh tumpukan-tumpukan rumput itu hendak digeledah, orang mesti menggunakan banyak serdadu, karena ia memakai seragam tentera Watzu, ia mengharap akan ada kemungkinan untuk bercampur dengan mereka itu, untuk turut menggeledah bersama-sama..... Demikian ia nelusup masuk ke dalam sebuah tumpukan, akan menantikan saatnya. Tapi, begitu ia masuk, begitu lekas juga ia terkejut. Kupingnya telah menangkap suara tertawa geli, dekat sekali, menyusul mana bebokongnya terasa ditekan barang keras bagaikan besi, yang dingin seperti es. "Aku telah nantikan lama padamu!" demikian sekonyong-konyong ia dengar suara, yang halus dan menggiurkan. "Jangan kau bergerak! Bila kau bergerak, akan aku menjerit-jerit!....." Tan Hong kaget dan heran. Ia berada di medan perang, di dalam tangsi, dari mana datangnya satu wanita, mungkin satu nona? Karena itulah suaranya seorang perempuan. Ia merasa lega juga, karena orang mengancam secara lunak. "Baik, aku tidak akan bergerak," ia jawab. Wanita itu tertawa pula, dengan terlebih geli. Sekarang ia lemparkan sebuntal pakaian. "Lekas kau loloskan seragammu," ia kata. "Lekas kau tukar itu dengan pakaian ini. Kau tunggu sebentar, aku akan segera kembali." Habis berkata, wanita itu keluar dari tumpukan rumput. Segera terdengar suara berisik, dari serdadu-serdadu dan kuda mereka. Suara berisik itu melintasi tegalan, tiba ke dekat tumpukan di mana Tan Hong menyembunyikan diri, tempat dari mana barusan si wanita muncul. "Keke, adakah keke melihat satu perwira lari lewat di sini?" demikian Tan Hong dengar pertanyaan satu orang. "Ya, aku lihat dia," jawab si wanita tadi. "Dia lari sangat cepat, aku tak dapat menyandak dia. Dia lari dari sini, terus kesana. Mungkin sekarang dia sudah melewati tangsi wanita dan telah sampai di depan." Dengan berteriak-teriak, "Mari! Mari!" serdadu pengejar itu lari ke arah yang ditunjuk, sebentar saja, suara mereka menjadi kurang berisiknya dan akhirnya lenyap, hingga kesunyian kembali di situ. Tan Hong dapat menenangkan diri, ia mengintai dari tumpukan rumputnya itu. Ia ditolong oleh cahaya api dari tangsi yang terdekat. Ia periksa pakaian yang diberikan kepadanya. Ia kenali itu adalah seragam dari serdadu wanita Mongolia. Ia menjadi heran. Teringat akan panggilan tentera tadi kepada si wanita, ia pun menjadi bingung. Ia tahu apa artinya panggilan "keke" itu. Orang Mongolia, begitupun orang Manchu, kalau ia memanggil nona anggauta keluarga raja, maka mereka memanggilnya keke. Jadi wanita itu, nona itu, adalah dari keluarga agung. Sementara itu, ia bersangsi untuk pakaian itu. "Apakah aku mesti menyamar sebagai serdadu wanita?" ia berpikir. Tapi ia ingin lolos dari kepungan, ia tidak bersangsi lama. "Apakah kau sudah salin?" tak lama ia dengar suara si nona. "Nah, sekarang kau sudah boleh keluar." Tan Hong buntal pakaiannya, sambil bawa itu, ia munculkan diri. Si nona tertawa geli sekali. "Mari turut aku!" katanya. Terus dia bertindak. Sekarang Tan Hong merasa bahwa ia seperti kenal nona ini, bahwa pernah ia melihatnya, hanya entah di mana, sesaat itu, tidak dapat ia mengingatnya. Nona itu pergi kesebuah kemah ke dalam mana ia terus bertindak masuk. Di dalam situ, semuanya adalah serdadu-serdadu wanita. Sekarang baharulah Tan Hong insyaf kenapa ia disuruh salin pakaian. Di tangsi wanita, tak boleh ada pria mencampurkan diri. Pantas tadi pengejar-pengejarnya tidak menggeledah di situ. Hanya sekarang, biar bagaimana, ia merasa jengah juga sebab begitu banyak mata wanita mengawasi padanya, agaknya mereka itu heran. Terpaksa ia tunduk. "Oh, keke sudah kembali?" demikian si nona ditanya beberapa serdadu wanita itu. "Ada terjadi apakah di luar?" "Kabarnya mereka menawan satu orang jahat," jawab si nona. "Kamu jangan usilan!" Serdadu-serdadu wanita itu mengawasi pula Tan Hong tetapi mereka tidak ada yang berani menanyakan sesuatu. Nona itu ajak Tan Hong ke sebuah kemah lain, begitu tenda dipentang, dari situ tersiar bau harum semerbak, yang membuat hatinya jadi terbuka. Tan Hong lihat sebuah pedupaan kayu gaharu. Di situ ada sebuah meja marmer serta satu meja kecil dari batu pekgiok. Di atas meja kecil itu ada beberapa tangkai bunga bwee dalam sebuah tempat bunga. Orang berada di tangsi tentera, tapi kemah diperlengkapi bagaikan kamar wanita, hanya sederhana. Begitu berada di dalam, nona itu membuka ikat kepalanya. Ia berpaling kepada si anak muda, matanya berkerling hidup. "Tan Hong, masihkah kau kenal aku?" tiba-tiba ia menanya. Tan Hong memandang dengan tercengang. Sinar lilin di situ terang sekali, wajah si nona tampak tegas. Orang tengah mengawasi ia dengan sunggingan senyuman berseri-seri. Dengan lantas ia ingat. "Kaulah Topuhua!" ia jawab. Nona itu manggut. "Benar," sahutnya. "Sudah banyak tahun sejak kita berpisah, kau masih belum melupakan aku!" Di dalam hatinya, Tan Hong mengeluh. Topuhua adalah puterinya Yasian, kepala perang Watzu itu. Dimasa kecilnya, Tan Hong pernah bermain-main bersama nona ini. Setelah umur mereka tiga atau empat belas tahun, baharu mereka berpisahan. Sebabnya ialah, di antara Thio Tjong Tjioe dan Yasian, mereka cuma baik di mulut, di hati berlainan, sedang mereka —Tan Hong dan Topuhua — sudah mulai mengerti urusan orang dewasa. Nona itu tertawa ketika ia berkata: "Aku ingat betul suatu kejadian semasa kita kecil. Itu hari aku dan kau pergi berburu di tepi air Yuching di kaki bukit Wuwang, selagi memandang air di mana ada bayangan kita, kau mengatakannya aku mirip pria dan aku bilang kau mirip wanita. Ingatkah kau itu?" "Ya", sahut Tan Hong, cara sembarangan saja. Baharu saja ia menyahuti atau tiba-tiba si nona menarik tangannya, untuk membawa ia ke muka kaca. "Kau lihat!" katanya sambil tertawa. "Sekarang kau pakai pakaianku, kau lebih mirip lagi dengan wanita! Lihatlah!" Wajah Tan Hong menjadi merah. Di dalam hatinya, ia kata: "In Loei salin pakaian menjadi pria, aku justeru menyamar jadi wanita, jikalau dia ketahui perbuatanku ini, tidakkah ia mentertawakan aku?" Topuhua tertawa pula. "Pada malam di muka keberangkatan angkatan perang kita, ia berkata, "aku telah dengar kabar kau sudah mencuri masuk ke Tionggoan. Hal kepergian kau itu ditanyakan kepada Thio Sinsiang, dia tidak mau memberi keterangan. Aku telah menyangka, selama hidup kita ini, kita tidak akan bertemu pula satu dengan lain, akan tetapi Allah telah memberkahinya, kita justeru bertemu di sini. Sudah banyak tahun kita tidak pernah bertemu, maka itu kali ini kau mesti berdiam untuk beberapa hari bersama aku di sini." Tan Hong terperanjat. "Mana dapat itu dilakukan?" katanya. "Kenapa tidak?" Topuhua tanya. "Aku jamin tak akan ada orang yang ketahui kau! Umpama ada juga yang mengetahuinya, mereka semua ada orang kepercayaanku, tidak nanti mereka berani membuka rahasia." Tan Hong menggoyangkan tangannya berulang-ulang. Mendadak saja nona itu perlihatkan roman sungguh-sungguh. "Jikalau kau menampik, sekarang juga aku berteriak!" ia kata. Pemuda itu tidak membiarkan dirinya digertak. "Baik, kau berteriaklah!" ia kata. "Dengan sebenarnya aku beri tahu padamu, hari ini aku menjadi musuhmu, kau boleh belenggu aku, kau boleh serahkan aku kepada ayahmu! Aku telah memberanikan diri mendatangi tangsi tenteramu, karena aku tidak memikirkan pula jiwaku!" Mendengar itu, si nona tertawa pula, nampaknya ia sangat manis dan menarik. "Kau tertawakan apa?" tanya Tan Hong, gusar. "Kau masih tetap bawa sifatmu semasa kanak-kanak," sahut Topuhua. "Kau selamanya suka jaili aku. Kau bilang kau adalah musuhku, aku sebaliknya tidak pandang kau sebagai musuh. Kau bilang kau tidak sayangi jiwamu, baiklah, sekarang aku tanya, kau pikirkan jiwa ayahmu atau tidak?" Diam-diam Tan Hong terkejut. "Ayahku masih ada di Watzu, dan di sana Yasian-lah yang berkuasa," ia berpikir. "Lagi pula, kalau nanti aku hendak mengacaukan bahagian dalam dari Watzu, aku membutuhkan bantuannya ayahku. Mengurbankan diri adalah perkara gampang, untuk membangun negara sesungguhnya sulit. Baiklah, aku bersabar." Ia lantas tunduk. Topuhua mengawasi, ia menyangka orang telah menurut, kembali ia tertawa. "Sebenarnya, apa sih yang tak baik untukmu tinggal bersama aku di sini?" dia tanya, suaranya manis. "Tempatku ini, di mana juga dalam kalangan tentera Watzu, tidak nanti kau dapatkan keduanya terlebih menyenangkan." Tan Hong berjingkrak. "Apa?" tanyanya. "Kau hendak suruh aku berdiam di sini?" "Jikalau kau tidak tinggal di sini, habis di mana lagi?" si nona tertawa pula. "Apakah kau hendak tinggal di luar rumah bercampur dengan serdadu-serdadu wanita? Kau tak usah takut ditertawai!" Tan Hong berpikir keras. Ia benar menghadapi kesulitan. Memang, kalau mesti berdiam di dalam tangsi, ia mesti berdiam sama si nona. Ia lantas ingat pula In Loei, kembali ia mengeluh dalam hatinya. Topuhua lantas teriaki satu serdadunya untuk ambil setahang air panas. "Pergi kau mandi di belakang kemah ini", katanya pada anak muda kita. "Kau bersihkan tubuhmu dari kotoran tanah dan rumput, supaya tidak ada orang yang mencurigai kau. Tak usah kau malu-malu, di sini tidak ada orang melihat padamu." Ia menarik tenda dari apa yang disebut kemah belakang itu, ke situ ia tolak masuk tubuh Tan Hong, habis mana, tenda itu ditutup pula rapat-rapat, sampai angin pun tak dapat masuk. "Sekarang baharulah hatiku tetap!" masih menggoda si nona. "Kalau sebentar kau telah selesai mandi, aku masih hendak bicara denganmu." Tan Hong sementara itu mengasah otaknya, guna memikirkan daya untuk meloloskan diri. Sekian lama ia telah berpikir, belum juga ia memperoleh akal. Hal ini membuatnya ia masgul. Pada waktu itu ia dengar tanda waktu dalam tangsi, kentongan dibunyikan dua kali. Jadi sudah jam dua. Berbareng dengan itu, satu serdadu wanita bertindak masuk. "Keke, Thaysoe datang menjenguk," dia memberitahukan. "Silakan Thaysoe masuk", sahut Topuhua. Baharu saja serdadunya keluar, nona ini sudah tertawa pula. "Kau jangan terbitkan suara apa-apa, aku tak akan memberitahukan ayah tentang kau!" ia kata. Tentu saja kata-kata ini ditujukan kepada si anak muda. Jantung Tan Hong memukul. Ia memasang kuping. Sebentar kemudian terdengarlah tindakan kaki. Itulah Yasian. "Ayah," Topuhua sambut ayahnya itu, "kabarnya malam ini ayah hendak menyuruh raja Beng melayani kau minum arak, kenapa sekarang kau sempat menjenguk aku? — Ah, ada urusan apakah, ayah? Kau nampaknya tidak gembira.....” Tan Hong menahan napas. Ia dengar suaranya Yasian. "Apa yang terjadi malam ini sungguh di luar dugaanku!" kata menteri itu. "Bagaimana, ayah?" "Aku tadinya anggap kaisar Beng seorang yang takut mati," berkata pula Yasian, "aku percaya, bila dia sudah menakluk, dapat aku gunakan ia sebagai kaisar untuk mempengaruhi menteri-menterinya. Aku pikir, itu waktu, kita sudah punyakan wilayah kerajaan Beng. Tapi dugaanku itu keliru. Dia membangkang atas titahku itu, dia tidak menghadiri pesta.....” Topuhua heran. "Benarkah dia begitu bernyali besar?" dia tanya. "Benar," jawab sang ayah. "Sungguh aku tidak sangka." Mendengar itu, Tan Hong girang bukan kepalang. "Kie Tin masih punyakan semangat," ia berkata di dalam hatinya. "Dia menang banyak dibanding dengan dua kaisar ahala Song. Nyata dia tidak mensia-siakan lelahku ini." "Tidak sukar bagiku membinasakan dia," Yasian berkata pula, "hanya aku kuatir, jikalau aku binasakan dia, itu bisa mengakibatkan kemurkaan rakyat Beng, hal mana pasti akan memperlambat peperangan ini. Untuk kita, perang lama pun belum tentu ada manfaatnya. Aku dengar Atzu Tiwan sekarang ini sedang mengumpulkan tentera diam-diam, rupanya dia pikir, selagi aku pergi perang di tempat jauh, hendak dia rampas kekuasaanku. Hal itu membuatnya hatiku tidak tenteram." Yang disebut Tiwan Atzu itu adalah si pangeran Mongolia yang diutus ke Pakkhia. "Ayah, kau gagah perkasa, buat apa kau kuatirkan hal itu?" kata sang puteri. "Lagi pula hari ini kita telah peroleh kemenangan besar, maka tidak selayaknya kau mengucapkan kata-katamu ini." Yasian tertawa. "Kau benar, anakku!" ia kata. "Sekarang hendak aku bicara dengan kau tentang hal yang akan membuatnya kau girang. Ya, apakah kau masih ingat Thio Tan Hong puteranya Thio Tjong Tjioe?" Kaget Tan Hong mendengar perkataan itu. "Kenapa, ayah?" Topuhua balas menanya. "Meskipun Thio Tjong Tjioe tidak hendak memberitahukannya, tetapi telah aku peroleh endusan, Thio Tan Hong sebenarnya telah menyusup ke Tionggoan," sahut sang ayah. "Hal itu membuatnya aku curiga.....” "Kenapa begitu, ayah?" "Keluarga Thio itu dengan kaisar Beng adalah musuh turunan, karenanya tidak ada alasan untuk mencurigai Tan Hong nanti membantu musuhnya itu," menerangkan Yasian, "tetapi sejak aku menggerakkan angkatan perang sampai pada hari ini, sudah berselang satu bulan, Thio Tan Hong yang berada di Tionggoan itu, kenapa dia tidak datang padaku untuk melaporkan sesuatu? Sebenarnya inilah waktu yang paling baik untuk ia menuntut balas bagi permusuhan turun temurunnya." "Mungkin dia terhalang karena berhadapannya kedua pasukan perang dan ia belum mendapatkan kesempatannya," Topuhua utarakan dugaannya. Ia main komedi dengan ayahnya itu. "Kalau nanti ayah sudah rampas Tionggoan, mustahil dia tak muncul?" Yasian tertawa. "Sampai itu waktu, itulah sudah pasti!" ia kata. "Kau tahu, kali ini aku menerjang ke Tionggoan, maksudku untuk menawan dua orang.....” "Siapakah kedua orang itu?" "Yang pertama yaitu kaisar Beng," jawab sang ayah. "Dengan ditawannya kaisar itu, meskipun dia tidak sudi menakluk, sisa tentera Beng pasti masih ragu-ragu, lambat laun, negara Beng itu akan jadi kepunyaanku juga." "Dan yang kedua, ayah? Siapa dia?" "Yang kedua ialah Thio Tan Hong." "Ayah hendak tawan dia, apakah ayah persalahkan dia karena dia telah menyusup masuk ke Tionggoan?" sang anak tanya pula. "Ya dan bukan," Yasian jawab. "Apakah artinya itu, ayah?" "Thio Tan Hong itu gagah dan pintar, dia sangat berguna," Yasian berikan keterangan pula. "Jikalau aku telah menangkap dia, umpama kata dia tidak sudi tunduk padaku, akan aku dakwa dia telah lancang menyusup ke Tionggoan, akan aku bunuh dia. Tindakan ini ialah untuk mencegah bahaya di belakang hari." "Ah....." Topuhua berseru tertahan. "Tidakkah itu terlalu kejam?" Yasian tertawa. "Dia bermusuh dengan kerajaan Beng, dalam sepuluh, sembilan bagian sudah pasti dia akan turut aku!" dia kata. "Anakku, itulah maksud urusanku yang menggirangkan!" Topuhua berpura-pura likat. "Ah, ayah, kembali kau mengejek aku!.....” katanya. Yasian tertawa berkakakan. "Ayahmu bukannya seorang tolol!" ia kata. "Sudah sejak siang-siang aku lihat kau sukai Thio Tan Hong si bocah itu! Sekarang ini kau sudah berusia dua puluh tiga tahun, menurut adat istiadat kita bangsa Watzu, kau seharusnya sudah membuat aku mengempo cucu! Banyak pangeran telah meminangmu, kau selalu menampik, ayahmu juga tidak hendak memaksa. Kenapa sikapku itu? Itulah karena aku tahu kau menantikan Thio Tan Hong! Baiklah, akan aku bikin kau menjadi puas!" Topuhua tunduk, ia diam, tetapi hatinya girang bukan kepalang. "Hanya malam ini, bangsat itu!" tiba-tiba Yasian berseru keras. "Dia benar-benar bernyali besar! Dia telah menyusup ke dalam kemah harimau, dia mencoba untuk membawa buron kaisar Beng, malah dia juga mempunyai lengtjhie kumala! Aku agak sangsi.....” "Siapa yang kau sangsikan, ayah?" tanya Topuhua. "Aku kuatir penjahat itu adalah Thio Tan Hong....." Si nona heran. "Bukankah ayah sendiri yang mengatakan dia bermusuh dengan kaisar Beng?" dia tanya. "Itulah yang menyebabkan kesangsianku. Sebegitu jauh yang aku ketahui, lengtjhie itu diberikan mendiang Sri Baginda kepada tiga orang, ialah kesatu ayahmu, kedua Thio Tjong Tjioe, dan ketiga Pangeran Atzu. Aku duga penjahat itu, kalau dia bukannya Thio Tan Hong, dia mesti orangnya pangeran itu. Mungkin pangeran itu juga berniat menculik kaisar Beng, supaya dia dapat bersaing denganku. Tapi soal ini tidak terlalu sukar, kalau nanti aku sudah pulang perang, akan aku selidiki. Umpama kata perbuatan itu adalah perbuatannya Thio Tan Hong, walaupun kau menyayangi dia, terpaksa aku harus singkirkan padanya!" Topuhua terkejut, di dalam hatinya, ia mengeluh. Ia bersyukur yang ia belum sampai memberitahukan ayahnya hal Tan Hong ada bersama dengannya. Yasian berpaling ke meja kecil, untuk menuang teh, tiba-tiba ia tampak tenda bergerak perlahan, samar-samar terdengar suara. "Siapa di dalam tenda?" ia menegur. Terus ia menoleh pula, melihat puterinya tengah mengipas dengan kipas kayu cendana. "Di mana ada orang di sini, ayah?" kata anak itu sambil tertawa. "Mungkinkah ayah dibikin kaget penjahat itu maka sekarang ayah menjadi kurang tenteram hati hingga ayah menjadi bercuriga tidak keruan?" Wajah ayah itu berubah, akan tetapi mendadak ia tertawa besar. Topuhua tetapkan hatinya, ia mengipas dengan terlebih keras. "Hawa udara di Tiongkok beda dengan kita di Mongolia," berkata Yasian kemudian. "Dalam bulan sembilan yang berhawa sejuk, di sana sudah turun salju, di sini sebaliknya hawa masih panas. Kiranya kipas kau yang membikin tenda itu bergerak-gerak, hingga aku menyangka yang bukan-bukan..." Habis mengucap, ayah ini tertawa pula, ber-gelak-gelak. Ia tidak tahu, Topuhua mengipas sesudah tenda bergerak, hanya puterinya ini mengipas dengan cepat, sedang iapun tengah berpaling, ia tidak engah. Di dalam hatinya, Topuhua sesalkan Tan Hong, yang menganggap telah berlaku tidak hati-hati. "Sekarang ini aku telah mengumumkan titahku," berkata Yasian kemudian, "yaitu kecuali dengan titah yang tertulis dengan tanganku sendiri serta ditandai dengan cap kebesaran panglima perang tertinggi, siapa juga dilarang datang dekat kepada kaisar Beng. Aku pun telah menarik dua belas pahlawan ke Kemah Harimau, untuk bantu membuat penjagaan. Maka, tidak peduli penjahat liehay luar biasa, tidak nanti dia dapat menyusup masuk ke dalam kemah kaisar itu. Kau tahu kita pun telah dapat menawan Thio Hong Hoe, komandan Gielim koen kerajaan Beng itu. Tentang dia, aku telah dengar dari Tantai Mie Ming, sekarang telah aku saksikan sendiri, dia benar gagah, dari itu aku harap dapat aku bujuk dia menakluk kepada kita, apabila dia suka menyerah, dia pasti lebih berharga daripada dua belas pahlawan itu. Dia telah terluka panah, dia tidak membutuhkan banyak orang untuk menjaganya karena itu aku telah menarik kedua belas pahlawan itu." Atas kata-katanya ayah ini mengenai Thio Hong Hoe, Topuhua tidak menaruh perhatian, ia menyahuti secara sembarangan saja, ia hanya sedang pikirkan keras perihal jodohnya dengan Thio Tan Hong. "Apakah ayah telah mendapat persetujuan dengan Thio Tjong Tjioe?" ia tanya. Inilah hal yang penting baginya. Kalau kedua orang itu sudah cocok satu dengan lain, tidak usah ia kuatirkan apa-apa lagi. "Sebenarnya aku tidak bercidera dengannya," Yasian jawab puterinya itu, "kita cuma kurang cocok sedikit dalam hal pendapat. Aku percaya, sesudah nanti kita menjadi besan, perhubungan kita akan menjadi lebih baik pula." Ia tertawa, lalu ia menambahkan: "Aku percaya Thio Tjong Tjioe tidak akan lolos dari kekuasaanku. Keluarga Thio itu sudah turun temurun membantu negara kita dalam hal tata tertib negara, bisa dianggap dia berjasa besar, cuma mereka telah memikir yang tidak-tidak, yaitu mereka berniat meminjam angkatan perang kita untuk membangun pula Kerajaannya, yaitu Kerajaan Tjioe. Tentu saja, itu bukannya satu urusan yang sederhana sebagaimana yang mereka pikir. Sekarang ini aku biarkan Thio Tjong Tjioe berdiam di dalam negeri. Sikapnya nampaknya aneh. Yang dia pikirkan siang dan malam adalah untuk kembali ke negerinya, untuk membangun kerajaannya, itu artinya, ia harapkan masuknya angkatan perang kita ke Tionggoan. Sekarang ini angkatan perang kita sudah bergerak, kita sudah masuk ke dalam wilayah Tionggoan, tetapi heran, ketika aku minta ia berdiam di dalam negeri, ia tidak menentangnya. Kelihatannya ia girang-girang saja. Kenapa begitu sikapnya? Hal ini membikin aku sulit menerka hati Tjong Tjioe itu. Tapi dia adalah seorang pandai, maka aku pikir jikalau nanti telah selesai aku merampas Tionggoan dan mengangkat diriku menjadi raja, hendak aku berikan dia kedudukan sebagai perdana menteri. Oh, anakku, dengan aku menjadi raja, kau akan menjadi puteri!" Ketika itu terdengar kentongan tiga kali. "Ayah, waktu sudah larut malam," kata Topuhua sambil tertawa. "Sekarang sudah waktunya ayah beristirahat. Besok ayah akan melanjutkan memimpin pasukan perang, untuk menyerang kota Pakkhia, setelah kota itu dapat dirampas, baharu ayah menjadi raja dan aku menjadi puteri!" Yasian tertawa. "Kau benar, anak!" ia kata, hatinya gembira. Setelah mencium puterinya ia meninggalkan tangsi wanita itu. Begitu ayahnya berlalu, lekas juga Topuhua bernapas lega. Ia merasakan bagaimana keringatnya telah membasahi baju dalamnya. Ia lantas salin pakaiannya, sambil dandan dan tertawa, ia kata: "Engko Thio, kau lihat, bagaimana baik hati ayahku! Maka kau bolehlah legakan hatimu..." Dari kemah dalam tidak ada penyahutan. "Ayahku sudah pergi!" kata pula Topuhua sambil tertawa. "Kau lekas mandi! Apakah airnya sudah dingin? Apakah kau ingin tukar itu dengan air panas yang baru?" Dari dalam tenda itu tetap tidak ada jawaban, tidak ada suara apa-apa. "Engko, engko Thio, ah, kenapa kau tidak menjawab?" tanya Topuhua. Sekarang ia mulai merasa heran. Ketika ia tetap tidak peroleh penyahutan, ia kerutkan alis. Ia lantas bertindak menghampirkan tenda. Tapi ia tidak berani lantas memegangnya, untuk menariknya, buat membukanya. Ia kuatir si anak muda tengah membuka pakaian. "Engko Thio, engko Thio!" ia memanggil pula, dua kali. Masih saja tidak ada jawaban dari Tan Hong. Sampai di situ, Topuhua menjadi curiga. Ia pun menjadi tidak senang, hingga ia kertek giginya. Sekarang ia tidak pikirkan apa-apa lagi, ia sambar tenda dengan kedua tangannya dan menariknya dengan keras! Bukan main herannya Topuhua begitu lekas tenda sudah terpentang. Tenda itu kosong, Thio Tan Hong tidak ada di dalamnya! Maka ia masuk ke dalam, untuk memeriksa. Segera ia menjadi terkejut. Tenda itu rapat, tidak ada jalan keluar di sebelah belakang, tetapi sekarang telah terbuka satu lowongan, yaitu tenda pecah bekas dipotong! Itulah tanda yang Tan Hong telah memotong tenda itu, akan membuka jalan untuk buron! Topuhua melengak, ia mendongkol berbareng menyesal, ia menjadi bingung dan berduka. "Dasar aku yang tolol," ia pikir kemudian. "Tidak selayaknya aku mengijinkan dia membawa-bawa pedang." Selagi tunduk, Topuhua tampak corat caret di tanah. Itulah surat yang ditulisnya dengan ujung pedang. Ia lantas membaca: "Terima kasih untuk pertolonganmu, lain waktu akan aku balas budi ini. Sekarang aku sangat kesusu, tidak ada ketika untuk kita pasang omong. Di mana kedua negara sedang berperang, sekarang pun bukan saatnya untuk berunding, maka itu, aku pergi dahulu!" Di bawahnya tertera tanda tangan Tan Hong. Dengan hati panas, Topuhua pergi keluar. Ia tanyakan keterangan pada serdadunya yang menjaga di luar. "Dia pergi sudah lama," ia dapat jawaban. "Kenapa kau tidak cegah padanya?" si nona tanya. "Dia masuk bersama nona," sahut serdadu itu, "dan nona pun pesan supaya kami jangan banyak omong, karena itu, kepergiannya, mana kami berani menghalanginya?" Bukan main mendongkolnya Topuhua, akan tetapi ia tidak dapat berkata suatu apa. Dengan mendongkol dan masgul, ia kembali ke dalam kemahnya. Sementara itu, di lain kemah, Thio Hong Hoe pun dapat meloloskan diri. Ditahan di dalam kemah, Hong Hoe dijaga dua pahlawan. Sejak ia ditawan, ia sudah memikir tidak ingin hidup, tetapi ia dibelenggu, tidak ada jalan untuknya akan membunuh diri, maka itu, ia mogok makan. Yaitu dikasi makanan apa juga, ia tolak, hingga atas titahnya Yasian, ia dipaksa dicekoki kuwah jinsom, sedang lukanya telah diobati. Lukanya tidak berbahaya, setelah diobati dan makan kuwah jinsom, kesehatannya telah pulih dengan cepat. Sekarang ia bisa gunakan otaknya. "Kalau toh aku mesti mati, aku harus menukar jiwaku dengan beberapa jiwa!" demikian ia berpikir. Karena ini, seterusnya suka ia dahar. Pembahan sikap ini membikin girang kedua pahlawan penjaganya, karena mereka tak usah main paksa orang minum dan dahar. Mereka tidak menyangka, dengan suka bersantap, Hong Hoe hendak pelihara diri, untuk mengumpulkan tenaganya. Demikian malam itu, kira-kira jam tiga, selagi seluruh tangsi terbenam dalam kesunyian, Hong Hoe empos semangatnya, ia pusatkan tenaganya, habis itu, ia gerakkan kedua tangannya yang terbelenggu rantai. Ia bertenaga besar, siapa tahu, rantai ada tangguh sekali, rantai itu tidak terputus, hanya menerbitkan suara nyaring, hingga kedua penjaganya kaget. "Hai, kau bikin apa?" tegur dua pahlawan itu. Hong Hoe tidak menjawab, dia hanya kerahkan pula tenaganya, kali ini ia berhasil membikin sehelai rantai putus, suaranya semakin nyaring. Kaget kedua pahlawan itu, mereka hunus golok mereka, untuk mengancam. Ingin mereka mencegah orang buron. Hong Hoe mendelik, hingga ia nampaknya menjadi bengis sekali. "Mampus dia yang mendekati aku!" teriaknya. Ia lompat, ia merabu dengan rantainya. Kedua pahlawan itu mundur, bukan saja serangan hebat, mereka pun tidak berani membunuh tawanan ini, mereka lompat berkelit, niat mereka adalah menyerang dari samping ke arah kaki tawanan itu. Hong Hoe liehay, dia ganas, selagi dia hendak dibacok, dia mendahului, hebat sabetannya dengan rantai. "Aduh!" teriak satu pahlawan, yang rubuh seketika, kakinya patah di bagian dengkul kena rabuan rantai. Pahlawan yang kedua kaget tapi ia lantas membacok. Ia insyaf akan ancaman bencana. Hong Hoe rubuhkan diri, sambil rebah celentang, ia menyapu dengan kakinya, yang pun terbelenggu. Tapi pahlawan itu liehay, dapat dia berkelit, terus dia membacok pula, untuk mencegah orang berbangkit bangun. Hong Hoe bergulingan, atas mana, ia disusul bacokan berturut-turut, hingga tak ada ketika baginya untuk lompat bangun. Dalam keadaan sangat berbahaya itu, selagi pundaknya terancam akan terbabat kutung, mendadak terdengar satu suara keras, dari bentroknya senjata-senjata tajam, lantas golok si pahlawan terlepas jatuh. Hong Hoe menjadi kaget, lekas-lekas ia lompat bangun, untuk berdiri, berbareng mana, ia tampak menyerbu masuk, dua orang yang mukanya bertopeng. "Lekas bekuk tawanan ini!" teriak si pahlawan. Ia lihat, dua orang itu adalah kawannya. Ia lantas lompat, untuk menjumput goloknya yang barusan terlepas. Untuk itu, ia membungkuk. Tapi di luar dugaannya, kedua orang itu, yang memakai seragam perwira Mongolia, tahu-tahu dengan berbareng telah membabat dengan pedang mereka, hingga tanpa menjerit lagi, tubuh pahlawan itu terputus dua dan rubuh dengan berlumuran darah. "Kau?" teriak Hong Hoe ketika ia lihat, kedua orang itu. Kedua orang itu membuka penutup muka mereka. "Ya, aku!" jawab yang satunya, sambil tertawa. Mereka itu tidak lain daripada Tan Hong dan In Loei. Tan Hong mendengar dari Yasian, di mana adanya Hong Hoe, maka itu, selagi Yasian dan puterinya berbicara, ia berlalu dengan cepat. Dengan mudah ia akali serdadu wanita, yang menjaga tenda, karena ia masih dandan sebagai seorang wanita, habis itu, ia salin seragam serdadu Mongolia, ia lekas lari pulang ke tangsinya, untuk mengajak In Loei, bersama siapa, ia pergi ke kemah di mana Hong Hoe ditahan, malah tepat sekali di saat tongnia Gielim koen itu menghadapi bahaya, hingga ia dapat memberikan bantuannya. Dengan cepat Tan Hong dan In Loei gunakan pedang mereka yang tajam, guna memutuskan semua belenggu Hong Hoe, tapi mereka masih terlambat, di depan kemah sudah lantas terdengar suara berisik, sebab tadi, pengawal kemah telah dengar keributan di dalam, dia lari untuk memberi kabar. Hong Hoe tertawa besar. "Bagus!" dia berseru. "Akan aku adu jiwaku! Dengan membunuh satu jiwa, pulang modalku! Membunuh dua jiwa, aku sudah untung! Tapi hari ini, hendak aku binasakan sedikitnya sepuluh, tak boleh kurang!" Dia lantas sambar golok seorang pahlawan, untuk dipakai berlaku nekat. Tiba-tiba Tan Hong totok komandan Gielim koen itu. "Kau... kau..." Hong Hoe berseru tertahan, kaget. Ia cuma dapat mengucap demikian, terus kedua matanya rapat, tubuhnya rubuh. In Loei heran, ia lirik kawannya itu. "Tak dapat dia dibiarkan nekat," kata Tan Hong. "Mari!" Anak muda ini mengangkat tubuh orang, untuk dipanggul. In Loei mengerti, ia lantas mengikuti. Tidak ada lain jalan, mereka pergi ke depan, untuk menghadapi musuh. Tanpa tanda apa-apa lagi, keduanya maju menerjang, untuk membuka jalan. Segera pedang mereka berkelebat, segera terdengar suara beradunya pelbagai senjata tajam. Untuk kagetnya musuh, senjata mereka semua terpapas kutung, hingga terpaksa mereka lompat minggir. Tan Hong dan In Loei gunakan ketikanya, selagi jalanan terbuka, mereka maju dengan cepat. Terus mereka babat kutung senjata musuh, terus mereka nerobos, sampai mereka dapat dekati tenda dan lompat naik ke atasnya. Itulah pahlawan-pahlawan kelas dua, karena yang dua belas, yang kelas satu, sudah ditarik ke tengah, untuk menjaga raja Beng. Maka itu, mereka semua tak berdaya menghadapi pasangan anak muda itu, hingga, begitu lekas mereka berdua sudah lompat naik ke tenda, lekas sekali keduanya dapat lolos dengan jalan melintasi pelbagai tenda lainnya. Begitu lekas mereka sudah berada di luar kalangan berbahaya, Thio Tan Hong lantas perdengarkan suitannya yang nyaring, suitan mana disambut dengan ringkikan kuda di arah kiri mereka. "Kita bebas!" kata Tan Hong dengan girang apabila ia telah dengar suara kuda itu. "Mari!" ia ajak kawannya. In Loei ikuti kawan ini. Mereka hampirkan kuda Tjiauwya saytjoe ma, yang sudah menantikan mereka sambil menggoyang-goyangkan ekornya. Bertiga bersama Hong Hoe, Tan Hong menyingkir dengan kudanya itu, yang lari keras. "Biarkan dia tidur!" kata Tan Hong pada kawannya ketika ia mengikat Hong Hoe diperut kuda. Komandan Gielim koen itu masih belum sadar, sebab ia belum ditotok pula. Tan Hong mempunyai dua macam ilmu totok, ialah yang membahayakan jiwa dan tidak. Hong Hoe ditotok urat tidurnya, dengan begitu ia pingsan tanpa terganggu jalan napas dan jalan darahnya. Mulanya In Loei bersangsi akan naik bersama atas seekor kuda, hingga Tan Hong desak dia, "Naiklah, adik kecil!" katanya. Ia bersangsi sejenak, kemudian ia lompat naik ke atas bebokong kuda. Ia mesti insyaf, mereka perlu lekas menyingkir jauh dari musuh. Meski begitu, tak dapat ia cegah mukanya menjadi merah dan kulit mukanya dirasakan panas, saking jengah. Mau atau tidak mereka harus tempelkan tubuh mereka satu dengan lain. Dengan perdengarkan suara yang nyaring, Tjiauwya saytjoe ma berlompat lari, dia membikin tentera Watzu tidak berdaya walaupun mereka ini dengar suaranya. Dapat dikatakan tak sampai satu jam, kuda putih yang jempolan itu sudah meninggalkan tangsi Watzu terpisah jauh di belakangnya. Kerap kali di tengah jalan beberapa serdadu ronda dari Watzu mencegat akan tetapi menghadapi Tan Hong dan In Loei, mereka itu tidak dapat berbuat apa-apa, dengan gampang kedua anak muda itu dapat melalui mereka. Mereka yang berani dengan segera menjadi kurban pedangnya pasangan itu. Lega hati Tan Hong begitu lekas ia lihat mereka sudah lolos dari ancaman bahaya. Mereka telah berada kira-kira empat puluh lie jauhnya dari daerah tangsi Watzu di Touwbokpo. Ia menjadi sangat girang. Satu kali ia tertawa tak disengaja ketika rambut halus dan bagus dari In Loei menyampok hidungnya, yang membuatnya ia merasa geli. "Toako, coba perlahankan kuda putihnya," In Loei minta kemudian. Tan Hong meluluskan, maka sesaat kemudian, Tjiauwya saytjoe ma sudah lantas bertindak perlahan. Ini membuatnya si anak muda lantas merasakan keindahan sang malam dengan rembulannya yang permai. Ia seperti sadar sesudah ia berpikir sebentar. Baharu sekarang ia ingat, malam itu adalah malam Tiong Tjioe — bulan delapan tanggal lima belas! Tanpa merasa, ia tertawa. "Adik kecil!" katanya, "tahun ini Tiong Tjioe dilalui dengan berkesan!" "Memang benar!" sahut In Loei, yang hendak menggoda. "Hari raya Tiong Tjioe dinamakan juga Toan Wan Tjiat, artinya Bundar dan Bulat, dan kau bersama puterinya Yasian telah berada bersama bagaikan manusia dan rembulan lama bundar bulatnya!" Tan Hong terperanjat, ia segera lirik nona itu. Ia tampak In Loei tertawa manis, bersenyum simpul, dari mulutnya pun tersiar bau harum, maka hatinya goncang sendirinya. "Adik kecil," katanya, sambil tertawa, "bukankah pribahasa mengatakan, 'Di medan perang menyaksikan rembulan permai, di atas kuda merasakan keindahan Tiong Tjioe?' Adik kecil, semoga kita setiap tahun merasakan malam-malam seperti malam ini! Apa yang kau katakan memang benar, malam ini manusia dan rembulan sama bundar-bulatnya, maka juga puteri Yasian itu, apabila dia melihat kau, dia pasti mengiri!..." Tan Hong balas menggoda, yang mengandung maksud. Dengan samar ia telah utarakan cintanya. Tanpa merasa, In Loei menjadi jengah, ia likat sekali. "Ah, toako, kau jail sekali!" dia kata. "Jikalau kau terus menggoda aku, akan aku lompat turun dari kuda ini, tak mau aku menunggangnya bersama-sama kau!" Tan Hong menoleh, akan pandang si nona. Ia tampak suatu paras seperti girang seperti gusar, hatinya menjadi goncang. Ia tidak jawab nona itu, sebaliknya, ia lantas bersenanjung perlahan. Rembulan tanggal lima belas itu adalah bahan sasarannya. "Eh, toako, kau angot?" tegur In Loei, heran. Masih Tan Hong tidak menjawab, ia hanya bersenanjung terus, dengan perlahan: "Semoga manusia hidup kekal. untuk bersama-sama merasakan keindahan alam seribu lie." Dengan "keindahan alam" itu ia maksudkan seorang wanita cantik manis. Tanpa merasa, In Loei menimpali, perlahan ia bersenanjung: "Manusia mempunyai kedukaan, kegirangan, perpisahan, berkumpul, seperti juga mendung, ada terang, ada bundar, ada sempoaknya. Hal itu, sejak dahulu hingga sekarang, tak pernah sempurna. Toako, jangan kau ingat saja bahagian yang kau ambil, bagian belakang, kau melupakan bahagian ini..." Habis berkata, wajah si nona menjadi suram. Tan Hong lihat keindahan malam itu, ia mengharap supaya ia dapat hidup bersama In Loei sehingga tua, akan tetapi si nona, walaupun hatinya tergerak, dia tidak melupakan kata-kata kakaknya, maka dia utarakan bahwa penghidupan manusia itu tak kekal tak sempurna selamanya. Karenanya, ia jadi berduka. Justeru itu segumpal awan lewat, mengalingi si puteri malam, yang sinarnya menjadi guram. Menampak itu, In Loei paksakan untuk tertawa. "Nah, toako, kau lihat!" ia kata. "Di dalam dunia ini mana ada manusia hidup berbahagia selamanya, mana ada rembulan purnama terus menerus?" Mau atau tidak, Tan Hong turut tertawa. "Adik kecil, ingatkah kau pada syairnya Tjoe Siok Tjin itu penyair wanita?" ia tanya. "Bahagian yang manakah itu, toako?" In Loei balas menanya. "Itu syair yang dibuatnya di malam Tiong Tjioe," sahut Tan Hong. "Malam itu Tjoe Siok Tjin melihat rembulan dialingi mega, lalu teringatlah ia kepada nasibnya sendiri, lantas ia menulis syairnya." Terus Tan Hong perdengarkan syair itu: "Malam ini rembulan tak diijinkan bercahaya, Maka tahulah aku Thian tidak mengasihaninya. Kenapa kalau sang mega disingkirkan, Agar rembulan bercahaya selaksa lie?" Tjoe Siok Tjin adalah satu di antara dua penyair terkenal dari Ahala Song. Yang satu lagi adalah Lie Tjeng Tjiauw. Kalau Lie Tjeng Tjiauw dapat menikah dengan satu suami sempurna, Tjoe Siok Tjin dapat pasangan satu suami desa, maka juga seumurnya ia senantiasa berduka, maka syairnya itu menandakan kedukaan hatinya. Maka juga kumpulan syairnya diberi berjudul "Tuan chang tsi" artinya. "Kumpulan Usus Putus." Mendengar nyanyian Tan Hong itu, hati In Loei bercekat, tanpa merasa, ia berpikir: "Tjoe Siok Tjin dapat pasangan tidak kebetulan, ia hidup selalu berduka, maka aku, mustahillah aku bakal menelad dia?...” Tan Hong, sambil tertawa, sudah berkata pula: "Syair Tjoe Siok Tjin mengandung banyak kedukaan, hanya ini satu, yang tidak berduka seluruhnya. Syair ini mengandung harapan besar! Dia tahu, Thian tidak mengasihaninya, tapi ia masih mengharap agar mega disingkirkan, supaya sang rembulan dapat bercahaya pula. Tjoe Siok Tjin adalah satu nona lemah, dia tidak berdaya menyingkirkan mega, kau sebaliknya bukan seorang lemah! Tjoe Siok Tjin cuma dapat mengharap, kau sebaliknya dapat berusaha, bekerja!" Mendengar itu, hati In Loei berdebar. Ia berpikir: "Kakakku melarang aku bersahabat dengan Tan Hong, itu sama saja dengan syairnya Tjoe Siok Tjin yang mengatakan, 'Malam ini rembulan tak diijinkan bercahaya', maka tahulah aku Thian tidak mengasihaninya. Tapi kata-kata kakak itu, apakah aku mesti anggap seperti kehendak Thian? Mega yang menutupi rembulan itu mesti disingkirkan... akan tetapi, bagaimanakah cara menyingkirkannya?" Ketika ia angkat kepalanya, nona ini dapatkan mega justeru melintas dan sang rembulan bersinar permai lagi seperti tadi! Kedua anak muda ini telah menempuh gelombang, banyak pengalamannya yang penuh bahaya, sekarang mereka bersama dapat menaiki seekor kuda, bersama-sama mereka menggadangi sang rembulan, walaupun hati mereka berlainan, mereka toh mengicipi bayangan penghidupan manis dari manusia. Rambut di samping kuping mereka beradu, mereka dengar napas masing-masing, tubuh mereka pun melekat satu pada lain... Mereka saksikan bagaimana di langit sang rembulan naik dan turun... Mereka menyesal, seolah-olah mereka mempunyai laksaan omongan tetapi tak dapat mereka keluarkan itu semua... Sebenarnya, untuk apa mereka mengatakannya? Bukankah hati mereka sama, mereka sama-sama telah mengerti maksud hati masing-masing? Kuda putih berjalan terus, perlahan-lahan sampai tanpa merasa, cuaca telah menjadi terang. Dan di depan mereka, jauh, samar-samar, tampak tangsi tentera Watzu. Nyatalah, Yasian telah memusatkan angkatan perang besarnya di Touwbokpo, sebaliknya pasukan depannya sudah mendekati Pakkhia. Maka itu di sepanjang jalan sejauh dua ratus lie lebih, setiap delapan atau sepuluh lie, telah kedapatan tangsi atau benteng tentera Watzu itu. "Sekarang bolehlah kita turunkan Thio Hong Hoe," berkata Tan Hong akhirnya. Hong Hoe di perut kuda masih belum sadar akan dirinya. Tan Hong turunkan tubuh orang dengan perlahan-lahan, habis itu, ia menepuknya. Boleh dibilang dalam sekejap saja, Hong Hoe lantas sadar, malah segera ia merasa kesegarannya pulih, ia merasa sehat betul. Ia lantas memandang kesekitarnya, ia merasa heran sekali. "Tempat apakah ini?" dia tanya. "Tempat ini telah terpisah mungkin seratus lie dari Touwbokpo," sahut Tan Hong. Hong Hoe menghela napas. "Tan Hong," katanya, "kenapa kau cegah aku menghabiskan jiwaku untuk menunaikan tugasku?" Tan Hong menatap dengan tenang. Kematianmu adalah urusan kecil," ia kata, "akan tetapi kalau setiap orang mengurbankan jiwanya untuk raja, habis siapa lagi yang hendak kurbankan dirinya untuk negara? Jikalau seorang raja menutup mata, masih ada yang menggantikannya, tetapi kalau negara jatuh ke dalam tangan bangsa asing, sungguh sulit untuk mengambilnya kembali! Kau tahu, rajamu sendiri masih belum mati!" Hong Hoe insaf dengan cepat. "Habis bagaimana kita dapat tiba di Pakkhia?" ia tanya akhirnya. -ooo00dw00ooo- Bab XXI Justeru itu terdengar suara kuda lari mendatangi. Tan Hong semua berpaling. Mereka lihat dua serdadu Watzu, yang rupanya tengah meronda. Menampak dua serdadu itu, Tan Hong tertawa. "Mengandal kepada mereka berdua, aku tanggung kau akan sampai di Pakkhia," ia kata. Kedua serdadu Watzu sementara itu nampaknya heran. Mereka lihat dua perwira Watzu bersama satu perwira Han. Maka segera mereka menghampiri. Tan Hong berdua In Loei bertindak sangat cepat. Sekejap saja mereka sudah sampok terlepas senjata kedua serdadu Watztu itu, lalu diancamkan pedangnya ke batang leher mereka. "Kamu mau hidup atau mati?" Tan Hong mengancam. "Mau hidup..." sahut kedua serdadu, yang putus asa. "Baik!" kata Tan Hong. "Adik kecil, bawa dia seratus tindak jauhnya, tanyakan padanya pertandaan hari ini." In Loei menurut, ia tarik serdadu yang satu. "Bagus!" kata pula Tan Hong, suaranya keras. "Sekarang mari kita mulai tanya mereka! Jikalau penyahutan mereka berbeda, itu tandanya mereka mendusta, maka adik kecil, kau boleh lantas tabas padanya!" Dengan sempurnanya Iweekang-nya, walaupun mereka terpisah seratus tindak, suara Tan Hong itu dapat didengar jelas sekali oleh In Loei. Coba Tan Hong ada lain orang, tidak nanti suaranya itu dapat terdengar. Hong Hoe kagumi anak muda ini. "Tan Hong benar teliti," kata dia dalam hatinya. "Jikalau mereka ini tidak dipisahkan, umpama mereka menyahuti secara palsu, sulit untuk mengetahui kedustaan mereka." Tan Hong sudah tanya si serdadu dan ia telah peroleh jawabannya. "Bagaimana?" dia tanya In Loei. "Dia kata tanda-kata hari ini adalah bidadari," jawab In Loei. Bangsa Watzu juga tahu tadi malam adalah malaman Tiong Tjioe untuk bangsa Han, mereka sengaja pakai kata-kata "bidadari" untuk tanda kata mereka. "Akur!" berseru Tan Hong. "Mereka tidak mendustai” In Loei segera kembali bersama serdadu itu. Tan Hong bertindak terlebih jauh, dengan sebat ia buka seragam kedua serdadu itu, setelah mana, ia ikat mereka itu di atas pohon. "Maafkan kami," ia kata pada mereka. "Kalian boleh menunggu di sini sampai sahabat-sahabatmu nanti datang menolong kamu." Ia tidak tunggu jawaban lagi, terus ia berkata pada Hong Hoe: "Silakan kau pakai seragam ini." Hong Hoe menurut, dengan cepat ia salin pakaian. "Sekarang mari!" mengajak pula Tan Hong. Dan kali ini, dengan masing-masing menunggang seekor kuda — untuk mana kudanya kedua serdadu Watzu itu mereka rampas — ia ajak kedua kawannya mengaburkan kuda mereka. Hong Hoe kenal baik jalanan itu, ia mengajaknya ambil jalan kecil, untuk memotong jalan. Secara begini dapat mereka menyingkir dari tiap-tiap tangsi bangsa Watzu. Benar mereka kerap kali bertemu serdadu ronda, tetapi dengan mengucapkan perkataan "Bidadari!" mereka selalu bebas dari pemeriksaan. Maka akhirnya, sebelum matahari turun, mereka telah tiba di luar kota Pakkhia. Di sana pasukan depan bangsa Watzu sudah mengatur persiapan untuk bertempur, karena mereka tengah berhadapan dengan tentera Beng. Di antara mereka terdapat tanah perbatasan yang kosong, yaitu no man's land. Dengan berani Hong Hoe bertiga menerobos dari kalangan tentera Watzu, untuk melintasi tanah kosong, guna menghampiri tentera Han. Mereka lantas disambut hujan panah oleh tentera Beng, akan tetapi mereka maju terus, mereka sampok jatuh setiap anak panah. Pasukan Beng itu di kepalai oleh Yo Wie, hoetongnia dari Gielim koen, serta Kiekie Touwoet Hoan Tjoen, belum lagi Hong Hoe datang dekat, mereka itu sudah melihat dan mengenali, maka itu dengan lekas mereka larang serdadunya melepaskan panah terlebih jauh, mereka sendiri lantas maju, untuk menyambut. "Bagaimana sikap tentera?" Tan Hong tanya. Inilah pertanyaan yang pertama. Yo Wie menyahut dengan perlahan: "Kami telah mendengar kabar angin bahwa Sri Baginda telah ditawan musuh di Touwbokpo, kabar itu telah membuatnya hati tentera sedikit goncang..." "Berita mengenai Sri Baginda ditawan musuh bukan kabar angin belaka, itulah kejadian benar," kata Tan Hong. "Sekarang lekas kamu antar kami masuk ke dalam kota untuk menghadap Ie Thaydjin." "Mana kakakku?" tanya Hoan Tjoen. Ia maksudkan Hoan Tiong. "Kakakmu sudah mengurbankan dirinya untuk negara," jawab Hong Hoe. "Aku harap kau nanti meneruskan cita-citanya, untuk melindungi kota Pakkhia!" Lantas komandan Gielim koen ini tuturkan kegagahannya Hoan Tiong, yang telah menghajar mampus dorna Ong Tjin dengan gembolannya, habis mana, sekalipun dia terbinasa, Hoan Tiong tidak sudi menakluk pada musuh. Hoan Tjoen berduka, tetapi hatinya terhibur. Yo Wie pun berduka, ia terharu berbareng puas juga. Sampai di situ, Yo Wie persilakan ketiga orang itu salin pakaian, sesudah mana, ia antar mereka masuk ke dalam kota. Di mana-mana di dalam kota terlihat rakyat, dalam rombongan-rombongan kecil, berbisik-bisik, untuk satu dengan lain menanyakan keadaan dari medan perang. Pada wajah mereka tampak roman berkuatir dan tegang. Hong Hoe bersama Tan Hong dan In Loei menuju ke gedung Ie Kiam. Ketika itu sudah jam tiga tetapi gedung menteri itu masih terang benderang. Tan Hong maju di muka, untuk mengetok pintu, guna memohon menghadap. Tidak lama, pintu besar dipentang, kuasa rumah muncul untuk mengatakannya: "Thaydjin ada di ruang tengah, silakan kamu masuk!" Ketika Tan Hong tiba di lorak, ia tampak Ie Kiam seorang diri sedang jalan mondar-mandir. "Ie Thaydjin, kami telah kembali!" Tan Hong segera berkata. "Ah, kamu telah kembali..." kata menteri itu, yang masih mondar-mandir terus. In Loei menjadi heran. "Ie Kiam dengan Tan Hong bersahabat kekal," ia berpikir, "dia pun perlakukan kami seperti keponakan atau anak, sekarang kita kembali, mengapa sikapnya begini tawar?" Karena ini, ia campur bicara, katanya: "Kami pun telah membawa pulang peta bumi. Tentang harta besar dari leluhurnya Thio Toako, itu pun akan diangkut kemari!" Pada wajah Ie Kiam terlihat sorot kegirangan, tetapi alisnya masih tetap mengkerut. "Benarkah itu?" tanyanya, menegaskan. "Aku kuatir sudah terlambat..." Dan kembali ia jalan mondar-mandir. Tan Hong dapat menerka orang sedang menghadapi kesulitan, ia kedipkan matanya kepada In Loei untuk mencegah nona ini berbicara pula. Ia lantas memandang ke sekitarnya. Ia lihat di bawah lorak ada tumpukan kapur tembok dan di kedua tepinya telah banyak yang runtuh. Di dalam hatinya, ia menghela napas. "Jikalau tidak melihat sendiri, siapa sangka Ie Kokloo demikian melarat," katanya dalam hati kecilnya. "Rumahnya sudah begini tua, untuk membetulkan temboknya, ia cuma menitahkan orangnya sendiri..." Ia angkat kepalanya, ia tampak sebuah syair yang digantung di dalam ruangan itu. Ia baca: "Seribu kali gali, selaksa kali gempur, digali keluar dari dalam gunung, Dengan api yang berkobar besar dibakar, bukan main hebatnya, Tulang-tulang boleh jadi abu, tubuh lebur, tetapi hati tak gentar, Asal dapat pernahkan nama putih bersih di dalam dunia ini." Di bawah itu, di sebelah kiri, terdapat tambahan huruf-huruf halus yang berbunyi: "Dicatat pula di harian tentera Watzu mengurung kota, sebagai kesan." Di bawah itu ditulis nama Ie Kiam, penulisnya. Tergerak hati Tan Hong, hingga dengan keras ia berkata: "Ie Thaydjin, oleh karena kau tidak gentar tulang-tulang dan tubuhmu hancur lebur, kenapa kau jeri akan segala ocehan tidak keruan atau fitnahan pembesar hikayat?" Ie Kiam terperanjat, hingga kedua matanya bersinar dengan tiba-tiba. Ia angkat kepalanya, memandang langit. "Hiantit," katanya kemudian, "cuma kau seorang yang ketahui isi hatiku. Tapi urusan ini sangat besar, untukku tulang hancur dan tubuh lebur adalah soal kedua, hanya aku kuatir, di belakang hari, aku nanti mengalami perkara penasaran yang tak dapat dilampiaskan..." Tan Hong mendesak. "Sekarang ini Sri Baginda sudah ditawan musuh," kata dia, "maka itu thaydjin harus memikirkan negara, mesti thaydjin segera mengambil putusan. Sekarang telah tiba saatnya! Umpama kata benar di belakang hari raja toh mempersalahkannya, tetapi thaydjin telah pernahkan nama bersih di antara rakyat, nama itu akan teringat laksaan tahun, akan tercatat untuk selamanya dalam hikayat. Apakah yang harus digentarkan pula?" Alisnya Ie Kiam bergerak pula, ia sudah lantas ambil putusannya. Ia keprak meja ketika ia berseru: "Hiantit benar! Besok aku angkat raja baru, akan aku basmi kawanan dorna, lalu aku akan mengepalai sendiri angkatan perang untuk melawan musuh!" Memang Ie Kiam telah mendengar berita mengenai raja sudah tertawan musuh, hal mana membuatnya ia menyesal, berduka dan berkuatir. Ia sudah menerka, bangsa Watzu pasti akan menggunakan raja itu sebagai alat untuk memaksakan segala permintaannya, maka itu, ia memikirkan daya upaya untuk menghadapinya. Ia sudah ketahui, jalan satu-satunya ialah mengangkat raja baru, untuk menunjukan bahwa ia hendak mempertahankan diri, guna membela negara, hanya ia bersangsi sebab ia sendiri bukannya anggauta kerajaan, kalau ia sendiri saja yang mengepalai pengangkatan raja baru itu, tanggung jawabnya terlalu besar dan berat. Ia pun kuatirkan serangan kawanan dorna, sedang dalam kalangan keluarga raja, banyak yang berpendirian tak tetap. Di samping itu ia pikirkan juga, umpama kata raja yang tertawan itu mendapat kemerdekaannya kembali dan telah pulang ke dalam negeri, ada kemungkinan raja itu tak akan mengerti sikapnya itu, hingga ia akan terancam kebinasaan berikut seluruh keluarganya. Maka itu, sudah satu hari satu malam ia berpikir keras, masih saja ia belum dapat mengambil putusan. Sampai sekarang ini Tan Hong telah bicara dengan tandas, baharu ia dapat mengambil ketetapannya itu. Di hari kedua, Ie Kiam buktikan perkataannya. Ia himpunkan para menteri besar, ia utarakan keputusannya dan beritahukan rencananya untuk melawan musuh. Paling dahulu ia angkat adiknya kaisar Kie Tin, yaitu Kie Giok, menjadi raja, menjadi kaisar Tay Tjong, sedang Kie Tin diangkat menjadi Tahongsiang. Habis itu dikeluarkan perintah akan membunuh semua kambrat Ong Tjin. Setelah Kie Giok naik tahta, ia pakai gelaran negara Keng Tay, lalu dengan menuruti nasihat Ie Kiam, dalam satu hari itu, telah menghukum mati kambratnya Ong Tjin yang berjumlah tiga ratus jiwa lebih. Segera Ie Kiam diangkat merangkap menjadi Pengpou Siangsie, menteri perang, dengan diberi kekuasaan untuk memimpin angkatan perang guna melawan musuh. Ie Kiam sudah lantas bertindak sebagai kepala perang, ia kumpulkan tentera, ia kobarkan semangat rakyat, maka di dalam kota Pakkhia itu, ia berhasil membangun barisannya, untuk memulai perlawanan terhadap musuh. Demikian peperangan telah dimulai pula. Sebab Yasian, yang telah berhasil menawan kaisar Kie Tin, meleset dalam dugaannya. Ia mulanya menyangka, dengan kaisar musuh dapat ditawan, kota Pakkhia akan dapat dirampas dengan mudah, dengan begitu seluruh Tionggoan akan terjatuh ke dalam pelukannya, siapa nyana, Ie Kiam telah bangkit pula. Maka ia menjadi kaget berbareng gusar. "Maju!" demikian ia serukan tenteranya, untuk mengurung kota Pakkhia. Pada bulan sepuluh tanggal sembilan, Yasian dapat memukul pecah kota Tjiekengkwan, pada tanggal sebelasnya, pasukan depannya sudah tiba di luar pintu kota Saytit moei di barat kota Pakkhia. Kie Giok tidak punya pendirian, ia sudah lantas usulkan untuk memohon perdamaian, akan tetapi Ie Kiam menentangnya, menteri perang ini menganjurkan perlawanan terus, ia sendiri yang pimpin tenteranya. Hebat pertempuran yang berlaku lima hari lima malam itu. Tentera Watzu berhasil memukul pecah pintu-pintu Tjianggie moei dan Tekseng moei, akan tetapi tentera Beng melawan terus, tak peduli banyak sekali kurban yang rubuh. Mereka telah dibantu rakyat penduduk kota raja, wanita dan pria, tua dan muda, menggulung tangan baju bersama, akan pertahankan negara mereka. Mereka itu turut naik ke tembok kota, akan melawan serbuan musuh. Anak panah tidak cukup, tanpa ragu-ragu mereka merusakkan rumah mereka, mereka pakai batunya untuk melontar musuh. Maka selama lima hari lima malam itu, hebat suara pertempuran itu, demikian pula jalannya pertempuran. Tentera Watzu gagah, tetapi menghadapi perlawanan musuh itu, gentar juga hati mereka. Pada hari ke enam telah datang sejumlah tentara suka rela, yang datang dari beberapa tempat, bendera mereka tertampak ramai dari atas kota Pakkhia. Segera Thio Hong Hoe pimpin pasukan Gielim koen, akan menyerbu keluar kota. Dengan cepat ia telah binasakan tiga perwira musuh yang tanggu. Menampak demikian, Ie Kiam berikan titahnya untuk menyerbu, maka tentera dan tentera rakyat segera pentang pintu kota, mereka maju menerjang musuh. Yasian saksikan nekatnya musuh, ia lantas berikan titahnya untuk mundur. Ia kuatir nanti sampai pula bala bantuan dari pelbagai tempat, apabila itu sampai terjadi, ada kemungkinan jalan mundurnya nanti tertutup, hingga ia terkurung. Hebat kerusakan Yasian karena pengundurannya ini. Pada tanggal sebelas ia masuk ke Saytit moei, tetapi ketika ia mundur pada tanggal tujuh belas, ia menderita kerugian sebanyak kira-kira delapan laksa serdadu yang luka dan binasa, ia mundur tanpa peroleh hasil! Pada tanggal delapan belas, di luar kota Pakkhia sudah bersih dari musuh. Sebaliknya dari Thongtjioe dan Hoolam telah datang beberapa pasukan suka rela. Sebenarnya jumlah bala bantuan itu, cuma beberapa laksa, tidak berarti apabila dibandingkan dengan besarnya angkatan perang Watzu, tetapi semangat tentera dan rakyat kota Pakkhia telah berkobar-kobar, sehingga menyebabkan musuh mundur terpaksa. Maka itu, semua orang sangat bergembira, semua berseru-seru kegirangan. Ie Kiam sambut dengan baik setiap bala bantuan suka rela itu. Yang membuatnya ia kagum adalah ketika ia dapatkan satu pasukan yang datang jauh sekali dari propinsi Kangsouw. Itulah pasukan suka rela di bawah pimpinan In Tiong, pasukan yang berasal dari tjhoengteng atau penduduk tani ketua dari Tamtay tjhoeng dan mulanya cuma terdiri dari beberapa ratus jiwa, tapi di sepanjang jalan mereka dapat mengumpulkan lagi kawan-kawan hingga jumlah mereka semua meliputi seribu jiwa lebih. Ketika barisan ini tiba di kota raja, jumlahnya tinggal kira-kira separuh. Sebab di tengah jalan mereka telah bertempur dengan musuh, banyak di antara mereka terbinasa dan luka, malah In Tiong sendiri terpisah dari mereka, dari itu, sekarang pasukan itu dipimpin oleh Tiatpie Kimwan Liong Tjin Hong. Yang paling penting dari barisan suka rela dari Kangsouw ini adalah mereka sudah tidak mensia-siakan tugas yang dipercayakan kepada mereka oleh Thio Tan Hong. Yaitu mereka sudah mengiringi dengan selamat harta warisan Thio Soe Song sampai di Pakkhia. Dalam kegembiraannya, Ie Kiam lantas undang Liong Tjin Hong dan Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe membikin pertemuan dengan Tan Hong dan In Loei. Nona In terperanjat mendengar kakaknya lenyap, maka ia lantas tanya, bilamana dan bagaimana itu terjadinya. "Itu terjadi kemarin," sahut Tiatpie Kimwan, menerangkan. "In Tjonggoan titahkan kita menerjang musuh untuk melindungi harta, ia sendiri bertanggung jawab di bahagian belakang, guna merintangi kalau-kalau musuh mengejar. Nona Tamtay bersama belasan tjhoengteng pun membantu melindungi dari sebelah kiri. Kami tahu, tindakan itu berbahaya, tapi karena harta mesti dilindungi, kami tidak bisa berbuat lain. Kejadianlah yang rombongan kita kena dipotong tentera Watzu. In Tjonggoan sungguh gagah, ia telah membuka jalan, sayang di tengah-tengah pertempuran dahsyat itu, sebatang anak panah mengenai Nona Tamtay, hingga dia tak menerjang terlebih jauh. In Tjonggoan segera kembali ke belakang, untuk menolongi nona itu. Demikian maka mereka itu jadi terpisah dari kami, yang dapat membuka jalan dan menuju terus kemari." In Loei jadi sangat berkuatir dan berduka. "Syukur musuh telah mundur sekarang," berkata Ie Kiam. "nanti aku titahkan untuk mencari di sekitar luar kota ini. Aku percaya mereka dapat diketemukan." Hati In Loei menjadi sedikit lega, tapi ia masih tetap memikirkan kakaknya itu. Bagaimana keadaannya si kakak, yang menolongi Nona Tamtay itu? Ia jadi lebih berkuatir karena si Nona Tamtay tengah terluka, entah lukanya itu hebat atau ringan. Hari itu In Tiong telah menempuh bahaya, ia tunjukkan kegagahannya. Begitu ia lihat Tamtay Keng Beng terluka panah, segera ia pergi menghampiri untuk menolongi. Ia putar golok Toanboen too-nya, untuk melindungi si nona dan untuk membelai dirinya. Dengan tangan kiri, dengan pukulan-pukulan Taylek Kimkong Tjioe, ia rubuhkan atau mundurkan setiap musuh yang datang dekat. Tapi musuh berjumlah banyak, mereka terus terkurung. Kematian beberapa puluh musuh tidak berarti apa-apa. Di saat In Tiong mulai lelah, mendadak ia dengar suara tambur dan gembreng musuh disusul dengan suara terompetnya, lalu disusul pula dengan mundurnya barisan musuh. Dengan begitu In Tiong mendapat keringanan, segera ia membuka jalan darah, untuk meloloskan diri dari kepungan. Ia tidak tahu bahwa mundurnya musuh disebabkan Yasian membutuhkan bantuan, untuk angkatan perang Watzu itu mundur seluruhnya. Selang setengah jam, In Tiong sudah lari cukup jauh, bersama Tamtay Keng Beng, ia jadi berada jauh dari pasukan musuh. Ia bernapas lega. Ia hanya kaget ketika ia tampak wajah pucat pasi dari si nona. "Bagaimana kau rasakan?" ia tanya nona itu. "Tidak apa-apa," sahut si nona. Di mulut Keng Beng mengucapkan demikian, akan tetapi les kuda yang ia pegang tak kencang lagi dan tubuhnya pun bergoyang-goyang seperti hendak rubuh. Mau atau tidak, In Tiong bersenyum. "Adik Tamtay," ia berkata. "Ketika dulu aku terluka, banyak aku terima budimu. Bukankah kau telah menasihati agar aku jangan paksakan diri berkuat-kuat. Ingatkah kau akan hal itu?" Di mulut In Tiong berkata begitu, sepak terjangnya adalah lain. Gesit luar biasa ia lompat dari kudanya ke kuda si nona, untuk duduk di belakang nona itu, les kuda siapa ia sambar, untuk mewakilkan memegang kendali, untuk sekalian menjagai tubuh si nona supaya tubuh itu tidak rubuh terguling. "Adik Tamtay, kau harus beristirahat," ia berkata pula. "Mari kita cari satu rumah penduduk untuk menumpang beberapa hari kalau nanti lukamu sudah sembuh, baharu kita berdaya untuk pergi masuk ke Pakkhia." Tamtay Keng Beng tidak berkesan baik terhadap In Tiong, akan tetapi sekarang ia saksikan sikap orang yang lemah lembut dan sangat perhatikan kepadanya, dengan sendirinya, hatinya tergerak juga. Maka ia biarkan orang bawa padanya. Sibuk juga In Tiong sesudah ia mencari-cari rumah penduduk di sekitar itu. Dusun itu telah rusak, penduduknya tidak ada. Dengan sangat berduka dan, berkuatir, ia mencari terus, sampai di depannya ia tampak sebuah rumah yang letaknya pada lereng bukit. Dari jauh kelihatan rumah itu masih utuh juga. "Thian tidak memutuskan jalan makhlukNya," ia berseru. "Akhir-akhirnya kita menjumpai juga sebuah rumah!" Tapi Tamtay Keng Beng menggelengkan kepalanya. "Aku kuatir itu bukannya rumah penduduk baik-baik," ia utarakan kesangsiannya. "Saudara In, kau mesti berhati-hati..." "Dalam keadaan seperti kita ini, tak dapat kita terlalu bercuriga," In Tiong jawab. "Yang penting adalah kau mesti beristirahat!" Maka ia larikan kudanya ke arah rumah kampung itu. Setibanya di situ, ia bantui Keng Beng turun dari kudanya, habis mana terus ia mengetok pintu, yang tertutup rapat. "Siapa?" terdengar suara keras dari dalam rumah. In Tiong heran. Ia seperti kenali suara itu. "Aku adalah serdadu suka rela dari Kangsouw," ia lantas menjawab. "Aku hendak numpang menginap." Dengan berani ia bicara terus terang. Dengan menerbitkan suara, pintu segera di-pentang. Berbareng dengan itu, dari dalam terdengar suara pula: "Oh, kiranya In Tjonggoan1." Hanya kali ini suara itu sedikit menggetar, seperti dikeluarkan oleh seorang yang tengah terkejut berbareng kegirangan. Itulah di luar dugaan In Tiong, apapula ketika ia lihat tegas orangnya yang berbicara itu, yang berdiri di muka pintu, berendeng bersama orang lain. Untuk tercengangnya, ia kenali Low Beng dan Low Liang, kedua boesoe atau guru silat dari istana kaisar. "Saudara-saudara Low, mengapa kamu masih berada di sini?" In Tiong tanya. "Pada setengah bulan yang lalu," Low Beng menyahut, "ketika aku lihat musuh datang menyerbu, aku minta ijin cuti, maksudku ialah mengantarkan keluargaku pulang ke kota raja untuk melindungi mereka. Di luar dugaan kami, musuh datang terlalu cepat, kami tercegat, perhubungan kami terputus, hingga kami tak dapat pergi terus ke kota raja, terpaksa kami menunda di sini. Ah, apakah nona gagah ini pun serdadu suka rela? Dia terluka, lekas ajak dia masuk! Kami mempunyai obat luka yang mustajab." "Djiewie, baiklah minum dulu air teh panas," berkata Low Liang, yang terus menyuruh orangnya menyuguhkan air teh. Tamtay Keng Beng adalah seorang yang berhati-hati, ia segera berpikir: "Mereka ini adalah guru-guru silat negara, kenapa di saat gentingnya peperangan, mereka diijinkan cuti? Dengan mundurnya tentera Watzu, di mana tentera itu lewat, ayam dan anjing pun tidak aman, rumah-rumah musnah, maka aneh, kenapa cuma mereka ini yang tetap utuh?" Oleh karena kecurigaannya itu, Keng Beng memandang seluruh rumah. Ia dapatkan di thia ada pelbagai macam alat senjata. Ia jadi bertambah curiga. In Tiong rupanya tidak menyangka suatu apa, ia angkat cawan teh, untuk di minum, tetapi Keng Beng, yang lihat itu, segera kedipkan mata padanya. In Tiong seperti tidak lihat kedipan mata itu, ia bawa terus cawan teh ke mulutnya. Bukan main kuatirnya si nona, hampir ia menjerit. Tiba-tiba terdengar satu suara keras dan nyaring, tahu-tahu cawan jatuh dan pecah, air tehnya tumpah berhamburan. "Ah." In Tiong berseru. "Celaka! Maafkan aku," ia terus mohon. "Tolong ditukar cawannya..." In Tiong belum tutup rapat mulutnya, atau air teh yang melimpah itu kelihatan bercahaya seperti api. Itulah tanda air teh itu telah dicampurkan racun. Hal ini mengejutkan kedua tuan rumah dan tetamunya. In Tiong pun bercuriga. Ia lantas ingat, Low Beng dan Low Liang adalah kepercayaannya dorna kebiri Ong Tjin. Ia memang belum tahu yang Ong Tjin selama di Touwbokpo sudah dihajar mampus oleh Hoan Tiong tapi ia tahu baik kejahatannya dorna kebiri itu, maka umpama kata Nona Tamtay tidak memberi tanda padanya, ia sudah berhati-hati sendirinya. Karenanya ia sengaja melepaskan cangkir teh itu, hingga jatuh pecah dan rahasia kedua saudara Low itu terbuka! Low Beng dan Low Liang berseru, dengan lantas mereka lari ke tempat alat senjata, untuk menyambar gegaman mereka masing-masing, habis mana mereka tidak membuang tempo untuk mengurung tetamunya itu, ialah In Tiong. Low Beng bersenjatakan sebatang pedang panjang dan Low Liang tameng besi. Dan pedang Low Beng itu memain di antara gerak-geriknya tameng, yang perdengarkan suara angin menyambar-nyambar. Itulah ilmu tameng Koengoan pay yang tersohor. In Tiong bela dirinya dengan tangan kiri, dengan pedang di tangan kanan, ia siap melayani musuh-musuhnya. "Apakah kamu, kedua saudara hendak memberontak?" ia tegur mereka itu. Low Beng tertawa bergelak-gelak. "Tidak salah!" sahutnya, jumawa. "Memang kami hendak memberontak! Kau tahu, kau masih dalam mimpi, kau masih belum tahu berapa tingginya langit dan berapa tebalnya bumi!" "Apa kau bilang?" In Tiong tegaskan. "Hendak aku tanya kau," jawab Low Liang. "Kau bawa pasukan suka rela ke kota raja, bukankah itu untuk menunjang raja?" "Memang!" sahut In Tiong sambil mendesak tiga kali, setelah mana, ia tangkis tameng dan pedang kedua lawannya. Low Liang tertawa terbahak-bahak. "Rajamu yang tua bangka itu sudah sejak siang-siang menjadi tawanan bangsa Watzu!" katanya separuh mengejek. "Bukankah kau kenal peribahasa, siapa kenal gelagat dialah seorang cerdik? Maka itu baiklah kau lekas letakkan senjatamu, mari kau turut kami menakluk kepada bangsa Watzu! Dengan menakluk, kau masih mempunyai harapan memangku pangkat dan hidup senang, tetapi sebaliknya, kau bakal celaka! Lihat angkatan perang Watzu yang berada di daerah ini! Kau adalah Boetjonggoan dari kerajaan Beng, umpama kata kami tidak membunuh kau, kau toh sukar lolos dari kematianmu!" In Tiong menjadi sangat gusar. Mana bisa ia dibujuk secara demikian? Tapi masih dapat ia kendalikan diri. Ia tertawa dingin. "Kiranya kamu berdua adalah orang-orang yang kenal selatan!" katanya. "Maaf, maafkan aku..." Low Beng menduga bahwa orang telah tergerak hatinya, ia maju mendekati. "Bagaimana pikiran kau, saudara In?" ia tanya. Dengan sekonyong-konyong saja In Tiong berteriak keras sekali. "Pikiranku adalah untuk mengambil jiwa anjingmu!" demikian jawabannya yang dibarengi dengan satu bacokan hebat. Low Beng kaget, ia menangkis. Tapi kagetnya bertambah apabila ia dapat kenyataan pedangnya telah tertabas kutung dan gagang pedang itu hampir saja terlepas dari cekalannya! In Tiong sedang gusar, ia ulangi bacokannya yang tidak kurang hebatnya. Kali ini goloknya itu bentrok keras dengan tamengnya Low Liang, yang menggantikan saudaranya menangkis. Ia terkejut. Juga lawannya terperanjat. Kedua-duanya merasakan telapakan tangan mereka sakit, panas dan kesemutan. "Kau mempunyai kepandaian apa maka kau berani pentang bacot lebar?" tegur Low Liang, sambil terus mengulangi serangannya dengan tamengnya, yang turun dari atas ke bawah, dalam gerakan "Taysan apteng" — "Gunung Taysan menimpa batok kepala." Tameng adalah senjata berat, Low Liang pun bertenaga besar sekali, tidak heran apabila serangannya kali ini sangat mengancam. In Tiong tidak jeri, dengan berani ia menangkis pula. "Trang!" demikian satu suara sangat nyaring, yang disusul dengan meletiknya lelatu api. Hebat kesudahan dari bentroknya kedua senjata itu. Tameng Low Liang sempoak sedikit dan golok In Tiong pun bengkok ujungnya. Keduanya menjadi kaget, dengan sendirinya mereka masing-masing mundur tiga tindak. Low Beng dari samping tidak mengambil peduli orang sedang mundur, ia maju untuk membarengi menyerang musuhnya. Tapi ia bukannya maju kepada In Tiong, atau membantu Low Liang, saudaranya, hanya ia lompat kepada Tamtay Keng Beng, yang ia tikam dengan tiba-tiba, sinar pedangnya berkilauan! Nona Tamtay sedang terluka, waktu itu ia pun tengah merasakan sakit yang sangat karena lukanya itu, tenaganya hilang banyak, maka waktu diserang, walaupun ia melihat dan dapat menangkisnya, tetap ia terancam bahaya. Ia telah terpelanting, hingga rubuh. In Tiong saksikan musuh berlaku rendah, ia menjadi sangat gusar hingga ia menjerit, habis mana ia lompat kepada Low Beng itu, untuk menyerang padanya. Ia tidak pedulikan yang Low Liang, dengan tamengnya, mencoba merintanginya. Ia dapat mendekati Keng Beng, untuk melindungi nona itu. Ia sudah berlaku seperti nekat ketika ia coba mendesak kedua saudara Low itu hingga mereka mesti mundur dulu. Keng Beng dapat kesempatan untuk menyingkir ke ruang dalam. "In Toako, layani saja musuh-musuhmu itu!" kata si nona kepada si anak muda. "Kau bikin habis mereka semua, tak usah kau kuatirkan aku!" Inilah anjuran berharga bagi In Tiong. Pemuda ini membuang napas, lantas ia menerjang pula. Low Beng tertawa dingin. "Ha, kau benar, sebelum kau sampai di tengah sungai Hong Hoo, kau belum insyaf." katanya mengejek, menghina. "Sebelumnya melihat peti mati, kau tidak mengucurkan air mata! Kau harus diperkenalkan pada marah bencana. Lihat pedangku!" Bagaikan bisa ular menyambar-nyambar, demikian gerakan pedang orang she Low ini, yang diimbangi, gerak-gerik tamengnya, hingga In Tiong selalu diserang di bahagian yang berbahaya. Tapi pemuda itu memutar goloknya, hingga ia seperti terkurung sinar perak yang berkelebatan, berkilauan, dan golok itu pun kadang-kadang menembus tameng untuk mencari sasarannya. Kedua pihak sama-sama terancam bahaya, disebabkan sempitnya ruangan, yang membuatnya mereka tak dapat bergerak dengan leluasa. Pasangan saudara Low ini memang liehay, tameng dan pedang mereka terlatih sempurna. Demikian di kota raja, pernah mereka melayani Thio Hong Hoe dan Thio Hong Hoe tak dapat berbuat banyak terhadap mereka. In Tiong kalah dari Hong Hoe, tidak heran kalau ia lekas terdesak, apapula ia sudah keluarkan terlalu banyak tenaga. Setelah lewat seratus jurus, tenaganya tak dapat mengiringi lagi kehendak hatinya, sulit untuknya melakukan penyerangan pembalasan. Lagi dua puluh jurus, kedua saudara itu nampaknya semakin gagah. "In Tiong, apakah kau masih tidak hendak menyerah?" tanya Low Beng sambil tertawa. "Jikalau sekarang kau letakkan golokmu dan mengaku kalah, kita dapat memberi ampun daripada kematian..." In Tiong mendongkol tak terkira, ia kertek giginya, ia menyerang dengan sengit. Setelah beberapa bacokan, yang tidak memberi hasil, ia menjadi lemah pula, hatinya pun menjadi dingin. "Walaupun aku mesti terbinasa, tidak nanti aku sudi menerima penghinaan," ia berpikir. Ia sudah hendak sambarkan goloknya ke lehernya tetapi ia ingat sesuatu, hingga ia berpikir pula: "Jikalau sekarang aku terbinasa, bukankah adik Tamtay ini akan terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat ini?" Ia lantas melirik kepada Keng Beng, ia tampak nona itu tengah mengawasi kepadanya, ia lihat sinar mata orang yang mengandung kedukaan dan kekuatiran tercampur rasa syukur, pada mana pun berpeta anjuran dan kepercayaan, pengharapan besar. Tiba-tiba semangatnya jadi terbangun pula. "Mundur kamu!" sekonyong-konyong ia berteriak, sambil menyerang dengan tangan kirinya dan mengerahkan semua tenaganya. Itulah serangan hebat dari Taylek Kimkong Tjioe yang dibarengi dengan seruan bagaikan guntur menggelegar. Tidak kurang hebatnya adalah suara yang menyusuli seruan itu. Karena serangan dahsyat itu tepat mengenai tamengnya Low Liang, maka dia menjerit keras sekali! Dia kaget terkena gempuran Taylek Kimkong Tjioe itu, hingga tamengnya terlepas dan mental, telapak tangannya dirasakan sakit dan mengeluarkan darah, sedang sebelah lengannya kehabisan tenaga, tak dapat digerakkan lagi! Selain Low Liang, Low Beng juga kaget tidak terkira. Inilah di luar dugaan mereka, sebab waktu itu, musuh sudah terdesak dan nampaknya kehabisan tenaga. In Tiong di lain pihak dapat tambahan semangat, ia tidak berhenti sampai di situ, ia malah melanjutkan serangannya — sambil berseru pula, ia menyerang kembali sehebat tadi. Kali ini tangannya yang liehay itu menyambar ke pinggang Low Beng. Orang she Low ini cerdik dan licin, ia berkelahi dengan waspada, waktu serangan tiba, ia berkelit dengan cepat. Ia memang gesit. Akan tetapi In Tiong tidak mau kalah gesit, habis menggempur yang tidak mengenai sasarannya ia putar tangannya, kali ini dipakai menyambar pedang lawan! Percuma saja Low Beng terkejut dan mencoba akan menyingkirkan pedangnya, senjata itu sudah lantas kena dirampas, akan di lain saat terdengar suara terpatah. Karena dalam sengitnya, In Tiong tekuk pedang itu, hingga senjata orang itu jadi terkutung dua! Kedua saudara Low itu terkesiap hatinya, bagaikan sudah berjanji, dengan serentak mereka lompat keluar rumah, untuk singkirkan diri. Mereka insyaf, tanpa senjata, mereka tak dapat berkelahi terlebih lama pula. Hanya, begitu lekas mereka berada di luar, tiba-tiba terdengar mereka tertawa besar. In Tiong heran hingga ia berdiri melengak. Di saat ia hendak lompat menyusul, ia dengar teriakan kaget dari Keng Beng: "Celaka!" Sebab seolah-olah rumah itu bergerak keras, terputar, sejenak saja, kedua anak muda itu terbenam dalam kegelapan, tubuh mereka pun turut terbalik. Akhirnya terdengarlah suara sangat berisik. Ternyatalah ruang itu telah dipasangi alat rahasia, dilapis di sebelah dalam dengan papan-papan tembaga, yang bergerak turun, maka di saat itu juga, In Tiong berdua Tamtay Keng Beng sudah menjadi orang-orang kurungan. Dalam murkanya, In Tiong serang tembok tembaga yang mengurung mereka itu, ia telah gunakan tenaganya. Kesudahannya, ia mesti tarik kembali tangannya yang dirasakan sakit bukan main, tangannya menjadi semper, sedang kurungannya tidak bergeming sedikit juga. Dari sebelah luar lantas terdengar tertawa mengejek dari Low Beng dan Low Liang berdua! "In Tiong, jangan kau umbar hawa amarahmu!" Low Beng mengejek pula. "Kau berdiam di dalam dengan tenang untuk beberapa hari! Harap saja kau suka memberi maaf kepada kami yang tidak dapat melayani kamu!..." In Tiong mendongkol dengan tidak berdaya. Terang sudah kedua saudara Low itu hendak mengurung mereka supaya mereka kelaparan selama beberapa hari. Untuk kedua saudara Low, kebetulan saja mereka bertemu dengan In Tiong dan Keng Beng. Mereka baharu buron dari kota raja, disebabkan mereka merasa panas, mereka kuatir nanti kena dibekuk karena aksi dari Ie Kokloo yang berbareng dengan mengangkat raja baru telah menangkapi konco-konconya si dorna kebiri Ong Tjin. Mereka sering keluar masuk di gedung Ong Tjin, semua orang tahu mereka adalah kambratnya dorna kebiri itu, karenanya, mereka mendahului kabur. Adalah maksud mereka untuk pulang dulu ke rumah mereka, untuk mencari suatu pahala untuk nanti dibawa kepada bangsa Watzu kepada siapa mereka hendak menakluk, maka datangnya In Tiong berdua adalah sebagai kurban-kurban yang mengantarkan diri... Di dalam gelap itu, In Tiong meraba-raba. "Aku di sini," Keng Beng perdengarkan suaranya. Ia menduga si anak muda mencari padanya. Dengan tindakan perlahan, In Tiong mendekati, tangannya masih meraba-raba. "Aduh" tiba-tiba si nona menjerit. Karena si anak muda telah menyentuh lukanya. "Maaf!" In Tiong memohon. Lalu ia menambahkan: "Nona Tamtay, tidak harus disayangi jikalau aku mesti mati di sini, hanya aku menyesal, aku telah membawa kau ke tempat celaka ini..." Tadinya Keng Beng berniat menegur kesembronoan orang, akan tetapi mendengar suara orang yang halus, ia merasa tak enak sendirinya. "Bukan kau, aku justeru yang bikin kau celaka!" katanya cepat. "Sebenarnya, sendirian saja kau dapat menyingkir dari sini." In Tiong tak tenang hatinya. "Bagaimana dengan lukamu? “ ia tanya. "Sakitkah itu?..." "Oleh karena kita akan mati, tak perlu aku pedulikan rasa sakit atau tidak," jawab Keng Beng. "Bukan begitu," kata In Tiong. "Tidak ingin aku melihat kau bersengsara..." In Tiong berkata-kata tanpa melihat si nona, kecuali sinar matanya. Keng Beng berdiam. Semakin berkuranglah kesannya yang kurang baik terhadap si anak muda, tanpa merasa, hatinya tergerak oleh sikap orang yang halus dan memperhatikannya itu. Di tempat gelap itu, ia masih tundukkan kepalanya. "Coba kau buka bajumu," In Tiong minta. "Hendak aku pakaikan obat pada lukamu itu." Baharu sekarang si anak muda ingat akan luka orang itu. Sambil mengucap demikian, ia pun ulurkan tangannya perlahan-lahan. Ia menambahkan: "Kau pegang tanganku ini, kau bawa ke tempat yang luka itu." Keng Beng rasakan mukanya panas. Tetapi mereka berada di tempat gelap, ia anggap tidak ada halangannya untuk membuka bajunya. Ia pun memang seorang yang polos. Maka ia tidak tolak tangan In Tiong. Setelah membuka bajunya, ia bawa tangan sahabat itu pada lukanya. Nona ini tidak punyakan cuma satu luka. Luka yang pertama di bahu dan yang lainnya di punggung. Kedua luka itu diobati In Tiong, siapa merasakan kulitnya yang halus. Pemuda ini mendapat suatu perasaan aneh ketika tangannya menyentuh tubuh orang. "Kau muda dan gagah, kau pun telah berkedudukan tinggi," berkata si nona selagi orang mengobati dia, "kalau sekarang kau terbinasa secara begini kecewa, apakah itu tidak harus disayangi?" "Harta pusaka Thio Tan Hong, yang keselamatannya dibebankan kepadaku, hari ini mesti tiba di kota raja," sahut In Tiong. "Aku berbuat segala apa untuk negara, kalau untuk tugas sekecil ini aku mesti korbankan diriku, aku tidak menyesal." Kembali tergerak hati si nona, sejenak itu, kembali berkurang pula kesannya yang kurang manis terhadap pemuda itu. Di dalam hati kecilnya, ia berkata: "Anak ini agak kukuh, pandangannya pun agak cupat, akan tetapi dia mencintai negara dan polos, ia mempunyai bahagian-bahagian sifatnya yang baik..." Sementara itu, tanpa merasa, mereka sama-sama melewatkan sang waktu di dalam ruang yang gelap itu, entah sudah berapa lama, tatkala mereka dengar berisiknya suara kuda di arah luar. Terang sudah yang datang bukannya cuma satu penunggang. "Inilah hebat," berkata In Tiong. "Sekarang ini kota Pakkhia tengah dikurung musuh, yang datang ini mestinya tentera Watzu, ada kemungkinan besar kita bakal ditawan mereka... Apabila itu sampai terjadi, aku minta kau suka maafkan aku, tidak sanggup aku menolong kau terlebih lama pula, hendak aku bunuh diri, sebab tak sudi aku tertawan dan terhina!" Mendengar itu, sebaliknya dari kaget dan berkuatir atau berduka, Nona Tamtay justeru tertawa. "Jikalau kau terbinasa, apakah kau kira aku akan hidup sendirian saja?" demikian katanya. "Jikalau aku terus tinggal hidup, aku mensia-siakan pengharapan Thio Tan Hong!" In Tiong berpikir apabila ia dengar perkataan orang itu. Pun agak luar biasa lagu suaranya si nona selagi dia menyebut nama Tan Hong. Itulah lagu suara tak sewajarnya. "Kiranya dia lebih menghargai Tan Hong daripada aku," pikirnya pula. Suara kuda di luar terdengar datang semakin dekat, akhirnya tiba di muka rumah dan lalu berhenti. Menyusul itu terdengar tindakan kaki orang yang mendatangi. Tanpa merasa, In Tiong pegang tangannya si nona dan menyekalnya dengan keras, yang mana dibalas oleh si nona. Keduanya membungkam. Segera juga terdengar suara pertanyaan dari luar, suara yang kaku: "Siapa yang terkurung di dalam kamar rahasia ini?" Terkejut In Tiong, akan kenali suara itu. Ia segera berbisik di kuping si nona: "Dialah Tantai Mie Ming, pahlawan Watzu!..." "Ya, aku pun kenali suaranya itu," jawab Keng Beng. "Dialah kakakku sepupu. Pada bulan lima yang baharu lalu dia pernah datang secara diam-diam ke Souwtjioe, untuk beberapa hari dia tinggal bersama kita di Tongteng Santjhoeng." In Tiong heran dan beragu-ragu. Ia memang belum ketahui halnya keluarga Tamtay ini. Maka ia berpikir dalam hatinya: "Tantai Mie Ming gagah perkasa, jikalau aku tertawan dia, sudah pasti aku tak akan dapat kesempatan untuk membunuh diri..." "Kau jangan bersuara," Keng Beng kata dengan perlahan. Dia rupanya menyangka si anak muda akan mengucapkan sesuatu. "Hari ini kita tidak akan nampak bahaya. Coba kau dengar apakah katanya kakakku itu terhadap mereka?" Mereka dengar suaranya Low Beng: "Harap Tjiangkoen ketahui, orang-orang yang terkurung di dalam sini bukannya orang-orang biasa saja..." "Orang-orang macam apakah mereka itu?" Mie Ming tanya. "Pasti Tjiangkoen akan jadi girang sekali apabila aku mengatakannya, kata pula orang she Low itu. "Yang satu adalah In Tiong, Boetjonggoan baru. Dia pernah jadi tongnia dari Gielim koen. Ketika dulu Tjiangkoen datang ke kota raja, pasti Tjiangkoen pernah bertemu dengannya. Di dalam kalangan Gielim koen, dia sekarang ini cuma berada di bawahan Thio Hong Hoe. Bukankah dia seorang yang penting? Yang lainnya adalah satu nona, katanya ia ada punggawa suka rela yang datang dari Kangsouw. Tjiangkoen tahu, ia adalah satu nona yang cantik sekali! Sebenarnya aku telah merencanakan untuk mengurung mereka selama beberapa hari, kemudian akan aku bekuk dia, si nona sendiri hendak aku serahkan kepada Tjiangkoen, maka kebetulan sekali, sekarang Tjiangkoen telah tiba. Silakan Tjiangkoen ambil putusan sendiri mengenai mereka itu." "Satu nona yang datang dari Kangsouw?" Tantai Mie Ming tegaskan. "Tahukah kau she-nya?" "Belum sempat kami periksa dia, Tjiangkoen," jawab Low Beng. "Sekarang Tjiangkoen ada di sini, Tjiangkoen saja yang periksa dia itu. Umpama kata Tjiangkoen penuju nona itu, tinggallah dia di sini. Mengenai ini, tidak nanti aku buka rahasia terhadap Thaysoe..." Dengan Thaysoe itu, Low Beng maksudkan Yasian. Berani Low Beng dan Low Liang, mereka hendak persembahkan nona itu kepada kakaknya si nona sendiri! Mendengar itu, Tamtay Keng Beng mendongkol berbareng merasa lucu. Segera terdengar suaranya Tantai Mie Ming: "Baiklah, sekarang kamu keluarkan mereka, hendak aku melihatnya!" Boleh dibilang baharu panglima itu mengucapkan perkataannya, atau mendadak In Tiong dan Keng Beng dengar satu suara nyaring yang disusul dengan berputarnya ruangan dengan keras, lalu daun jendela terbuka. Maka sekejap saja mereka itu melihat pula sinar terang dari langit. Dengan lekas pintu pun terpentang. Hingga di muka pintu terlihat tubuh Tantai Mie Ming yang besar dan tegap, wajahnya dingin dan bengis. "Adakah ini mereka itu?" dia menegaskan. "Ya Tjiangkoen, benar mereka," jawab Low Beng. Ia terkejut ketika ia tampak wajah panglima itu, hingga ia menambahkan: "Eh eh, Tjiangkoen, apakah yang kurang beres?..." Pertanyaan itu belum habis diucapkan ketika Tantai Mie Ming, dengan kesehatannya yang luar biasa, sudah menyambar Low Beng dan Low Liang dengan kedua tangannya dan sebelum orang tahu apa-apa, kepala mereka telah diadukan satu dengan lain, hingga sambil keluarkan jeritan tertahan, tubuh mereka rubuh dengan bermandikan darah, sebab kepala mereka pecah, polonya berhamburan! Tamtay Keng Beng girang bukan kepalang, hingga ia lompat akan tubruk kakaknya itu sambil berseru: "Kokol" "Bukankah kau terluka panah?" kakak itu berkata. "Mari perlihatkan lukamu itu! — Ah, tidak apa-apa!" ia segera menambahkan. "Kali ini kau sangat menderita. Kau kurang pengalaman, kau telah terjebak dua saudara Low itu. Pasti kau kaget, bukan? Tapi anak muda menderita, ia dapat pengalaman, inilah baik juga sebagai latihan..." In Tiong berdiri melengak di samping. Ia awasi Keng Beng dan Mie Ming bergantian,tak dapat ia berkata suatu apa. Ia masih berdiam saja sampai Mie Ming berpaling kepadanya dan tertawa. "Saudara In Tiong, sungguh kebetulan!" demikian katanya. "Kita rupanya berjodoh maka di sini kita bertemu pula! Hanya kali ini kau tak usah mengadu jiwa lagi denganku..." Ia tertawa pula. Terus ia menanya lagi: "Saudara, kau telah datang ke Souwtjioe, apakah kau telah ketemu Thio Tan Hong?" "Ya, aku bertemu dengannya," sahut In Tiong, meski sebenarnya ia heran. "Apakah permusuhan di antara kamu kedua keluarga telah dapat dihapuskan?" Tantai Mie Ming tanya. Anak muda itu berdiam, ia tidak menjawab. Keng Beng sebaliknya, menggelengkan kepalanya terhadap kakaknya. Mie Ming berkata pula: "Ini adalah urusan kamu berdua keluarga, aku adalah orang luar, tak dapat aku mencampuri urusan itu, akan tetapi ingin aku memesan kau, bila kau nanti bertemu pula dengan Tan Hong, tolong kau sampaikan padanya agar ia melegakan hatinya, karena pengurungan atas kota Pakkhia sudah buyar dan angkatan perang Watzu dalam tempo beberapa hari lagi mungkin akan sudah berangkat kembali ke negerinya." Mendengar itu, girang Tamtay Keng Beng. "Ah, benarkah itu?" dia tanya. "Koko, adakah itu Yasian yang mengatakannya padamu?" "Tidak nanti dia dapat memberitahukannya sendiri hal itu kepadaku," jawab sang kakak. "Hanya aku melihat gelagat, tak dapat tidak, mesti dia bawa kembali pasukan perangnya itu. Sebenarnya aku tengah menerima titah dari Yasian itu, ialah dia yang menugaskan aku menjaga kota Ganboenkwan... Yasian kuatir tentera suka rela pihak Beng nanti memutuskan perjalanannya kembali, dia menitahkannya, sambil menjaga kota Ganboenkwan itu, aku harus memecah pasukanku untuk memapak dia. Sementara itu diam-diam aku telah kisiki Kimtoo Tjeetjoe supaya, di harian aku berangkat, dia datang menyerbu kota Ganboenkwan itu. Kemarin dahulu aku terima warta, bahwa tentera Watzu yang menjaga kota Ganboenkwan itu sudah bentrok dengan tentera suka rela di luar tembok kota, kesudahannya tentera itu telah dirusak separuhnya oleh Kimtoo Tjeetjoe. Yasian tidak menyangka tindak tandukku ini, dia hanya menduga, karena kepergianku tenaga tenteranya di Ganboenkwan menjadi kurang banyak, karena mana, tenteranya itu jadi kalah perang. Kekalahan itu membuatnya angkatan perang Watzu goncang. Sudah begitu, keadaan di dalam negeri pun nampaknya tak tenang. Aku lihat, tidak sampai setengah bulan, dia akan sudah mundur sendirinya." In Tiong dengar perkataan orang itu, dia berdiri menjublak. Sungguh ia tidak pernah sangka sikapnya Tantai Mie Ming ini, yang secara diam-diam sudah membantui pihak Beng. "Bagaimana sekarang dengan tjoekong kita?" Keng Beng tanya pula kakaknya. Dengan "tjoekong" yaitu "junjungan," Nona Tamtay maksudkan Thio Tjong Tjioe, ayahnya Tan Hong. In Tiong ketahui ini, ia menjadi bertambah heran, hingga jantungnya memukul. Nyata mereka ini sudah bicarakan musuh turunannya itu. Ia menjadi bingung. Tantai Mie Ming menyeringai sebelum ia menjawab adiknya itu. "Selama ini pikiran tjoekong kita itu kusut sekali," demikian penyahutannya. "Tak hentinya ia memikirkan soal merampas kembali kerajaan Beng, untuk itu ia menghendaki bangsa Watzu menduduki Tionggoan. Hanya ia bersangsi akan akibatnya nanti. Pikirannya itu tengah bertentangan sendiri. Tidak berhasil aku membujuk dia untuk bersabar dan menetapkan hati." Habis berkata, Mie Ming lihat langit. "Aku dititahkan Yasian untuk mengajak pulang Low Beng dan Low Liang," ia berkata pula, "sekarang tidak ada jalan lain, aku harus memberi laporan bahwa mereka telah terbinasa di tangan musuh. Sekarang hari sudah malam, aku mesti pergi." Ia pamitan dari adiknya dan In Tiong, terus ia bertindak keluar, akan mengajak orang-orangnya berlalu dari rumah kedua saudara Low itu. Selekasnya kakaknya dan barisannya pergi, Tamtay Keng Beng ajak In Tiong berlalu juga. Mereka menunggang kuda mereka, untuk kabur ke arah Pakkhia. Benar-benar kota Pakkhia sudah terlepas dari kurungan, di sekitar kota sampai beberapa puluh lie jauhnya, tidak terdapat seorang musuh jua. Mereka baharu melalui tiga puluh lie, lantas mereka bertemu dengan barisan Beng, yang lantas mengajak mereka masuk ke dalam kota, untuk segera bertemu dengan Tan Hong. Bukan main girangnya In Tiong. Sekarang ini telah lenyap pula beberapa bahagian dari rasa permusuhannya terhadap orang she Thio itu. Kata-kata Tantai Mie Ming tadi terhadap Nona Tamtay, membikin ia dapat melihat duduknya hal mengenai Tan Hong itu. Mie Ming sendiri nyatanya bukan musuh... Tentera suka rela sementara itu telah berbaris masuk ke dalam kota raja. Tibanya mereka itu saling susul. Ie Kokloo telah mengeluarkan barang-barang berharga dari Thio Soe Seng, untuk dijadikan uang, buat dipakai membeli rangsum dan lainnya. Di samping itu, ia telah periksa peta bumi dan memahami itu. Ia jadi bertambah bersemangat. Begitu, dalam beberapa pertempuran, ia terus peroleh kemenangan maka telah kejadian, setelah setengah bulan, angkatan perang Watzu telah mundur dari Ganboenkwan. Pada suatu hari, Ie Kokloo panggil Tan Hong dan In Tiong datang padanya. "Ada sesuatu yang berbahaya, apakah hiantit bersedia untuk melakukan itu?" ia tanya kedua anak muda sehadirnya mereka itu. "Apa yang thaydjin titahkan, meskipun untuk menyerbu api berkobar, tidak nanti kita tampik," Tan Hong berikan jawabannya. Ie Kiam berdiam sebentar. "Tadi malam aku telah menulis syair," kata ia kemudian. "Coba kau lihat dulu." Dan ia serahkan syairnya. Tan Hong menyambuti, terus ia membaca. Ia lantas manggut-manggut. Karena ia mengerti maksud kepala perang itu. Ie Kokloo telah melukiskan, bahwa perang sudah berhenti, kawanan dorna telah dibasmi, maka itu orang-orang yang berjasa dalam peperangan diberi anugerah. Ia mengharap ancaman di perbatasan telah lenyap, supaya tak timbul lagi peperangan. "Bagus," Tan Hong memuji. "Bukankah maksud thaydjin untuk membuat perdamaian dengan bangsa Watzu?" "Benar," jawab Ie Kiam. "Di kolong langit ini tidak ada peperangan yang tidak dapat di akhiri. Sekarang kita sudah peroleh kemenangan, inilah waktunya untuk merundingkan perdamaian. Untuk kita, itu bukannya suatu hinaan. Taysianghong berada di negara asing, sudah selayaknya kita menyambut ia pulang. Di hati kecilnya, Tan Hong terkejut juga mendengar, niatnya Ie Kokloo ini. Ia berpikir: "Kokloo berniat menolongi taysianghong dapat pulang ke dalam negeri, tetapi sekarang sudah ada raja baru, dengan pulangnya taysianghong, dikuatirkan dia tak akan mengerti ihtiarnya Kokloo ini. Bukankah Kokloo jadi menghadapi ancaman malapetaka?" Ie Kiam rupanya melihat kesangsian anak muda itu. "Hiantit, niatku sudah pasti!" dia kata. "Tak dapat diubah lagi niat itu. Tentang perseorangan, berhasil atau gagal, kemulian atau kehinaan, itulah bukan soal yang berarti banyak, akan tetapi raja negara kita yang besar, ia tidak dapat dibiarkan selamanya menjadi tawanan di negeri musuh. Sekarang ini pergilah kamu selidiki terlebih dahulu, sesudah itu baharu aku akan kirim utusan untuk pergi mengadakan perundingan, guna akhirnya menyambut Taysianghong pulang. Kita ketahui cita-cita Yasian besar, aku kuatir setelah kekalahannya nanti dia datang menyerbu untuk kedua kalinya. Dengan kepergianmu ini hiantit, kau juga boleh sekalian berdaya bersama ayahmu untuk mengajak Pangeran Atzu mencoba mempengaruhi Yasian, agar dia tidak sampai bergerak pula. Ini juga merupakan satu jasa besar untukmu." Tan Hong berpikir sebentar, segera ia berikan jawabannya. "Baiklah, besok akan aku berangkat!" kata dia. "Sebenarnya aku berniat tidak akan kembali ke Watzu, akan tetapi untuk urusan ini, biar mesti menghadapi golok dan gergaji, akan aku pergi juga. Thaydjin, apakah aku harus pergi seorang diri?" "Aku telah bicara dengan In Tiong untuk In Loei pergi bersama kau," sahut Ie Kokloo. "Aku dengar kamu berdua mempunyai kepandaian silat dengan pedang Siangkiam happek benarkah itu?" "Itulah benar, selama ini belum pernah kami menemui lawan yang tangguh," jawab Tan Hong. "Hanya dengan dia turut bersama, itulah terlebih baik pula. Jadi bila kami, umpama kata bertemu musuh yang lebih tangguh, dapat kami menghadapinya." Ie Kiam bersenyum. Itulah senyuman yang berarti... Besoknya, Thio Tan Hong dan In Loei berangkat berdua. Mereka akan menempuh jarak yang jauh, hati mereka masing-masing terbuka sekali. "Adik kecil," kata Tan Hong sambil tertawa di tengah jalan, ketika dulu kita berangkat dari Kangsouw menuju ke Pakkhia, kau pernah bicara dari hal sulitnya perjalanan yang sukar, sekarang kita berangkat menuju ke Watzu, perjalanan ini lebih jauh lagi..." In Loei bersenyum. "Toh ada harinya yang perjalanan itu dapat dilakukan hingga ditujuannya?" ia jawab. Tan Hong tertawa, ia lantas bersenanjung: "Di dalam hidupnya, manusia tidak sedikit mengalami perjalanan yang sulit dan berbahaya, maka orang mesti menerjang es melawan hawa dingin untuk melanjutkan perjalanannya itu. Demikian dengan kita sekarang ini, berapa banyak perjalanan sukar yang mesti dilintasi, dari itu, mana ada hari yang dapat di akhirkannya?..." Hati In Loei bercekat. Mengertilah ia maksud kata-kata Tan Hong ini. Orang hendak minta supaya ia menjadi teman sehidup semati. Tentu saja ia bersyukur akan cinta orang itu. Akan tetapi hatinya menjadi ciut ketika ia ingat pesan atau permintaan kakaknya, untuk mana ia telah berikan janjinya. Maka ia merasa suram akan penghidupannya nanti. Terpaksa, ia berpura-pura kurang mengerti. Ia pun paksakan diri untuk bersenyum. "Oh, sioetjay kutu buku!" katanya, menggoda. "Sudahlah, jangan kau main bersenanjung saja! Jikalau kau tidak lekaskan perjalanan kita ini, apabila kita memperlambat hari, aku kuatir, sebelumnya kita tiba di Kwangwa, salju sudah akan turun secara besar-besaran! Kalau itu sampai terjadi, baharu benar-benar kita menerjang es dan melawan hawa dingin!...” Tan Hong tertawa. Si nona pun tertawa. Demikian tidaklah sunyi mereka di tengah perjalanan, cuma setiap kali si pemuda bicara tentang hari kemudian mereka berdua, si pemudi senantiasa mengelakkan diri. Itu hari tibalah mereka di Yangkiok. Habis perang, kota menjadi sepi sekali, sebahagian dari toko-toko belum dibuka pula. Tapi Tan Hong girang juga ketika ia saksikan rumah makan di mana ia untuk pertama kali bertemu dengan In Loei, rumah makan itu masih mengibar-ngibarkan bendera mereknya. "Adik kecil, masihkah kau ingat rumah makan itu?" dia tanya kawan seperjalanannya. "Seumurku, tak nanti kulupakan itu!" sahut In Loei. Tan Hong tertawa. "Oh, adik kecil!" katanya dalam keriangan hatinya. "Bagus sekali, ingatanmu dan ingatanku ada serupa..." "Ah, ingatan apa sih?" In Loei potong. "Tak dapat aku melupakannya yang di dalam rumah makan itu kau telah mencuri uangku, hingga hampir saja aku mendapat malu..." Tan Hong tercengang. Itulah jawaban yang ia tidak harapkan. Tapi sebentar saja, atau ia sudah tertawa pula. "Sudahlah, jangan kita adu mulut..." katanya. "Kita telah tiba di tempat yang lama, tak dapat kita melupakan kejadian-kejadian yang telah berlalu itu, marilah kita minum arak, untuk memuaskan hati kita. Adik kecil, kau jangan kuatir, kali ini akulah yang undang tetamu, tidak nanti aku membiarkan kau dahar pula tanpa membayar!..." Gembira In Loei mendengar orang menyebut-nyebut kejadian sudah lewat itu, ia lirik si anak muda, ia tertawa. "Jikalau kau berani mengulangi mempertunjukkan kepandaianmu tangan liehay," katanya, "lihat, akan aku patahkan lenganmu..." Kembali keduanya tertawa, mereka saling pandang. Segera mereka sampai di depan rumah makan, keduanya turun dari kuda, untuk menambat binatang tunggangan mereka, habis mana, mereka bertindak masuk ke dalam rumah makan itu. Masih mereka saling lirik dan bersenyum. Rumah makan itu tidak banyak tetamunya, ini pun menandakan akibatnya bahaya perang. Tan Hong masih ingat tempat duduk mereka yang dulu, yaitu di meja di sebelah selatan yang menghadapi jendela, maka ia ajak In Loei ke meja yang dahulu itu. Ia lantas panggil jongos, untuk minta dua poci arak serta daging dua setengah kati. Begitu lekas arak disajikan, ia lantas saja tenggak tiga cawan. "Dahulu ketika aku duduk minum seorang diri di sini," kata dia menimbulkan soal lama. "Kau juga ada bersendirian, adik kecil. Ingat benar aku itu hari, kau senantiasa melirik aku, tetapi sekarang, bagus sekali, kita sekarang berada berdua! Sekarang, adik kecil, tak usah lagi kau tiap-tiap kali mengalihkan pandanganmu kepadaku!...” Jengah juga In Loei mendengar kata-kata orang itu. Tetapi ia tidak menjadi gusar karena ia tahu pemuda itu tengah bergurau. "Bicara perlahan sedikit!" tegurnya. "Siapakah yang tiap-tiap kali melirikmu? Hari itu aku berpaling kepadamu karena tingkah polamu lucu dan juga ada orang jahat yang mengintai padamu tanpa kau mengetahuinya. Memang aku sering menoleh kepadamu, disebabkan tingkah lakumu itu! Hanya aku tidak menyangka, kau justeru hendak mempermainkan aku. Sudahlah, urusan lama jangan ditimbulkan pula. Bicara tentang itu, sekarang panas hatiku terhadapmu..." Tan Bong bersenyum, ia menatap. "Benarkah itu?" dia menegaskan, separuh main-main. In Loei kewalahan. "Ah, kau jail sekali!" katanya. "Buruk hatimu..." "Eh, apakah itu benar?" tanya Tan Hong. "Kalau begitu, pastilah aku menjadi kakakmu sang busuk hatinya..." "Sudahlah!" kata si nona, akhirnya. "Kalau tetap kau menggoda aku, nanti aku tak sudi bicara lagi denganmu..." Tan Hong irup araknya. Ia tertawa pula. "Aku ingat kedua penjahat yang hari itu mengarah aku," kata dia, "mereka itu duduk di situ, di sebelah timur..." Ia menoleh ke arah yang ia sebutkan. Di sana justeru duduk seorang imam yang jubanya hijau, yang romannya seperti bukan imam sembarang imam. In Loei pun berpaling ke arah itu. "Kali ini dia bukannya jahat!..." katanya sambil tertawa. Ia pun keringkan cawannya. Di mulutnya, In Loei bilang tak ingin membicarakan soal-soal lama, akan tetapi sekarang ia berada di tempat dahulu itu, mau atau tidak, teringat segala, seperti berpeta apa yang mereka tampak dahulu itu. Begitulah ia ingat, dapat ia membayangkan saat-saat pertemuannya pertama kali dengan Tan Hong. Maka juga hatinya jadi bekerja. "Dulu aku berkesan menjemukan terhadap dia, aku tidak sangka, sekarang dia menjadi sahabatku yang kekal," demikian ia berpikir. "Yang lebih-lebih aku tidak sangka, dia justeru musuh besarku. Koko-pun sangat membenci dia. Benar-benar di dalam hidup manusia terdapat banyak hal yang tak disangka-sangka semulanya..." Kembali si nona ceguk araknya. Dengan jalan ini ia mencoba akan melenyapkan kenang-kenangannya itu, karena mana, dapat ia minum, dahar dan pasang omong dengan gembira bersama Tan Hong. Karena ini, tanpa merasa juga, ia telah tenggak beberapa cawan. "Adik kecil," kata Tan Hong pula. "Lagi sepuluh lie dari sini adalah dusun Hektjio tjhoeng, maka itu, inginkah kau menemui mertuamu?" In Loei melengak. Tidak ia sangka, sahabatnya ini menimbulkan soal itu. Maka ia lantas ingat pernikahannya dengan Nona Tjio Tjoei Hong dan apa yang terjadi pada malam pengantin itu. Tiba-tiba ia merasa lucu, hampir ia semburkan araknya. Ia tertawa. Tan Hong bersenyum, ia mengawasi. "Kasihan isterimu yang cantik itu, yang telah menantikan kau sampai hari ini," kata dia, romannya sungguh-sungguh. "Sekian lama dia tungkuli nama isteri kosong belaka... Setelah sekarang habis perang, sudah selayaknya kau pergi menjenguk dia, supaya hatinya menjadi lega..." Tergerak juga hatinya In Loei mendengar disebutnya Tjoei Hong. Ia jadi ingat cintanya Nona Tjio itu terhadapnya. "Benar, sudah selayaknya aku pergi menengok dia," ia berpikir. "Hanya, perlukah aku membuka rahasia terhadapnya tentang diriku sendiri?" Ia menjadi bersangsi. Dahulu ia suka menikah dengan Tjoei Hong karena terpaksa, untuk meloloskan diri, ia tidak nyana, nona itu demikian keras menyintai ia, ia dipandang sebagai suami yang benar-benar dapat diandalkan. Sekarang, setelah dapat pengalaman, lain lagi perasaannya. Ia tidak lagi seperti dulu, yang masih hijau. Dahulu ia anggap menyamar sebagai pemuda, habis perkara, tak pernah ia pikirkan akibatnya di belakang hari. Karena ini, ia angkat kepalanya, ia pandang Tan Hong. Pemuda itu pun tengah mengawasi si nona, wajahnya seolah-olah berseri-seri... "Eh, mengapa kau tertawa?" si pemudi menegur. "Bukankah kau pun pernah menyamar menjadi wanita, malah hampir saja kau menikah dengan puterinya Yasian itu?" Tan Hong tertawa. "Aku belum sampai menikah!" katanya, menggoda pula. "Sudahlah!" kata nona In akhirnya. "Mari lekas minum, habis kita pergi menengok dia, hendak aku menutur segala apa dengan terang kepadanya. Sayang kita sekarang tak ketahui Tjioe San Bin ada di mana..." "Hai, kau lucu!" kata Tan Hong. "Urusanmu sendiri masih belum beres, kau sudah memikir untuk menjadi comblang! Sekarang aku tanya kau, kau hendak salin pakaian atau tidak? Awas, kalau nanti Nona Tjio lihat kau, bisa-bisa dia gerembengi pula padamu!..." In Loei tunduk, memandang pakaiannya sendiri. Sejak berangkat dari kota raja, ia memang telah dandan pula sebagai satu pemuda. Ia menjadi tertawa sendirinya. "Kau omong perlahan sedikit..." ia peringatkan pula sahabatnya itu. "Kau lihat, si imam agaknya memperhatikan kita..." Tapi Tan Hong menyahuti seenaknya saja. "Nah, mari kita berangkat!" kata dia kemudian, sambil berbangkit. Ia hendak mendahulukan membayar uang santapan mereka. "Aku tidak inginkan kau yang membayar!" Ia sudah lantas merogo sakunya, atau mendadak ia menjadi melengak. Tangannya itu masuk ke dalam saku yang kosong — uangnya sudah terbang tanpa sayap! "Ah, toako, kembali kau godai aku!" katanya kemudian pada Tan Hong. "Lekas kau kembalikan uangku!" Sambil mengucap demikian, ia menoleh kepada si imam, siapa justeru sudah berdiri di sampingnya. Tan Hong tidak menyahuti kawannya, hanya sambil berlompat bangun, ia terjang imam itu. "Di kolong langit yang begini terang benderang kau berani menjadi bangsat?" ia mendamprat. Imam itu menangkis dengan sebat, enteng dan gesit gerakan tangannya. "Hai, kau berani lancang memukul orang?" tegurnya. In Loei terkejut melihat kesebatan orang itu. Memang luar biasa serangan Tan Hong yang dapat ditangkis secara demikian. Hampir ia lompat untuk membantui kawannya, baiknya dapat ia bersabar. Tan Hong tidak berhenti karena tangkisan itu. "Ah, kiranya kau satu ahli?" katanya, sambil menyerang pula. Ia berlaku sangat sebat, hingga dapat ia sambar apa yang ia arah, ialah kantong uangnya In Loei. "Apa kau hendak katakan sekarang?" dia tanya pula. "Di sini ada buktinya!" Imam itu melejit, tetapi Tan Hong sambar bajunya, hingga "Bret!" pecahlah ujung jubahnya. Imam itu mencoba meloloskan diri dengan kelitan "Kimsian toatkok" atau "Tonggeret melepaskan sarung tubuhnya." Ia tidak pedulikan ujung jubah pecah, terus ia lompat ke jendela, untuk kabur. Tuan rumah makan lihat orang lari. "Eh, eh, uang makanmu!" dia teriaki. "Ada orang jahat! Ada orang jahat! Ia lantas berteriak-teriak pula. Tan Hong buka kantong uangnya, untuk mengeluarkan sepotong perak, yang ia letakkan di atas meja. "Semua akulah yang bayar!" dia kata kepada tuan rumah. Potongan perak itu, meski dibayarkan sekalian pada uang makan si imam, masih ada kelebihannya, maka itu, girang tuan rumah itu, tetapi, ketika ia hendak haturkan terima kasihnya, Tan Hong sudah menarik tangan In Loei untuk diajak lari keluar dengan jalan melompati jendela juga! Itu waktu, sedikit sekali orang berlalu lintas di jalan besar, si imam terlihat tengah melarikan dirinya sambil menunggang kuda, dia sudah mulai keluar dari pintu kota. Tan Hong lari kepada kudanya, terus ia lompat naik di bebokongnya. "Mari kita kejar dia!" ia ajak In Loei. "Kantong uang telah didapat kembali, untuk apa melayani dia itu" In Loei tanya. "Bukan begitu," kata Tan Hong. "Dia liehay, dia bukannya penjahat sembarang! Hendak aku selidiki tentang dirinya!" Tjiauwya saytjoe ma pun segera meringkik dan kabur. Menampak demikian, terpaksa In Loei larikan kudanya, untuk menyusul. -ooo00dw00ooo- Bab XXII Kuda Tan Hong adalah kuda jempolan, kuda In Loei — hadiah dari Ie Kiam — juga adalah kuda pilihan, maka itu, dalam sekejap saja keduanya sudah berada di luar kota kecamatan Yangkiok itu, lantas mereka candak si imam, yang telah melarikan kudanya. "Berhenti!" teriak Tan Hong kepada imam itu. Heran agaknya si imam, dia menoleh, tetapi segera dia tertawa besar. "Kau tahu aku kekurangan uang untuk ongkos perjalanan, apakah kau hendak mengantarkan aku?" dia tanya, sikapnya wajar. Tan Hong tidak pedulikan sikap orang berlagak pilon itu. "Di rumah makan ada banyak orang, tidak merdeka untuk bicara di sana," ia jawab. "Tootiang, apakah sampai di sini masih kau hendak bergurau?" Imam itu perlihatkan roman suram secara mendadak. "Siapa main-main denganmu?" dia kata. "Jikalau tootiang tidak main-main, aku minta kau memberi keterangan tentang dirimu kepadaku," Tan Hong minta. "Selama hidupku aku mencopet, belum pernah aku gagal", berkata imam itu, "sayang hari ini, aku telah dipergoki kau. Uangmu telah aku bayar kembali, apa perlunya kau susul aku? Bukankah itu berarti bahwa kau, tuan besar yang mempunyai banyak uang, hendak mempermainkan aku? Hm, hm! Baik kau rasakan pedangku ini!" Dia berkata dengan wajar, tidak mirip dia hendak bergurau, setelah itu segera dia hunus pedangnya, untuk lantas menikam dengan tikaman "Kimtjiam inshoa" atau "Jarum emas memimpin benang." Tan Hong berkelit, atas mana, tiga kali ia diserang saling susul, hingga ia mesti terus-menerus mengegoskan diri, tetapi karena ini, ia lihat ilmu pedang orang mirip dengan ilmu pedang Lianhoan Toatbeng kiam dari Boetong Pay. Ia menjadi heran. Si imam masih tidak puas, masih ia keluarkan kata-kata yang tak sedap didengar. "Kau andalkan kudamu yang keras larinya, apakah itu perbuatan satu enghiong?" (Enghiong = orang gagah, satu laki-laki). Heran Tan Hong atas kelakuan orang yang jumawa itu. "Mungkinkah dia hendak mencoba-coba ilmu pedangku?" ia dapat pikiran. Maka terus ia lompat turun dari kudanya, akan segera menjawab: "Baiklah, akan aku temani tootiang untuk beberapa jurus..." Imam itu sudah lantas lompat turun dari kudanya, sambil berlompat, ia menghampiri si anak muda, maka itu, begitu menginjak tanah, ia bisa mendahului dengan tikamannya ke arah jalan darah hoenboen hiat dari Tan Hong. Tentu saja anak muda itu menjadi mendongkol, karena ia kenali tikaman yang berbahaya itu, maka setelah menangkis dengan "Hengkee kimliang" atau "Melintangkan penglari emas," ia lantas membalas dengan "Kimtjiam hielong" atau "Kodok emas membuat main gelombang," disusul dengar dua tikaman lainnya, hingga si imam jadi kaget juga. Sebab ketiga tikaman itu mengarah bahagian-bahagian tubuh yang berbahaya. "Sungguh liehay!" dia berseru. Dengan gesit ia elakkan dirinya, habis mana, lagi sekali ia menyerang. Diam-diam Tan Hong kagumi ilmu silat pedang orang itu. "Dia jauh terlebih liehay daripada Siong Sek Toodjin," ia berpikir. "Ia mesti salah satu ahli silat dari Boetong Pay." Oleh karena ini, Tan Hong lantas melayani terus dengan perhatian. Ia segera keluarkan ilmu pedang "Pekpian Hian Kee Kiamhoat-nya," maka berbareng dengan kelincahannya, kegesitannya, ia menikam dan membabat dengan berulang-ulang, ke segala arah, ke delapan jurus. Imam itu melepaskan napas lega setelah ia dapat membela diri dari pelbagai serangan yang berbahaya itu, ia baharu hendak melakukan pembalasan, atau di luar dugaannya, si anak muda kembali menyerang padanya, dengan tikaman "Inheng Tjinnia" atau "Mega melintang di atas bukit Tjinnia" yang diubah menjadi sabatan "Soatyong Lankwan" atau "Salju menindih kota Lankwan." Bukan kepalang kagetnya imam itu. Repot ia berkelit. Tidak urung, kopiah keimamannya tersabet juga hingga putus bahagian atasnya. Ia menjerit bahna kagetnya, ia mundur hingga beberapa tindak. "Hai, pantas Siong Sek Soetee telah menderita kekalahan hingga dia bersumpah tak hendak menggunakan pedang lagi!..." ia pun berseru. Mendengar seruan itu, Tan Hong ingat kepada Siong Sek Toodjin, yang diakui si imam sebagai soetee (adik seperguruan). Siong Sek Toodjin adalah si imam yang telah membantu See To ayah dan anak mencoba merampas kudanya si anak muda, karena mana dia dikalahkan anak muda itu. Maka anak muda itu jadi heran. "Tootiang," ia menanya sambil menahan pedangnya, "adakah kau bermaksud menuntut balas untuk Siong Sek Toodjin?" Imam itu tertawa berkakakan. "Untuk urusan kecil itu aku hendak menuntut balas?" sahutnya. "Sungguh aku tidak kebanyakan tempo! Melihat kudamu, menyaksikan ilmu pedangmu ini, kau mestinya Thio Tan Hong. Syukur aku telah mencoba-coba kepadamu, jikalau tidak, pasti sekali kau akan jadi penasaran. Aku tanya kau, bukankah kau hendak pergi ke Heksek tjhoeng?" Tan Hong heran. Ia tetap tidak melanjutkan serangannya. "Apa kau bilang?" ia tanya. "Tidak apa-apa," jawab imam itu. "Hanya, kalau benar kau hendak pergi ke Heksek tjhoeng, di sana kau tidak akan dapat menemui Hongthianloei!" "Jikalau dia tidak berada di Heksek tjhoeng, habis di mana?" Tan Hong tanya. "Dia berada di dalam pesanggrahan See To yang menjadi saudara angkatnya," si imam menjawab dengan keterangannya. Persahabatan antara Tjio Eng dan See To memang kekal sekali, akan tetapi sejak Tjio Eng "menikahkan" puterinya dengan In Loei, persahabatan itu menjadi renggang. See To dan puteranya menjadi tidak senang, sebab mereka merasa diri mereka seperti dihina. Mendengar keterangan itu, Tan Hong bersangsi. "Benarkah keteranganmu ini, tootiang?" ia tegaskan. "Untuk apa aku mendustai kau?" imam itu balik menanya. "Sekarang ini See To tengah mengundang banyak sekali orang-orang kaum Rimba Hijau, di antaranya termasuk pintoo, namun pintoo tak sudi memenuhi undangan itu. Pintoo telah menolak undangan dengan menuliskan penolakan itu di kaki gunung, habis itu pintoo lantas berlalu. Kebetulan saja di atas gunung itu, pintoo bertemu Tjio Eng." "Bagaimana dengan anak perempuannya?" In Loei tanya. Ia campur bicara secara tiba-tiba setelah lama membungkam saja. Si imam tertawa. "Tentu saja ia berada bersama ayahnya!" sahutnya. "Eh, engko kecil, ada urusan apakah di antara kau dan mereka itu hingga kau menanyakan halnya si nona Tjio itu?" "Aku mohon bertanya, tootiang, apakah gelaran mulia dari tootiang?" Tan Hong memotong In Loei, hingga kawannya tak sempat menjawab. "Pintoo adalah imam dari Boetong San," sahut imam itu. "Namaku Tjek Hee." "Oh, kiranya Tjek Hee Tootiang." kata Tan Hong. "Telah lama aku dengar nama besar dari tootiang," Dengan mengatakan demikian, pemuda ini bukan cuma berlaku hormat menurut keharusan, ia hanya omong dengan sebenarnya, sebab Tjek Hee Toodjin ini memang salah satu imam kenamaan dari Boetong Pay. "Masih ada satu hal yang pintoo dengar di tengah jalan," berkata pula imam dari Boetong San itu, "hanya entahlah kabar itu benar atau dusta..." "Kabar apakah itu, tootiang?" "Kabarnya ketika angkatan perang Watzu menduduki wilayah ini, See To ayah dan anak mempunyai perhubungan dengan tentera asing itu," terangkan Tjek Hee. "Inilah sebabnya kenapa pesanggrahan See To itu utuh hingga sekarang." Tan Hong terperanjat. Inilah kabar penting, yang ia tidak sangka. Ia memang belum pernah dengar kabar itu. "Bagaimana dengan Tjio Eng?" ia tanya. "Sampai begitu jauh, pintoo tidak tahu," jawab Tjek Hee. "Sebetulnya pintoo berniat menyampaikan kabar mengenai See To itu kepada Tjio Eng, sayang ia selalu didampingi orangnya See To hingga pintoo tak mendapat ketika." Tan Hong kaget hingga ia berseru sambil mencelat. "Tootiang, terima kasih untuk kebaikanmu ini!" ia mengucap sambil menjura, setelah mana ia beri tanda kepada In Loei, terus ia lompat naik ke atas kudanya, lalu ia kaburkan binatang itu. In Loei menurut, akan tetapi ia kurang mengerti. "Bagaimana kau pikir tentang imam itu?" ia tanya. "Menurut keterangan imam itu, mestinya See To dan anaknya itu mempunyai maksud tertentu dan mereka sedang mengatur tipu daya," jawab Tan Hong. "Mungkin mereka sedang pancing Tjio Eng supaya Tjio Eng terjebak. Imam itu mencoba kita selagi kita berada di rumah makan tadi, untuk mengetahui kita sebenarnya siapa, dengan perbuatannya itu ia rupanya hendak menunjukkan kita jalan supaya kita menolongi Tjio Eng." In Loei kaget juga. "Apakah benar Tjio Eng tengah menghadapi bencana besar?" ia tanya. Tan Hong tidak berikan penyahutannya, dia hanya berkata: "Karena kita mempunyai kuda yang keras larinya, mari kita pergi dahulu ke Heksek tjhoeng untuk melihat-lihat, apabila benar-benar Tjio Looenghiong tidak ada di rumahnya, kita mesti pergi terus kepada See To untuk membuat perhitungan." In Loei tidak punya pikiran lain, ia menurut saja. Maka itu, keduanya kaburkan keras kuda mereka. Tidak sampai setengah jam, tibalah mereka di Heksek tjhoeng. Mereka tampak pintu pekarangan dipentang lebar dan dari sebelah dalam mereka dengar suara berisik campur aduk. Dengan lantas mereka hunus pedang mereka, untuk memasuki pekarangan. Dua orang yang dandannya seperti tauwbak gunung muncul untuk menghalangi. Tan Hong dan In Loei tidak sudi dirinya dirintangi, mereka serang kedua tauwbak itu. Baharu dua tiga jurus, kedua perintang itu sudah kena dirubuhkan. Maka itu, keduanya lantas maju terus. Suara berisik di dalam itu adalah suara pertempuran. Nyata Heksek tjhoeng sedang diserbu, dari sepuluh bagian penghuninya, hampir sembilan sudah tidak berdaya, mereka itu sudah terbelenggu. Tinggal beberapa di antaranya, yang mengerti silat, masih bertempur dengan sejumlah tiauwto. Dengan memberi tanda kepada In Loei, Tan Hong lompat turun dari kudanya, untuk menerjang kawanan liauwlo itu, ialah serdadu gunung. In Loei lantas menuruti perintah itu. Kali ini mereka simpan pedang mereka, mereka gunakan tangan kosong. Tidak ada perlawanan yang berarti dari rombongan liauwlo itu, belum sampai setengah jam, mereka sudah ditotok hingga semua mati kutunya. Di pihak lain, semua tjhoengteng sudah lantas ditolongi hingga mereka mendapat kemerdekaannya kembali. "Sebenarnya, apakah yang telah terjadi?" Tan Hong tanya satu tjhoengteng. "Tadi tjhoengtjoe berangkat, belum ada setengah jam, lalu muncul kawanan penjahat ini," demikian tjhoengteng itu berikan keterangannya. "Mulanya kami menyangka mereka adalah orang-orangnya See To, yang memang bersahabat dengan tjhoengtjoe, kami ijinkan mereka masuk. Di luar dugaan kami, mereka lantas menyerang. Kejadian ini adalah suatu hinaan untuk Heksek tjhoeng, kalau tjhoengtjoe nanti mendapat tahu, pasti jiwa mereka ini tidak akan diberi ampun!" Tan Hong bebaskan satu tauwbak. "Apakah Toh See To yang suruh kamu datang kemari?" ia tanya tauwbak itu. "Untuk apakah perbuatan kamu ini?" Tauwbak itu berkepala batu, dia tidak mau bicara, dia membungkam saja. Tan Hong bersenyum. Ia totok iga orang. "Kau hendak bicara atau tidak?" ia menanya. Mulanya si tauwbak cuma kaget, setelah itu barulah dia berjengit. Lekas sekali dia rasakan seluruh tubuhnya sakit, bagaikan ditusuki jarum. Tentu saja, tidak dapat dia berkepala batu terus. Sekarang ia minta ampun. Tan Hong tidak segera melayani, ia hanya bersenyum kepada In Loei dan berkata: "Tidak ada niatku untuk menyiksa dia ini, tetapi untuk menghadapi manusia hina semacam dia, rupanya tidak ada lain jalan lagi, hingga aku jadi tidak berdaya." "Kami dititahkan See Tjeetjoe," tauwbak itu mengaku sambil menahan sakitnya. "Kami dititahkan menyerang Heksek tjhoeng, untuk kemudian mengangkut semua harta bendanya, guna dibawa pulang ke pesanggrahan kami. Kami pun dipesan untuk mengambil semua gambar lukisan dan jangan sampai ada yang tertinggal sehelai pun..." Mendengar ini, Tan Hong lantas berpikir. "Terang sudah, See To tidak saja hendak merampas harta benda," demikian pikirnya. "Diapun menghendaki semua gambar, tentunya dia anggap peta bumi yang berharga itu mesti masih ada di dalam rumah ini. Yang aneh, kenapa dia juga ketahui tentang peta bumi itu?" "Eh, toako, kau sedang pikirkan apa?" tanya In Loei, yang melihat orang berdiam saja, rupanya otaknya sedang bekerja. "Benarlah apa yang dikatakan Tjek Hee Too-tiang," jawab Tan Hong. "Tidak salah lagi, See To telah berkongkol dengan bangsa Watzu." Ia lantas totok bebas si tauwbak, setelah mana, ia kata pada pengurus rumah Heksek tjhoeng: "Kau belenggu penjahat ini, tunggu sampai nanti tjhoengtjoe kamu pulang untuk mengambil putusannya." Pengurus rumah itu terima pesan tersebut, atas mana tanpa berayal lagi, Tan Hong ajak In Loei larikan kuda mereka menuju Lioktjiang San, ialah bukit di mana See To berdiam, yang letaknya tidak berapa jauh dari Heksek tjhoeng, cuma kira-kira tiga puluh lie. Belum sampai setengah jam, tibalah mereka di bukit itu. Dari kaki bukit tertampak, pesanggrahan See To yang panjang dan berliku-liku bagaikan tubuh naga, kecuali bentengan, di situ pun terdapat banyak pohon kayu yang besar-besar dan tinggi. Maka itu, bagus letaknya bukit itu. Setelah turun dari kuda mereka, Tan Hong dan In Loei bertindak mendaki. "Siapa kamu?" begitu mereka ditegur satu /iauwlo, serdadu gunung, yang membuat penjagaan. "Kami adalah tetamu yang diundang tjeetjoe kamu," sahut Tan Hong. "Coba perlihatkan surat undangannya," serdadu gunung itu minta. "Kau sambuti ini!" kata Tan Hong seraya mengangsurkan tangannya dengan cepat. Liauwlo itu mengawasi, ia tidak lihat suatu apa, justeru ia hendak menanya lagi, tiba-tiba ia menjerit, tubuhnya lantas rubuh pingsan. Tan Hong telah menyerang orang dengan jarum rahasianya, jarum mana apabila mengenai jalan darah, membuat orang tak sadar akan dirinya selama dua belas jam, sesudah itu, orang dapat mendusi sendirinya. Dengan rubuhnya liauwlo itu, rintangan sudah tidak ada lagi, maka dengan menggunakan kengsin soet, ilmu entengkan tubuh, dengan pesat Tan Hong dan In Loei lari mendaki bukit Lioktjiang San itu. Mereka pun dapat melalui beberapa tempat jagaan lainnya. Di mana dapat, mereka menghindarkan diri dari /iauwlo-liauwlo penjaga itu, kalau tidak, Tan Hong terpaksa gunakan jarumnya untuk membikin orang tidak berdaya. Karena ini, dengan lekas mereka telah sampai di atas gunung. "Tempat ini berbahaya, hati-hati!" Tan Hong pesan kawannya setibanya mereka di suatu bahagian bukit, di mana sudah tidak ada jalan lain kecuali, batu panjang yang melonjor bagaikan jembatan tunggal. "Mari kita maju terus!" Pemuda itu bertindak di jembatan batu itu, In Loei mengiringi ia. Baharu saja mereka sampai di tengah-tengah jembatan istimewa itu, lantas mereka dengar mengaungnya anak-anak panah, yang menyambar dari arah belakang mereka. In Loei lantas hunus pedangnya, yang ia putar, untuk menjatuhkan setiap anak panah. "Segala panah tidak keruan, apa gunanya?" kata dia sambil tertawa. Kata-kata si nona belum habis diucapkan ketika dari samping, di antara batu gunung, lompat seorang ke arahnya. Tan Hong lihat orang itu, ia menyambut dengan pedangnya, tetapi segera ia merasakan tenaga orang yang besar, karena telapak tangannya dirasakan panas. Orang itu pun sudah lantas menaruh kaki di antara ia dan In Loei, yang mencoba menjatuhkan. Dalam saat berbahaya itu, sekonyong-konyong Tan Hong menjerit tajam, tubuhnya menyusul terhuyung. In Loei lihat keadaan kawannya itu, saking kaget, ia berteriak. Orang yang baharu datang itu juga lihat Tan Hong, ia menyangka orang rubuh, ia menjadi sangat girang, cepat sekali ia angkat kakinya, untuk mendupak. Tapi Tan Hong tengah menggunakan akalnya. Nampaknya ia hendak jatuh, tetapi sebenarnya, sebelah kakinya dipakai menyantel batu, berbareng dengan mana, sebelah tangannya terayun. Orang itu kaget, terpaksa ia lompat kembali ke tempat asalnya. "Lekas!" Tan Hong teriaki si nona, ia sendiri lantas lari, untuk mencapai lain tepi. In Loei pun mengerti bahaya, ia lari mengikuti. Baharu saja mereka tiba di lain tepi itu, orang tadi sudah lompat pula, akan menyusul mereka, sedang dari atas bukit terlihat datangnya beberapa orang lain, yang terus mengambil sikap mengurung. Tan Hong lihat orang tadi liehay, ia waspada. "Hai, kiranya kau!" teriak orang itu, yang agaknya kaget. "Hm, kiranya kau!" Tan Hong pun perdengarkan suaranya. Tadi mereka belum melihat tegas satu dengan lain, mereka tidak segera saling mengenali, sekarang mereka berdiri berhadapan, mereka sudah lantas melihat nyata. Orang itu adalah Ngochito, pahlawan nomor satu dari Yasian. Selama itu, ia tahu kegagahan orang. Memang, di Watzu, Ngochito cuma berada di bawahan Tantai Mie Ming. "Adik kecil!" Tan Hong serukan kawannya, "menangkap berandal mesti membekuk rajanya dulu, maka mari kita bereskan dia ini!" In Loei mengerti, dari itu ia lantas maju. Maka itu, dalam sesaat saja, Ngochito telah dikepung berdua, malah dua batang pedang segera menyerang ke arah mukanya. Dia menjadi gusar, sambil berseru, dia menangkis. Tapi kesudahannya, dia menjadi kaget sekali. Tahu-tahu, pedangnya terkutung menjadi tiga potong! "Hai!" dia berseru sambil lompat kepada kawan-kawannya, untuk meminjam pedangnya, dengan apa dia membuat perlawanan terlebih jauh. Hanya kali ini, tidak berani dia mengadu pula senjatanya. Dia berkelahi dengan menggunakan ilmu silat pedang Hongloei kiam, hingga pedangnya itu, di samping suaranya mengaung, pun berkilauan bagaikan kilat menyambar-nyambar. "Bagus!" seru Tan Hong, yang kagum melihat ilmu silat orang itu. Tapi ia tidak gentar, bersama In Loei, ia menyerang terus. Ngochito selalu menghindarkan pedangnya, tetapi tidak urung, ia terdesak juga. Ia kaget sekali ketika runce dari kopiahnya terbabat pedang lawan. Dasar ia licin, dapat ia meloloskan diri dari ancaman bahaya maut. Tan Hong pun kagumi kegesitan orang itu. Pertempuran berjalan terus. In Loei penasaran, ia menyerang dengan hebat. Langsung pedangnya menikam ke arah uluhati. Berbareng dengan itu, pedang Tan Hong membabat ke bawah. Seperti sudah diketahui, pedang mereka berdua selalu bekerja sama, senantiasa menyambar ke sasarannya masing-masing. Untuk itu, tak usah mereka memberi isyarat lagi satu dengan lain, mereka bagaikan sudah berlatih sempurna. Sedetik itu, Ngochito jadi terkurung sinar pedang, dia terancam kebinasaan. Dia mesti melindungi dadanya, atau kakinya. Untuk melindungi kedua-duanya, sulit. Dia mesti memilih. "Biar aku terbinasa, tak sudi aku menerima malu berkaki kutung..." demikian ia memilih. Maka itu dia lompat mundur sambil menangkis pedang In Loei. Di saat yang sangat berbahaya itu bagi Ngochito, mendadak In Loei dengar sambaran angin ke arahnya, dengan cepat ia berkelit, maka dengan sendirinya pedangnya tak mengenai sasarannya. Di antara satu suara nyaring, Ngochito juga menjerit dengan tubuhnya mencelat jatuh kira-kira satu tombak! "Berhenti!" demikian tiba-tiba satu suara nyaring sekali, menyusul mana satu orang, yang mukanya bertopeng, muncul di antara mereka. Dia mempunyai mata yang sinarnya mencorong tajam. Dialah yang telah menolongi Ngochito itu. Semua telah terjadi dengan sangat cepat. Pedang Ngochito terbabat kutung. Ia sudah mencoba berkelit, tidak urung ujung kakinya terluka juga. Untung baginya, jiwanya telah tertolong. Dengan napas tersengal-sengal, ia berdiam di samping mereka itu. "Djiewie," berkata si orang bertopeng, "karena kamu telah datang berkunjung, harap kamu mentaati undang-undang kita kaum kangouw. Silakan djiewie datang dahulu ke dalam pesanggrahan, janganlah tidak keruan-keruan kamu bertempur." Tan Hong dan In Loei mesti kagumi kepandaian orang ini, yang dapat menolongi Ngochito di saat pahlawannya Yasian itu terkepung sepasang pedang yang liehay. "Heran, kenapa See To ayah dan anak mendapat kawan segagah ini?" kata Tan Hong dalam hatinya. Karena ini ia mendapat firasat bahwa usaha mereka berdua hari ini berjalan kurang lancar... "Katakan, kau orang Ouw atau orang Han?" sekonyong-konyong In Loei tegur si orang bertopeng itu. Sudah sekian lama, baharu kali ini ia buka mulutnya. Orang yang ditegur itu melengak. "Apakah artinya pertanyaan kau ini?" dia balik menanya. "Melihat romanmu, kau adalah orang Han," kata In Loei, "tetapi kau justeru membantui bangsa Ouw! Mungkinkah kau juga tahu malu, maka itu kau menutupi mukamu dengan topeng?" Tiba-tiba saja orang itu menjadi murka sekali, dengan mendadak ia mencelat maju, untuk serang si nona secara sangat hebat. Tan Hong tahu musuh liehay, ia waspada. Demikian, atas serangan orang ini kepada In Loei, ia mendahului si nona turun tangan. Ia bukannya menangkis, ia hanya menyerang. Dalam hal ini, ia tidak menyerang sendirian. Sebab juga In Loei, yang awas dan sebat, sudah menyerang juga sambil menangkis. Maka kedua pedang kembali bekerja sama, satu menuju ke kiri, yang lain ke kanan, mengarah kedua pundak si orang bertopeng itu. Hebat si orang bertopeng itu, masih ia dapat melindungi dirinya, sesudah mana ia pun membalas menyerang pula. Ia bersendirian, tetapi agaknya ia seperti berdua, karenanya, ia dapat melayani pemuda dan pemudi itu dengan baik! Tetapi selewatnya jurus ketiga, mulai ke empat, lalu ke lima, ia nampak tak begitu leluasa lagi bergeraknya, dan akhirnya, ia segera terdesak. Ilmu pedang siangkiam happek dari Hian Kee Itsoe, yang diciptakannya dengan susah payah, sesudah suatu pemusatan pikiran yang lama, merupakan satu karya yang istimewa. Setelah ia peroleh tempo yang senggang, dengan tertawa dingin, In Loei berkata kepada lawannya yang tidak dikenal itu: "Satu penghianat atau dorna, setiap manusia berhak membunuhnya, maka itu kami dengan kau, perlu apa kami bicara lagi tentang aturan kaum kangouw?" Teguran ini disusul dengan tiga kali desakan, yang membuatnya musuh mundur terus, sebab dia kewalahan untuk membuat perlawanan terlebih jauh, dia cuma masih sanggup melindungi dirinya sendiri, agaknya habis sudah daya pembalasannya. "Adik kecil, tahan!" sekonyong-konyong Tan Hong perdengarkan suaranya. "Untuk apakah?" si nona balik menanya. "Orang ini melawan kita dengan sepasang kepalannya, dia dapat bertahan sampai sepuluh jurus lebih, dia terhitung juga satu hoohan," kata Tan Hong, "maka itu, jikalau dia sampai terbinasa, pasti dia tidak puas. Baiklah, mari kita ikut dia masuk ke dalam untuk melihat-lihat!" Tidak setuju In Loei dengan sikap kawan ini, akan tetapi mereka bicara di muka musuh, ia terpaksa mengiringi. Tidak baik untuk berselisih dengan kawan sendiri di saat seperti itu. Ia tidak tahu, dengan menunda pertempuran, Tan Hong tengah pikirkan lawannya ini, untuk menduga-duga siapa dia sebenarnya, sebab setelah belasan jurus itu, tidak peduli ilmu silat musuh agaknya luar biasa, ia mulai dapat mengendus... Setelah pertempuran ditunda, si muka bertopeng mengawasi kedua anak muda itu. "Siapakah yang mengajar kamu ilmu silat pedang ini?" tanyanya kemudian dengan tiba-tiba. "Pantaskah kau menanyakan tentang guruku?" balas In Loei dengan jumawa. Kelihatannya orang bertopeng itu gusar sekali, mungkin dia hendak mengumbar hawa amarahnya itu dengan menyerang pula, akan tetapi lekas juga ia dapat kuasai dirinya, maka ia cuma perdengarkan suara "Hm!" Ia kata: "Anak kecil, kau belum tahu apa-apa, sebentar kau lihat!" Lantas dia pimpin mereka masuk ke dalam pesanggrahan, sampai di ruang Tjiegie thia, yang besar dan luas, mirip dengan suatu tempat untuk berlatih silat, di sana pun telah berkumpul banyak orang kangouw. Luar biasa sikap orang-orang kangouw ini, atas kedatangan Tan Hong bertiga, mereka perlihatkan sikap tidak memperhatikan, malah sama sekali tidak ada yang melirik. Segera juga In Loei lihat Tjio Eng dan gadisnya terkurung di tengah-tengah, dan Tjoei Hong sudah lantas mengawasi padanya, dari wajahnya, nona itu seperti heran, girang dan penasaran, ketika ia hendak membuka mulutnya, ayahnya, yang melihat mereka, telah mendahuluinya. "Hiansay, kau juga datang kemari?" demikian mertua itu menanya sambil memanggil baba mantu (hiansay). "Kau tahu, urusan di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kau!" Tan Hong bersenyum, ia mendahului In Loei menyahuti. "Dengan dia tidak ada sangkut pautnya, denganku tentu ada!" sahutnya. Lalu ia maju terus, akan dekati Tjio Eng itu di samping siapa ia jatuhkan diri untuk duduk. See To perlihatkan roman gusar. "Bagus!" serunya. "Kau hendak mencampuri urusan kita, itulah paling bagus!" Selagi sang ayah murka, See Boe Kie, putera-nya, mendongkol bukan main, dengan mata mendelik, ia awasi In Loei, agaknya ia ingin telan nona itu. Apakah karena nona Tjio tak dapat menjadi isterinya, hingga ia sangat membenci In Loei yang dipandang telah merampas kekasihnya itu? "Tjio Looenghiong, sebenarnya urusan ini urusan apakah?" Tan Hong tanya jago she Tjio itu. Belum lagi Tjio Eng memberikan jawabannya, See To sudah mendahului. "Tjio Toako, siapa kenal selatan, dialah si orang gagah!" demikian orang she See ini, suaranya nyaring. "Sekarang ini sudah habis takdir kehidupan dari kerajaan Beng, sedang tentang Kerajaan Tjioe yang besar dari Thio Soe Seng tak usah lagi dibicarakan! Bilakah Toako pernah menyaksikan abu api yang telah padam hidup pula? Maka itu kenapa kau hendak mati-matian menjadi budak orang, untuk melindungi harta bendanya?" Tjio Eng adalah satu laki-laki, dia pun bertabeat keras, maka itu, gusar ia diperlakukan demikian rupa, tapi masih ia mencoba untuk mengatasi dirinya. Maka itu, ia cuma tertawa dingin. "Kehendakmu, kita harus menjadi budak bangsa Watzu?" ia tanya. Muka See To menjadi merah, dia sangat jengah, tetapi dia paksakan diri untuk tertawa. "Toako, bukan itu yang aku maksudkan," sahutnya, lemah. "Habis apa yang kau hendak maksudkan?" tanya Tjio Eng keras. "Kau keluarkan gambar lukisan," jawab See To, "lantas kita pergi mencari tempat menyimpan harta dari Thio Soe Seng, sesudah kita mendapatkannya, justeru dunia tengah kacau ini, kita terus melakukan sesuatu yang besar. Umpama kata kita tidak pergi mengandal kepada bangsa Watzu, kita pun dapat mengangkat diri sendiri menjadi raja!" "Siapa kata aku punya gambar lukisan yang kau maksudkan itu?" tanya Tjio Eng. "Katakan! Lekas katakan!" Sebagai ketua dari kaum Rimba Persilatan dari dua propinsi Shoatang dan Siamsay, walaupun ia berada di dalam pesanggrahan musuh — artinya ia tengah dikurung — Tjio Eng tidak menjadi jeri, ia tetap gagah. See To terkesiap ketika ia melihat sinar mata orang yang tajam, hingga ia membungkam. "Akulah yang memberitahukannya!" tiba-tiba terdengar satu suara keras tetapi serak. "Habis, apa yang kau kehendaki?" Tjio Eng segera berpaling untuk memandang si suara serak itu. Ia lihat seorang bermuka bengkak yang kulitnya matang biru, romannya kasar dan kedua matanya bersinar tajam. "Kau siapa?" bentak Tjio Eng, yang sangat murka, sambil menuding. Tan Hong tertawa dingin, tidak tunggu sampai orang membuka suara, ia telah mendahului. Ia kata: "Dialah Ngochito, pahlawan nomor satu di bawahan Yasian! Aku toh tidak salah, bukan?" Ngochito itu gagah tetapi tabeatnya keras, dia tidak kenal gelagat, melayani Tan Hong dan In Loei, mukanya hingga bengkak dan matang biru. Ia tidak sabaran mengawasi tingkah polanya See To itu, dia tidak mau pikir, mungkin See To mempunyai kesangsiannya sendiri. Maka itu, mendengar suara Tan Hong, dia turuti hawa amarahnya. "Tidak salah katamu!" dia menjawab dengan jumawa. "Angkatan perang kami bangsa Watzu gagah perkasa, dengan kami mengundang kamu bekerja sama, itu tandanya kami telah menghormati kamu! Bocah, jikalau kau tidak puas, mari kita bertempur satu dengan satu, untuk kau lihat kesudahannya!" Kata-kata ini separuh menyindir See To, yang dianggapnya bernyali kecil, sedang terhadap Tan Hong adalah tantangan, karena dia ingin membalas. Sementara itu, dengan datangnya Tan Hong, suasana telah mulai berubah sendirinya. Yaitu, kecuali konco sehidup semati dari See To serta mereka yang telah dapat dibeli atau dibujuk, yang lainnya mulai tawar hati untuk menjual tenaga mereka bagi orang she See ini. Mereka pun tertarik oleh sikap jantan dari Tjio Eng. Tjio Eng tidak puas terhadap kejumawaan orang, dengan mata mendelik, ia berbangkit. Ia kibaskan tangan bajunya. Sebenarnya hendak ia membuka suara, atau Tan Hong mendahuluinya. "Percuma saja kamu bercape hati!" berkata si anak muda. "Untuk sehelai gambar lukisan, kamu sudah pancing Tjio Looenghiong datang kemari, berbareng dengan itu, kamu pun sudah merampok habis-habisan rumah orang! Aku mengatakannya percuma, sebab kamu tidak memperoleh hasil apa jua! See To, kau adalah satu tjeetjoe yang kenamaan, kau adalah satu laki-laki, tetapi kau melakukan perbuatan sebagai tikus dan anjing bangsat, tak takutkah kau nanti ditertawai manusia sekolong langit?" Dengan menegur See To, Tan Hong tak gubris Ngochito. Tjio Eng kaget. Baharu sekarang ia tahu yang rumahnya telah dirampok. Maka dengan tiba-tiba saja ia keprak meja, hingga ujungnya rusak. Ia pun berseru: "Di jaman dahulu, orang memutuskan persahabatan dengan memotong tikar, maka sekarang aku melakukannya dengan merusak meja! See To, bangsat tua, di sini aku putuskan perhubungan kita sebagai saudara angkat! Ingat, jikalau kau masih hendak paksa aku, maka aku tidak akan sungkan-sungkan lagi!" Muka See To menjadi merah dan biru bergantian. Tentu saja ia menjadi sangat gusar dihina dihadapan kawan dan lawan, hingga ia ambil putusan nekat. "Tua bangka she Tjio!" ia pun berteriak, "jikalau hari ini kau tidak serahkan gambar lukisanmu itu, jangan kau harap bisa keluar lagi dari pesanggrahanku ini!" Lalu, dengan kibaskan tangannya, tjeetjoe ini berniat melakukan kekerasan. Dengan berkelebatnya sinar yang menyilaukan mata, Tan Hong hunus pedangnya, tetapi ketika ia menghalang di depan Tjio Eng, ia tidak gunakan pedangnya itu, hanya dengan lengannya, ia bentur See To hingga tuan rumah ini terpelanting setombak lebih. Menampak itu, koncoh-koncoh See To menjadi murka dan berseru-seru, hingga suaranya menjadi sangat berisik, tetapi ketika mereka hendak maju, untuk turun tangan, tiba-tiba mereka merandak. Tan Hong, menyekal pedang dengan tangan kanan, dan dengan tangan kiri ia mengeluarkan gambar lukisannya, untuk dipertontonkan. Terus ia tertawa terbahak-bahak. "Siapa yang menghendaki gambar lukisan ini, mari datang padaku!" katanya dengan nyaring. "Aku adalah pemilik dari gambar lukisan ini! Hanya hendak aku jelaskan, dengan mendapatkan gambar lukisan ini, bagi kamu sudah tidak ada harganya! Kamu tahu, harta pendaman itu berikut petanya, telah siang-siang aku dapatkan, sudah aku bongkar! Malah aku telah menyerahkannya kepada Kaisar Beng yang sekarang ini!" Mendengar itu, seluruh pesanggrahan menjadi heran. Orang tidak tahu siapa anak muda ini, karenanya orang sangsikan kebenaran perkataannya itu. Maka itu, pesanggrahan menjadi sunyi senyap. Dalam kesunyian yang mengandung ketegangan itu, tiba-tiba terdengar satu suara tertawa dingin, disusul dengan kata-kata nyaring dari orang yang tertawa mengejek itu: "Thio Tan Hong, siapakah yang kau hendak dustakan?" Semua mata diarahkan kepada orang yang berani membuka suara itu. Dialah Tjitjiangho, juga pahlawan dari Yasian, cuma dia tidak sering berada di dalam pasukan tentera seperti Ngochito, maka sedikit orang yang mengenal padanya. Sebagai orang kepercayaannya Yasian, tidak heran dia mengenal Tan Hong. Ngochito heran mendengar perkataan rekannya itu. "Apa?" katanya sambil menatap Tan Hong. "Kau puteranya Yoesinsiang Thio Tjong Tjioe? Kalau begitu, sungguh kebetulan! Memang Thaysoe sedang mencari padamu! Nah, mari lekas kau ikut aku pulang!" "Aku pun justeru hendak menghadap Thaysoe kamu itu!" jawab Tan Hong. "Hanya tak ingin aku pulang bersama kau! Aku adalah rakyat Tionggoan, siapa kesudian bekerja untuk negeri Watzu?" Tjitjiangho heran. "Keluargamu dengan pihak Beng dari keluarga Tjoe adalah musuh turunan," katanya, "sekarang kau telah mendapatkan harta pendaman dan peta buminya, kenapa kau justeru serahkan itu kepada musuh? Mana ada aturan itu? Sekarang begini saja: Harta pendaman itu adalah kepunyaanmu, kami tidak inginkan itu, kau serahkan saja peta buminya kepadaku, supaya dapat aku persembahkan kepada Thaysoe1. Kau baik jangan bergurau lebih lama pula..." Tan Hong tidak gubris bujukan itu. Sambil menaruh sebelah kakinya dikursi, ia kibarkan gambar lukisan itu. Ia bersikap menantang. "Siapa main-main dengan kau?" katanya. "Jikalau kau punya nyali, nah, kau ambillah sendiri!" Tjitjiangho ragu-ragu, tidak berani ia maju untuk merampas gambar lukisan itu. Juga beberapa pahlawan Mongolia lainnya, yang menyamar tidak berani sembarangan perlihatkan diri. Demikian juga kawan-kawannya See To, baik yang telah berubah pikirannya, maupun yang hendak membela mati-matian, bersangsi juga untuk maju, yang pertama disebabkan hatinya sudah tawar, yang belakangan karena jeri untuk keberanian Tan Hong itu. Tjoei Hong sementara itu senderkan diri pada In Loei. "Sejak kita berpisah, apakah kau memikirkan aku?" ia berbisik di kuping "suaminya" itu. "Lihat, orang banyak tengah mengawasi kita!" sahut In Loei dengan perlahan. "Aku kuatir hari ini kita sukar lolos dari kematian, tetapi kenapa kau masih mempunyai hati untuk berbicara demikian terhadapku?..." Memang pesanggrahan itu telah dikurung tiga lapis sedang Tjio Eng cuma ada berempat. Tapi Tjoei Hong tidak pedulikan itu. "Sudah hampir satu tahun aku berduka saja," katanya pula, tetap dengan perlahan, "maka kalau aku tidak bicara sekarang, sampai kapan hendak aku menunggunya? Hari ini aku tidak peduli kita akan dapat lolos atau tidak, jikalau aku mesti mati, dengan mati bersama kau, hatiku puas..." Tjoei Hong dengan In Loei adalah suami isteri, tetapi itu cuma nama saja, hal yang sebenarnya nona Tjio tidak ketahui, maka itu, selagi mereka sudah lama berpisah, tidak heran dia sangat memikirkan suaminya itu, dari itu setelah sekarang mereka bertemu, mana sanggup dia menahan hatinya terlebih lama pula? Demikianlah, di ruangan di mana terdapat banyak orang, dia bertingkah laku seperti anak kecil... Sedang In Loei kewalahan melayani "isterinya" itu, tiba-tiba ia lihat lompat maju dua orang ke arah Tan Hong. Mereka bertubuh besar dan kasar. Mereka kawan-kawan dari See To, mereka pernah meyakinkan ilmu silat "Taylek Sinkoen," dari itu, hebat kepalan mereka. Mereka lihat Tan Hong muda dan tubuhnya biasa, mereka tidak memandang mata. Begitulah mereka maju, yang satu berniat menyambar lengan orang, untuk dibikin tidak berdaya, yang lain berniat merampas gambar lukisan. Tan Hong lihat cara orang itu maju, ia gerakkan pedangnya. Cuma satu sinar berkelebat, atau penyerang yang satunya itu berkaok, terus dia rubuh pingsan, sebab sebelah tangannya kutung. Sedang kawannya, dia rubuh terjungkal didupak si anak muda, hingga patahlah tulang-tulangnya! "Sungguh tidak punya malu!" teriak Tan Hong. "Kamu hendak merebut kemenangan dengan mengandalkan jumlahmu yang banyak? Hm!" Mukanya See To kembali jadi merah padam, tetapi di dalam hatinya, ia kata: "Dalam keadaan seperti ini, siapa hendak pedulikan lagi segala aturan kaum kangouw?" Ia hendak berikan titahnya ketika si orang bertopeng, yang tadi menolongi Ngochito, sudah perdengarkan suaranya: "Bagus, bagus!" demikian katanya. "Hari ini udara bagus, tepat waktunya untuk melempangkan urat-urat! Bertempur satu sama satu, itulah paling bagus!" Suara orang itu nyaring bagaikan suara genta, menderum di dalam ruangan itu. Tergerak hati See To melihat sikap dan mendengar suara orang itu, ia lantas perhatikan tubuhnya, di dalam hati kecilnya ia berkata: "Dengan bertempur satu lawan satu, dia pasti dapat membikin musuh-musuhnya mati lelah..." Dalam suasana seperti itu, Tjoei Hong buktikan kata-katanya. Ia tetap menyender kepada In Loei, masih ia perdengarkan kata-katanya yang halus. Adalah waktu itu, See Boe Kie, puteranya See To, memajukan diri. Dia berlompat sambil menggerakkan kedua tangannya, sikapnya jumawa. "Aku undang In Siangkong untuk main-main beberapa jurus!" demikian pemuda ini perdengarkan suaranya, langsung ia tantang In Loei, orang yang ia paling benci. Ia menjadi sangat panas karena menyaksikan lagaknya Nona Tjio itu, hingga tak berkuasa lagi ia atas hawa amarahnya. In Loei lepaskan diri dari Tjoei Hong, ia hunus pedangnya, pedang Tjengbeng kiam. Selama di Heksek tjhoeng, di dalam rimba pohon cemara di luar kampung, pernah In Loei tempur See Boe Kie maka tahulah ia, walaupun Boe Kie benar gagah, orang tidak berada di atasannya, karenanya, ia tidak jeri sedikit pun jua. Hanya kali ini, See Boe Kie telah kerahkan tenaganya, dia perlihatkan kekosenannya, dengan tangan kirinya ia mengancam, dengan tangan kanannya ia menyerang secara hebat. Itulah serangan yang luar biasa. In Loei berkelit dengan tipu silat "Toatpauw djiangwie,"="Membuka jubah untuk menyerahkan kedudukan." Ia menggeser ke samping kanan, pundaknya diturunkan, sesudah mana, baharulah ia menyabet, untuk membalas menyerang. "Kena!" teriak Boe Kie selagi ia menyerang itu. Hebat kesudahannya serangan itu. In Loei lompat mundur, ia merasa heran. Boe Kie pun mundur, tetapi darah mengucur dari kakinya, sebab celananya kena tersabet robek, kulitnya terkena ujung pedang! In Loei heran, karena kepandaian orang beda daripada yang sudah-sudah. Ia tentu tidak tahu, setelah kekalahannya di Heksek tjhoeng, Boe Kie sudah mencari seorang Biauw dari siapa ia peroleh ilmu pukulan Imyang Toksee Tjiang, Tangan Pasir Beracun, hingga siapa terkena telak, di dalam tempo tujuh hari, dia mesti terbinasa. Syukur bagi In Loei, ia gesit sekali, ia keburu berkelit, kalau tidak, ia bisa celaka. Adalah karena kegesitannya itu, ia pun dapat mengarahkan pedangnya pada sasarannya. See Boe Kie menjadi gusar dan kalap. Ia terluka tetapi tidak parah, maka itu, setelah berkaok-kaok, ia lompat maju pula, untuk mengulangi serangannya. In Loei cerdik karena pengalamannya yang pertama itu, tidak mau ia sembarang menikam atau menyabet, untuk melayani lawan yang liehay itu, ia perlihatkan kelincahannya, ia berkelit, ia berputaran di sekitar lawannya itu. Dalam sekejap saja, Boe Kie seperti dikurung si nona, sama sekali tak berhasil pelbagai serangan dengan tangan jahatnya itu, jangan kata mengenai tubuh si nona, bajunya pun tidak pernah tersentuh. Maka itu, sesudah dua puluh jurus, ia menjadi bimbang. Insyaflah ia bahwa ia bukan lawan si "pemuda", di lain pihak, tidak sudi ia menyerah, ia penasaran sekali. Karena itu, ia ambil keputusan sama-sama bercelaka. Ia ingin berlaku nekat! Segera datang serangannyaa yang liehay, yaitu "Shiapek Hoasan," atau "Dari samping menggempur gunung Hoasan." Ia bersedia mengorbankan sebelah lengannya, asal serangannya berhasil, supaya In Loei terkena racun tangannya itu, supaya saingan itu menemui ajalnya dalam tempo beberapa hari! In Loei cerdik, ia dapat menduga maksud lawannya apabila ia saksikan serangannya. Ia lantas bergerak dengan cepat dengan tipu silat "Hong tiamtauw" atau "Burung Hong manggut." Dengan sebat ia balikkan pedangnya, guna memapaki tangan musuh! Di saat pedang dan lengan hampir beradu, dan lengan yang akan terkutung atau tangan jahat mengenai In Loei, tiba-tiba seorang mencelat di samping mereka, tangan kirinya menarik, tangan kanannya menyambar, dalam saat yang berbareng itu, Boe Kie kena ditarik, In Loei diserang pada nadinya. Orang ini luar biasa, tubuhnya jangkung kurus bagaikan sebatang gala, ke sepuluh jari tangannya berkuku panjang dan hitam mengkilap. Sambil melakukan gerakan itu, dia tertawa menyeramkan, mulutnya mengucapkan: "Babah mantu yang manis dari Tjio Tjhoengtjoe benar-benar liehay, biarlah aku yang melayani dia beberapa jurus!" Orang itu tidak lain daripada gurunya See Boe Kie, yaitu si orang Biauw yang bernama Tjek Sin Tjoe. Dia adalah orang dari propinsi Koeitjioe, dia pesiar ke Utara, maka juga orang Utara, dalam sepuluh, sembilan tidak mengenal dia. Segera juga In Loei mesti melayani orang Biauw ini. Tjek Sin Tjoe betul-betul liehay, dia gagah sepuluh kali lipat daripada See Boe Kie. Di antara berkilaunya pedang, tubuhnya bergerak-gerak lincah sekali, kadang-kadang masih dapat ia ulur jari-jari tangannya yang liehay untuk menyambar tubuh si nona. Seringkah, karena gerakan tangannya, tulang-tulangnya di bahagian buku perdengarkan suara meretek. In Loei heran terhadap musuhnya ini, ia berlaku sangat hati-hati. Ia mainkan pedangnya demikian rupa, hingga ia lebih banyak membela diri daripada melakukan penyerangan. Ia menganggap, melindungi diri adalah paling utama. Sekian lama Tjek Sin Tjoe tidak peroleh hasil, dia menjadi tidak sabar. Satu kali dia berseru keras, lantas kedua tangannya menyambar-nyambar dengan cepat dan hebat, sampai sambaran anginnya mendatangkan hawa dingin. In Loei menjadi heran sekali. Beberapa kali ia rasakan pedangnya tersampok miring atau terpental sedikit. Tapi yang menguatirkan adalah ketika ia merasa hatinya bagaikan goncang, hati itu panas seperti orang memancing hawa amarahnya. Waktu ia sadar, ia bersikap membela diri saja, tapi selang lima puluh jurus, tak dapat ia kuasai pula dirinya, ia sudah lantas mencoba untuk membalas menyerang juga. Nyatalah Tjek Sin Tjoe telah menggunakan tipu silat Imhong Toksee Tjiang, "tangan pasir beracun" dibarengi angin yang menyeramkan. Sambaran angin itu, yang sangat dingin, meresap ke dalam tubuh lawan, dengan perlahan-lahan hawa dingin itu mempengaruhi pikirannya, mengganggu urat syarafnya. Memang maksud orang Biauw ini memancing serangan membalas supaya selagi hati lawan panas, ia dapat merebut kemenangan. In Loei kirimkan satu tusukan ke arah dada, cepat dan langsung. Nampaknya Tjek Sin Tjoe akan menjadi korban, tidak nanti dia dapat menghindarkan diri pula. Mendadak dia berseru, tubuhnya lompat mencelat, lalu dari atas, dia ulurkan kedua tangannya, untuk menyengkeram dengan sepuluh jarinya. Tjoei Hong menonton sejak tadi, dia kaget melihat serangan itu, sampai dia menjerit, hampir dia pingsan. Hebat akibat kedua orang yang saling menyerang secara dahsyat itu, hebat juga tertawanya para hadirin di pihak tuan rumah. Mereka ini menyangka, selesai sudah pertempuran itu. Tetapi akhirnya, mereka semua berdiri melengak. In Loei dan Tjek Sin Tjoe telah memisahkan diri sejauh satu tombak. Tidak keruan baju orang Biauw itu, karena baju itu robek di bahagian pundak. Kekasih Tjoei Hong juga tidak kurang "rusaknya," dapat dikatakan lebih-lebihan. Saputangan In Loei yang dipakai menutupi rambutnya dengan memakai jepitan emas telah terputus menjadi dua potong, ikat rambut itu terlepas, maka terlihatlah tegas bahagian dari rambutnya yang bagus dan panjang, hingga sekarang terbukalah rahasianya bahwa ia bukannya satu pemuda melainkan satu pemudi! Jurus itu sangat berbahaya bagi kedua pihak, maka itu keduanya, di dalam waktu yang sangat hebat itu, mencoba mengelakkan dirinya masing-masing, tetapi mereka telah saling sambar juga, hingga keadaannya menjadi demikian rupa. Tentu saja, orang-orang menjadi tercengang, sedang pihak See To kemudian perdengarkan pula tertawa mereka, sebab mereka anggap kesudahan itu lucu. "Cis" Tjek Sin Tjoe meludah. "Sungguh apes, bolehnya aku bertemu denganmu, siluman! Tak sudi aku bertempur dengan seorang wanita!..." Paras In Loei menjadi merah-padam, ia malu, jengah dan mendongkol. Ia lantas maju pula, sambil menggerakkan pedangnya, untuk menyerang pula. "Adik kecil, beristirahatlah," tiba-tiba ia dengar suara Tan Hong, perlahan dan sabar. "Nanti aku yang melayani dia!" Selagi mengucap demikian, tubuh si anak muda sudah melesat, menghadapi Tjek Sin Tjoe, yang terus ia serang, maka dengan segera mereka bertempur. Masih saja orang tertawa, semua mata diarahkan kepada In Loei, yang menjadi sangat likat dan mendongkol. Tidak kurang herannya adalah Tjio Eng dan gadisnya, mereka ini mengawasi dengan melengak, bahna heran, berduka dan putus harapan... Ayah dan gadis itu merasa tidak keruan, mereka kecele dan masgul, terutama si nona sendiri. Tjoei Hong tidak sangka, suami yang ia harap-harapkan itu sebenarnya adalah satu nona... Selagi semua pandangan diarahkan padanya, In Loei lekas-lekas betulkan ikat kepalanya. Ia mesti kuatkan hati, untuk menahan malu, hanya tetap ia likat. Akhir-akhirnya, Tjoei Hong menghampiri "suaminya" itu. Ia menjadi bersangsi. "In Siangkong, mengapa kau gemar memelihara rambut panjang?" ia tanya sambil berbisik. Kau... kau... kau sebenarnya pria atau wanita?..." Merah muka In Loei. Ia memang sudah pikir, satu waktu ia hendak buka rahasianya terhadap Nona Tjio ini, tetapi tidak ia sangka, di sini, dalam keadaan begini, ia mesti membuka rahasianya itu. Maka itu, ditanya si nona, ia membungkam saja. "Hayo katakan!" Tjoei Hong mendesak, sambil menekan iga orang dengan kedua jarinya. In Loei tidak menjawab, sebaliknya, ia mengawasi kepada kedua orang yang sedang bertanding. Dengan mendadak saja, berhentilah suara tertawa yang riuh itu, sebagai gantinya para hadirin memandang kekalangan pertandingan di mana kedua lawan telah sampai pada saat pertempuran yang dahsyat. In Loei mendelong mengawasi Tan Hong, sinar matanya jelas menandakan perhatiannya yang luar biasa. Tjoei Hong lihat sikap orang, ia heran, lalu ia rasakan hatinya dingin. Bukankah itu sinar matanya satu kekasih? Demikian rupa perhatiannya terhadap In Loei sebelum ia ketahui In Loei adalah satu pemudi sebagai ia sendiri. Maka ia menjadi sangat berduka, hancur hatinya seperti bayangan rembulan indah di muka air yang hancur luluh ditimpa batu oleh satu bocah nakal... Di medan pertandingan, dengan tenang Tan Hong layani Tjek Sin Tjoe. Ia memang mempunyai iweekang yang jauh terlebih sempurna daripada iweekang-nya In Loei. Ketenangan ini membuatnya orang Biauw itu tidak dapat berbuat banyak, sebab setiap serangannya selalu dapat dipecahkan. Lama-kelamaan Tjek Sin Tjoe menjadi tidak sabar, ia menjadi penasaran sekali. Bukankah tadi ia berhasil mempengaruhi In Loei? Kenapa sekarang ia gagal? Ia telah mencoba pelbagai macam serangannya. Akhirnya, ia berseru, ia menyambar sambil lompat mencelat, seperti tadi ia serang In Loei. Hebat nampaknya kesepuluh jari tangannya yang hitam itu, dengan kuku-kukunya yang tajam dan beracun. Beda daripada In Loei, Tan Hong tidak sambuti serangan dahsyat itu, ia hanya lompat berkelit. Habis itu, ia terus main berkelit pula. Kadang-kadang ia gunakan pedangnya untuk memapaki serangan yang mengancam padanya. Tjek Sin Tjoe menghembuskan hawa dingin, ia heran bukan main. Ia tahu ilmu silat Imhong Toksee Tjiang-nya itu diciptakan dengan melatih diri menelad perkelahian burung-burung di atas gunung, sejak ia turun gunung, tidak pernah ia pertontonkan itu, pun kepada See Boe Kie ia belum mewariskan semuanya, tapi heran, Tan Hong seperti mengerti ilmu silat itu. Anak muda ini selalu bisa mengelakkan diri, atau dia menyambutnya secara membahayakan jari-jari tangannya yang beracun itu. Sebenarnya, sejak ia mendapatkan kitab peninggalan Pheng Hoosiang, yaitu "Hiankong Yauwkoat," yang telah dibacanya dengan seksama, Tan Hong menjadi seorang yang cerdas luar biasa, disebabkan pengetahuannya bertambah banyak sekali. Baginya dengan cepat ia dapat mengetahui sifat ilmu silat lain kaum bila ia menyaksikan ilmu silat itu. Selama menyaksikan See Boe Kie bertempur dengan In Loei, Tan Hong sudah perhatikan ilmu silat yang luar biasa itu, habis itu, ia tonton kepandaian Tjek Sin Tjoe. Kemudian, ia sendiri pun melayani orang Biauw itu, sampai kira-kira seratus jurus. Semua itu sudah cukup baginya untuk mengetahui ilmu silat orang, maka sambil bertempur dengan tenang, tapi pun dengan tidak kurang sebat dan waspadanya, dapat ia melayani dengan baik. Kalau akhirnya musuh jadi penasaran, ia sendiri masih tetap sabar seperti biasa. Adalah kemudian, sesudah lewat banyak jurus, ia membuatnya musuh lelah, hingga Tjek Sin Tjoe, yang menginsyafi itu, menjadi bingung. Baharu sekarang orang Biauw ini memikir untuk mengangkat kaki saja. Caranya ia sudah tahu, ialah dengan jalan menggertak dulu lawannya. Demikian ia beraksi untuk menyerang dengan hebat, untuk kemudian mengangkat langkah panjang... Tan Hong melihat tegas orang sudah tidak berdaya, sekarang orang menyerang secara demikian hebat, ia dapat menduga maksud orang. "Eh, siluman, kau tinggalkanlah satu pertandaan!" katanya dengan bentakannya selagi ia diserang, dan sambil membentak dengan sebat luar biasa, ia papaki serangan itu! Tanpa dapat dihindarkan lagi, lengan dan pedang telah beradu satu dengan lain sambil perdengarkan satu suara, menyusul itu, lengan Tjek Sin Tjoe terputus jatuh di lantai dan mengeluarkan banyak darah! Selagi para hadirin kaget, hingga mereka perdengarkan seruan tertahan, Tjek Sin Tjoe sendiri lari keluar, ia nerobos di antara orang banyak, setibanya di luar pesanggrahan, ia menoleh, akan perdengarkan ancamannya: "Bocah yang baik, lagi sepuluh tahun, tjouwsoe-mu akan datang pula mencari kau untuk membalas sakit hati!" Tan Hong tidak kejar lawan itu, dengan tenang ia seka pedangnya yang berlumuran darah, ketika ia dengar ancaman itu, ia lantas menjawab: "Baik, akan aku tunggui kau!" Orang-orang merasa kagum ketika menyaksikan Tjek Sin Tjoe, yang telah terluka demikian parah, masih dapat lari dengan pesat. Tan Hong menyesal juga yang ia telah menahas lengan orang. Mulanya ia tidak memikir untuk berbuat demikian, mendadak ia panas hati mendengar orang mendamprat dengan menggunakan kata-kata "siluman" terhadap In Loei. Setelah itu, tidak ada lagi orang yang berani muncul untuk bertempur satu sama satu. Mereka sudah menyaksikan kelihayan pemuda dan pemudi itu. Hal ini membuatnya See To menjadi masgul dan panas hati, ia masih penasaran, maka ingin ia menyerukan pula konco-konconya untuk mengepung musuhnya. Justeru itu, orang mendengar tertawa yang tegas disusul pujian: "Ilmu pedang yang bagus, ilmu pedang yang bagus! Aku juga ingin menerima pelajaran beberapa jurus darimu!" Tan Hong segera menoleh, akan kenali si orang bertopeng, sepasang mata siapa bersinar tajam, agaknya seperti mengandung rahasia. Kaget In Loei mendengar tantangan orang itu, ia kuatir, dengan satu lawan satu, Tan Hong bukan tandingan orang tidak dikenal itu. Orang itu sudah maju menghampiri. "Mulailah!" ia menantang begitu lekas ia pasang kuda-kuda. Tan Hong tidak lantas maju, ia hanya tancap pedangnya. "Tuan tidak mencabut pedang, biar aku layani kau dengan tangan kosong," ia kata. In Loei kerutkan alisnya. Ia anggap Tan Hong terlalu percaya dirinya sendiri. Tadi dengan dikerubuti berdua, si muka bertopeng dapat bertahan lama, itu menandakan keliehayan orang, maka, dengan menggunakan pedang, mungkin Tan Hong sebanding, dengan tangan kosong, mesti dia kalah... Orang bertopeng itu tertawa terbahak-bahak. "Baiklah," katanya. "Silakan tuan mulai lebih dahulu!" "Tetamu tak dapat melancangi tuan rumah, maka itu, silakan tuan yang mulai!" Tan Hong merendahkan diri. Kembali si muka bertopeng tertawa. "Thio Siangkong, kau selalu tidak hendak mendahului lain orang, sifatmu benar-benar sifat guru yang kenamaan," ia berkata pula. "Sebenarnya kita sama-sama tetamu di sini. Tapi siangkong ingin aku yang terlebih dahulu mempertunjukkan keburukanku, baiklah, akan aku berlaku lancang." Mendadak saja ia tekuk tangannya ke dalam, lalu dengan gerakan "Wankiong siagoat" atau "Menarik busur memanah rembulan," jari tangannya terus menyambar ke dada si anak muda, untuk menotok urat besarnya, yaitu hiankee hiat. Liehay ilmu totok si orang bertopeng ini, akan tetapi Tan Hong juga bukan orang sembarang, tak dapat ia ditotok dalam sekejap itu saja, di saat jari tangan orang hampir mengenai bajunya, ia sedot dada dan perutnya berbareng, hingga jarak jari tangan dengan dadanya menjadi terpisah satu kaki, berbareng dengan mana, tangan kanannya digerakkan, untuk menggantikan memapaki serangan itu. Itulah tipu silat "Tionglioe teetjoe" atau "Di tengah aliran air menancap tiang batu." Liehay tangan Tan Hong ini, yang terlatih sempurna. Biasanya, siapa kena dipapaki secara begitu, jari tangannya bisa patah. Karena ini, berani ia mengadu tangan dengan totokan lawan. Cerdik si orang bertopeng itu, selagi kedua tangan baharu bentrok perlahan, dengan sebat ia tarik kembali tangannya itu, hingga batal ia menyerang. Ia pun memuji pula, katanya: "Orang dengan usia begini muda sudah punya tenaga latihan begini liehay, sungguh hebat. Nah, kau sambutlah ini!" Dengan sebat si orang bertopeng ini ubah jari-jari tangannya yang terbuka itu menjadi satu telapak tangan yang rapat dan dilebarkan, dengan itu ia menyerang pula. Tan Hong terkejut. Barusan, bentrokan yang perlahan, membikin ia merasa tangannya kesemutan, coba ia tak mempunyai Iweekang yang sempurna, hampir ia tidak dapat pertahankan diri, dan sekarang, ia diserang pula. Tidak mau ia berlaku sembrono, tetapi masih hendak ia mencoba pula. Kali ini ia kerahkan tenaga dari Taylek Kimkong Tjioe, hingga tenaga tangannya itu seumpama "gunung rubuh yang menguruk lautan." Bentrokan sudah lantas terjadi. Hebat bentrokan itu, keduanya sampai mundur masing-masing tiga tindak. Tapi itulah belum terlalu hebat. Masih ada akibat lainnya. Si orang bertopeng mundur tanpa air mukanya berubah, sebaliknya Tan Hong, ia merasakan telapak tangannya seperti beku. Orang luar tidak lihat suatu apa, wajah Tan Hong tetap tak berubah, tapi pemuda ini insyaf, si muka bertopeng itu mempunyai tenaga latihan yang melebihi daripadanya. "Heran..." Tan Hong berpikir. Ia tahu, orang itu telah menggunakan kepandaian "Ittjie siankang" atau "latihan sebuah jari", dan jurus itu dinamakan "Tiat piepee" atau "Piepee besi". Tiat piepee biasa, banyak dimengerti orang, tetapi kepunyaan si orang bertopeng ini benar-benar jarang sekali. Mau atau tidak, Tan Hong jadi berpikir keras, ia menduga-duga siapa lawan ini. Dia tahu, dia mestinya seorang kenamaan, hanya aneh, kenapa seorang kenamaan mencampurkan diri di dalam rombongan See To, yang terang adalah satu penghianat bangsa. Juga aneh, mendengar suaranya, dia seperti ketahui gurunya. Selagi si anak muda berpikir, si orang bertopeng tertawa dan berkata pula: "Sudah lama sekali aku tidak bertemu lawan yang tangguh, baharu hari ini aku dapat menyambut murid seorang kenamaan. Sungguh aku girang!" Tan Hong membarengi kata-kata itu dengan serangan pula, yang diulangi hingga tiga kali beruntun. Ketiga serangan itu sangat berbahaya, sebab serangan itu seolah-olah mengancam. Dikatakan bukan ancaman tapi mirip mengancam, dikatakan ancaman tapi sebenarnya bukan... Tan Hong lantas mainkan ilmu silat "Hongtjiam lokhoa" atau "Angin meniup daun rontok." Dengan jurus ini, ia senantiasa berkelit dengan sebat dan sambil berkelit ia gunakan ketika itu untuk balas menyerang. Ia berkelit tetapi ia tidak mundur setindak juga. Serangan pertama dari si orang berkedok dipunahkan dengan satu jurus Thaykek Koen yang dinamakan "Djiehong djiepie" = "Seperti membungkus, seperti menutup." Yang kedua dilawan dengan Siauwlim Koen punya "Kwee Seng tektauw" atau "Kwee Seng menendang bintang." Perlawanan ini adalah tangkisan tangan dan tendangan kaki dengan berbareng, jadi merupakan pembelaan diri berbareng perlawanan, untuk memaksa lawan menukar haluan. Dan yang ketiga ia gunakan ilmu silat gurunya sendiri, yaitu satu jurus dari "Pekpian Hian Kee Tjianghoat" Dengan ini, ia pukul kembali tangan lawannya. "Ah!..." si orang bertopeng perdengarkan kekaguman atau keheranannya, sebab dalam segebrakkan itu, anak muda ini sudah menggunakan jurus-jurus dari tiga kaum persilatan. Tanpa merasa, saking cepatnya, orang sudah bertempur kira-kira tiga puluh jurus. Si orang bertopeng masih tetap gunakan "Tiat Piepee" yang dipadu dengan "Ittjie siankang," ia tetap tangguh. Tan Hong sebaliknya sudah lantas ubah haluan, yaitu tidak lagi ia andalkan "Hiankong Yauwkoat" untuk membingungkan lawannya. Ia merasa, kalau terus ia bersilat secara demikian, lama kelamaan ia akan kehabisan tenaga dan bisa celaka. Ia menukar dengan ilmu silat "Taysiemie Tjiangsie" ajaran gurunya. Dengan begitu, ia lindungi dirinya dengan kedua tangannya. Ilmu silat ini ringkas kalangannya, rapat penjagaannya, teguh kedudukannya, kalau sangat didesak, keras juga penolakannya. Agaknya si muka bertopeng kewalahan juga dengan penyerangannya, sebab belum pernah ia dapat menembus pembelaan diri orang itu, meskipun ia bergerak sangat cepat dan berbahaya, angin serangannya bersiur-siur keras. Ittjie siankang-nya pun kerap kali menotok ke jalan darah. Masih Tan Hong tidak dapat menduga, siapa musuh ini, dia orang apa. "Tiat Piepee"-nya mirip kepandaian Tantai Mie Ming, sama liehaynya, tetapi dia bukan Tantai Mie Ming. Sebab Tantai Mie Ming tidak mengerti Ittjie siankang. Mungkinkah mereka dari satu perguruan? Kalau benar, kenapa dia pandai Ittjie Siankang? Mungkinkah guru Mie Ming berat sebelah? Juga Mie Ming pernah berkata, dia tidak mempunyai soeheng, kakak seperguruan lelaki, ada juga soemoay, yaitu adik seperguruan wanita. Mereka masih bertempur, si orang bertopeng terus mendesak, malah kali ini, ia mendesak terlebih hebat, dengan jari tangannya, dengan kepalan atau telapak tangannya. Sampai kira-kira lima puluh jurus Tan Hong merasakan sangat terdesak. Inilah disebabkan ia kalah Iweekang-nya daripada lawannya itu. "Hati-hati!" tiba-tiba si orang bertopeng berseru ketika ia telah melakukan serangan beberapa kali. Tapi kali ini ia menyerang dengan berbareng, yaitu tangan kirinya membentur sikut orang, tangan kanannya menotok. Tan Hong jadi sangat terancam. Kalau ia singkirkan totokan tangan kanan, ia mesti terkena benturan tangan kiri lawannya itu, demikian sebaliknya. Tapi ia tidak menjadi gugup, hatinya tak gentar, ia berlaku tenang, hanya untuk membela diri, ia bertindak cepat. Dengan sekejap saja ia putar tubuhnya, sambil berputar ia bebaskan diri, lalu ia membalas menyapu ke arah tangan musuh! "Ah!..." si musuh berseru tertahan, bahna kagum. Ia telah saksikan serangannya dihalau dengan Tiat Piepee dan Ittjie siankang dengan berbareng. Ittjie siankang tak dapat dilatih sempurna dalam sekejap saja, mesti menggunakan waktu sedikitnya sepuluh tahun, tetapi luar biasa, Tan Hong dapat menjiplaknya selama mereka bertempur. Tentu saja, ia membuatnya musuh sangat heran. Justeru itu, ia menukar lagi jurus-jurusnya dengan Pekpian Hian Kee Tjianghoat, hingga ia mendapat ketika. Sekejap saja si orang bertopeng melengak, akhirnya ia tertawa besar. "Kau sangat cerdik!" katanya. "Hampir saja aku teperdaya!" Kata-kata ini disusul dengan totokan ke be-bokong Tan Hong, sasarannya ialah jalan darah thiantjoe hiat. Tan Hong berkelit. Ia dapat membela dirinya. Lawan itu penasaran, ia ulangi serangannya hingga tiga kali. Selalu ia gunakan tenaga besar. Bukan main sulitnya Tan Hong melayani terus lawan ini, meski begitu, ia masih dapat bertahan lagi kira-kira dua puluh jurus, sampai di saat mana, ia lantas menghadapi serangan dua tangan berbareng, hanya yang satu mengancam, yang lain bukan — itulah tangan kiri yang menggertak, tangan kanan yang majunya ayal, ialah yang menepak benar-benar. Tan Hong menyambut dengan tangan kiri, atau segera ia insyaf bahwa ia telah diperdayai, kedua tangannya kena ditolak. Tiba-tiba saja si muka bertopeng tertawa terbahak-bahak. "Kau tidak mendustai" demikian katanya sehabis tertawa. "Harta pendaman Thio Soe Seng serta kitab Pheng Hoosiang telah kau dapatkan! Maka apakah artinya untuk aku berdiam lebih lama pula di sini?" Habis mengucap demikian, ia mengancam pula dengan tangannya, tetapi ia tidak menyerang terus, hanya melompat mundur, lalu lari keluar pesanggrahan, untuk menyingkirkan diri! Aneh kelakuan orang rahasia ini. Datangnya tiba-tiba, perginya pun tiba-tiba. Dia mirip seekor naga yang nampak kepalanya, tetapi ekornya tidak. Semua orang heran dan tercengang. Lebih heran pula Tan Hong, sebab ia merasa pasti, bila ia membuat perlawanan terus menerus, mesti orang itu menang. Kenapa dia berhenti dengan tiba-tiba? Sebenarnya si orang bertopeng datang bersama Ngochito. Sejak bermula, ia sudah tidak sudi perlihatkan wajahnya. Sekalipun See To dan puteranya, tidak tahu ia siapa, hanya karena ia pernah perlihatkan ilmu silatnya, ia dihargai, ia dibiarkan membawa dirinya sendiri. Seberlalunya si orang bertopeng, yang mana membuat See To kaget dan berkuatir, karena ia tahu kedudukannya menjadi lemah, maka itu, tidak ayal lagi, ia titahkan kawan-kawannya maju menyerbu, guna mengepung Tan Hong berdua. Ngochito, karena ingin mencari balas, sudah maju paling depan. Tan Hong tertawa berkakakan. "Adik kecil, mari!" ia mengajak In Loei. Nona In telah bersiap, malah ia telah beristirahat cukup lama, maka tanpa ayal lagi, ia maju kepada Tan Hong, untuk berdiri berendeng. Ngochito sambar pedang panjang dari salah satu orangnya See To, dengan itu ia serang musuhnya, tetapi baharu dua jurus, dan sebelum kawan-kawannya sempat membantui padanya, pedangnya sudah terpapas kutung! Tentu saja ia menjadi kaget berbareng mendongkol. Tjitjiangho, sebawahannya Ngochito, majukan dirinya, tetapi ia tidak lantas menyerang, ia hanya menegur. "Thio Tan Hong," demikian katanya, "kau telah berulangkah menerima budi besar dari negara kita, kenapa sekarang kau begini gelap pikiran?" Tan Hong tidak mau melayani bicara, ia justeru serang pahlawan Yasian itu. Mau atau tidak, Tjitjiangho menangkis, tetapi baharu satu gebrak, goloknya sudah terbabat kutung, hingga dia menjadi kaget sekali. "Thio Tan Hong! Kau... kau..." ia berseru, lalu tertahan, sebab pedang In Loei menyambar ke arahnya. Karena ia berada di bawahan Ngochito, kepandaiannya pun kalah, tanpa berdaya, ia tertikam si nona, hingga jiwanya lantas melayang. Ngochito kaget, dia lompat, berbareng dengan mana, dia dengar teriakan hebat di belakangnya. Itulah Tjio Eng, yang telah lantas turun tangan. Tjio Eng ini ternama, tenaganya pun besar, bisa dimengerti hebatnya serangan yang dibarengi seruannya itu. Dalam keadaan bingung dan pusing, Ngochito tidak berdaya lagi, tidak sempat dia berkelit atau menyingkir, kepalan Tjio Eng telah sampai pada bebokongnya, maka di antara suara "Duk!" yang keras sekali, dia rubuh. Sekalipun lapis emasnya untuk melindungi tubuhnya telah pecah karenanya. Maka ia lantas memuntahkan darah hidup. Masih syukur baginya, ia memakai lapisan itu, hingga ia cuma jatuh pingsan, kalau tidak, jiwanya mesti melayang dengan segera. Beberapa pahlawan pengiring sudah lantas menubruk Ngochito, untuk diangkat dan dibawa lari. Pahlawan-pahlawan itu tidak berani mengadakan perlawanan terlebih jauh. Waktu itu kawan-kawannya See To yang sejak tadi bersangsi dan yang telah berubah pikirannya serta orang-orang yang datang memenuhi undangannya, sudah lantas angkat kaki. Tidak mau mereka memberikan bantuannya. Sebaliknya, mereka yang bersatu padu pikirannya, yang hendak membela mati-matian, apabila mereka saksikan Tan Hong dan In Loei demikian kosen, mereka itu jadi kecil nyalinya. Sambil tertawa berkakakan, Tan Hong serang mereka yang berani merintangi ia dan In Loei, cuma karena jumlah orangnya See To itu besar, tidak dapat mereka lantas dipukul mundur. Tjio Eng lihat mereka terkurung, ia berseru: "Tangkap penjahat, tangkap rajanya! Hai, bangsat tua she See, hendak aku membuat perhitungan dengan kau!" Benar-benar, habis berseru, jago tua ini lompat kepada orang she See itu. See To tidak maju untuk melayani orang yang hendak membikin perhitungan dengannya, dia hanya berseru keras, menyusul mana, dia putar tubuhnya untuk lari meninggalkan ruangan berkumpul itu. Seruan itu rupanya dimengerti kawan-kawannya, serta merta mereka ini juga membalik tubuh, untuk lari juga. Tan Hong berempat menjadi heran. Kenapa musuh meninggalkan Tjiegie thia secara serentak itu? Tapi mereka tak usah berpikir lama, atau mendadak terdengar satu suara nyaring sekali, lalu di depan mereka, turunlah pintu besi rahasia, yang memutuskan hubungan mereka di kedua pihak. Baharu sekarang mereka mengerti, mereka jadi terkejut. Sekarang sukar untuk mereka dapat keluar, meski umpama kata mereka kuat mengangkat pintu rahasia itu, sebab dibalik pintu rahasia itu See To berada dengan orang-orangnya yang bersenjatakan panah, bandring dan barisan arit. Begitu mereka angkat pintu besi, tentu mereka akan diserbu, di hujani anak panah, batu dan babatan arit itu... Tjio Eng menghela napas. "Biarlah kita terkurung di sini!..." katanya, masgul. Dari luar terdengar suara See To: "Serahkan gambar lukisan itu padaku, nanti aku hentikan pengurungan ini, malah mengingat kepada persaudaraan kita dahulu kala, suka aku mengijinkan kamu berlalu dari sini!" In Loei tertawa mendengar orang menginginkan gambar itu. "Toako," kata dia pada Tan Hong, "mereka masih tidak percaya bahwa kau telah mendapatkan harta dan peta bumi itu! Apakah tidak baik gambar itu diserahkan saja pada mereka? Mereka toh tidak akan dapat menggunakan itu!" "Aku justeru tidak hendak menyerahkannya!" sahut Tan Hong. "Benar, jangan serahkan!" kata Tjio Eng. "Gambar itu adalah warisan dari mendiang Sri Baginda, mana boleh warisan itu diserahkan pada mereka?" In Loei tertawa. "Aku pun cuma main-main!" katanya. "Walaupun terkurung hingga terbinasa, tidak seharusnya kita minta ampun hingga karenanya kita mesti merendahkan derajat kita!" "Adik kecil," kata Tan Hong kepada kawannya itu, "aku biasanya tertawakan kelemahan hatimu, siapa tahu kau sebenarnya mempunyai semangat laki-laki." Tan Hong bergurau, akan tetapi In Loei meludah. "Foei! Apakah kau anggap hanya kamu bangsa pria yang bersifat laki-laki?" katanya. Tjio Eng dan gadisnya terkejut mendengar pembicaraan kedua anak muda itu, terutama kata-kata In Loei. Tjoei Hong dekati In Loei, untuk mencekal tangannya, untuk ditarik. "In Siangkong, apakah benar-benar kau satu nona?" ia tegaskan. Merah muka Nona In, ia tunduk. "Benar, entjie, aku adalah satu wanita..." sahutnya perlahan. Wajah Tjoei Hong menjadi pucat-pasi. "Oh, oh, kau!..." katanya, lalu suaranya tertahan. Setelah peroleh kepastian, habis sudah harapannya. Ia tidak dapat berbuat lain, akhirnya ia menangis. In Loei jengah sendirinya, ia pun tak enak hati. "Entjie, karena terpaksa, aku mendustai kau," ia berkata pula. "Aku harap kau jangan gusar. Entjie, aku punya satu saudara angkat..." Nona Tjio angkat kepalanya, mukanya merah, matanya mencorong. "Siapa pedulikan saudara angkatmu itu!" katanya keras. "Ah, dasar kau tidak ketahui hatiku..." Ia tahu anak muda dihadapannya adalah satu pemudi, akan tetapi dari lagu suaranya, masih Tjoei Hong pandang orang sebagai satu pemuda. Tan Hong sebaliknya, tertawa melihat kelakuan kedua pemudi itu. Tjio Eng, yang telah lanjut usianya, dapat mengendalikan hatinya. Ia tarik Tan Hong ke samping, untuk menanyakan keterangan mengenai In Loei. Dan Tan Hong tuturkan jelas perihal Nona In itu. "Ketika itu kau sangat bernapsu mencari babah mantu," Tan Hong tambahkan sambil tertawa, "dan In Loei, di samping usianya masih muda, pun telah terdesak, demikian maka terjadilah hal Jenaka ini. Kamu cuma terkelabui untuk satu tahun, tidak apa, kejadian itu tidak sampai mentelantarkan usia puterimu Looenghiong, bukankah kau telah melihat puteranya Kimtoo Tjioe Kian? Bukankah ia, di kalangan kaum muda, gagah dan tampan?" Tjio Eng ingat San Bin, ia penuju pada anak muda itu. Tapi ia jawab: "Urusan jodoh anakku, tak dapat aku mengurusnya lagi... San Bin itu, apabila dia dipadu dengan In Siangkong, dia tak dapat ditimpali, akan tetapi dia, memang cukup baik." Oleh karena sudah kebiasaan, seperti puterinya, jago tua ini masih sebut In Loei sebagai In Siangkong. Mendengar sebutan ini, Tan Hong tertawa. Tiba-tiba, Hongthianloei berkata: "Siauwtjoe, aku kehilangan satu babah mantu tetapi hendak aku beri selamat padamu! Kionghie." "Untuk apakah pemberian selamat ini?" tanya Tan Hong sambil menghela napas. Ia ingat sesuatu ketika mendengar ucapan jago tua itu. Tjio Eng mengawasi. "Kamu adalah pasangan yang sangat setimpal!" ia kata. "Anakku itu tidak sepadan direndengkan dengan In Siangkong1. Dan walaupun anakku tidak setuju, akan aku desak supaya dia menyerahkan In Siangkong kepadamu! Bilamana kamu hendak mengundang aku minum arak? Haha-haha, sungguh suatu jodoh yang manis sekali!" "Looenghiong, masih terlalu pagi untuk membicarakan urusan ini," kata Tan Hong. "Masih ada yang kau belum ketahui..." Tjio Eng heran, ia mengawasi. "Apakah itu?" tanyanya. "Satu soal sulit, looenghiong," jawab si anak muda, yang terus menuturkan permusuhan antara kedua keluarga In dan Thio. Tjio Eng heran, ia pun menjadi bingung. Sementara itu, Tjoei Hong dan In Loei masih saja pasang omong. Nona Tjio adalah yang paling banyak bicara, ia kecewa tetapi masih ia berat memikirkan In Loei. Dan In Loei, yang merasa dirinya bersalah, terpaksa harus melayani nona yang ia perdayakan itu. Ia berkasihan terhadap nona ini. "Entjie yang baik," katanya kemudian, "seumurku, tidak akan aku menikah, maka itu, akan aku temani kau!" Tjio Eng bersenyum. "Adakah itu benar?" dia tanya. "Kenapa tidak?" sahut In Loei, dengan sifat kekanak-kanakan. Ia pun tertawa. "Cuma, entjie yang baik, aku mempunyai satu saudara lelaki, kau sebaliknya tidak. Bagiku, tidak apa aku tidak menikah, tetapi kau, apabila kau tidak menikah, siapa akan melanjutkan Keluarga Tjio kamu?" "Cis" nona Tjio meludah. Ia tidak sangka bahwa ia akan digodai. Ia lantas menoleh kepada Tan Hong, lalu tiba-tiba ia kata: "In Siangkong, aku tahu apa yang kau katakan tidak keluar dari hatimu yang tulus! Di hati lain, di mulut lain! Memang aku tolol tetapi telah aku lihat siapa yang berada di dalam hatimu!..." In Loei merasa tertusuk, ia menghela napas. "Seumurku, tidak akan aku menikah," katanya, dengan lesu. "Jikalau kau tidak percaya, entjie, nanti aku sumpah dihadapanmu!" Tjoei Hong bekap mulut orang. "Tidak keruan-keruan, untuk apa angkat sumpah?" katanya. "Aku telah dapatkan kau sebagai adikku, aku puas." "Bagus, bagus!" puji Tjio Eng apabila ia dengar pembicaraan orang itu. Ia sebenarnya sedang berduka tetapi untuk sesaat, dapat ia lupakan kedukaannya itu. "Kamu telah mengaku menjadi entjie dan adik, maka, In Siangkong, mengapa kau tidak hendak memberi hormat kepada ayah pungutmu?" In Loei tertawa, ia bertindak menghampiri orang tua itu, ia memberi hormat sambil paykoei. Tjio Eng mengangkat nona itu bangun. "Baiklah, In Siangkong, aku terima hormatmu ini!" ia kata. "Haha-haha!" tertawa Tan Hong. "Masih saja memanggil In Siangkong1." Mendengar ini, semua orang tertawa. Sampai di situ, baharu mereka ingat pula bahwa mereka masih berada di dalam kurungan. Waktu itu sudah mendekati magrib, di luar Tjiegie thia, masih terdengar suara berisik. Di dalam ruang itu tidak ada makanan. Maka syukur, Tan Hong dan In Loei mempunyai bekal rangsum kering, bersama-sama, berempat, mereka tangsel perut mereka sekedarnya. "Sang hari akan lekas berlalu, bagaimana besok?" tanya In Loei. Ia pecahkan kesunyian sehabisnya mereka dahar. "Besok adalah urusan besok, untuk apa kau pikirkan?" kata Tan Hong sambil tertawa riang. "Benar!" kata Tjio Eng. Maka itu, mereka dapat bercakap-cakap dengan gembira. Selagi ke empat orang ini tidak kesepian, See To di luar sibuk memikirkan mereka. Mereka mesti tungkuli kesabaran diri, sebab di antaranya tidak ada yang berani menyerbu, semua masing-masing jeri untuk kegagahannya pasangan anak muda itu... Malam itu dilewatkan dengan Tan Hong dan Tjio Eng bergantian berjaga-jaga. In Loei berdua Tjoei Hong tidur bersama di atas sebuah bangku panjang, mereka ini masih bercakap-cakap selama mereka belum pulas, masing-masing menuturkan isi hati mereka. Dalam tempo yang pendek itu, keduanya lantas erat sekali perhubungannya, bagaikan saudara-saudara kandung saja. "Ketika itu kita berpisah di Tjengliong Kiap," kata In Loei, "ayahmu memaksa kau lekas pulang, untuk apakah itu?" "Tidak lain untuk urusan gambar lukisan," jawab Tjoei Hong. "Ayah dengar kabar, pihak Watzu hendak mengirim orang untuk merampas gambar itu. Entah bagaimana duduknya hal, maka bangsa itu ketahui gambar berada di rumah kami. Karena itu ayah menginginkan aku lekas pulang, untuk kami serumah tangga menyingkir ke Im Ma Tjoan, di pesanggrahan Na Tjeetjoe. Kami kembali pulang sehabisnya perang. Yang kami tidak sangka adalah bangsat tua she See itu yang berkongkol dengan musuh, tanpa mempedulikan persaudaraan, dia tidak hendak melepaskan kami!" In Loei tertawa. "Dan mereka tidak ketahui, sejak siang-siang gambar itu sudah berada di tangan toakoku." ia kata. Berduka Tjoei Hong mendengar demikian erat rasanya In Loei menyebutkan kata-kata "toako" itu untuk Tan Hong. "Kau sudah punya toako, kau lupakan entjie-mu!" ia kata. Tapi In Loei lantas menghela napas. Biar bagaimana, ia adalah satu nona, maka tidak dapat ia membuka rahasia hatinya, tak peduli terhadap kakak sendiri... Heran Tjoei Hong menyaksikan roman entjie ini, cuma tidak mau ia menanyakan. Ia hanya bicarakan urusan lain, sampai tiba saatnya mereka mengantuk dan tidur. Berapa lama ia sudah pulas, Tjoei Hong dan In Loei tidak tahu, mereka hanya tersadar tatkala mereka dengar suara sangat berisik di luar Tjiegie thia. "Adik kecil, lekas bangun!" Tan Hong memanggil. "Lihat! Baharu kau percakapkan Tjo Tjoh, ia sudah muncul! Coba dengar, apakah itu bukan kakak angkatmu yang datang?" In Loei buka matanya, ia dapatkan matahari sudah naik tinggi. Masih mereka terkurung pintu rahasia, tetapi di kedua tepi tembok terdapat liang kecil sebesar batang anak panah, dari situ mereka bisa mengintai keluar. Dan di luar tampak nyata bendera berkibar-kibar, di antaranya ada dua helai bendera yang besar luar biasa hingga menyolok mata. Itulah bendera yang berlukiskan matahari merah dan si Puteri Malam, itulah Djitgoat Siangkie, bendera Kimtoo Tjeetjoe! Pertempuran telah terjadi di luar, itulah yang menerbitkan suara sangat berisik. "Tjioe San Bin datang pada saatnya yang tepat!" kata Tan Hong. Kata-kata ini mengandung dua maksud, maka In Loei menjebikan bibirnya dan tertawa, Dengan lewatnya sang waktu, suara pertempuran terdengar semakin reda, akan di lain saat, pintu rahasia mulai terangkat naik, hingga sinar terang lantas menembus masuk, lalu tampak San Bin bertindak masuk ke dalam Tjiegie thia. Rahasia In Loei telah terbuka, tetapi karena terlanjur, ia masih dandan sebagai wanita, ketika San Bin tampak nona ini, ia heran. Ia menegur Tan Hong dan Tjio Eng tetapi kepada si Nona In ia cuma melirik saja. In Loei tidak menjadi likat, sebaliknya, ia berlaku twapan. "Apa yang kau minta padaku, telah aku selesaikan!" katanya kepada anak muda itu. Setelah salin pakaian, dan waktu ia tertawa, hingga nampak sujennya, In Loei menjadi sangat manis, ia bagaikan bunga baharu mekar. Di mata San Bin ia menjadi luar biasa elok, hingga pemuda itu tergiur bukan main. Tapi di sana ia tampak Tan Hong dengan wajahnya seolah-olah tertawa, lalu hatinya itu menjadi dingin. Pemuda ini sangat menyintai In Loei, akan tetapi setelah ketahui Tan Hong pun menyintai nona itu, ia dapat kendalikan dirinya, kemudian Tantai Mie Ming secara diam-diam membantui ia menangkan peperangan dan Mie Ming pun jelaskan bagaimana kesengsaraan hati Tan Hong untuk membela negara, ia ambil ketetapan untuk mengalah, untuk mengundurkan diri dari medan cinta itu. Inilah sebabnya, dalam tempo yang pendek sekali, dapat ia kuasai hatinya. "Tjioe Hiantit, cara bagaimana kau ketahui kita terkurung di sini?" tanya Tjio Eng sambil tertawa kepada penolongnya itu. Pertanyaan ini tepat, maka semua pandangan diarahkan kepada anak muda itu. "Selama penyerbuan tentera Watzu, terpaksa kita berkeliaran ke empat penjuru negara," jawab San Bin, "begitu lekas perang sudah selesai, kami sudah lantas menggabungkan diri pula, dan niat kami adalah kembali ke tempat asal. Kemarin kami mendirikan kubu-kubu di dekat sini, tadi malam kami nampak kejadian yang luar biasa..." "Apakah itu?" tanya Hongthianloei. "Ada seorang yang memakai topeng menyusup masuk ke dalam kubu-kubu kami," sahut pula San Bin. "Dia melempar golok yang tertusukkan sehelai surat. Dalam surat itu ditulis terang halnya looenghiong beramai tengah dikurung di sini karena terjebak oleh See To. Liehay si orang bertopeng itu, ketika kami pergoki dia, dalam sekejap saja ia sudah menghilang pula." "Seorang bertopeng?" kata Tan Hong, yang hatinya bercekat. Timbullah kecurigaannya. "Benar, dia seorang bertopeng," San Bin pastikan. "Kami tidak kenal dia, dia aneh, akan tetapi ayahku bilang, daripada tidak mempercayai, lebih baik kita percaya padanya, bahwa tak dapat tidak kami harus pergi menolongi setelah kami ketahui looenghiong terjebak dalam kurungan. Demikian ayah menitahkan siauwtit datang bersama barisanku." Tan Hong terus memikirkan si orang bertopeng itu, demikian juga In Loei. "Selama penyerbuan bangsa Watzu itu," San Bin meneruskan keterangannya, "beberapa kali ayah mengirim orangnya pergi ke rumah Tjio Loopee, kami dapat keterangan loopee tengah mengungsi dan belum pulang, karenanya, sampai sebegitu jauh, kami tidak dengar suatu apa tentang loopee." "Terima kasih untuk perhatian ayahmu itu," Tjio Eng mengucap. "Lain hari akan aku berkunjung kepadanya." Sementara itu orang tua ini telah melihat tegas anak muda itu, yang romannya gagah dan tampan, sekalipun dia tak dapat dibanding dengan Tan Hong atau In Loei. Di dalam pesanggrahan See To itu mereka bersantap pagi. Sehabisnya bersantap, Tan Hong dan In Loei lantas pamitan, karena perlu mereka lekas-lekas melanjutkan perjalanan mereka, hingga tak dapat mereka ditahan lagi. Tjio Eng dan gadisnya juga tidak mau berdiam lama di pesanggrahan musuh, hendak mereka berangkat pulang, maka itu, San Bin antar mereka bersama-sama sampai di kaki gunung. Tan Hong dan In Loei dengan bergantian telah perdengarkan suitan mereka, atas mana muncullah binatang tunggangan mereka, yaitu Tjiauwya saytjoe ma serta kuda pilihan dari istana kaisar. Selagi melihat In Loei lompat naik ke atas kudanya, tiba-tiba San Bin ingat suatu apa. "Nona In, tunggu dulu!" ia segara memanggil. Dari atas kudanya, In Loei berpaling. "Ada apa, Tjioe Toako?" tanyanya. "Tadi kau katakan bahwa kau telah bicara jelas dengan Nona Tjio, karena itu, tak usah aku omong banyak lagi," sahut San Bin. "Nah, terimalah kembali barangmu ini!" Dari sakunya San Bin keluarkan batu permata sanhu. -ooo00dwooo- Bab XXIII Itulah batu permata yang Tjioe Kian haturkan kepada In Loei dan In Loei menyerahkannya lebih jauh kepada Tjoei Hong, selaku tanda mata, kemudian In Loei serahkan pada Tjioe San Bin dengan permintaan supaya San Bin nanti mengatakan pada Tjio Eng, untuk menjelaskan duduknya hal, agar pernikahannya dengan Tjoei Hong dapat dibatalkan. Tjoei Hong lihat batu permata itu, yang membawa peranan, mukanya menjadi merah, ia likat sendirinya. San Bin majukan kudanya, hendak ia serahkan batu itu kepada In Loei, tetapi Si Nona In tertawa sambil berkata: "Permata itu asalnya kepunyaan keluargamu sendiri, untuk apakah hendak dikembalikan kepadaku?" Lantas ia tepok kudanya, untuk dilarikan berendeng bersama Tan Hong! Keras larinya kuda mereka, dalam sekejap saja mereka sudah lenyap, hingga tinggallah San Bin yang mengawasinya sambil menjublak... Benar-benar cepat Tan Hong dan In Loei kaburkan kuda mereka, pada hari kedua mereka telah lintasi kota Ganboenkwan, di tempat perbatasan kedua bangsa Ouw dan Han. Di tempat pengembalaan orang Mongolia, adalah umum yang kaum wanitanya menunggang kuda, oleh karena itu, In Loei tidak perlu salin pakaian lagi, ia tetap dandan sebagai satu nona. Puas hati Tan Hong menyaksikan si nona duduk di atas kudanya di tanah datar berumput hijau. Ia tertawa sendirinya. "Jikalau aku berada terus bersama kau," katanya, gembira, "meskipun seumur hidupku aku mesti tinggal merantau, sudi aku, puas hatiku!" In Loei singkap rambutnya, ia menoleh sambil melirik. "Hai, engko tolol mengucapkan kata-kata tolol!" katanya tertawa. Berdebar hati Tan Hong, hampir tak dapat ia kuasai dirinya. Habis perang, kota Ganboenkwan dan sekitarnya jadi tidak keruan macam. Waktu itu pun tentera kerajaan Beng, yang mesti menempati kota itu, masih belum tiba, yang ada hanya beberapa serdadu saja. Melihat keadaan kota, Tan Hong berdiam, pikirannya bekerja. Ia menyayangi kota itu. Selagi berpikir, tiba-tiba ia dengar In Loei menarik napas. "Adik kecil, kau kenapa?" ia tanya. "Aku teringat kepada keadaan waktu aku masih kecil, ketika itu aku ikut kakek pulang," sahut si nona, "Ah, tanpa merasa, sepuluh tahun sudah lewat... Ya, di sini aku ingat benar. Waktu itu adalah tanggal lima belas bulan sepuluh. Di sini kakekku menyerahkan surat wasiatnya, yaitu kulit kambing yang berdarah..." Mendapat kenang-kenangan ini, wajah si nona menjadi guram. Ia berdiam. Tan Hong juga berdiam. "Begitulah hidupnya manusia!" kata si pemuda kemudian. "Berapa lama manusia dapat hidup? Baiklah kau jangan mengingat-ingat pula hal yang tak menyenangkan itu..." Keduanya menjalankan kuda mereka dengan perlahan-lahan. "Hidup manusia, benar-benar aneh," kata In Loei kemudian. "Kenapa aneh?" tanya Tan Hong sambil mengawasi. In Loei pandang pemuda itu, sinar matanya berarti. Agaknya hendak ia bicara, tetapi selalu urung. "Manusia memang mengalami banyak perubahan di luar dugaannya," kata Tan Hong. "Lihat saja aku sebagai contoh. Tadinya aku pikir, selama hidupku ini tidak nanti aku keluar pula dari Ganboenkwan, siapa sangka, hari ini aku toh berada di sini! Maka itu, apa yang kau katakan aneh, bukan aneh. Adalah hal, yang dilihatnya tak mungkin terjadi, pada suatu waktu terjadi dengan tiba-tiba..." Kata-kata pemuda ini mengandung arti. In Loei berdiam. Pada otaknya berkelebat surat wasiat kakeknya, dan wajah bengis dari kakaknya. Tapi ketika ia angkat kepalanya, ia tampak roman tampan dan menarik dari Tan Hong yang tersungging senyuman, dalam sekejap saja, hilanglah mega gelap bagaikan tersapu angin... Tan Hong jalankan kudanya terus berdampingan dengan kuda si nona, tapi di saat ia hendak menghibur si nona, mendadak kuda Tjiauwya saytjoe ma meringkik keras dan panjang lalu lompat lari dengan tiba-tiba, seolah-olah tak memperhatikan lagi majikannya! Tan Hong heran bukan main. Inilah belum pernah terjadi pada kudanya itu. Ia sudah hendak tarik keras tali lesnya ketika mendadak ia ingat sesuatu. "Dia kabur dan menjadi binal begini, mesti ada sebabnya," ia berpikir. "Coba aku lihat ke mana dia hendak lari..." Maka ia kendorkan lesnya, ia biarkan kuda itu kabur seenaknya. Tjiauwya Saytjoe ma lari dengan tidak mengikuti jalan besar, ia mengambil jalan kecil di sepanjang tepi bukit, dia lompat di setiap tempat yang tinggi atau rendah, dia pun tak henti-hentinya perdengarkan suaranya. In Loei heran seperti Tan Hong, ia larikan kudanya untuk menyusul. Kudanya kalah tangkas, ia tertinggal kira-kira setengah lie. Sesudah kuda jempolan itu lari serintasan, dari sebelah depan terdengar suara kuda lainnya, hingga kedua binatang itu jadi seperti saling sahut. Tan Hong memandang jauh ke depan, untuk herannya, ia melihat dua orang tengah bertanding. Di samping mereka itu, terlihat seekor kuda putih tengah berlari-lari, kuda itu mirip betul dengan Tjiauwya saytjoe ma. Tan Hong awasi hingga ia dapat lihat kedua orang yang sedang asyik bertempur itu. Ia menjadi terperanjat dan heran. Ia kenali, satu di antaranya adalah Djiesoepee Tiauw Im Hweeshio, sedang lawan paman guru yang kedua itu adalah seorang berumur empat puluh lebih, tubuhnya agak gemuk, gerakan-gerakannya gesit luar biasa. Keras suara angin dari tongkat panjang bagaikan toya dari Tiauw Im Hweeshio. Itulah tongkat Hangmo thung, Penakluk Iblis, yang dimainkan menurut ilmu silat toya Hangmo thung. Lawannya menggunakan bergantian jari-jari tangannya yang terbuka dan tertutup, menyabet atau menusuk, dia menyerang setiap kali dia menyampok tongkat atau sehabisnya berkelit. Nyata lawan itu tak kurang liehaynya. Tan Hong heran apabila ia mengawasi pula sekian lama. Ia dapat perasaan, ilmu silat orang berusia pertengahan itu mirip dengan ilmu silat si orang bertopeng, yang pandai ilmu silat Tiat piepee dan Ittjie siankang! Di bawah tanjakan, di dekat tempat pertempuran, ada satu wanita yang sambil tertawa menonton pertempuran itu. Dia berumur kira-kira tiga puluh lebih, mukanya bundar bagaikan rembulan tanggal lima belas. Dia mirip dengan satu nyonya muda, sedangkan sebenarnya dia adalah satu nona. Tiauw Im gagah, dia juga bersenjatakan tongkat, akan tetapi lama-kelamaan, dia dibikin kewalahan oleh lawannya yang berkelahi dengan mengandalkan kedua tangannya yang tak bersenjata itu, hingga kesudahannya si orang beribadat jadi sangat mendongkol dan gusar. Demikian satu kali, menuruti hawa amarahnya, ia menyerang hebat dengan tipu pukulan "Tokpek Hoasan"="Menggempur gunung Hoasan." Itulah salah satu kemplangan yang berbahaya dan hebat. Pesat sekali gerakan si lawan, serangannya demikian dahsyat, tapi ia dapat menghindarkannya dengan jalan berkelit. Tiauw Im terlalu sengit, ia gunakan seluruh tenaganya, ketika serangan itu tidak mengenai sasarannya, ia tidak dapat kendalikan lagi senjata itu, maka sang tongkat dengan hebat menghajar batu di tanah hingga hancur, dan hancurannya terbang berhamburan. "Hahaha!" si lawan tertawa bergelak, habis mana, ia membalas menyerang, tangannya, atau lebih tepat jari-jari tangannya, tidak hentinya menyambar-nyambar kepada Tiauw Im Hweeshio, yang mengarah iganya. Dalam keadaan sangat terancam itu, Tiauw Im Hweeshio dapat membela dirinya sendiri. Ia letakkan tongkatnya di tanah, berbareng dengan itu, tubuhnya mencelat naik, untuk terus jumpalitan, akan menyingkir jauh. Melihat orang mundur secara hebat itu, si wanita tertawa berkakakan. "Begitu saja kepandaian murid Hian Kee Itsoe!" demikian ejeknya. "Haha-haha! Sungguh satu nama kosong belaka!" Tan Hong lantas datang dekat, ia menyaksikan segala apa dengan tegas. Hampir ia lompat maju, untuk menolongi paman gurunya, tapi tiba-tiba ia ingat suatu apa, hingga alisnya dikerutkan. "Lelaki ini terang adalah si orang bertopeng tetapi aneh sekali perbuatannya," demikian ia berpikir. "Dia bersama orang-orangnya Yasian berada di dalam pesanggrahan See To, dia juga kemudian memanggil Tjioe San Bin untuk menolongi kita. Kenapa sekarang dia menyulitkan djiesoepee?" Ia lantas menoleh, ia tampak In Loei tengah mendatangi dengan cepat. Ketika itu jarak antara mereka berdua ada kira-kira setengah lie. Ketika ia berpaling kepada kudanya, ia dapatkan Tjiauwya saytjoe ma tengah saling menjilat dengan kuda Tiauw Im Hweeshio, ialah kuda putih yang tadi terlihat dari jauh. Kuda putih itu adalah binatang tunggangan Thio Tjong Tjioe. Ketika dahulu Tiauw Im pergi ke Watzu di mana ia menyatroni rumah Tjong Tjioe, selagi ia terancam bahaya, Tjia Thian Hoa telah menolongi secara diam-diam, dan kuda itu diberikan padanya, untuk dipakai angkat kaki. Kuda itu dengan kuda Tan Hong adalah biang dan anak, itulah sebabnya ketika kuda Tan Hong dengar suaranya, tak dapat dikendalikan lagi majikannya, Tjiauwya saytjoe ma kabur untuk menemui biangnya. Dengan cepat In Loei tiba di medan pertempuran, ia terkejut ketika ia kenali si pendeta. "Itulah Tiauw Im Soepee\" ia berseru. Dan terus ia memanggil: "Soepee\" Tiauw Im sedang didesak lawannya, mendengar panggilan itu, ia tak sempat menoleh akan melihat orang yang memanggil padanya, sebaliknya, lawannya, dia ketahui datangnya sepasang pemuda pemudi itu, dia berpaling ke arah mereka, lalu dia tertawa. Dia pun lantas berkata: "Benar-benar selama manusia masih hidup, tidak ada tempat di mana mereka tidak bertemu! Kembali aku menjumpai kamu di sini! Adakah ini hweeshio ampas soepee-mul" Tiauw Im gusar dikatakan manusia tidak berharga, ia mengamuk dengan tongkatnya, tetapi lawannya terlalu tangguh untuknya, amarahnya hebat, tenaga kepandaiannya kurang, tetap ia tidak dapat berbuat suatu apa terhadap lawan itu, di pihak lain, pundaknya terbentur musuh hingga ia terhuyung-huyung, hampir ia rubuh terjungkal! Hian Kee Itsoe mempunyai empat murid, di antara mereka itu, Tjia Thian Hoa yang paling liehay. Guru In Loei yaitu Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng sudah melatih diri sambil menghadapi tembok selama dua puluh tahun, karenanya dia peroleh kemajuan besar hingga ilmu silatnya kemudian tak berada di bawahan Thian Hoa. Murid kepalanya adalah Kimkong Tjioe Tang Gak, dalam ilmu dalam dia tak dapat melampaui Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng akan tetapi dalam bahagian luar, Gwakang, dia telah mencapai puncak kesempurnaannya, hingga ilmu silat Kimkong tjioe-nya tak ada tandingannya. Yang paling rendah kepandaiannya adalah Tiauw Im Hweeshio, ini disebabkan karena tabeatnya, hingga tak dapat ia menyusul lain-lain saudara seperguruannya, baik dalam ilmu dalam maupun ilmu luar, dari itu, gurunya mewariskan dia ilmu tongkat Hangmo thunghoat serta ilmu luar secukupnya, meskipun demikian, di kalangan kangouw, dia sudah sukar menemui tandingan. Hanya kali ini, menghadapi lawan yang tangguh itu, ia kewalahan, ia senantiasa terdesak. Tan Hong lihat paman guru itu sudah tak berdaya. "Djiesoepee, beristirahatlah dulu!" seru keponakan murid itu. "Nanti keponakanmu yang menggantikan kau!" Lalu ia menghunus pedangnya. Sambil maju mendekati, dia kata kepada lawan paman gurunya itu: "Tjianpwee, aku mohon sukalah kau memberi pengajaran pada kami! Kami adalah murid-murid turunan ketiga dari Hian Kee Itsoe. Kami adalah anak-anak muda, dengan memohon pengajaran tjianpwee, tidak berani kami bertempur satu dengan satu, dari itu kami mohon tjianpwee memaafkan sikap kami yang tidak tahu aturan ini! Kami akan maju bersama!" Ia kibaskan pedangnya, sambil menoleh pada In Loei, ia kata: "Adik kecil, mari kau pun maju, untuk mohon pengajaran satu dua jurus dari tjianpwee1." Dengan sikapnya yang menghormat, Tan Hong memanggil orang "tjianpwee," — yang tertua. In Loei terima ajakan sahabatnya itu, tanpa mengucap sepatah kata ia maju sambil menghunus pedangnya, maka di lain saat, kedua pedang telah bergabung menjadi satu — siangkiam happek — hingga kedua sinar perak lantas berkilau bagaikan saling sambar ke arah lawan yang tangguh dari Tiauw Im itu. Orang itu menggerakkan kedua tangannya, kepada Tan Hong ia gunakan tangannya terbuka, terhadap In Loei ia pakai jari tangannya. Jadi untuk melayani kedua lawan muda ini, ia gunakan Tiat piepee dan Ittjie siankang. Siangkiam happek lihay, gerak-geriknya bagaikan gelombang besar dari sungai Tiangkang, seperti ombak dari lautan besar, rapat desakannya, yang mana dibantu banyak dengan kegagahan Tan Hong. Selama bertempur di rumah Pit To Hoan, Tan Hong dapat merendengi Tiauw Im, sang paman guru, sekarang setelah meyakinkan Hiankong Yauwkoat, ia peroleh kemajuan luar biasa, ia telah lombai Tiauw Im. Dan sekarang ini, dengan siangkiam happek, bersama In Loei, baharu sepuluh jurus, ia sudah dapat mendesak lawannya hingga lawan itu cuma dapat membela diri, tidak dapat membalas menyerang. Meski ia sudah terdesak, orang itu tidak menjadi jeri. "Siangkiam happek benar-benar liehay!" dia berkata. "Eh, soemoay, mari! Kau pun boleh coba-coba berkenalan!" Kata-kata ini ditujukan kepada si wanita, siapa sudah lantas menyahuti "Ya!" Entah bagaimana gerakannya, tahu-tahu dia sudah sampai di kalangan pertandingan, dan begitu lekas dia gerakkan kedua tangannya, yang menerbitkan suara, dia telah keluarkan dua macam senjata — tangan kirinya menyekal satu kimkauw, gaetan emas, tangan kanannya memegang sebatang pedang panjang yang mengeluarkan sinar ke perak-perakan. Dengan dua macam senjata ini, dengan gaetan ia menyambar dan menarik, dengan pedangnya, ia menikam. Tan Hong dan In Loei merasakan siuran angin dari kedua macam gegaman itu, maka dibantu dengan totokan si pria, mau atau tidak, mereka mesti mundur hingga tiga tindak. Tapi mereka cuma mundur sebentar, setelah itu, mereka maju pula, Tan Hong di kiri, In Loei di kanan, kedua pedangnya bergabung pula, hingga kedua lawannya mesti mundur di luar kalangan sinar pedang mereka. Si wanita liehay, ia mundur, lalu ia maju pula, dengan dua macam senjatanya itu, dia membalas mendesak. Kembali dia dibantu kawannya, soeheng-nya, si kakak seperguruan, sebagaimana dia dipanggil soemoay, adik seperguruan wanita. Dan si soeheng tetap menggunakan Tiat piepee dan Ittjie sian secara bergantian, setiap serangannya sangat membahayakan. Tan Hong menangkis hingga dua kali beruntun, dengan "Hoeiliong tjaythian" atau "Naga terbang di langit," dalam hal mana, ia ditimpali In Loei dengan "Tjianliong djiptee" atau "Naga sembunyi dalam tanah." Secara begini, dapat mereka berdua melayani pedang dan gaetan dan kedua tangannya lawan itu yang liehay. "Bagus!" memuji si wanita, yang telah menggerakkan kedua bibirnya yang merah. Tan Hong gunakan ketikanya ini untuk menanya: "Aku ingin bertanya, djiewie dengan Tantai Mie Ming pernah apa?" Sekarang si anak muda telah melihat tegas, Tiat piepee si pria mirip betul dengan kepandaian Tantai Mie Ming, dan si wanita, ilmu silat gaetannya mirip dengan gaetan Gouwkauw kiam dari Tamtay Toanio, bedanya ialah Tamtay Toanio menggunakan sepasang gaetan (siangkauw) dan wanita itu punya gaetan ditimpali dengan pedang, karenanya, gerak-gerik kedua senjata itu jadi terlebih luar biasa. Ditanya begitu, si wanita tercengang sesaat, lantas dia tertawa. "Kami cuma ingin belajar kenal dengan ilmu silat istimewa dari Hian Kee Itsoe!" sahutnya. "Siapa mempunyai kesempatan untuk mendengarkan pertanyaanmu?" Dan jawaban itu disusul dengan serangannya pula, dengan pedang dan gaetannya. Tan Hong melengak karena ia ketemu batunya, ia menjadi agak mendongkol. "Baik, akan aku perkenalkan kamu dengan ilmu silat kakek guruku!" katanya dalam hatinya, saking mendongkolnya. Terus saja ia menyerang dengan hebat, dalam hal mana dengan serta merta ia ditelad In Loei, gerakan siapa selalu diturut. Maka sekarang kedua pedang bergerak bagaikan "sepasang naga bermain di air" atau sinar pedangnya bagaikan "bianglala menyambar-nyambar". Maka lagi sekali, wanita dan pria itu terkurung sinar pedang mereka. Kedua musuh itu liehay luar biasa, di luar mereka tampak terkurung, mereka seperti tak berdaya, tetapi di dalam, mereka perlihatkan kepandaian mereka, masih dapat mereka membalas. Pertempuran berlangsung dengan cepat, jurus demi jurus, tanpa merasa, mereka sudah melalui tujuh puluh jurus. Bagi Tan Hong, pertempuran berlarut itu tidak banyak artinya, tidak demikian dengan In Loei, yang tenaga dalamnya kalah banyak, maka sehabis itu, ia rasakan dadanya sesak, hampir ia tak dapat bernapas. Ketika Tan Hong lihat keadaan kawannya ini, ia menghembuskan napas dingin. "Betul-betul di luar langit masih ada langit lainnya," pikir dia dalam hatinya, "di samping manusia masih ada manusia lainnya... Aku pikir, siangkiam happek kami tidak ada bandingannya di kolong langit ini, siapa tahu pasangan pria dan wanita ini dapat menangkan kami di atas angin... Sebenarnya di sini orang tidak dapat bicara mengenai hal kepandaian, tetapi dalam hal latihan. In Loei kalah latihan dalam, itulah sebabnya sekarang ia kalah ulat. In Loei kuatkan hatinya, ia pertahankan dirinya, dengan begitu mereka bertempur sampai lima puluh jurus, masih saja mereka sama tangguhnya. Pada saat yang tegang itu, tiba-tiba kedua pihak dengar tindakan kaki kuda yang mendatangi ke arah mereka, mulanya, jauh lalu makin dekat, akhirnya tibalah si penunggang kuda, yang menyoren sebatang pedang. Dia nampaknya tenang sekali. Ketika dia melihat sebentar kepada mereka yang sedang bertempur seru, sekonyong-konyong dia tertawa sendirinya: "Kamu lihat!" dia berseru. "Sekalipun muridku kamu tidak sanggup mengalahkannya! Maka bagaimana kamu hendak melindungi mukanya si Siluman Tua Siangkoan?" Tan Hong sudah lantas kenali orang itu. "Soehoe ia memanggil. Memang orang yang baharu datang ini Tjia Thian Hoa adanya. "Tiauw Im Soeheng, kau beristirahatlah terus!" berkata Thian Hoa kepada kakak seperguruannya. "Kau tunggu saja, hendak aku belajar kenal dengan ilmu silat dari murid-murid Siangkoan Laokoay — Eh, Kimkauw Siantjoe, lebih dahulu ingin aku mohon pengajaran darimu! Dan kau, Ouw Laodjie, kau boleh bertempur lamaan sedikit dengan muridku... Sekarang jelaslah siapa adanya pasangan pria dan wanita itu, yaitu murid-muridnya Siangkoan Thian Va si Laokoay atau "Siluman Tua", si orang she Ouw itu adalah Ouw Bong Hoe, dialah murid kedua dari Siangkoan Thian Va. Dan si wanita, yang dipanggil Kimkauw Siantjoe, Dewi Gaetan Emas, adalah Lim Sian In, murid yang ketiga. Antara Siangkoan Thian Ya dan Hian Kee Itsoe pernah terjadi perebutan untuk menjadi jago dunia Rimba Persilatan, untuk itu mereka sudah bertempur selama tiga hari tiga malam tanpa ada yang menang dan kalah. Siangkoan Thian Ya mempunyai beberapa macam ilmu silat yang istimewa, di antaranya Ittjie siankang, singkatnya Ittjie sian, ilmu menggunakan jeriji tangan, untuk menotok. Tapi ilmu kepandaiannya aneh. Ilmu Ittjie sian itu bersama satu ilmu lainnya mesti diyakinkan berbareng oleh seorang pria dan seorang wanita yang masih suci kehormatannya, tapi kalau ilmu itu sudah dapat diyakinkan sempurna dan kedua murid itu menikah, ilmu itu berkurang sendiri kefaedahannya. Maka juga, sebelumnya Thian Ya menerima murid, dia tegaskan muridnya, apakah mereka di kemudian hari akan menikah atau tidak, siapa yang bersedia tidak menikah, dia akan diajari ilmu Ittjie sian itu. Murid kepalanya adalah Tantai Mie Ming. Mie Ming ini telah pergi ke negara lain — Watzu — dia tidak menghendaki turunannya terputus, karenanya dia tidak dapat mempelajari Ittjie sian itu. Karena ini, Mie Ming cuma mendapatkan ilmu silat gaetan dan lainnya dari bahagian luar (Gwakang), Ilmu Ittjie sian, tidak diyakinkan. Tidak demikian dengan Ouw Bong Hoe, murid yang kedua. Ouw Bong Hoe sangat ingin mempunyai kepandaian tinggi, dia sangat kemaruk, begitu dia masuk menjadi murid Siangkoan Thian Ya, lantas dia menyatakan dan bersumpah bahwa seumurnya dia tidak akan menikah. Dengan demikian, dia telah diajari ilmu Ittjie sian itu. Lim Sian In, ialah Kimkauw Siantjoe, si Dewi Gaetan Emas, murid yang ketiga, cantik luar biasa, setiap hari dia bergaul dengan Ouw Bong Hoe, sama-sama mereka belajar silat, lama kelamaan mereka berdua jatuh cinta satu pada lain. Tapi Sian In adalah seorang wanita, dia terlebih tenang, dia tidak menonjolkan rasa cintanya itu, tidak demikian dengan Ouw Bong Hoe. Dia ini segera minta soemoay itu, Sian In, suka menikah dengannya. Hal itu sudah lantas tertampak di mata guru mereka. Adalah cita-cita yang terkandung lama dari Siangkoan Thian Ya untuk mengajarkan beberapa murid yang liehay, supaya ia dapat mengulangi pertandingannya dengan Hian Kee Itsoe. Ia masih penasaran, ingin ia peroleh kemenangan. Ia pun hendak menepati janji, untuk nanti bertanding pula. Dalam hal janji itu, ia tak sudi tidak menetapkannya, ia sungkan menghilangkan kepercayaan. Maka itu, ketika ia ketahui kelakuan Ouw Bong Hoe berdua Lim Sian In, ia menjadi gusar sekali, menuruti hawa amarahnya, ia usir muridnya itu. Inilah sebabnya kenapa Tantai Mie Ming cuma menyebut bahwa ia cuma mempunyai satu soemoay, tidak pernah ia menyebut-nyebut Ouw Bong Hoe. Setelah diusir dari rumah perguruan, Ouw Bong Hoe menyesal tanpa berdaya. Ia tetap masih menyintai rumah perguruannya itu. Di samping kedukaannya, ia penasaran. Di dalam hatinya ia berpikir keras: Apa mungkin di dalam dunia ini tidak ada kepandaian yang dapat diyakinkan bersama di antara sepasang suami isteri? Kata gurunya, Ittjie sian akan berkurang bila orang menikah. Inilah ia sangsikan. Alasan gurunya ialah bila menikah, orang telah kehilangan keperjakaannya. Mustahilkah tidak ada jalan, atau ilmu, untuk memegang kekal keperjakaan itu? Karena penasaran ini, ia lantas merantau, ia mencoba mencari ilmu untuk membuktikan tak benarnya pendirian gurunya itu. Sudah belasan tahun ia merantau, masih ia belum peroleh ilmu yang dicari itu, tapi masih ia terus mencari. Pernah Ouw Bong Hoe dengar Tantai Mie Ming berbicara perihal Thio Soe Seng dan Pheng Hoosiang, bahwa Pheng Hoosiang itu mempunyai kitab "Hiankong Yauwkoat." Ia tertarik pada kitab itu, walaupun ia belum tahu apa isinya. Ia menaruh kepercayaan besar atas kitab itu mengingat lihaynya Pheng Hoosiang. Maka ia mencoba mencari kitab itu. Baharu pada bulan yang sudah ia pulang ke Mongolia, dengan kebetulan bertemu Ngochito, pahlawan Yasian. Ngochito memberitahukan bahwa ia telah mendapat keterangan, di mana harta Thio Soe Seng serta kitabnya telah disimpan, disembunyikan, di Souwtjioe, bahwa untuk mendapatkan itu, lebih dahulu mesti didapatkan petunjuknya yaitu sebuah gambar lukisan yang berada pada Tjio Eng. Ngochito tahu, itu adalah soetee dari Tantai Mie Ming, dia lantas minta bantuannya. Ia suka memberikan bantuannya, sebab ia mengharap nanti memperoleh kitab Pheng Hoosiang. Lantas ia turut Ngochito ke pesanggrahannya See To. Kebetulan sekali, di sini ia bertemu Thio Tan Hong dan mendapat keterangan "Hiankong Yauwkoat" sudah didapatkan si orang she Thio. Ia adalah dari tingkatan terlebih tua, iapun menganggap dirinya sebagai seorang kenamaan dalam Rimba Persilatan, tidak sudi ia meminta kitab dari Tan Hong. Maka ia sudah lantas mengundurkan diri. Ouw Bong Hoe ini tidak mempunyai kesan baik terhadap bangsa asing, lebih-lebih karena niatnya adalah mencari kepandaian yang terlebih tinggi, ia tidak perhatikan urusan peperangan antara hangsa Watzu dan Kerajaan Beng, meski begitu, karena ia tahu duduknya hal, tidak suka ia melihat Tan Hong beramai terbinasa ditangan Ngochito dan See To, ia tidak ingin kitab Pheng Hoosiang nanti terjatuh ke dalam tangan pahlawan Mongolia, dari itu seberlalunya dari sarangnya See To, terus ia pergi ke tempatnya Kimtoo Tjioe Kian, untuk memberikan kisikannya dengan menimpukan surat budek yang ditusukkan pada golok. Tentang Lim Sian In, si adik seperguruan, walaupun di lahir ia tidak memberikan sesuatu petunjuk, di dalam hatinya, ia tak dapat melupakan Ouw Bong Hoe, sang kekasih. Setelah sepuluh tahun lebih mengikuti gurunya, dia telah peroleh kepandaian tinggi, oleh gurunya ia disuruh turun gunung, untuk berdiri sendiri. Ia lantas ambil tempat di sebuah gunung di luar Ganboenkwan. Di sini ia terus melatih dirinya, untuk itu ia tidak menerima murid. Baharulah beberapa hari yang lalu, Ouw Bong Hoe datang padanya, hingga soeheng dan soemoay itu bertemu pula. Banyak yang mereka bicarakan, tetapi keduanya berduka, sebab jodoh mereka telah terhalang. Sampai waktu itu, mereka masih tidak berani bicara mengenai hal jodoh mereka. Kemudian Ouw Bong Hoe bercerita mengenai kedua cucu murid dari Hian Kee Itsoe akan keluar dari Ganboenkwan. "Selama beberapa puluh tahun soehoe bercita-cita untuk dapat menangkan Hian Kee Itsoe," berkata Lim Sian In, "hanya selama beberapa puluh tahun itu, entah kepandaian istimewa macam apa lagi yang telah diciptakan Hian Kee Itsoe itu. Soehoe pun mengharap-harap yang murid-muridnya nanti dapat menangkan juga murid-muridnya Hian Kee Itsoe itu, guna mengangkat pamornya. Sekarang ada kedua cucu murid dari Hian Kee Itsoe, mari kita pergi keluar Ganboenkwan, untuk menemui mereka, untuk kita mencoba mengadu kepandaian. Syukur jikalau kita dapat menangkan mereka, tapi andaikata kita tidak berhasil, sedikitnya kita sudah ketahui tentang kepandaian mereka itu. Dengan demikian, kita jadi berbuat jasa untuk soehoe. Siapa tahu, karena jasamu ini, mungkin soehoe kasihan dan akan sudi menerima pula kau dalam rumah perguruan..." Ouw Bong Hoe tertarik mendengar pikiran adik seperguruan ini. "Baiklah, mari kita pergi, untuk mencoba-coba," ia nyatakan persetujuannya. Demikianlah keduanya turun gunung. Mereka lantas pergi ke jalan di mana orang akan lewat, untuk mencegat. Ouw Bong Hoe berniat mencegat kedua cucu murid dari Hian Kee Itsoe, tetapi kebetulan sekali, ia bertemu Tiauw Im Hweeshio, sekalian saja ia cegat hweeshio ini, yang ditantang berkelahi. Begitulah terjadi sebagaimana kita telah ketahui. Sebenarnya tidak puas Tiauw Im atas sikap Thian Hoa, akan tetapi ia tidak bilang suatu apa. Sejak tadi ia memang sudah berdiam saja menantikan pertempurannya Tan Hong dan In Loei, dan kepandaian Tan Hong, sang keponakan murid, membuatnya ia kagum. Ia tidak sangka, keponakan murid itu demikian gagah, sanggup melayani orang yang ia sendiri tidak bisa melawannya. "Apakah kau Tjia Thian Hoa?" tanya Lim Sian In kepada penantangnya. "Tidak salah, akulah Tjia Thian Hoa yang rendah," jawab Thian Hoa. "Telah aku dengar," Lim Sian In berkata pula, "di antara murid-murid Hian Kee Itsoe, Tjia Thian Hoa-lah yang terpandai, hari ini kau datang kemari, inilah kebetulan. Aku juga ingin menyaksikan kepandaianmu!" Terus ia menyerang dengan tangan kirinya, dengan gaetannya. Thian Hoa sambuti gaetan itu, sambil memutar tangannya, ia tarik kembali pedangnya. Kimkauw Siantjoe terperanjat. Ia kena ditarik, hampir saja gaetannya terlepas. Ia terutama kaget karena gaetannya adalah untuk menaklukkan golok dan pedang, siapa tahu, sekarang gaetannya kena "ditaklukkan" pedang lawan! Thian Hoa lantas bertindak terus, selagi si nona melengak, ia gerakkan lagi pedangnya, menarik terus. Inilah jurus yang liehay dari gurunya. Kimkauw Siantjoe tidak menjublak lama, untuk menolong gaetannya, supaya terlepas, pedangnya di tangan kanan membarengi bekerja, menikam dengan tikaman "Gioklie tjoantjiam" atau "Bidadari menusuk jarum," ke arah jalan darah hiankee hiat-nya. Inilah tipu "Wie Goei kioe Tio" atau "Mengurung negeri Goei untuk menolong negeri Tio," supaya Thian Hoa segera menarik kembali pedangnya. "Mana aku sudi membiarkan diriku ditikam..." kata Thian Hoa dalam hati kecilnya. Ia lantas berkelit, pedangnya sendiri masih terus dipakai menempel gaetan lawan itu. Sian In juga menggunakan tipu, yaitu selagi orang berkelit, ia putar gaetannya begitu rupa sambil terus menarik, maka untuk girangnya, gaetan itu dapat diloloskan, sedang pedangnya, yang dipakai menikam, diubah untuk diteruskan dipakai membabat. Inilah gerakan "Pengsee lokgan" atau "Burung belibis turun di pasir datar." "Bagus!" memuji Thian Hoa atas kecerdikannya itu. "Kimkauw Siantjoe, pujian untukmu bukannya pujian kosong belaka!" Sambil berseru demikian, ia tangkis pedang orang berikut gaetannya, yang sudah dibarengi dipakai menyerang juga. Tapi ia tidak cuma menangkis, setelah itu ia merangsak, ia membabat dan menikam silih ganti, untuk mendesak. Dengan jalan ini ia berhasil membuat si nona cuma bisa membela diri sambil mundur, hingga si nona pun, dengan diam-diam, memuji keliehayan lawan ini. Ia harus mengakui, Thian Hoa berada di atasan soeheng-nya. Selagi Thian Hoa tempur Lim Sian In, Tan Hong sudah bertarung pula dengan Ouw Bong Hoe. Kali ini Tan Hong lawan musuh itu satu sama satu, ia tidak mengerubuti pula bersama In Loei. Sebenarnya ia bukan tandingan orang she Ouw itu akan tetapi sekarang ia menang di atas angin. Inilah karena Bong Hoe sudah lelah, setelah melayani Tiauw Im Hweeshio dan dikepung sepasang pemuda-pemudi yang liehay ilmu pedangnya. Begitulah selama tiga puluh jurus, ia tidak dapat menang di atas angin. Sambil berkelahi, kerap kali Thian Hoa lirik muridnya. Ia menjadi sangat girang melihat muridnya peroleh kemajuan sangat pesat, malah serangannya luar biasa, hingga ia menjadi heran. Akhirnya ia tertawa berkakakan. "Ouw Bong Hoe!" ia berkesempatan meneriaki muridnya Siangkoan Thian Va itu. "Bagaimana? Sampai muridku saja kau tidak sanggup melawan?..." Ouw Bong Hoe sangat mendongkol, karena mana tiga kali ia membalas menyerang secara dahsyat, secara berani ia mendesak, jari-jari tangannya yang liehay bekerja. Ia selalu mencari jalan darah Tan Hong. Anak muda itu cerdik, selagi didesak, ia perkecil kalangan pembelaannya, ia membuat dirinya seperti terkurung pedangnya, hingga biarpun dia sangat kosen, tidak dapat Ouw Bong Hoe memecahkan kurungan itu, hingga sia-sia saja penyerangan membalas itu. Sang waktu berjalan cepat, kedua pihak telah berkelahi sampai kira-kira delapan puluh jurus. Di pihak Thian Hoa, dia dapat membuat Lim Sian In main mundur. Adalah dipihak Ouw Bong Hoe, Tan Hong yang main mundur, tetapi dia tetap kuat dengan pembelaan dirinya. Kembali Thian Hoa tertawakan orang she Ouw itu. "Bagaimana, Ouw Laodjie?" serunya mengejek. "Sudah hampir seratus jurus! Apa masih tetap kau tidak sanggup mengalahkan muridku?" Ouw Bong Hoe menjadi malu sendirinya, karena tak dapat merubuhkan satu lawan dari tingkatan lebih muda. Ia pun menjadi berkuatir karena menampak Lim Sian In didesak musuh yang mulutnya jail itu. Maka ia pikir baiklah jangan dilanjutkan pertandingan itu. "Tjia Thian Hoa," ia lantas menyahuti, "muridmu ini memang tidak kecewa! Hanya aku lihat, kepandaianmu juga tak lebih tinggi daripadanya! Kau tahu, aku biasa menyayangi anak-anak muda yang kepandaiannya sempurna, dan itu suka aku membiarkan dia dapat bernapas. Sudah, Thian Hoa, hari ini baiklah pertandingan jangan dilanjutkan. Lain hari saja hendak aku mohon pengajaran dari kau sendiri..." Untuk membuktikan kata-katanya itu. Ouw Bong Hoe lompat mundur, untuk keluar dari kalangan. Perbuatannya ditelad Lim Sian In, habis mana, bersama-sama mereka lantas menyingkir ke arah barat utara. Tjia Thian Hoa biarkan orang angkat kaki. "Eh, Tan Hong, dari mana kau peroleh kepandaianmu?" guru ini tanya muridnya. Ia bicara sambil tertawa. "Lagi dua tahun maka aku tidak berani menjadi gurumu pula!" Lalu ia teruskan kepada Tiauw Im Hweeshio, soeheng-nya itu: "Hari ini kita menang di atas angin, tetapi ilmu silat mereka benar-benar jarang nampak di dalam Rimba Persilatan. Muridnya demikian liehay, maka dapatlah dimengerti entah bagaimana liehaynya Siangkoan Laokoay sendiri! Guru kita tidak sudi bertempur dengan Siluman Tua itu, maka aku kuatir, aku berdua soemoay-mu pun mungkin rubuh di tangannya..." Tan Hong hendak tuturkan gurunya bahwa ia telah mendapatkan kitab Pheng Hoosiang, akan tetapi sebelum ia sempat bicara, ia heran menampak muka Tiauw Im Hweeshio menjadi suram dengan mendadak. "Hm, kau masih ingat soehoe?" katanya, suaranya dalam. Thian Hoa heran. "Soeheng, apa katamu?" dia tanya. "Aku tadinya menyangka hari ini kau tidak akan datang..." kata soeheng itu. Ia tidak gubris pertanyaan orang. "Apakah soeheng sesalkan aku datang terlambat?" tanya soetee itu. Masih Tiauw Im tidak sahuti adik seperguruan itu, ia hanya menoleh kepada In Loei, keponakan muridnya itu. "Eh, In Loei, kebetulan sekali kau datang kemari!" katanya. "Kau tahu hari ini tanggal berapa?" Si nona tercengang. Ia berada di dalam perjalanan, ia sampai lupa tanggal. Ia ingat sudah dua malam rembulan bercahaya terang, maka ia menduga, kalau bukan tanggal lima belas tentu tanggal enam belas. Belum sampai ia menyahut, Tan Hong telah mendahuluinya. "Hari ini tahun Tjengtong Capgwee Caplak!" kata keponakan murid yang lelaki. Sekonyong-konyong saja In Loei ingat hari ini, Capgwee Caplak, tanggal enam belas bulan sepuluh, adalah hari dari tahun yang ke sepuluh meninggalnya kakeknya yang sangat menderita itu. Ia sudah seperti melupakan hari peringatan itu, atau sekarang hari itu nampak sangat nyata, maka tidak terasa lagi, air matanya turun bercucuran... Baharu sekarang Tiauw Im menoleh kepada adik seperguruannya. "Tjia Thian Hoa," ia berkata, "pada sepuluh tahun yang lampau itu, apakah yang kita bicarakan di sini?" Tanpa bersangsi, Tjia Thian Hoa menjawab: "Hari itu kita berdua berjanji saling menepuk tangan! Kita berjanji, yang satu merawat si anak piatu, yang satu lagi menuntut balas. Kau berjanji untuk membawa cucu perempuan dari In Tjeng kepada soemoay, untuk dirawat sampai menjadi manusia, dan aku berjanji akan pergi ke Watzu untuk membunuh Thio Tjong Tjioe!" Tiauw Im angkat kepalanya dengan jumawa, ia tertawa dingin. "Jadi kau masih ingat janji kita dengan terang sekali!" katanya pula. "In Loei, mari sini!" Nona In menghampiri dua tindak. "Kau lihat!" berkata pendeta itu kepada adik seperguruannya. "Inilah bocah cilik yang dahulu dan sekarang telah menjadi begini besar dan kenamaan sebagai ahli pedang! Dengan begini selesailah tugasku! Kau? Bagaimana dengan kau? Kau bawa atau tidak kepala Thio Tjong Tjioe?" "Tidak!" sahut Thian Hoa dengan tenang. "Hm!" si pendeta perdengarkan ejekannya. "Nyatalah kau kemaruk kekayaan dan kemuliaan, tanpa tahu malu kau telah bekerja untuk musuh!" Membarengi kata-katanya itu, Tiauw Im serang soetee-nya dengan tongkatnya. Hebat serangan itu, tongkat sampai perdengarkan angin menderu. Thian Hoa berkelit, ia lolos dari serangan tongkat itu. "Sabar!" ia berkata. "Mana soemoay? Datangkah dia kemari?" Tapi Tiauw Im menjadi bertambah gusar, meluap hawa amarahnya. "Kau berani mengandalkan kepandaianmu untuk menghina soeheng-mu?tt dia berteriak. "Aku tidak membutuhkan bantuan soemoay1. Aku hendak menghajar kau dengan tiga ratus tongkatku ini! Jikalau benar kau berani melawan yang lebih tua, hunuslah pedangmu, bunuhlah aku!" "Bukan, bukan maksudnya," jawab Thian Hoa, sang soetee. "Aku duga kau dan soemoay datang bersama. Kenapa dia tidak kelihatan?" Memang Tiauw Im telah menjanjikan soemoay-nya, adik seperguruannya, Yap Eng Eng, guru In Loei, untuk pergi ke Ganboenkwan, guna mencari Tjia Thian Hoa, oleh karena kudanya lebih kuat larinya, ia sampai terlebih dahulu daripada soemoay itu. Tapi ia menjadi heran, mengapa sang soemoay masih belum tiba, sedang seharusnya dia sudah mesti sampai. Maka itu ditanya Thian Hoa, ia melengak. "Mari kita tunggu tibanya soemoay, baharu kita bicara pula!" kata Thian Hoa. "Nanti dapat kita bicara jelas." Kembali bangkit hawa amarahnya si pendeta. "Ha, kiranya di matamu sudah tidak ada soeheng-mu ini!" dia berteriak. Dia sangka, karena soetee itu mendesak menantikan Vap Eng Eng, dia jadi tidak dipandang. Dan sambil membentak, dia menyerang pula. Menuruti tabeatnya itu, Tiauw Im menyerang terus menerus sampai tujuh atau delapan kali, hingga Thian Hoa hanya menyeringai, berduka dan malu. Dengan terpaksa soetee ini gunakan kepandaiannya, untuk menghalau diri, dengan berkelit atau menangkis, akan achirnya, menahan turunnya tongkat. "Tan Hong, kebetulan kau datang di sini!" katanya pada muridnya. "Coba kau bicara dengan djiesoepee-mu ini!" "Urusan Tan Hong telah aku mengetahuinya lebih dari separuhnya" Tiauw Im mendahului keponakan muridnya. "Dia memang tak kecewa menjadi satu laki-laki sejati! Akan tetapi ayah adalah ayah, anak adalah anak, di mana naga beranak sembilan macam, ayah, anak dan saudara-saudara pun berbeda satu sama lain! Thio Tjong Tjioe sudah menakluk kepada bangsa Watzu, dia menjadi menteri muda, dialah penghianat dan dorna yang telah bekerja sama dengan musuh! Perbuatannya itu tidak ada sangkut pautnya dengan Tan Hong! Aku cuma hendak menegurmu karena kesalahanmu, yang sudah melanggar janji dan sumpah kita!" Merocos bagaikan petasan demikian kata-kata si pendeta, yang mengumbar isi perutnya yang panas. Dan belum habis ia bersuara, tongkatnya sudah menyerang pula! Memang Hokmo thunghoat, sekali dipakai menyerang, mesti saling susul tak hentinya, umpama gelombang menyusun gelombang, maka juga Tiauw Im ini, agaknya, kecuali tongkatnya dirampas, tidak akan mau berhenti. Thian Hoa terus menerus berkelit, ia masih saja tertawa meringis. Tan Hong pun bingung, tak tahu ia mesti mengucapkan apa. Selagi Tjia Thian Hoa berada dalam kesulitan, tiba-tiba terdengar suatu suara luar biasa, yang seperti mengaung lewat di udara. Suara itu mirip dengan terompet orang Ouw akan tetapi terlebih keras. Mendengar suara itu, muka In Loei menjadi pucat. "Toako, mari turut aku!" ia segera berkata kepada Tan Hong. "Ada apakah?" tanya si anak muda. Selagi anak muda ini menanya In Loei, Tjia Thian Hoa telah menyampok tongkat Tiauw Im Hweeshio, setelah mana ia enjot tubuhnya, untuk lompat mencelat, bagaikan burung menembusi rimba, demikian ia tiba di samping kudanya Tiauw im. Kuda putih itu nampaknya kaget, dia angkat kepalanya, dia merangsang dengan kedua kaki depannya, tetapi Thian Hoa, tanpa pedulikan itu, sudah lompat naik ke bebokongnya, sedang pundaknya, yang dicekal, lantas ditepuk perlahan-lahan. Segera kuda itu lari, sambil meringkik tak hentinya, seperti orang yang tidak suka tunduk kepada penunggangnya yang asing ini. Tiauw Im menjadi sangat gusar. "Kau berani bawa kabur, kudaku!" dia berteriak. Thian Hoa merasa lucu mendengar suara soeheng-nya. Kuda itu toh ia yang mencurinya, untuk si soeheng menyingkirkan diri dari bahaya, sekarang soeheng itu membuka mulutnya tanpa berpikir lagi! In Loei pun sudah lompat naik ke kudanya, yang ia kaburkan keras, selagi kabur, tak hentinya ia berpaling ke belakang, kepada Tan Hong, berulang-ulang, untuk diajak lari bersama, seperti tadi ia mengajak sahabat itu. "Tan Hong, mari pinjamkan kuda putihmu kepadaku!" kata Tiauw Im pada keponakan muridnya itu. Ia hendak pinjam kuda orang, untuk mengejar Thian Hoa. Tan Hong sahuti paman guru itu sambil tertawa. "Djiesoepee, hari ini kau sangat lelah, baiklah kau beristirahat" demikian keponakan murid ini. "Sebentar aku datang menengok pula padamu!" Dan ia lompat naik ke atas kudanya, untuk terus kabur, guna menyusul In Loei. Bukan kepalang mendongkolnya paman guru ini, karena ia merasa tidak dihiraukan, saking penasaran, terpaksa ia lari kepada kuda Thian Hoa, untuk dipakai mengejar. Ketiga kuda itu jempolan, bukan saja larinya sudah terlebih dahulu, juga larinya sangat pesat, maka itu, meski kuda Thian Hoa bukan kuda jelek, kuda ini tidak sanggup menyusul ketiga kuda itu. Inilah menyebabkan si pendeta mendongkol terus menerus. Tjiauwya saytjoe ma adalah yang paling kencang larinya, dalam sekejap saja Tan Hong sudah dapat menyandak gurunya, habis itu ia disusul In Loei. Kuda putih Thian Hoa ini jempol, dia pun dapat mengendalikannya, tetapi kuda itu sendiri masih penasaran rupanya, di sepanjang jalan masih membandel saja, demikian maka In Loei pun dapat menyandaknya. "Soehoe, ada apa?" Tan Hong tanya gurunya itu. "Pergilah kau terlebih dahulu bersama Nona In" sahut sang guru. "Sekarang ini kau, jangan terlalu banyak bertanya..." Tan Hong menurut, ia tepuk kudanya, untuk dilarikan, guna menyusul In Loei, siapa telah lari terus, hingga pada saat itu, ia telah melewati jauh kedua guru dan murid itu. Diudara masih terdengar suara luar biasa tadi, satu panjang dan satu pendek, terdengarnya makin lama makin nyata. In Loei lari terus, didampingi Tan Hong. Tjiauwya saytjoe ma sudah lantas menyusul kuda merah si nona. Suara aneh itu masih terdengar baharu kemudian lenyap... In Loei heran, mukanya pucat pasi. "Eh, toako, kenapa suara itu lenyap?" ia tanya Tan Hong. Ia awasi pemuda itu, ia pasang kupingnya. Tan Hong heran, tak dapat ia berdiam lebih lama lagi. "Adik kecil," tanyanya, "Urusan apakah ini sebenarnya? Kenapa kau nampaknya sangat ketakutan?" "Guruku menghadapi malapetaka!..." sahut si nona akhirnya. Tan Hong kaget sekali. "Gurumu?" ia balik menanya. "Benar!" jawab In Loei. "Itulah tanda bahaya dari guruku. Cuma aku dan samsoepee yang kenal suara pertandaan itu!" Tan Hong tetap heran. "Gurumu sangat liehay, di jaman ini, cuma beberapa orang saja yang sanggup menempur dia maka heranlah aku, kenapa dia dapat menghadapi bahaya?" berkata Tan Hong. "Aku pun tidak mengerti, tetapi itu benar tanda bahaya daripadanya!" In Loei menyahuti. Di gunung Siauwhan San tumbuh semacam pohon bambu, kalau batang bambu itu dibuatnya sebagai seruling, kalau ditiup, suaranya nyaring dan tajam, suara itu dapat didengar sampai sepuluh lie jauhnya. Hoeithian Lionglie liehay tenaga dalamnya, maka dengan meniup seruling itu, dia dapat perdengarkan hingga dua kali lipat jauhnya, sampai kira-kira dua puluh lie, sedang suara itu diperdengarkan di tanah pegunungan yang sunyi. Tadinya, semasa ia belum berlatih dengan duduk bercokol menghadapi tembok, untuk menjalankan hukuman gurunya, Yap Eng Eng gunakan seruling itu sebagai alat tetabuhan biasa, sebagai mainan saja. Waktu itu secara memain ia berkata pada Thian Hoa, umpama kata dikemudian hari ia menemui sesuatu bencana, akan ia tiup serulingnya itu sebagai tanda bahaya, untuk memohon bantuan. Kemudian, ketika In Loei naik ke gunung untuk menuntut pelajaran pada gurunya ini, selama sepuluh tahun, antara mereka berdua, guru dan murid, tidak ada soal yang tidak dibicarakan, maka itu, In Loei mengetahui hal seruling itu. Itulah suara seruling yang In Loei dan Tjia Thian Hoa dengar sebagai suara yang luar biasa, yang mengalun jauh diudara, maka itu keduanya menjadi kaget, lantas mereka lari kabur meninggalkan Tiauw I m Hweeshio. Suara seruling itu berhenti dengan tiba-tiba, itulah tanda bahwa Yap Eng Eng mungkin sudah menghadapi bencana hebat atau jiwanya telah melayang, kalau tidak, mesti dia masih sanggup meniupnya terus. Tan Hong bercekat apabila ia mendengar keterangan Nona In. Tiba-tiba ia ingat Siangkoan Thian Ya berada di gunung di perbatasan antara Mongolia dan Thibet. Ia merasa pasti, kecuali gurunya sendiri, Hian Kee Itsoe, cuma Siangkoan Thian Ya seorang yang sanggup lawan Hoeithian Lionglie. Mungkinkah Siangkoan Thian Ya berada di sini dan dia menyusahkan Yap Eng Eng? Tapi dia berkedudukan di tingkat atas, sulit untuk mempercayai kedatangannya dari tempat ribuan lie hanya untuk mengganggu gurunya In Loei. Habis, kalau bukan dia, siapa lagi? Apa yang ia pikirkan, Tan Hong utarakan pada Nona In. In Loei pun sependapat dengannya. Keduanya menjadi sangat bingung, apapula In Loei, yang menjadi berkuatir. Dengan berhentinya suara seruling, sukar untuk mereka mencari arah dari mana tadi suara seruling itu datang. "Toako, bagaimana sekarang?" In Loei tanya. Yang sukar, suara tadi mengalun di udara, coba datangnya dari bawah, tentu lebih mudah mencarinya. Dalam keadaan bingung dan berkuatir, tiba-tiba mereka lihat dua penunggang kuda di depan mereka. Mereka kenali, kedua orang itu adalah Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In. Kuda mereka lari sangat pesat, dengan tidak disengaja, mereka telah dapat menyusul soeheng dan soemoay itu. Ouw Bong Hoe berpaling, dia tertawa. "Eh, Thio Tan Hong, apakah kamu menyusul kami untuk bertempur pula?" dia tanya. Tan Hong tidak menjadi gusar. "Tidak," ia menjawab dengan tenang. "Aku hanya ingin bertanya apakah di wilayah ini berdiam seorang berilmu..." Masih orang she Ouw itu tertawa. "Mana mungkin orang berilmu dapat kau ketemukan?" katanya, mengejek. "Aku tidak peduli dia suka menemui aku atau tidak, aku hendak minta kau ajak aku pergi padanya, itu juga kalau kau suka menjadi pengantar kami," kata Tan Hong. "Kau sungguh seorang yang kenal adat istiadat!" berkata Ouw Bong Hoe. Ia kewalahan karena orang tidak dapat dipancing kegusarannya. Ia lantas berpaling kepada Lim Sian In, lalu berkata: "Sammoay, coba kau tolong menanyakannya." Kimkauw Siantjoe tidak menjawab soeheng itu, ia hanya perdengarkan suitan panjang, atas mana, tak lama berselang, ia mendapat penyahutan yang bersamaan, hanya suara ini jauh lebih nyaring dan berpengaruh, suatu tanda, bahwa orang yang mengeluarkan suara itu sempurna tenaga dalamnya. Mendengar jawaban itu, Lim Sian In menggelengkan kepala. "Hari ini orang berilmu itu tidak sudi menemui siapa juga!" ia kata. Tan Hong tidak bilang suatu apa, akan tetapi ia telah mendengar nyata. Suara itu datangnya dari bukit yang berdekatan. "Terima kasih untuk kebaikanmu!" katanya pada kedua orang itu sambil menunjukkan hormatnya. Terus ia menoleh pada In Loei: "Mari, soemay" ia mengajak. Keduanya lantas meninggalkan Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In. "Hai!" si Nona Lim memanggil. "Kamu belum mendapat ijin, tetapi sudah lancang hendak mendaki bukit, apakah kamu hendak cari mampus? Ingat, kamu masih berusia sangat muda, sayang jikalau kamu sampai mati..." Tan Hong dan In Loei tidak pedulikan kata-kata orang itu, mereka larikan terus kuda mereka, hingga di lain saat tibalah mereka di kaki bukit yang mereka tuju. Sekarang sesudah berjauhan dengan Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In, mereka jalankan kuda mereka perlahan-lahan, dan akhirnya mereka lompat turun dari kuda mereka, untuk mendaki bukit dengan berlari-lari dan berlompatan, dengan menggunakan kepesatan tubuh mereka. Sebentar kemudian sampailah mereka di tengah perjalanan memanjat, mereka merasakan siuran angin halus, yang membawakan harum bunga segar, hingga hati mereka menjadi rawan. "Inilah bau harum yang biasa dipakai guruku," berkata In Loei, yang hatinya menjadi sedikit lega. "Untuk mendapatkan harum wangi yang ia gemari, soehoe membuatnya sendiri air wangi Pekhoa hiang." Lega hati Tan Hong mendengar keterangan In Loei ini. Teranglah Hoeithian Lionglie berada di gunung itu. Maka tidak ayal lagi, terus lari naik. In Loei lari mengikuti, sampai mereka tiba di puncak gunung. -ooo00dw00ooo- Bab XXIV Di atas gunung itu ada sebuah kelenteng, di samping kelenteng ada sekelompok hutan bambu, yang terkurung dengan tembok merah. Bagus pohon-pohon bambu itu yang tingginya melewati tembok. Suasana di situ sangat tenteram. Dan di situ, pemuda dan pemudi ini dapat mencium harum tadi, semakin keras. "Kenapa tidak terdengar suara senjata beradu?" tanya Tan Hong. Ia seperti bicara seorang diri. Nona In juga heran sekali, ia menjadi curiga, maka ia lantas hunus pedangnya, setelah mana ia enjot tubuhnya untuk meloncat naik. "Di sini ada orang berilmu yang tertua, jangan sembarangan..." Tan Hong nasehati. Tapi sudah kasip. Ingin ia menjambret si nona, tetapi tidak keburu. In Loei sudah sampai di atas tembok. Berbareng dengan gerakan In Loei terdengar tertawa dingin disusuli bentakan: "Lepaskan pedangmu!" Itulah bentakan yang suaranya halus, seperti suara wanita. In Loei terkejut, pedangnya seperti tersampok, tubuhnya pun limbung, hampir ia rubuh terpeleset, syukur ia sudah cukup terlatih, pedangnya tidak terlepas, tubuhnya tidak rubuh. Ketika ia berpaling, ia lihat Tan Hong pun sudah lompat naik dan roman si anak mudapun berubah seperti ia sendiri. Juga pemuda itu mendengar bentakan "Lepaskan pedangmu!" dan merasakan sampokan, akan tetapi ia lebih liehay daripada In Loei, ia tidak sampai terhuyung. Hanya ia dibarengi dengan serangan senjata rahasia, hingga ia mesti berkelit sambil menangkis. Untuk herannya dan kagetnya, ia dapatkan senjata rahasia itu adalah daun bambu, yang ujungnya lancip seperti bekas diraut, dan karena serangan itu, tangan bajunya sampai berlobang! Tan Hong kaget dan bergidik, karena tentang senjata rahasia semacam itu, pernah ia mendengar dari gurunya. Senjata rahasia daun bambu itu dibubuhi kata-kata "Memetik daun, menerbangkan bunga, sekali melukai, mesti orang mati segera." Dan inilah baharu pertama kali ia melihat senjata rahasia yang istimewa itu, yang membutuhkan latihan tenaga dalam yang luhur sekali. Ketika Tan Hong lihat pedangnya In Loei, kembali ia jadi heran. Bahagian yang tajam dari pedang si nona itu seperti dilapok daun bambu. Itulah aneh, mengingat ketajaman pedang itu, yang dapat dipakai memapas besi, tetapi daun saja tak dapat dipotong... Kemudian terdengar dari dalam pohon bambu helaan napas seperti yang mengagumi kepandaian pemuda dan pemudi itu. Tan Hong yang tahu diri sudah lantas perdengarkan suaranya. "Teetjoe adalah Thio Tan Hong dan In Loei," demikian ia berkata. "Kebetulan saja kami lewat di sini, tidak tahu kami bahwa ada tjianpwee, maka itu kami mohon maaf untuk kelancangan kami..." Menyahuti suara Tan Hong itu, terdengar pertanyaan dan titah yang keluar dari suara yang membentak tadi: "Apakah kamu murid-muridnya Hian Kee Itsoe? Baik, kamu boleh lompat turun!" "Maaf!" kata Tan Hong meski ia belum melihat rupa orang, lalu bersama-sama In Loei ia lompat turun ke sebelah dalam tembok. Segera setelah tiba di dalam kelompok pohon bambu itu, di mana ada lapangan terbuka, kedua orang ini menyaksikan pemandangan yang mengherankan mereka. Mereka tampak dua orang wanita sedang bertarung. Yang satu seorang wanita dari usia pertengahan yang romannya cantik, yang lainnya satu nyonya tua yang rambutnya beruban! Tapi In Loei menjadi sangat girang. "Soehoe" dia berseru. "Apakah soehoe baik! Inilah teetjoe." Si nyonya usia pertengahan, yang sedang bertempur hebat, cuma perdengarkan suara "Ai..." lalu ia berkelahi, agaknya tidak berani ia mengganggu pemusatan pikirannya. Dengan mendengar panggilan In Loei, tahulah Tan Hong bahwa si nyonya usia pertengahan itu adalah Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng, guru kawannya itu. Sudah lama ia dengar namanya bibi guru itu, yang ilmu pedangnya kesohor seperti ilmu pedang gurunya, baharu sekarang ia lihat romannya, maka dengan sendirinya ia lantas menaruh perhatian. Yap Eng Eng menggunakan pedang Tjengkong kiam yang umum, cara bersilatnya sama seperti cara In Loei, dia cuma menang gesit dan pesat, menang berlipat kali daripada muridnya itu. Pun aneh, pedang dimainkan begitu sebat tetapi suara anginnya tidak terdengar, jadi gerakan itu mirip dengan "hengin lioesoei" atau "mega melayang air mengalir." "Benar-benar hebat!" Tan Hong memuji dengan kekaguman. "Sayang soehoe belum tiba, kalau tidak, dengan siangkiam happek, mesti si nyonya tua dapat dipecundangkan..." Memang, Yap Eng Eng sudah liehay luar biasa, akan tetapi lawannya, tak perduli usianya telah lanjut, masih menang di atas angin, sedang senjata nyonya tua itu pun adalah sebatang bambu yang diraut mirip dengan pedang yang tajam. Kelihatannya si nyonya tua didesak, dikurung sinar pedang, akan tetapi sebenarnya, dialah yang lebih membahayakan lawannya! Cara bagaimana Hoeithian Lionglie bisa sampai di rimba bambu itu? Sebenarnya pikirannya sedang kusut. Dia turun gunung atas ajakan Tiauw Im Hweeshio, adik seperguruannya. Dia diminta Tiauw Im untuk mencari Tjia Thian Hoa, guna menegur soetee itu. Tiauw Im memberitahukan, apabila terbukti Tjia Thian Hoa telah berhianat, mendurhakai gurunya dengan menakluk kepada musuh, dia mesti membantu soeheng itu mengepung Thian Hoa, untuk disingkirkan dari dunia. Dengan Thian Hoa itu dia justeru mempunyai perhubungan istimewa. Sudah dua belas tahun keduanya berpisah, masih mereka memikirkan satu pada lain. Dia ketahui baik sifatnya Thian Hoa, seorang halus budi pekertinya dan teliti, berpikir panjang, tidak seharusnya Thian Hoa menakluk kepada musuh. Atau bila itu benar ia menghamba kepada Thio Tjong Tjioe, itu mesti ada sebabnya. Tapi, sebelum dia peroleh kepastian, tidak dapat dia menolak ajakan Tiauw Im si sembrono itu. Maka, tanpa membelai Thian Hoa lagi, ia turut Tiauw Im turun gunung. Setibanya Yap Eng Eng di kota Ganboenkwan, pikirannya menjadi bertambah kusut. Kesatu karena segera dia harus bertemu dengan kekasihnya itu, dan kedua dia kuatirkan kesudahannya apabila Thian Hoa menjelaskan segala apa. Jikalau Tiauw Im turun tangan, apa dia mesti turun tangan juga, atau berdiam saja? Inilah yang membikin dia sulit. Akhirnya dapat juga dia gunakan otaknya. Dia lantas menggunakan akal. Malam itu di rumah penginapan dalam kota Ganboenkwan, Eng Eng beritahu Tiauw Im bahwa dia kurang sehat pertama disebabkan dia telah melakukan perjalanan jauh, kedua karena pertukaran hawa udara, yang kurang tepat untuk dirinya. Maka malam itu dia hendak bersamedhi, untuk memusatkan pikirannya, guna memulihkan kesehatannya itu. Karenanya, dia kuatir dia nanti tidak dapat bangun pagi-pagi. Maka andaikata dia kesiangan, dia minta Tiauw Im suka berangkat terlebih dulu, nanti dia menyusul. Tapi sebenarnya, malam itu belum jam empat, dia telah mendahului Tiauw Im meninggalkan rumah penginapan. Dia ingin sampai lebih dahulu di tempat yang dijanjikan, supaya dia dapat bertemu dengan Tjia Thian Hoa berdua saja, agar dia dapat ketika meminta keterangan jelas dari Thian Hoa mengenai duduknya hal, supaya dia dapat menimbang dan mengambil putusan. Dia percaya Thian Hoa tengah melakukan tugas yang dirahasiakan, yang tak dapat diberitahukan kepada Tiauw Im. Dia percaya, terhadap dirinya, Thian Hoa suka menuturkan segala apa. Tiauw Im toh seorang yang sembrono, tidak seperti soemoay ini yang teliti. Tiauw Im turuti kehendak soemoay itu, ketika besoknya ia berangkat, ia menyangka Yap Eng Eng masih tidur di dalam kamarnya... Dalam hal enteng tubuh, antara saudara-saudara seperguruannya, Yap Eng Eng adalah yang paling liehay, maka itu, waktu berangkat jam empat, setelah terang tanah dia sudah sampai di Ganboenkwan. Dia berjalan terus, karena ingin segera bertemu dengan Thian Hoa. Dia berangkat terlalu pagi, dia pun lari dengan cepat, ini dia ketahui, dari itu dia tertawa sendirinya karena dia masih belum bertemu saudaranya meski dia sudah maju terlebih jauh. Ketika dia perlahankan tindakannya, dia mulai memasuki sebuah lembah, ialah lembah atau selat yang merupakan jalan penting untuk wilayah Watzu memasuki daerah Ganboenkwan. Bagus hawa udara di dalam lembah itu, permai juga pemandangannya. Bunga-bunga bwee tengah mekar. Sambil memandangi keindahan alamnya, di situ Yap Eng Eng diam menantikan Tjia Thian Hoa. Dia menjadi lebih tertarik ketika hidungnya mencium bau harum yang terbawa angin halus, yang membuat hatinya lega. Eng Eng ingat harum bau itu pernah memasuki kamar bersemedhi Hian Kee Itsoe, gurunya. Ketika itu, Eng Eng merasa heran atas kesukaan gurunya itu. Guru itu sudah berusia tujuh puluh tahun, mengapa dia masih gemar akan bau-bauan? Tentu saja, sebagai murid, tidak berani ia minta keterangan dari gurunya itu. Sekarang, di dalam lembah, Eng Eng dapat mencium bau yang ia kenal baik itu. Ia menjadi heran sekali. Ia dongak, akan melihat cuaca. Ia dapatkan waktu masih jauh untuk sampai kepada tengah hari, maka ia lantas bertindak, akan mengikuti bau harum itu. Setelah sampai di atas ia tampak sebuah rumah berhala untuk niekouw, pendeta wanita, dan di samping rumah suci itu ada hutan bambunya. Dari dalam hutan bambu itulah keluarnya bau harum itu. Dengan perlahan Yap Eng Eng bertindak ke arah rimba. Tiba-tiba dia peroleh pengalaman seperti In Loei dan Tan Hong. Dengan sekonyong-konyong orang membokong ia dengan senjata rahasia — senjata rahasia daun bambu itu. Tentu sekali, ia tidak dapat dilukai. Karena ini tahulah ia, di dalam rimba itu, mesti berdiam seorang berilmu, mungkin dia sedang bertapa. "Teetjoe adalah murid Hian Kee Itsoe," ia lantas perkenalkan diri. Ia pun hentikan tindakannya. "Teetjoe mohon bertanya she dan nama atau gelaran tjianpwee..." Di luar dugaan Eng Eng, di hadapannya segera muncul seorang wanita tua, romannya bengis, dia perdengarkan tertawa dingin. Tentu saja ia menjadi heran, hingga melengak. "Apakah kau murid Hian Kee Itsoe?" tanya si uwak sambil tertawa dingin dan mengejek. "Hian Kee Itsoe katanya liehay ilmu silatnya, di kolong langit ini dialah yang nomor satu, sekarang kau berani datang kemari dengan membawa pedang, pasti kau juga pandai ilmu pedang! Baik, ingin aku mencoba kamu! Daripada muridnya, ingin aku mencoba gurunya, ingin aku ketahui, bagaimana istimewanya ilmu silat pedang Hian Kee Itsoe itu!..." Eng Eng heran. Ia juga tidak berani turun tangan. Dari perkataan orang, rupanya orang tua ini sudah kenal gurunya. "Teetjoe tidak tahu aturan tjianpwee di sini," katanya sambil memberi hormat, "teetjoe tidak ketahui orang dilarang memasuki rimba dengan membawa pedang, harap tjianpwee memberi maaf kepada teetjoe yang lancang ini." -ooo00dwkz00ooo- (bersambung Jilid 3) CATATAN halaman 449 — Puteri Ie Kiam, Ie Sin Tjoe kelak akan menjadi murid Thio Tan Hong dan In Loei, Ie Sin Tjoe adalah salah satu peran utama dalam cerita-cerita berikutnya, Pendekar Wanita Penyebar Bunga (Sanhoa Lihiap) dan Kisah Pedang Bersatu Padu (Liankiam Hongin). halaman 452 — Taman Koaywa Lim (Saycu Lim) ini kelak terpaksa dijual Thio Tan Hong (dalam cerita Liankiam Hongin), dan dalam cerita Pendekar Pemetik Harpa (Khongling Kiam), anak keturunan Kiutauw Saytjoe (Singa Kepala Sembilan) In Thian Sek muncul lagi dan menguasai kembali taman tsb. Karena dendam pada Thio Tan Hong, keturunan Kiutauw Saytjoe membalas dendam kepada keturunan/ murid dari Thio Tan Hong dan In Tiong. Seri ke 2 Thiansan Karya : Liang Ie Shen Saduran : OKT Sumber txt otoy Ebook oleh : Dewi KZ --- http://zheraf.net/ --- Jilid 3 Tetapi nyonya tua itu tidak sudi pakai aturan. "Tidak bisa!" katanya dengan kaku. Dia menjadi semakin gusar. "Hunus pedangmu, mari kita mencoba-coba!" Dia mendesak dan memaksa. Yap Eng Eng menjadi kewalahan, ia sudah cukup merendah tetapi tidak ada hasilnya, terpaksa ia cabut pedangnya. "Kalau tjianpwee memaksa, silakan tjianpwee beri pengajaran padaku," ia kata. Perempuan tua itu ambil sebatang bambu, ia raut itu dengan telapakan tangannya hingga menjadi serupa pedang-pedangan. "Baiklah!" katanya. "Jikalau kau sanggup menahas kutung selembar bambu ini, akan aku ijinkan kau turun gunung, kalau tidak, mesti kau berdiam di sini untuk menemani aku, sampai nanti gurumu datang untuk mengajak kau pulang!..." Biar bagaimana, Yap Eng Eng juga ada semangatnya, dari itu, ia mendongkol juga akan kejumawaan orang. Dalam hati kecilnya, ia pikir: "Pekpian Hian Kee Kiamhoat-ku sudah liehay sekali, mustahil aku tidak mampu menabas kutung pedang bambu ini? Sebenarnya aku hormati kau, orang tua! Apakah kau sangka aku jeri terhadapmu?" Sampai di situ, mereka sudah lantas bertarung. Baharu saja bergebrak, Yap Eng Eng sudah mendesak hingga tiga kali beruntun, membabat ketiga jurusan, sebab keras sekali keinginannya untuk menabas pedang bambu itu. Nyonya tua itu nyata liehay sekali, ia sangat gesit. Pedangnya seperti dikurung sinar, lantas ia selamatkan diri sambil berbalik mendesak, untuk merapatkan pedang lawan, yang dibikin seperti membayanginya. Yaitu dengan mengikuti gerak-gerik pedang Eng Eng. Tidak peduli ia sudah tunjukkan kesehatannya, Eng Eng tidak berhasil menghalau pedang bambu itu. Juga baju lawan, ia tidak sanggup menyentuhnya. Ia menjadi kaget, heran dan kagum. Ia menjadi penasaran, ia mencoba bergerak lebih cepat lagi. Orang tua itu berkelahi cepat, tetapi ia berlaku tenang. Semua serangan dapat ia singkirkan. Berulangkah ia tertawa mengejek. "Begini saja ilmu pedang Hian Kee Itsoe!..." ia menyindir. "Kelihatannya kau sudah ditakdirkan berdiam di sini menemani aku si tua bangkai..." Selagi bertempur, Hoeithian Lionglie melihat cuaca berubah. Tengah hari sudah mulai mendatangi. Ia menjadi tegang sendirinya, mendongkol dan masgul, juga berkuatir... Ia tidak dapat membabat pedang musuh, ia pun tidak mampu meloloskan diri. Maka akhirnya, ia keluarkan seruling istimewanya dan meniupnya. "Hai, menarik serulingmu ini!" berkata si nyonya tua. "Kenapa di dalam rimbaku ini tidak terdapat bambu yang bagus seperti serulingmu? Merdu suara serulingmu, bolehkah aku meminjamnya?" Eng Eng tidak pedulikan perkataan orang itu, yang mengejek sambil berkelahi terus, masih ia meniup serulingnya, meniup dengan terlebih keras lagi, hingga suara seruling itu mengalun jauh. Oleh karena permintaannya tidak digubris, sekarang si nyonya tua berkelahi sambil mencoba merampas seruling orang. Dua belas tahun Eng Eng bersemedhi menghadapi tembok, kecuali memahamkan lebih jauh ilmu pedangnya, ia juga meyakinkan dua macam ilmu lainnya yang liehay. Yang pertama dinamakan "Lioein Kiamhoat", yaitu ilmu pedang "Mega Melayang". Yang dinamakan pedang tetapi bukannya pedang melainkan ujung tangan baju, kalau tangan baju itu dipakai mengibas atau menyambar, ia dapat melibat senjata musuh, untuk dirampas. Yang kedua ialah "Kioeseng Tengheng Tjiam" atau "Jarum Sembilan Bintang", jarum mana bisa dipakai menyerang sekaligus, dengan jalan darah sebagai sasarannya. Sekarang Yap Eng Eng melihat orang hendak merampas serulingnya, ia menjadi habis sabar, terpaksa ia kibaskan tangannya, untuk menyambar pedang bambu itu. Ia pikir, kalau berhasil melibat, ia hendak patahkan pedang itu. Tiba-tiba terdengar suara memberebet, untuk kagetnya Eng Eng dapatkan tangan bajunya berlobang dan robek, terkena dua jari tangan si nyonya tua, berbareng mana, serulingnya pun kena dirampas. "Inilah kepandaianmu yang baik," berkata si uwak, "sayang latihan tenaga dalamnya masih kurang. Kau masih belum berhasil mematahkan pedangku! Maka tidak ada lain jalan, kau mesti berdiam di sini untuk temani aku bermain!" Eng Eng tidak berhasil mematahkan pedang bambu si uwak, tapi ia dapat melibat sebentar dan menyampok pedang itu, ke samping. Di samping itu, ujung bajunya robek, serulingnya berpindah tangan. Ini berarti, dia kalah, si nyonya tua yang menang di atas angin. Tapi di samping itu, ia termasuk kaum muda, si nyonya kaum tua, tinggi kedudukannya, ia tak usah malu. Nyonya tua itu diam-diam mengagumi juga lawan yang muda ini. Walaupun dia kalah Hoeithian Lionglie tidak berhenti sampai di situ. Ia juga penasaran sekali. Sekarang ia melanjutkan menggunakan kepandaian yang kedua. Ia menuding dengan jari tangannya, lalu memanah dengan sembilan batang jarumnya. Sehabis merampas seruling itu, si nyonya tua bawa seruling itu ke mulutnya. "Menarik seruling ini," katanya, "nanti aku tiup..." Lalu ia meniup, memperdengarkan suara yang halus, lebih sedap didengarnya daripada lagunya Eng Eng. Tapi yang heran, angin seruling itu pun berbareng meniup kembali ke sembilan batang jarum rahasia, hingga tak sebatang jua yang mengenai si uwak itu. "Ilmu senjata rahasiamu belum terlatih sempurna," kata pula si uwak sambil tertawa. "Mari kita mengadu pedang lagi seperti bermula..." Dia segera menyerang. Ketika Hoeithian Lionglie melayani, pedangnya terkurung pula seperti tadi. Selama pertempuran itu, sang waktu telah berlalu terus. Eng Eng berkuatir sekali. Ia pikirkan Thian Hoa. Mungkin soeheng itu sudah tiba di tempat yang dijanjikan mereka. Adakah Thian Hoa mendengar suara seruling itu? Inilah sangat diharapkan. Kalau Thian Hoa datang, ia percaya ia dapat ditolong. Begitu, dalam saat ketegangannya itu, ia lihat orang berlompat kepada mereka. Mulanya ia menyangka Tjia Thian Hoa, tidak tahunya, orang itu adalah muridnya yaitu In Loei, bersama satu pemuda yang cakap tampan. Ia tidak kenal anak muda itu, akan tetapi melihat roman orang, ia percaya orang itu gagah, mungkin melebihi muridnya. In Loei heran menyaksikan gurunya tidak sanggup melawan nyonya tua itu, ia melirik kepada Tan Hong, terus ia maju. "Soehoe," ia berkata kepada gurunya, "suka muridmu berbuat sesuatu untuk soehoe, dari itu harap soehoe perkenankan muridmu main beberapa jurus bersama lootjianpwee ini, supaya muridmu dapat menambah pengetahuan..." Hoeithian Lionglie bersangsi, hingga ia awasi murid serta kawannya itu. Ia sendiri kalah, apakah muridnya dapat mengalahkan orang tua itu? Apakah murid itu tidak tahu "langit tinggi" dan "bumi rendah"? Oleh karena datangnya kedua anak muda itu, si nyonya tua lantas lompat mundur, hingga pertempuran terhenti. "Bagus" katanya sambil tertawa. "Aku memang senang pada anak-anak muda yang nyalinya besar! Adakah kamu murid-murid golongan ketiga dari Hian Kee Itsoe? Pelajaran apa saja yang kamu telah yakinkan? Hayo kamu coba, ingin aku menyaksikannya!" Hoeithian Lionglie mengeluarkan napas lega. Dari kata-kata si orang tua itu, teranglah dia tidak mengandung maksud jahat, hingga ia percaya, terhadap sepasang anak muda itu dia tidak akan berlaku kejam. "Baiklah," katanya kepada muridnya dan kawannya, "pergi kamu melayani lootjianpwee untuk beberapa jurus. Kamu harus berlaku hati-hati!" Nyonya tua itu, dengan sembarangan saja, sudah siap dengan pedang bambunya, yang dia bawa ke depan dadanya. "Eh, mengapa kamu masih belum mulai?" ia tegur mereka apabila ia lihat orang masih berdiam saja. Tan Hong dan In Loei, dengan pedang ditangan-nya masing-masing, lantas memberi hormat. "Harap lootjianpwee memberikan pengajaran kepada kami," berkata Tan Hong. Lalu, dengan sebat sekali, dengan berbareng, keduanya menggerakkan pedang mereka. Mulanya pedang dibuka ke kiri dan kanan, lalu dirapatkan satu pada lain, habis mana, dengan secara tiba-tiba, keduanya dipakai menyabet ke arah pinggang! Nyonya tua itu memandang enteng. Bukankah mereka itu dari generasi ketiga dari Hian Kee Itsoe? Biar mereka pandai, sampai di manakah kelihayan mereka itu? Maka ia bersikap acuh tak acuh. Tapi, setelah penyerangan datang bagaikan kilat, baharulah ia terperanjat. Ia pun kaget karena jarak antara mereka dekat sekali. Ia juga tidak sempat lagi menangkis. Maka dengan terpaksa ia lompat mencelat tinggi! Menampak demikian, dengan sikutnya, Tan Hong bentur In Loei, sampai si nona terhuyung mundur, ia sendiri mundur juga. Nyonya tua itu, yang telah menginjak bumi pula di hadapan mereka, tertawa manis. "Bagus, anak-anak muda! Nah, marilah kamu maju pula!" Dia melompat tinggi untuk menolong dirinya, habis itu dia turun sambil membabat dengan pedangnya, tetapi dia kecele, karena kedua lawannya sudah mundur pula. Mau atau tidak, dia mesti puji kecerdikan kedua lawan itu. Dia tidak mendongkol, sebaliknya, dia senang melihat orang cerdas. Tan Hong lihat cara orang berlompat, ia mengerti ancaman bahaya akan segera datang, karenanya, ia bentur In Loei, sebab lain jalan daripada itu sudah tidak ada lagi. Mulanya In Loei heran tetapi segera dia mengerti, maka dia tidak berkecil hati. Setelah itu si nyonya tua maju untuk menyerang, begitu lekas sepasang anak muda itu melayani dia, dia mencoba mempengaruhi pedang orang. Dia sekarang insaf akan keliehayan kedua anak muda itu, maka tidak mau dia berlaku sembarangan, malah sebaliknya, dia lebih bersungguh-sungguh daripada waktu melawan Hoeithian Lionglie tadi. Oleh karena ini, Tan Hong dan In Loei mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Setelah melalui kira-kira lima puluh jurus, si nyonya tua masih tak dapat menang di atas angin. Juga Hoeithian Lionglie berdiri menjublak mengawasi sepasang anak muda itu. Ia kagum dan heran melihat Tan Hong, yang ilmu pedangnya demikian tepat mengimbangi pelbagai gerakan In Loei, muridnya itu. Semua gerakan si anak muda itu wajar, seperti boleh melatih. "Ah, rasanya aku kenali ilmu silat pemuda ini..." pikirnya kemudian. Ia kenal tetapi tak dapat ia menyebutkannya. "Dahulu soehoe mempunyai dua macam ilmu pedang, ia ajarkan itu masing-masing kepada Thian Hoa dan aku dan kita dilarang saling mengajari satu pada lain. Apakah ilmu pedang anak ini, ilmu pedangnya Thian Hoa, yang belum pernah aku lihat?..." Pertempuran masih berlangsung terus, adalah setelah itu, dengan perlahan-lahan baharulah si nyonya tua mulai menang di atas angin, pedangnya — walaupun pedang bambu — mulai memperlihatkan pengaruhnya. Tan Hong dan In Loei menjadi heran. Sejak mereka kenal satu pada lain, dengan paduan ilmu pedang mereka Siangkiam Happek, belum pernah mereka menemui tandingan, sekalipun Ouw Bong Hoe dan Kimkauw Siantjoe Lim Sian In bergabung menjadi satu, kedua pihak sama tangguhnya, mereka tidak sangka nyonya tua ini sangat liehay. Semua serangan mereka dengan mudah dapat dielakkan. Mereka menjadi berkuatir ketika mereka tak dapat lagi melakukan penyerangan membalas, malah untuk membela diri saja, mereka kewalahan. Pada saat Tan Hong memikir untuk menyerah saja, tiba-tiba ia dengar bentakan si nyonya tua: "Siapa itu yang datang? Letakkan pedangmu!" Lalu nyonya itu lompat, untuk menyambar daun bambu dengan apa dia mulai menyerang dengan rapat, seperti "boanthian hoaie," atau "seluruh langit penuh dengan hujan bunga." Menyusul itu terdengar suara bentroknya daun-daun bambu itu, yang terus jatuh berserakan, menampak mana, si nyonya tua menjadi heran. Nyata dia tengah menghadapi orang yang terlebih liehay daripada Hoeithian Lionglie. Bahwa orang mestinya kosen, inilah sudah diduga, karena itu, dia lantas menyerang dengan hebat. Setelah serangan daun bambu itu, di atas tembok terlihat munculnya seorang yang terus lompat turun dengan gerakan enteng sekali. Ketika Hoeithian Lionglie melihat orang itu, ia tercengang bahna herannya. Itulah orang yang selama dua belas tahun ia pikirkan tak sudahnya. Yaitu Tjia Thian Hoa, soehengnya dan orang yang dicintainya. "Soemoay, kau baik!" tegur Thian Hoa selagi ia bertindak menghampiri. "Shako, kau baik!" ia membalik. "Apakah shako telah bertemu djiesoeheng?" Baharu Thian Hoa hendak menjawab adik seperguruannya, atau si nyonya tua telah menegur padanya: "Apakah kau juga muridnya Hian Kee Itsoe? Mari, mari, kau pun boleh mencoba-coba denganku!" Tjia Thian Hoa tertawa. "Soemoay," ia kata pada Yap Eng Eng, "baik kita tunda pembicaraan tentang kita, mari kita penuhi dahulu kehendak nyonya yang terhormat ini yang sangat pandai, sambil melatih pedang kita. Tan Hong, kamu bukan tandingan lootjianpwee ini, kenapa kamu tidak hendak lantas mengaku kalah?" Tan Hong dengar perkataan gurunya itu, berbareng dengan In Loei, ia menarik kembali pedangnya sambil berlompat mundur. Dengan tetap menyekal pedangnya, mereka memberi hormat kepada si nyonya tua sambil berkata: "Terima kasih banyak untuk pengajaran Lootjianpwee, hingga tak sedikit kami peroleh kefaedahan." Nyonya tua itu bersenyum. "Kamu dapat melayani aku sampai lima puluh jurus, kamu bukannya kalah," katanya dengan tenang. "Baiklah, kamu boleh mundur, untuk digantikan oleh gurumu!" "Kami juga akan maju berdua," berkata Hoeithian Lionglie, yang mendapat ketika untuk beristirahat. "Itulah baik sekali," jawab si orang tua. "Memang aku ingin menyaksikan kepandaian murid-murid Hian Kee Itsoe." Thian Hoa tidak lantas maju, hanya sambil mengawasi nyonya tua itu, ia berkata. "Lootjianpwee, sudikah kau memberitahukan kami tentang hubungan lootjianpwee dengan guru kami?" demikian ia tanya. Tiba-tiba si nyonya tua menunjukkan roman gusar. "Hian Kee Itsoe agulkan dirinya sebagai orang nomor satu di kolong langit ini, aku si tua bangka, mana berani aku bersahabat dengannya?" sahutnya, kaku. "Kamu juga tak usah menyebut-nyebut tentang persahabatan, baik kamu keluarkan saja semua kepandaianmu yang telah kamu peroleh dari Hian Kee Itsoe!" Hoeithian Lionglie heran. Dari kata-kata orang tua ini, mestinya antara dia dan guru mereka ada sesuatu sangkutan, hanya entah urusan apa itu. Thian Hoa tidak menjadi gusar atau kecil hati karena suara keras itu, ia malah bersenyum. "Kalau begitu, kami turut perintah saja," katanya. "Harap lootjianpwee memberi maaf kepada kami..." Kata-kata ini disusul dengan gerakan pedang yang pertama, yang sebat sekali, yang diturut pula oleh Yap Eng Eng. Hoeithian Lionglie bersilat seperti biasa, ia tidak harap dengan satu kali gebrak saja akan peroleh kemenangan, akan tetapi Siangkiam Happek benar-benar liehay, ketika kedua pedang bergerak berbareng, tanpa merasa si nyonya tua yang liehay itu mesti mundur tiga tindak. Eng Eng menjadi girang sekali, di dalam hatinya, ia berkata: "Ilmu pedang ciptaan soehoe ini benar-benar istimewa!..." Ilmu pedang yang Thian Hoa dan Eng Eng gunakan adalah sama dengan ilmu pedang Tan Hong dan In Loei, akan tetapi perbedaan di antara mereka besar sekali, dan itu disebabkan latihan atau tenaga dalam mereka. "Sekarang baharu aku saksikan kepandaian Hian Kee Itsoe!" berkata si nyonya tua setelah dia maju pula, sambil memainkan pedang bambunya. Lalu terlihatlah tubuhnya bergerak-gerak dengan sangat lincah, tangan bajunya seperti berkibar-kibar. Thian Hoa tidak menjadi gugup, ia juga berlaku gesit untuk melayani orang tua itu. Erat kerja samanya dengan Yap Eng Eng, hingga karenanya, pertandingan menjadi sangat seru. Kedua pihak sangat gesit, hingga dalam sekejap saja, lima puluh jurus telah lewat. "Maaf!" seru Thian Hoa, yang lantas saja mengubah gerakannya, hingga ia menjadi lebih gesit, dalam hal mana, ia terus diimbangi Yap Eng Eng. Dalam gerakan kali ini, terdengarlah suara dari beradunya pedang-pedang dan, memberebetnya suara baju robek. Itulah suara pedang bambu dari si nyonya yang tertabas kedua pedang lawannya, hingga pedang itu terkutung menjadi empat, dan robeknya kedua ujung baju si nyonya! "Maaf!" berkata pula Thian Hoa, dan Yap Eng Eng, sambil menarik kembali pedang mereka. Nyonya tua itu melemparkan sisa pedang bambunya. "Tak dapat aku menahan kamu, pergilah!" berkata-dia, yang romannya menjadi lesu. Beberapa puluh tahun dia telah keram diri di rimba pohon bambu ini, dia percaya dia akan dapat menandingi Hian Kee Itsoe, tidak disangka, dia rubuh di tangan murid orang. Thian Hoa berempat memberi hormat, tanpa bilang apa-apa lagi, mereka mengundurkan diri dari rimba bambu itu. "Liehay ilmu silat nyonya tua itu," berkata Eng Eng di tengah jalan. "Kita masih berbeda jauh sekali daripadanya. Aku lihat di jaman kita ini kecuali guru kita dan Siangkoan Thian ya, dialah jago yang ketiga." "Bila mereka itu mengadu kepandaian, itulah baharu suatu pertandingan yang hebat," berkata In Loei. "Mungkin mereka pernah mengadu kepandaian," kata Thian Hoa sambil tertawa. "Sayang kita dilahirkan belakangan hingga kita tidak dapat menyaksikan mereka!" "Aku rasa dia mempunyai perhubungan erat dengan guru kita," Eng Eng utarakan dugaannya. "Shako, mendengar perkataanmu tadi, kau agaknya ketahui siapa nyonya tua itu..." "Di pihak kita," sahut Thian Hoa, "yang mengetahui tentang dia, selainnya soehoe, mungkin toasoeheng. Pernah aku dengar samar-samar toasoeheng mengatakan, pertentangan antara soehoe dengan Siangkoan Thian Ya, tidak hanya disebabkan perebutan menjadi kepala dari kaum Rimba Persilatan, tetapi juga tersangkut hal seorang nona yang gagah luar biasa. Aku telah minta penjelasan padanya tetapi toasoeheng sungkan memberitahukannya. Toasoeheng tidak sudi berkata-kata perihal soehoe." "Bagaimana dengan toasoeheng sendiri?" tanya Eng Eng. "Sudah lama aku tidak melihat dia," jawab Thian Hoa. "Aku dengar desas-desus, kamu semua telah mendapat salah pengertian terhadapku..." "Itulah benar," Yap Eng Eng akui. "Sepuluh tahun lamanya kau berdiam di negeri Watzu, sebenarnya apa saja yang kau kerjakan di sana? Kenapa kau pernahkan dirimu di bawahan Thio Tjong Tjioe?" Tjia Thian Hoa tertawa. Ia tidak jawab pertanyaan itu. "Tan Hong, mari aku ajar kau kenal!" katanya kepada muridnya. "Soemoay, dia adalah puteranya Thio Tjong Tjioe, ialah murid yang aku terima di Watzu." Tan Hong lantas maju, untuk memberi hormat. Eng Eng menjadi heran. "Kau telah mendapatkan murid yang pandai!" kata dia. "Pantas tadi dia bersama-sama In Loei sanggup melayani orang tua itu selama lima puluh jurus..." Hoeithian Lionglie merasa heran sekali, ia menjadi curiga. Mustahil cuma sebab hendak mengambil satu murid, Thian Hoa jadi tidak merasa terhina untuk bekerja di bawahannya Thio Tjong Tjioe, orang Han yang menjadi menteri bangsa asing itu? Thian Hoa dapat menduga kecurigaan soemoay itu. "Ceritaku panjang, maka itu, marilah kita cari dulu soeheng kita," berkata Thian Hoa. Berempat mereka turun gunung. Untuk melanjutkan perjalanan, In Loei ajak gurunya naik di atas kudanya, dan Tan Hong bersama gurunya naik atas Tjiauwya saytjoe ma, maka itu, dengan cepat mereka dapat lakukan perjalanan mereka, belum sampai setengah jam mereka sudah tiba di luar Ganboenkwan di tempat di mana mereka sudah berjanji untuk bertemu. Akan tetapi di situ, mereka tidak lihat Tiauw Im Hweeshio. "He, ke mana perginya djiesoeheng?" kata Eng Eng. "Kuda kita dapat lari keras, mari kita cari padanya," mengajak Thian Hoa. "Mari kita cari dia di sekitar sini." "Baiklah kita mencari dengan berpencaran," Tan Hong usulkan. "Tak usah kau terus turut kita," kata Thian Hoa pada muridnya. "Di dalam negeri Watzu akan terjadi suatu perubahan besar, mungkin ayahmu berada dalam bahaya. Kalau tidak untuk bertemu dengan djiesoeheng, tidak nanti aku datang kemari. Kau pergilah bersama In Loei, kudamu dapat lari keras." Tan Hong menjadi berkuatir. "Ada ancaman bahaya apa, soehoe?" tanyanya. "Yasian mencurigai ayahmu berhati dua," Thian Hoa jelaskan, "maka itu setelah dia menarik kembali angkatan perangnya, niatnya menjadi semakin keras untuk merampas pemerintahan. Cita-citanya sebagai Soema Tjiauw, semua orang telah mengetahuinya. Aku hanya kuatir, niatnya itu akan diwujudkan dalam satu hari satu malam..." Tan Hong menjadi berkuatir. Memang ayah terancam bahaya, apapula ayah itu mengandung maksud membantu kerajaan Beng. Karena ini, tak sempat ia bertanya banyak-banyak, habis memberi hormat kepada gurunya dan juga kepada Yap Eng Eng, ia segera berlalu dengan mengajak In Loei. Tjia Thian Hoa awasi kedua anak muda mengaburkan kuda mereka. "Mereka lebih beruntung daripada kita!" katanya sambil bersenyum. Muka Yap Eng Eng menjadi bersemu dadu. Ia merasa, Tan Hong dan In Loei itu bagaikan bayangan mereka berdua — ia dan Thian Hoa. Tan Hong bersama In Loei melarikan kuda mereka sekeras-kerasnya, maka dengan segera mereka memasuki daerah Watzu, setelah tujuh hari, tibalah mereka di tanah datar Tjumushentji, sesudah melintasi tanah datar ini, kira-kira dua ratus lie lagi, mereka akan sampai di kota raja negara Watzu itu. "Lagi dua hari, kita sudah akan sampai!" kata Tan Hong sambil bersenyum, karena setelah berjalan demikian jauh, hatinya mulai menjadi lega. Ia tahu benar, kudanya, dan kuda In Loei juga, bisa lari setiap hari lima ratus lie. Ia tarik sebuah buli-buli yang digantung di pelana kudanya, di dalamnya ia simpan minumannya yang dinamakan "manaitjiu" atau arak susu kuda, yang dapat dibeli di sepanjang jalan. Ia menambahkan: "Sudah sekian lama aku tidak pernah merasakan pula minuman ini. Adik kecil, apakah kau hendak minum juga sedikit?" Keluarga Thio ini sudah lama tinggal di Watzu, maka itu tahulah Tan Hong segala makanan atau minuman bangsa asing itu, dan manaitjiu ini meskipun tidak dapat melawan arak Tiongkok tetapi rasanya boleh juga. In Loei menggelengkan kepala. "Tidak, aku tidak mau," jawabnya. "Tak suka aku pada sarinya yang asam." Tan Hong buka sumpal buli-buli itu, lalu ia bawa buli-buli itu ke mulutnya sendiri, untuk digelogokkan isinya. "Lihat, adik kecil, bagaimana indahnya pemandangan alam di sekitar sini," ia kata kepada kawannya. In Loei tertawa. "Lihatlah, salju tengah beterbangan," katanya. "Sekarang sudah jauh musim dingin, perjalanan akan menjadi lebih sukar, maka marilah kita mengejar waktu!" Tan Hong pun tertawa. "Sekarang sudah jauh musim dingin, itu artinya musim semi akan segera datang!" katanya. Ia tenggak pula minumannya, terus ia bernyanyi. Ia menyanyikan syair "Berperang ke Barat" dari Gim Som: "Di negeri Hsiungnu, rumput kuning artinya kuda sedang gemuknya, di Barat bukit Kim San tampak debu beterbangan, itu tandanya jenderal besar bangsa Han tengah maju berperang ke Tanah Barat! Hai, adik kecil, meskipun kita, bukannya jenderal besar Han itu, tetapi pentingnya perjalanan kita ini tak kalah dengan majunya jenderal besar itu!" In Loei pun tertawa, ia berkata: "Siapa berandalan, siapa gagah, dialah orang kenamaan. Siapa bisa menangis, siapa bisa bernyanyi, dia melebihi orang biasa. Kau bukannya orang kenamaan, kau hanya seorang gagah, tidakkah itu sayang?" Tan Hong tertawa pula. "Berapa harganya orang kenamaan? Menjadi orang gagah pun aku sungkan!" kata dia. "Aku hanya ingin bekerja menuruti kehendak hati sendiri, supaya di saat ajal hampir tiba jangan meninggalkan penyesalan. Dengan begitu tidaklah kecewa kita hidup!..." Dengan ini samar-samar Tan Hong menunjuk kepada perjodohannya dengan In Loei, supaya jodoh itu dilangsungkan secara wajar, jangan sampai terhalang karena rintangan lain orang, hingga karenanya mereka jadi melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati sendiri. Mendengar itu, In Loei membungkam. "Eh, adik kecil, apa yang kau pikirkan?" tegur Tan Hong. Si nona paksakan diri untuk tertawa. "Aku sedang pikirkan... aku sedang pikirkan..." sahutnya, tak lancar. "Ya, kita telah berjalan selama beberapa hari, tapi kita tidak pernah melihat pengembala-pengembala yang pergi ke Selatan untuk menghindarkan diri dari musim dingin. Bukankah syair Gim Som itu mengatakan di Barat bukit Kim San tampak asap dan debu beterbangan? Kenapa kita cuma melihat debu yang beterbangan saja dan asapnya tidak?" Di Mongolia itu, setiap musim dingin, biasanya rakyat pengembala pergi mengungsi ke Selatan, untuk menyingkir dari penderitaan hawa dingin, sambil mengungsi mereka berusaha mengumpulkan barang keperluan sehari-hari untuk pada musim semi membawa pulang barang itu untuk dijual. Sebenarnya, Tan Hong pun heran karena selama beberapa hari itu, ia tidak pernah melihat mengungsi kaum pengembala, sedang biasanya, yang tampak paling dahulu adalah kuda mereka yang berkelompok. Ia mesti benarkan pendapat In Loei itu, tetapi walaupun demikian, ia toh memikirkan pula. Tiba-tiba mereka dengar suara kelenengan. "Nah, lihat, lihat itu!" serunya sambil tertawa. "Bukankah itu kaum pengembala yang tengah menuju ke Selatan?" Ia lantas palingkan kepalanya. In Loei segera menoleh. Di kejauhan mereka tampak seekor onta tengah mendatangi. Itulah binatang yang perdengarkan suara kelenengan. Berombongan dengan onta itu ada beberapa ekor kuda. "Kelihatannya yang mengungsi itu cuma satu keluarga," berkata si nona. "Biasanya mereka membuat perjalanan dalam rombongan-rombongan besar." "Lihat!" kata TanHong. "Lihat di belakang mereka itu, masih ada rombongan lainnya... Eh, mereka bukannya kaum pengembala, hanya serdadu Mongolia!" Memang, dengan menerbitkan debu mengepul-ngepul, belasan serdadu Mongolia tengah mendatangi. Atau lebih tepat lagi, serdadu-serdadu itu sedang mengejar rombongan gembala di sebelah depannya. Mereka mengaburkan kuda mereka, tidak heran jikalau mereka segera dapat menyusul. Dan mereka sudah lantas bersikap keras terhadap rombongan itu, yang rupanya mau ditangkapi, mereka main tarik. Maka sejenak itu terdengarlah ratap tangis dari lelaki atau perempuan dari rombongan pengungsi itu. "Eh, itulah paksaan ketentaraan!" seru In Loei. Kenapa wanita hendak ditangkap juga? Kita telah saksikan mereka, tak dapat kita diam saja!" Nona ini menjadi sangat mendongkol. Tan Hong, yang telah dipengaruhi sedikit oleh araknya, menyahuti: "Baiklah! Mari kita binasakan beberapa serdadu Mongolia, kita rampas kudanya untuk diberikan kepada kaum pengembala itu!" "Jangan, jangan kau binasakan mereka!" mencegah In Loei. "Seorang serdadu pun jangan kau binasakan. Kita usir saja mereka!" Tan Hong bersenyum. Ia tahu In Loei pemurah hati, ia pun bicara dengan maksud bergurau. "Baiklah, aku turut kau!" katanya. Lalu mereka larikan kuda mereka, akan menghampiri rombongan serdadu Mongolia serta pengungsi itu. Pada saat itu seorang serdadu telah menangkap seorang wanita, dan beberapa serdadu lainnya, dengan panahnya, sedang mengancam dua pria. "Kenapa kamu tidak mendengar titah Thaysoe?" demikian terdengar satu serdadu. "Kenapa kamu lancang?" Dua pengungsi pria itu, yang satu sudah berusia lanjut, yang lainnya masih muda. "Baik, kami akan turut kamu kembali," berkata yang tua. "Akan tetapi anakku ini tak dapat kamu tangkap!" Ia maksudkan anak perempuannya. "Kamu telah melanggar titah Thaysoe, kamu semua akan dihukum!" bentak serdadu tadi. In Loei dengar pembicaraan itu, ia menjadi lebih gusar. Ia keprak kudanya untuk maju mendekati. "Ah, itulah dua ekor kuda yang bagus!" berseru serdadu Mongolia itu. "Eh, ada lagi dua orang Han!..." Lalu mereka maju, untuk mendekati In Loei berdua. "Apakah kamu menghendaki kuda ini?" tanya Tan Hong sambil tertawa. "Nanti aku menghadiahkannya kepadamu! Hanya aku kuatir kamu tidak nanti sanggup mengendalikan kuda ini..." Kuda Tjiauwya saytjoe ma sudah lantas mengamuk. Ia terjang serdadu-serdadu Mongolia itu, ia mendupak sana-sini, hingga serdadu-serdadu itu jatuh bangun. Orang yang menjadi kepala tak memandang mata kepada In Loei, ia maju kepada si nona, dengan mengulurkan sebelah tangannya, ia hendak menangkap nona itu. In Loei tangkis tangan orang itu, begitu keras, hingga perwira itu terjungkal dari atas kudanya. "Benar-benar kamu berani mengganas!" bentak Tan Hong. "Lihatlah kuda ini!" Dan ia ayunkan tangannya, tampaknya ia tidak memakai tenaga, tetapi kuda si perwira lantas saja rubuh dengan batok kepalanya pecah. Semua serdadu Mongolia itu kaget, hingga mereka berdiri menjublak. Itulah tangan yang liehay sekali. In Loei, yang kemurkaannya sudah berkurang, tertawa menampak tingkah serdadu-serdadu itu. "Kenapa kamu masih tidak hendak pergi dari sini?" ia tanya mereka. "Apakah kamu hendak mencari mampus?" Benar-benar rombongan serdadu itu menjadi sangat ketakutan, dengan satu teriakan mereka lari kepada kuda mereka masing-masing untuk segera kabur. Celaka bagi si perwira, yang kudanya telah terbinasa, saking takutnya ia pun angkat kaki, larinya terhuyung-huyung. Si pengembala tua lantas menghampiri Tan Hong, untuk memberi hormat, untuk menghaturkan terima kasih mereka. "Mereka tadi menyebut-nyebut titah dari Thaysoe, titah apakah itu?" tanya Tan Hong. "Sekembalinya Thaysoe dari luar negeri, ia telah mengumumkan sebuah titah," sahut si pengembala. "Dengan titah itu, sejak musim dingin, kami dilarang pergi mengungsi ke Selatan, katanya kami mesti menunggu sampai selesainya pengumpulan tentera baru. Sekarang ini sudah banyak anak-anak muda yang telah diambil dengan paksa, untuk dijadikan serdadu. Aku telah berusia lanjut, anakku cuma satu laki-laki satu perempuan, jikalau anakku yang lelaki diambil, pasti sekali bersama anakku yang perempuan aku akan mati sengsara. Oleh karena itu, dengan terpaksa kami melarikan diri. Jika perbuatan kami ini diketahui, pasti kami akan dituduh sudah berangkat mengungsi, dan itu artinya, kami akan kehilangan jiwa kami. Tapi kejadian tadi adalah lain, rombongan serdadu itu bukannya menuduh aku telah melanggar titah, tetapi mereka justeru hendak merampas gadisku..." Mendengar keterangan itu, Tan Hong segera dapat pikiran, dengan mengumpulkan tentera baru, terang sudah Yasian, si thaysoe, telah mengandung maksud untuk berontak, guna merampas tahta kerajaan Watzu. Karena ini, ia kuatirkan keselamatan ayahnya. Karena ini juga, ia tidak mempunyai kegembiraan lagi untuk bertanya banyak pada pengembala itu, ia ingin segera pamitan... Akan tetapi tidak demikian dengan In Loei. "Kamu orang mana?" tanya si nona In, sambil memegangi tangan gadis pengembala tua itu. "Siapakah namamu?" Kedua matanya menatap tajam wajahnya gembira. "Kami dari suku Ngolo," sahut nona itu. "Kami tinggal di lembah selatan gunung Tangkula. Namaku Tjitjelo..." "Tjitjelo Anmei!" kata In Loei, meneruskan. "Entjie Anmei, kau baik!" Gadis pengembala itu menjadi heran, hingga ia berdiri tercengang, kemudian ia tatap wajah Nona In. Ia heran kenapa orang mengetahui namanya dan memanggil ia entjie (kakak). Ia mencoba akan mengingat-ingat akan tetapi sejenak itu, tak dapat ia mengingatnya. Tan Hong pun heran, maka ia awasi kawannya itu. In Loei menunjukkan roman sangat tegang, ketika ia bicara pula, suaranya pun menggetar. "Bagaimana dengan Antjilo, nyonya tua Mi In?" demikian pertanyaannya pula. "Apakah nyonya tua itu masih ada di sana?" Nona Ngolo itu masih mengawasi. "Apakah kau maksudkan nyonya tua yang menikah dengan seorang Han?" dia tegaskan. "Benar," sahut In Loei dengan cepat. "Oh!..." seru si nona tertahan. "Kau jadinya In... In..." "Ya, aku In Loei !" jawab Nona In. "Masih ingatkah kau padaku? Waktu kita masih kecil, bersama ibuku sering aku pergi ke lembah menyaksikan kamu menggembala kambing..." In Loei meninggalkan Mongolia dalam usia tujuh tahun, maka itu, segala apa ia ingatnya samar-samar. Nona pengembala ini adalah kawannya semasa kecil. Dan nyonya tua Antjilo Mi In itu, yang ia tanyakan adalah ibunya. Selama ayahnya, In Teng menyembunyikan diri di Mongolia, ayah itu telah menikah dengan satu nona Ouw, ialah sukunya nona pengembala ini. In Teng pandai sekali menyimpan rahasia, sampaipun isterinya tak diberitahukan hal kepergiannya itu. Bukan main girangnya si nona pengembala, melihat kawan semasa kecilnya sekarang sudah menjadi seorang nona yang gagah, hanya bila ia dengar In Loei bertanya tentang ibunya, ia nampaknya bersusah hati. "Ketika tahun itu kamu lenyap secara mendadak," berkata si orang tua, yang mewakili gadisnya, "ibumu telah menangis siang dan malam sampai kedua matanya rusak hingga ia tak dapat melihat dengan terang. Kepala bangsa kita merasa kasihan melihat nasib ibumu itu, ia telah memberikan pekerjaan sebagai tukang pelihara kuda padanya. Sekarang ini mungkin ibumu itu masih ada di rumah kepala bangsa kita itu. Karena ini kepala bangsa kita mengatakan bahwa semua orang Han tak dapat dipercaya, sejak itulah ia mengumumkan larangan, wanita-wanita bangsanya menikah dengan orang Han." In Loei lantas saja menangis menggerung-gerung. Pilu rasa hatinya mendengar penderitaan ibunya itu, ia lantas bayangkan bagaimana ibunya hidup sengsara. "Sabar, adik kecil," Tan Hong menghibur. "Tunggu sampai kita sudah selesai dengan tugas kita, kemudian kita cari ibumu itu. Syukur yang peebo masih ada di dalam dunia ini dan kita telah mendengar perihalnya, inilah suatu keuntungan dalam kesusahan... Sudahlah, jangan kau menangis." In Loei tatap Tan Hong. Ia nampaknya mendongkol, akan tetapi, ia suka mendengar nasihat orang itu, maka ia seka air matanya, setelah pamitan dengan bekas kawannya, orang tuanya dan saudaranya, ia naik ke atas kudanya, untuk melanjutkan perjalanan mereka. Lenyap kegembiraan Tan Hong. Ia pun berduka, menyesal sekali, mendengar nasib ibu In Loei itu. Ia insaf, penderitaan Nyonya In itu, biar bagaimana, disebabkan karena sikap ayahnya dahulu. Maka diam-diam ia ambil putusan untuk melakukan sesuatu guna menebus kesalahan ayahnya itu. Di sepanjang jalan ke Utara itu, Tan Hong dan In Loei tampak semakin banyak tentera Mongolia, akan tetapi karena kuda mereka dapat lari pesat, mereka senantiasa menyingkir dari mereka itu, walaupun mereka dapat dilihat serdadu-serdadu itu, untuk mengejarnya, mereka itu tidak sanggup. Selang dua hari lagi, tibalah pemuda dan pemudi ini di kota raja negara Watzu. Mereka itu sudah salin pakaian, mereka telah dandan sebagai kaum pengembala yang memasuki kota untuk belanja musim dingin... Untuk dapat bertinggal, Tan Hong menyewa kamar di sebuah rumah penginapan kaum pertengahan, setelah pernahkan kuda mereka, mereka keluar dari hotel. Tan Hong hendak pergi ke rumah, yang ada sebuah sianghoe-nya, yaitu gedung menteri muda, yang letaknya didekat istana, di bahagian depannya terdapat jalan perapatan di mana banyak kendaraan berlalu lintas, hingga jalan besar itu menjadi ramai sekali. Akan tetapi hari itu, sedikit sekali orang yang mondar-mandir di situ, hingga keadaan menjadi sangat sunyi. Menginjak jalan perapatan itu, hati Tan Hong tegang sendirinya, ia mendapat suatu perasaan luar biasa. Di dalam hati kecilnya ia berseru "Celaka!...” Sebenarnya, bila ia lintasi jalan besar itu, Tan Hong akan segera tiba di gedungnya, akan tetapi ia sudah lantas dapat pikiran, maka ia tarik tangan In Loei, untuk membawa kawan ini memasuki sebuah gang kecil di mana keduanya seperti bersembunyi di pojok. Dari sini Tan Hong dapat memandang ke depan sianghoe, hingga ia dapat melihat sejumlah serdadu yang rupanya bertugas menjaga di situ. Apa yang ia anggap luar biasa ialah, tidak ada seorang serdadu juga yang ia kenali. Jadi mereka itu bukanlah serdadu-serdadu dari gedung itu. Kembali Tan Hong menarik tangan si Nona In, untuk mengajak nona ini melintasi beberapa jalan, dan akhirnya mereka berhenti di sebuah warung arak. "Marilah kita dahar dan minum dahulu," katanya pada kawannya. In Loei manggut, ia menurut. Tan Hong pesan sekati daging serta dua kati arak Mongolia yang paling kesohor, yang dinamakan "arak merah rumput wangi." "Menyesal sekali, di sini tidak tersedia arak itu," kata pelayannya. "Kalau begitu, pergi tolong belikan," kata Tan Hong, yang terus menyerahkan sepotong perak. Pelayan itu heran mendapatkan seorang pengembala dengan banyak uang, tetapi ia pergi tanpa bilang suatu apa, waktu ia kembali, ia sudah lantas sajikan arak yang diminta itu. Selagi hendak mengembalikan uang kembaliannya, ia berkata: "Arak ini harganya sekati satu tail empat tjhie, maka itu dua kati jadi..." "Tak usah kau kembalikan, ambil saja untukmu," kata Tan Hong memotong. Kembali pelayan itu menjadi heran. Jumlah harga arak itu cuma dua tail delapan tjhie, tapi uang perak tadi berharga sepuluh tail, maka persenan itu besarnya tujuh tail dua tjhie. Tidak heran kalau ia menjadi girang luar biasa, berulang-ulang ia haturkan terima kasihnya. Kebetulan waktu itu tidak ada lain-lain tetamu, hanya ia dapat mendampingi kedua tetamu itu, untuk siap sedia melayani terlebih jauh. Tan Hong keringkan beberapa cawan arak. "Gedung di depan itu gedung siapa?" ia tanya jongos itu, sikapnya acuh tak acuh. "Oh, tuan tidak mengetahuinya?" si pelayan balik menanya, agaknya ia heran. "Itulah gedung dari Yoesinsiang Thio Tjong Tjioe." "Ah, pantas gedungnya besar dan mentereng!" kata Tan Hong dengan tingkah dibikin-bikin tapi tampaknya wajar. "Di depan gedung itu juga terdapat banyak serdadu yang menjaga, sampai orang tidak berani lewat di depannya. Tentu mereka yang dagang di dekat situ mengalami nasib malang, bukan?" "Dulunya tidak ada penjagaan demikian banyak serdadu," berkata si pelayan. "Katanya Thaysoe Yasian yang mengirim serdadu-serdadu penjaga itu..." "Begitu? Mungkinkah Thio Sinsiang berbuat sesuatu kesalahan terhadap Thaysoe maka gedungnya itu dijaga?" "Tentang itu, aku tidak tahu," pelayan itu menggelengkan kepalanya. "Hanya aku lihat masih saja ada hamba-hamba gedung itu, dengan ditilik serdadu-serdadu, pergi keluar untuk berbelanja sayuran dan lainnya. Kabarnya Thio Sinsiang masih ada di dalam gedung itu." "Ah, kau pandai mendengar kabar!" Tan Hong puji. Si pelayan, girang sudah dipersen besar, sekarang dipuji juga. "Karena kami cuma terpisah satu jalan besar dengan sianghoe, kami bisa dianggap juga sebagai tetangga," berkata ia pula. "Biasanya, kalau Thio Sinsiang hendak pergi ke istana, dia mesti lewat di depan rumah makan kami, tetapi sudah sejak beberapa hari, kita tidak pernah lihat Sinsiang pergi ke istana. Sinsiang suka sekali akan hati kambing, selama beberapa hari ini dia masih tetap membeli pada kami." Lega juga hati Tan Hong mendengar keterangan ini. "Jikalau begitu, ayahku tentu telah ditahan secara halus oleh Yasian," pikirnya. "Yasian tidak menurunkan tangan jahat, apa perlunya ia mengurung ayah secara begini? Itulah penahanan rumah... Untuk sementara, keterangan itu sudah cukup, maka habis dahar dan minum, Tan Hong ajak In Loei kembali ke hotel. Selama di rumah makan tadi, In Loei kebanyakan diam saja. "Adik kecil," berkata Tan Hong, "sekarang pergilah kau ke rumah penginapan di sebelah untuk minta sebuah kamar. Sebentar malam, apabila tidak terjadi sesuatu, akan aku pergi padamu untuk mengajak kau menyelidiki sianghoe." "Kenapa kau bertindak begini?" tanya In Loei, yang kurang mengerti. "Bersiap sedia ada terlebih baik daripada tiada," jawab Tan Hong. "Adik kecil, kau dengar saja perkataanku." "Kalau begitu, baiklah," si nona menurut. "Malam ini akan aku nantikan kau. Tapi untuk pergi ke rumahmu, aku tidak mau..." Tan Hong tahu orang menjadi malu, ia tertawa. "Baik," katanya. "Hal itu nanti saja kita bicarakan pula. Sekarang aku hendak minta kau melakukan sesuatu. Yaitu kau mesti secara diam-diam meninggalkan tanda-tanda di tembok-tembok dari rumah-rumah di sekitar jalan besar dan gang-gang di sini." In Loei terima tugas ini, maka Tan Hong ajarkan dia tanda-tanda yang mesti dicoretkan itu, ialah tanda dari perguruan si pemuda. Waktu itu juga si nona mengundurkan diri. Habis bersantap, waktu sudah magrib. Tan Hong hendak mencari In Loei ketika jongos memberitahukan ada tetamu pembesar negeri yang datang berkunjung padanya. "Heran..." pikir pemuda ini. Ketika pintu kamar dipentang, di situ muncul satu perwira. Dia adalah Ngochito pahlawannya Yasian. "Thio Tan Hong, kau sungguh bernyali besar!" kata pahlawan itu sambil tertawa. "Bagaimana kau berani datang kemari?" Tan Hong juga tertawa. "Kau juga bernyali besar sekali!" jawabnya. "Bagaimana kau berani datang ke sini! Telah sembuhkan lukamu?" Di pesanggrahan See To, Ngochito telah dilukai Tan Hong, dan dia pun telah dihajar Tjio Eng, tidak peduli dia mengenakan baju berlapis baja, dan karena lukanya dia harus merawat diri hampir setengah bulan, tetapi sekarang dia telah sembuh kembali. "Terima kasih untuk hadiahmu!" sahutnya sambil bersenyum. "Syukur tulang-tulangku masih dapat pertahankan diri, hingga tak usahlah aku sampai ditertawakan kau..." Tan Hong pun bersenyum. "Apa kehendakmu sore ini kau datang kemari?" ia tanya. "Disini bukannya tempat untuk bertempur." "Aku datang bukan untuk mencari kau guna menuntut balas," jawab Ngochito. "Tentu saja, bila kau menghendakinya, di belakang hari mungkin kita akan melakukan pertempuran pula. Aku datang untuk memberi selamat padamu!" "Selamat untuk apakah itu?" Tan Hong tegaskan. "Kau sungguh beruntung, bocah!" kata Ngochito sambil tertawa. "Thaysoe telah ketahui segala tindak tandukmu, dia bersikap sangat murah hati terhadapmu, maka malam ini dia undang kau menghadiri perjamuannya." "Ha! Mengundang aku berjamu?" tanya Tan Hong. "Benar! Lekas kau salin pakaian! Sampai sekarang ini, tak usah kau main sembunyi-sembunyi lagi, tak usah kau menyamar terus sebagai satu pengembala!" Tanpa ragu-ragu, Tan Hong sudah lantas tukar pakaian. "Sungguh liehay kuping dan mata thaysoe1." katanya selagi salin pakaian. Ngochito tertawa. "Kau cerdik, lain orang tidak tolol!" katanya. "Thaysoe kata kau cerdas seumur hidupmu, tetapi suatu waktu kau pun berlaku sembrono!" "Bagaimanakah itu?" "Kau menggunakan tanganmu terlalu sembronoiBukankah kau telah mencari keterangan dari seorang jongos rumah makan? Dia telah memikirkan sikapmu itu? Dapatkah dia tidak memberi laporan kepada pihak polisi?" Tan Hong tidak terkejut. Kejadian itu telah diduganya. Ia malah menduga, mungkin Yasian akan mengundang padanya. Maka itu, siang-siang ia sudah menyuruh In Loei memisahkan diri. "Eh, ke mana nyonya manismu?" tanya Ngochito. "Kau ngaco! Dia adalah soemoay-ku!" "Peduli apa dia isterimu atau soemoay-mu Mana dia!" Thio Tan Hong tidak segera menjawab, ia hanya tertawai pahlawan itu. "Thaysoe pandai menghitung-hitung, apakah dia tidak dapat menghitung-hitung tentang soemoay-ku itu?" dia tanya. "Soemoay-ku itu jauh terlebih cerdik daripadamu! Aku sendiri telah datang kemari dengan pertaruhkan jiwaku, akan tetapi dia, dia masih sayangi jiwanya untuk beberapa tahun lagi — dia takut nanti terbawa-bawa olehku, siang-siang dia telah angkat kaki!" Ngochito sudah cari keterangan, dia dapat kepastian, In Loei telah pergi sejak tadi siang, maka itu, dia percaya akan perkataan Tan Hong ini. Ia tertawa. "Memang dia sangat cerdas, akan tetapi pastilah Thaysoe tidak mengijinkan dia berdiam di kota raja ini! Mari kita berangkat! Thaysoe berlaku baik sekali terhadapmu, tidak usah kau mengadu jiwamu!..." Tan Hong telah selesai salin pakaian, ia tidak usah membayar lagi uang sewa kamar, sudah ada Ngochito yang mendahului membereskannya, maka itu ia lantas keluar dari hotel di depan mana sudah menantikan beberapa pahlawan lainnya, yang datang bersama-sama Ngochito itu. Ia segera naik kereta kuda yang disiapkan untuk menyambut padanya. Tidak sampai setengah jam, tibalah mereka di gedung perdana menteri, yang jauh terlebih mentereng daripada gedung Menteri Muda Thio Tjong Tjioe. Di sini, pintu luarnya tiga lapis, pintu dalamnya juga tiga lapis, dan ke enam pintu itu berkunci besi. "Tetamu telah tiba!" seru seorang pahlawan setelah mereka memasuki pintu ke enam. Segera juga pintu tengah dipentang, di dalam tampak cahaya api bergemerlapan. Di dalam ruangan itu pun di bahagian tengah, tampak Thaysoe Yasian tengah berduduk. "Silakan tetamu itu masuk!" dia berikan titahnya, di mana disampaikan oleh pengiringnya. Dengan bersikap tenang dan wajar, Tan Hong bertindak diundakan tangga. Seorang pahlawan datang menghampiri, untuk memimpin. "Undakan tangga di sini tinggi, hati-hati sedikit!" berkata pahlawan itu. Tan Hong bermata celi, ia lihat gerakan tangan Taylek Engdjiauw kang-nya, maka itu, ia bersenyum. "Aku dapat berjalan sendiri, kaulah yang berhati-hati!" katanya. Ia kerahkan lengannya yang dicekal, atas mana pahlawan itu mundur beberapa tindak dengan tubuhnya terhuyung. Meski begitu, di bagian lengan yang dicekal itu, si anak muda merasakan sakit. Maka mau atau tidak, ia bercekat di dalam hatinya. Teranglah pahlawan ini lebih liehay daripada Ngochito, siapakah pahlawan ini? Lalu, tanpa memberi tanda apa-apa, ia bertindak terus mendaki tangga sampai di ruangan tengah. Segera juga terdengar tertawanya Yasian. "Baharu dua tahun kita tidak bertemu, kau telah menjadi begini besar, hiantit1.' berkata perdana menteri itu. "Kau telah pandai dalam ilmu surat dan silat, sungguh kau harus diberi selamat!" Tan Hong berikan hormatnya kepada menteri agung itu. "Dua tahun kita tidak bertemu, Thaysoe pun telah bertambah agung!" ia menimpali, dengan suara nyaring tetapi sikapnya wajar. "Thaysoe telah berkedudukan tinggi dan berpengaruh besar, hingga rakyat cuma tahu ada Thaysoe tetapi tidak Sri Baginda Raja! Sungguh Thaysoe juga harus diberi selamat!" Tepat kata-kata Tan Hong itu, akan tetapi untuk mereka yang tahu, itu justeru suatu ejekan. Yang pertama untuk kegagalan Yasian menyerbu ke Tionggoan, dan kedua untuk cita-citanya merampas tahta kerajaan. "Bagus, bagus!" berkata Yasian sambil tertawa. "Hiantit telah kembali dari tempat yang jauh, silakan duduk, mari minum!" Di samping Yasian duduk seorang pendeta yang tubuhnya tinggi dan besar, dia telah menuang penuh sebuah cawan, sambil berbangkit, dia berkata: "Mari, lebih dahulu aku beri selamat kepada Thio Kongtjoe1." Dia pegang cawan itu dengan kedua jari tangannya, dia putar cawan itu, yang isinya penuh, akan tetapi arak itu tidak tumpah keluar, lalu diangsurkan ke muka si anak muda. Tan Hong heran menyaksikan gerakan tangannya, itulah tenaga yang dikerahkan pada jari-jari tangan. Lekas-lekas ia menyambuti. "Maaf, aku belum ketahui gelaran tayhoatsoeV berkata ia. Ia buka tangannya, untuk menyambut cawan itu dengan telapak tangannya, lalu dengan melemahkan telapak tangan itu, ia buyarkan tenaga menekan orang. Begitu lekas ia menyekal cawan, terus saja ia minum. Wajah si pendeta berubah dengan tiba-tiba, tetapi dalam sejenak itu, Tan Hong juga telah menunjukkan roman heran, karena ia rasakan tenaga dalam orang yang hebat sekali. Bila ia tidak mendapat latihan menurut "Hiankong Yauwkoat," niscaya ia bisa terluka serangan gelap dari si pendeta itu, atau sedikitnya, arak itu akan tumpah keluar. "Ah, dia terlebih liehay pula dari si pahlawan tadi..." katanya dalam hatinya. "Pahlawan itu masih aku sanggup layani, tetapi dia ini, sukar mengatakannya. Entah dari mana Yasian kumpulkan orang-orang kosen ini?" Belum lagi si pendeta menjawab, Yasian sudah mendahuluinya. "Hiantit, mari aku ajar kenal," demikian katanya. "Inilah Tjeng Kok Hoatsoe dari Ang Kauw dari Seetjhong, dan ini," ia menoleh, akan menunjuk pahlawan yang tadi, "adalah Ma I Tjan, orang kosen suku Tuyuhun!" Bersama dua orang itu, Tan Hong keringkan secawan arak. Sekarang tahulah dia, si pendeta berasal dari Agama Merah (Ang Kauw) dari Thibet (Seetjhong), dan si pahlawan adalah orang Tuyuhun. Masih Yasian berkata pula: "Aku tadinya menduga hiantit pesiar jauh hingga lupa pulang! Tentu banyak tempat yang hiantit telah kunjungi?" "Dari utara ini aku berangkat ke Kanglam," sahut Tan Hong sambil tertawa, "di sana aku dapat kenyataan Tionggoan adalah daerah makmur dan rakyatnya jelita. Sungguh Tionggoan adalah satu dunia yang indah, suatu negara bersulam. Maka sayang bagi Thaysoe yang baru saja tiba di luar Pakkhia sudah lantas kembali pulang." Wajah perdana menteri itu berubah mendengar perkataan orang itu. "Tanah Tionggoan itu pastilah lain kali akan aku kunjungi pula untuk membuka mataku!" berkata dia kemudian. "Hiantit, aku akan minta kau turut serta untuk menjadi pengantarku." "Hm!" Tan Hong perdengarkan suara perlahan, lalu ia kata: "Tadi malam dalam mimpiku aku telah pergi pula ke Tionggoan, hanya sayang mimpiku itu tidak lama, lantas aku sadar." Yasian dapat kendalikan dirinya, ia tertawa. Ia tutupi kelikatannya dengan menenggak araknya. "Hiantit, kau menjadi lebih pandai bicara," ia kata. "Usiaku telah lanjut, apa yang aku pikir lantas aku ucapkan, maka itu aku minta hiantit jangan menaruh kata-kata itu dalam hati bila tidak pantas didengarnya..." "Tidak apa, Thaysoe," jawab Tan Hong. "Silakan Thaysoe katakan apa yang hendak diucapkan. Senang sekali aku menerima pengajaran dari Thaysoe." "Hiantit baharu saja kembali, kau tentunya belum bertemu dengan ayahmu," berkata perdana menteri itu, "sekarang aku mendahului ayahmu menyambut kau, aku percaya ayahmu tidak akan menjadi kurang senang hati." "Sebaliknya, hendak aku mewakilkan ayahku untuk menghaturkan terima kasih untuk budi kebaikan Thaysoe," kata Tan Hong. Yasian heran, hingga ia mengawasi pemuda itu. "Menghaturkan terima kasih untuk apakah?" ia tanya. "Seumur hidupnya ayahku selalu repot," sahut Tan Hong, "tapi sekarang dengan kecintaan Thaysoe , dia telah dibebaskan dari tugasnya, hingga dia mendapat ketika untuk berdiam di rumah, untuk beristirahat. Sebenarnya inilah suatu hal yang tak dapat diminta, dari itu, bagaimana aku bisa tidak menghaturkan terima kasih kepada Thaysoe?" Mendengar itu, Yasian tertawa terbahak-bahak. Tan Hong perlihatkan roman heran. "Mungkinkah keponakanmu telah keliru berbicara hingga Thaysoe mentertawakannya?" ia tanya. "Hiantit tidak salah omong, hanya kau pandai sekali berbicara," sahut perdana menteri itu. "Benarlah bunyi pribahasa, yang kenal anak tak ada yang melebihi ayahnya, sebaliknya, yang kenal ayah juga tak ada yang melebihi anaknya. Memang aku berniat pergi ke Tionggoan, akan tetapi ayahmu itu, bagaimana bisa dia tak menghendaki pulang ke negeri asalnya? Hiantit, marilah kita bicara secara terus terang. Dapat atau tidaknya ayahmu pulang ke Tionggoan, itulah tergantung padamu sendiri!" Tan Hong berlaku tenang. "Silakan Thaysoe bicara dengan jelas," ia minta. "Kali ini aku pergi ke Pakkhia, sia-sia saja hasilnya, Yasian akui. "Kebandelan Ie Kiam si Bantjoe sungguh di luar sangkaanku, sedang suasana di dalam negara kita juga adalah salah satu sebab lain yang memaksa aku mesti lekas pulang kembali. Hiantit, kau seorang diri, tidak ada halangannya untuk aku menjelaskannya." "Adakah ayahku yang Thaysoe maksudkan dengan suasana di dalam negeri itu?" tanya Tan Hong. Yasian tertawa. "Aku bukan maksudkan ayahmu, aku bicara mengenai Tiewan Atzu," ia terangkan. "Di Barat, Atzu mempunyai tentera sendiri, tapi dia tidak mentaati titah pusat. Apakah benar hiantit masih belum tahu halnya dia itu?" "Aku baharu saja pulang, aku masih belum tahu," jawab si anak muda yang di panggil hiantit itu. (Hiantit = keponakan) "Sekarang ini Watzu terpecah dalam tiga bahagian," Yasian berbicara terlebih jauh. "Sri Baginda sangat lemah, tak dapat dia mengendalikan negara, maka itu untuk dapat menjagoi di luar tapal batas, untuk memberi minum kuda di sungai Tiangkang, hanya aku atau Atzu-lah yang dapat melakukannya..." Tan Hong tidak bilang suatu apa, ia cuma tertawa tawar. "Atzu itu gagah tetapi ia tidak berbudi," berkata pula Yasian. "Bukannya aku tekebur, untuk menggunakan kata-kata bangsa Han, orang gagah yang sebenarnya adalah Lauw Pie bersama Tjo Tjoh. Aku tidak pandai tetapi aku berani membandingkan diriku dengan Tjo Tjoh itu..." "Habis, siapakah yang menjadi Lauw Pie itu?" Tan Hong tegaskan. "Ayahmu yang terhormat itu ialah Lauw Pie," Yasian jelaskan. "Ayahmu adalah boenbee tjoantjay, sudah lama dia memegang kekuasaan, dia tahu betul keadaan dalam negeri Watzu, maka bila dia berserikat bersamaku, tak sukar untuk kita bersama-sama menyingkirkan Atzu, sesudah itu baharulah kita bersama-sama juga memimpin angkatan perang kita ke Selatan. Sampai waktu itu pastilah ayahmu yang terhormat itu akan dapat memberi minum kudanya di Tiangkang, hingga terwujudlah cita-citanya untuk pulang ke negaranya sendiri." Tan Hong gusar mendengar perkataan itu, tetapi ia masih dapat atasi dirinya. Selagi ia menahan sabar, Perdana Menteri itu sudah melanjutkan pula pembicaraannya. "Pada lima hari yang lalu, pernah aku menulis surat secara rahasia kepada ayahmu, untuk mengajak dia berdamai," demikian perdana menteri itu, "akan tetapi sampai sekarang, ayahmu masih belum memberikan jawabannya. Hiantit, kau adalah seorang yang cerdas, maka itu telah aku pikir untuk meminta bantuan kau, supaya bila nanti kau pulang ke rumah, sukalah kau mewakilkan aku untuk membujuk ayahmu itu." Sekarang jelaslah bagi Tan Hong, Yasian hendak bersekutu dengan ayahnya untuk bersama "menghukum" Atzu, untuk menyingkirkan pangeran yang dipandang sebagai musuh itu. Terang sudah, habis itu, Yasian akan mengangkat dirinya menjadi raja Watzu dengan jalan merampas tahta. Inilah sebabnya, atau lebih tepat lagi karena ayah belum memberikan jawaban, hingga ayah dikenakan tahanan rumah. Oleh karena ini, ia lantas berpikir keras. Ia insyaf, kekuasaan berada di tangan Yasian itu artinya, juga jiwa ayahnya berada dalam genggaman perdana menteri ini. Kalau sekarang ia bersikap keras, ancaman bencana di belakang hari tak dapat dipikirkan besarnya. Pada itu pun tersangkut nasibnya Tionggoan. Maka haruslah ia berhati-hati. "Sekarang ini, Pangeran Atzu bukanlah tandingan Yasian," ia berpikir lebih jauh, "umpama kata Yasian tidak bersekutu dengan ayah, dia pun masih dapat mewujudkan cita-citanya untuk mengangkat dirinya menjadi raja. Bahwa dia toh minta bantuan ayah, itulah tak lebih tak kurang agar dia dapat memastikan berhasilnya usaha itu. Tidak ada lain jalan, sekarang perlulah aku menggunakan siasat memperlambat diri, untuk menunggu sampai Ie Kokioo sudah selesai dengan penyempurnaan ketenteraannya. Maka itu, andaikata Yasian telah berhasil, dia tak usah dikuatirkan." Yasian sementara itu menantikan jawaban, ia mendesak. "Kedua pihak telah bersahabat turun temurun, antara kita tak ada kata-kata yang tak dapat diucapkan," demikian perdana menteri itu. "Bagaimana pikiranmu, hiantit? Aku minta sukalah kau menjelaskannya." Sekonyong-konyong saja Tan Hong tertawa bergelak. "Rembulan demikian permai, arak lezat tengah menanti, kalau sekarang kita bicarakan urusan besar dari negara, tidakkah kita telah mensia-siakan malam yang indah ini?" berkata Tan Hong. "Marilah kita keringkan dahulu tiga cangkir! Thaysoe, mari, aku beri selamat kepadamu dengan tiga cawan! Silakan minum!" Yasian tercengang, hatinya tak puas. Akan tetapi untuk kesopanan, tidak dapat ia menolak, maka itu, terpaksa ia tenggak araknya hingga tiga cawan. Habis minum, baharu ia hendak bicara, atau kupingnya mendengar suara beradunya gelang tangan dibarengi dengan tersingkapnya gorden, lalu muncul satu nona yang cantik, yaitu puterinya, Topuhua. "Ah, Thio Toako, benar-benar kau!" berkata si nona sambil tertawa. Sama sekali ia tidak tunjukkan sikap likat. "Aku tadinya menyangka ayah memperdayakan aku!..." Nona ini berbicara dengan sungguh-sungguh. Ayahnya mengetahui rahasia hatinya, ayah itu menjanjikan akan merekoki jodohnya dengan Tan Hong, untuk itu, ayahnya hendak mencari Tan Hong, tetapi dia kalah perang, dia mesti berangkat pulang. Topuhua sudah menyangka, seumurnya ia tidak akan bertemu pula dengan Tan Hong, hal itu membuatnya ia berduka, lalu mendadak, malam itu ayahnya memberitahukan padanya bahwa "orang yang ia hendak menemuinya itu akan datang menghadiri pesta," hingga ia menjadi girang berbareng ragu-ragu, ia sangsi kalau-kalau ayah itu mendustai padanya, tetapi buktinya sekarang, ia lihat si pemuda pujaannya itu! Sebenarnya Yasian telah pesan puterinya, kalau nanti pesta mendekati akhirnya, baharu si nona boleh muncul, akan tetapi Topuhua tak sanggup mengendalikan hatinya, maka juga belum sampai waktunya, ia sudah keluar. Tan Hong tidak terkejut dengan datangnya si nona, malah untuknya, inilah ketika yang baik sekali. Selagi nona itu berlaku demikian polos, ia pun lekas-lekas berbangkit, untuk memberikan hormatnya. Lalu ia berkata: "Sungguh beruntung yang hari ini aku dapat bertemu pula dengan nona! Terlebih dahulu aku mesti memberi selamat padamu dengan tiga cawan!" Dan segera ia isikan cawannya. Topuhua tertawa, wajahnya jadi sangat terang. Dengan tidak malu-malu, ia terima pemberian selamat si anak muda itu, dengan diiringi pemuda itu, ia minum araknya. Selama itu terus menerus ia bersenyum manis. Tan Hong benar-benar gunakan ketikanya. Ia tidak berikan Yasian ketika untuk membuka mulutnya, kemudian ia berkata pula: "Aku bersyukur untuk pelayanan kau selama di Touwbokpo, maka untuk itu, silakan kau keringkan tiga cawan pula!" "Tetapi kau mesti temani aku minum!" kata Topuhua dengan manis. "Tentu!" sahut Tan Hong. Lantas ia isikan pula tiga cawan, bersama si nona, ia keringkan cawannya sendiri. Yasian kerutkan alisnya melihat kelakuan puterinya ini. "Anakku, jangan minum terlalu banyak, nanti kau pusing," katanya. "Nanti toakomu tertawai kau, kau akan dikatakan tidak tahu adat..." Perdana menteri ini bicara kepada anaknya, tetapi maksud yang sebenarnya adalah untuk menegur Tan Hong. Topuhua tak dapat menangkap maksud ayahnya itu, ia tertawa. "Cuma beberapa cangkir arak, mana dapat membuatnya aku pusing!" katanya. "Aku justeru girang sekali yang Thio Toako demikian baik hati..." Tanpa malu-malu nona ini memanggil "toako" — artinya "engko" — kepada si anak muda, terutama ayahnya pun menyebut "toako" juga. Kembali Yasian kerutkan alisnya, ia masgul dan bingung. "Ah, ayah!" kata Topuhua, ketika melihat roman ayahnya itu. "Baiklah, aku tidak akan minum pula. Thio Toako, hendak aku membalas memberi selamat tiga cawan kepadamu!" "Bagus, bagus!" kata Tan Hong tanpa menunggu orang menuangkan arak untuknya. "Akan aku terima kebaikanmu ini!" Terus ia isi cawannya, terus ia minum, hingga tiga cawan. Topuhua sangat girang hingga ia seperti melupakan dirinya. "Sungguh kau manis, Thio Toako1." ia berkata. "Aku kata, kau mesti minum lagi tiga cawan! Semasa di Touwbokpo kau berlalu tanpa pamitan. Tidakkah untuk itu kau harus didenda?" "Memang! Memang aku harus didenda!" sahut Tan Hong, yang menerima salah... Ia sambar poci arak, yang hendak diambil si nona, ia tuangkan isinya, lagi sekali ia tenggak habis tiga cawan pula! "Arak sudah cukup!" akhirnya Yasian campur bicara. Ia heran menampak sikap wajar dari Tan Hong. Tidakkah pemuda dan pemudi itu berada dihadapannya? "Mari kita dahar sup ikan untuk menghilangkan sedikit pengaruh arak!" Mendadak Tan Hong buka kancing bajunya, terus ia tertawa besar. "Jikalau arak bertemu penggemarnya, seribu cawan juga masih kurang!" katanya. "Sebaliknya, kalau kata-kata tak cocok, setengah patah juga terlalu banyak! Ya, ya, kalau kata-kata tidak cocok, setengah patah juga terlalu banyak! Lihat, seribu cawan arak masih belum cukup, apakah aku sudah hendak dilarang meminumnya terlebih jauh?" "Ah, Thio Sieheng sudah mabuk!" berkata Yasian. Tan Hong mainkan kaki tangannya. "Siapa kata aku sudah mabuk?" katanya. "Siapa kata aku sudah mabuk? Lihat, akan aku minum pula, kamu saksikan!" Ia lantas sambar poci arak. Yasian kedipkan matanya kepada pahlawannya, Ma I Tjan, atas mana, pahlawan itu maju, untuk mencegah. "Kongtjoe sudah, jangan minum pula!" kata dia. Ia tekan tangan orang. "Hai, kau berani melarang aku minum?" Tan Hong membentak, tangannya dipakai mengibas, atas mana, pahlawan itu mesti mundur tiga tindak. Poci arak pun terlepas dan jatuh. Karena ini merah muka dan kuping si pahlawan. "Hiantit, hati-hati," kata Yasian. "Arak dapat merusak badan, baik kau jangan minum pula!" Tan Hong tertawa berkakakan. "Sejak jaman purbakala hingga sekarang ini," katanya, "aku cuma dengar tuan rumah yang menganjurkan tetamunya minum arak tetapi belum pernah aku dengar tuan rumah mencegah tetamunya minum! Inilah tidak ada aturannya! Haha-haha! Haha nana!" "Ah, benar-benar Thio Sieheng sudah mabuk," berkata pula Yasian. "Lekas sajikan hidangan yang dapat melenyapkan pengaruh arak itu!" Tan Hong gerak-gerakkan kaki tangannya, seperti orang menari-nari, ia berlaku berandalan. "Aku belum mabuk! Aku belum mabuk!" katanya berulang-ulang, akan tetapi lagaknya seperti orang sinting. Mendadak pula ia rubuh, dari mulutnya keluar air liur, lalu keluar juga arak yang tadi ia tenggak. Maka bau arak itu membuatnya orang hendak muntah-muntah! Yasian menggeleng-gelengkan kepala. "Ah, anak yang baik, kau berpura-pura mabuk!" katanya perlahan. "Apakah dengan keadaanmu begini rupa akan aku lepaskan kau?" "Eh, ayah, kau bilang apa?" tanya Topuhua. "Inilah bukan urusanmu," sahut orang tua itu. "Bila dia suka dengar aku, tidak nanti aku bunuh padanya!" Si nona terkejut. "Walaupun dia tidak dengar kata, tidak selayaknya dia dibunuh!" katanya. "Sudah, jangan banyak bicara!" berkata ayah itu. "Sekarang lekas kau suruh bawa dia ke kamar belakang untuk beristirahat." Tan Hong masih rebah di lantai, tubuhnya nampak lemas, mulutnya menganga, dari situ tersiar baunya susu macan. Mukanya telah menjadi merah seluruhnya, hingga mirip dengan setan arak yang lupa daratan... Tetapi, meskipun demikian, ia sebenarnya sadar. Demikian ia dengar suara tindakan ketika Tjeng Kok Hoatsoe dengan perlahan-lahan menghampiri padanya, tangan pendeta itu merabah nadinya. Ia lantas saja mainkan ambekannya menurut pengajaran kitab "Hiankong Yauwkoat," dengan begitu, ia tutup jalan napasnya, ia buat main, hingga nadinya jadi berdenyut tidak keruan, jalan napasnya pun menjadi kacau. "Ah, benar-benar bocah ini sudah mabuk!" berkata pendeta itu setelah ia periksa nadinya. "Bocah ini sangat licin, aku lihat mungkin dia sengaja meloloh dirinya," berkata si pahlawan Ma I Tjan. "Ayahnya berada dalam genggamanku, aku tidak kuatir dia nanti dapat terbang pergi," berkata Yasian. "Sekarang dia mabuk, besok toh dia mesti memberi jawaban padaku. Perintahkan dua orang gotong dia ke belakang! Anak Hua, pergilah kau rawat dia..." "Baik, ayah," terdengar si nona berikan penyahutan. Menyusul itu Tan Hong rasakan dua orang memegang kaki dan tangannya, untuk mengangkat tubuhnya, untuk dibawa pergi. Diam-diam ia tertawa dalam hatinya. Ia lantas sengaja membikin dirinya seperti tengah tidur nyenyak karena mabuknya itu, ia perdengarkan suara menggeros yang keras. "Tjeng Kok Hoatsoe, selama beberapa hari ini aku telah membuat kau cape," terdengar suara si perdana menteri. "Bukankah di dalam istana tidak ada apa-apa yang menimbulkan kecurigaan?" Tan Hong dengar itu, hendak ia mendengarkan terlebih jauh, maka ia lantas mengerahkan kepandaiannya supaya tubuhnya menjadi berat. Itulah ilmu yang dinamakan "Tjiankin twie = Jatuh seribu kati." Kesudahannya hebat bagi kedua pahlawan yang menggotong tubuhnya itu, mereka sampai sukar bertindak, karena malu terhadap Yasian dan kuatir nanti dikatai tidak berguna, mereka memaksa menggotong terus, tapi tindakannya sangat ayal. Tjeng Kok Hoatsoe menjawab perdana menteri itu. Ia kata: "Istana berada di bawah pengawasanku, perhubungan antara dalam dan luar telah terputus, maka itu tidak ada orang yang berani datang masuk untuk membuat pembicaraan rahasia dengan Sri Baginda. Tentang itu, jangan Thaysoe kuatir." Hati Tan Hong bercekat. "Nyata, benar-benar Yasian berniat merampas tahta kerajaan," pikirnya. "Dia sampai berani bertindak begini macam, hingga raja Watzu pun dikekang kemerdekaannya!" Lalu terdengar pula suara Yasian, sambil tertawa: "Aku percaya dia pun tidak akan berani membuat perhubungan dengan pihak luar, tapi meskipun demikian, berlaku hati-hati adalah terlebih baik. Maka malam ini baiklah kau dan Ma I Tjan berdua yang bergilir menjaga istana. — Eh, kenapa kamu jalan perlahan sekali? Apakah kamu kuatir nanti melukai dia?" Perkataan yang belakangan ini merupakan teguran kepada kedua pahlawan yang ditugaskan menggotong Tan Hong, yang masih saja sangat ayal tindakannya. Tapi begitu lekas Yasian berhenti bicara, begitu lekas pula Tan Hong menghentikan pengerahan tenaganya, maka tubuhnya menjadi enteng pula seperti biasa, hingga kedua pahlawan itu menjadi lega hatinya. Mereka ini lantas menjawab perdana menteri itu: "Benar, Thaysoe. Thio Kongtjoe sudah mabuk, kami kuatir nanti melukai dia..." "Apa yang mesti dikuatirkan?" terdengar pula Yasian. "Dia pandai ilmu silat, tubuhnya telah terlatih! Apakah kamu sangka dia bertubuh dari kertas?" Kedua pahlawan itu menyatakan mengerti, lalu mereka berjalan dengan cepat, membawa Tan Hong ke kamar belakang. Di dalam hati, mereka itu mencaci si anak muda, yang dikatakan sudah main gila. Biar bagaimana, mereka adalah pahlawan pilihan, kalau tidak, Yasian tidak akan pakai mereka, hanya mereka adalah yang terendah, maka itu, meskipun mereka curigai Tan Hong, tidak berani mereka membuka rahasia atau memberitahukan itu kepada Yasian. Mereka malu, mereka hanya bisa mendongkol saja... Tan Hong merasa senang rebah di atas pembaringan di atas mana ia diletakkan. Pembaringan itu empuk, sepre atau kelambunya menyiarkan bau harum. Ia pun merasakan hangat. Maka di dalam hatinya, ia tertawa. "Sungguh senang orang-orangnya Yasian," kata ia di dalam hatinya. "Kamar mereka pun harum sekali." Belum lama Tan Hong rebah, atau Topuhua telah bertindak masuk ke dalam kamar itu, si nona sudah lantas menghampiri pembaringan di tepi mana ia duduk. "Apakah benar kau mabuk sampai begitu rupa?" katanya, dengan suara manis. Tan Hong berpura-pura pules, tidak ia menyahuti, akan tetapi hidungnya telah mencium bau harum yang hebat, hingga mau atau tidak, lantas saja ia berbangkis. Si nona sudah memberikan ia semacam wangi-wangian buatan Mongolia, wangi-wangian mana adalah untuk melenyapkan pengaruh air kata-kata. "Bangun, bangun!" kata si nona sambil tertawa. "Aku akan suguhkan kau sup untuk menghilangkan mabukmu." Tan Hong telah membalik tubuhnya. Ia perdengarkan suara tidak nyata. Lalu ia tertawa. "Ha, malam ini aku tidak dapat berangkat!" katanya seorang diri. "Di luar, tulang-tulang manusia bertumpuk bagaikan gunung... Aku takut, aku takut!..." "Eh, kau bangunlah!" si nona berkata pula. "Di sini bukannya Touwbokpo! Di sini di mana ada tumpukan tulang-tulang manusia?" "Siapa bilang ini bukannya Touwbokpo?" kata Tan Hong, yang masih terus bersandiwara, "Kau dengar! Bukankah di luar orang-orang sedang berperang dengan hebat?" -ooo00dw00ooo- Bab XXV Topuhua tertawa. "Suara berisik itu adalah suaranya pahlawan-pahlawan yang sedang bekerja," ia bilang. "Kau jangan takut." Ia merabah jidat orang untuk rasai kepalanya si anak muda panas atau tidak. Sekonyong-konyong Tan Hong muntah, keluarlah barang makanan yang tadi ia dahar, muntah itu mengenai pakaiannya si nona, justru pakaian baharu yang dia paling sayang. Selagi muntah, tangannya menarik, memegang baju, hingga baju itu menjadi robek! Karena itu, kotoran pun mengenai dada yang putih halus dan montok dari si nona itu. Walau bagaimana, nona ini mengerutkan alisnya juga. "Ah, mengapakah kau mabuk hingga begini?" katanya. Tak dapat ia gusar, ia menjadi masgul. Ia pencet hidung orang, ia mencekoki adukan air jinsom. Tan Hong menolak dengan mengibas-ngibaskan tangannya. "Aku mabuk, ingin aku tidur, pergilah kau!" ia berkata. "Oh, oh, kalau kau tidak hendak pergi, mari, mari kita minum pula tiga cawan!..." Air jinsom kena tersampok, tumpah ke pakaiannya si nona, cangkirnya pun jatuh pecah. Karena tangannya kena tersampok, Topuhua rasai tangannya itu sakit. Tan Hong letakkan kepalanya di atas bantal, ia tidur secara sembarangan, kedua tangannya rapa-repe ke tepi pembaringan. "Hebat mabuknya dia, obat yang manjur pun masih tidak memberikan hasil..." berkata si nona di dalam hatinya. Oleh karena pakaiannya pecah dan kotor, baunya pun keras sekali, terpaksa akhirnya ia undurkan diri. "Buka jendela!" terdengar suaranya Tan Hong, bagaikan ngelindur. "Jangan padamkan api! Aku takut kepada gelap petang, kau tahu?" Topuhua menoleh, justru Tan Hong muntah pula. "Ah!..." mengeluh nona ini, yang terus bertindak keluar. Tapi ia suruh pelayannya untuk bersihkan kotoran bekas muntah itu... Bukan main leganya hati Tan Hong setelah ia dapat kenyataan ia sudah terlepas dari libatannya nona puterinya perdana menteri Watzu itu, akan tetapi, begitu lekas ia ingat sepak terjangnya Yasian, lenyap kegembiraannya itu. Ia berbalik mesti berpikir keras. Sudah terang keras sekali minatnya Yasian untuk merampas negara. Itu pun berarti ancaman bahaya juga bagi kerajaan Beng. Untuk sementara itu, tak dapat ia memikir jalan guna menentangi tindakannya perdana menteri ini. Ia jadi berduka. Ia pikir, mungkin tak sukar untuk ia bunuh Yasian, tetapi kesudahannya pasti itu tidak akan membawa banyak perubahan, dan di antara kedua negeri, peperangan tidak akan dapat dihindarkan. Lagipun dengan begitu, kaisar Beng yang tertawan musuh, mungkin akan terlebih sukar untuk dimerdekakan. Tan Hong sendiri, begitu juga Ie Kiam, bercita-cita supaya kedua negara hidup akur dan rukun. Karena ini, tak sudi Tan Hong ambil peranan sebagai satu pembunuh terhadap Yasian itu. Terus Tan Hong rebahkan dirinya sambil terus berpikir. Sama sekali tak dapat ia tidur. Begitulah ketika kentongan berbunyi tiga kali, ia dengar pertanda waktu itu. Ia memandang ke arah jendela, ia tampak si Puteri Malam yang baharu muncul. Pada pepohonan ada gerakan dari angin halus. Masih ia tidak peroleh daya. Tiba-tiba terlihat cabang pohon di muka jendela bergoyang, lalu satu bayangan orang berkelebat, belum sempat si anak muda membuka mulutnya, untuk menegur, bayangan itu sudah berdiri di depannya. Luar biasa sehatnya bayangan itu. Akan tetapi ketika Tan Hong telah melihat roman orang, ia girang tak kepalang. Bayangan itu adalah gurunya sendiri. "Aku lihat tanda-tanda kau di dalam kota," berkata Tjia Thian Hoa dengan perlahan, mendahului muridnya itu kepada siapa ia menggoyangkan tangan, "menuruti tanda-tanda itu, aku dapat ketemui In Loei, dari dia tahulah aku ke mana kau telah pergi, hingga aku ketahui juga kau sedang tertahan di sini. Sekarang tidak dapat kita berayal pula, mari lekas kau turut aku!" "Sebenarnya, asal aku menghendaki, sejak tadi sudah dapat aku berlalu dari sini," Tan Hong bilang, agaknya ia ragu-ragu. "Habis, apakah yang kau pikir?" gurunya tanya. "Apakah soesoesiok sudah datang?" murid itu balik menanya. Dengan "soesoesiok," paman guru yang ke empat, ia maksudkan Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng. "Dia sudah datang, sekarang dia ada di rumah penginapan tengah menemani In Loei," Thian Hoa jawab. "Dan djiesoepee?" Tan Hong tanya pula. Thian Hoa menghela napas. "Aku tak dapat bertemu dengannya," ia beri-tahu. Agaknya ia hendak bicara banyak akan tetapi tak dapat ia mengutarakannya itu. "Sekarang telah aku dapatkan akal untuk meloloskan diri," berkata Tan Hong kemudian, "besok pasti aku akan keluar dari sini. Maka besok saja kita bicara pula. Sekarang ini harap soehoe tidak berlambat lagi, akan bersama Yap Soesiok segera berangkat ke istana raja!" Tiba-tiba saja nampaknya pemuda ini menjadi gelisah. Thian Hoa tidak mengerti. "Untuk apakah?" dia tanya. Tan Hong segera berbisik di kupingnya guru itu, setelah mana, dengan cepat Thian Hoa angkat kaki. Seberlalunya guru itu, baharu Tan Hong merasa hatinya lega, demikianlah ketika ia rebahkan diri, dapat ia tidur nyenyak. Ia tidak tahu berapa lama ia sudah tidur, hanya tahu-tahu ia terbangun dengan terkejut disebabkan satu suara nyaring. Ketika ia buka matanya, ia tampak Yasian telah berada di dalam kamarnya itu. Maka lekas-lekas ia berbangkit, untuk berduduk. Ia lihat sinar matahari, yang molos di jendela, maka tahulah ia, itulah di pagi keesokannya... "Thaysoe bangun pagi-pagi sekali!" ia bilang. "Ya, selamat pagi!" sahut perdana menteri itu. "Apakah telah lenyap mabukmu?" "Tadi malam aku berlaku kurang hormat, harap Thaysoe memaafkannya," Tan Hong minta. Dengan itu ia telah berikan jawabannya. Perdana menteri itu perdengarkan suara di hidung. "Apakah kau telah dapat memikir?" ia bertanya. "Apakah kamu, ayah dan anak, sudah bersedia untuk bekerja sama dengan aku menyingkirkan Atzu, untuk sama-sama kita hidup bahagia?" "Aku telah dapat memikir," sahut Tan Hong. "Aku justeru hendak bicara kepada Thaysoe." Tan Hong lihat wajahnya perdana menteri itu, yang sepasang alisnya dikerutkan, romannya tawar bagaikan membeku. Diam-diam ia tertawa di dalam hatinya, karena ia bisa duga apa yang tengah dipikirkan perdana menteri ini. Tadi malam Tjeng Kok Hoatsoe dan Ma I Tjan, seperti biasanya, seperti ditugaskan Yasian, sudah pergi melakukan pengawasan di istana. Kira jam tiga, tengah mereka berjaga-jaga, mereka lihat berkelebatnya dua bayangan orang, yang mencelat keluar dari dalam istana. Dengan lantas mereka keluar dari tempat sembunyinya akan mencegat dan merintangi dua bayangan itu, guna ketahui siapa adanya kedua bayangan itu. Kesudahannya adalah di luar dugaan mereka. Dua bayangan itu sebat sekali, sebat kaki tangannya, kalau tadi mereka bisa berlari dan berlompat dengan pesat, kali ini, gerakan tangan mereka bagaikan kilat menyambar. Sebelum Ma I Tjan tahu apa-apa, kepalanya telah kena ditabas kutung! Tjeng Kok Hoatsoe ada terlebih liehay daripada kawannya ini, akan tetap baharu dia bertempur dua jurus, kupingnya telah kena dipapas kutung! Bayangan itu, atau lebih benar lawannya, sambil tertawa terus berkata padanya: "Suka aku memberi ampun kepada jiwamu! Sekarang pergilah kau melaporkan kepada Yasian! Katakan padanya, jikalau dia hendak menjadi raja Watzu, kami tidak menghiraukannya, tetapi jikalau setelah berhasil merampas tahta dia hendak menyerang Tionggoan, maka tak dapat kami beri ampun kepadanya!" Dari perkataannya bayangan itu, terang sudah bahwa mereka adalah orang-orang Han. Sehabis berkata begitu, keduanya segera menghilang. Ketika Yasian telah diberitahukan kejadian itu, ia kaget dan gusar sekali, di akhirnya, ia jadi sangat masgul. Bagaimana ia tidak menjadi kaget karena ia tahu liehaynya Tjeng Kok Hoatsoe, seorang Ihama dari Agama Merah yang kenamaan? Bagaimana ia tidak jadi kaget akan dengar kebinasaannya Ma I Tjan, sebab pahlawan ini tak kurang liehaynya, cuma berada di bawahan Ngochito? Kalau kedua pahlawan itu bisa secara demikian gampang dirubuhkan musuh, yang tidak dikenal, umpama musuh itu datang satroni ia di sianghoe, siapa sanggup rintangi mereka itu? Dengan perbuatannya itu, terang sudah mereka itu secara diam-diam tengah melindungi raja Watzu. Karena ini, ia jadi berduka. Kelihatan nyata, untuk ia mewujudkan niatnya merampas kerajaan, ia pasti akan menghadapi kesulitan. Tentu saja ia jadi mendongkol, ia jadi gusar. Tan Hong awasi perdana menteri itu, ia tertawa. "Thaysoe," katanya, "kau adalah seorang peperangan yang berpengalaman, kau seharusnya mengarti baik ilmu perang..." "Habis kenapa?" tanya Yasian heran. "Sebab ilmu perang ada membilang," sahut Tan Hong: "Bersiap terlalu banyak, menjadi terbagi, tenaga kurang, mestinya kalah. Yang paling dipantang ialah berperang berbareng di beberapa garis perang. Lihat saja di jaman peperangan Tjoen Tjioe di Tionggoan dahulu hari, sesuatu jago, sesuatu negeri, semua memperebuti negara kawan, untuk bersekutu, semua memikir mendapatkan kawan berbareng mengurangi musuh. Inilah sarinya ilmu perang itu." "Mustahil aku tidak mengerti tentang itu?" berkata Yasian, yang tidak mau kalah. "Itu juga sebabnya kenapa aku memikir untuk bergandengan tangan denganmu. Aku pikir, paling dulu harus aku persatukan Watzu, setelah itu baharu kita bicara pula." Tan Hong tertawa. "Tetapi Thaysoe harus mengerti, tenaganya aku ayah dan anak ada sangat berbatas, sebaliknya kekuatannya Tionggoan tiada batas habisnya!" ia kata. Yasian bungkam. "Aku telah menyusup masuk ke Tionggoan, di sana aku telah melihat tegas," berkata pula Tan Hong, melanjutkan. "Melihat Tionggoan, aku jadi sangat tertarik hatiku. Tionggoan itu luas sangat tanah daerahnya, banyak sekali rakyatnya. Maka jikalau Tionggoan itu dapat digunai dengan tepat, jangankan baharu satu, walaupun sepuluh negara Watzu sekalipun tidak nanti mampu menggoncangkan dia!" Yasian awasi anak muda itu. "Apakah kau bicara untuk Tionggoan?" dia tanya. Kembali Tan Hong tertawa. "Apakah Thaysoe masih belum ketahui tentang diriku?" ia balik tanya. "Bagaimana aku dapat bicara untuk Tionggoan? Jikalau aku sebagai wakilnya Tionggoan, jikalau aku hendak bicara untuk Tionggoan, pasti aku akan bicara juga untuk Watzu, tentu akulah yang terlebih dahulu membuka pembicaraan dengan Thaysoe1." Agaknya Perdana Menteri itu kena terdesak. "Baiklah," katanya kemudian. "Kau bicaralah!" "Sekarang ini Ie Kiam memegang kekuasaan di Tionggoan, dia telah atur kuat angkatan perangnya," berkata Tan Hong. "Pertama kali Thaysoe menyerbu ke Tionggoan, Thaysoe masih dapat menyerang sampai di Pakkhia, akan tetapi kalau satu kali lagi Thaysoe menyerbu pula, mungkin untuk dapat sampai ditapal batas sajapun sukar. Itu masih belum semua. Umpama Tionggoan mendapat tahu Thaysoe berniat merampas tahta kerajaan, untuk menjadi jago, ada kemungkinan dia nanti majukan tenteranya ke Utara, untuk berserikat dengan Pangeran Atzu, untuk sama-sama menumpas pemberontakan di Watzu. Kalau itu sampai terjadi, Thaysoe hendak berbuat apakah?" Hatinya Yasian bercekat. Apabila Tan Hong bicara begini pada setengah tahun yang sudah lewat, pasti dia akan mentertawainya tak hentinya. Itu waktu Yasian beranggapan dapat ia memastikan sembarang waktu untuk menakluki Tionggoan, ia sangat tidak memandang mata terhadap angkatan perang Kerajaan Beng. Adalah sesudah berperang di Pakkhia, baharu ia insyaf bahwa Tionggoan tak gampang untuk ditelannya. Dan paling belakang ini, sesudah perlawanannya Ie Kiam yang dapat mengatur tenteranya, yang juga mengandalkan peta bumi dari Pheng Hoosiang, setelah beberapa kali bertempur, ia kena dipukul mundur, hingga ia mundur pulang ke dalam negerinya, baharu ia terkejut. Sekarang ia insyaf, memang benar tentera Tionggoan dapat berbalik mempengaruhi padanya. Dan sekarang mendengar perkataannya Tan Hong itu, pada wajahnya ia tidak menunjukkan perubahan, seperti juga ia tidak mempedulikannya, namun di hati ia kaget dan jeri. Tan Hong biarkan orang berdiam, ia melanjutkan: "Setelah aku masuk dalam ke Tionggoan, dapat aku menyaksikan semangat rakyat yang terbangun, hingga mereka tak lagi dapat dipandang enteng. Raja mereka itu telah tertawan di Touwbokpo, kejadian itu membuatnya mereka, yang di atas dan di bawah, merasa bahwa itulah suatu hinaan besar, yang membuatnya mereka merasa sangat malu. Aku kuatir, Thaysoe, belum lagi kau sempat memimpin angkatan perang untuk berangkat ke Selatan, mereka sendiri akan mendahului maju ke Utara, guna menuntut balas. Memang benar Thaysoe ada punya angkatan perang yang tangguh tetapi aku sangsikan kau akan sanggup menangkis serbuan tentera Tionggoan itu, karena selain penyerbuan dari luar itu, di dalampun ada perlawanan dari Pangeran Atzu..." Dua kali Yasian batuk-batuk, kali ini wajahnya berubah sedikit. Tapi, masih ia mencoba akan besarkan kepala. "Aku masih punyakan tentera sepuluh laksa jiwa dan ribuan panglima perang!" demikian katanya. "Umpama benar Tionggoan dan Atzu menyerang berbareng dari luar dan dalam, akibatnya paling sedikitnya batu kemala dan batu koral akan musnah bersama! Satu laki-laki, jikalau dia tidak dapat menjadi satu jago, jikalau dia terbinasa, sedikitnya dia mesti terbinasa sebagai setan jagoan! Maka itu, ada apa yang harus dibuat takut?" Tan Hong tertawa gelak-gelak. "Jikalau belum lagi orang keluar perang, lalu dia terbinasa tidak keruan, apa jadinya?" ia tanya. "Bahwa orang berhasil dan menjadi raja, orang gagal dan menjadi berandal, itulah sudah umum. Mengenai kau, Thaysoe, kau anggap dirimu sebagai satu enghiong, tetapi orang lain, belum tentu dia mau mengakuinya kau sebagai Tjo Beng Tek..." Yasian kena terdesak. "Apakah benar kerajaan Beng ada demikian membenci aku hingga dia akan mengirim algojonya untuk membunuh aku?" dia tanya. "Menurut apa yang aku ketahui, pemerintah Beng memang benar ada kirim utusannya yang berupa kiamkek," sahut Tan Hong, "hanya halnya kiamkek itu bisa atau tidak membunuh kau, itulah bergantung daripada tindak tandukmu sendiri, Thaysoe..." "Kiamkek" adalah jago yang bersenjatakan pedang. Yasian lantas ingat kejadian tadi malam, tanpa merasa, bulu romanya pada bangun berdiri. Tetapi ia masih tidak sudi tunjuk kelemahannya, ia paksakan diri untuk tertawa wajar. "Pemerintah Beng ada punya kiamkek yang liehay, apakah kau sangka aku tidak punya orang kosen yang sanggup membunuh ular naga dan menakluki harimau?" begitu katanya. Kembali Tan Hong tertawa bergelak-gelak. "Orang kosenmu itu, Thaysoe, adalah bangsa gentong arak dan kantong nasi!" ia bilang dengan berani. "Aku kuatir, jikalau dia berhadapan dengan orang gagah sejati, dalam satu jurus saja, dia akan dibikin terbang batok kepalanya!" Yasian berjingkrak saking kagetnya. "Eh! Apakah kau ketahui kejadian semalam?" tanyanya kaget. "Kejadian apakah itu?" tanya Tan Hong, tenang. "Aku cuma bicara saja. Apakah benar-benar pahlawan Thaysoe telah orang binasakan dalam satu jurus saja?" Yasian masih ingat kejadian semalam itu, ia bergidik sendirinya. "Tadi malam dia mabuk arak dan rebah bagaikan mayat, tidak pernah dia keluar dari kamarnya ini, tidak setindakpun jua," ia berpikir, "mungkin benar dia cuma bicara saja... Tetapi, apa yang dia katakan itu benar adanya..." "Pahlawan yang mana itu yang telah kena dibinasakan?" Tan Hong tanya sambil tertawa. "Ah tidak..." kata perdana menteri itu, separuh menghibur dirinya. "Tadi malam ada datang orang jahat, tapi dia telah dapat diusir pergi. Dipihak kita cuma satu dua orang terluka..." Tan Hong tertawa pula. "Itulah untung kamu yang bagus!" katanya pula. Ia tertawa sebab apa yang tadi malam terjadi di sianghoe, gedung perdana menteri, adalah menurut rencananya. Kebinasaannya Ma I Tjan dan hilangnya kuping Tjeng Kok Hoatsoe adalah perbuatannya Tjia Thian Hoa berdua Yap Eng Eng. Di mulutnya, Yasian bicara makin lama makin keras, tanda bahwa ia bernyali besar, akan tetapi, di dalam hatinya ia justeru makin jeri. "Thaysoe, rencanamu sekarang ini bukannya suatu rencana yang baik," kata Tan Hong kemudian. Dengan berani anak muda ini berikan pengutaraannya itu. "Apakah kau mempunyai daya yang bagus?" perdana menteri itu tanya. Tan Hong hendak buka mulutnya tatkala ia dengar suara berisik di luar gedung. Yasian, dengan alis dikerutkan, perdengarkan suaranya, memanggil orang masuk. "Ada kejadian apakah?" ia tanya. "Ada beberapa pengemis mencoba memaksa masuk ke dalam gedung untuk meminta amal," sahut pengawal yang masuk atas panggilannya majikan itu. "Mereka itu sangat menjemukan!" Kembali Yasian kerutkan alisnya. "Mereka toh boleh diberikan saja sedikit uang atau diusir," katanya, "perlu apa sampai mesti menerbitkan keributan?" Dan ia kibaskan tangannya, akan beri tanda supaya hambanya itu undurkan diri. Tan Hong segera ingat sesuatu, ia lantas saja berpikir. "Thio Sieheng, kau ada punya daya apa yang baik?" Yasian mengulangi pertanyaannya selagi anak muda itu berdiam. Tan Hong bersenyum, ia bawa sikap dengan tenang sekali. "Thaysoe," katanya, "jikalau Thaysoe hendak mengamankan pihak dalam maka sudah selayaknya terlebih dahulu Thaysoe membuat perdamaian dengan pihak luar. Secara demikian baharulah Thaysoe akan terluput dari gencetan pihak luar dan dalam. Tionggoan luas tanah daerahnya dan subur hasil buminya, jikalau Watzu tidak terlebih dahulu serbu dia, tak mungkin dia akan datang menyerang kemari. Maka itu, menurut pendapatku, baiklah Thaysoe antar rajanya pulang ke negerinya, lalu Thaysoe membuat perjanjian persahabatan dengannya. Inilah daya yang paling utama." Yasian bungkam, ia berpikir. Tan Hong mengawasi, ia tertawa pula. "Ketika baharu ini Thaysoe tawan raja Beng itu di Touwbokpo," katanya, "tak lain tak bukan, Thaysoe hanya ingin bikin raja itu menjadi orang tawanan, supaya dia bisa dijadikan perkakas untuk menuruti kehendak Thaysoe, supaya cita-cita Thaysoe dapat terwujud. Demikian Thaysoe telah gunai segala macam tipu daya. Tetapi sekarang adalah lain. Ie Kiam sudah angkat raja yang baru, dengan begitu tidak ada gunanya lagi akan menahan terlebih lama kepada raja tawanan itu, malah sebaliknya, itu justeru meninggalkan bencana di belakang hari bagi kedudukan Thaysoe..." Yasian pikir kata-katanya pemuda ini benar. "Telah beratus kali aku bertempur dengan pemerintah Beng, pertempuran besar dan kecil, selamanya aku lebih banyak menang, sedikit kalahnya," berkata dia. "Mungkinkah aku mengantarkan kaisar Beng itu ke negerinya sambil aku harus memohon perdamaian dari Ie Kiam?" Lagi-lagi Tan Hong tertawa. Perkataannya perdana menteri itu berarti dia telah menyetujuinya perdamaian, tapi untuk muka terangnya, dia masih membawa lagak. "Jikalau kedua negara membuat perdamaian, keduanya harus berhubungan sebagai saudara di antara saudara," ia kata, "karena itu, ada apakah yang harus dibuat malu? Jikalau Thaysoe tidak hendak memulai mengusulkan perdamaian itu, baiklah Thaysoe minta supaya Tionggoan yang terlebih dahulu mengirimkan utusannya datang kemari untuk membicarakan urusan itu. Ini toh boleh, bukan?" Yasian menatap orang sambil biji matanya berputar. "Sebenarnya siapa kau ini?" dia bertanya. "Kenapa kau agaknya berani mewakilkan Ie Kiam merundingkan soal perdamaian ini?" Tan Hong balik mengawasi, ia tertawa. "Biarlah aku omong terus terang saja," ia menyahut. "Sebenarnya, sebelum aku pulang ke Watzu ini, lebih dahulu aku telah bertemu Ie Kiam. Apa yang aku katakan barusan adalah karena aku percaya aku tidak bakal bertentangan dengan pendapat Ie Kiam itu." Yasian jatuhkan diri di kursi, ia nampaknya sangat lesu. Sekian lama ia berdiam saja. Baharu kemudian ia angkat kepalanya, akan menatap si anak muda. "Apakah benar kau telah lupa akan sakit hatimu yang turun temurun itu dan sekarang hendak jual tenagamu terhadap keluarga Tjoe kaisar dari ahala Beng itu?" dia tegaskan. Untuk kesekian lamanya, Tan Hong tertawa. Ia tertawa besar. "Aku tidak jual tenagaku kepada siapa juga!" ia jawab, nyaring. "Aku hanya bekerja untuk Tionggoan dan Watzu! Ingin aku tanya Thaysoe, umpama kata perdamaian dapat dicapai, apakah itu bukan berarti keselamatannya kedua negara?" Kembali Yasian bungkam. Ia mesti berpikir keras. "Seandainya perdamaian telah dapat diwujudkan, kelak kau akan berdiam di mana?" ia tanya kemudian. Rupanya perdana menteri ini memikir jauh dan ingin ia peroleh kepastian. "Aku adalah orang Han, sudah tentu aku pulang ke Tionggoan," sahut Tan Hong dengan terus terang. "Bukankah itu berarti kau hendak menjadi satruku?" Yasian menegaskan pula. "Jikalau Thaysoe tidak pimpin angkatan perangmu menyerbu Tionggoan, tak mungkin aku akan menjadi satrumu!" jawab si anak muda. "Bagaimana dengan ayahmu?" masih perdana menteri itu tanya. "Pasti aku akan bujuk ayah untuk pulang ke negerinya, untuk lewatkan hari-hari selanjutnya," sahut pula si anak muda. "Apakah kamu ayah dan anak tidak kuatir nanti dibunuh kaisar Beng?" Tan Hong tertawa. "Jikalau itu sampai terjadi, ikhlas hatiku!" ia jawab. "Tentang itu tidak usahlah Thaysoe memusingkan kepala!" Yasian jalan mundar-mandir, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berpikir terlebih keras pula. Ia merasa bahwa benarlah apa yang dikatakan Tan Hong itu. Memang, jikalau ia hendak kangkangi Watzu untuk dipersatukan, tidak selayaknya ia memusuhi Tionggoan. "Thio Tjong Tjioe ayah dan anak ini pintar dan gagah," ia berpikir terlebih jauh. Sekarang ia ingat Tjong Tjioe dan anaknya ini. Jikalau mereka tinggal di Watzu, percuma saja, mereka tak dapat aku gunai tenaganya untukku, bahkan sebaliknya, mereka bisa menjadi penambah tenaga bagi pihak musuh. Oleh karena itu, lebih baik aku biarkan mereka pulang ke negerinya, supaya di sana mereka hidup tenang dan senang. Di kemudian hari, apabila aku berhasil mempersatukan betul-betul negara Watzu ini serta sudah mempunyai angkatan perang yang kuat serta rangsum cukup, perjanjian persahabatan itu boleh aku langgar sembarang waktu, itu waktu aku ada merdeka untuk menyerbu pula Tionggoan. Sampai itu waktu, perlu apa aku jeri lagi Thio Tan Hong menjadi musuhku? Hanya bagaimana dengan jodohnya anakku?" Tan Hong lihat orang terus berpikir, ia memotong. "Satu laki-laki harus dapat dengan sepatah katanya mengambil keputusan, karena itu masih ada apa lagi yang Thaysoe ragu-ragukan?" ia mendesak. Kedua matanya Yasian menjadi bersinar, rupanya ia telah dapat mengambil keputusan. "Baik, akan aku turut perkataanmu!" katanya, nyaring. "Aku Yasian, aku bukannya orang yang dapat diperhina sembarang orang! Kalau pemerintah Beng kirim orangnya untuk membokong mati kepadaku, akan aku segera kerahkan seluruh kekuatanku, akan aku titahkan angkatan perangku meluruk ke Selatan, supaya, tak peduli kemala atau batu biasa, biar semuanya musnah bersama!" Tan Hong bersenyum. Tahulah ia, Yasian tetap kuatirkan keselamatan dirinya. "Orang Tionggoan paling hargakan kehormatannya," dia berkata, "maka kalau Thaysoe hendak berdamai dan bersahabat dengan sesungguh hati, tak mungkin Tionggoan akan kirim orangnya untuk membunuh Thaysoe1." "Baiklah," kata Yasian akhirnya. "Dengan ini kita mengambil ketetapan. Akan aku tunggu tibanya utusan dari kerajaan Beng, itu waktu aku nanti membuat perjanjian perdamaian. Sekarang, coba bentangkan padaku, daya apa kau punya untuk menindas Pangeran Atzu?" "Kami ayah dan anak sudah berketetapan untuk pulang ke negeri kami," jawab Tan Hong, "oleh karena itu, mengenai urusan di dalam negeri Watzu, kami tidak hendak campur tangan pula." "Baik!" Yasian mengatakan pula. "Asal kamu pernahkan diri di luar kami, aku juga tidak hendak mengganggu pula pada kamu. Sekarang pergilah kau pulang, boleh kau anjurkan ayahmu untuk besok menghadap di istana, untuk dia sendiri yang majukan permohonannya meletakkan jabatan." Tan Hong girang sekali. Sekian lama ia memutar otak, baharu sekarang ia berhasil "menundukkan" perdana menteri itu. Karena itu, ia berlaku hormat, ia undurkan diri sebagai seorang yang usianya terlebih muda. Ia baharu melangkah di pintu tempo ia ingat suatu apa, ia lantas merandek. "Apakah kau masih hendak mohon sesuatu?" tanya Yasian, yang lihat sikap orang itu. "Apakah itu?" "Jikalau Thaysoe sudi memperkenankannya, aku ingin sekali ini saja menemui raja Beng," ia jawab. Yasian berpikir sebelum ia berikan ijinnya. "Baik," demikian sahutnya. "Kau boleh sekalian bicara kepadanya, untuk beritahu sikapmu, supaya ia mengetahui maksud baik dari aku." Perdana menteri ini sudah lantas panggil dua pahlawannya kelas satu, ia hendak titahkan mereka antarkan anak muda ini, akan tetapi mendadak ia ubah pikirannya itu. "Lebih baik kita pergi bersama!" ia bilang. Kedua pahlawan itu heran atas sikapnya perdana menteri ini tetapi mereka tidak berani bilang suatu apa. Tan Hong sendiri tak berkeberatan akan pergi bersama. Kaisar Beng yang menjadi tawanan Yasian itu, yaitu Kaisar Eng Tjong yang bernama Kie Tin, telah ditahan di dalam sebuah pagoda batu di dalam gedung perdana menteri, pagoda mana diperuntukkan memuja Sang Buddha. Tangga dari pagoda itu terdiri dari tiga undak, setiap undak terjaga oleh pahlawannya perdana menteri. Bahwa tempat tahanan itu ada sangat dirahasiakan, sekalipun raja Watzu sendiri tak mengetahuinya. Tiga bulan sudah sejak Kie Tin dikurung di dalam pagoda, dapat dibayangkan penderitaannya itu. Ia adalah satu junjungan dari satu negara besar tetapi sekarang ia kehilangan kemerdekaannya, ia hidup terkurung dan di bawah pengawasan keras. Hari itu, kaisar ini tengah berduka sekali. Ia dengar menderunya hebat angin Utara, ia lihat burung-burung belibis dari Utara terbang ke Selatan, sambil terbang mereka itu perdengarkan suaranya yang mengharukan hati, maka itu, ia pun bersedih sendirinya. Memandang dirinya sendiri, sakit hatinya Kie Tin, bajunya telah robek, sedang hawa udara di Utara itu dingin sekali. Ia kedinginan akan tetapi Yasian tidak berikan ia baju baharu untuk salin. Maka ingatlah ia akan jaman jayanya, di dalam keraton ia ada punya enam selir, hidupnya sangat mewah. Selagi kaisar ini menungkuli diri, tiba-tiba ia dengar pintu dibuka, lantas ia lihat Yasian bertindak masuk bersama Thio Tan Hong, keduanya jalan berendeng. Ia menjadi sangat terperanjat. "Kenalkah kau pada dia ini?" Yasian lantas menanya sambil menunjuk Tan Hong. Kaisar Beng ini tidak tahu maksud kedatangan Tan Hong, ia ragu-ragu, iapun belum hilang kagetnya, maka itu, ketika ia menyahut, suaranya tidak tegas. Yasian mengawasi sambil tertawa. "Dia ini adalah musuhmu, dia juga tuan penolongmu!" berkata perdana menteri ini. "Tahukah kau?" Tidak tunggu sampai kaisar menjawab, Tan Hong kata pada perdana menteri itu: "Aku mohon Thaysoe ijinkan aku bicara berduaan dengannya, sebentar saja." "Baik, bicaralah," sahut Yasian. "Kamu orang-orang Tionghoa, apa yang kamu lakukan, tak dapat aku menerkanya. Kamu berdua keluarga telah perebutkan dunia tetapi sekarang kamu berdua hendak pasang omong!..." Lantas perdana menteri ini undurkan diri pergi keluar, buat bicara dengan pahlawan-pahlawannya. Kie Tin dibiarkan di dalam kamarnya itu bersama si anak muda she Thio itu. Tidak tenang hatinya kaisar Beng itu berada berdua Tan Hong. Ia telah saksikan bagaimana dengan sinar mata yang tajam, anak muda itu pandang ia pulang pergi. Ia ditatap. Kemudian dengan tiba-tiba saja, Tan Hong tertawa. "Kau biasa menjadi kaisar, kau belum pernah merasakan kegetiran hidupnya seorang rakyat jelata!" kata Tan Hong kemudian. "Maka itu, baiklah yang kau satu kali merasakannya!" Mendengar itu, raja ini menjadi gusar. "Jadinya dahulu hari itu kau berpura-pura saja berbaik hati!" dia menegur. "Aku memang tahu, permusuhan di antara rakyat jelata mudah dibereskan tetapi pertentangan di antara raja sukar didamaikan! Karena kau adalah orang kepercayaannya Yasian, tidak lain, aku cuma mau minta supaya aku diberikan mayat lengkap dan utuh! Jikalau kau hendak bunuh aku, bunuhlah lekas! Kau harus insyaf, raja tak dapat diperhina!" Tan Hong mengawasi dengan air mukanya tertawa bukan tertawa, ia tidak gubris permintaan itu. "Kau telah menderita begini rupa, maka di belakang hari, sebagai raja, layak kau ketahui keharusanmu!" ia kata pula. "Kalau nanti kau kembali ke istanamu, jangan sekali kau lupakan kesengsaraanmu hari ini!" Kie Tin melengak. "Apa kau bilang?" ia tanya. Mendadak saja ia lompat mencelat. "Paling lama tak beberapa bulan lagi, kau akan dapat pulang ke negerimu!" kata Tan Hong, tawar. Kie Tin seperti juga tidak mempercayai kupingnya sendiri. "Apa kau bilang?" ia tegaskan. "Adakah itu benar? Apakah Yasian sendiri yang mengatakannya itu padamu? Benarkah dia hendak membiarkan aku pulang ke negeriku, untuk aku naik pula atas tahtaku? Ha! Naik pula di atas tahta!..." "Bukannya Yasian yang menginginkan kau kembali ke negerimu," Tan Hong terangkan, tetap dengan sikapnya yang tawar. "Adalah Kokloo Ie Kiam yang akan sambut kau pulang!" Kembali Kie Tin menjadi heran. Kalau tadi ia dapat bersenyum, sekarang lenyap pula kegembiraannya. Ia seperti diguyur air dingin. Setelah itu, di antara roman lesu dari putus asa, ia nampaknya jadi gusar sekali. Terus ia tuding anak muda di depannya. "Walaupun aku terkurung, tetap aku adalah satu raja!" ia berseru. "Beranikah kau berulangkah mempermainkan aku?" Tan Hong awasi raja itu. Ia mendongkol berbareng merasa lucu dan kasihan. "Jikalau kau mengharap musuh nanti merdeka-kanmu dan membiarkannya kau pulang ke negerimu, seumur hidupmu, janganlah kau harap itu!" katanya, tegas-tegas. "Hanya bila rakyat Tionggoan yang menghendaki kau pulang, baharulah ada ketikanya untuk kau hidup terus! Apakah kau menyangka cuma Yasian seorang yang mempunyai kekuasaan untuk hidup atau matimu? Mari aku katakan terus terang padamu! Sekarang ini jiwamu berada di dalam genggamannya Kokloo Ie Kiam! Asalkan Ie Kokloo bilang kau bisa pulang, lantas kau dapat pulang!" Kie Tin awasi anak muda itu, sinar mata mereka bentrok satu pada lain. Lantas ia dapat perasaan bahwa Tan Hong itu dapat dipercaya, bahwa perkataannya si anak muda tak dapat disangsikan pula. Tanpa merasa, ia jadi kalah pengaruh. "Sebenarnya, apakah artinya ini?" dia tanya akhirnya, suaranya tak tegas. "Itulah sebab kau, jelek atau bagus, kau tetap raja dari satu negara!" berkata Tan Hong dalam jawabannya. "Sebab kau ada satu raja, jikalau kau tetap berada di tangan musuh, itu artinya satu kehinaan untuk Tionggoan! Itupun sebabnya kenapa sekarang kami menghendaki kau pulang ke negeri sendiri! Dengan ada Tionggoan yang menjadi tulang punggungmu, cara bagaimana Yasian berani tidak melepaskan kau pulang?" Kie Tin heran, ia tetap mengawasi. Ia ingin sangat satu penjelasan. Sampai di situ, Tan Hong tuturkan raja ini tentang duduknya urusan. Kie Tin menjadi girang berbareng heran. "Jikalau aku bisa pulang dan naik pula di atas tahta kerajaan, akan aku anugerahkan kau pangkat yang besar!" ia berkata. Hampir tanpa merasa, ia berikan janji hadiahnya itu. "Katakanlah, kau ingin pangkat apa? Pangkat tongnia dari Gielim koen atau Kioeboen Teetok? Atau pangkat Menteri Perang? Pasti sekali aku akan membuat kau merasa puas, supaya tercapai segala cita-citamu!" Tan Hong bawa sikap tenang. "Jikalau nanti kau sudah pulang ke dalam negeri," ia berkata, tawar, "kau bisa atau tidak tetap menjadi raja pula, itulah tergantung kepada suasana di dalam istanamu dan urusan keluargamu sendiri, mengenai itu aku bersama Ie Kiam tidak akan campur tahu! Aku sendiri tidak mengharapkan pangkat dari kau!" Kie Tin menjadi putus asa, hingga ia jadi seperti menggerutu. "Bisa pulang, itulah baik! Bisa pulang, itulah baik..." demikian ia ngoce sendiri, suaranya tidak tegas. Lalu ia ingat sesuatu, hingga ia nampaknya jadi bersemangat. Maka berkatalah ia seorang diri dengan lebih keras: "Di dalam istana, kebanyakan menteri boen dan boe adalah orang-orang kepercayaanku, tidak nanti Kie Giok dapat rampas tahtaku! Kalau nanti aku telah pulang, dia akan mengalah dan membiarkan aku menjadi yang dipertuan pula! Kau tidak hendak pangku pangkat, tidak apa, aku bersedia akan iringi segala kehendakmu, akan aku memberikan hadiah kepadamu!" Tan Hong menjadi sangat sebal. "Apa juga aku tidak menghendakinya!" katanya dengan dingin. "Aku hanya hendak minta satu hal!" "Apakah itu?" Kie Tin tanya. "Semuanya akan aku meluluskannya!" "Setelah nanti kau pulang, bilamana kau tetap menjadi raja, bagaimana sikapmu terhadap Ie Kiam?" Tan Hong tanya. Inilah pertanyaan yang Kie Tin tak sangka-sangka. "Aku..." katanya, lalu terhenti, karena Tan Hong memotongnya: "Setelah kau kena ditawan musuh, Ie Kiam telah angkat raja baru," Tan Hong menerangkan. "Kau tentunya sangat benci dia karena perbuatannya itu! Benarkah itu?" "Tidak, tidak!" sahut raja. "Begitu lekas aku pulang, akan aku naikkan pangkatnya tiga tingkat!" Dalam keadaan seperti itu, tengah terdesak, raja ini bicara tanpa berpikir pula. Ie Kiam adalah Lweekok Haksoe, karena mana ia dipanggil Kokloo, kedudukannya itu sudah mirip dengan perdana menteri, di samping itu, ia merangkap menjadi Pengpou Siangsie, Menteri Perang, ia jadinya berada di tingkat tertinggi, dari itu, pada dasarnya, ia tak dapat dinaikkan pula pangkatnya apapula sampai tiga tingkat. Maka itu, mendengar kata-kata raja ini, Tan Hong mendongkol berbareng merasa lucu. "Ie Kokloo bukanlah satu orang yang temaha akan pangkat tinggi atau keagungan," berkata anak muda ini. "Aku hanya menginginkan bila nanti kau sudah pulang, kau berlaku murah hati terhadapnya, kau beri dia ampun dari kematian..." "Itulah pasti, itulah pasti!" kata Kie Tin berulang-ulang. Kembali ia tidak memikir-mikir lagi. "Adakah ini benar?" tanya Tan Hong. Mendadak saja ia keraskan suaranya, hingga ia bentak raja itu. Kie Tin melengak. Inilah ia tidak sangka. "Satu raja tidak bicara main-main!" ia jawab kemudian. Iapun segera menjawab begitu lekas ia sadar. Tan Hong bersenyum. Tadinya ia hendak bicara pula tapi ia membatalkannya. Tiba-tiba terdengar suara berisik dari luar, suaranya pengemis yang menyanyikan lagu "Lian Hoa Lok" = "Bunga Bwee Rontok." Tentu saja ia menjadi bercekat. "Setangkai, secabang bunga teratai," demikian ia dengar nyanyian itu. "Raja pun pernah dipanggilnya pengemis. Raja itu bergantian jadinya, maka juga lain tahun ada gilirannya keluargaku. Di sini ada disimpan mustika yang indah, maka itu hendak aku memohonnya!" Nyanyian itu disusul oleh suara berisik, seperti juga orang tengah mengusir pengemis yang bernyanyi-nyanyi itu. Menyusuli suara berisik itu, lalu terdengar teriakan: "Ada orang jahat!" Lalu menyusul pula suara nyaring dari rubuhnya tubuh manusia. Satu pahlawan, yang lompat keluar jendela, belum sempat dia berlompat terus naik ke atas payon, sudah kena dihajar rubuh! Tan Hong terkejut. "Sungguh liehay pengemis itu!" pikirnya. Tapi iapun tak sempat berpikir lama-lama. Dengan cepat telah terdengar pula satu suara keras dan nyaring, ternyata daun jendela kamar kurungan kaisar Beng itu terhajar terpentang, disusul dengan lompat masuknya satu pengemis, tangan kanannya memegang tongkat, dengan tangan kirinya segera dia sambar Kie Tin. "Aduh!" teriak raja itu yang kagetnya tidak terkira. Tan Hong tidak sempat cabut pedangnya, dengan tangannya ia membacok tangannya si pengemis. "Kau, Thio Tan Hong?" berseru pengemis itu, agaknya ia terkejut. Ia sudah lantas tarik pulang tangan kirinya itu, tubuhnya pun berkelit ke samping. Tapi ia tidak berhenti sampai di situ, dengan cepat ia ayun sebelah kakinya, menjejak ke arah dengkulnya kaisar Beng. Tan Hong pun kaget. "Ah, kiranya Pit Lootjianpwee]" ia berseru ketika segera dapat mengenali pengemis itu, terutama dari suaranya. Tapi kaisar berada dalam bahaya, tidak dapat ia diam saja, dari itu dengan terpaksa ia angsurkan tangannya, untuk menekan dengan perlahan kakinya jago tua yang jejakannya hebat itu. Dalam gerakannya ini, Tan Hong gunai tenaga Taylek Kimkong Tjioe. Pit To Hoan lompat mundur, hingga ia menyender pada tembok, napasnyapun memburu keras. "Thio Tan Hong, menyingkir kau!" ia berseru. "Lootjianpwee, marilah kita bicara secara baik-baik," Tan Hong berkata, dengan sabar. "Aku harap kau tidak membuatnya kaget pada raja yang tengah bersengsara ini..." "Bagaimana hei?" bentak To Hoan. "Apakah kau menjadi anjing penjaga pintunya Yasian?" Kali ini jago tua itu menyerang dengan genggaman ditangannya. Tan Hong tahu tak sempat ia berbicara banyak, terpaksa ia hunus pedangnya — pedang Pekin kiam — untuk menangkis. Ia telah gunai belakangnya pedang. Maka kedua senjata bentrok dengan keras, sampai muncratlah lelatu apinya. Bentrokan itu membuatnya kedua pihak kesemutan tangannya. "Lootjianpwee, mohon kau berlalu dulu dari sini!" Tan Hong berkata pula. "Kau boleh sebutkan satu tempat, nanti aku kunjungi padamu untuk menerima pengajaran darimu!" Pit To Hoan tapinya seperti orang kalap, tanpa menjawab, ia menyerang pula beruntun tiga kali, untuk mendesak anak muda itu, lalu setelah itu kembali dengan tangan kirinya menyambar pula Kie Tin. Teranglah ia ingin sangat dapat menyengkeram raja Beng itu. Di luar, di bawah pagoda, ketika itu pun telah terdengar suara berisik sekali, suara yang bercampurkan beradunya pelbagai alat senjata, hingga kuping rasanya menjadi ketulian. Dari luar kamar juga terdengar teriakannya Yasian, akan tetapi apa katanya itu, Tan Hong tidak dapat mendengar nyata. Lalu, menyusuli itu, pintu kamar segera terpentang, dari mana terlihat masuknya dua pahlawan dengan golok di tangan masing-masing. Meninggalkan Tan Hong atau kaisar, Pit To Hoan papaki dua pahlawan itu. Ia maju dengan gerakan "Poanliong djiauwpou" = "Naga mendekam menggerakkan kakinya melingkar," sedang tangannya, ialah senjatanya, ia mainkan dari kiri ke kanan, atas mana goloknya kedua pahlawan itu lantas saja kena dibikin terlepas dan terbang! "Yang menyingkir selamat! Yang menghalang celaka!" To Hoan kemudian berteriak dengan bengis, sepasang matanya lebar, terputar. Ia bergelar "Tjinsamkay" = "Menggetarkan Tiga Dunia," tidak heran kalau bentakannya itu dahsyat sekali. Dengan terpaksa kedua pahlawan itu undurkan diri, karena senjata mereka pun sudah hilang. Dari luar masih terdengar suara berisik, kali ini dari tindakan kaki yang berat dan kekar, disusuli bersama jeritan teraduh-aduh, dari bentroknya alat senjata. Teranglah itu ada tanda dari orang yang dari bawah mendaki tangga pagoda sambil menyerang naik. Pit To Hoan sudah mundurkan kedua musuhnya, kembali ia menghampirkan Kie Tin. Ia dihalangi-halangi Tan Hong, karenanya, ia mencoba akan paksa melewati anak muda itu. "Untuk apakah kau hendak menawan dia?" Tan Hong tanya. "Apakah kau telah lupa akan sakit hatinya leluhurmu?" To Hoan membaliki. "Jahanam ini tidak surup untuk menjadi raja! Untuk apa kau melindungi padanya? Kita harus bekuk dia, untuk dibawa pulang ke Tionggoan, nanti di sana kita bangunkan suatu pemerintah baru!" Mendengar itu, Tan Hong melengak. Dengan begitu orang tua ini masih ada punya semangat untuk mendirikan suatu pemerintah. Ia hendak berkata pula ketika kembali terdengar satu suara keras, ialah dari terbukanya dengan paksa pintu dari pagoda undakan ketiga. Dan suara itu disusul dengan munculnya satu orang, yang segera pentang mulutnya yang lebar, akan perdengarkan suaranya yang nyaring: "Ha, bagus benar! Kau juga ada di sini? Marilah rasai tiga ratus tongkatku!" Untuk herannya Tan Hong, ia kenali Tiauw Im Hweeshio, sang soepee yang gurunya dan Yap Eng Eng telah sia-sia saja mencarinya. Sementara itu ia masih sempat melirik ke arah Yasian, yang umpetkan diri di satu pojok dari mana perdana menteri itu sedang berikan titahnya kepada pahlawan-pahlawannya untuk mencegat jalan mundur orang. "Inilah hebat..." pikir Tan Hong, yang menjadi berkuatir. "Djiesoepee sembrono, urusan akan menjadi kacau kalau ia sampai kemplang mampus pada Yasian. Perdana menteri ini ada punya putera dan perwira sebawahannya, ia masih punyakan beberapa puluh laksa serdadu, kalau karena kejadian di sini jadi terbit perang di antara kedua negara, itulah hebat, pasti akan terjadi darah tumpah mengalir di daerah luasnya ribuan lie..." Anak muda ini menjadi masgul. Hendak ia menerjang keluar, tapi ia dihalang-halangi Pit To Hoan dengan ruyung panjangnya — Hangliong pang. Sekarang meski ia jauh terlebih gagah daripada jago tua itu, akan tetapi ia sungkan melawannya, ia juga tidak hendak melukai orang. Dalam keadaan sangat tegang itu, mendadak ia berseru dengan tegurannya: "Tjinsamkay, kau masih punya kehormatan kangouw atau tidak?" Heran jago tua itu, hingga ia tercengang. "Apa kau bilang?" ia berbalik menanya. "Untuk merampas dunia, itulah bukannya tugasmu. Kau tidak tepat!" berkata anak muda itu dengan jawabannya. Di waktu Tan Hong pertama kali masuk ke Tionggoan, ia ada bawa warisan leluhurnya — ialah peta dari tempat disimpannya harta pendaman leluhurnya itu di Souwtjioe. Ketika itu, dalam pertandingan dengan Pit To Hoan, keduanya telah membuat perjanjian, kalau Pit To Hoan kalah, untuk selanjutnya suka ia dengar segala perkataannya si anak muda. Janji itu ada mengandung maksud, jikalau di kemudian hari Thio Tan Hong hendak rampas negara dari tangan kerajaan Beng, Pit To Hoan cuma harus membantu, tidak dapat ia menentanginya. Karena itulah maka sekarang dalam keadaan sangat terpaksa itu, Tan Hong menagih janji. Mendengar itu, walaupun sangat bertentangan dengan hatinya, Hangliong pang dari Pit To Hoan menjadi bergerak dengan perlahan, lalu di akhirnya, sambil menghela napas, ia berkata: "Baiklah, aku mengalah terhadapmu!..." Setelah mengucap begitu, dengan gesit sekali ia lompat keluar jendela! Kie Tin takut bukan main, mukanya pucat pasi hingga seperti tidak ada darahnya. Ia mendekam di suatu pojok, napasnya memburu. Tan Hong tidak sempat perhatikan lagi raja itu, dia lompat keluar kamar, hingga dia dapatkan Tiauw Im Hweeshio, paman guru yang kedua itu, tengah kerahkan tenaganya, mengamuk hebat dengan tongkatnya, yang menjadi lawannya adalah Ngochito serta dua pahlawan lainnya Ngochito bukannya seorang yang lemah akan tetapi menghadapi pendeta itu, walaupun ia dibantu dua pahlawan, ia kewalahan juga. Tiauw Im liehay dengan gwakang-nya, ilmu bahagian luar, liehay juga ilmu tongkatnya, Hokmo Thunghoat, yang terdiri dari seratus delapan jurus, dengan ilmu tongkat ini dia desak tiga lawannya itu. Di akhirnya, Ngochito cuma bisa bela diri, tak sanggup balas menyerang. Beruntung bagi Tiauw Im Hweeshio, Yasian telah kehilangan dua pahlawannya yang ia paling andalkan, ialah Tjeng Kok Hoatsoe dan Ma I Tjan, yang kepandaiannya tidak ada di bawahannya pendeta ini, yang tadi malam telah rubuh di tangannya Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng yang liehay dengan cara bertempurnya siangkiam happek, hingga yang satu terluka, yang lainnya binasa, bila tidak demikian, pasti sekali Pit To Hoan dan Tiauw Im tak akan dapat bergerak dengan leluasa seperti ini. Yasian lihat munculnya Tan Hong, segera ia perdengarkan suaranya yang dingin: "Hm, bagus ya! Kamu orang-orang Han, kamu tidak punya kehormatan!" Tan Hong dengar ejek-ejekan itu, ia tidak mempedulikannya, hanya terus ia lompat kepada Tiauw Im, dengan ulur sebelah tangannya, ia sambar tongkatnya djiesoepee itu, si paman guru yang kedua. Tiauw Im lihat keponakan murid itu, ia jadi sangat gusar, hingga ia berteriak : "Ya kamu berdua guru dan murid semua bukannya manusia benar!" Justeru itu ia tengah menyerang Ngochito secara hebat sekali, sampai pahlawannya Yasian itu putus asa. Maka beruntung bagi pahlawan ini, Tan Hong muncul di waktu yang tepat, selagi si pendeta egoskan tongkatnya dari tangan si anak muda, ia lantas lompat keluar kalangan, perbuatan ini ditelad dua kawannya. "Tan Hong, kau berani lawan yang tuaan!" membentak Tiauw Im dalam murkanya. "Lagi sekali kau merintangi aku! Lihat kalau-kalau aku tidak kemplang mampus padamu dengan tongkatku ini!" Tan Hong tapinya telah tetap dengan putusannya. "Sekalipun kau bunuh aku, aku tetap menghendaki kau mundur dari sini!" demikian jawabannya. Dalam kalapnya, Tiauw Im segera serang keponakan murid itu. Tan Hong tidak berani layani paman guru ini terus dengan tangan kosong, terpaksa ia cabut pedangnya, maka itu keduanya bertarung dalam ruang itu. Pada waktu pertama kali Tan Hong masuk ke Tionggoan, kepandaiannya Tan Hong berimbang dengan paman gurunya, akan tetapi setelah mempelajari Hiankang Yauwkoat, ia telah peroleh kemajuan pesat sekali, maka sekarang ia sudah dapat lampaui paman gurunya itu. Belasan kali sudah Tiauw Im mendesak dengan tongkatnya yang liehay, yang tadi membuatnya Ngochito bertiga kewalahan, tapi kali ini, tidak mampu ia membuat keponakan muridnya itu mundur setindak juga, malah sebaliknya, setiap kali si anak muda menggerakkan pedangnya, ia seperti tak sanggup gerakkan tongkatnya yang liehay itu! Bukan kepalang mendongkolnya pendeta ini, hingga matanya jadi mendelik. "Tan Hong, apakah masih ada orang yang tertua di depan matamu?" ia menegur sambil berteriak sekeras-kerasnya. Ditegur begitu, anak muda ini cuma bersenyum. "Maaf, soepee. Walau bagaimanapun, sekarang aku minta soepee mundur dulu dari sini! Untuk bicara, nanti lain kali saja, sekalian aku haturkan maafku!" Perkataannya Tan Hong ini membuatnya semua pahlawan kaget dan heran. "Ha, kiranya mereka adalah paman guru dan keponakan murid!..." seru mereka sambil tertawa. "Hahaha, sungguh lucu! Di sini ada soepee yang tidak sanggup lawan keponakan muridnya! Benar-benar tidak punya guna, sampai pengaruh si tua dipakai untuk menindih si muda! Sungguh tidak tahu malu!" Ejekan itu ditambahkan pula oleh tertawa dingin yang riuh. Mukanya Tiauw Im menjadi merah padam, lalu pucat pias, Kegusarannya tak terkirakan. "Binatang cilik, lain kali akan aku membuat perhitungan terhadapmu!" ia berteriak, lalu dengan menyeret tongkatnya, ia lompat keluar kalangan, untuk angkat kaki dari pagoda itu. Maka celakalah beberapa pahlawan yang berada diundakan tangga, mereka telah dilabrak oleh pendeta yang sedang mungsang-mangsing itu! Tan Hong lompat ke jendela, untuk melongok keluar. Ia tampak Pit To Hoan, dengan memimpin tiga pengemis, tengah menerobos kepungan. Liehay tiga pengemis itu, beberapa puluh pahlawan masih tidak sanggup merintangi mereka. Tiauw Im sudah lantas gabungkan diri pada empat orang itu, berlima mereka membuka jalan untuk menjauhkan diri. "Beberapa pengemis itu liehay," pikir Tan Hong. "Entah bagaimana caranya mereka bekerja, sehingga mereka mendapat tahu raja dikurung di sini..." Ketika itu, Yasian pun menghampirkan jendela, sambil menyender, ia melongok keluar. Sekarang dapat ia bernapas lega. Ketika kemudian ia menoleh, ia lantas dengar suaranya Tan Hong: "Aku minta Thaysoe suka memberi maaf padaku," demikian anak muda itu. "Soepee-ku itu menyangka aku sedang terkurung di sini, maka itu telah terbit salah paham. Akan aku cari dia, untuk memberi penjelasan. Aku berani tanggung dia tidak akan datang pula mengacau kemari!" Yasian dapat kesan baik terhadap anak muda ini. Ia telah saksikan sendiri bagaimana hebatnya orang tahan desakannya si pendeta serta kawan-kawannya itu, hingga ia jadi terbebas dari ancaman marah bahaya. "Sudahlah!" katanya sambil tertawa. "Sekarang mari kita bekerja seperti apa yang kita sudah damaikan tadi. Kau tidak usah kuatirkan apa-apa." "Terima kasih," Tan Hong ucapkan. "Nah silakan masuk pula, untuk tengok rajamu," Yasian berkata pula. Meskipun ia mengatakan demikian, perdana menteri ini tapinya jalan berendeng dengan pemuda itu masuk ke kamarnya Kie Tin. Kaisar Beng terpucat-pucat mukanya, ia menyender di tembok, tubuhnya menggigil keras. Nyata ia sangat ketakutan. Yasian bersenyum melihat keadaannya raja musuh itu. "Biarlah dia pulang untuk jadi raja pula, dia mungkin akan memberi kebaikan terhadapku..." demikian ia pikir. Lantas ia tertawa dan kata: "Kau tentunya dapat kekagetan! Inilah ada baiknya untukmu, sebab ini berarti, habis pahit, datang manis! Kau tunggu saja, kalau nanti telah tiba utusan negaramu, kau boleh ikut pulang ke negerimu untuk hidup senang pula seperti biasa. Mudah-mudahan kau tidak akan lupakan kebaikanku!..." Hati Kie Tin lega, hingga ingin ia menghaturkan terima kasih kepada perdana menteri Watzu itu. Tetapi Tan Hong telah mengedipkan mata padanya, atas mana segera ia insyaf akan dirinya. Bukankah ia seorang raja dari suatu negara besar dan Yasian tak lebih tak kurang sebagai perdana menteri dari Watzu? Jikalau ia haturkan maafnya, ia jadi menghina diri sendiri. Maka ia lantas angkat dada. "Tidak usah kau menyebutnya, budi kebaikanmu ini telah aku ingat!" demikian ia berikan jawabannya. "Thaysoe, masih hendak aku memohon sesuatu darimu," Tan Hong berkata. Ia seperti tidak menghiraukan pembicaraannya kedua orang itu. "Apakah itu? Silakan sebutkan," Yasian jawab. Tan Hong loloskan mantel kulit di pundaknya — itulah mantel kulit rase yang halus dan enteng —sambil berbuat begitu, ia berkata: "Aku mohon Thaysoe ijinkan aku kasihkan mantelku ini kepadanya." Dengan "padanya" itu, pemuda ini maksudkan raja Beng. Yasian segera perlihatkan roman terperanjat. "Ah, saking repot, aku sampai melayaninya kurang sempurna!" katanya. "Orang-orangku pun alpa! Kami sampai lupa untuk menyiapkan pakaian baharu untuk junjungan kamu! — Mana orang?" Perdana menteri ini menjadi repot agaknya, ia perintah orangnya ukur tubuhnya Kie Tin, untuk segera dibuatkan pakaian baru, pakaian dari kulit. Ia juga pesan, barang hidangan harus dibikin lebihan, supaya sekalian dapat dihidangkan kepada raja tawanan itu. Setelah itu, ia bertindak keluar. Tan Hong mengikuti perdana menteri itu, tetapi mantel kulitnya ia tinggalkan di situ. Selagi bertindak, ia melirik kepada raja, ia tampak matanya raja itu mengembeng air. "Agaknya hatinya telah tergerak juga," pikir anak muda ini. "Semoga ia nanti ingat pengalamannya yang pahit di sini, supaya nanti sepulangnya ke negerinya, ia nanti tidak mendatangkan kesulitan bagi Ie Kokloo..." Tan Hong lantas ingat Topuhoa, ia kuatir digerembengi pula oleh si nona, maka itu, begitu keluar dari menara batu itu, ia lantas pamitan dari Yasian. Ia segera menuju ke tempat penginapannya In Loei. Akan tetapi di sana ia tidak dapat menemui si nona. In Loei cuma meninggalkan sehelai surat untuknya. Ringkas saja suratnya In Loei itu. Ia pesan, kalau nanti Tan Hong sudah selesaikan segala urusannya, anak muda itu harus segera pergi kebukit Peklo San di luar pintu timur, untuk mereka bertemu di sana. -ooo00dw00ooo- Bab XXVI Peklo San adalah bukit kenamaan, letaknya dekat dengan kota raja. Di atas bukit, yang indah pemandangannya, ada berdiri beberapa rumah penduduk. Tan Hong ketahui itu, makanya ia menjadi heran akan bunyinya surat kawannya itu. "In Loei belum pernah datang ke kota raja bangsa Watzu ini, dia masih asing di kota ini, kenapa dia dapat mendaki bukit Peklo San?" demikian ia berpikir. Ia juga merasa pusing sedikit. Ia dipesan mencari ke atas bukit tetapi di dalam surat tidak dituliskan alamat yang terang. Ke mana ia harus mencari? Tidakkah itu sulit? Berbareng iapun menjadi berkuatir juga. In Loei pindah, agaknya dengan cara kesusuh, apakah itu bukan disebabkan si nona hendak menyingkir dari matanya Yasian? Oleh karena ia tidak dapat menemui si nona, terpaksa Tan Hong pulang dulu ke rumahnya. Kali ini ia dapat kenyataan pahlawan-pahlawannya Yasian, yang ditugaskan mengawasi rumahnya itu, sudah ditarik pulang. Adalah Tantai Mie Ming, yang muncul membukakan pintu. Maka itu, girang keduanya akan pertemuan ini. Mie Ming berkata: "Beberapa hari yang lalu kami telah dikurung di dalam gedung, aku sebal sekali. Kalau menuruti adatku, pasti aku sudah menerjang keluar! Tjoekong telah membujuki aku untuk jangan gunai kekerasan." "Memang ada terlebih baik jangan menerjang keluar," kata Tan Hong sambil tertawa. "Mana ayahku?" "Tjoekong ada di kamar tulis," sahut Tantai Mie Ming. "Selama ini, hati tjoekong pepat, bagus kau telah pulang." Tan Hong lantas pergi ke kamar tulis. Perlahan tindakan kakinya. Ia tampak ayahnya tengah berduduk diam seorang diri sambil bertopang dagu. Ayah itu seperti sedang memikiri sesuatu. "Ayah!" ia memanggil, dengan perlahan. "Oh, kau telah kembali!" menyahut ayah itu. Ia menoleh. "Aku tadinya menyangka bahwa kita sukar untuk dapat bertemu pula satu dengan lain..." Air matanya orang tua itu lantas saja menetes turun. "Anakmu yang poethauw pulang untuk memohon ampun," kata Tan Hong. Ayah itu tidak pedulikan akan kebaktian anaknya itu. "Aku dengar dari Tantai Tjiangkoen, benarkah kau telah tiba di Souwtjioe?" tanyanya. "Justeru untuk itulah anakmu memohon ampun," jawab Tan Hong. "Harta pendaman dan peta bumi simpanan leluhur kita sudah aku gali, semua itu aku telah berikan kepada Ie Kiam dari kerajaan Beng, untuk digunakan membantu kaisar dari Keluarga Tjoe memukul mundur angkatan perang Watzu..." "Tentang sepak terjangmu itu, dari mulut Tantai Tjiangkoen telah aku dengar sedikit," berkata sang ayah. "Dengan tindakanmu ini, terhadap Tionggoan kau telah unjukkan jasamu, tetapi karena itu, kita kaum keluarga Thio, untuk selama-lamanya akan tidak punya lagi ketika yang baik untuk memperebutkan dunia..." Tan Hong bungkam. Ia dapat merasai kedukaannya ayah itu. Ketika ia memikir, untuk menghibur ayahnya, ia dengar ayah itu menghela napas seraya terus berkata: "Hidup tak ingin menjadi tihang negara, mati tak sudi menjadi Raja Akherat. Sekalipun Raja Akherat, selagi ia memutuskan orang menjadi setan, hatinya sering tak tega, sedang menjadi tihang negara, yang mencintai rakyatnya, kewajibannya menjadi bertambah-tambah banyak... Setelah perubahan besar ini, dengan perlahan-lahan habis sudah tergosok semangatku yang besar. Menjadi perdana menteri aku tidak menghendaki lagi, apapula untuk menjadi raja yang pasti memusingkan kepala. Oleh karena kau sendiri sudah tak ingin menjadi raja yang memulai membangun negara, aku juga ingin mengakhiri hidupku di negara asing ini. Semua yang kau telah lakukan, tidak aku buat menyesal, tidak aku persalahkan kau!" "Ayah," berkata putera itu. "Daun itu rontok jatuh ke akarnya, dari itu, aku masih mengharap kau nanti pulang ke negeri kita..." Thio Tjong Tjioe menghela napas, ia hempaskan tangannya. "Selama ini kau banyak letih, pergilah kau beristirahat dulu," katanya. "Sebentar malam nanti kita bicara pula." Tan Hong tidak berani mendesak, ia lantas undurkan diri. Sorenya, sehabis bersantap malam, anak ini bersama ayahnya jalan-jalan di dalam taman. Di bawah sinarnya si Puteri Malam, pohon-pohon bunga menciptakan bayangan-bayangan. Menarik hati memandang loneng-loneng yang terukir. Di dalam keindahan sang malam itu, ayah dan anak berhadapan berdiri sambil mereka menyenderkan tubuh di loneng. Sampai lama, mereka tak bicara satu pada lain. Akhirnya, Tan Hong petik setangkai bunga bwee. "Kali ini bunga bwee mekar terlebih indah daripada tahun yang lalu," kata dia. Ia mulai pecahkan kesunyian. "Benarkah itu?" tanya ayahnya. "Kau telah sampai di istana lama di Souwtjioe, bagaimana kau lihat keadaan di sana?" "Istana itu telah dijual oleh negara, telah dijadikan tamannya satu okpa," sahut si anak. "Ukiran huruf-huruf di tembok pun sudah pada runtuh..." Tjong Tjioe tidak bilang suata apa, ia cuma menghela napas. "Tetapi ayah jangan berduka," Tan Hong menghibur. "Tempat kita itu telah anakmu menangkan kembali." Tjong Tjioe heran. "Apa katamu?" ia tanya. Tan Hong segera beri keterangan halnya itu hari ia menangkan pertaruhan dengan Kioetauw Saytjoe hingga ia dapat pulang Koaywa Lim, tamannya itu, dan hal apa yang ia telah lakukan terlebih jauh mengenai taman itu. Ayah itu tengah berduka tetapi mendengar penuturan puteranya, ia tertawa berkakakan. Itulah tanda ia setujui sikap anaknya itu. "Anakmu poethauw, ayah," Tan Hong berkata pula. "Sekarang ini anakmu mengharap ayah suka pulang, supaya di taman sendiri ayah bisa tinggal dengan damai dan tenang..." Tjong Tjioe kembali tidak menyahuti, ia cuma menghela napas. Kelihatannya ia sangat lesu. "Ayah, justeru adalah paling baik kau gunai ketika ini untuk keluar dari segala keruwetan," Tan Hong membujuk pula. Lalu ia tuturkan apa yang ia bicarakan tadi pagi dengan Yasian. Ia tambahkan: "Telah aku melancangi ayah menerima baik sarannya Yasian itu, maka itu baiklah besok ayah ajukan permohonanmu untuk meletakkan jabatan, supaya ayah tak usah lagi menjadi menterinya Watzu yang memusingkan diri ini." "Untuk undurkan diri, itulah memang cocok sama cita-citaku," berkata ayah itu. "Sudah dua puluh tahun lebih aku menjadi menteri, aku telah merasa letih sekali. Dahulu juga aku tidak punya niatan untuk menjadi menteri." "Memang, ayah, mega itu tak ada niatnya untuk muncul dari antara puncak-puncak, dan burung, setelah letih beterbangan, tahu akan pulang ke sarangnya," kata Tan Hong. "Maka, ayah, untuk kita adalah terlebih baik jikalau kita pulang ke kampung halaman kita." Tjong Tjioe menghela napas. "Memang, mega itu tak ada niatnya untuk muncul dari antara puncak-puncak, dan burung setelah letih beterbangan tahu akan pulang ke sarangnya," ia ulangi kata-kata puteranya. "Itulah dua runtunan kata-kata yang tepat sekali dari To Van Beng. Pulang, pergi, kembali! Ya, sekarang adalah waktunya untuk pergi pulang..." Tan Hong menjadi sangat girang. "Kalau begitu baiklah besok ayah ajukan permohonanmu meletakkan jabatan," ia kata. "Sesudah itu kita menanti saja tibanya utusan kerajaan Beng, setelah perdamaian beres selesai, kita lantas pulang ke negeri kita." Tapi Tjong Tjioe menggeleng-geleng kepalanya. "Apa yang aku katakan dengan pergi pulang itu bukanlah seperti yang kau maksudkan pulang ke negeri kita sendiri!" katanya, dengan suaranya yang dalam. Tan Hong heran, hingga ia tercengang. "Bagaimana, ayah ?" ia tanya. "Arak habis, perjamuan bubar, orang pergi pulang," sahut ayah itu. "Demikian kemuliaan, kementerengan, itulah impian kosong belaka. Di dalam dunia ini aku telah hidup enam puluh tahun, dari itu sudah seharusnya aku pergi pulang..." Kali ini suaranya itu lain daripada biasanya. Nyata dengan "pergi pulang" itu ia maksudkan pergi pulang ke alam baka. Karena ini, ketika sang anak berkata pula, suaranya rada-rada menggetar. "Ayah semakin sehat, masih jauh ayah ke usia seratus tahun, kenapa ayah mengucapkan kata-kata yang tak beralamat baik ini?" ia tanya. Tjong Tjioe tertawa meringis. "Bukankah di dalam dunia ini tidak ada pesta yang tidak bubar?" ia balik tanya. "Kanglam itu indah, itulah justeru tempat untuk ayah beristirahat!" kata Tan Hong, gugup. Tapi sang ayah jawab: "Apakah aku masih ada muka untuk kembali ke Kanglam? Dahulu hari Tjouw Pa Ong sungkan melintasi sungai Ouw Kang, itu artinya dia tak ingin menjumpai pula penduduk Kangtong!" Tan Hong menjadi sangat berduka, ia berkuatir. "Ah, mengapakah ayah membuat bandingan ini?" ia kata. Ia masih berniat membujuk, tetapi ayahnya telah menggoyangkan tangannya. "Putusanku sudah tetap, tak usah kau banyak omong lagi!" kata orang tua itu. "Boleh aku letakkan jabatanku sebagai menteri akan tetapi tanah daerah leluhurku tak sudi aku menginjaknya pula!" "Kalau begitu, ayah," tanya Tan Hong, "apakah ayah anggap keliru tentang perjalananku ke Tionggoan ini?" Tjong Tjioe berdongak memandang langit. Dari kejauhan, dengan lapat-lapat, terdengar suaranya terompet huchia. Sekian lama ia membisu, baharu ia bersuara pula. "Jikalau usiaku muda empat puluh tahun, aku juga dapat melakukan seperti apa yang kau telah perbuat," ia berkata. "Mengandalkan orang untuk melakukan sesuatu adalah sangat tak boleh diharap, sekarang insaflah aku bahwa pikiran akan pinjam tenaga bangsa Watzu untuk membangunkan pula Kerajaan Tjioe kita yang besar adalah suatu pikiran yang keliru." Mendengar ini, Tan Hong girang berbareng berduka. "Ayah..." katanya pula. "Tak usah kau omong banyak lagi!" sang ayah memotong. "Hanya ingin aku menyadarkan kau. Yasian itu adalah seorang yang sangat licik, terhadapnya kau mesti waspada kalau-kalau dia berbalik berpikir. Dengan sesungguhnya aku mengharap-harap lekas tibanya utusan dari pemerintah Beng! Bilamana aku menutup mata di negara Watzu ini, tidak nanti aku melupakan Tionggoan... Turut katamu itu, Ie Kiam adalah seorang menteri bijaksana yang sukar dicari keduanya selama seratus tahun ini. Mudah-mudahan, sejak saat ini, Tionggoan kelak akan menjadi makmur dan kuat. Aku merasa senang juga apabila aku dapat melihat utusannya." Luar biasa perasaannya Tan Hong sesaat itu. Mereka berada dekat tapi mereka seperti terpisah jauh satu dari lain... Tan Hong seperti merasakan bahwa jantung ayahnya berdenyut keras, berdenyut dengan tak dapat diartikan maksudnya... Karena ini, pikirannyapun menjadi kacau. Sekonyong-konyong di antara kelompok pohon di depan mereka, satu bayangan orang tampak berkelebat, berbareng dengan itu terdengar bentakannya Tantai Mie Ming: "Siapa bernyali begini besar berani menyusup masuk ke dalam sianghoe?" Bentakan itu disusul dengan serangan sebelah tangan, lalu menyusul satu suara berisik dari rubuhnya sebuah pohon kembang, disusul pula dengan lompat keluarnya satu orang mengenakan pakaian warna abu-abu. Tantai Mie Ming sendiri terlihat terhuyung beberapa tindak, baharu dapat ia pertahankan tubuhnya. Tan Hong kaget sekali. Siapa orang itu, yang demikian kosen sanggup membuat Tantai Mie Ming terhuyung? Mendadak ia dengar tertawa yang nyaring diiringi pertanyaan: "Ah, Tan Hong, kau telah kembali?" Baharu sekarang Tan Hong melihat tegas, orang itu adalah toasoepee-nya, Tang Gak. Maka itu, ia jadi girang luar biasa. Ia lantas memberi hormat pada paman gurunya yang paling tua itu, siapa ia segera ajar kenal dengan ayahnya. "Mari kita duduk di dalam," kemudian ia mengajak. Demikianlah mereka pergi ke ruang tamu. Tang Gak irup air teh yang disuguhkan, terus ia tertawa. "Tantai Tjiangkoen, kepandaian Tiat Piepee-mu telah menjadi terlebih liehay daripada dulu-dulu!" ia memuji. Tantai Mie Ming pun tertawa. "Dan Taylek Kimkong Tjioe darimu pun sukar sekali untuk dilayani!" ia balik memuji. Tjong Tjioe menghaturkan terima kasih pada tetamunya yang tidak diundang itu. "Anakku telah dapat perlindunganmu, aku sangat berterima kasih," kata ia pada paman guru puteranya itu. "Dan akupun bersyukur kepada kau yang selama sepuluh tahun sudah melindungi soetee-ku," Tang Gak pun berkata, ia maksudkan Thian Hoa. Kemudian, sambil tertawa pula, ia menambahkan. "Sinsiang, baharu sekarang aku tahu hatimu! Nyata tidaklah salah apa yang dikatakan soetee-ku itu! Aku merasa bersyukur yang aku tidak sampai berlaku sembrono..." Tan Hong pun dengan diam-diam bersyukur juga. "Baiknya ia dapat dengar pembicaraan ayahku barusan," katanya di dalam hati. "Kalau dia sebagai djiesoepee, entah apa yang akan terjadi... Apakah soepee telah ketemu guruku?" ia terus tanya toasoepee itu. "Ya, telah aku ketemu padanya," sahut Tang Gak. "Tjia Sianseng sudah pergi untuk banyak hari," Tjong Tjioe turut bicara. "Mulanya aku tidak tahu apa yang dia niat lakukan, aku berkuatir. Dia telah kembali, mengapa dia tidak turut bersama datang kemari?" Tang Gak irup pula tehnya, ia tidak lantas menjawab. "Pahlawan-pahlawannya Yasian sudah dibubarkan, meski demikian sukar dijamin bahwa ia tidak akan mengirim orang lagi untuk memata-matai kita," berkata Tantai Mie Ming. "Nanti aku pergi ke depan untuk melihat-lihat." Tan Hong tertawa atas kepergiannya jenderal itu. "Tantai Tjiangkoen telah memikir terlalu banyak," katanya. "Dia kuatir di antara kita mungkin hendak membicarakan sesuatu yang tak dapat dilakukan di depannya, maka itu ia berlalu..." "Ia benar," Tang Gak bilang. "Apa yang hendak aku bicarakan justeru adalah urusan gurunya." Gurunya Tantai Mie Ming ialah Siangkoan Thian Ya, justeru adalah lawan dari Hian Kee Itsoe. Maka mendengar soepee ini, Tan Hong menjadi heran. "Apa?" tanyanya "Bukankah Siangkoan Thian Ya Si kepala iblis tua itu sudah lama mengumpetkan diri? Mungkinkah sekarang dia muncul pula?" "Dia tidak keluar dari gunungnya akan tetapi kita hendak pergi mengunjungi padanya!" kata Tang Gak. "Bagaimana sebenarnya soepee?" tanya pula Tan Hong, heran. "Tak tahu bagaimana jalannya, iblis kepala yang tua itu telah mendengar yang kami beberapa saudara telah datangi negara Watzu ini," Tang Gak beri keterangan, "dan ia segera kirim orang untuk memberitahukan kami supaya kami pergi ke gunungnya untuk menghadap padanya." "Apakah maksudnya?" Tan Hong tanya pula. "Aku juga tidak tahu. Mungkin dia hendak uji kepandaian kami. Dia adalah satu lootjianpwee, dia telah berikan titahnya, tidak dapat kami tidak turut titahnya itu." "Apakah Tantai Tjiangkoen tidak ketahui urusan ini?" Tan Hong tanya. Ia jadi berpikir keras. "Jikalau dia tidak mengatakan apa-apa, jangan kau timbulkan urusan ini kepadanya," Tang Gak pesan. Ia tidak jawab keponakan murid itu, ia bicara secara sungguh-sungguh. Di dalam kalangan kaum Rimba Persilatan ada aturan yang harus dihormati, yaitu jikalau pada kedua pihak kaum tertua ada perselisihan, maka murid-murid mereka itu meskipun mereka bersahabat satu pada lain, harus si murid saling menjauhkan diri. Tan Hong tahu aturan itu, ia sebenarnya kurang memperhatikannya, tetapi sebab ia lihat soepee ini bicara demikian rupa terpaksa ia tidak berani banyak omong. Tang Gak melanjutkan kata-katanya: "Begitulah pada kira-kira tiga puluh tahun yang lalu, guru kami bersama Siangkoan Thian ya itu telah melakukan pertempuran di atas gunung Ngobie San, sampai tiga hari tiga malam lamanya, mereka tidak menang dan tidak kalah. Pertempuran itu telah disudahi dengan mereka saling berjanji, bahwa lagi tiga puluh tahun kemudian mereka bertemu pula. Tidak lama sehabisnya itu, keduanya menjauhkan diri dari muka umum, mereka menyembunyikan diri, yang satu di Tionggoan, yang lain di tapal batas Mongolia. Sejak itu, keduanya tidak pernah berhubungan lagi satu sama lain. Aku telah anggap urusan akan sudah habis sampai di situ. Tak disangkanya pada tahun ini di permulaan musin semi, aku dengar omongannya seorang sahabat kaum Rimba Persilatan, bahwa katanya Siangkoan Thian Ya hendak mewujudkan janji dahulu hari itu. Oleh karena ini, lekas-lekas aku berangkat untuk menyampaikan kabar kepada soetjouw-mu. Soetjouw-mu itu tidak mengatakan, suka atau tidak ia menyambut Siangkoan Thian ya itu, ia hanya titahkan kami pergi terlebih dahulu ke Watzu. Sampai sekarang ini aku tetap belum tahu soetjouw-mu itu hendak datang atau tidak..." "Turut apa yang aku dengar dari soehoe," berkata Tan Hong, "jurus silat pedang siangkiam happek ciptaan soehoe adalah diperuntukkan melawan iblis tua itu. Mungkin, karena itulah soetjouw tidak niat turun tangan sendiri." "Tentang liehaynya siangkiam happek itu belum pernah aku saksikan," kata Tang Gak. "Samsoetee dan soemoay memang cerdas sekali, mereka jauh lebih menang daripada aku, akan tetapi jikalau mereka hendak diajukan untuk melayani iblis tua itu, rasanya bedanya masih terlalu jauh..." Tan Hong tahu liehaynya siangkiam happek, tak percaya ia akan kata-katanya paman guru yang tertua itu, akan tetapi terhadap toasoepee ini ia tidak berani sembarang omong, ia juga tidak hendak pertontonkan ilmu silat pedang gabungan itu, maka ia membungkam. "Eh, Tan Hong, mana sahabatmu yang muda?" tiba-tiba Tang Gak tanya. Baharu sekarang ia ingat In Loei. Hatinya Tan Hong bercekat. Tentang In Loei, ia belum omong kepada ayahnya, ia anggap belum tiba saatnya, tapi sekarang toasoepee itu menimbulkannya, hatinya menjadi kebat-kebit. Lekas-lekas ia mengedipkan mata kepada paman guru itu. "Apakah kau tidak memikiri dia?" tanya pula toasoepee itu, dia agaknya tak mengerti tanda kedipan mata dari keponakan murid itu. "Anak Hong," berkata Tjong Tjioe, setelah ia dengar perkataannya Tang Gak itu, "kau datang bersama sahabatmu itu, ajaklah dia menemui aku." "Ia ada urusan, ayah, dia telah pergi terlebih dahulu," Tan Hong terpaksa mendusta. "Bukankah dia hendak pergi ke lembah selatan dari gunung Tangkula untuk cari ibunya?" tanya lagi Tang Gak. Dengan "dia", paman guru ini maksudkan "dia" wanita. Kembali Tan Hong bercekat. "Ha, toasoepee ini!" katanya dalam hati kecilnya. "Rupanya toasoepee telah ketemu In Loei, jikalau tidak, tidak nanti ia ketahui In Loei hendak cari ibunya itu..." Di samping itu, girang juga Tan Hong, hingga sinar matanya menjadi bercahaya. Ia ada seorang cerdas, tahulah ia bahwa Tang Gak tentunya campur dalam halnya In Loei pergi mencari ibunya itu. Tjong Tjioe sementara itu nampaknya heran. "Sahabat macam apa dia itu?" ia tanya. "Satu sahabat yang jujur." sahut Tan Hong. "Kalau begitu, lain hari mesti kau ajak dia ke rumah kita," kata ayah itu. "Baik, ayah," sahut si anak. Di dalam hatinya, ia ada sangat berduka. Bukankah In Loei telah menyatakan tak ingin menemui ayahnya itu? Sampai di situ, Tang Gak berbicara pula. "Si iblis Siangkoan itu berdiamnya di puncak tertinggi dari gunung Tangkula sebelah utara," demikian katanya. "Jikalau dari lembah sebelah selatan, di mana ada bertinggal suku bangsa Ngolo, kita pergi kesebelah utara, lalu mendaki puncak utara yang tinggi itu, perjalanan ada sekira lamanya tiga hari. Tadi Thio Thaydjin menanyakan halnya Thian Hoa, dia sebenarnya sudah pergi terlebih dahulu kesana." "Kapan Siangkoan Thian Ya menyuruh soepee beramai pergi mengunjungi padanya?" Tan Hong tanya. "Harinya masih belum ditetapkan," sahut Tang Gak. "Sebelumnya Tjengbeng, Thian Hoa sudah berangkat. Akulah yang menyuruh dia pergi, sebab ia mesti sambangi dulu satu sahabat Rimba Persilatan. Adalah kehendakku, di saat yang perlu, sahabat itu harus muncul untuk menjadi si juru pemisah. Di mana djiesoepee-mu? Aku dengar dia telah tiba juga. Bersama Thian Hoa, aku belum menemui dia." "Djiesoepee ada bersama Tjinsamkay Pit To Hoan", Tan Hong beritahukan. Dan ia tuturkan kejadian tadi malam. Mendengar itu, Tang Gak tertawa. "Tabeatnya Tiauw Im masih tetap saja aseran seperti dulu-dulu," kata dia. "Baiklah, akan aku berdiam di sini beberapa hari, untuk mencari dia, setelah bertemu dengannya, baharu kita bicara pula." "Kalau begitu, besok aku mesti berangkat?" berkata Tan Hong kemudian. Tjong Tjioe terperanjat. "Eh, anak Hong!" katanya. "Kau baharu pulang, bagaimana kau sudah hendak berangkat pula?" "Inilah perlu, ayah," anak itu jawab. "Di sini ada mengenai urusan penting dari guruku, sebagai murid, layak aku berbuat sesuatu untuk soehoe. Kalau soehoe pergi menghadapi bencana, layakkah aku tidak menyusulnya?" Tjong Tjioe berdiam. Ia dapat membenarkan perkataan anaknya ini. Bukankah Tan Hong telah dididik sempurna oleh Thian Hoa, gurunya itu? Maka tak dapat ia mencegahnya. "Mana kudamu, Tjiauwya saytjoe ma?" kemudian ia tanya. "Kuda itu dibawa oleh sahabatku yang disebutkan tadi," sahut Tan Hong. "Ah!..." Tjong Tjioe berseru perlahan. Di dalam hatinya, ia kata: "Pasti persahabatannya anak ini dengan sahabatnya itu bukan persahabatan biasa saja..." Oleh karena ini semakin keraslah niatnya untuk bertemu dengan orang yang dimaksud itu. Keesokan paginya, Tan Hong pamitan dari ayahnya, juga kepada Tang Gak, toasoepee itu. "Mari aku antar kau keluar," berkata Tjong Tjioe, yang terus pegang tangan anaknya. Mereka berjalan dengan perlahan-lahan. Tantai Mie Ming ada bersama, ia menemani Tang Gak. Berdua mereka telah mendahului tiba di pintu depan. "Ayah, kau masuklah," Tan Hong minta. "Ayah masih harus pergi ke istana." "Surat perletakan jabatan telah aku tulis selesai tadi malam, karenanya tak usah aku kesusuh," sahut sang ayah. "Sejak sekarang ini, dengan tidak memangku pangkat, aku jadi merdeka. Aku hanya harapkan kau lekas kembali." "Jangan ayah pikirkan aku. Bersama-sama soehoe pasti aku akan kembali." "Hanya aku kuatir, setelah kembali, kamu nanti pergi pula," menyatakan pula ayah itu akan kesangsiannya. "Kalau nanti kau pulang, mungkin utusan kerajaan Beng pun telah tiba." "Kenapa ayah tidak hendak bersama-sama pulang ke Tionggoan?" Tan Hong tanya pula. Ia mengulangi. "Semalam telah kita bicarakan urusan itu, maka sekarang tak usah banyak dibicarakan pula!" kata ayah itu, ringkas. Tan Hong menurut, tetapi tiba-tiba ia tanyakan lainnya hal. "Ayah," demikian katanya, "apakah ayah masih ingat In Tjeng, itu utusan kerajaan Beng yang dahulu hari?" Tjong Tjioe melengak. Tan Hong rasakan telapak tangan ayahnya basah tiba-tiba dengan keringat, tangan itu gemetar. Selang sesaat baharulah Tjong Tjioe seperti sadar, terus ia menghela napas. "Ya, sudah tiga puluh tahun..." katanya, seperti kepada dirinya sendiri. "Urusan dari tiga puluh tahun seperti terbayang di depan mata... Utusan In itu adalah satu laki-laki yang seumurku baharu pernah menemuinya! Bagaimana aku tidak ingat kepadanya? Kalau tidak salah, sejak dia pulang ke negerinya, sepuluh tahun sudah berselang..." "Hanya nasibnya harus disayangkan," Tan Hong tambahkan. "Dia pulang ke negerinya, baharu saja dia tiba di pintu negeri, dia sudah dianiaya hingga binasa oleh Ong Tjin yang telah menggunakan firman palsu!" Tjong Tjioe agaknya terkejut. "Kejadian itu pernah aku mendengarnya," ia bilang. "Ah, itulah disebabkan kesalahanku. Ketika itu aku masih bersemangat muda, aku sangat benci raja Beng, karenanya, aku benci juga semua orang yang bersetia kepada kerajaan Beng itu. Karena itu juga maka In Tjeng telah aku kirim ke tepi telaga yang seperti berlangitkan es dan berbumikan salju, hingga lamanya dua puluh tahun dia mesti mengembala kuda. Selama dua puluh tahun dia minum es dan mengemu salju, toh selama itu tetap dia bersetia kepada kaisar dari Keluarga Tjoe itu. Dia adalah musuhku tetapi aku sangat kagum terhadapnya. Selama tahun-tahun yang belakangan ini, apabila aku ingat padanya, aku jadi bersusah hati. Inilah kesalahanku, ya kedosaanku yang pertama-tama selama hidupku... Aku harap utusan kerajaan Beng yang akan datang itu nanti ada sebagai In Tjeng jantannya!" "Ayah tahu tidak," kata Tan Hong pula, "kabarnya In Tjeng itu ada punya dua cucu, yang satu pria, yang lain wanita, keduanya usianya tak berjauhan dengan usiaku." "Benarkah itu?" tanya Tjong Tjioe. "Aku harap yang aku bisa dapat bertemu dengan mereka itu." "Ayah, umpama ada sesuatu yang mereka hendak mohon darimu, sudikah kau menerimanya?" Tan Hong berkata pula. "Kau adalah mustikaku," sahut orang tua itu, "kalau untuk mereka itu, meski aku kehilangan kau, aku ikhlas sekali!" Tiba-tiba ia menghela napas. Ia menambahkan: "Jikalau mereka itu masih hidup dan telah menjadi dewasa, pasti sekali mereka ketahui peristiwa engkong-nya itu, pasti sekali mereka akan pandang aku sebagai musuhnya. Oleh karena itu, cara bagaimana mereka hendak meminta sesuatu dari aku?" Lega hatinya Tan Hong akan dengar kata-kata ayahnya ini. Ia tahu, itulah kata-kata yang keluar dari hati yang putih murni. "Bagaimana caranya maka kau ketahui tentang dua anak itu?" kemudian Tjong Tjioe tanya pula. Sebenarnya ingin Tan Hong tuturkan pergaulannya dengan In Loei, atau mendadak ia pikir baiklah ia bersabar dulu. "Aku dapat mendengar pembicaraan di antara sahabat-sahabat kaum kangouw," demikian ia jawab. "Kabarnya mereka itu sudah ikuti satu guru silat yang terkenal dari siapa mereka telah pelajari kepandaian. Cucu lelaki dari In Tjeng itu mungkin bekerja pada pemerintah." "Kalau benar begitu, senang hatiku," berkata Tjong Tjioe. "Aku harap saja, utusan Beng yang akan di kirim kemari itu adalah cucunya In Tjeng itu." Tan Hong lihat ayahnya benar-benar bergembira. Sementara itu, mereka sudah sampai di samping pintu. "Ayah baik-baiklah di rumah," Tan Hong bilang. Lalu, bersama Tang Gak ia keluar dari pintu belakang. Tjong Tjioe senderkan tubuh di pintu, ia masih mengawasi, sinar matanya suram. "Sungguh soetee Thian Hoa sabar dan jauh pandangannya," berkata Tang Gak. "Sekarang mengertilah aku kenapa dia sudi tinggal di rumahmu sampai sepuluh tahun. Oleh karena ayahmu suka membantu Tionggoan, nampaknya Yasian tidak akan mampu terbitkan sesuatu gelombang." Atas ucapannya soepee itu, Tan Hong hanya angguk-anggukkan kepala. "Sekarang kita menuju ke mana?" ia tanya. "Tentu saja ke Peklo San!" sahut paman guru itu. "Adik kecilmu tengah memikirkanmu..." "Oh, jadinya soepee adalah yang menitahkan dia pergi ke Peklo San?" "Di atas Peklo San itu ada satu sahabatku," jawab Tang Gak. "In Loei tinggal di rumah penginapan, itulah tidak sempurna, maka itu aku suruh dia pergi menumpang di rumah sahabatku itu." Keduanya berjalan dengan cepat, maka tidak lama sampailah mereka di kaki gunung Peklo San itu. Hawa ada sangat dingin, daun-daun kuning seperti mengampari bukit itu. Tan Hong sangat bergembira, pemandangan itu baginya adalah seperti pemandangan di musim semi... Di tengah gunung ada sebuah rumah, temboknya dari tanah liat. Kelihatan rumah itu terawat baik. Di pintu depan, sambil menyender, ada satu nona. Dialah In Loei. "Adik kecil! Adik kecil!" Tan Hong segera memanggil. "Adik kecil, aku sudah kembali!" In Loei menyahuti dengan tawar, ia nampaknya lesu. Tang Gak lihat sikap orang itu, ia menggeleng kepala, ia kata dengan perlahan: "Kamu berdua adalah sepasang musuh..." "Telah aku bicara dengan ayah perihal peristiwa dulu-dulu, ia sangat menyesal," kata Tan Hong. Ia ingin beritahukan In Loei perihal ayahnya mengharap sangat bertemu dengan dia dan kakaknya, tapi In Loei dengan dingin mengatakannya lebih dahulu, "Aku pun menyesal..." "Menyesal? Apa yang kau sesahnya?" "Kakekku dahulu mengembala kambing," jawab si nona. "Kalau nanti aku bersama kau pergi melihat ibuku, tidak tahu apa yang harus aku katakan..." Tan Hong menghela napas. Pantas kalau In Loei menyesal untuk ibunya itu — ibu yang telah terlunta, sangat menderita. Mengawasi sepasang anak muda itu, Tang Gak tertawa. "Kamu anak-anak muda, kamu bertemu untuk saling menghela napas, kamu membuatnya aku si tua bangka jadi sangat tidak mengerti!" katanya, Jenaka. "Kalau ada omongan, mari masuk ke dalam, di sana kita membicarakannya." Masih Tan Hong menghela napas. "Untukku, walaupun harus menginjak api, akan aku turut kau mencari ibumu itu," ia kata pada In Loei. "Kalau nanti kita sudah bertemu, apa juga kata ibumu, bagaimanapun ia tegur aku, akan aku terima saja..." Tiba-tiba saja In Loei tertawa geli. "Untuk apa ibuku tegur kau?" tanya dia. "Ibuku itu, seumurnya belum pernah menegur orang!" Satu kali si nona tertawa, maka sang awan gelap seperti juga lantas tersapu sinarnya Batara Surya! Maka dengan hati lega, mereka masuk ke dalam rumah. Sahabatnya Tang Gak itu adalah seorang ahli silat suku bangsa Hui yang tinggal di Mongolia ini, seorang yang ramah tamah sekali. Begitu ia sambut tetamunya, lantas ia pergi ke belakang, untuk mencuci dan mensesel dagingnya seekor kambing hutan yang kemarinnya ia dapat dari memburu, untuk di matangi, dengan apa ia jamu tetamunya itu. Tak lupa ia menyediakan araknya. "Samsoepee dan soehoe telah lewat di sini kemarin," kata In Loei selagi mereka duduk bersama. "Tentang itu telah aku beritahukan Tan Hong," kata Tang Gak. "Sekarang aku masih hendak berdiam beberapa hari di sini, untuk cari djiesoepee-mu serta Pit To Hoan, setelah, menemukan mereka baharu aku akan langsung kepuncak selatan dari gunung Tangkula, untuk menghadiri pertemuan. Kau, In Loei, setelah kau dapat cari ibumu, harus kau lekas bersama Tan Hong menyusul ke sana. Mungkin sekali kita, orang-orang tua dan muda dari dua tingkat turunan, akan bersama-sama menempur iblis tua bangka itu!" "Apakah benar si tua bangka iblis itu ada demikian liehay?" In Loei tanya. "Sekalipun kita kepung padanya, aku sangsikan kemenangan ada di pihak kita!" sahut Tang Gak. "Kalau begitu, bukankah dia jadi ada terlebih liehay daripada si wanita tua dari hutan bambu?" tanya pula si nona. Tang Gak heran, ia melengak. "Wanita tua siapakah yang kau maksudkan itu?" ia menegaskan. In Loei pun segera ingat perkataannya Thian Hoa bahwa kecuali cuma toasoepee ini yang ketahui hal ihwalnya si wanita tua, maka itu ia lantas menjelaskannya. "Dia adalah seorang tua yang tak sudi memberitahukan she dan namanya," demikian penyahutannya. Dia pandai menggunai senjata rahasia yang berupa daun bambu. Toasoepee, tahukah siapa dia itu?" Nona ini lalu menjelaskan pertemuan di hutan bambu itu. "Ah, aku tidak sangka lootjianpwee itu masih ada di dalam dunia ini" berkata si paman guru setelah ia dengar semua. "Nyata dia masih tak melupai segala kejadian dahulu hari itu. Oleh karena dia muncul, di belakang hari mungkin dia campur tangan, dan itu artinya urusan bisa menjadi bertambah sulit..." "Sebenarnya siapakah dia?" In Loei tanya pula. "Dia itu bersama soetjouw-mu serta si tua bangka iblis ada punya suatu urusan, hanya kita yang menjadi anak muda, tak tepat untuk kita membicarakan urusan mereka itu. Di belakang hari kau akan ketahui sendiri." Demikian jawaban Tang Gak. In Loei tidak berani mendesak untuk menanyakannya terlebih jauh. Tentu saja, sendirinya ia jadi masgul. Sehabis bersantap, sang waktu sudah tengah hari. Keras sekali niatnya In Loei untuk mencari ibunya, maka ia desak Tan Hong untuk segera berangkat. Karena itu, sebentar kemudian keduanya sudah pamitan dari tuan rumah serta toasoepee mereka, untuk berangkat terlebih dahulu. Sudah sekian lama Tjiauwya saytjoe ma dibawa In Loei ke gunung Tangkula ini, dan sekarang kuda itu melihat Tan Hong, lantas saja ia angkat kepalanya dan meringkik keras dan panjang. Tan Hong usap-usap lehernya binatang tunggangannya itu. "Sekarang aku membutuhkan kau pula!" katanya sambil tertawa. Kedua pemuda pemudi naik atas masing-masing kudanya. Lantas mereka mulai dengan perjalanannya. Orang berada di dalam musim dingin yang dekat berakhir, merekapun membuat perjalanan ke Utara, maka itu, mereka menghadapi angin Utara yang hebat. Jalan penuh dengan salju, hingga jagat menjadi putih anteronya. Di tengah jalan juga sedikit sekali orang yang berlalu lintas. Namun dalam keadaan seperti itu, Tan Hong melakukan perjalanannya dengan hati terbuka, di atas kudanya ia mainkan cambuknya, dengan nada tinggi ia perdengarkan suaranya: "Cuma terdengar denyutan dua hati, yang putih bagaikan salju, yang tak sedikit jua dibiarkan dikotori debu!..." "Hai, sioetjay tolol!" berkata In Loei sambil bersenyum. "Kau menyebut-nyebut salju, kalau sebentar sang angin membawa datang salju itu, baharulah kau tahu rasanya hawa dingin! Nanti kau sukar berjalan..." Tan Hong bersenyum, ia tidak sahuti nona itu. Manjur mulutnya In Loei, belum lama atau sang angin mulai meniup-niup, membawa benda halus yang dingin rasanya itu. Beterbanganlah bunga salju, yang terbawa angin yang meniupnya lantas menjadi menderu-deru. Tan Hong tidak hiraukan gangguan salju itu, ia larikan kudanya yang diikuti In Loei. Maka itu, basah kuyup tangan baju mereka, penuh saljulah pelana mereka. Benar-benar Tan Hong tidak takut hawa dingin, ia pentang bajunya menyambut hawa yang dingin itu dengan dadanya. Ia buat main cambuknya, berulang kali ia berseru kegembiraan! Ia baharu berhenti ketika ia dengar suara nona kawannya: "Eh, kau dengar!" demikian In Loei, yang rendengkan kuda mereka. "Kau dengar! Itu suara angin atau suara siulan?..." Tan Hong segera pasang kupingnya. Segera ia menjadi keheranan. "Itulah suara siulan yang bercampuran suara angin...." katanya kemudian. "Eh, ada juga suara kaki kuda yang berlari-lari seperti saling kejar... Orang yang bersiul itu mestinya orang yang liehay ilmu dalamnya... Mari kita lihat!" Dan ia segera kaburkan kudanya. In Loei mengikuti dibelakangnya. Lari belum lama, jauh di depan mereka, di antara tanah datar bersalju, mereka tampak dua orang tengah bertarung seru, keduanya bertubuh besar. Di samping mereka, di pinggiran, ada tiga ekor kuda yang bagus, penungganganya adalah dua wanita serta seorang pria yang tubuhnya besar dan kekar juga. "Rasanya mereka adalah orang-orang yang kukenal..." kata Tan Hong, yang terus bedal kudanya, maka di lain saat, tibalah mereka di tempat pertempuran itu, hingga ia melihat dengan tegas, benarlah terkaannya, mereka adalah orang-orang yang dikenal olehnya, ialah Hek Pek Moko dengan isteri-isterinya bangsa Iran. Dan yang sedang berkelahi itu adalah Hek Moko. Hanya, untuk keheranannya, ia kenali juga lawannya Hek Moko itu, yang bukan lain daripada Kong Tiauw Hay, bekas tjongkoan dari istana kaisar Beng, dari Kaisar Kie Tin! Kong Tiauw Hay itu dandan sebagai seorang Mongolia, akan tetapi sekarang bajunya telah compang-camping, romannyapun sudah tidak keruan macam, dia nampak lebih perok. Dia memang kalah tenaga dari Hek Moko, maka itu setibanya Tan Hong belum lama, ia telah kena dibikin terjungkal oleh lawannya! Tan Hong pun heran, kenapa mereka itu berkelahi. Tengah keheranannya itu ia lihat Kong Tiauw Hay, setelah berbangkit bangun telah menghunus sebatang golok, yang dinamakan golok kuda — matoo, dengan bengisnya ia membacok musuhnya. "Hai, begal jahat, kau berani turun tangan terhadap datomu !" demikian bekas tjongkoan itu perdengarkan suaranya yang keras. "Bagaimana kau berani curi barangku? Lekas kau kembalikan barangku, perkara ini aku akan bikin habis!" Hek Moko tapinya tidak takut, dia malah tertawa gelak-gelak. Dengan sebat dia keluarkan senjatanya, ruyung Lekgiok thung, dengan itu ia menangkis. "Traang!" demikian satu suara nyaring, lelatu api pun berhamburan. Dan goloknya Tiauw Hay kentop! "Belum pernah aku ketemu dato!" Hek Moko kata sambil tertawa pula. "Kau bicaralah dengan aku secara baik-baik, kita mungkin masih dapat berdamai. Jikalau kau tetap hendak berlagak kosen — hm! hm! — kau lihatlah, kau dapat bacok aku mampus atau ruyungku akan mengemplang remuk paha anjingmu!" Hek Moko bergurau tetapi ia pun berkelahi dengan hebat, sebab Tiauw Hay serang ia bertubi-tubi, halmana menandakan bekas tjongkoan ini gusar bukan main. Tan Hong kembali menjadi heran. Hek Pek Moko adalah "saudagar-saudagar besar," tak sudi mereka bekerja kecil, maka anehlah kenapa mereka mau curi barangnya Kong Tiauw Hay. Masih ada lagi satu keanehan, yaitu meski Hek Moko bertempur hebat, nampak nyata dia tidak niat menurunkan tangan jahat terhadap lawannya itu... Ini disebabkan Tiauw Hay bukanlah satu tandingan yang tepat. Tan Hong lantas berpikir: "Kong Tiauw Hay ini memang satu manusia rendah, meski demikian ia pernah aku kenal. Entah apa sebabnya yang utama maka kedua orang ini jadi berkelahi... Baik aku memisahkannya." Pikiran ini segera diwujudkan. Tan Hong majukan kudanya, untuk menyelak di antara mereka. Justeru itu, Kong Tiauw Hay berteriak keras, tubuhnya terhuyung mundur beberapa tindak. Sementara itu Pek Moko, yang sejak tadi menonton saja, telah lihat Tan Hong yang ia kenali, ia menjadi girang luar biasa. "Toako. Thio Kongtjoe datang!" ia serukan kakaknya. "Bagus Thio Kongtjoe datang!" Hek Moko pun berseru. Lalu ia teruskan pada Tiauw Hay: "Coba kau kasih lihat beberapa mustikamu itu padanya, dia dapat mengenali atau tidak!" "Mustika apakah itu?" tanya Tan Hong, yang menjadi tertarik hati. Menampak kedatangannya Tan Hong, Kong Tiauw Hay menjadi terkejut, tapi, berbareng iapun mengharap anak muda itu nanti suka bantu ia. Ia lantas berseru: "Dua penjahat ini telah curi mustikaku! Tan Hong, tolong kau berikan pertimbanganmu yang adil!" "Kau ada punya mustika apa?" tanya Tan Hong, sambil ia lompat turun dari kudanya. Ia jadi semakin tertarik hati, hingga ia ingin sekali ketahui duduknya hal. Sekonyong-konyong, Hek Moko tertawa. "Benar, kau ada punya mustika apa?" katanya dengan keras. Pertanyaannya Tan Hong membuat ia dapat pikiran. "Kemarin kau berkeras mengatakan bahwa kau tidak punya mustika apa-apa, kenapa sekarang kau akui mempunyainya?" Tiauw Hay melengak, tapi ia sadar lekas. "Tan Hong, itu memang mustikaku!" ia berseru. "Dari mana kau dapatkan mustika itu?" Tan Hong tanya pula. Belum sempat bekas tjongkoan itu memberikan penyahutannya, Pek Moko telah keluarkan satu bungkusan kuning, yang disodorkan kepada si anak muda. "Kau lihat, semuanya ada di dalam bungkusan ini!" dia bilang. "Aku sangsikan asal usulnya beberapa mustika ini! Mungkin jahanam ini dapat dari curian! Coba kau periksa, kongtjoe, mungkin kau bisa memberikan keterangan kepada kami." Hatinya Tan Hong tergerak. Pernah ia lihat bungkusan kuning itu. Ia lantas saja ingat. Selama peperangan di Touwbokpo, selagi tentera Beng dikurung musuh, Kong Tiauw Hay melarikan diri, Tiauw Hay menumpang bermalam di rumah seorang tani, di situ dia ketemu Tan Hong dan In Loei. Ketika itu Tiauw Hay menggendol bungkusan kuning itu di bebokongnya, bungkusan itu berisi uang goanpo emas. Pernah Tan Hong lemparkan bungkusan itu, tapi Tiauw Hay memungutnya, terus dibawa kabur. Maka berpikirlah Tan Hong: "Mustahil Hek Pek Moko kepincuk beberapa potong goanpo itu?" Karena ini, ia lantas buka bungkusan itu, atau segera matanya menjadi silau. Di dalam bungkusan itu, kecuali belasan potong goanpo emas, ada lagi beberapa barang berharga lainnya! Ialah pekgiok sanhoe, yang sangat bercahaya, yang tak ada cacatnya. Batu itu jauh terlebih bagus daripada sanhoe yang In Loei berikan kepada Tjio Tjoei Hong sebagai pesalin. Yang satu lagi adalah sebatang tusuk konde dengan dua batu permata yang dinamakan "mata kucing" yang emasnya berukirkan empat huruf "Hauw Kim Honghouw," artinya "Permaisuri Hauw Kim." Yang lainnya lagi adalah sebuah permata singa-singaan, yang terbungkus kertas. Tapi yang paling berharga adalah sebuah cap terbuat dari batu kumala, yang berukirkan enam huruf "Tjeng Tong Hong Tee Tjie In," atau artinya "Cap Kaisar Tjeng Tong." Itulah cap yang hanya sebawahan sedikit dari gioksie, cap kerajaan. Lagi beberapa yang lainnya adalah barang kuno dari jaman Siang serta serenceng rantai mutiara, yang harganya tak ternilai, sebab semua itu adalah permata-permata dari dalam istana. Mau atau tidak, Tan Hong menjadi tertawa tawar. "Dari mana kau dapatkan semua ini?" akhirnya ia tanya bekas tjongkoan itu. "Semua itu adalah hadiah bertahun-tahun dari Sri Baginda terhadapku," sahut Tiauw Hay. "Ya, sampaipun cap pribadi kaisar dan tusuk konde permaisuri juga dihadiahkan padamu!" katanya si anak muda, yang tertawa mengejek. Sekarang telah ia dapat menduga, ketika Kong Tiauw Hay kabur dari Touwbokpo, dia tentunya kabur sambil curi barang-barang berharga dari kaisar, berikut cap pribadi raja itu serta tusuk konde permaisuri yang dikasihkan kepada kaisar selaku tanda mata. Rupanya, di waktu dia ketemu si anak muda di rumah si orang tani, cap dan tusuk konde itu belum berani ia bungkus jadi satu dalam bungkusan uang, karenanya Tan Hong tidak lihat itu. Terkaan Tan Hong ini tidak keliru. Tapi Tiauw Hay bukan mencuri untuk mendapatkan uang saja, iapun ada kandung satu maksud lain. Tiauw Hay duga Tionggoan pasti bakal dirampas bangsa Watzu, bahwa negara tentu akan jadi kalut, maka dia memikir untuk mencuri semua permata itu, supaya dia bisa lari dan umpetkan diri, untuk hidup sebagai hartawan. Nyata sangkaannya negara akan musnah itu meleset adanya. Yasian kalah dan mundur dan raja baharu telah dinobatkan. Karena ini, hatinya jadi ciut. Justeru itu, kedua paman gurunya, yaitu Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam dapat ditakluki Thio Tan Hong, mereka bekerja kepada Ie Kiam, dia menjadi terlebih kuatir pula. Dia takut nanti kedua paman guru cari padanya, dia bisa dipersalahkan merat dari medan perang. Kekuatiran yang lain adalah kalau-kalau raja yang baru nanti tarik panjang mustika-mustika kaisar Tjeng Tong yang dia curi itu. Maka, nekatlah dia. Dia kabur ke Mongolia. Dia bercita-cita membeli tanah di Mongolia, untuk membangun suatu usaha peternakan, untuk hidup mewah dan aman. Tentu saja sulit untuk dia mengeluarkan cap pribadi raja dan tusuk konde permaisuri, maka dia memikir hendak menghadiahkannya kepada Yasian, supaya Yasian suka berikan dia suatu pangkat. Banyak macam cita-citanya itu yang belum dapat dia wujudkan, maka dia berada dalam keragu-raguan. Malang baginya, di tengah jalan dia berpapasan dengan Hek Pek Moko, dua saudara saudagar yang matanya sangat liehay, yang telah berpengalaman selama beberapa puluh tahun. Dua saudara Moko itu menjadi curiga. Mulanya mereka niat membeli permata itu tetapi Tiauw Hay menyangkal keras bahwa dia mempunyai barang permata, Hek Pek Moko penasaran dan mendongkol, maka malamnya mereka satroni bekas tjongkoan itu dan curi bungkusannya. Tiauw Hay kelabakan, tapi dia pun liehay, dia menduga jelek pada Hek Pek Moko, yang dia terus cari, hingga kesudahannya kedua pihak ketemu di tengah jalan itu dan jadi bertempur. Bungkam Tiauw Hay ditegur Tan Hong. "Kecewa kau menjadi taylwee tjongkoan1." Tan Hong tegur. "Raja perlakukan baik padamu, di saat raja dalam bahaya terkurung musuh, bukannya kau membela mati-matian, kau justeru meninggalkannya lari sambil curi juga barang-barang berharganya. Kedosaanmu karena kabur saja, bahagianmu adalah bahagian mati, itu ditambah pula dengan pencurian!" Hek Moko menjadi tertawa bergelak-gelak. "Benar-benar kau perolehnya dari mencuri!" dia berkata, dia mengejek. "Oh, kau kiranya juga satu taylwee tjongkoan1. Baik, mari rasai ruyungku ini!" Kata-kata itu ditutup dengan satu serangan. Dengan terpaksa Kong Tiauw Hay melakukan perlawanan pula. Thianmo Thunghoat dari Hek Moko liehay sekali, dan sekarang ia menyerang dengan sungguh-sungguh, tidak separuh memain seperti tadi, maka itu, baharu lima jurus, Tiauw Hay sudah kewalahan, walaupun dia telah keluarkan antero kepandaiannya. Tepat pada jurus ke enam, goloknya bekas tjongkoan itu kena disampok terlepas dan terpental, menyusul mana, Lekgiok thung turun terus untuk meminta jiwa! Tan Hong terkejut, hatinya tak tega. "Ampuni dia!" ia berseru. "Rusakkan saja ilmu silatnya!" Ruyungnya Hek Moko turun terus, tepat mengenai pundaknya Tiauw Hay meskipun dia telah mencoba mengegos tubuhnya. Dia menjerit keras dan rubuh, tulang piepee-nya telah patah remuk, habis musnalah kepandaiannya Kimtjiong tiauw, ilmu kebal itu, turut musnah juga semua kepandaian silatnya, hingga selanjutnya dia jadi seorang biasa yang bercacat. "Djin wie tjay soe, niauw wie sit bong, itulah bagianmu!" Tan Hong berkata. "Hari ini kau tidak sampai binasa, inilah untungmu! Maka selanjutnya baiklah kau mencoba untuk menjadi orang baik-baik!..." Tiauw Hay merasakan tepatnya teguran Tan Hong itu. Memang — djin wie tjay soe, niauw wie sit bong = manusia mati karena harta, burung mampus sebab makan. Maka dengan paksakan melawan rasa sakitnya, ia bangun berdiri untuk terus lari terbirit-birit. Dari seorang "berharta besar," ia menjadi seorang rudin dan bercacat juga, untuk hidupnya selanjutnya ia manda menjadi kuli di sebuah perusahaan pengembalaan, di mana pun, saking berduka, ia kemudian mati mereras... Sekaburnya Kong Tiauw Hay, Hek Pek Moko membuat pertemuan dengan Tan Hong. Mereka saling unjuk hormat, lalu kedua pihak sama-sama tertawa riuh. "Kamu datang dari mana?" kemudian Tan Hong tanya. "Kami baharu pulang dari India di mana kami berusaha, baharu kemarin dulu kami tiba di gunung Tangkula," sahut Hek Moko. "Bukankah itu wilayahnya suku bangsa Ngolo?" kata Tan Hong, yang tiba-tiba ingat sesuatu. "Apakah kau bertemu kepala suku Ngolo itu?" Pek Moko tertawa. "Kami adalah kaum saudagar, tak sempat kami menghadap kepala suku itu." dia menyahuti. "Ada juga lain rombongan orang besar yang pergi berkunjung kepada kepala suku bangsa itu! Selama beberapa hari ini, dia sedang sangat repot..." "Siapakah yang mengunjungi kepala suku itu?" Tan Hong tanya. "Kabarnya utusannya Yasian." "Oh!" seru anak muda itu, tertahan. "Utusannya Yasian?" "Kabarnya Yasian hendak beli suku itu, untuk diajak sama-sama menentang Pangeran Atzu," kata Pek Moko. "Aku dengar hal ini di tengah jalan, dari satu sahabat. Nampaknya di dalam negeri Watzu bakal terbit kekalutan. Kawanku kuatir terhalang perjalanannya, mereka siap sedia untuk pergi ke Selatan. Eh, ya, ayahmu adalah menteri muda dari Watzu, apakah kau tidak dengar kabar halnya Yasian itu?" "Aku dapat dengar, hanya sedikit," Tan Hong jawab. Lalu mendadak ia ingat sesuatu. Maka terus ia berkata kepada dua saudara itu: "Maukah kau kasihkan dua rupa barang itu padaku, yaitu cap pribadi kaisar dan tusuk kondenya permaisuri? Ayahku ada punya milik di ibu kota Watzu, biarlah aku tukar itu dengan dua rupa barang ini." Hek Moko tertawa. "Oh, tidak, tidak hendak aku jual!" ia kata. Dua barang itu, yang satu adalah mustika negara, yang lain perhiasannya permaisuri, Tan Hong hendak beli itu, untuk nanti dikembalikan kepada Kaisar Tjeng Tong, tetapi Hek Moko menolak, ia menjadi tidak gembira. Kembali Hek Moko tertawa. "Barang itu memang tidak hendak aku jual, tetapi suka aku menghadiahkannya kepadamu!" ia berkata pula. "Bukankah benda ini kami dapat pungut di tengah jalan? Tidak hanya itu dua barang, juga semua bungkusan ini, semua hendak aku hadiahkan kepadamu!" Tan Hong heran. "Apa katamu?" dia tanya. Lagi-lagi Hek Moko tertawa. "Apakah di kolong langit ini hanya kau seorang yang diperkenankan untuk berlaku murah hati?" dia tanya. "Apakah hanya kau yang boleh mengamal? Dahulu hari kau telah pulangkan barang-barang pendaman yang aku kalah bertaruh denganmu, dari itu, apa artinya beberapa rupa barang ini? Karena barang ini dapat kau pergunakan, kau ambillah semua!" Matanya Tan Hong memain, ia tertawa. "Baiklah," katanya. "Kamu baik hati sekali, djiewie, aku tidak sungkan-sungkan lagi. Sekarang aku hendak minta djiewie tolong aku dalam satu urusan..." Hek Pek Moko biasanya tidak sungkan terhadap siapa juga, tetapi terhadap Tan Hong mereka kagum dan takluk, maka itu, dengan lekas mereka berikan jawabannya. "Katakanlah, apakah itu?" berkata Hek Moko. "Walau urusan itu ada sebesar langit, kami berdua saudara sanggup melakukannya!" Tan Hong bersenyum. "Itulah bukan urusan sebesar langit!" katanya. "Aku cuma hendak minta kamu antarkan sepucuk suratku. Surat itu harus disampaikan sambil lalu." "Kepada siapakah surat itu mesti diterimakan-nya?" Hek Moko tanya. "Bukankah dalam perjalananmu ini kamu akan melalui wilayah barat dari Atzu Tiewan?" Tan Hong menegaskan. "Memang. Jadi kau hendak kirim surat pada Pangeran Atzu?" Pek Moko pun menegaskan. "Benar." "Baiklah! Mana suratmu itu?" Di tengah jalan itu tidak ada kertas dan alat tulisnya, maka tidak ada lain jalan, Tan Hong ambil sepotong kulit kambing di atas mana ia "menulis" dengan ujung pedangnya. Setelah selesai, surat istimewa itu ia serahkan pada Hek Moko berikut dua rupa batu permata. "Aku minta surat ini berikut dua rupa mustika ini kau serahkan pada Atzu," ia bilang. Hek Moko menyambuti, ia simpan surat dan permata itu. "Nah, sampai kita ketemu pula!" kata dia kemudian, yang bersama adiknya terus pamitan dari si anak muda. "Sampai ketemu pula!" balas Tan Hong. Maka di situ mereka berpisahan. "Toako, kau tulis surat apa itu?" tanya In Loei sesudah mereka berada berdua saja. Sejak tadi ia cuma jadi penonton. "Aku mewakilkan bangsa Ngolo membuat perserikatan kepada Pangeran Atzu," sahut Tan Hong. In Loei heran. "Kenapa kau ketahui suku Ngolo itu hendak berserikat kepada Pangeran Atzu?" ia tegaskan. Tan Hong tertawa. "Hal itu aku tahu pasti," ia jawab. "Memang hal itu telah aku rencanakan. Lagi tiga hari, kau akan ketahui semua!" In Loei masih tidak mengerti tetapi ia tidak menanyakan lebih jauh. Ia hanya kasih lari kudanya, berendeng dengan kudanya si anak muda. Kuda mereka bisa lari tiga sampai empat ratus lie setiap hari meskipun jalanan bersalju dan licin, angin meniup-niup, maka itu, tiga hari kemudian, tibalah mereka di selatannya gunung Tangkula. Di sini, selagi memasuki lembah, baharulah mereka jalankan kudanya perlahan-lahan. In Loei umbar matanya. Inilah tempatnya semasa ia kecil. Samar-samar ia masih ingat segala apa. Demikian ia tunjukkan ini dan itu kepada Tan Hong. "Di sana di bawah pohon besar itu, aku biasa main petak bersama anak-anak tetanggaku," demikian katanya. "Dan di tepinya batu besar itu, suka aku berebahan diri." Akan tetapi sehabisnya kata-kata itu, mata nona ini mengembeng air mata. Ingat masa kecilnya, ia jadi gembira berbareng duka. "Segera bakal kau menemui ibumu, untuk apa kau menangis?" kata Tan Hong. In Loei susuti air matanya. "Aku terlalu gembira!" ia jawab. "Bagaimana pendapatmu, baik atau tidak kalau aku ajak kau bersama menemui ibuku?" "Kenapa tidak baik?" sahut Tan Hong. "Apakah kau kuatir ditertawakan ibumu?" "Bukan! Aku hanya kuatir ibu ketahui kau adalah musuh keluarga kami!" Likat In Loei ketika ia mengatakan itu. Iapun berduka. "Asal kau tidak pandang aku sebagai musuh, ibumu tentu akan anggap aku sebagai keponakannya." In Loei ingat ibunya adalah seorang halus budi pekertinya, jikalau ia tuturkan jelas tentang Tan Hong, mungkin ibu itu tidak gusar, bila ibu itu menerima baik, maka tak kuatir ia akan tentangan dari kakaknya. Mengingat ini, ia jadi bersenyum. "Kau tertawakan apakah?" si anak muda tanya. "Segera aku akan bertemu ibuku, bagaimana aku tidak bergirang?" si nona kata. Tapi sejenak saja, lenyap wajah gembiranya. Di detik itu ia ingat ibunya ada di rumah kepala suku, bekerja sebagai bujang, sebagai perawat kuda... Bukankah pekerjaan itu rendah dan hidup ibunya bersengsara? Maka ia jadi berduka dengan tiba-tiba, kedua alisnya mengkerut... Tan Hong mengawasi, ia perlihatkan roman Jenaka. "Apa artinya sebentar ketawa, sebentar menangis?" ia menggoda. "Dari mana datangnya kesusahan hati?" In Loei terpaksa bersenyum. "Kau juga pernah bertingkah laku demikian!" katanya. "Nyatalah makin lama kita jadi makin mirip satu pada lain!" kata si anak muda. Mukanya In Loei jadi bersemu dadu. "Bisa jadi!" kata dia. "Sudahlah, aku tidak hendak tertawa lagi kepadamu! Mari kita lekas pergi menemui kepala suku!" Tan Hong tertawa, ia larikan kudanya. Belum sepasang pemuda pemudi ini tiba di rumah kepala suku, kepala suku itu telah lebih dahulu terima warta perihal mereka. Inilah disebabkan mereka asing dan kuda merekapun luar biasa, hingga dengan sendirinya mereka menarik perhatian penduduk di situ. Demikian setibanya mereka, sebelum mereka minta pengawal pintu mewartakan kedatangan mereka, tuan rumah, ialah kepala suku, sudah memberi titah untuk pimpin mereka masuk, untuk mengadakan pertemuan. Dengan demikian, mereka jadi tidak usah menunggu lama. Pintu depan dari kepala suku itu telah dipajang, rupanya ia sedang melayani tetamu agung. Setelah serahkan kuda mereka, yang mereka minta tolong dijagai, Tan Hong dan In Loei bertindak ke dalam mengikuti pengantarnya, ialah satu nana, bujangnya tuan rumah. Mereka dibawa ke dalam sebuah kamar di mana terdapat dua perapian untuk menghangati kamar itu, di atas itu mereka dipersilakan duduk. Adalah kebiasaan penduduk Utara, saban musim dingin, mereka nyalakan api di kolong kang, semacam dipan atau pembaringan tanah, umpan apinya tak tentu, ada dari kayu, arang, atau kotoran kuda yang sudah dikeringkan. "Sekarang ini ketua kami sedang menyambut tetamu di ruang depan," berkata nana kemudian. "Kamu diminta sukalah duduk menanti dahulu di sini, dia akan menyuruh tjuitjung melayani kamu. Segala apa kamu boleh sampaikan kepada tjuitjung itu." "Tjuitjung" adalah semacam hoatsoe atau pendeta, yang di kalangan suku Ngolo ini berkedudukan hanya di bawahan "yutjang," kepala suku. Maka itu, penyambutan ini adalah penyambutan yang terhormat. Tapi In Loei kecele akan dengar tuan rumah tidak dapat segera menemui mereka. Keras sekali keinginannya untuk cepat-cepat dapat menemui ibunya. Sementara itu ia dengar suara kuda, ialah suara kudanya sendiri dan kuda Tan Hong, ia jadi seperti ngelamun. "Apakah kedua kuda itu bukan tengah dipelihara ibuku? Ah!... Aku ada di dalam kamar hangat dari kepala suku, menjadi tetamu yang dihormati, tetapi ibu tengah menderita, ia justeru mesti rawati kuda-kudaku dan Tan Hong..." Ia jadi sangat masgul, hingga ia duduk diam saja. Tan Hong sebaliknya mengajak si hana bercakap-cakap. "Tetamu macam apa itu yang tengah ketuamu layani?" dia tanya. "Katanya utusan Yasian," sahut si nana. "Bukankah utusan itu sudah datang lama?" "Ya, sudah sejak tujuh hari yang lalu." "Kenapa baharu sekarang di jamu?" Hana itu tidak menjawab, agaknya ia bersangsi. Tan Hong bersenyum, ia rogo keluar sepotong emas. "Kau kerja cape di sini, ambillah emas ini untuk kau beli arak," ia kata. Sudah lama hana itu bekerja pada ketuanya, kalau ia dikasih presen, cuma satu atau dua potong perak kecil, hampir belum pernah ia lihat emas potongan, sekarang ia diberi hadiah ini, air mukanya lantas menjadi terang. Ia terima uang itu sambil berulang-ulang menghaturkan terima kasih, kemudian, tanpa ditanya lagi tetamunya, ia beritahu: "Kabarnya hari ini ketua kami dan utusan Yasian itu hendak memastikan persekutuan, sekarang dibikin pesta, mungkin persekutuan hendak disyahkan dalam sebuah upacara." Tan Hong terkejut. "Ah, syukur aku keburu datang!" katanya dalam hatinya. Justeru waktu itu tjuitjung, wakilnya tuan rumah, belum muncul, anak muda kita ini segera berbangkit. "Ha, sungguh kebetulan!" katanya, tingkah lakunya wajar "Kamipun adalah pesuruhnya Thaysoe Yasian, syukur kami dapat susul utusan itu. Thaysoe kami lihat rombongan utusannya lama belum kembali, dia titahkan kami menyusul untuk menanyakan hasilnya." Ia rogo lagi sakunya, untuk keluarkan dua potong emas. "Tolong kau serahkan ini kepada tjuitjung, sebagai tanda hormat kami. Kau katakan padanya, tidak usah lagi dia layani kami, besok kami sendiri akan mengunjungi padanya." Hana itu berpikir melihat orang ada demikian royal. "Mungkin benar mereka ini pesuruhnya Yasian," demikian katanya di dalam hati kecilnya. "Kalau tidak, mana bisa mereka begini pemurah hati?" Maka ia lantas berkata: "Kalau begitu akan aku kabarkan ketuaku, untuk minta dia kirim wakilnya untuk ajak kamu masuk ke dalam." "Ah, tidak usah, membikin berabeh saja," Tan Hong mencegah. "Kami dapat masuk sendiri. Kau baik berdiam di sini untuk tunggui tjuitjung." Lantas pemuda kita tanya di mana letaknya ruang depan tempat pesta itu, ia minta ditunjukkan jalannya, setelah itu bersama In Loei, yang ia beri tanda, ia keluar dari kamar itu, untuk pergi ke ruang depan. Hana itu tidak berani mencegah, ia terpengaruh oleh emas presenannya... Tan Hong bertindak dengan cepat, In Loei mengikuti. Tidak ada orangnya tuan rumah yang mencegah, karena orang tidak tahu hal mereka yang disangkanya datang atas undangan sang majikan. Sebentar kemudian mereka telah sampai di ruang depan di mana lilin dipasang terang-terang. Tuan rumah tengah melayani dua tetamunya minum. Begitu tidak diduga munculnya dua orang itu, ruang lantas menjadi sunyi, semua orang tercengang. Kemudian adalah kedua tetamu, ialah utusannya Yasian, yang berbangkit paling dulu, untuk memberi hormat kepada dua orang ini, yang mereka sangka tetamu-tetamunya tuan rumah. Tan Hong dan In Loei memang dandan dengan rapi dan pakaian mereka bukan pakaian sembarang. Tan Hong bersenyum, ia bertindak menghampiri tuan rumah. Ia menyerahkan sepucuk surat. Ia tidak tunggu sampai tuan rumah menanyakan apa-apa, ia terus keluarkan juga pekgiok sanhoe serta singa-singaan kumala, yang ia letakkan di atas meja. Semua barang itu adalah barang permata dari istana, sinarnya lantas mencorong di antara cahaya lilin, hingga perhatian semua hadirin sangat tertarik kepada benda itu. Tuan rumah pun mengawasi dengan diam saja. "Barang-barang tidak berharga ini," berkata Tan Hong sambil bersenyum, "majikanku mohon supaya, biar bagaimana, yutjang sukalah menerimanya." "Tak berani aku terima hadiah demikian besar dari Thaysoe," berkata si tuan rumah dengan jawabannya. Ia sudah lantas menduga Yasian. Akan tetapi, setelah ia lihat surat di tangannya, ia terperanjat. Di situ ada tertulis namanya Tiewan Atzu. Ia lantas menjadi bingung. Tan Hong lihat kesangsian orang, ia mendesak. "Majikanku minta ongya membubuhi persekutuan untuk sama-sama menyerang Yasian" demikian ia kata pula, dengan nyaring. Mendengar ini, kagetlah utusannya Yasian itu, mereka menjadi gusar, dengan berbareng keduanya lompat bangun. "Kau siapa?" mereka membentak. "Kita adalah rekan!" sahut Tan Hong sambil tertawa. "Kamu adalah utusannya Yasian dan aku utusannya Atzu." "Kau berani rusakkan perserikatan kami?" bentak utusan yang satu dengan sangat mendongkol. Terus ia memandang kepada tuan rumah sambil terus berkata: "Kami mohon ongya perintah membekuk dua orang ini, untuk mereka diserahkan kepada Thaysoe." Tentu saja kepala suku itu menjadi bersangsi, hingga masih ia berdiam saja. "Aku minta ongya bertindak dengan sudah dipikir terlebih dahulu masak-masak," berkata pula Tan Hong. Di pihak utusannya Yasian itu berlaku bengis, Tan Hong sebaliknya berlaku manis sambil tertawa-tawa. "Yasian itu mempunyai sifat harimau atau srigala, maka bila terjadi dia sudah telan Atzu, tak mungkinlah ongya dapat hidup seorang diri!" "Hai, jahanam, kau sangat besar nyalimu!" bentak pula si utusannya Yasian itu. "Nyatalah kau sedang memecah, kau menghina Thaysoe1. Ongya, aku minta lekas kau keluarkan titah menawan mereka ini!" Yutjang itu menjadi tidak senang menghadapi kelakuan garang dan kasar dari dua utusannya Yasian itu. "Aku tahu bagaimana harus bertindak, tidak usah tuan-tuan capekan hati!" ia menyahut dengan dingin. Tan Hong tidak pedulikan kegarangan kedua utusan itu, terus ia bawa sikapnya yang sabar. Ia bersenyum pula ketika ia pandang tuan rumah dan berkata lebih jauh: "Kini memang Yasian kuat dan Atzu lemah, maka itu untuk bantu si kuat untuk menindih si lemah adalah pekerjaan sangat gampang, akan tetapi apakah pernah ongya memikirnya: Yang keras itu sukar melawan yang keras, yang lemah itu gampang untuk menyesuaikan diri?" Hatinya yutjang itu tergerak. Kata-katanya Tan Hong ini adalah soal yang membuatnya ia ragu-ragu selama tujuh hari, hingga selama itu belum juga ia ambil keputusannya akan menandatangani surat perjanjian persekutuan. Sekarang setelah mendengar perkataannya utusannya Atzu itu, ia insyaf dengan mendadakan, ia merasa seperti ditusuk-tusuk jarum, peluh dinginnya mengucur. "Benarlah akan kata-katanya dia ini," dia berpikir. "Yasian memang lebih kuat berlipat kali dari aku, jikalau tercapai cita-citanya, asal satu hari saja ia membalik muka, celakalah aku. Mana bisa aku lawan dia? Kekuatannya Atzu berimbang dengan kekuatanku, kalau ia bergabung dengan pelbagai yutjang, untuk menghadapi Yasian, ia mesti berhasil. Setelah itu, bisalah kita semua hidup damai, dengan masing-masing mengurus tanah daerahnya sendiri..." Kedua utusan Yasian menjadi tegang hatinya, mereka menjadi bingung. Mereka lihat kedua matanya tuan rumah bersinar, memain pergi datang. Mereka tahu tuan rumah tengah bersangsi. Inilah berbahaya bagi tugas mereka. Mereka bingung, mereka pun mendongkol. Kalau mereka gagal? Karena itu, mereka lantas saja ambil keputusan. Mereka adalah perwira-perwira sebawahan Yasian, mereka kosen, maka itu, mereka lantas memikir untuk menggunakan kekerasan. Demikian, tak bersangsi lebih lama pula, mereka menghunus golok, mereka terus terjang Tan Hong. Anak muda kita cerdik, ia tabah hatinya. Ia tidak tangkis serangan itu, ia hanya berkelit dan lompat ke belakangnya tuan rumah. Ia tidak diam saja, sebelumnya berkelit, ia telah ejek kedua utusan itu, hingga mereka itu bertambah mendeluh. Kedua utusan itu menyerang dengan sengit, hampir saja mereka kena bacok tuan rumah. Karena ini yutjang itu menjadi gusar. "Ringkus dua orang jahat ini!" ia berikan titahnya. "Siapa berani tangkap kami?" berseru dua utusannya Yasian itu, yang jadi semakin gusar. Oleh karena mereka tidak mau menyerah, mereka jadi bertempur dengan orang-orangnya tuan rumah. Sesudah bertempur sekian lama, baharu hati mereka menjadi ciut. Nyata mereka tidak bisa rebut kemenangan. Karena ini mereka jadi memikir untuk menoblos keluar. Tapi sekarang sudah terlambat. Baharu mereka memikir begitu, mendadak mereka rasakan kakinya kaku, hingga di luar kehendaknya, mereka terlutut di depannya Tan Hong. Itu waktu mereka justeru sedang merangsak sampai di depan anak muda kita. "Hai, tadinya galak lalu belakangan menjadi demikian hormat?" berkata Tan Hong sambil tertawa. Orang-orangnya yutjang mendupak dua utusan itu, setelah mereka rubuh terguling, mereka lantas diringkus. Sampai waktu itu, mereka masih tidak ketahui bahwa mereka telah dipermainkan Tan Hong. "Kurung mereka!" yutjang berikan titahnya pula. Titah itu sudah ditaati dengan segera. "Baiklah, akan aku berserikat dengan Tiewan1." kemudian tuan rumah kata pada Tan Hong. Ia sebenarnya jeri terhadap Yasian, tetapi sampai sebegitu jauh, seperti orang yang menunggang harimau, ia tidak bisa memilih lain. Ia harus lindungkan dirinya. In Loei tertawa di dalam hatinya menyaksikan yutjang itu membubuhi surat perjanjian bersama Tan Hong. Sejak tadi, meski ia diam saja, ia sudah bertambah mengagumi anak muda itu, teman seperjalanannya. "Tan Hong sangat pintar dan aneh juga!" ia berpikir. "Dia palsukan diri sebagai utusan Pangeran Atzu dan dia berhasil mengelabui yutjang ini." Sebenarnya Tan Hong memang telah mengatur rencana. Di dalam suratnya untuk Pangeran Atzu, yang ia telah minta Hek Pek Moko yang menyampaikannya, ia telah menjelaskan rencananya itu. Dengan singkat ia minta Atzu terima baik perserikatan yang dia atur dengan yutjang itu. Karena ini, meskipun secara luar biasa, ia sebenarnya adalah utusannya Atzu Tiewan itu. Setelah membubuhi tanda tangan, sekarang yutjang teruskan perjamuan dengan tetap ia sendiri yang melayani kedua utusan yang baru ini. Walaupun sepak terjangnya Tan Hong telah memberikan hasil yang memuaskan, yang mestinya menyenangkan hati mereka, namun In Loei tidak sedemikian anteronya. Ia tetap memikiri ibunya, malah sekarang makin keras, hingga sukar arak turun dikerongkongannya. Demikian, sesudah mencoba menyabarkan diri sekian lama, akhirnya ia tidak dapat menguasai dirinya lebih jauh. "Ongya, aku mohon tanya," begitu katanya, "adakah atau tidak di sini seorang wanita yang bekerja sebagai pengurus kuda?" Ia pun lukiskan roman dan potongan tubuh ibunya sebegitu jauh yang ia masih ingat. Heran tuan rumah yang tetamunya menanyakan hal demikian, hingga ia mesti berpikir sekian lama. "Rasanya benar ada wanita itu," sahutnya kemudian, "tetapi aku sudah tidak ingat betul. Baiklah aku nanti tanyakan dahulu kepada hana yang urus istal." Lantas ia titahkan orangnya. Tidak selang lama, muncul hana yang dimaksudkan itu. Yutjang tanya hambanya itu, lalu In Loei menegaskannya. Hana itu tidak lantas menyahuti, iapun berpikir dahulu. "Benar, memang ada wanita itu," sahutnya akhirnya, perlahan. Tiba-tiba saja, In Loei menjadi sangat girang. "Tolong minta nyonya tua itu datang kemari!" katanya, lekas. "Kami ingin sangat bertemu dengannya!" Hampir nona ini beritahukan bahwa si nyonya tua adalah ibunya, syukur baharu ia berniat membuka mulutnya, segera ia dapat pikiran lain, maka ia menahan sabar. Hendak ia menanti sampai telah ada kepastian. Ia juga hendak cegah kalau-kalau tuan rumahnya menjadi tidak enak hati karenanya. Masih si hana berlaku ayal-ayalan, agaknya ia tengah berpikir keras. "Itulah tujuh tahun yang telah lampau ketika nyonya tua itu merawat kuda di sini," menerangkan dia kemudian. "Sekarang dia..." Hatinya In Loei seperti melompat. "Sekarang dia ada di mana?" tanyanya. Ia memotong tanpa merasa. Tegang sekali hatinya sehingga ia tak berkuasa lagi atas dirinya. Hana itu heran, hingga ia mendelong mengawasi orang. "Dia sekarang sudah tidak bekerja di sini," sahutnya kemudian. "Pada tiga tahun yang lalu, dia telah berangkat dari sini, kabarnya dia kembali ke tempatnya yang dulu. Sukar penghidupannya dia itu, tapi kabarnya kini dia ada jauh lebih mendingan..." Sekarang dapat si hana bicara dengan lancar, tetapi sebaliknya, habis kesabarannya In Loei, yang sudah lantas berbangkit berdiri. "Baiklah," kata dia. "Sekarang kami berniat pergi menemui nyonya tua itu. Ongya, kami mohon diri!" Tuan rumah dan hambanya menjadi heran sekali, tetapi adat sopan santun melarang mereka banyak tanya. "Perlukah aku kirim orang untuk mengantarkannya?" yutjang tanya. "Aku sudah ketahui. Terima kasih!" sahut In Loei. Ia terus memberi hormat untuk pamitan, perbuatan mana diturut Tan Hong, maka sejenak kemudian, keduanya sudah keluar dari gedung. Sesudah orang pergi baharulah si hana ingat bahwa romannya In Loei sama mirip dengan roman si nyonya tua tukang merawat kuda itu, tetapi tentang ini ia tidak bilang suatu apa. In Loei dan Tan Hong berangkat dengan menunggang kuda mereka. Si nona bungkam akan tetapi wajahnya menandakan hatinya tegang, pikirannya terbuka, penuh harapan, sehingga bahna tegangnya, ia jadi mengucurkan air mata, yang berulang-ulang ia mesti menepasnya. Tan Hong bisa duga ketegangan dan kegirangannya si nona yang luar biasa, ia tidak hendak menegur. Setelah larikan kuda mereka sekian lama, tiba-tiba In Loei merandek dan turun dari kudanya. "Selewatnya kali kecil ini, di depan sana, rumah dari tanah liat yang kuning itu adalah rumahku!" berkata si nona tanpa kawannya menanya. "Ah, itu pohon bwee di muka pintu masih seperti dulu! Pohon cemara di belakang pun masih kecil, di dalam semak-semak pohon cemara itu ibu suka menyanyi untukku!..." Lantas ia jalankan pula kudanya, sampai Tan Hong lompat turun dari kudanya juga. "Habis pahit, manis datang!" ia berkata, sambil tertawa. "Hari ini peebo melihat kau, betapa girangnya dia!" Dengan lantas pemuda ini memanggil peebo — bibi — kepada ibunya si nona. In Loei tidak bilang suatu apa, matanya tengah mengawasi ke pintu rumahnya. Ia lantas saja dihinggapi rupa-rupa kenangan semasa kecilnya, semasa ia tinggal di gubuknya itu. Ia berduka, tetapipun ia bergembira. Tanpa merasa, dengan perlahan, ia menyanyikan nyanyian si cilik tukang gembala kambing yang ibunya ajarkan padanya: Aku ikuti ibu pergi mengembala kambing — Anak kambing makan rumput, sangat girang dia. Bunga di tanjakan sedang mekar, harum baunya, Ibu Bernyanyi, nyaring suaranya, Dan hatiku, bukan main girangnya! Aduh! Di udara terbang berputar seekor garuda besar, Hendak dia menyambar anak kambing kami! Kasihan, Anak kambing berlari-lari berkelitan! "Hai, jangan takut, jantung hatiku!" Anak kambing itu berlindung di sisi ibunya. "Ya, kau berlindunglah disisi ibumu, "Di mana pun tak ada tempat seaman sisi ibu!" Garuda itu tak dapat sambar anak kambing, Tak dapat dia merampas jantung hatiku! Sambil bernyanyi In Loei bertindak ke arah pintu. Tan Hong awasi si nona, tanpa merasa, air matanya mengembeng. Terharu ia untuk saksikan kelakuannya kawan ini. Tiba-tiba terdengar satu suara nyaring, lalu sepasang daun pintu bobrok terpentang terbuka, dari mana muncul seorang wanita Mongolia yang kepalanya terbungkus ikat kepala, romannya kucel, sepasang matanya celong, dan bajunya walaupun bersih, telah banyak tambalannya. Air matanya In Loei bercucuran begitu lekas ia tampak nyonya itu, lantas saja ia berlari-lari, untuk akhirnya menubruk, merangkul. Nyonya tua itupun bermandikan air mata, ia tatap muka orang. "Sepuluh tahun telah aku nantikan kau!" serunya. "Benarkah kau, jantung hatiku?..." In Loei menangis sesegukan. "Benar, ibu, inilah aku..." In Loei menjawab. "Apa ibu tidak dapat lihat aku?" "Mari dekatan, kasih aku pandang kau!" berkata si nyonya, walaupun orang telah berada dihadapannya. "Benar-benar kau mustikaku, jantung hatiku!..." Kasihan ibunya In Loei ini. Dahulu hari, karena secara mendadak ia kehilangan suaminya serta anak perempuannya, saking berduka, ia menangis terus menerus sampai air matanya seperti mau kering, karenanya penglihatan matanya itu menjadi kabur, benar ia tidak menjadi buta akan tetapi di antara jarak tiga kaki lebih, tidak sanggup ia mengenali orang lagi, ia cuma seperti lihat segumpal bayangan hitam. Demikian sebabnya, walaupun gadisnya berada di depannya, ia tidak lantas dapat melihat tegas, ia melainkan dapat merasakan saja. Tan Hong telah saksikan itu, ia bersusah hati bukan main. "Begini hebat penderitaannya nyonya yang baik ini," katanya di dalam hatinya. "Ya, semua ini disebabkan kedosaan keluargaku..." Selama di tengah jalan, banyak yang anak muda ini pikir. Ia telah siapkan kata-kata yang akan diucapkan nanti dalam pembicaraan dengan ibunya In Loei, untuk menghibur nyonya tua itu, akan tetapi sekarang, menyaksikan kesengsaraan orang, ia menjadi bungkam, tidak sepatah kata juga yang dapat ia ucapkan. Maka ia cuma bertindak menghampiri seperti seorang yang tanpa perasaan. In Loei dan ibunya berpelukan, mereka sedang menangis amat sedihnya. Sang nyonya tidak tahu ada lain orang di situ, dan In Loei lupa kepada kawan seperjalanannya itu. Selang sekian lama, baharu terdengar suaranya si nyonya: "Ayahnya In Loei, kau dengar tidak?" demikian katanya. Hampir berbareng dengan itu, di muka pintu muncul seorang, melihat siapa, In Loei tercengang. Orang itu adalah seorang laki-laki, mukanya bercacat dengan bekas-bekas luka, tindakan kakinya dingkluk-dingkluk, pincang. Rambutnya yang tipis, sudah separuhnya berubah menjadi putih. Juga pakaiannya sudah tidak keruan macam, seperti pakaian si nyonya. In Loei hampir tidak dapat mengenali laki-laki itu jikalau ia tidak dengar ibunya mengatakan "ayahnya A Loei." Menampak keadaan ayahnya itu, jantungnya In Loei memukul keras! -ooo00dw00ooo- Bab XXVII Sebagaimana kita ketahui, ayahnya In Loei itu adalah In Teng. Dahulu hari In Teng telah antarkan In Tjeng, ayahnya, sampai di luar kota Ganboenkwan, di sebuah gunung. Di sana mereka kena dicandak barisan pengejar. Ia halau barisan itu. Ia telah berkelahi mati-matian, di mana ia terluka parah dan rubuh ke dalam lembah. Di waktu malam yang gelap gulita itu, Tiauw Im Hweeshio beramai telah dengar jeritannya yang hebat dan melihatnya dengan samar-samar rubuhnya tubuh In Teng itu tanpa mereka sanggup menolong. Mereka menyangka bahwa In Teng telah menemui ajalnya. Sekalipun In Loei dan kakaknya tidak akan menyangka bahwa ayah mereka masih ada di dalam dunia yang fana ini. In Teng tidak terbinasa. Cabang-cabang pepohonan telah menolong dia, yang telah menadahi tubuhnya yang jatuh itu, hingga ketika ia jatuh terus juga ke tanah di dalam lembah, cuma sebelah kakinya yang patah, melainkan mukanya yang mendapat luka-luka baret oleh batu-batu lancip. Keadaannya In Teng sangat hebat, mungkin melebihi orang yang telah mati. Di dalam lembah itu, tidak ada orang yang dapat menolongi ia. Syukur di situ ada lain-lain kurban, yang terjatuh ke dalam lembah sebagai ia, yang jiwanya melayang, maka ia ambil rangsum bekalan mereka, untuk dipakai tangsel perutnya yang lapar. Untuk minum, ia minum air salju. Untuk beberapa hari ia mesti berdiam di dalam lembah itu, sampai ia merasakan tubuhnya sedikit kuat, baharu ia mencoba merayap naik, untuk tiba di luar lembah. Setelah itu, ia hidup sebagai pengemis di luar kota Ganboenkwan, sampai kemudian ia dengar tentang nasib ayahnya. Bukan main sakit hati dan kedukaannya, ditambah dengan cacatnya itu serta penghidupannya yang sengsara, hatinya menjadi tawar. Ia merasa di dalam jagat yang luas ini tidak lagi ada tempat di mana ia bisa menaruh kaki. In Teng tidak meninggal dunia, tetapi dengan muka rusak dan kaki pincang, ia menjadi tidak berdaya, tak bisa lagi ia bersilat, hingga ia mirip dengan seorang biasa yang tapa dakpa. Ia juga tidak bisa lintasi Ganboenkwan, untuk pulang ke Tionggoan. Dengan kebinasaan ayahnya, yang dipandang sebagai "penghianat", iapun mungkin dicari pemerintah, untuk ditawan. Maka itu, terus ia terlunta-lunta di luar kota Ganboenkwan itu. Apabila ia tidak masih ingat kedua anaknya, mungkin ia sudah habiskan jiwanya sendiri di semak belukar di luar kota. Sehingga lebih dari satu tahun, baharu ia ingat lebih baik ia kembali ke Watzu. Ia lantas ambil ketetapan, lantas ia melakukan perjalanan kembali yang jauh itu. Di tempat di mana ada orang sudi kasi ia kerjaan, ia bekerja sebisa-bisanya, kalau tidak, terpaksa ia mengemis pula. Bukan main ia menderita sampai akhir-akhirnya tiba juga ia di Mongolia Utara, di gunung Tangkula, di selat selatannya, di mana ia berhasil mencari rombongan suku bangsa dari isterinya. Sementara itu ibunya In Loei sudah bekerja sebagai perawat kuda di rumahnya kepala sukunya. Dengan susah payah In Teng dapat tahu alamat isterinya itu, ia mencarinya. Dengan sudah payah juga ia mohon pertolongan orang, untuk mengabarkan pada isterinya, setelah mana, isterinya itu letakkan kerjaannya, untuk menyusul dan menemui suaminya itu. Hebat pertemuan mereka itu, suami isteri yang sama bersengsara itu. Mereka pulang ke rumah asal mereka, untuk tinggal bersama. Si suami pincang, si isteri buta melek, hingga isteri ini tak dapat lagi mengembala binatang. Syukur In Teng masih mempunyai tenaga, untuk hidupnya, ia mencoba berkuli, sedang isterinya berkuli menjahit yang kasar-kasar. Secara demikian mereka dapat hidup juga. Mula-mula mereka masih mengharapkan mereka akan bertemu pula kedua anak mereka, akan tetapi setelah tahun-tahun telah berlalu dengan tidak ada kabar beritanya, habis juga pengharapan mereka, hingga akhirnya mereka percaya, mereka menunggui ajal mereka di gubuknya itu tanpa anak-anak mereka mengetahuinya, sedang In Teng sendiri peserah nasib meninggal di negara asing... Tapi tak disangka-sangka, akhirnya datang juga hari ini yang mereka dapat bertemu anak dara mereka... In Loei awasi ayahnya itu. Mimpipun ia tidak menyangka akan bertemu ayahnya pula. Belum lagi berusia lima puluh tahun, sang ayah sudah ubanan. Iapun tidak akan menerka bahwa ayahnya demikian rusak mukanya, pincang kakinya. Semua itu membutikan kesengsaraannya ayah ini. Maka akhirnya, setelah menjerit, ia lari kepada ayahnya, untuk menubruk seperti tadi ia tubruk ibunya. Air matanya membasahi pakaian ayahnya, begitupun air mata ayah itu membasahi bajunya sendiri. Lama mereka berdiam, tak tahu harus bersedih atau bergirang. Kembali Tan Hong saksikan pemandangan yang membuatnya hatinya seperti beku. Sungguh hebat penderitaannya suami isteri itu. Ia kembali diam berdiri terpaku, tidak dapat ia hiburkan ayah dan gadisnya itu. Lama ayah dan anak itu saling rangkul, baharu perlahan-lahan mereka berhenti menangis. Waktu itulah, In Teng sadar bahwa di antara mereka ada satu anak muda, yang asing baginya. Ia hanya tahu bahwa orang datang bersama gadisnya itu. Lantas In Teng awasi anak muda itu, yang tampaknya tampan dan gagah romannya, pula lemah lembut agaknya, hanya ia dapatkan, kedua mata pemuda itu seperti tidak ada sinarnya. Ia tidak duga bahwa orang tengah berduka untuk mereka bertiga. "A Loei, siapa orang itu?" akhirnya ayah ini tanya anaknya. Tan Hong sendiri terus berdiam, menjublak saja. In Loei terperanjat atas pertanyaan itu, ia bagaikan sadar mendadak dari mimpinya. Suara ayah itu sebenarnya perlahan tetapi ia mendengarnya bagaikan suara guntur. Telah lama ia pikirkan kata-kata untuk diucapkan kepada ibunya, untuk berikan keterangan dengan sabar kepada ibu itu, tetapi sekarang, di luar sangkaannya, ia bertemu ayahnya, maka, seperti Tan Hong tadi, ia pun menjadi lupa segala apa. Sang ibu, mendengar pertanyaannya suaminya itu, mengawasi ke arah Tan Hong. Ia lamur, ia kerahkan tenaga matanya, akan tetapi apa yang ia tampak adalah suatu bayangan orang yang putih saja. "A Loei, apakah anak itu datang bersama kau?" ibu ini tanya, matanya masih mengembeng air tetapi mulutnya bersenyum. "Beritahukan ibumu, anak, siapakah dia?" Perlahan dan halus suaranya ibu ini, menandakan ia berbudi pekerti halus, bahwa ia menyambut dengan baik kawannya gadisnya. Akan tetapi kata-kata yang lemah lembut ini sebaliknya bagaikan tusukan jarum di hatinya anak dara itu. Tiba-tiba In Loei lepas diri dari pelukan ibunya, dengan kedua tangannya ia tutupi mukanya. "Dia, dia... seorang she Thio..." ia menjawab, hatinya karam. "Apa? Dia she Thio?" tanya In Teng tanpa merasa, suaranya keras-kaget. Selama sepuluh tahun, ia sangat membenci Thio Tjong Tjioe, maka ketika mendengar orang ada she Thio, tak sanggup ia mengendalikan hatinya. In Loei menjerit, ia lompat untuk menubruk pula ayahnya itu. Sang ayah tengah berdiri tegak bagaikan satu boneka batu, wajahnya muram, melihat tubrukan gadisnya, ia mundur. Tidak mau ia menyentuh tangan gadisnya itu! Thio Tan Hong saksikan itu semua, tak dapat ia menahan pula denyutan hatinya. "Tidak salah, aku she Thio!" ia bilang. "Aku ada anaknya Thio Tjong Tjioe! Loopee, aku datang untuk menghaturkan maaf kepadamu!" Dengan mendadak wajahnya In Teng menjadi merah padam, mukanya yang bercacat itu menjadi bengis nampaknya, ia tidak mengatakan sesatu, hanya giginya berkerot-kerot. Sekonyong-konyong ia tolak tubuh In Loei yang berada dihadapannya, agaknya ia hendak terjang si anak muda! Anak itu terperanjat, ia tahan tangan ayahnya itu. In Teng terkejut, tubuhnya tak dapat maju, tangannya dirasakan sakit. Nyata si nona menahan ia dengan memakai tenaga. Berbareng kagetnya, ia insyaf, anak muda di depannya itu adalah musuh yang ia paling benci berbareng pun orang yang sangat dikasihi puterinya! In Loei terkejut. Ia mengarti bahwa ia telah gunakan tenaga terlalu besar. Dengan lekas ia lepaskan cekalannya, ia mengganti dengan memegangi tangan baju ayahnya itu. Dengan tiba-tiba In Teng tarik tangannya, karena mana, bajunya yang dipegangi puterinya itu telah robek dan putus! In Loei melongo, justeru ayahnya awasi ia dengan bengis. Lalu ayah itu buka baju luarnya yang terus dirobeknya, lalu baju itu dilemparkan kepada gadisnya. "Foei" ayah ini perdengarkan suaranya, akan terus dengan dingin mengatakan: "Kau pergilah! Rumahku ini, rumah bobrok, tak berani aku pakai untuk menerima kamu bangsa siauwya dan siotjia." In Loei rasakan tubuhnya menggigil, ia kaget dan bingung. Sejenak itu, di otaknya, di hatinya, telah terbit pertempuran hebat, antara cinta dan kebencian, antara budi kebaikan dan permusuhan! Ia malu sendirinya, ia likat, tapi hatinya sakit, berduka sangat. Ia berdiri diam, ia pandang ayahnya, lalu ia mengawasi Tan Hong, kosonglah hatinya, ia bagaikan kehilangan kesadarannya. Tan Hong pun berdiri diam, mukanya pucat. Ia bengong mengawasi nona itu. Perlahan-lahan si nona gerakkan kedua tangannya, lantas mendadak ia sambar baju luarnya yang berwarna merah tua, dengan keras ia menariknya hingga baju itu robek, setelah terbuka dan lolos dari tubuhnya, ia lemparkan itu ke tanah. Tan Hong ingat betul, itulah baju merah tua yang In Loei pakai sebegitu lekas penyamarannya diketahui, dan dia mengakuinya bahwa dialah seorang wanita. Itulah baju yang ditukar pada malam pertama di dalam kuburan tua di waktu mana ia puji kecantikan si nona. Maka baju itu, untuk mereka berdua meninggalkan kesan yang mendalam, yang membawa kenang-kenangan yang manis. Akan tetapi sekarang baju itu dirobek oleh In Loei sendiri! Tentu saja baju itu bagaikan dibawa terbang sang angin, yang takkan balik kembali... "Adik Loei!" memanggil Tan Hong, suaranya perlahan. Ia merasakan seperti telah dapat pukulan hebat. In Loei berpaling pun tidak, tangan kanannya dipakai mencekal tangan ayahnya, tangan kirinya menyambar tangan ibunya, ia tarik kedua orang tuanya itu untuk diajak masuk ke dalam, menyusul mana, "Brak!" pintu telah digabrukkan! Tan Hong menjadi putus harapan, karena tidak pernah In Loei menoleh ke belakang, hingga mereka tak dapat saling pandang. In Loei bertindak ke dalam seperti juga tenaganya telah lenyap habis. Soalnya hanya soal beberapa tindak saja, tetapi ia merasakannya bagaikan melakukan perjalanan yang sukar sekali, bagaikan ia melintasi laksaan sungai dan ribuan gunung, hampir saja ia tak kuat angkat kakinya. Tidaklah heran, setibanya di dalam, terus saja ia rubuh di lantai tanah berbareng dengan mana di luar terdengar ringkiknya kuda, ringkik dari kesedihan... Itulah suara kudanya In Loei. Kuda itu pun seperti sedang merasakan sangat berat untuk berpisahan dari "sahabatnya" semenjak mereka ada bersama dari Tionggoan hingga di Mongolia, selama perjalanan mereka "selaksa" lie... Dari kejauhan, menyambut suara kudanya In Loei ini, terdengar ringkik yang sedih juga dari kudanya Tan Hong. "Kuda meringkik, angin menderu," begitu satu pepatah. Demikian sang angin membawa datang suara kuda si mahasiswa. Demikian rupa adanya persahabatan di antara binatang, apapula di antara manusia... In Loei rubuh pingsan di sebelah dalam pintu, akan tetapi kupingnya masih dengar samar-samar keluhan ibunya: "Ah, anak yang harus dikasihani..." Tetapi masih ada lain orang yang harus terlebih dikasihani lagi. Ialah Tan Hong. In Loei masih ada ayah dan ibunya, yang dapat menghiburkannya, tidak demikian dengan si anak muda, yang bagaikan sebatang kara, sebatang kara di kampung orang. Tidak ada seorang jua kepada siapa ia harus tumpahkan kedukaannya, tidak ada seorangpun jua dengan siapa ia dapat bicara. Maka ia bagaikan seorang yang tak sadar dirinya, ia jalan seorang diri, entah ke mana tujuannya... Tan Hong dibawa oleh kudanya sendiri. Ia menunggang kuda tetapi ia tidak berkuasa atas kendali. Ia tampak puncak tinggi dari gunung Tangkula, yang menyundul tinggi hingga ke mega. Samar-samar ia ingat hal gurunya telah berjanji untuk membuat suatu pertemuan di puncak utara dari gunung itu, seperti juga guru itu hendak menemui satu iblis. Ia cerdas, kuat ingatannya, akan tetapi kali ini, ia terpukul hebat sekali, kecuali urusan dengan In Loei, lainnya hampir lupa akan segalanya. Tak ingat ia, siapa si iblis dan kenapa gurunya hendak menemui iblis itu. Maka syukur baginya, ia ada punya satu guru, dan ia masih dapat mengingatnya. Tetap dalam keadaan sadar tak sadar itu, Tan Hong terus melakukan perjalanannya, ia cuma singgah kapan ia rasakan perutnya lapar atau tibanya sang malam. Ia tetap ikuti gunung Tangkula. Dua hari sudah perjalanan, tibalah ia di kaki gunung. Lantas ia lompat turun dari kudanya, dengan biarkan kuda itu pergi cari makan sendiri, ia bertindak mendaki gunung itu. Sunyi gunung itu, bisa di mengerti jikalau Tan Hong tidak ketemu siapa juga. Ia jalan dan mendaki terus. Ketika ia ingat In Loei, ia lalu dapat membayangkan halnya ia berjalan bersama si nona, berjalan sambil merendengkan kuda mereka, melakukan perjalanan di musim semi selagi bunga-bunga mekar. Atau mereka tengah melalui wilayah Kanglam yang indah... Tan Hong pernah berdiam di gurun utara, pernah ia menjelajah Kanglam, sekarang, ia seperti tak dapat membedakan kedua wilayah itu, ia seperti merasakan keindahan Kanglam saja, permai dan sedap... Beberapa kali ia seperti merasa In Loei benar-benar ada di dampingnya, hingga karenanya, ia suka memanggil "saudara kecil, saudara kecil..." Tapi kali ini, adalah sang kumandang dari lembah-lembah yang menyahuti padanya: "Saudara kecil, saudara kecil!..." Di hari pertama, Tan Hong masih ingat bahwa ia mendaki gunung Tangkula untuk cari gurunya, tetapi di hari kedua, ia mulai lupa, hingga tak tahu ia kenapa ia berada seorang diri di atas gunung itu. Setiap ia tampak pohon kering, pohon bunga atau batu besar, ia merasa seperti In Loei berbayang di depan matanya. Kapan ia dengar ricikannya air selokan ia seperti dengar suaranya si nona yang memanggil-manggil padanya. Atau sekonyong-konyong saja, suara panggilan si nona itu berubah menjadi suara daun pintu digabrukkan: "Brak!" Itulah suara yang tak dapat ia lupakan, suara itu bagaikan terus mengikuti padanya, menguber-uber padanya... hingga ia jadi tidak berani turun gunung, ia berlari-lari naik seperti juga, dengan berlari-lari itu, ia akan dapat menyingkir dari suara itu... Di hari kedua, di waktu magrib, sampailah Tan Hong di puncak gunung. Benar selagi ia hentikan tindakannya, tiba-tiba ia merasakan perutnya lapar dan haus. Ia pun lantas ingat yang bekalan rangsumnya telah habis di dahar pada kemarin sore, hingga karenanya, hari ini ia sudah tidak punya apa-apa. Sang lapar itu membuatnya ia sedikit sadar, ia dapat berpikir bahwa ia mesti cari sesuatu untuk tangsel perutnya itu... Di waktu ia celingukan, tengah ia memandang ke depan, ia tampak sebuah rumah batu dari dalam mana ada asap mengepul keluar... Tan Hong tidak ketahui bahwa rumah batu itu adalah rumah dari musuh besar kakek gurunya, ialah rumahnya Siangkoan Thian Ya. Apa yang ia ketahui adalah ia hendak mencari barang makanan. Maka juga, ia lantas lari menghampirkan pintu, terus saja ia menolaknya. Pintu itu adalah pintu batu yang tertutup kuat, maka daun pintu itu tak dapat lantas tertolak terbuka. Tengah ia menolak, pintu yang ia awasi itu ia tampak seperti juga pintu rumahnya In Loei... "Eh, aku hendak masuk!" ia kata. Ia merasa seperti In Loei berada di dalam rumah itu. Entah dari mana datangnya tenaga besarnya, mungkin ia telah kerahkan tenaga dari Taylek Kimkong Tjioe, ketika ia menggempur, baharu dua kali saja, daun pintu telah lantas menjeblak terbuka! "Hai, siapa itu yang bernyali besar sekali, yang berani merusak pintuku?" demikian satu suara nyaring terdengar menegur dari dalam. Hanya teguran itu diberikuti ketawa yang aneh terdengarnya. Suara itu seperti juga senjata tajam menusuk kuping sehingga Tan Hong menjadi terkesiap hatinya. Beda sangat jauh suara tertawa itu daripada suara tertawanya In Loei. "Di sini tidak ada In Loei, ah, untuk apa aku datang kemari?" kata anak muda ini seorang diri. Pada saat ini, tiba-tiba pikirannya berubah pula, hingga lupa ia pada rasa laparnya. Sekonyong-konyong Tan Hong lihat melesatnya beberapa tubuh bagaikan bayangan ke arahnya. Ia tidak sadar akan dirinya, akan tetapi dengan sewajarnya, ia ingat akan kepandaiannya ilmu silat, dengan cepat ia menggunakan kedua tangannya, untuk membuat perlawanan, ia menotok. Itu waktu ruangan ada gelap, Tan Hong tidak melihat tegas namun ia tahu, totokannya telah memberi hasil, ada benda-benda berat seperti tubuh manusia sang rubuh dan menerbitkan suara keras, tapi berbareng dengan itu, dari dalam kamar — sebuah kamar rahasia — ada lagi bayangan yang melesat keluar, belum Tan Hong ketahui apa-apa ia rasakan dunia seperti terputar, tubuhnya terus rubuh terguling, dan seterusnya, ia tidak ingat suatu apa lagi. Yang rubuh itu adalah empat pelayannya Siangkoan Thian Ya, selagi mereka serang Tan Hong, Siangkoan Thian Ya sendiri sedang ada di dalam kamar rahasianya itu, dari mana ia sudah lantas keluar. Siangkoan Thian Ya tersohor sebagai "iblis kepala". Inilah disebabkan liehaynya ilmu silatnya. Sudah beberapa puluh tahun ia sekap diri di atas puncak ini, selama itu belum pernah ada orang yang berani datangi padanya, atau melintas saja di dekat rumahnya. Hari ini, bukan saja ia telah disatroni, malah pintunyapun digempur rusak oleh Tan Hong, tentu saja ia menjadi heran. Untuk sejenak ia menyangka kepada Hian Kee Itsoe, atau di lain saat ia sadar, bahwa Hian Kee Itsoe takkan sudi bertindak demikian rupa, suatu tindakan hina. Karena ini, berbareng heran ia menerjang keluar sambil menggunai ilmu silat "Ittjie sian" atau "Sebuah jari sakti". Tan Hong dalam keadaannya yang tak sadar itu, tidak heran ia tidak sanggup menangkis atau berkelit, hingga ia rubuh tanpa berdaya. Adalah setelah itu, lekas-lekas Thian Ya cari api, untuk menyuluhi dan mengenali penyerbunya itu. Untuk herannya iblis kepala ini, ia lihat penyerbu itu adalah satu anak muda yang tampan, mukanya perok dan pucat, umurnya mungkin belum dua puluh tahun. Ia lantas mengawasi dengan tajam, hingga ia tahu apa yang ia harus lakukan. Di samping sebagai ahli silat, iapun mengerti ilmu obat-obatan. Tetapi setelah ia periksa nadinya orang itu, ia telah dibikin menjadi heran pula, walaupun ia seorang yang ahli! Ilmu totok Ittjie sian dari Siangkoan Thian Ya telah mencapai puncaknya kesempurnaan, lagipun sasarannya sekarang ini adalah jalan darah djoanmoa hiat dari Tan Hong, sudah seharusnya, menurut teorinya, darahnya Tan Hong mesti berhenti berjalan, atau sedikitnya, mengalirnya darah mesti kendor sekali. Akan tetapi kenyataannya, jalan darah Tan Hong mengalir seperti biasa, hanya tenaga mengalirnya sedikit lemah. Karena ini, ia lantas ambil lain pandangan. Ia tahu bahwa orang ini rubuh bukan karena totokannya, hanya disebabkan saking laparnya. "Jika orang ada satu ahli yang liehay, Hian Kee Itsoe umpamanya, dia memang dapat menggunai ilmunya menutup jalan darah untuk membela dirinya dari serangan Ittjie sian," demikian jago ini berpikir lebih jauh, "akan tetapi apabila untuk menutup jalan darahnya itu, jikalau dia kena ditotok, dia tidak akan menjadi pingsan, juga tidak akan meninggalkan bekas-bekasnya. Tidak demikian dengan orang ini. Dia telah tertotok, namun dia tidak mendapat luka, tiada bekasnya totokan juga, apakah yang menyebabkannya ini? Mustahilkah di dalam dunia ini ada suatu macam ilmu dalam lainnya yang aku belum mengetahuinya?" Siangkoan Thian Ya benar-benar tidak menduga yang di dalam dunia ini memang benar ada semacam ilmu tenaga dalam yang ia belum ketahui, ialah ilmunya Pheng Eng Giok, ilmu yang termuat di dalam kitab "Hiankong Yauwkoat". Kepandaiannya Siangkoan Thian Ya ada dari jalan yang aneh, meski benar ilmunya itu liehay sekali, tetapi dalam hal kelurusan, tak dapat ia menandingi ilmunya Pheng Hoosiang. Maka itu, walaupun dalam latihan ilmu dalam itu Tan Hong masih kalah, namun karena dasarnya yang lurus itu, meski dia kena ditotok, dia sanggup pertahankan diri, hingga karenanya, dia dapat dibikin pingsan tapi tidak dapat dilukai. "Anak ini masih berusia muda, iapun tengah kelaparan hebat," masih Siangkoan Thian Ya berpikir, "tetapi dengan gampang sekali ia dapat rubuhkan empat pelayanku, inilah luar biasa. Kepandaiannya itu mestinya berkat latihan dua atau tiga puluh tahun, maka itu apakah ini tidak aneh? Mustahilkah ia telah mempelajari ilmu silat sejak ia masih dalam kandungan ibunya?" Oleh karena ia heran dan memikir demikian, tiba-tiba iblis kepala ini menjadi bercekat hatinya, ia menjadi terkesiap sendirinya. Mendadak ia mau menduga: "Bukankah anak muda ini muridnya Hian Kee Itsoe, musuh besarku itu?" Ia baharu menerka demikian atau ia berpikir pula: "Umpama benar dia muridnya Hian Kee Itsoe, tetapi dia begini muda, tak mungkin dia telah mempunyai kepandaiannya ini? Juga, caranya menangkis dia bukannya menurut ilmu silatnya Hian Kee It Soe..." Pusing Siangkoan Thian Ya karena berpikir terlalu keras itu. Ia dijulukkan "Mo Tauw," si kepala iblis, atau iblis kepala, akan tetapi pada dasarnya, pada batinnya, ia menyayangi orang pintar, orang yang berkepandaian luar biasa. Demikian kali ini, terhadap Tan Hong, timbullah perasaan sayang dan kasihannya. Maka tidak ayal lagi, ia totok sadar anak muda itu. Tan Hong tidak lantas ingat segala apa dengan seterang-terangnya. Akibat totokan yang liehay itu, pikirannya masih butek, kedua matanya pun tidak segera dapat dipentang. Ia tak sadar, apa yang barusan ia telah lakukan. "Adik kecil, adik kecil!" ia lalu memanggil-manggil. Dalam sekali kesannya terhadap In Loei, maka si Nona In-lah yang ia ingat paling dulu. Siangkoan Thian Ya menuang air teh ke dalam sebuah cangkir, ia angsurkan ke bibir orang. "Ah, ah, adik kecil!" Tan Hong berkata pula. "Kau tidak doyan arak susu kuda, akupun tidak hendak meminumnya!..." Dan dia tolak air teh itu. "Masih kalut pikirannya anak muda ini," pikir Siangkoan Thian Ya. Terus ia layani orang bicara, katanya: "Baiklah, kalau kau tidak mau minum arak susu kuda, mari kau minum susu kental dicampur arak anggur." Ia benar-benar ambil susu kental itu. Ia singkirkan air teh dari muka orang, lalu dengan cepat ia bawa balik lagi, untuk dikasih minum. Tan Hong irup susu kental itu serta tehnya. "Adik kecil, adik kecil, kau baharulah adik kecilku yang baik!" berkata anak muda ini dalam keadaannya tak sadar itu. "Kalau aku masuk pula, menginjak pintumu, kau tentu tidak akan mengusir pula padaku, bukankah? Haha-haha, kau benar-benar tidak mengusir lagi!" Mendadakan ia melenggak, tubuhnya jatuh ke kursi, lalu dengan cepat ia tidur mendengkur. Rupanya ia terlalu lelah tetapi pun girang... Tak tahu kenapa, Siangkoan Thian Ya merasa ia seperti berjodoh dengan pemuda ini. "Air tehku ini tercampur dengan soatsom," ia berkata di dalam hatinya, "soatsom dapat menghidupkan darah, maka dengan ditambah susu kental, meski dia tidur lagi satu hari, tanpa dahar apapun, dia tidak bakal dapat bahaya..." Lalu ia pondong anak muda itu, dibawa ke dalam kamarnya, untuk direbahkan di atas pembaringannya sendiri yang hangat. Ketika itu sudah tengah hari. Ketika akhir-akhirnya Tan Hong mendusi, waktu telah lewat tengah hari dari hari yang kedua. Ia merasakan bau yang harum, yang membuat hatinya lega. Ketika ia buka kedua matanya, ia tampak sinar matahari molos di jendela. Di muka jendela itu ada tanaman bunga tjielan, ialah bunga yang menyiarkan bau harum itu. Di kedua sisi jendela itu ada digantung sepasang lian dengan bunyi hurufnya: "Sukar melupai budi dan penasaran, sukar melupai kau — Kecuali sang cinta dan peri kebenaran..." Rapi dan indah persiapan kamar itu, yang tentunya terawat baik. Di tembok pun ada tergantung sehelai gambar, yang berlukiskan hutan bambu, tjietiok lim, dalam mana ada satu nona dengan bajunya warna merah tua, yang alisnya panjang sekali, yang wajahnya seperti sedang bergirang, tapi juga seperti tengah mendeluh... Di dalam hatinya Tan Hong, rasanya ia pernah tampak tempat seperti itu, — hutan bambu dengan si nona, — dan si nona di dalam gambar itupun ia seperti mengenalnya. Karena ini, ia jadi baca dengan perlahan bunyinya lian itu. Oleh karena pikirannya tengah melayang-layang, di depan matanya pun segera seperti tertampak bayangannya In Loei, si nona dalam hutan bambu itu lantas saja berubah menjadi si Nona In itu... Tan Hong lihat seperti In Loei lompat keluar dari hutan bambu, lalu sekejap kemudian menghilang... Tertawa seorang diri, Tan Hong berkata seorang diri juga: "Di dalam dunia ini adakah lain orang yang dapat dibandingkan dengan adik kecilku? Nona dalam gambar benar cantik akan tetapi dia tak ada satu per selaksanya..." Tanpa merasa, Tan Hong jemput pit dan kertas, setelah beber kertas itu, ia poles-poleskan pit-nya di air bak, lalu ia melukis, selembar demi selembar, ia melukis In Loei dengan pelbagai macam wajahnya, tengah berlikat, tengah bersenyum, tengah tertawa, ada juga yang sedang mendongkol atau mendeluh atau beroman sedih. Indah semua lukisannya itu. Ia belum puas agaknya dengan hanya melukis si nona, lebih jauh, ia melukis juga dirinya sendiri berserta si nona yang sedang kaburkan kudanya dengan berendeng. Untuk ini, ia tuliskan kata-kata singkat sebagai timpalannya. Ketika kemudian sesudah selesai melukis, ia lempar pit-nya, terus ia tertawa panjang, akan tiba-tiba ia menangis dengan sangat sedih... Adalah di saat itu, anak muda ini merasa ada orang pegang pundaknya, yang ditepuk dengan perlahan, apabila ia angkat kepalanya, untuk melihat, ia dapatkan seorang tua dengan rambutnya telah putih semua, wajahnya bengis akan tetapi sinar matanya, yang tajam, ada mengandung kesan baik. Orang tua itu bersenyum, terus ia menanya dengan sabar: "Kau siapa? Apa yang kau tangisi?" "Kau siapa? Dan kau pun mentertawai apa?" Tan Hong balik menanya. Orang tua itu tertawa bergelak-gelak. "Sungguh aku tidak sangka di dalam dunia ini masih ada kau dan aku manusia tolol!" katanya sambil tertawa pula. Keduanya saling memandang, lantas keduanya menangis bersama, lalu tertawa bersama juga. Kemudian, si orang tua berkata pula: "Tadi malam kau menyebut-nyebut adik kecil tak putusnya. Adik kecilmu itu ada di mana?" Tan Hong tidak menyahut dan tidak ambil pusing akan pertanyaan itu, sebaliknya, ia angkat setiap gambarnya untuk dipandang satu demi satu, sesudah mana, kembali ia menangis sesegukan. "Ah, adakah nona dalam gambar ini adik kecilmu?" si orang tua tanya, matanya mengawasi gambar itu. "He, kenapa kau berani awasi adik kecilku?" tanya Tan Hong, sambil ia menghela napas. "Awas, nanti aku hajar kau, tua bangka tidak tahu adat sopan santun!" Dan benar-benar tangannya melayang. Si orang tua angkat tangannya, telunjuknya dimajukan. Dengan cara itu ia menangkis. Gampang saja, pukulan Taylek Kimkong Tjioe dari si anak muda kena dibikin tidak berdaya. Tiba-tiba, anak muda itu menangis pula. "Ya, ya, aku larang siapa juga mengawasi kau!" kata dia. "Eh, kenapa kau pandang aku sambil mendelik?" Dan ia awasi gambarnya In Loei, gambar dengan wajah gusar. Menampak itu, si orang tua menghela napas. "Beberapa puluh tahun yang lampau," kata dia seorang diri, "jikalau ada orang berani awasi Tjie Lan-ku, aku juga bisa hajar padanya..." Sejenak itu, orang tua ini pandang si anak muda sebagai dirinya sendiri... "Eh, anak muda, mengapa adik kecilmu itu tinggalkan kau?" dia tanya. Tan Hong mendelik terhadap orang tua itu. "Kau sendiri sudah tahu untuk apa kau tanya aku?" dia menegur. "Apa?" si orang tua tegaskan. Tan Hong menjawab dengan bersenanjung: "Sukar melupai budi dan penasaran, sukar melupai kau — Kecuali sang cinta dan peri kebenaran... Bukankah itu tulisanmu sendiri? Jikalau kau tidak ketahui hal ihwalku dengan In Loei, cara bagaimana kau dapat menulis sepasang liari itu?" Dan ia tunjuk liari di jendela. Mendengar jawaban itu, si orang tua menjublak. "Ha, kiranya budi dan penasaran yang sukar dilupakan, rindu itu, semuanya sama..." katanya. Lalu mendadak ia tertawa berkakakan, tangannya menepuk meja. "Yang tiga puluh tahun dahulu itu adalah aku, yang tiga puluh tahun belakangan ini adalah kau!" katanya pula nyaring. "Kita ada sama saja! Biarlah orang-orang di kolong langit ini yang senasib dengan kita, menangis bersama untuk sang cinta!..." Ia menangis, ia tertawa, lalu bersama Tan Hong, ia saling rangkul. Keras tangis mereka, hingga terdengar jauh di luar rumah. Di dalam ruang, beberapa pelayan itu berdiri diam saling mengawasi, semuanya merasa heran sekali. Tadinya mereka sangka Siangkoan Thian Ya, majikan mereka itu, akan binasakan si anak muda, tidak tahunya, mereka berdua ini adalah sahabat-sahabat kekal... Tidakkah dua orang ini, tertawa dan menangis saling sahutan? Memang sang majikan aneh tabeatnya akan tetapi kelakuannya seperti ini baharu kali ini mereka tampak. Lama mereka menangis, akhirnya si orang tua berhenti, dengan keras ia mengatakannya: "Hari ini kita menangis, sungguh memuaskan! Haha! Tiga puluh tahun lamanya aku menanggung kesengsaraan hati, baharu hari ini aku menemui orang yang sama penyakitnya, yang saling mengasihani..." Lalu, tangisannya itu berubah jadi tertawa. Tan Hong, tanpa merasa, turut tertawa juga. Karena ia menangis, karena ia tertawa itu, hatinya menjadi terbuka, dengan perlahan-lahan otaknya datangkan kesadarannya. "Eh, mengapa aku bisa tiba di sini?" ia tanya. Si orang tua tertawa. "Ya, aku justeru hendak menanyakan kau!" jawabnya. "Kenapa kau bisa tiba di sini?" Tan Hong berdiam, otaknya dikasih kerja keras sekali. Tak dapat ia ingat kenapa ia bisa sampai di tempat asing ini. Ia cuma ingat In Loei, ia ingat juga rumah In Loei letaknya di lembah selatan dari gunung ini. Samar-samar ia ingat bahwa ia telah dikuncikan pintu di luar, lalu ia berlari-lari, akan akhirnya tiba di sini. Ia seperti mengetahui sekarang bahwa si orang tua ingin sangat dengar hal ihwalnya, bahwa si orang tua pun sudi menceriterakan hal ihwalnya sendiri... Dalam keadaan yang sadar itu, Tan Hong lantas tuturkan tentang pergaulannya dengan In Loei, akan tetapi kemudian, ia berceritera dengan lompat sana dan lompat sini, ada yang ia masih ingat, ada yang ia telah lupa, kemudian yang ia telah lupa itu, ia susul dengan keterangan yang belakangan, toh masih saja, ceriteranya tidak lancar hubungannya. Si orang tua terus pasang kupingnya, baharulah kemudian, ia tanya: "Siapakah yang ajarkan ilmu silatmu dan ilmu silat nonamu itu?" "Aku dengan dia berasal satu rumah perguruan," Tan Hong jawab. Lalu lenyap pula ingatannya. "Siapakah guruku? Siapakah guru dia?" Ia mengingat-ingat, tapi ia tak dapat mengingatnya. "Apakah kau pernah dengar namanya Hian Kee Itsoe?" tanya si orang tua. Tiba-tiba Tan Hong tepuk pinggangnya. "Ya, aku ingat sekarang!" ia berseru. "Soetjouw-ku bernama Hian Kee Itsoe! Hian Kee Itsoe itu adalah soetjouw-ku. Soetjouw telah wariskan dua rupa ilmu pedang, dia mengajarnya dengan dipisah-pisah, dan orang yang mempelajarinya, satu orang cuma harus dapat satu rupa, mereka dilarang mengajarkan atau saling mengajarkan satu dengan lain. Siapa yang mencuri mempelajarinya, meski ia dapat cuma setengah jurus, ia akan dihukum duduk bersila menghadapi tembok lamanya dua belas tahun! Aku belajar waktu aku berada di ibu kota negara Watzu. Tapi, dari siapa aku belajar silat? Tidak tahu, aku tidak tahu... Dia belajar di Siauwhan San, dia duduk bersila menghadapi tembok selama dua belas tahun... Kedua ilmu silat itu tetap dilarang diajarkan satu pada lain, dilarang sekalipun dengan jalan diam-diam, akan tetapi kemudian, secara kebetulan kami bertemu satu pada lain, kami lantas saja mengecap kefaedahannya siangkiam happek! Ya, di kolong langit ini, kami tidak ada tandingannya! Haha, di kolong langit tidak ada tandingannya!..."Orang tua itu terperanjat, tapi segera juga, ia tertawa. "Hebat angotnya bocah ini!" dia berpikir. "Dia sudah beristirahat satu hari satu malam, kenapa masih saja dia tak sadar akan dirinya? Jikalau dia benar cucu muridnya Hian Kee Itsoe, kenapa dia belajar di ibu kota Watzu? Dan kekasihnya tentu ada terlebih muda daripadanya, kenapa dia dapat pergi ke gunung Siauwhan San, untuk belajar di sana selama dua belas tahun? Kemudian mereka bertemu sesudah dua belas tahun, tidakah seharusnya kekasih itu sudah berusia tua? Lagipun sangat mustahil, selagi di satu pihak orang belum pernah lihat ilmu silatnya lain pihak, kenapa begitu bertemu, keduanya dapat menjadi cocok satu dengan lain, malah dengan secara sempurna sekali, hingga mereka sangat lihay! Bukankah dia ini mengatakan, ilmu silat pedang mereka berdua tak ada tandingannya di kolong langit ini? Apakah bukannya dia tengah ngelindur? Bicara dari hal tenaga dalamnya, apabila dia mengatakan dia perolehnya dari Hian Kee Itsoe, suka aku sedikit mempercayainya. Tetapi bila benar dia cucu muridnya Hian Kee Itsoe, cara bagaimana dia dapat menangkis totokanku? Mungkin sekali gurunya adalah satu jago Rimba Persilatan kenamaan yang namanya tersembunyi... Mungkin dia pernah dengar namanya Hian Kee Itsoe, karena aku menanyakannya, dia secara tak sadar akui Hian Kee Itsoe itu sebagai kakek gurunya..." Oleh karena kesangsiannya itu, Siangkoan Thian Ya tidak menyangka bahwa Tan Hong telah omong apa yang benar, hanya karena ingatannya anak muda ini kabur, penuturannya itu kacau. Dia menyebutkannya In Loei dihukum duduk bersila menghadapi tembok di gunung Siauwhan San, tak ingat dia bahwa, yang dihukum itu bukannya In Loei tapi gurunya si nona. Tentu saja, karena kekeliruannya ini, Siangkoan Thian Ya mau mempercayai soal dirinya In Loei, hingga ia menjadi heran. Memang orang tua ini telah lihat, kepandaian yang si anak muda perlihatkan bukannya kepandaiannya Hian Kee Itsoe. Sehabis bercerita, Tan Hong balik menanya. "Kau siapa?" demikian pertanyaannya. "Kenapa kau ada di sini? Apakah kau juga telah disia-sia adik kecilmu?" "Benar," sahut Siangkoan Thian ya. "Memang, adik kecilku itu rela duduk sila menghadapi tembok lamanya tiga puluh tahun di dalam hutan bambu Tjietiok lim, dan dia tak sudi datang ke gunung salju ini untuk menemui aku! Ah, saudara muda, akan aku tuturkan kau sebuah dongeng..." Si orang tua benar-benar menuturkan ceriteranya: "Pada tiga puluh tahun yang lampau ada hidup satu begal besar dari kalangan Rimba Hijau serta satu ahli pedang dari golongan Rimba Persilatan. Keduanya menyombongkan diri bahwa mereka tidak ada tandingannya di kolong langit ini. Bukan, bukannya menyombongkan diri! Kau tadi mengatakan siangkiam happek tanpa tandingan di kolong langit, itulah dusta belaka. Adalah kepandaiannya mereka berdua, itu begal dan ahli pedang, yang benar-benar tulen!" "Bila demikian, di antara mereka berdua, sebenarnya kepandaian siapakah yang betul-betul tidak ada tandingannya di kolong langit ini?" Tan Hong tanya. "Sampai sekarang hal itu masih belum diketahui," sahut Siangkoan Thian Ya. "Jikalau kau ingin mendapat tahu, kau baiklah tinggal beberapa hari lebih lama di sini." Lalu ia melanjutkan: "Dua orang itu akui dirinya masing-masing tidak ada tandingannya. Apa mau mereka justeru sama menyintai satu nona, yang juga anggap dirinya tak ada tandingannya di kolong langit ini. Nona itu bersama si penjahat Rimba Hijau sering sekali bentrok adu mulut. Mungkin si nona tak setujui nama kurang wangi dari penjahat itu, maka juga, walaupun ia kurang cocok dengan si kiamkek, ahli pedang, ia toh suka cari ahli pedang itu. Celaka si kiamkek itu, buruk tabiatnya. Sebab dia bertentangan dengan si penjahat, sengaja dia ganggu hati si nona, rupanya dengan begitu ingin dia membikin susah hatinya si penjahat. Satu kali, si penjahat menjadi gusar sekali, ia tantang si kiamkek adu silat di puncak Ngobie San. Pertandingan berlangsung tiga hari tiga malam, mereka tidak kalah tidak menang, maka pertandingan di akhiri dengan keduanya berjanji, lagi tiga puluh tahun, mereka akan bertanding pula untuk mencari keputusan. Tempo yang dijanji itu, lagi beberapa hari akan tiba. Setelah pertandingan yang pertama itu, si penjahat telah cuci tangan, ia menyingkir keperbatasan Mongolia. Ia berpegang kepada dalil, orang gagah menyayangi orang gagah, ia rela mengalah akan serahkan si nona kepada si kiamkek. Akan tetapi tak disangkanya, kiamkek itu benar-benar busuk! Hm!" "Apakah sudah terjadi?" tanya Tan Hong. Ia heran. "Setelah pertandingan itu, si kiamkek telah tinggalkan si nona, yang disia-siakannya. Kesudahannya si nona tinggal menyendiri di rimba bambu Tjietiok lim di mana nona itu tinggal menangis dalam kesedihannya..." "Ah, hebat kiamkek itu!" kata si anak muda. "Kenapa dia mensia-siakannya satu nona yang menyintai padanya?" Begitulah Tan Hong mengatakannya, ia tidak tahu bahwa kiamkek yang dimaksudkan Siangkoan Thian Ya itu adalah Hian Kee It soe sendiri, kakek gurunya. Sedang si nona yang tersia-sia cintanya adalah si nyonya tua yang ia telah ketemukan di dalam hutan bambu Tjietiok lim itu, seorang she Siauw, namanya Oen Lan. Di kamar tulisnya Siangkoan Thian Ya ada bunga tjielan, itulah bunga pujaannya, untuk tanda bahwa ia masih menyintai dan menghargai nona itu. Keterangannya Siangkoan Thian Ya itu ada bahagian-bahagian yang tidak cocok dengan kenyataannya. Ia benar menyintai Nona Oen Lan, akan tetapi Hian Kee Itsoe sama sekali tidak menyintai nona itu. Yang benar adalah di antara Hian Kee Itsoe dan Siauw Oen Lan tidak ada kecocokan pendapat, sama sekali bukannya soal cinta. Nona Siauw kosen sejak ia masih muda, iapun sangat cantik, karena itu, di dalam hatinya telah timbul suatu pikiran yang luar biasa. Ia menghendaki supaya semua orang gagah di kolong langit ini bertekuk lutut dihadapannya. Ia tidak mencintai Siangkoan Thian Ya, tetapi ia puas terhadap penjahat besar ini, yang senantiasa uber-uber padanya. Hian Kee Itsoe tidak setujui sifatnya Oen Lan itu, karenanya ia selalu menjauhkan diri, tetapi justeru itu, Oen Lan ingin sekali mendapatkan kesan baik dari si kiamkek. Tetap Oen Lan kepada cita-citanya yang luar biasa itu, malah belakangan, ia menjadi terlebih berkeras hati, hingga ia ingin supaya orang-orang gagah yang anggap dirinya tak ada tandingannya di dalam dunia ini, semua binasa karena dia. Atau sedikitnya, karena ia itu mereka nanti adu jiwa mereka. Begitulah, ia jadi menghendaki Siangkoan Thian Ya dan Hian Kee Itsoe bentrok satu dengan lain. Siangkoan Thian Ya sangat menyintai Nona Siauw, bahkan lebih dari itu, ia tergila-gila, karena mana, ia telah masuk dalam perangkap. Hian Kee Itsoe hendak menyingkir dari perangkap itu, akan tetapi ia didesak Siangkoan Thian Ya, kepada siapa ia sebaliknya tidak hendak beber rahasianya Oen Lan itu, sebab tak dapat ia menceritakannya. Maka kejadianlah pertandingan tiga hari tiga malam di puncak Ngobie San itu. Sesudahnya pertandingan, Hian Kee Itsoe lantas dapat anggapan tidak bagus terhadap sifat wanita, karena ini, hatinya jadi tawar, pikirannya berubah, maka selanjutnya, ia tidak sudi bergaul pula dengan Oen Lan, setiap si nona datang untuk cari padanya, ia menampik, tidak mau ia menemui, ia berpendapat nona itu lebih daripada ular berbisa. Oen Lan dapat merasakan sikapnya Hian Kee Itsoe itu, ia insyaf akan sepak terjangnya yang tidak tepat itu, maka di akhirnya, iapun lantas undurkan diri, ia pergi hidup menyendiri di hutan bambu itu, tak sudi ia muncul pula dalam dunia kangouw. Tentu saja tak tahu Tan Hong akan duduknya hal yang sebenarnya. Karena ia hanya dengar keterangan satu pihak, yaitu keterangannya Siangkoan Thian Ya, ia jadi beranggapan bahwa satu orang — satu pria — tidak seharusnya menampik cintanya satu nona yang menyintai dirinya demikian rupa. Karena anggapannya ini, ia juga anggap tidak selayaknya sikap In Loei itu, yang sudah sia-sia padanya... Akhir-akhirnya, karena terpengaruh Siangkoan Thian Ya, Tan Hong caci si kiamkek. Ia jadi cocok dengan si iblis ini, suka ia berdiam di rumahnya si iblis. Ia pun ingin sangat dapat ketika untuk beristirahat, untuk sembuhkan dirinya sendiri, supaya ia jadi sadar seperti biasa... Begitu lekas Siangkoan Thian Ya tinggalkan ia seorang diri, tiba-tiba Tan Hong ingat ceritera tentang pertandingan di atas puncak gunung Ngobie San itu. Ia ingat bahwa ia pernah dengar hal itu. Akan tetapi ketika ia coba memikirkannya lebih jauh, untuk mendapat kepastian, ia buntu pula. Ia cuma ingat samar-samar, di antara dua orang yang adu kepandaian itu, satu di antaranya ada hubungannya yang erat dengan ia... Siangkoan Thian Ya itu luas pengetahuannya, ia mengerti tentang ilmu syair dan bernyanyi, maka itu setiap hari, setiap kali ia masuk ke kamar tulisnya, bisa ia omong banyak dengan Tan Hong, maka mereka berdua cocok satu dengan lain. Ada kalanya, kapan mereka kembali pada soal cinta, keduanya suka menangis pula sambil saling rangkul. Demikianpun bila mereka bicara dari hal yang menggirangkan hati, mereka tertawa terbahak-bahak, bergelak-gelak. Baharu lewat beberapa hari, hati pepat dari Tan Hong dapat juga sedikit reda. Ia telah dapatkan orang atau kawan dengan siapa ia bisa tumplakkan segala isi hatinya. Karena ini, dengan perlahan, ia mulai sadar banyak. Demikian itu hari, tengah ia berpikir seorang diri di dalam kamarnya, teringatlah ia janji gurunya untuk ia pergi mendaki sebuah gunung untuk menemui satu iblis kepala. Hanya ia tak tahu siapa namanya iblis itu. Ia lantas berpikir untuk cari Siangkoan Thian Ya, guna minta keterangan kalau-kalau "sahabat" ini ketahui tempatnya si Kepala Iblis yang liehay di gunung ini. Tapi, sebelum ia bertindak keluar, dari luar ia telah dengar suara nyaring dari Siangkoan Thian Ya, dan dari suaranya itu rupanya orang tua itu sedang umbar tabiatnya. "Ouw Bong Hoe, apakah kau masih ada nyalimu untuk menemui aku?" demikian Tan Hong dengar suara orang yang keras. Seorang, dengan suara sabar, menyahuti Siangkoan Thian Ya, katanya: "Sejak aku meninggalkan rumah perguruan, belum pernah aku melupai soehoe. Ilmu silat Ittjie sian yang soehoe ajarkan kepadaku, aku pun berlatih terus setiap hari, tidak pernah lengah. Maka itu, aku mohon soehoe suka terima aku kembali..." "Untuk mempelajari ilmu silat yang paling liehay itu, seorang dilarang menikah seumurnya dia," berkata orang tua itu, "akan tetapi kau mempunyai rasa cinta, napsu birahi, maka itu kau telah lakukan satu pelanggaran besar, melanggar sumpahmu ketika kau baharu masuk rumah perguruan. Karena pelanggaranmu itu, tak dapat kau tetap tinggal di sini! Jikalau kau tidak berhasil mempelajari ilmu yang liehay, kau tidak dapat tandingi murid-muridnya Hian Kee Itsoe, karenanya, apakah muka terangku tidak bakal dibikin rusak olehmu?" "Aku sumpah, sejak sekarang aku tidak akan menyinta pula," berkata orang itu. "Ingin aku berlatih terus, untuk menebus kesalahanku itu dengan jasaku..." "Apakah jasamu itu?" "Aku telah dapat ketahui rahasianya ilmu silat Hian Kee Itsoe," sahut orang yang dipanggil Ouw Bong Hoe itu. "Rahasia apakah itu? Coba kau jelaskan!" Siangkoan Thian Ya bicara secara tawar tetapi terang, hatinya tertarik. "Di luar Ganboenkwan aku pernah tempur muridnya Hian Kee Itsoe," menerangkan orang yang ingin masuk pula dalam rumah perguruannya itu, "nyata mereka itu tidak beda banyak daripada muridmu, hanya mereka ada punya semacam ilmu silat yang liehay sekali..." "Ilmu silat apakah itu?" tanya Siangkoan Thian Ya. Ia jadi semakin bernapsu. "Benarkah itu dapat dibandingkan dengan ilmu silatku Ittjie sian?" "Ilmu itu tak sama dengan Ittjie sian. Ilmu mereka itu ada semacam ilmu silat pedang, ialah dua pedang dapat digabung menjadi satu — siangkiam happek — liehaynya bukan main..." "Ah!" Siangkoan Thian Ya berseru tertahan. "Apa? Siangkiam happek? Aku tidak percaya jikalau ilmu itu tidak ada tandingannya di kolong langit ini!" Akan tetapi suaranya itu ada mengandung kesangsian besar. Tan Hong dengar itu, iapun bersangsi, ia heran. Tiba-tiba saja, ia bagaikan tersapu lenyap selapis kabut yang menutupi kesadarannya. Maka berpikirlah ia dalam hati kecilnya: "Tjouwsoe-ku, yakni Hian Kee Itsoe, dan siangkiam happek itu adalah ilmu silatku berdua In Loei! Ah, kiranya dia inilah si iblis yang guruku hendak menjumpainya!..." Oleh karena ia ingat demikian, pemuda ini jadi dapat berpikir pula: "Nyata aku telah tinggal bersama iblis ini untuk beberapa hari! Bukankah dia tidak mempunyai sesuatu yang harus dibuat jeri?... Tetapi, tak tahu apa sebabnya tjouwsoe telah bermusuhan dengan dia ini? Ah, bukankah ceritera yang ia tuturkan itu, ialah kedua orang kosen yang masing-masing anggap dirinya tak ada tandingannya di kolong langit ini, ada mengenai diri mereka berdua? Jadinya dia dan tjouwsoe-ku adalah yang dimaksudkannya itu?" Tan Hong seorang yang cerdas, dengan kesadarannya ini, tepatlah terkaannya itu. Setelah itu, ia lantas berpikir lebih jauh. Tengah ia berpikir, kembali ia dengar suara keras dari si orang tua. "Siapakah yang mengajak kau mendaki gunung ini? Apakah Sian In si budak itu?" "Benar dia," sahut orang yang dibentak itu. "Soehoe jangan kuatir, kepada soemoay itu tidak akan aku bicara pula perihal perjodohan!" Tapi si orang tua masih membentak: "Sebelumnya kau menghadap aku, kau telah berjanji dan bertemu dengan soemoay-mu itu, ini juga ada suatu pelanggaran! Tahukah kau kesalahanmu ini? Maka sekarang aku hukum kau berdiam dan berpikir di dalam kamar samedhi, tanpa titahku, aku larang kau sembarang keluar!" Guru ini mencaci tetapi toh ia terima muridnya itu, maka juga Ouw Bong Hoe jadi sangat girang, ia paykoei terhadap gurunya itu sambil menghaturkan terima kasihnya. Tan Hong mendengari pembicaraan dua orang itu, ia pikir: "Orang tua ini tidak pantas perbuatannya. Dia sendiri telah jadi kurbannya cinta, sekarang dia larang murid-muridnya bicara tentang hal pernikahan!" Siangkoan Thian Ya kurung Ouw Bong Hoe di kamar samedhi, setelah itu ia pesan pelayannya: "Aku juga hendak bersamedhi di dalam kamarku, maka itu kecuali muridnya Hian Kee Itsoe yang datang kemari, aku larang kau ganggu aku." Kemudian suasana menjadi sunyi. Tan Hong sendiri terus berpikir, ia tidak puas untuk perlakuannya si orang tua terhadap muridnya itu, Ouw Bong Hoe. Maka itu ia lantas keluar dari kamarnya. Ia hampirkan satu pelayan, ia tanya di mana orang tadi dikurungnya. Pelayan itu tahu, orang asing ini adalah orang dengan siapa gurunya biasa bergaul sangat rapat, walaupun dia belum tahu siapa sebenarnya orang ini, tidak berani dia mendusta, malah dia ajak Tan Hong ke kamar samedhi, dia sendiri yang mengetok pintu sambil berkata: "Ada satu sahabatnya gurumu datang menengoki. Inilah untungmu yang bagus. Apa kesukaranmu, kau boleh tuturkan kepada sahabat gurumu ini, supaya dia dapat tolong bicarakan kepada gurumu itu." Heran Ouw Bong Hoe di dalam kamarnya mendengar perkataannya pelayan itu. "Tingkat derajat dari soehoe ada sangat tinggi," begitu ia berpikir, "kecuali Hian Kee Itsoe, sekarang ini siapapun tak dapat dibandingkan dengan soehoe, tiada yang berhak untuk disebut sahabatnya! Siapakah orang ini? Agaknya, menurut suaranya si pelayan, dia adalah orang yang soehoe hormati..." Segera pintu dibuka, dan Tan Hong terus bertindak masuk yang terus ia rapatkan pula pintunya. Ketika Ouw Bong Hoe angkat kepalanya dan melihat orang yang masuk itu, ia menjublak. "Hai, kau, kau!" katanya. "Bukankah kau Thio Tan Hong muridnya Tjia Thian Hoa?" Tan Hong tepuk kepalanya, lalu ia tertawa besar. "Tidak salah, guruku adalah Tjia Thian Hoa!" ia kata. "Ya, Tjia Thian Hoa itu ialah guruku!" Ouw Bong Hoe heran. Ia tampak orang berbeda dari biasa, seperti orang hilang ingatannya. "Guru kita bermusuhan satu dengan lain, kau juga adalah musuhku, kau tahu atau tidak?" ia tanya. "Tidak salah, kamu adalah musuh kami!" sahut Tan Hong. "Ya, aku ingat sekarang! Dua kali kau pernah bertempur dengan aku, satu kali di dalam pasanggrahan gunung, satu kali lagi di luar kota Ganboenkwan!" Tan Hong ingat tentang pertempurannya itu, tetapi samar-samar ia masih ingat bahwa, pertempuran itu bukan disebabkan urusan guru mereka. "Dan kenapa kau bisa tiba di sini?" Ouw Bong Hoe tanya. Tan Hong angkat kepalanya, ia bersenanjung: "Sukar melupai budi dan penasaran, sukar melupai kau — Kecuali sang cinta dan peri kebenaran... Ah, apakah kaupun bukannya kurban sang cinta?" "Eh, apa kau bilang?" Ouw Bong Hoe tanya. "Jikalau kau bukannya kurban cinta, mengapa kau sia-siakan soemoay-mu?" Bong Hoe heran dan tertarik hatinya. Kata-kata orang tepat menusuk hatinya. "Siapa bilang aku mensia-siakan soemoay-ku itu?" tanyanya. "Habis kenapa kau takut membicarakan urusan pernikahan dengannya?" Tan Hong membaliki. "Ha, kau tak tahu!" berkata Ouw Bong Hoe. "Kaum kami ada punya ilmu silat yang sempurna, untuk itu kami lindungi kehormatan kami supaya tetap kami menjadi seperti satu perjaka, sebab satu kali kami menikah, kami tidak dapat pelajari ilmu kepandaian itu..." Thio Tan Hong tertawa — tertawa besar. "Mana ada tjenglie sebagai itu!" katanya. "Itulah hanya dapat terjadi jikalau kau menuntut ilmu yang sesat, bukannya ilmu sejati. Mari, akan aku bikin kau dapat membuka matamu." Dari dalam sakunya, Tan Hong keluarkan kitabnya, kitab Hiankong Yauwkoat. "Akan aku pinjamkan kitabku ini kepadamu," ia berkata, "kau yakini ini untuk dijadikan pokok dari ilmu silatmu, sehabis itu baharulah kau meyakini ilmu silat Ittjie sian itu. Seandainya gurumu melarang pula kau bicara urusan pernikahanmu, kau perlihatkan kitab ini kepadanya, apabila tetap dia tidak memberikan ijinnya untuk kamu menikah, nanti aku hajar padanya, aku akan robek juga sepasang liari yang ia tulis dengan tangannya sendiri itu!" Tak kepalang girangnya Ouw Bong Hoe. Memang sudah sejak lama ia ingin dapatkan kitab yang luar biasa itu. Menampak lagak Tan Hong yang seperti tak beres otaknya, ia kuatir orang nanti menyesal. Maka lekas-lekas ia berkata: "Baik, baik! Terima kasih banyak untuk kebaikanmn ini! Sekarang lekas kau kembali, kuatir guruku mempergoki kita, nanti dia tegur kau." Tan Hong tertawa besar, ia terus kembali ke kamar tulis. Ia merasa sangat puas. Ia mencoba berpikir pula, ia menjadi lelah karenanya, tanpa merasa, ia letakkan kepalanya di atas meja dan tertidur. Tak tahu ia berapa lama ia sudah tidur, ia hanya terbangun dengan tiba-tiba ketika kupingnya mendengar suara beradunya alat senjata. Ia lantas saja lompat bangun, akan lari keluar kamar. Ia tidak tampak satu pelayan jua. Ia lari ke kamar samedhi, ia segera pentang pintunya. Di situ Ouw Bong Hoe pun tak ada. Maka ia keluar dari rumah itu. Setibanya ia di luar, ia tampak di bawah sebuah pohon besar tiga orang tengah bertempur, yaitu seorang pria dan seorang wanita, masing-masing bersenjatakan pedang panjang sedang mengerubuti Siangkoan Thian Ya. Iapun segera kenali sepasang pria dan wanita itu, ialah Tjia Thian Hoa, gurunya, serta Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng, gurunya In Loei. Dan di samping mereka itu, berdiri menonton, tampak Ouw Bong Hoe serta beberapa pelayan. Tjia Thian Hoa dan Hoeithian Lionglie juga segera dapat lihat si anak muda, yang muncul dari rumahnya Siangkoan Thian Ya, mereka nampaknya heran. -ooo00dw00ooo- Bab XXVIII Benar-benar hebat serangannya Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng itu, pedang mereka menyambar-nyambar dengan sama imbangannya, kedua pedang sebagai juga tergabung menjadi satu. Tan Hong masih merasakan matanya seperti kabur, tidaklah heran apabila Ouw Bong Hoe, apapula beberapa pelayan itu, bagaikan tidak melihat tubuh orang, hanya bayangannya saja. Mereka ini cuma bisa memandang dengan mata diam dan lidah diletletkan... Begitu hebat serangannya Thian Hoa berdua, akan tetapi Siangkoan Thian Ya pun telah memperlihatkan kepandaiannya yang sempurna sekali. Dia melayani dengan sepasang tangan tanpa senjata, dia mempertunjukkan kelincahan tubuhnya serta kesehatannya kedua belah tangannya itu. Dia tidak hanya berkelit, diapun dapat membalas menyerang, yang setiap kali mengarah bahagian-bahagian tubuh yang berbahaya dari kedua lawannya itu. Nampaknya si hantu bagaikan terkurung pedang-pedang lawan, akan tetapi Tan Hong dapat melihatnya dengan nyata bahwa si hantu senantiasa dapat pecahkan serangan-serangan berbahaya dari siangkiam happek, nampaknya gampang saja dia mengelakkan diri, hingga terlihat tegas dia ada jauh terlebih liehay apabila dibandingkan dengan si nyonya tua dari rimba bambu tjietiok lim. Menampak keadaan itu, Tan Hong kuatiri gurunya serta kawan gurunya itu. Di pihak lain, di dalam hatinya Siangkoan Thian Ya juga menjadi heran sekali hingga sekarang ia menginsafi benar-benar keterangan Tan Hong bukan omong kosong belaka perihal liehaynya ilmu pedang siangkiam happek itu. Jadi benarlah, di dalam dunia ini, ada semacam ilmu pedang yang liehay. "Apabila aku belum mencapai puncaknya kesempurnaan, pasti aku dengan lekas dapat dipecundangi," demikian dia berpikir di dalam hatinya. "Jikalau muridnya saja sudah demikian hebat, dapatlah diduga bagaimana liehaynya guru mereka..." Siangkoan Thian Ya mau tidak mau, mengagumi juga Hian Kee Itsoe. Sementara itu, karena herannya mereka menampak Tan Hong muncul dengan tiba-tiba dan munculnya juga dari rumahnya Siangkoan Thian Ya, dengan sendirinya gerakannya Thian Hoa dan Eng Eng menjadi kendor, ketika baik ini segera digunakan oleh Thian Ya untuk mendesak, hingga mereka kena dipukul mundur beberapa tindak. Tentu saja, dengan sendirinya mereka menjadi bergelisah. Setelah berhasil dengan desakannya itu, Siangkoan Thian Ya tidak mendesak terlebih jauh, hanya sambil berpaling kepada Tan Hong, yang ia tampak muncul, ia berseru: "Thio Tan Hong, kiranya kau juga termasuk muridnya Hian Kee Itsoe! Baiklah, kau pun boleh maju bersama!" Sampai itu waktu, Tan Hong telah sadar dan ingat benar akan janji gurunya untuk ia datang ke gunung ini, untuk bersama In Loei membantui guru mereka menandingi hantu itu, akan tetapi ia toh merasakan bagaimana manis budinya Siangkoan Thian Ya terhadapnya hingga ia beranggapan si hantu bukanlah hantu yang jahat. Malah ia menjadi berpikir: "Berhubung dengan dongengnya Siangkoan Thian Ya ini, antara dia dan soetjouw-ku, siapakah yang dapat disebut si kiamkek atau pendekar? Dia atau soetjouw-ku itu?" Dengan menyekal pedangnya, Tan Hong diam mengawasi ketiga orang itu. Menampak demikian, Ouw Bong Hoe menghampirkan, ia tepuk pundak orang. "Eh, marilah kitapun bertempur satu dua gebrakan!" dia berkata. "Ya, aku mengucap terima kasih kepadamu yang telah pinjamkan aku kitabmu Hiankong Yauwkoat itu!" Ouw Bong Hoe bukan menantang benar-benar, ia hanya kuatirkan Tan Hong. Ia berkuatir anak muda ini masih belum sempurna ilmu silatnya hingga tidak akan sanggup melayani gurunya yang liehay itu, karena itulah, hendak ia menalangi gurunya. "Kita berdua tidak bermusuh, untuk apa kita bertempur?" Tan Hong tolak tantangan orang itu. "Eh, ya, bagaimana asal usul gurumu itu? Dia sebenarnya satu kiamkek atau satu penjahat?" Ouw Bong Hoe melongo karena mendengar kata-kata orang itu. Ia mau percaya, pada sejenak ini, si anak muda telah kumat gangguan otaknya... Tan Hong mengawasi, agaknya hendak ia menegaskan Bong Hoe, tapi mendadak perhatiannya tertarik oleh suara beradunya senjata, yang datang dari lain arah, ialah dari belakang bukit. Dari mana tertampak dua pria dan seorang wanita tengah bertempur sambil mendatangi ke arah mereka. Kedua pria itu terdesak oleh si wanita yang tangan kirinya memegang gaetan kimkauw dan tangan kanannya menyekal pedang. Setelah mereka itu mendatangi semakin dekat, Tan Hong segera kenali kedua pria itu adalah Tiauw Im Hweeshio yang kepalanya gundul dan Tjinsamkay Pit To Hoan yang mukanya hitam legam. Itu hari selagi Tiauw Im Hweeshio berada di luar kota Ganboenkwan dengan menyangsikan Tjia Thian Hoa sudah berubah pikiran dengan menyerah kepada musuh, saudara mana tak dapat ia susul, hingga ia mesti jalan mundar mandir di tengah tegalan datar rumput, secara kebetulan ia ketemu Pit To Hoan, maka bersama-sama mereka lalu pergi ke gedungnya Thaysoe Yasian untuk mengacau, sampai mereka dapat dicari Tang Gak, siapa telah menjelaskan kepada adik seperguruan itu perihal sepak terjangnya Thian Hoa. Pendeta ini percaya soeheng-nya, sang kakak seperguruan, dapat dikasih mengerti, maka sejak itu, ia mempercayai Thian Hoa. Ia menjadi menyesal atas keliru mengertinya itu. Kemudian Tang Gak pisahkan diri dari mereka, yang diminta pergi ke gunung Tangkula untuk menepati janji akan menemui Siangkoan Thian Ya. Nyatalah mereka telah ketinggalan oleh Thian Hoa. Selagi mendaki gunung, mereka bersomplokan dengan Kimkauw Siantjoe Lim Sian In, muridnya si hantu, karena kedua pihak berselisih omong, mereka jadi bertempur. Kimkauw Siantjoe adalah murid terpandai dari Siangkoan Thian Ya, kegagahannya sebanding dengan Tjia Thian Hoa atau Yap Eng Eng, maka dalam pertempuran itu, walaupun Tiauw Im dibantui Pit To Hoan, mereka tetap terdesak, sehingga mereka main mundur dengan mendaki ke atas, ke arah rumahnya Siangkoan Thian Ya. Dengan demikian mereka tiba di tempat pertempuran itu. Siangkoan Thian Ya pun segera lihat rombongan itu, lantas saja ia perdengarkan suaranya: "Apakah kamu murid-muridnya Hian Kee Itsoe? Bagus! Mari maju kamu semua sama mengepung aku! Asal kamu bisa lawan seri padaku maka akan aku biarkan Hian Kee si tua bangka itu menjadi kepala dari kaum Rimba Persilatan!" Selagi gurunya menantang demikian rupa, Lim Sian In telah desak pula kedua lawannya itu, tiga kali beruntun ia menyambar dengan gaetannya, disusul dengan dua kali tikaman pedangnya, karena mana ia membikin Tiauw Im dan To Hoan menjadi kewalahan melindungi diri mereka, hampir saja mereka rubuh terguling sedang napas mereka memburu keras sekali. Menampak demikian, Lim Sian In kata sambil tertawa: "Dua orang ini tak usahlah soehoe yang berikan pengajaran! Sekarang biarkan dahulu mereka beristirahat, sebentar akan aku suruh mereka melayani kembali padaku!" Tiauw Im dan To Hoan adalah bangsa berangasan, mereka jadi sangat gusar, maka keduanya lantas lompat kepada Kimkauw Siantjoe, untuk menyerang pula. Akan tetapi belum lagi mereka sampai ke pada nona itu, Thio Tan Hong telah tiba dihadapan mereka. Anak muda ini mengawasi dengan mendelong, romannya sangat beda daripada biasanya, seorang diri dia berkata-kata: "Ini, ini toh Djiesoepee... Ini, ini..." "Hai, Thio Tan Hong!" Pit To Hoan memotong, "Kau kenapakah? Apakah kau sudah tidak kenali kami? Aku toh Tjin..." Sekonyong-konyong Tan Hong tepuk kepalanya! "Ya, tidak salah!" ia berseru keras sekali, "kau benar Tjinsamkay Pit To Hoan!" Tiauw Im pun segera berkata: "Tan Hong, aku telah menginsafi maksudnya gurumu, dulu hari kau telah berlaku tidak hormat kepadaku, tentang itu aku tidak tarik panjang pula. Kenapa kau tidak membantui gurumu itu?" Tan Hong awasi paman guru yang kedua ini, ia tidak menyahuti. Otaknya tengah berkutat, keras sekali ia berpikir, untuk mengingat-ingat. "Apakah yang dikandung guruku di dalam hatinya?..." demikian berulangkah ia tanya dirinya. Samar-samar ia ingat yang gurunya itu berdiam di ibu kota negara Watzu di dalam sebuah gedung besar di mana pun ada sebuah taman bunga yang besar juga, di situlah gurunya ajarkan ia ilmu silat pedang. Ingat akan hal ini, lantas ia ingat tentang peperangan di antara kedua kerajaan Beng dan negara Watzu itu. Ia lantas mengingat-ingat terus, sampai tiba-tiba ia dibikin terperanjat oleh suara bentrok yang keras dari alat senjata, hingga segera ia berpaling ke arah itu, ternyata suara itu datangnya dari beradunya pedangnya Thian Hoa dengan pedang Eng Eng karena tersampok tangan bajunya Thian Ya, hingga ilmu silat siangkiam happek yang liehay dari kedua saudara seperguruan itu menjadi kalut karenanya. Menampak itu, Tiauw Im pun menjadi kaget sekali, hingga ia berteriak: "Tan Hong, masih kau tidak lekas maju?" Dan, sambil angkat tinggi tongkatnya, ia pun lompat. Akan tetapi ia segera dirintangi Kimkauw Siantjoe yang sambar ia dengan tangan kiri dan menikam dengan tangan kanan. Masih Tan Hong tak sadar akan dirinya. "Djiesoepee," dia tanya, "soetjouw kita itu penjahat atau pendekar pedang?" Tiauw Im menjadi sangat mendongkol hingga ia lompat berjingkrak. "Hai, Tan Hong, apakah kau sudah gila?" dia berteriak. Tan Hong pegangi gagang pedangnya, yang ia usap-usap. Masih ia terbenam dalam kesangsian. Justeru itu dari sebuah tikungan terlihat lagi munculnya dua orang. Menampak mereka itu, anak muda ini berdenyut jantungnya, darahnya seperti bergolak. Dua orang itu adalah satu nona yang sedang pepayang seorang lelaki tua yang kakinya pincang, hingga sukar jalannya mereka itu. Dan mereka itu adalah In Loei dan ayahnya! Tan Hong merasakan ia seperti tengah bermimpi. "Adik kecil! Adik kecil!" ia memanggil berulang-ulang, tanpa ia merasa. Air mukanya si nona menjadi berubah, air matanya lantas saja mengembeng. Dia mengawasi kepada si anak muda akan tetapi mulutnya tetap rapat, tak sepatah kata jua keluar dari mulutnya. Ayah In Loei itu berjalan dengan bantuan tongkat dan gadisnya, tindakannya dingkluk-dingkluk. Ia mendaki dengan susah payah, akan tetapi kedua matanya bersinar tajam waktu mengawasi Tan Hong. Pada kedua matanya itu nyata ada sinar dari kebencian yang sangat, hingga Tan Hong, walaupun nyalinya besar, merasa bergidik sendirinya. Justeru itu terdengarlah suara nyaring dari Tiauw Im Hweeshio. "Hai! Siapakah kau?" teriaknya. "Eh, bukankah kau soetee In Teng? Eh, apakah kau belum mati?" Sehabis berseru, pendeta ini lompat kepada orang pincang itu, ia menubruk dan memeluknya, berbareng dengan mana, air mata mereka lantas saja bercucuran deras. In Loei berdiri mengawasi, ia juga tak dapat mencegah keluarnya air matanya. Tan Hong mengawasi nona itu, ketika mata mereka bentrok, si nona lekas-lekas melengos. Tiauw Im bertabiat keras akan tetapi besar kesayangannya kepada adik seperguruannya. Sesudah berisak-isak sekian lama, ia menghela napas. "Baharu sepuluh tahun kita tidak bertemu, mengapa kau jadi begini rupa?" katanya, suaranya menyatakan terharunya hatinya. Pendeta ini ada terlebih tua beberapa tahun daripada In Teng akan tetapi sekarang rambutnya soetee ini telah pada putih, tubuhnyapun sangat loyo, hingga ia nampaknya jadi terlebih tua daripada soeheng-nya itu. Lalu, dengan tak putus-putusnya, Tiauw Im menanyakan soetee-nya itu. In Teng ketahui dari gadisnya bahwa di atas gunung Tangkula ini bakal dilakukan pertempuran, untuk mana saudara-saudara seperguruannya telah menjanjikan suatu pertemuan, walaupun ia menduga pasti Tan Hong akan turut hadir juga tetapi karena keras keinginannya untuk menemui saudara-saudara seperguruannya itu, ia tidak hiraukan perjalanan yang sukar, ia minta sang anak bantu padanya. Demikian mereka melakukan perjalanan selama belasan hari, selama itu mereka sama-sama bertahan hati untuk tidak menimbulkan atau membicarakan hal yang mengenai keluarga Thio. Sejak hari pertama itu, In Teng sudah tahu yang gadisnya menaruh hati terhadap Tan Hong, akan tetapi sejak hari itu, ia mencoba mengawasi dirinya sendiri, tidak ia timbulkan pula urusan mereka, tidak ia tegur puterinya. Akan tetapi sang puteri, In Loei, dapat terka hatinya ayahnya itu, sebagaimana ia lihat dari wajahnya, ia lantas merasa bahwa ia tidak mempunyai harapan lagi akan dapat berkumpul bersama si anak muda pujaannya itu. Ia merasa hatinya bagaikan disayat-sayat. Ia merasa sakit untuk dua hal, yaitu kesatu karena nasib ayahnya dan kedua, karena nasibnya sendiri. Diam-diam ia sering menepas air mata sendiri. Selagi kedua pemuda-pemudi itu bersusah hati masing-masing, keduanya dibikin terkejut oleh suara beradunya senjata tajam, ketika mereka menoleh mereka tampak kedua pedangnya Thian Hoa dan Eng Eng kena disampok ujung bajunya si hantu. Inilah untuk kedua kalinya Tan Hong menyaksikan pedang gurunya itu dibikin tak berdaya oleh Siangkoan Thian Ya, yang ilmu silat bertangan kosongnya benar-benar sangat liehay. In Loei terkejut, karena berbareng ia pun dengar jeritannya Tiauw Im Hweeshio, sedang gurunya, ia dapatkan, nampaknya sangat gelisah. Ia menjadi nekat dengan tiba-tiba, ia lompat maju, pedangnya dihunus — pedang Tjengbeng kiam. "Lekas mundur!" berteriak Yap Eng Eng kepada muridnya itu. Siangkoan Thian Ya lihat majunya si nona, ia hempaskan tangannya. "Nona kecil, kau juga hendak membantu meramaikan?" katanya. Tidak keras hempasan itu, akan tetapi itu pun sudah cukup membuat In Loei rasakan telapak tangannya sakit, sampai hampir saja pedangnya terlepas dan terpental. Justeru itu waktu, satu bayangan putih berkelebat masuk dalam kalangan, lalu terlihat majunya Tan Hong. Siangkoan Thian Ya lantas saja tertawa gelak-gelak. "Kau juga maju?" dia menanya. Tjia Thian Hoa membabat selagi si hantu menegur Tan Hong, atas mana, hantu itu mengebut pula dengan ujung bajunya. Kalau tadi Thian Ya menghempas In Loei dengan tangan kanan, sekarang ia menggunakan tangan kirinya. Serangan si nona disusul cepat oleh si pemuda, karenanya, ujung baju kanannya Thian Ya belum sempat ditarik pulang anteronya, ia dipaksa harus menangkis pemuda itu. "Breeet!" demikian terdengar, lantas ujung tangan baju si hantu kena terbabat kutung pedangnya Tan Hong! Maka terkejutlah hantu dari gunung Tangkula itu. Tapi ia sangat tabah, segera ia mengebut pula, hingga ia membuatnya ke empat pedang dua pasang lawannya itu bentrok pula satu pada lain. "Sungguh sebuah pedang yang tajam!" ia berseru. Tan Hong tidak pedulikan perkataan itu, seperti juga ia sudah berjanji, berbareng sama In Loei, ia terus maju pula menyerang. Dari terpencar pedang mereka berdua lantas tergabung pula. In Loei gunakan tipu silat "Lioeseng kangoat" atau "Bintang mengejar rembulan", dan Tan Hong dengan "Pekhong koandjit" "Bianglala putih menutupi matahari". Kedua pedang itu mengarah masing-masing muka dan dada si hantu, kedua sinarnya, hijau dan putih, berkelebat bersilang. Siangkoan Thian Ya mundur tiga tindak karena serangan berbareng itu, tangan bajunya yang panjang turut digerakkan juga, kemudian secara tiba-tiba, ia balas menyerang. Luar biasa sekali cara menyerangnya itu. Tan Hong tidak berani melayani, ia berkelit ke samping. Thian Ya bergerak terus, kali ini untuk hindarkan serangannya Thian Hoa dan Eng Eng, yang menggantikan murid mereka untuk maju menyerang. Pertempuran lantas berlangsung dengan dahsyat sekali. Siangkoan Thian Ya dikepung empat lawan, yang masing-masing mainkan pedang-pedang tergabung. Pedang ada empat buah tetapi nampaknya seperti sepasang, atau setiap saat seperti berada di depan, di belakang, di kiri dan di kanan. Atau di lain saat lagi, ke empat pedang, seperti terpecah menjadi berlipat banyaknya, hingga si hantu jadi kena dikurung. Sekarang terlihat tegas kepandaiannya orang she Siangkoan ini. Walau ia dikurung musuh-musuh tangguh, dapat ia melawannya dengan baik, dapat ia gunai ketika untuk membalas menyerang. Gesit luar biasa, ia berkelebatan di antara sambaran-sambaran pedang. Tiauw Im menjadi lupa mementang mulutnya, dengan pegangi In Teng, ia berdiri diam mengawasi pertempuran itu. Juga Lim Sian In dan Ouw Bong Hoe berdiri menonton dengan mata mereka dibuka lebar-lebar dan mulut menganga, tanpa merasa keduanya telah saling senderkan tubuh mereka... Dalam saat-saat sangat dahsyat itu, Ouw Bong Hoe seperti tersadar ketika ia dengar satu suara, apabila ia berpaling dengan segera, ia lihat satu orang tua berumur kira-kira lima puluh tahun, berlari-lari mendatangi. Orang itu dandan sebagai petani, kedua tangannya memegang serupa barang. Ketika ia sudah lihat tegas orang itu, ia terkejut. Ia kenali Kimkong Tjioe Tang Gak, murid kepala dari Hian Kee Itsoe. Ia belum dapat melihat tegas barang apa yang dibawa Tang Gak itu, ia hanya menyangka orang tua itu hendak membantui saudara-saudara seperguruannya. Ia menjadi berkuatir untuk gurunya, maka juga tanpa berpikir lagi, ia lompat untuk menghalau, sambil gerakkan juga tangannya dengan totokan Ittjie sian. "Jangan kurang ajar!" membentak Tang Gak sambil menangkis. Lim Sian In bergerak juga, untuk menarik saudara seperguruannya itu, akan tetapi ia terlambat, tangannya Ouw Bong Hoe telah bentrok tangannya Tang Gak, dengan kesudahan Bong Hoe lantas saja terpental jatuh jauhnya setombak lebih. Tang Gak berlari-lari terus, setibanya di tempat pertempuran, ia terus tekuk separuh dari kedua lututnya, kedua tangannya diangkat naik bersama barang yang ia bawa itu. Ia pun segera berkata: "Guruku menitahkan teetjoe menanyakan kesehatan loojianpwee." Nyata Kimkong Tjioe ada membawa karcis nama dari Hian Kee Itsoe. Ia telah bertindak menuruti aturan kaum kangouw, ia membuat kunjungan kehormatan terhadap orang yang terlebih tinggi tingkatnya. Menurut aturan, Ouw Bong Hoe tidak boleh merintangi, malah Siangkoan Thian Ya harus menyambutnya sendiri. Akan tetapi waktu itu ia justeru dikurung empat lawannya... Sekonyong-konyong terdengar si hantu tertawa gelak-gelak. "Tak usah menggunakan banyak adat peradatan!" katanya nyaring. Lalu dengan tiba-tiba ia mengibaskan kedua tangan bajunya, menyusul mana, jari-jari tangannya menunjuk ke arah lawan-lawannya. Mendapatkan kibasan itu, dengan sendirinya Thian Hoa berempat segera lompat mundur. Siangkoan Thian Ya tidak hentikan gerakannya, tetapi ia bukan maju terus akan serang ke empat lawannya itu, ia hanya berlompat ke arah Tang Gak, untuk dengan kedua tangannya menyambuti karcis nama Hian Kee Itsoe. Gerakannya itu sangat cepat, bagaikan ular naga menyambar menyedot air! Tang Gak terperanjat, tetapi ia tidak bilang suatu apa, ia hanya berlompat bangun, untuk terus berdiri di pinggiran. Di waktu itulah Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In, dengan berbareng telah perdengarkan jeritan yang mengerikan. Inilah disebahkan Tan Hong telah lompat maju dengan serangannya kepada Siangkoan Thian Ya, ujung pedangnya mengarah pundaknya hantu itu. Thio Tan Hong telah pahami kitab Hiankong Yauwkoat, ia telah peroleh hasilnya. Kitab itu berisikan penuntun atau pengajaran untuk si peyakin awas matanya, tajam otaknya, kuat ingatannya, demikianlah Tan Hong, dengan menyaksikan saja latihan orang lain, tanpa belajar pula dia telah dapat menyangkok kepandaian orang lain itu. Sekian lama Tan Hong sudah saksikan Siangkoan Thian Ya bertempur, ia lihat tegas gerak-gerakannya untuk menghalau pelbagai serangan siangkiam happek dari Thian Hoa dan Eng Eng, dengan sendirinya ia menginsafi ilmu silatnya si hantu itu, maka begitu ia turut maju bersama In Loei, ia dapat membuktikan sendiri liehaynya lawan. Mula-mula ia masih gunakan tipu-tipu dari siangkiam happek, untuk bersama si nona membantui guru mereka mendesak jago tua itu. Sayang baginya, lebih-lebih lagi In Loei, mereka masih kalah dalam hal latihan ilmu dalam, karena mana, ia tidak bisa mendesak dengan sungguh-sungguh terhadap lawannya yang tangguh itu, jikalau tidak, mungkin ia dapat membuatnya Siangkoan Thian Ya terperanjat. Siangkoan Thian Ya seorang yang besar nyalinya, dia pun biasa "suka menang sendiri," demikian di waktu menyambuti karcis nama Hian Kee Itsoe, ia telah pertontonkan ketangkasannya hingga ia membuatnya Tang Gak kagum. Walaupun demikian, di matanya Tan Hong, ia telah tinggalkan sebuah lowongan, karena mana, begitu dia mundur, Tan Hong terus lompat maju pula, untuk menyerang ke arah jalan darah kintjeng hiat di pundak kiri. Pedangnya itu pun segera disusul secara wajar oleh pedangnya In Loei, dan ujung pedang si nona menuju kepada jalan darah serupa di pundak kanan. Jalan darah kintjeng hiat itu adalah suatu jalan darah yang sangat berbahaya, siapa terluka pada bahagian itu, bisa rusak juga tulang piepee yang menyambung dengannya, dan itu artinya, akan habislah tenaga dilengannya dan kepandaian ilmu silatnya. Tjia Thian Hoa menjadi sangat girang menampak serangan murid itu, berbareng bersama Yap Eng Eng, iapun maju, untuk bantu menyerang juga. Begitu memang jalannya siangkiam happek, yang bergerak saling susul atau sewaktu-waktu bergerak berbareng. Di saat ujung pedangnya akan mengenai sasarannya, dan Tan Hong hendak mengucapkan maaf, akan tetapi belum sempat ia membuka mulutnya, ia sudah lantas dibikin terkejut oleh sambutannya Siangkoan Thian Ya. Pundaknya jago tua ini turun dengan mendadak, pedang Tan Hong seperti tertarik, lalu seperti terbetot dan menempel, hingga tidak dapat lantas ditarik pulang. Juga ujung pedang di waktu mengenai pundak rasanya seperti menikam kapas. Kejadian serupa dialami juga oleh In Loei. Thian Hoa dan Eng Eng tidak insyaf bahwa murid-muridnya tengah terancam bahaya, mereka menyerang terus. Mereka memang ada terlebih liehay ilmu dalamnya dibanding dengan murid-murid mereka itu. Dengan tiba-tiba Siangkoan Thian Ya berseru: "Bagus!" terus kedua tangannya mengibas, ujung bajunya pun mengebut, dengan begitu kedua pedang Thian Hoa dan Eng Eng telah kena tersambar seperti tergulung, terbawa ke kiri dan kanan, hingga gagallah serangan mereka itu. Saat-saat yang hebat berpeta di depan mata. Kedua pihak telah menghadapi ancaman bencana masing-masing. Ke empat pedang seperti berdiam, juga si hantu diam tak bergerak. Kedua pihak sama-sama mengempos semangat masing-masing, yang satu mempertahankan kekangannya atas ke empat pedang, yang lain berdaya untuk membetotnya, untuk meneruskan menikam... Siangkoan Thian Ya liehay tetapi sekarang ia merasakan berat usahanya akan terus mempengaruhi senjata-senjata lawan-lawannya itu, yang ia niat rampas, atau sedikitnya membuat terlepas dan terlempar. Di lain pihak, Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In berdiri tercengang, mereka bergelisah di dalam hati. Tentu sekali mereka tidak berani maju, untuk memisahkan kedua pihak itu, untuk mana kepandaian mereka belum cukup... Dalam saat tegang itu, tiba-tiba terlihat Siangkoan Thian Ya mundur satu tindak, pundak kanannya diturunkan sedikit. Tubuh In Loei bergemetar, begitupun pedangnya. Dalam keadaan seperti itu, Thian Hoa dan Eng Eng mencoba akan mendesakkan pedang mereka, wajah mereka sendiri nampak sangat tegang, menandakan mereka telah memusatkan tenaganya. In Teng telah saksikan itu, hatinya goncang. Ia sangat berkuatir untuk gadisnya. Ia telah lihat ancaman bahaya yang hebat. Syukur ketegangan itu tidak, berjalan lama. Sekonyong-konyong terdengar satu suara tertawa yang wajar tetapi nyaring, di antara mereka tahu-tahu telah muncul satu orang tua! Orang tua ini beroman bersih, alis dan kumisnya telah putih semua, kulit mukanya bersemu dadu dan segar, mirip dengan kesegarannya satu bayi, sedang sikapnya alim tetapi berpengaruh. Kedatangannya orang tua ini telah membikin Tiauw Im bersama In Teng menjadi girang tak kepalang. "Soehoe." teriak mereka dalam kegirangannya yang meluap-luap. Nyatalah orang tua itu Hian Kee Itsoe adanya! Orang tua ini bertindak dengan sabar ke arah kalangan pertempuran, sembari bertindak ia tertawa bergelak-gelak. "Hai, sahabat tua bangka!" serunya. "Kau bergusar terhadap bocah-bocah, apakah artinya itu?" Ia tidak hanya bergurau, selagi datang mendekati iapun menggerak-gerakkan kebutan di tangannya, menyambar kepada ke empat pedang dari murid-murid dan cucu-muridnya, atas mana terdengarlah suara nyaring dari semua pedang itu, yang menjadi mental sendirinya. "Terhadap orang yang terlebih tua tak dapat kamu berlaku kurang hormat! Lekas mundur!" Semua ke lima orang itu melepaskan napas lega, lebih-lebih In Loei. Nona ini paling rendah tenaga dalamnya, ia sudah hampir tak dapat pertahankan diri, syukur baginya, Thian Hoa dan Eng Eng turut maju, ia jadi masih bisa mencoba bertahan terus. Di lihat keseluruhannya, pihak Thian Hoa menang sedikit di atas angin, tetapi karena ketangguannya Siangkoan Thian Ya, mereka tidak mampu berbuat lebih banyak daripada mempertahankan diri saja. Si hantu menghela napas, terus ia berkata: "Ah! Setelah lewat tiga puluh tahun, kita bertemu pula, nyata kau telah sempurnakan dirimu! Kau telah mempunyai murid-murid yang berbakat ini. Kini aku insyaf, sahabatku, mulai saat ini aku tak ingin pula memperebuti kedudukan ketua Rimba Persilatan denganmu!..." Hian Kee Itsoe tertawa pula. "Laohia, tak usah kau terlalu merendahkan diri," ia berkata. "Bicara sebenarnya akulah yang mesti mengalah!" Hian Kee Itsoe telah berdaya keras akan menciptakan ilmu silatnya ini, siangkiam happek, atau lebih benar Goangoan Kiamhoat, ia percaya pasti bahwa ia bakal menjagoi di kolong langit ini, akan tetapi di luar sangkaannya, Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng berdua masih belum sanggup tunduki jago tua itu, si hantu dari Tangkula, baharulah setelah mereka dibantu Tan Hong dan In Loei, pertandingan menyampaikan tingkat seimbang. Karena itu, dengan sejujurnya, ia mesti kagumi si hantu itu, sebagaimana si hantu pun mengagumi padanya. Begitulah kedua pihak saling menyayangi, saling menghormati, keduanya saling memuji, saling merendah, tetapi selagi mereka berbicara, tiba-tiba mereka semua dengar satu seruan yang nyaring tapi halus, yang seperti mendengung di tengah udara, menyusul mana, di antara mereka segera tambah satu orang lain lagi! Tan Hong adalah orang yang melihat paling dulu dan segera ia kenali si nyonya tua dari hutan bambu tjietiok lim! Wajahnya Siangkoan Thian Ya lantas saja menjadi berubah, dari mulutnya pun terdengar suara sangat perlahan: "Sukar melupai budi dan penasaran, sukar melupai kau — Kecuali sang cinta dan peri kebenaran..." Sekonyong-konyong Tan Hong majukan pertanyaan: Di antara kamu siapa sebenarnya yang disebut kiamkek dan si penjahat?" Mendengar itu, Thian Hoa terkejut. "Tan Hong ada satu anak baik, kenapa dihadapan kedua iootjianpwee ini ia berlaku begini tidak tahu aturan?" tanya ia dalam hatinya. Ia pun heran akan menyaksikan roman orang beda daripada biasanya itu. Siangkoan Thian Ya tertawa, ia lantas berkata bagaikan menjawab Tan Hong. Ia kata: "Tjhuang Tze di siang hari bermimpikan kupu-kupu dan mimpi yang pendek paling gampang sadarnya, maka itu untuk apa kau menanyakannya lagi siapa si kiamkek dan siapa si penjahat? Hari ini si kiamkek dan si penjahat, apabila mereka tidak bertempur, tidak nanti mereka kenal satu pada lain, maka di sini terimalah hormatku!" Dengan tiba-tiba ia menjura terhadap Hian Kee Itsoe, sebelah tangannya dimajukan dengan jari-jari tangannya dikerahkan tenaganya, dalam ilmu silatnya Ittjie sian yang paling liehay! Siangkoan Thian Ya telah tersadar akan tetapi tetap ia masih mempunyai tabiat yang suka menang sendiri itu, walaupun ia sudah menyerah kalah tapi sekarang, melihat datangnya secara tiba-tiba nona kekasihnya dari tiga puluh tahun yang lampau, nona mana justeru mengawasi Hian Kee Itsoe dengan wajahnya bersenyum bukannya bersenyum, kumatlah cemburuannya, maka lagi satu kali hendak ia mencoba saingannya itu! Hian Kee Itsoe bersenyum, ia rangkap kedua tangannya untuk membalas hormat sambil menjura, kedua tangan itu dimajukan ke depan. Atas itu terlihatlah ujung bajunya si hantu bergerak bagaikan ditiup angin. Lantas saja tubuh gurunya Thian Hoa itu bergoyang dua kali, segera ia memberi hormat pula dengan dua tangannya terangkap sambil berkata: "Laohia, ilmu silatmu adalah yang nomor satu di kolong langit ini, aku rela menyerah kalah!" Lalu sehabisnya berkata itu, ia putar tubuhnya, untuk bertindak turun gunung. Semua orang tidak melihat suatu apa kecuali si nyonya tua dan Siangkoan Thian Ya yang mengerti sendiri. Perbuatannya Hian Kee Itsoe itu adalah perbuatan suka mengalah. Si hantu sudah menyerang terlebih dahulu akan tetapi dengan gampang serangannya itu telah dipunahkan Hian Kee Itsoe, yang gunakan tenaganya berbareng dia rangkap kedua tangannya, agaknya Hian Kee memberi hormat tapi sebetulnya dia menangkis, hingga ujung bajunya Thian Ya bergoyang. Bahwa tubuh Hian Kee pun goyang sedikit, sebagai juga dia kalah tenaga, itulah melainkan disengaja. Hian Kee Itsoe hendak berlalu, baharu ia bertindak, atau si nyonya tua telah berlompat kepadanya, dengan tongkat bambunya nyonya itu gaet ujung bajunya untuk ditarik. Mau atau tidak, kakek gurunya In Loei ini menoleh sambil menyeringai. "Aku sudah menyerah kalah, kau masih tahan aku, hendak apakah kau?" dia tanya. Si nyonya tidak menyahuti, yang menjawab adalah Siangkoan Thian Ya, yang berkata: "Hian Kee si orang tua, tidak dapat aku terima budi kebaikanmu ini! Yang seharusnya angkat kaki adalah aku! Kaulah yang mesti berdiam di sini, semoga kau nanti dengan baik-baik melayani dia!" Dengan "dia," hantu ini maksudkan si nyonya tua. Setelah itu, ia pun hendak berlalu. Si nyonya tua sudah lantas menggape, hingga Thian Ya merandek. "Dua-dua kamu tidak usah pergi!" berkata dia sambil tertawa. "Bicara tentang ilmu silat, kamu keduanya adalah yang nomor satu di kolong langit ini, dari itu tak usah kamu saling berebutan lagi, juga tak usah kamu saling mengalah!" Nyonya tua ini mengatakan secara tidak berat sebelah. Ia telah lihat tadi Thian Ya terjatuh di bawah angin daripada Hian Kee, akan tetapi ia berkesimpulan karena sebelumnya si hantu telah melayani Thian Hoa dan Eng Eng dan kemudian terkepung Tan Hong dan In Loei, karena mana, mau atau tidak, tenaganya tentu berkurang banyak. Bila tidak demikian, masih belum dapat dipastikan, dia dengan Ittjie sian-nya yang menang atau Hian Kee Itsoe dengan Kimkong tjioe-nya. Hian Kee Itsoe mengkerutkan keningnya. "Jikalau bukannya kau yang menghendaki kami bertanding, siapakah yang kesudian membangkitkan keruwetan ini?..." katanya di dalam hatinya. Siangkoan Thian Ya pun nampaknya masgul. Si nyonya tua sudah lantas berkata pula, tetapi lebih dahulu ia menghela napas. "Sepejaman mata saja, tiga puluh tahun telah berlalu..." demikian katanya, "dan kita bertiga telah menjadi tua... Kerunyaman di masa kita masih muda, apabila itu dipikirkan sekarang, sungguh sangat lucu agaknya! Berapa tinggikah usianya manusia? Maka kalau kita merunyamkannya pula, pasti kita akan ditertawai orang-orang jaman belakangan. Maka segala kerunyaman kala muda itu, yang tadinya tak dapat dibereskan, sesudah tua sekarang, harus dibereskannya! Engko Hian Kee, adik Siangkoan, marilah sejak saat ini, kita bertiga jangan berpisahan pula, mari kita sama-sama meyakini ilmu yang terlebih tinggi, supaya dapat kita mewariskan sedikit kepada anak-anak muda! Tidakkah itu bagus?" Hian Kee tergerak hatinya mendengar kata-kata itu, yang dikeluarkan dengan sesungguh hati, maka juga kesannya yang buruk selama tiga puluh tahun terhadap nyonya itu, sekarang dapat ia lenyapkan dalam tempo yang pendek sekali. Juga hatinya, Siangkoan Thian Ya menjadi lemah mendengar orang memanggil mereka engko dan adik, ia mendengar itu sebagai juga suaranya Siauw Oen Lan pada tiga puluh tahun yang lampau, di saat orang masih menjadi nona remaja yang cantik manis. Ia pun menjadi berpikir: "Benarlah apa yang dikatakannya, dia nyata ada terlebih insyaf daripada aku. Ganjalan semasa muda itu sudah selayaknya sekarang dibikin habis..." Sekarang, sesudah mereka semua berusia tinggi, di antara mereka tidak ada lagi soal pernikahan, lebih pula soal cinta, maka sungguh tepat jikalau mereka berkumpul bersama, akan hidup tenang sambil memperdalam terus ilmu silat mereka, untuk menjadi sahabat-sahabat atau saudara angkat. Kenapa si nyonya tua, Siauw Oen Lan, dapat mengucap demikian? Itulah kesadarannya, hasilnya bersamedhi selama tiga puluh tahun di dalam hutan bambu. Selama itu, sangat sukar untuk ia mengatasi dirinya. Terhadap Hian Kee Itsoe ia penasaran dan membenci, terhadap Siangkoan Thian Ya ia putus harapan. Lama ia berpikir, hatinya panas dan dingin bergantian. Ia mencoba berlaku tenang dan sabar, ia mencoba memikir dengan kesadaran, menimbang-nimbang keruwetannya sendiri disebabkan cintanya terhadap Hian Kee dan Thian Ya. Di akhirnya ia merasa, bukankah semua itu kosong belaka? Ketika akan tiba saatnya perjanjian pertemuan tiga puluh tahun, ia menjadi sangat menyesal. Bukankah karena urusannya maka kedua jago jadi bentrok, dengan menunggu tiga puluh tahun untuk mengambil keputusan? Maka itu, cepat-cepat ia berangkat ke gunung Tangkula, untuk datang sama tengah, untuk mengakuri satu pada lain. Demikian ia muncul di saat yang tepat. Siangkoan Thian Ya masih diam berpikir, ketika Lim Sian In, muridnya yang perempuan, menghampiri padanya. "Soehoe, tolong tengok Ouw Soeheng..." berkata murid ini. Thian Ya segera berpaling kepada muridnya itu. Ia dapatkan Ouw Bong Hoe sedang duduk numprah di tanah, dari kepalanya menghembus uap putih, yang seperti mengepul-ngepul. Ia lantas menjadi kaget. "Ia terkena Kimkong tjioe!..." katanya terkejut. Mendengar itu, Tang Gak lompat kepada gurunya, romannya gelisah. "Selagi teetjoe menghaturkan karcis nama kepada iootjianpwee, dengan tidak disengaja teetjoe kena lukai dia," ia akui. "Sekarang teetjoe bersedia untuk tolong padanya dengan emposan semangatku." Hian Kee pun telah awasi Ouw Bong Hoe, mendengar perkataan muridnya, ia menggeleng-geleng kepala. "Siangkoan Laohia," kemudian katanya kepada Thian Ya, "kali ini benar-benar aku takluk kepadamu! Sungguh aku tidak sangka muridmu itu mempunyai ilmu dalam yang demikian sempurna, kalau dibanding dengan aku, ternyata apa yang sebegitu jauh telah aku yakini adalah ilmu sesat!" Kata-kata ini membuat heran murid-murid kedua pihak. Kenapa Hian Kee mengucap demikian? Siangkoan Thian ya menyeringai. "Jikalau kepandaianmu itu dikatakan ilmu sesat, lebih-lebih lagi kepandaianku!" ia berkata. Lantas ia bertindak kepada Ouw Bong Hoe, untuk raba nadinya dan meneliti wajahnya. Ia segera perlihatkan roman keheranan yang bertambah-tambah. Pukulan Kimkong tjioe sangat liehay, Ouw Bong Hoe telah terkena pukulan itu, dengan mengimbangi latihannya, ia terluka sedikitnya mesti sampai tujuh hari baharulah ia dapat sembuh, akan tetapi waktu gurunya periksa padanya, guru ini dapatkan nadinya jalan seperti biasa, jalan darahnya pun tidak terganggu. Dengan begitu, dengan mengempos semangatnya sendiri, segera juga Bong Hoe akan sembuh dan pulih kesehatannya seperti biasa. Namun apa yang membikin guru ini menjadi lebih heran pula, ialah ia dapat kenyataan caranya sang murid bernapas bukanlah menurut cara pengajarannya, sedang tenaga dalamnya sang murid tidaklah bertambah banyak. Maka adalah aneh, setelah tergempur Kimkong tjioe, Ouw Bong Hoe dapat menolong dirinya sendiri dengan masih tetap numprah untuk memusatkan tenaganya sendiri. Bahna herannya untuk sesaat Siangkoan Thian Ya berdiri bengong, kemudian dengan tiba-tiba ia tepuk punggung muridnya sambil menyerukan: "Bangun!" Menuruti seruan itu, Ouw Bong Hoe lantas lompat bangun, ia telah sembuh dari lukanya, kesehatannya pun pulih seperti biasa. "Kau dapat petunjuk dari orang berilmu siapa?" Siangkoan Thian ya tanya muridnya setelah murid itu menghaturkan terima kasih kepadanya. "Jikalau kau benar telah dapatkan satu guru lain, maka tak usahlah kau belajar terlebih jauh padaku!" Bong Hoe menjadi ketakutan. "Maaf, soehoe, maaf..." berkata ia. "Dengan sebenarnya teetjoe tolong diri dengan ilmu kepandaiannya lain kaum tetapi sama sekali bukannya teetjoe telah menuntut pelajaran kepada lain guru..." Guru itu tertawa dingin. "Tanpa orang beri petunjuk padamu, apa itu artinya kau dapatkan kepandaianmu sendiri?" dia tanya, bengis. Bong Hoe masih saja ketakutan, akan tetapi belum lagi ia memberikan penyahutan, Tan Hong sudah majukan diri di antara mereka, tapi pemuda ini terlebih dahulu memberi hormat sambil menjura kepada kakek gurunya. "Murid siapakah pemuda ini?" bertanya orang tua itu. "Dialah Thio Tan Hong, murid teetjoe," Thian Hoa memberikan jawaban. Hian Kee tertawa bergelak. "Muridmu nyata ada jauh terlebih liehay daripada muridku!" berkata dia. "Di belakang hari, dalam kemajuannya, bukan saja dia bakal melampaui kamu semua, bahkan aku sendiripun..." Thian Hoa heran berbareng girang. "Ah, soehoe terlalu memuji padanya!" ia bilang. Tan Hong tidak pedulikan pembicaraan antara kakek guru dan gurunya itu, setelah memberi hormat pada sang kakek guru, ia maju buat memberi hormat kepada Siangkoan Thian Ya. "Aku tahu siapa yang telah memberi petunjuk kepada dia," ia kata sambil tunjuk Bong Hoe. Si hantu heran, ia mengawasi muka orang. "Siapakah?" ia tanya. "Pemberi petunjuk itu adalah seorang yang telah hidup lebih daripada seratus tahun yang lalu," menyahut Tan Hong. "Ngaco belo!" bentak Thian Ya. Ia heran dan tak mempercayainya. Ia lantas berpaling kepada Hian Kee Itsoe, untuk mengatakannya: "Cucu muridmu ini telah berdiam lamanya tujuh hari di dalam kamar batuku, telah aku periksa padanya, aku dapat kenyataan dia terganggu urat syarafnya disebabkan gangguan pada hatinya. Dia masih belum sadar betul, dari itu perlulah kau rawat dia baik-baik." Mendengar itu, Thio Tan Hong tertawa berkakakan. "Siapa bilang urat syarafku terganggu dan aku tak sadar benar?" bertanya dia. "Sebaliknya aku tahu benar, justeru kaulah yang terganggu asmara! Dan pada tiga puluh tahun dulu, kaulah satu penjahat! Kau repoti dirimu dengan asmara, kau sebaliknya tidak pedulikan mati atau hidupnya murid-muridmu, malah kau terang-terangan hendak pisahkan mereka itu hidup-hidup! Aku tidak puas terhadap sepak terjangmu itu maka aku telah minta almarhum orang tua itu beri petunjuk ilmu kepada muridmu ini!" Kata-kata ini membuat heran semua orang, lebih-lebih orang tidak mengerti kenapa Tan Hong berani bersikap demikian kurang ajar terhadap Siangkoan Thian Ya. Hian Kee heran akan tetapi ia diam saja, otaknya tengah bekerja. Beda daripada yang lain-lain, kakek guru itu tidak pandang perkataannya cucu muridnya itu sebagai ocehan belaka. Siangkoan Thian ya pun heran sekali, ia terkejut, tetapi ia tidak menjadi gusar, malah sebaliknya, ia ingat suatu hal. "Bong Hoe!" ia segera tanya muridnya, "benarkah apa yang dia katakan ini?" "Sedikit pun tidak salah," menyahut murid itu. Sekarang tidak lagi ia takut seperti tadi. Ia malah rogo sakunya, akan keluarkan kitabnya Tan Hong yang dipinjamkan kepadanya, ia serahkan itu kepada gurunya. Si hantu menyambuti kitab yang kecil itu, segera ia lihat judulnya ialah "Hiankong Yauwkoat". Di bawah itu juga ada huruf-huruf yang menandakan nama penulisnya, bunyinya: "Dikarang oleh Pheng Eng Giok". Tentu saja, menampak itu, ia menjadi melengak. Tan Hong tertawa bergelak-gelak. "Kau lihat, aku dustakan kau atau tidak?" anak muda ini tanya. Ia bicara seperti terhadap sesamanya. "Bukankah penulis itu seorang tua almarhum dari seratus tahun yang lampau, yang pernah menjadi gurunya dua kaisar? Kau buka kitab itu dan periksa sendiri! Apakah kau masih hendak berkukuh bahwa orang mesti bertubuh perjaka tulen untuk dapat mempelajari ilmu silatmu yang kau namakan Ittjie sian itu?" Siangkoan Thian Ya sudah lantas periksa kitab tersebut, walau ia melihatnya sepintas lalu, ia menjadi terperanjat tak kepalang. "Hai, kiranya kitab warisannya Pheng Hoosiang berada di dalam tanganmu!" dia berseru. "Jadi kaulah yang pinjamkan kitab kepadanya?" dia menegaskan, sambil tunjuk muridnya. Tan Hong tertawa pula. Ia tidak jawab si hantu, hanya kemudian, ia mengoceh sendirian: "Semoga air sorga, dapat menyiram pelbagai pasangan. Semua siapa saling menyinta, sudah selayaknya dapat berumah tangga..." Hatinya Siangkoan Thian Ya tergerak dengan kata-kata itu, sehingga ia menjadi bimbang. Iapun menginsafi artinya kitabnya Pheng Hoosiang itu. Ia juga tergerak hati untuk ketulusan dan kedermawanan Tan Hong. Untuk kebahagiaannya Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In, bukankah pemuda itu berani berkurban meminjamkan kitabnya itu, suatu kitab istimewa? Nyata si hantu pandai berpikir, ia cerdas dan sadar. Sejenak itu ia lantas tertawa bergelak-gelak. "Saudara kecil, sungguh kau hebat!" serunya. Ia tertawa pula seraya pegangi tangannya si anak muda. "Kakak Siangkoan!" berkata Hian Kee, yang pun tertawa, "kau nyata masih sama seperti tiga puluh tahun yang lampau!" Si hantu tidak jawab sahabat atau saingan itu, sambil lepaskan tangannya Tan Hong ia berpaling kepada Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In. "Kamu adalah muridku yang baik, selama belasan tahun telah aku menghalangi jodohmu," katanya. "Sekarang aku hapuskan peraturanku yang melarang pernikahan kamu berdua, dan rumah batu ini juga aku hadiahkan kepada kamu." Kedua murid itu girang bukan main, dengan lantas mereka berlutut di depan guru itu untuk haturkan terima kasihnya. "Sepantasnya kamu menghaturkan terima kasih terhadapnya!" berkata si hantu sambil tertawa dan menunjuk Tan Hong. Dalam kegirangannya yang berlimpah-limpah itu, Ouw Bong Hoe tidak pikir lagi tentang usia atau tingkat tinggi atau rendah, segera ia memberi hormat pada si pemuda she Thio untuk haturkan terima kasihnya. Iapun lantas kembalikan kitab "Hiankong Yauwkoat." Bong Hoe kalah cerdas dari Tan Hong akan tetapi, selama beberapa hari ia membaca kitab itu, telah dapat ia ambil sarinya, maka itu kitab sudah tak perlu lagi baginya. Senang Siangkoan Thian Ya menyaksikan segala apa dihadapannya itu, kembali ia tertawa sendirinya. "Seumurku pernah aku melakukan pertempuran besar dan kecil tak kurang daripada beberapa ratus kali," katanya kemudian, "akan tetapi pertempuran hari ini adalah yang paling memuaskan! Memang tidak berhasil aku merebut nama sebagai kepala kaum Rimba Persilatan akan tetapi sekarang, budi dan permusuhan, telah dapat dijelaskan dan dilenyapkan! Kakak Hian Kee, sekarang telah tiba waktunya untuk kita pergi!" demikian ia mengajak. Akan tetapi, terus ia menoleh kepada Bong Hoe, sambil mengatakannya: "Lihat, kakak seperguruanmu telah datang dan datangnya di saat yang tepat ini!" Memang itu waktu tertampak Tantai Mie Ming tengah mendaki gunung, mendatangi ke arah mereka. Ia heran akan menyaksikan Hian Kee Itsoe dan gurunya berdiri berdampingan selaku dua sahabat, bukannya sebagai musuh satu pada lain. Memang ia datang membawa pesan dari Thio Tjong Tjioe, yang telah minta bantuannya untuk menemui Siangkoan Thian Ya, untuk mencegah si hantu nanti celakai Tan Hong. Sekarang ia menampak demikian, hatinya lantas menjadi lega sekali. Ia pun telah saksikan soetee dan soemoay-nya, Bong Hoe dan Sian In, berdiri rapat di samping guru mereka, hal itu menambah kelegaan hatinya, tapi masih dalam keheranan... Dengan Tantai Mie Ming Tan Hong hidup bersama semenjak kecil, selagi sekarang kesadarannya telah pulih enam atau tujuh bahagian, kapan melihat sahabatnya itu, Thio Tan Hong segera juga ingat segala apa dengan baik sekali. Artinya, ia ingat perihal dirinya sendiri, perihal permusuhan pribadi atau negara. Demikian, dalam kesadarannya, ia lari memapaki Mie Ming. "Tantai Tjiangkoen, ayahku tak kurang suatu apa, bukan?" bertanya ia. "Ayahmu justeru mengharapkan pulangmu!" adalah jawaban yang singkat dari jenderal itu. "Bukankah kamu telah kenal lama satu dengan lain?" Siangkoan Thian Ya menyelak, menanya kedua orang muda itu ketika menyaksikan sikap erat rapat dari mereka itu. "Harap soehoe ketahui, dia adalah junjunganku yang muda," menjawab Tantai Mie Ming, sang murid. Mendengar itu, Siangkoan Thian ya tertawa besar. "Saudara Hian Kee!" ia berkata, lihatlah, bukankah murid-murid kita telah sejak siang-siang menjadi orang sendiri, karenanya, untuk apa kita saling berebut pengaruh pula?" Hian Kee Itsoe tidak menjawab, ia melainkan bersenyum. Thian Ya lantas panggil Mie Ming datang dekat kepadanya. "Telah aku ambil putusan untuk meninggalkan tempat ini," berkata dia kepada muridnya itu. "Sian In telah lama ikuti aku, maka itu, rumah ini aku sudah serahkan kepadanya sebagai hadiah pernikahannya, supaya dia dapat hidup tenteram bersama Bong Hoe. Maka itu sejak hari ini, kaulah ahli waris dari partai kita, kau menggantikan aku menjadi ketua. Harapanku adalah kau nanti tilik dan anjurkan kedua saudara seperguruanmu ini agar mereka tetap rajin memperdalam pelajarannya." Kedua matanya Lim Sian In menjadi merah. "Bukankah terlebih baik soehoe tetap berdiam di sini?" katanya dengan sangat berduka. "Kenapa soehoe hendak pergi? Baiklah soehoe berikan ketika kepadaku untuk merawat soehoe lagi beberapa tahun, untuk sedikitnya dapat membalas budi soehoe." Siangkoan Thian Ya, sang guru, tertawa. "Pada tiga puluh tahun dulu, karena aku tidak sanggup mengalahkan Hian Kee si tua bangka, telah aku kabur kemari, untuk tinggal di sini sambil meyakini lebih jauh ilmu silatku," ia berkata, "akan tetapi sekarang segala apa telah dibikin habis, untuk apa jikalau aku tidak kembali ke Tionggoan? Kau telah punyakan kawanmu, maka itu, aku juga hendak cari kawanku — dua orang!" Sementara itu, Tantai Mie Ming telah berlutut kepada gurunya, untuk menghaturkan terima kasih. Mukanya Sian In menjadi merah, akan tetapi ia masih dapat berbicara, sambil tertawa ia bilang: "Asal soehoe beruntung, akupun girang!" Lantas, bersama-sama Bong Hoe, ia memberi hormat sambil berlutut juga. "Menampak ini, akupun perlu menyelesaikan sesuatu," berkata Hian Kee. Lantas ia panggil berkumpul murid-muridnya. Kemudian, baharu ia berkata pula. "Tang Gak berusia paling tua dan jujur, iapun paling lama mengikuti aku, maka itu, mulai hari ini dan selanjutnya dialah yang akan mengepalai partai kita," ia berkata. "Kamu, Thian Hoa dan Eng Eng, dasarmu berdua adalah yang paling baik, kamu juga telah masing-masing mewarisi separuh dari ilmu silatku, yaitu ilmu pedang Goangoan Kiamhoat, mulai hari ini aku ijinkan kamu untuk saling menurunkan pelajaran kamu itu, supaya siangkiam happek, sepasang pedang terangkap menjadi satu, kamu berdua turut bergabung bersama. Aku tugaskan toasoeheng-mu untuk mengurus pernikahanmu." Setelah belasan tahun, baharu pada saat ini terwujud pengharapannya, cita-citanya Thian Hoa dan Eng Eng, mereka menjadi girang tak kepalang, akan tetapi di muka orang ramai itu, tidak merdeka mereka lampiaskan itu, mereka hanya saling mengawasi sambil bersenyum. Terhadap guru mereka itu, mereka menghaturkan terima kasih sambil berlutut. Tang Gak menghampirkan kedua adik seperguruan itu, untuk beri selamat kepada mereka. Memang ia tahu hatinya soetee dan soemoay itu, sekian lama ia hanya bisa menyesal yang mereka itu tak dapat menikah satu pada lain. Sebenarnya, ia sendiripun menaruh hati kepada Eng Eng akan tetapi mengetahui mereka itu saling menyinta, ia suka mengalah, hingga untuk banyak tahun, ia melainkan hiburkan diri saja. Ia ada demikian sadar hingga ia tidak iri hati kepada Thian Hoa, tidak membenci kepada Eng Eng, sebaliknya, ia menyesal yang mereka pun tak dapat menikah karena larangan guru mereka. Lalu Hian Kee berkata pula: "Di antara kamu, In Teng adalah yang paling pendek harinya mengikuti aku, pelajarannya pun belum rampung, sudah begitu, sekarang ia pun menderita. Hal ini membuat aku menyesal, tak puas hatiku. Maka itu aku ingin, seberlalunya aku, supaya kamu beramai menilik ia baik-baik. Tang Gak, kau wakilkan aku mendidik ilmu dalam kepadanya. Asal ia suka meyakininya, ia pun masih dapat memperoleh hasil yang memuaskan." In Teng jadi sangat terharu hingga ia menangis menggerung-gerung. Tan Hong menjadi sangat terharu, ia menyesal bukan main, hingga tidak berani ia berpaling kepada In Loei. "Jangan terlalu berduka, soetee," Tang Gak menghibur. "Kau telah ketolongan, kau telah bertemu pula dengan puterimu, sekarang pun soehoe menaruh belas kasihan terhadapmu, sudah selayaknya kau merasa girang." Hian Kee usap-usap rambutnya In Loei, ia kata kepada muridnya: "Kau telah punyakan puteri yang bagaikan kumala dan bunga ini, yang pun berbakti kepadamu, kau justeru jauh lebih menang daripada aku! Asal kau tidak melakukan sesuatu yang memalukan, sudah seharusnya kau hidup senang. Kau pun telah punyakan putera yang berbakti dan berpangkat, walaupun kau bercacat, kau tak usah berduka, maka janganlah kau menangis terlebih jauh." In Teng berhenti menangis, ia seka air matanya. Ia sangat bersyukur untuk kebaikan hatinya guru itu, yang telah melepas budi banyak terhadapnya. Memang benar nasihatnya guru itu. Akan tetapi ia masih kandung kemurkaan, ia masih mendendam sakit hati, mengenai itu ia menghadapi rintangan... Di luar sangkaannya, putera dari musuh besarnya justeru adalah keponakan muridnya sendiri dan keponakan murid itu justeru paling dipuji gurunya. Sudah pasti, tidak dapat ia membalas sakit hati terhadap putera musuhnya itu, malah untuk memberitahukan saja halnya itu kepada gurunya pun ia tidak dapat lakukan. Mana ia bisa buka mulutnya? Karena ini, ia menjadi berduka. Lalu terdengar suaranya Hian Kee Itsoe, yang berbicara sambil tertawa. "Apa yang membuatnya aku paling gembira adalah kaum kita yang setingkat demi setingkat, telah menjadi semakin maju!" demikian katanya. "Thio Tan Hong di belakang hari pasti akan membuat semakin mentereng partai kita. Asal dia tidak keliru menggunai kesadarannya, kemajuannya tak akan ada batasnya, dari itu, kamu semua harus didik padanya dengan teliti dan seksama." Si nyonya tua, yang menyekal tongkat, yang sejak tadi diam saja, rupanya telah habis sabarnya menyaksikan orang main mengangkat ahli waris dan omong seperti tak habisnya. Waktu itu matahari sudah doyong jauh ke barat, sang magrib tengah mendatangi. Maka ia lantas saja menyelak: "Hai, kenapa urusan kamu ada demikian banyak hingga seperti tak habis-habisnya?" demikian katanya. "Orang seharusnya menyingkirkan urusan dunia untuk lompat keluar dari penghidupan lahir!" Mendengar itu, Siangkoan Thian Ya bertepuk tangan. "Bagus, bagus!" serunya. "Sejak kini baiklah kita menjadi seperti bangau-bangau merdeka yang senantiasa mengawani mega, yang tidak mengenal asmara! Saudara Hian Kee, inilah saatnya untuk kita berlalu!" Hian Kee segera pandang semua muridnya, terhadap mereka ia mengibaskan tangan. "Kamu semua baik-baik membawa diri!" ia mengucap, lalu ia bertindak pergi dengan cepat, pergi bersama-sama Siangkoan Thian Ya dan si nyonya tua yang bertongkat, selagi mulai berangkat, ketiga-tiganya menepuk-nepuk tangan tandanya riang hati mereka. Cepat sekali tindakan mereka, sebentar saja mereka sudah terhilang di dalam cuaca yang remeng-remeng. Murid-murid dari kedua pihak telah bertekuk lutut untuk memberi selamat jalan kepada guru mereka masing-masing, walaupun sebenarnya mereka sangat berduka dan menyesal. Sungguh lekas perpisahan itu, dengan tiba-tiba saja. Tang Gak berdiam, begitupun Tantai Mie Ming, masing-masing tenggelam dalam perasaannya sendiri-sendiri. Mereka juga tidak sangka, kedua lawan yang demikian hebat, percederaannya dapat disudahi secara demikian mudah. Kemudian kedua orang ini, yang masing-masing menjadi murid kepala, menjadi terperanjat apabila mereka berpaling ke arah Tan Hong. Mereka dapatkan anak muda itu masih saja berlutut di belakang mereka, kedua matanya mendelong ke arah gunung, air matanya mengembeng, dia seperti hendak menangis tetapi tak keluar suara dari mulutnya. Teranglah pemuda itu bagaikan hilang semangatnya. Tantai Mie Ming datang menghampirkan, ia segera membanguni Tan Hong. "Kau kenapa?" ia tanya. Tan Hong tidak segera menjawab. Di hadapannya ada Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In. Kedua pasangan itu telah berhasil dengan cita-citanya, penderitaannya telah berakhir. Malah gurunya, cita-citanya pun telah terwujud! Akan tetapi dia, meski dekat kekasihnya itu tapi mereka berdua seperti terpisah jauh bagaikan di antara kedua pangkal langit. Dia cuma dapat melihat, tidak dapat dia memegangnya, bagaikan ada pintu yang memisahkan mereka, sama-sama mereka tak dapat memasuki atau keluar... Tantai Mie Ming mengulangi pertanyaannya beberapa kali, akhirnya ia dapatkan penyahutan seperti bersenanjung dari si anak muda, katanya: "Sukar melupai budi dan penasaran, sukar melupai kau — kecuali sang cinta dan peri kebenaran... Kecewa kau menjadi muridnya si hantu tua, kata-kata ini kau tidak mengerti! Apa perlunya kau menanyakannya padaku? — Haha-ha! Kau siapakah? Siapakah aku ini? Siapakah dia itu? Jikalau langit berasmara, dia juga bakal menjadi tua, tak dapat dia mempertahankan diri! Hendak aku menanyakannya kepada langit, langit tidak memberikan penyahutan! Sekarang kau menanya aku, mana aku tahu?" Kembali kesadarannya pemuda ini seperti ketutupan kembali. In Loei telah saksikan keadaannya si anak muda, ia berduka tanpa daya. Selagi ia awasi pemuda itu, orang telah menggeser kepalanya, berputar ke arahnya, matanya mengawasi, pada itu terpeta sinar dari kemenyesalan, penasaran dan menyinta... Ia lantas memalingkan muka, tapi justeru matanya bentrok kepada mata ayahnya. Ia dapat kenyataan, ayah itu tengah mengawasi padanya, sinar matanya tajam mengandung kemurkaan dan kedukaan... Wajah ayah itu, yang perok dan lesu, nampaknya menjadi besar dengan perlahan-lahan, wajah itu menjadi lebar dan akhirnya menutup mukanya Tan Hong, yang seperti turut berpeta di hadapan matanya itu... Hampir In Loei menjerit ketika sinar matanya bentrok dengan sinar matanya Tan Hong, syukur ia dapat menguatkan hati dan dapat membatalkannya. Ia tunduk dengan segera, akan menyingkir dari pandangan mata si pemuda. Ia juga menyingkir dari sinar mata tajam dari ayahnya itu. Itulah dua orang yang ia sangat cintai atau menyayanginya, tidak ingin ia melukai hati mereka hingga mereka menjadi berduka. Ia hanya tidak ketahui, bagaimana perasaannya mereka itu masing-masing... Tang Gak, Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng menundukkan kepala, mereka menginsyafi urusannya Tan Hong dengan In Teng itu, atau Tan Hong dengan In Loei. Mereka juga mengetahui sulitnya urusan. Maka mereka berpikir masing-masing. Daya apa mereka punya untuk meredakan ketegangan di antara kedua pihak itu? Angin gunung meniup sepoi, membuatnya sesuatu orang merasakan tubuhnya dingin. -ooo00dw00ooo- Bab XXIX Tengah Tan Hong dan In Loei saling berhadap-hadapan tanpa mengatakan sesuatu, oleh karena hati mereka masing-masing sedang pepat sekali, adalah Tantai Mie Ming menggeleng-geleng kepala, ia menghela napas perlahan. Sejak tadi, iapun berdiam saja bahna masgul dan bingungnya. Tapi kali ini ia berbisik di kupingnya si anak muda. "Kau dapat melepaskan negara kerajaan Beng yang luasnya sembilan laksa lie, yang indah pemandangan alamnya, mustahil kau pun tidak dapat membiarkan satu wanita?" jenderal Watzu ini berkata dengan perlahan, yang dekatkan mulutnya kepada kuping orang. Tan Hong agaknya terperanjat. "Apa?" ia menegaskan. "Ayahmu mengharapkan kau untuk membangun pula kerajaan Tjioe," Tantai Mie Ming menerangkan, "dan kau sendiri, untuk tak membiarkan daerah Tionggoan yang indah dan luasnya sembilan laksa lie itu terjatuh ke dalam tangan bangsa asing, setelah kau menempuh bahaya, untuk itu kau telah serahkan harta dan peta bumi kepada pemerintah yang sekarang ini, hingga kau telah menolong kerajaan Beng yang menjadi musuh keluargamu itu! Tidakkah dengan begitu, kau telah lepaskan percobaanmu untuk merebut pulang negaramu? Usahamu membangun negara masih kau dapat melepaskannya, apapula budi dan penasaran ini?" Tan Hong melengak. "Aku pandang raja bagaikan kotoran!" katanya. Tantai Mie Ming mengawasi, ia menyambungkan: "Negaramu tengah menantikanmu!" Dengan tiba-tiba air mukanya Tan Hong berubah, dari pucat menjadi merah. Suaranya Mie Ming pelahan akan tetapi bagi pendengarannya Tan Hong seperti suara guntur. Sejenak itu segera ia ingat bahwa ia datang dari gurun pasir utara, bahwa setibanya di Kanglam, kembali ia ke gurun, jauh perjalanannya, melintasi sungai dan gunung, banyak penderitaannya. Untuk apakah itu? Bukankah itu untuk cita-citanya yang luhur? Untuk melindungi negaranya nan indah permai? Bukankah itu untuk mencegah berlangsungnya peperangan antara Tionggoan dan Watzu, supaya menjadi berhenti seanteronya, agar di empat penjuru tetangga, semua hidup rukun dan damai? Sekarang, justeru cita-citanya itu bakal berwujud, ia telah menjadi seperti runtuhiKenapa begitu? Dasarnya cerdas dan ingatannya kuat, segera Tan Hong sadar. Ia kertek giginya ketika ia buka suara. "Tantai Tjiangkoen, terima kasih untuk peringatanmu ini kepadaku!" demikian katanya. "Mari kita berangkat!" Pemuda ini segera memberi hormat kepada guru dan paman gurunya semua, dengan sekelebatan sinar matanya menyapu In Loei, lalu dengan sebat ia membalik tubuhnya. Tapi ia masih dengar elahan napas dari gurunya, dari Eng Eng juga. In Loei segera duduk numprah di tanah, air matanya tak dapat mengucur keluar. Syukur baginya Tan Hong tidak berani berpaling kepadanya, jikalau tidak, asal sinar rata mereka bentrok, mungkin ia segera menangis, atau mungkin keduanya saling tubruk, untuk menangis sambil saling rangkul, tak ingin mereka angkat kaki, tak sudi mereka memisahkan diri lagi... Tan Hong dan Mie Ming turun gunung dengan cepat. Itu waktu, sang malam telah tiba, bintang-bintang di langit sudah mulai berkelak-kelik. Mereka lantas cari rumahnya satu pemburu, untuk numpang bermalam. Esoknya pagi di kaki gunung itu, Tan Hong dapat cari Tjiauwya saytjoe ma, kudanya yang jempol. Tjiauwya saytjoe ma benar-benar kuda luar biasa. Telah sekira sepuluh hari Tan Hong berdiam di atas gunung, dia dilepas, diumbar mencari makan sendiri, tidak ada kandangnya, tidak ada yang urus, dia dapat bawa dirinya sendiri, dia tak pergi jauh, terus dia menantikan majikannya. Demikian pagi itu, begitu lekas melihat majikannya, dia segera meringkik keras, sambil berjingkrakan dia lari menghampiri majikannya itu. Tan Hong usap-usap lehernya kuda itu, ia lalu teringat di kala ia bersama In Loei berada di atas seekor kuda itu, tanpa merasa, ia menjadi bersedih hingga tak dapat ia cegah mengalirnya air matanya... "Dengan ada punya kuda jempolan ini," berkata Tantai Mie Ming kemudian, setelah berada dekat kawannya itu, atau majikannya yang muda, "tak usah sampai sepuluh hari, akan kita sudah tiba di kota raja." "Bagaimana keadaan di ibu kota Watzu sekarang ini?" Tan Hong tanya. "Di luar nampaknya segala apa tenang-tenang saja, tapi di dalam sang hujan akan segera turun," ada jawabannya jenderal Watzu itu. "Bagaimana sebenarnya?" si anak muda menegaskan. "Atzu Tiwan sudah mengadakan perserikatan dengan pelbagai suku bangsa," Mie Ming memberi keterangan, "hendak dia mulai dengan pemberontakannya. Di pihak lain, Perdana Menteri Yasian ingin sekali lekas-lekas mengadakan perdamaian dengan Tionggoan. Pada hari aku meninggalkan kota raja, kabarnya pemerintah Beng Tiauw sudah mengirim utusan untuk perdamaian itu. Mudah-mudahan utusan itu tiba sebelum kedua pihak tentera mulai bentrok, kalau tidak, mungkin akan terbit perubahan besar!" "Bagaimana dengan ayahku?" Tan Hong menanya pula. "Ayahmu telah meletakkan jabatannya sebagai Menteri Muda," menyahut Mie Ming. "Ia sekarang tengah menantikan tibanya utusan Beng Tiauw itu." "Apakah ayah masih belum ambil putusan untuk pulang ke Tionggoan?" Tan Hong menanya lebih jauh. Tantai Mie Ming menggeleng-geleng kepalanya. "Sekarang ini siapa juga tidak berani memberi nasihat kepadanya," ia menjawab. "Ayahmu masih tetap tinggal di ibu kota, benar ia sudah tidak memangku jabatan akan tetapi Yasian masih tetap berkuatir terhadapnya. Maka itu, kalau lama-lama ayahmu tetap masih tinggal di ibu kota, aku kuatir di belakang hari ada bahaya mengancam padanya. Aku lihat melainkan kau yang dapat membujuki ayahmu itu berangkat pergi..." Tan Hong menjadi jengah sendirinya dan menyesal. Ia insyaf benar-benar, karena beberapa hari berada dalam keadaan tak sehat itu, hampir saja ia menyebabkan terbitnya peristiwa yang hebat sekali. Maka itu, berlompatlah ia atas kudanya, yang segera ia kedut lesnya, untuk dikaburkan... Selama di perjalanan itu, Tantai Mie Ming tidak berani sebut-sebut nama atau halnya In Loei kepada kawan seperjalanannya ini, ia kuatir urusan itu akan menyebabkan bangkitnya pula atau kumat angotnya si anak muda. Kuda Tjiauwya saytjoe ma lari pesat sekali, di waktu tengah hari dia telah melewati selat bahagian selatan dari gunung Tangkula itu di mana berdiam suku bangsa Ngolo. Pada belasan hari yang lalu, bersama In Loei pernah Tan Hong menemui ketua dari suku itu, maka pengembala-pengembala di dataran rumput itu banyak sudah yang kenali padanya, ada di antara mereka yang dengan ramah tamah menegur padanya. Dengan kedut les kudanya, Tan Hong lewatkan mereka itu. Karena ia biarkan kudanya lari pesat, ia membikin Tantai Mie Ming hampir ketinggalan. Mie Ming tidak tahu apa sebabnya di tempat ini Tan Hong bedal kudanya itu. "Tan Hong, bagus sekali peruntunganmu!" berkata jenderal ini. Ia maksudkan bagaimana pemuda ini disukai suku bangsa Ngolo itu, yang menyambutnya dengan manis. Mendengar perkataannya sang kawan, wajahnya si pemuda berubah secara tiba-tiba. Ia membungkam. Justeru itu, dari lain arah terdengar meringkiknya kuda, atas mana dengan mendadak Tjiauwya saytjoe ma perlahankan jalannya, dari mulutnya pun keluar suara sambutan ringkikan itu. Tan Hong menjadi heran, dengan lantas ia berpaling ke arah dari mana suara kuda tadi datang. Di tepi jalan ia tampak sebuah rumah tua dan rusak dari tanah liat, di luar rumah itu, di sampingnya, ada sebuah pohon kayu kering. Pada pohon itu tertambat seekor kuda merah, ialah kudanya In Loei yang ia kenali dengan baik. Tak tahu Tan Hong, mengapa kuda merah itu berada di situ, akan tetapi dapat ia menduga-duga. In Loei datang bersama ayahnya, yang bercacat kakinya. Berdua mereka menaiki kuda merah itu. Lewat di rumah tua itu In Loei singgah, ia tambat kudanya, lalu dengan pepayang ayahnya mendaki gunung itu. Lama mereka berjalan, maka itu, mereka tiba selagi pertempuran berlangsung. Sekarang kedua kuda, putih dan merah, meringkik saling sambut, mereka pun berlompatan, berjingkrakan. Menyaksikan itu, Tantai Mie Ming menjadi heran. "Ah, rumah siapa ini?" berkata dia sambil tertawa. "Tidak kusangka, tuan rumah itu ada punya seekor kuda jempol... Eh, Tan Hong, kenapa, kenapa kudamu..." Sebenarnya jenderal ini hendak menanyakan mengapa kedua kuda itu seperti telah kenal lama satu dengan lain, tapi ia batalkan itu karena dengan sekonyong-konyong ia tampak wajah si anak muda berubah pula, wajah itu menjadi pasi dan air matanya pun segera mengembeng. Ia menjadi heran dan terkejut. Tan Hong tidak jawab kawannya itu, kemudian ia menghela napas, lalu seorang diri ia perdengarkan suaranya: "Tak sanggup aku mengalami pula kedukaan semacam ini! Bukankah daun kuning terbawa angin barat berarti usus putus? Ya, ya, kuda pun ada sedemikian rupa, apapula manusia?" Belum berhenti suara si anak muda, dari dalam rumah telah terdengar suara orang, rupanya tuan rumah, yang mendengar suara berisik, hendak keluar untuk menghentikan suara kuda yang membikin berisik itu. Tan Hong dengar kuda itu, sekonyong-konyong ia cambuk kuda putihnya keras sekali, ia sendiri lompat naik ke atas kudanya itu. Tadi ia telah lompat turun untuk membiarkan kedua kuda saling bertemu. Sudah lama Tjiauwya saytjoe ma ikuti anak muda ini, sebegitu jauh belum pernah dia dicambuk begitu rupa, tidak heran kalau saking sakit dan kaget, lantas saja dia berlompat dengan ke empat kakinya dan terus kabur larat sekuat-kuatnya! Tantai Mie Ming pun heran, tetapi karena ia ditinggal pergi, tanpa bisa bilang suatu apa, terpaksa ia lantas menyusul. Kembali ia merasakan penderitaan, oleh karena ia ketinggalan jauh sekali. Ia tidak menjadi gusar atau mendongkol terhadap si anak muda, ia hanya menggeleng-geleng kepala... "Tan Hong, pikiranmu tidak sehat," katanya seorang diri. "Kenapa kau persakiti seekor binatang?" Tan Hong sendiri, di atas kudanya, yang ia peluki, telah menangis menggerung-gerung. Ia mencoba usap-usap lehernya Tjiauwya saytjoe ma, akan tetapi karena kuda sudah kabur, baharu sekira sepuluh lie lebih, dapat ia menguasainya pula. Ketika kemudian Tantai Mie Ming telah dapat menyusul, Tan Hong sudah berhenti menangis, air matanya telah ditepas kering, ia sedang berhenti di tepi jalan di depan sebuah warung arak. Mie Ming hentikan kudanya di dekat kawan itu. Ia merasa sangat heran, ia ingin mengetahui sebabnya perubahan adat dari pemuda ini. Sebelumnya belum pernah si anak muda perlihatkan sikap yang aneh ini. "Eh, Tan Hong, kau kenapakah?" ia tanya. Tan Hong tidak awasi sahabatnya, ia pun tidak menjawabnya, ia hanya bicara dengan caranya sendiri. "Mari! Mari! Kita minum puas-puasan di sini!" demikian katanya. Itulah bukan jawaban, itulah ajakan! "Kita masih harus melakukan perjalanan cepat," Tantai Mie Ming memperingatkan. Tan Hong menjawab tetapi sambil tertawa. "Jikalau ada arak, mesti kita minum itu sampai mabuk!" katanya. "Dengan keadaan mabuk itulah paling tepat untuk membuat perjalanan! Eh, Tantai Tjiangkoen, mengapa hari ini kau nampak tidak gembira?" Sehabis mengucap demikian, tanpa memberi ketika kepada kawannya itu, Tan Hong sambar tangan orang untuk ditarik, buat diajak masuk ke dalam warung arak itu. "Apakah ada koumiss di sini?" dia berseru, menanya tuan rumah atau pelayan, untuk minta susu kuda, arak termurah untuk di Mongolia. Tuan rumah adalah seorang yang sepasang matanya putih mencilak. "Ada, kau menghendaki berapa banyak?" berkata tuan rumah itu, suara dan sikapnya kaku. "Aku minta kau membayar uang di muka!" "Kau sajikan enam atau tujuh kati!" sahut Tan Hong dengan suara keras, terus ia lemparkan sepotong perak ke meja tuan rumah itu sepotong besar, yang lebih dahulu ia tepuk-tepuk di atas meja. "Inilah uang arak, selebihnya untukmu! Jangan kau ngoceh tidak keruan, tidak senang aku melihat biji matamu yang putih itu! Tahukah kau?" Tuan rumah itu kaget, lekas-lekas ia ubah sikapnya. Sekarang ia berlaku telaten dan wajahnya pun senantiasa tersungging senyuman. Tapi di dalam hatinya, ia kata: "Kiranya orang ini sudah minum sinting di lain warung arak..." Koumiss di warung arak ini rasanya asam dan juga turunnya seret, maka itu, baharu ia tenggak dua cangkir, Tantai Mie Ming sudah kerutkan keningnya. Tidak demikian dengan Tan Hong, yang meminumnya sangat bernapsu! Begitulah, lekas sekali anak muda itu sudah keringkan tujuh cawan. "Arak yang wangi! Arak yang wangi!" demikian pemuda ini berseru-seru dengan pujiannya. Hanya, di dalam sintingnya itu, di depan matanya berpeta samar-samar bayangannya In Loei, bayangan yang bergoyang-goyang... Pada mula kalinya Tan Hong ikat persahabatan dengan In Loei justeru ia telah minum koumiss dari sebuah buli-buli yang besar, ia meminumnya secara sangat bernapsu dan gembira, akan tetapi sekarang, ia minum seorang diri, ia telah kehilangan kekasihnya itu, maka itu, bukan main sedih hatinya. Ia jadi sangat berduka, lebih-lebih lagi ketika ia membayangkan si nona... Tantai Mie Ming masih minum beberapa cegukan kapan ia lihat arak susu kuda telah hampir habis ditenggak Tan Hong. "Cukup sudah!" ia lalu berkata. "Mari kita berangkat!" Ia tidak mengatakan langsung agar kawan ini hentikan minumnya. Tan Hong menyeringai, ia letakkan cawannya. Hampir di waktu itu, di luar terdengar riuh ringkiknya kuda. "Tjoei Hong, lihat!" demikian terdengar satu suara nyaring. "Itulah kuda Tjiauwya saytjoe ma dari Tan Hong!" Menyusuli suara itu, orang tertampak bertindak masuk ke dalam warung arak itu, satu pria, dan lainnya wanita, yang jalan di depan ialah Tjioe San Bin, dan yang belakangan, Tjio Tjoei Hong. Segeralah terdengar keluhannya pemuda she Tjioe itu: "Oh, Tan Hong, bagaimana sengsara aku mencari kau! Siapa sangka di sini kita bertemu!" Tjoei Hong sendiri perdengarkan seruan kaget. "Tan Hong, mana entjie In Loei?" dia bertanya. "Kenapa ia tidak ikut serta bersamamu?" Tan Hong menggeleng kepalanya, terus ia bersenanjung: "Manusia itu ada saatnya untuk berduka dan bergembira, berpisah dan berkumpul, bagaikan rembulan ada waktunya bulat bundar dan bercacat, suram gelap dan terang cemerlang. Demikian tetap berlanjut sejak jaman purbakala. Kau tidak dapat menahan padanya, cara bagaimana aku pun dapat menahannya? Ya, ya, semoga manusia hidup kekal abadi, beriang gembira bersama-sama seribu lie..." Tidak puas Nona Tjio mendengar kata-kata itu, ia menyangka Tan Hong menggodai dia mengingat kejadian dahulu hari halnya ia keliru menganggap In Loei sebagai pemuda, maka wajahnya menjadi merah. "Foei!" katanya, "orang omong benar-benar, kau ngaco belo!" Tan Hong terperanjat, lantas menjadi sadar sedikit dari sintingnya. "Eh, mengapa kau mendapat tahu dan dapat mencari aku di sini?" dia tanya. Lenyap lantas kemendongkolannya si nona, terus saja ia tertawa. "Kami telah sampai di rumahnya entjie In!" ia menjawab. "Kami telah bertemu dengan In Peebo. Bukankah kau dan In Loei telah bertengkar? Peebo bilang bahwa kau datang bersama In Loei kemudian kau pergi seorang diri. Peebo pun beritahukan kami bahwa entjie Loei telah pergi bersama ayahnya beberapa hari yang lalu. Aku menyangka mereka mencari kau..." "Pantas tadi di jalan aku dengar suara seperti beberapa orang bicara, kiranya itulah kamu!" berkata Tan Hong. "Kami baharu sampai, lantas kami dengar suaranya Tjiauwya saytjoe ma," Tjoei Hong berkata pula, "waktu kami keluar untuk melihat, kau nyata telah pergi jauh, lantas kami menyusul, baharu sekarang kami dapat menyandak padamu! Ya, hendak aku tanya kau," menambahkan si nona, "umpama benar kau bercedera dengan entjie In Loei, tidak seharusnya kau berlaku begini tidak tahu aturan! Kenapa kau lewat di rumahnya entjie Loei tapi tidak mampir? In Peebo harus dikasihani, kau selayaknya pergi menjenguk padanya..." Dengan tiba-tiba air mukanya Tan Hong berubah, kedua biji matanya berdiam. Ia lantas tunduk mengawasi dadanya saja. Tjoei Hong menjadi heran. "Entjie Loei sangat lemah lembut, tentulah kau yang berbuat salah terhadapnya!" ia berkata pula. "Oleh karena itu, ia menjadi tidak mau pedulikan pula padamu! Sebenarnya, urusan apakah itu? Coba kau tuturkan kepadaku. Nanti aku wakilkan kau untuk menyampaikan maaf kepadanya..." Nona Tjio ini lantas saja tertawa geli. Tantai Mie Ming lihat gelagat kurang baik, ia lantas datang sama tengah. "Mari kita bicarakan urusan kita!" demikian ia menyelak. "Kau masih belum menjelaskan, siapakah yang beri tahu kamu alamatnya In Loei itu?" Masih si nona tertawa. "Apakah aku bukan omong tentang urusan kita?" ia balik menanya. Ia sebenarnya hendak bicara terus tapi ia segera tampak wajah pucat pasi dari Tan Hong, yang terus membungkam dan menjublak saja, dengan lantas ia berhenti tertawa. "Pemerintah Beng sudah kirim utusan," berkata San Bin, yang turut bicara. Ia bicara dari urusan yang benar. "Utusan itu akan segera tiba di negeri Watzu untuk merundingkan perdamaian." "Hal itu aku sudah ketahui," berkata Tantai Mie Ming. "Coba terka, siapakah yang menjadi utusan itu?" San Bin tanya. "Siapakah dia?" tiba-tiba Tan Hong menanya. Ia sadar dari menjublaknya. "Dialah kakaknya In Loei," sahut San Bin. Kembali Tan Hong menjublak. Kali ini disebabkan ia ingat In Tiong bersikap bermusuh terhadapnya. Datangnya In Tiong itu bisa menyebabkan semakin putus harapannya terhadap In Loei. "Apa? Apakah kau tidak gembira?" menanya San Bin, yang tak tahu hati orang. "Kenapa aku tidak bergirang," berkata si anak muda. "In Tiong menjadi utusan, tidak ada yang terlebih baik daripada itu!" Tan Hong mengucapkan kata-kata yang benar, yang keluar dari hatinya yang tulus. Kakaknya In Tiong telah menjadi utusan ke negeri Watzu, kakek itu mesti hidup mengembala kuda di tepi telaga, sengsara sekali hidupnya, sekarang Tionggoan dari lemah menjadi kuat, utusan yang di kirim adalah cucunya kakek yang bersangsara itu, sungguh itulah tepat dan sangat menggirangkan, sangat memuaskan hati. In Tiong pun setia kepada negara, gagah dan pandai bekerja, dia menang beberapa lipat dari kakeknya yang lemah itu. Dengan diutusnya In Tiong inipun menjadi terbukti kepandaiannya Ie Kiam, yang bisa memilih orang. Tan Hong tahu In Tiong keliru mengerti terhadapnya, ia sangat menyesalinya, tetapi itu adalah urusan perseorangan, tetapi sebagai utusan, In Tiong bekerja untuk negara, itulah lain. Kalau ia menjadi menjublak, itulah disebabkan kekagumannya negara memperoleh wakil yang tepat, dan berbareng, ia bakal menghadapi kesulitan lebih jauh... "Di waktu In Tiong lewat di Ganboenkwan, dia telah bertemu dengan kami," San Bin menerangkan lebih jauh, "malah dia minta kami menyampaikan kata-kata untuk ibunya, mewartakan perihal kedudukannya sekarang, dan mohon si ibu nanti membuat pertemuan di ibu kota Watzu. Siapakah yang sangka bahwa ayahnya In Tiong itu masih hidup? In Peebo telah beritahukan kami, bahwa dia hendak menantikan In Loei dahulu, kelak baharulah bersama In Loei dan ayahnya ia akan bersama-sama pergi ke kota raja. Kami diminta tak usah menemaninya." Tubuh Tan Hong menggigil mendengar disebutnya nama In Loei. San Bin lihat itu, ia heran. "In Tiong berangkat dengan membawa delapan belas pahlawan Gietjian Siewie sebagai pengiringnya," San Bin menerangkan pula. "Di samping itu ada turut beberapa wanita." Tantai Mie Ming heran mendengar keterangan yang belakangan ini. "Apa? Orang-orang perempuan?" tanyanya. San Bin tertawa atas pertanyaan itu. "Tantai Tjiangkoen," berkata dia dengan penyahutannya, "aku dengar yang turut In Tiong itu adalah adikmu yang perempuan, Keng Beng namanya yang harum!" Mie Ming menjadi girang. "Ha, dia pun datang?" serunya. "Pasti sekali paman tjintong-ku serta ayahnya yang menitahkan dia menyambut aku!" "Sedikitpun tidak salah!" berkata San Bin. "Aku menghaturkan selamat kepadamu, yang sekarang akan dapat pulang ke negeri sendiri!" Cuma sebentar saja pemuda she Tjioe ini berhenti, lalu ia menambahkan pula: "Beberapa orang wanita yang turut bersama itu adalah orang-orang dari kampungmu yaitu Tamtay tjoen, mereka dititahkan oleh adikmu untuk menemani padanya!" Di dalam hati kecilnya, Tantai Mie Ming berkata: "Keng Beng si bocah itu memikir sempurna sekali! Terang tidak ingin seorang diri dia menemani In Tiong, dia kuatir orang nanti banyak mulut dan usil terhadapnya. Hanya kasihan Tan Hong ini, andaikan Keng Beng di perjodohkan dengannya, mereka sembabat sekali..." Selagi Mie Ming masih berpikir, San Bin sudah berkata pula: "Mereka itu adalah utusannya pemerintah," demikian katanya, "karena itu di sepanjang jalan ada orang-orang yang menyambut mereka, karenanya setiap hari mereka cuma bisa melakukan perjalanan lima sampai enam puluh lie. Mungkin masih perlu belasan hari lagi untuk mereka dapat tiba di kota raja Watzu. Sebenarnya akupun sedikit berkuatir juga terhadapnya..." "Kenapa begitu?" Tan Hong menyelak pula. "Sesudahnya peperangan di antara dua negara," berkata San Bin, "di mana-mana mesti ada muncul orang-orang dari kalangan Hitam dengan aksi mereka. Walaupun benar In Tiong membawa delapan belas pengiring pahlawan raja, ia toh tetap mesti berhati-hati menjaga sesuatu yang tak diduga-duga. Selama di dalam wilayah Ganboenkwan, dengan disiarkannya panah Loklim tjian kami, aku berani tanggung tidak akan terjadi apa-apa, akan tetapi sekeluarnya batas itu, di luar kota, tenaga kami tidak sampai..." "Aku rasa kekuatiran itu tidak pada tempatnya," menyatakan Mie Ming. "Yasian menghendaki pembicaraan perdamaian dengan kerajaan Beng, apabila utusan Beng mengalami sesuatu di dalam negaranya, sukar untuk dia berdiam saja." "Walaupun demikian tetapi Yasian itu sangat licik, kelicikannya itu diketahui orang di dalam dan di luar negerinya. Siapa yang dapat menduga apa yang dikandung di dalam hatinya? Justeru sekarang ini negara Watzu tengah terpecah-belah, tak mungkin orang semua taat kepada Yasian itu, apapula segala penjahat Rimba Hijau. Aku anggap berlaku hati-hati adalah terlebih baik. Aku ingin berdamai dengan kau, yaitu apakah perlu kita kirim beberapa orang yang dipercaya untuk memapak mereka itu?" Tan Hong berdiam sekian lama, tetapi sekarang, tiba-tiba ia nampaknya bersemangat. "Tjioe Toako. Tjio Hianmoay." serunya. "Aku haturkan selamat kepadamu dengan ini satu cawan!" Segera ia isikan satu cawan yang besar, yang terus ia tenggak! San Bin dan Tjoei Hong melengak. Sehabis minum, Tan Hong lemparkan cawannya itu, terus ia tertawa bergelak. "Tjioe Toako." katanya pula, nyaring, "kuda kami keras larinya, hendak kami berangkat terlebih dahulu! Kau jangan kuatir, aku tanggung In Toako bakal tiba dengan selamat di kota raja Watzu!" Setelah itu Tan Hong lari keluar dan lompat ke bebokong kudanya, kuda mana terus meringkik, sesudah gerakkan kedua kakinya berlompat, dia lantas lari kabur! Tantai Mie Ming tak dapat susul anak muda itu walaupun kudanya juga ada kuda Mongol pilihan, jangan dikata lagi kudanya San Bin dan Tjoei Hong. Tiga hari kemudian, Tan Hong telah kembali ke kota raja Watzu. Ia tampak kota agak kacau. Penduduk kota tertampak seperti berebut membeli bahan makanan. Nyata mereka itu sudah dengar kabar angin, mereka kuatirkan nanti terbit bentrokan senjata antara Yasian dan Atzu Tiwan. Maka penduduk hendak menyimpan persediaan pangan. Tan Hong menjadi berduka, hingga ia menghela napas. "Kalau dunia aman damai, untuk selama-lamanya tidak ada bencana perang, alangkah bagusnya!" dia berkata di dalam hatinya. Lebih jauh dia pun berpikir: "Suasana ada begini rupa, malapetaka peperangan sudah mengancam, maka terang sudah Yasian semakin menghendaki perdamaian dengan Tionggoan. Nampaknya peruntungan In Tiong ada jauh terlebih baik daripada kakeknya, kali ini pastilah tugasnya tidak akan gagal dan tidak akan mendapat malu karenanya, dengan berhasilnya perdamaian, niscaya ia akan berangkat pulang sambil mengajak juga junjungannya yang sekian lama telah menjadi orang tawanan..." Lantas tanpa ayal lagi, Tan Hong pulang ke rumahnya. "Oh, tuan rumah baharu pulang!" demikian ia disambut oleh bujangnya. "Setiap hari tuan besar mengharap-harap kepadamu. Selama beberapa hari ini tuan besar telah rebah di atas pembaringannya, tak hentinya ia perintah orang pergi keluar untuk melihat tuan sudah pulang atau belum..." Mendengar ini, Tan Hong terkejut. Dengan tindakan cepat, ia langsung menuju ke kamar tulis. Ia dapatkan ayahnya seorang diri berduduk menghadapi meja, sedang menulis. Orang tua itu dengar tindakan kaki. "Siapa?" ia bertanya. Lega juga hatinya si anak mendengar suara orang tuanya itu. "Aku, ayah," sahutnya lekas. "Apakah ayah baik?" Thio Tjong Tjioe lantas berpaling. "Mana Tantai Tjiangkoen?" dia balik menanya. "Kudanya larinya sangat ayal, mungkin besok dia baharu sampai," sahut putera itu. "Katanya ayah kurang sehat, benarkah? Ayah sakit apa? Apakah ayah sudah undang tabib?" "Syukur kau ingat aku, anak," sahut si orang tua. "Aku tidak kurang suatu apa, cuma gangguan biasa saja. Selama hari-hari belakangan ini hawa udara buruk, sudah belasan hari hujan turun terus menerus, baharu kemarin dulu langit terang. Lututku, terasakan ngilu." "Mengapa ayah tidak undang tabib?" sang anak tanya. Tjong Tjioe tertawa. "Aku justeru hendak memberitahukannya satu hal kepadamu!" kata dia. "Itu beberapa jilid catatannya Pheng Hoosiang yang kau bawa pulang dari dalam kamar batu sungguh berfaedah. Ternyata di dalamnya ada termuat beberapa resep untuk penyakit di buku-buku tulang. Walaupun orang sudah pincang, masih ada jalan untuk mengobatinya, baik dengan menyambung kaki itu dengan kayu yanglioe atau dengan ditusuk dengan jarum." Pheng Hoosiang itu gemar pesiar, di tempat di mana ia tiba, tentu ia membuat catatan tentang keadaan penduduk setempat, tentang tempat-tempat yang penting untuk pergerakan tentera, lengkap pelbagai catatannya itu. Apa yang Tan Hong dapatkan di dalam kamar batu masih kalang kabutan, setelah ia pulang baharulah ia kumpulkan dan rapikan, masing-masing ada bahagiannya. Ia tinggal catatan itu di rumah, untuk ayahnya baca, sampai sekarang ayahnya peroleh faedah dari buku itu. Iapun baharu ingat tentang resep obat itu sesudah ia dengar perkataan ayahnya itu. "Apakah ayah pernah coba resep itu?" dia lantas tanya. Thio Tjong Tjioe segera berbangkit, untuk jalan beberapa tindak, untuk menendang-nendang beberapa kali. "Baharu kemarin aku mencobanya," ayah ini bilang. "Aku telah suruh orang tusuki telapak kakiku dengan jarum, cuma beberapa kali saja, lantas hari ini aku dapat berjalan seperti biasa." "Sungguh mujarab!" Tan Hong memuji. "Kalau begitu, buku itu perlu aku baca pula dengan teliti untuk dapat menghafalkannya." "Pheng Hoosiang itu adalah guru negara dari kerajaan Tjioe kita yang terbesar," berkata pula Thio Tjong Tjioe, "dia juga telah menjadi guru dari dua raja, bahwa dia pintar dan pandai, itulah sudah selayaknya. Memang, anak, harus kau baca pula bukunya itu dengan seksama." Dari atas meja tulisnya, ayah ini tarik buku yang dimaksudkan itu, untuk diserahkan kepada puteranya. "Kau duduklah di situ!" berkata dia sambil menunjuk kursi di sampingnya. Ia sendiri angkat cangkir tehnya dan meminumnya. "Aku dengar bahwa utusan kerajaan Beng akan tiba, hatiku lega," ia berkata pula sambil bersenyum. "Hanya belum tahu, siapakah utusan itu? Kalau dia ada seperti In Tjeng dahulu hari, sungguh bagus!" Baru saja orang tua ini tertawa, atau setelah menyebut namanya In Tjeng, suaranya menjadi parau, wajahnya menjadi suram berduka. Tan Hong tahu sebabnya perubahan dari ayahnya itu. Si ayah ingat kejadian dahulu hari dan hatinya menjadi berduka. Itulah penyakit lama dari sang ayah, yang terus menjadi lesu. Ia sendiri pun turut lenyap kegembiraannya. Ia jadi ingat sikap keras dari In Tiong dan limbungnya hatinya In Loei. "Ayah suka menyudahi permusuhan itu, akan tetapi, dengan cara bagaimana itu dapat disudahinya?" ia bertanya dalam hatinya sendiri. "Eh, Tan Hong, apa yang kau sedang pikirkan?" tiba-tiba Tjong Tjioe menanya, karena waktu berpaling kepada puteranya, ia dapatkan anak itu duduk menjublak. Tan Hong paksakan diri untuk tertawa. "Tidak apa-apa, ayah," sahutnya cepat. "Aku juga tengah menduga-duga siapa orangnya yang diutus kerajaan Beng itu..." Dengan terpaksa anak ini mendusta. Tidak berani ia memberitahukan halnya In Tiong walaupun semula ia niat menuturkannya. Ia bersangsi karena sikap keras dari In Tiong itu, ia kuatir In Tiong tak dapat memaafkan pihaknya. Pasti ayah ini berduka apabila dia ketahui kekerasan hati dari puteranya In Teng itu. Oleh karena ini, ia mencoba untuk bersabar. Sekian lama ayah dan putera itu membungkam. "Ayah, adakah pikiran ayah masih belum berubah?" tiba-tiba si anak menanya. Thio Tjong Tjioe tahu apa yang dimaksudkan puteranya itu. Ia menyeringai. "Jikalau nanti utusan kerajaan Beng itu tiba, pergilah kau turut dia pulang ke negeri," menyahut orang tua ini. "Aku hanya melarang kau menjadi hambanya kerajaan itu." "Bagaimana dengan ayah sendiri?" sang anak menegaskan. "Dalam hidupku cuma dalam impian saja akan aku pulang ke Kanglam," sang ayah berikan jawabannya. "Penyair dari ahala Tong, Wie Tjhong, telah mengatakannya: 'Sebelum tua, jangan pulang ke kampung asal, kalau pulang tentu bakal putus harapan. Akan tetapi aku, walaupun sudah tua, tidak ingin aku pulang ke kampung halaman. Sebabnya ialah aku kuatir nanti putus harapan hingga aku jadi berduka karenanya, Tan Hong jangan kau menyebut-nyebutnya pula hal ini." Anak ini merasakan tubuhnya menggigil. Nyatalah hatinya ayah ini telah menjadi seperti kayu kering, hingga tak nanti kayu itu bersemi, tumbuh daun pula andaikata sang musim semi telah kembali dan angin timur meniupnya menderai-derai. Ia lantas tunduk. Di atas meja ada selembar kertas yang ada tulisannya, yang air baknya masih belum kering semuanya. Membaca itu, tahulah Tan Hong bahwa itu adalah syairnya Liok Voe yang ayahnya tulis tetapi belum habis disebabkan datangnya dia. Itulah syair tentang burung bangau terbang sendirian, bahwa orang lama bakal digantikan orang baru, bahwa raja ada bagaikan semut, semua akan habis bagaikan debu... "Begini rupalah perasaannya ayah sekarang ini," anak ini berpikir. Teranglah, ayah itu sudah putus harapan untuk hidupnya di dalam dunia ini. Karena ini, ia menjadi berduka sekali. Malam itu Thio Tjong Tjioe tidur dengan diganggu pelbagai impian tak hentinya tetapi semua adalah impian yang baik, umpamanya dalam mimpinya itu ia telah pesiar di Kanglam yang indah. Maka ketika terang tanah ia bangun dari tidurnya, pelbagai impian itu masih berkesan dalam mengenai kampung halamannya, karena mana, ia menjadi berduka. Ia baharu sadar ketika pelayannya mengetok pintu kamarnya. "Tantai Tjiangkoen dan tuan muda mengasi selamat pagi kepada thaydjin," demikian hamba itu. Tjong Tjioe segera turun dari pembaringannya, untuk pakai baju luarnya, lalu ia bertindak keluar dari kamarnya, menuju ke kamar tulisnya. Di sana Tantai Mie Ming dan Tan Hong telah menantikan ia, puteranya itu berdiri di pinggiran. "Kau telah kembali, Tantai Tjiangkoen?" menegur junjungan ini. "Tan Hong benar-benar tidak tahu urusan, dia sangat kesusu hendak menemui aku, dengan andalkan kudanya yang keras larinya, dia tinggalkan kau! Tidak selayaknya dia berbuat demikian..." Tan Hong terharu mendengar kata-kata ayahnya itu. Ia sangat berduka. "Ayah, mana kau tahu apa yang aku pikir dalam hatiku," ia kata dalam hati kecilnya. "Ayah tidak tahu, aku ingin lekas-lekas pulang karena aku harus segera pergi pula meninggalkan lagi padamu..." Tetapi apa yang ia pikir ini ia tidak mengutarakannya. "Tjoekong, ingin aku memberitahukannya," berkata Tantai Mie Ming, yang memanggil "tjoekong" kepada junjungannya itu, "sekarang ini kongtjoe dan aku ingin lekas-lekas kembali ke Selatan, malah kami hendak berangkat segera. Sekarang kami hendak minta diri!" Tjong Tjioe terperanjat. Inilah ia tidak sangka. "Apa?" katanya. "Baharu pulang sudah lantas hendak pergi pula?" "Benar, tjoekong," sahut si jenderal. "Kami dengar kabar utusannya kerajaan Beng sudah memasuki wilayah Watzu, karena itu kami hendak pergi menjemputnya." "Apakah kau kenal utusan itu?" tanya Tjong Tjioe heran. Tantai Mie Ming menggeleng kepala. Ia menyangkal karena siang-siang Tan Hong telah kisiki padanya. "Walaupun kami tidak kenal dia, perlu kami sambut padanya," jenderal ini memberikan jawabannya. "Ketika baharu ini kongtjoe pulang ke negeri dan aku turut Atzu Tiwan, yang menjadi utusan, kami telah mendapatkan penyambutan baik dari Kokioo Ie Kiam. Kabarnya utusan Beng itu adalah orang pilihannya Ie Kokioo sendiri, oleh karenanya kita harus balas kehormatan dengan kehormatan, sudah selayaknya apabila kita menyambut kepadanya dengan baik. Dengan demikian kita berbareng jadi bisa mencegah andaikata ada bahaya di perjalanan bagi utusan itu." Selagi bicara jenderal ini diam-diam lirik Tan Hong, ia dapatkan mata pemuda itu mengembeng air, ia dapat menduga akan perasaannya tuan mudanya itu. Justeru guna tuan muda ini, untuk pertama kali ini, ia sudah mendusta terhadap junjungannya. Karena lihat orang mengembeng air mata, iapun menjadi terharu sekali. Tjong Tjioe berbangkit dengan pelahan-lahan dari kursinya, ia buat main kumis jenggotnya yang putih. "Aku telah berusia lanjut, tidak dapat aku berbuat sesuatu untuk Tiongkok," ia berkata sambil menghela napas. "Kamu masih berusia muda, kamu bercita-cita luhur, baiklah, kamu boleh pergi!" Air matanya Tan Hong lantas saja mengucur turun. Sering juga ia berpisah dari ayahnya tetapi belum pernah terjadi perpisahan seperti ini, baharu bertemu setelah perpisahan lama lantas sudah mesti berpisah pula. Sebenarnya ia merasa berat untuk berpisah melihat orang tuanya sekarang tak begitu sehat pula seperti dulu-dulu. Tapi apa boleh buat. Maka ia rangkul ayah itu. "Ayah, harap ayah baik-baik merawat diri," ia bilang. Terus ia membalik tubuh, untuk segera keluar dari kamar tulis. Akan tetapi, masih sempat ia dengar ayahnya itu bersenanjung: "Berapa lama kekalnya bunga dari musim semi dan rembulan dari musim rontok? Ada berapa banyakkah peristiwa-peristiwa yang telah berlalu? Di loteng kecil tadi malam kembali meniup angin timur... Negara sendiri tak dapat ditengok walaupun di dalam terangnya sang rembulan..." Tidak berani Tan Hong berpaling, bersama-sama Tantai Mie Ming, yang mengikuti padanya, ia bertindak dengan cepat keluar dari pintu depan, maka di lain saat mereka sudah lantas berada di atas kuda masing-masing, yang segera dikasih lari kabur. Keduanya sangat kesusu, mereka sangat bernafsu untuk menyambut utusan kerajaan Beng. Di lain pihak, utusan kerajaan Beng itupun, yaitu In Tiong, juga sama keras keinginannya untuk lekas-lekas sampai di negeri atau kota raja Watzu, ke mana dia telah diutus. In Tiong dan rombongannya berangkat dari kota raja Tionggoan, Pakkhia, di hari kedua sehabis tahun baru, hingga sekarang ini mereka sudah satu bulan lebih berada di dalam perjalanan. Mereka sudah memasuki wilayah Watzu. Musim dingin telah berlalu, musim semi datang sebagai gantinya, dengan lumernya salju, di tegalan, di pegunungan, telah tertampak sinar hijau dari daun-daun pepohonan. Sekarang mereka berada di semak belukar selewatnya sebuah gunung, di sekitar mereka, selama beberapa puluh lie, mereka tak tampak sebuahpun rumah penduduk. Hanya di atas gunung kelihatan beberapa ekor elang terbang melayang-layang mencari makanan, sedang di jalan yang menanjak, beberapa pohon tengah bersemi. "Tidak disangka wilayah Mongolia ada demikian menyedihkan," berkata Tamtay Keng Beng yang temani In Tiong. Ia bicara sambil menghela napas. "Waktu ini jangankan daerah Kanglam, sekalipun di kota Pakkhia, kini bunga telah mekar!..." Salah satu pengiring, yang pernah pergi ke Mongolia, menyelak: "Tempat ini masih belum terlalu hebat. Kalau kita telah tiba di bahagian utaranya, yang buminya bersalju dan langitnya ber-es, baharulah kita akan merasakan kesengsaraan yang hebat sekali. Di bagian utara itu di mana dahulu hari Souw Boe mengembala kambing, jangankan manusia, walau burung pun tak nampak! Di sana jikalau orang berdahaga, dia cuma bisa minum salju dan kalau lapar cuma bisa dahar daging kambing bakar..." Mendengar orang menyebut halnya Souw Boe mengembala kambing, In Tiong lantas teringat kakeknya, dengan tiba-tiba saja ia menjadi berduka, hingga wajahnya muram dan lesu. Ia berdiam. Tamtay Keng Beng yang manis melirik kepada pemuda utusan Bengtiauw itu. Ia tertawa. "Di sini masih terdapat rumput dan selokan," ia berkata, "di sini kuda kita dapat singgah. Aku berpendapat malam ini baik kita mendirikan kubu-kubu di sini saja." "Akur!" menyatakan In Tiong dengan cepat. Agaknya ia sadar dengan tiba-tiba. "Oleh karena hari ini kita tidak akan sanggup meliwati tanah tegalan ini, baik besok saja kita melanjutkan perjalanan kita. Bagimu, ini adalah yang pertama kali kau datang ke Mongolia, kau tentunya tidak biasa, maka itu baiklah kau beristirahat siang-siang." "Itulah tidak berarti," sahut Nona Keng Beng. "Seandainya kaki dan tangan kedinginan hingga menjadi kaku, namun pelahan-lahan, kita akan menjadi biasa." Di mulut nona ini mengatakan demikian, tapi di dalam hatinya ia berpikir lain. Memang ia asing terhadap hawa udara di Mongolia ini, akan tetapi mengenai tabiatnya In Tiong, lambat laun ia mulai mengenalnya. Pemuda ini keras hatinya, tidak selemah lembut Tan Hong, tetapi terhadap ia, In Tiong berlaku baik hati dan halus, segala-galanya ia sangat diperhatikan, untuk itu In Tiong tidak pernah menyelimuti diri. Maka dari itu, terhadap pemuda ini ia berkesan baik. In Tiong pilih sebuah tempat untuk mendirikan tendanya. Tempat itu membelakangi angin, terlindung lamping gunung. Sedang pengiring-pengiringnya sudah lantas mengumpulkan kayu-kayu kering guna menyalakan unggun. Mereka mematangi makanan bekalan untuk bersantap malam. Sehabis bersantap, In Tiong pergi ke tendanya Tamtay Keng Beng, untuk menemani sambil bercakap-cakap. Dengan cara itu mereka biasa lewati waktu yang luang, hingga mereka tidak jadi terlalu sunyi. "Jikalau Thio Tan Hong dan adikmu ketahui kita telah tiba di sini, betapa girangnya mereka," berkata Nona Keng Beng. "Kakak San Bin telah pergi untuk menyampaikan kabar, mungkin dia telah bertemu dengan mereka itu. Kalau nanti kita sampai di ibu kota Watzu, untuk menyampaikan surat negara, kita masih punyakan waktu luang beberapa hari. Selama itu maukah kau pergi ke rumah keluarga Thio untuk menemui mereka itu?" "Hm!" In Tiong perdengarkan suara tak tegas. Kemudian ia kata: "Kalau kau pergi ke rumah keluarga Thio itu, siapakah yang kau hendak cari? Mungkin Thio Tan Hong ada di rumahnya di mana ia menantikanmu, akan tetapi jikalau In Loei juga berada di sana, dia bukan lagi adikku!" Mendengar itu, Nona Keng Beng tertawa geli. Dengan telunjuknya, ia dorong anak muda di depannya itu. "Hai, sampai kapankah kau dapat ubah tabiatmu yang bagaikan tabiat kerbau ini?" tanyanya sambil tertawa. "Permusuhan apakah itu yang demikian besar hingga kau tak dapat melupakannya? Kau seharusnya mengarti, kali ini jikalau tidak ada Thio Tan Hong, Ie Kokioo sendiri pasti tidak bakal mengetahui jelas keadaan dalam dari negara Watzu, dan di antara kedua negara, pasti tidak begitu mudah lantas dapat kecocokan untuk membuat perdamaian. Syukur ada dia maka kau sekarang telah menjadi utusan untuk perdamaian itu!" In Tiong lantas saja tunduk. Memang juga Tan Hong itu setia kepada negara. Bukankah pemuda she Thio itu tengah bekerja guna Tionggoan? Maka ia terus membungkam, akan tetapi di dalam hatinya, ia mengharap-harap In Loei, adiknya itu, tidak ada di rumahnya Tan Hong... "Maka setibanya di Watzu, kau harus menemui Thio Tan Hong," Nona Tamtay berkata pula. Ia agaknya menegur tetapi suaranya halus, sikapnya lembut. "Kau harus menghaturkan terima kasih kepadanya." "Ie Kokioo ada mengirimkan surat untuknya, sudah semestinya aku pergi menemui dia", menjawab In Tiong kemudian. "Hanya sayang sekali, permusuhan di antara kedua keluarga ada sedemikian rupa bagaikan laut dalamnya. Sekarang ini dia tengah bekerja untuk negara, dengan memandang dan menghargainya, aku suka tidak menarik panjang urusan kami. Akan tetapi, untuk membikin lenyap permusuhan itu, supaya kami menjadi sahabat-sahabat, itulah tak dapat!" Nona Keng Beng tidak menjadi kecil hati atau putus harapan, ia malah bersenyum. Kembali ia angkat tangannya, akan dengan sebuah jarinya menekan pula jidatnya si anak muda. "Sayang kau menjadi satu taytianghoe, satu laki-laki, tak dinyana, pikiranmu sedemikian cupat!" ia berkata. "Nyata kau masih kalah dengan kami kaum wanita! Pihak kami dengan pihaknya Keluarga Tjioe itu, yang menguasai negara Tionggoan, ada musuh turun temurun, untuk beberapa turunan kami sudah menyimpan barang-barang permata mulia yang berharga sangat besar, akan tetapi di akhirnya kami toh telah keluarkan itu, kami menyerahkannya kepada pemerintah Beng! Dan Thio Tan Hong apabila dia masih ingat kepada permusuhannya, tidak nanti dia mau berdaya sungguh-sungguh meminta Ie Kokioo urus penyambutan pulang raja yang tua." Tamtay Keng Beng jujur dan polos, dia omong seperti apa yang hatinya pikir. In Tiong merasakan itu, hatinya tergerak. Maka sejenak itu, iapun berpikir: "Ya, mustahilkah aku tidak seperti Thio Tan Hong itu?" Tapi sedetik itu juga, di depan matanya berbayang surat wasiat kulit kambing yang berdarah itu, maka juga pikirannya menjadi sangat kusut. Untuk menyingkirkan pikirannya yang kusut itu, ia jemput paha kambing panggang di depannya yang ia keset dan dahar sambil terus tunduk. Keng Beng awasi kelakuan orang itu, ia juga berpikir, kemudian, selagi ia hendak membuka mulut pula, tiba-tiba ia lihat In Tiong mendekam di tanah di mana dia pasang kupingnya. Ia menjadi heran, apapula ketika ia tampak wajah tak wajar dari pemuda itu. "Eh, kau bikin apa?" dia tanya, heran. Sebelumnya menyahuti, In Tiong sudah berlompat bangun. "Ada pasukan tentara yang tengah mendatangi kemari," ia menjawab. Belum utusan raja Beng ini tutup mulutnya, mereka sudah dengar suara terompet tanduk, yang disusul dengan mengaungnya anak panah yang dilepas melesat ke udara, suaranya nyaring melewati atasan tenda. "Peronda kita melaporkan ada pasukan tentara tengah mendatangi!" begitu datang warta dari salah satu siewie pengiring. "Mereka itu sudah lantas membagi diri dengan sikap mengurung kita. Di dalam gelap gulita tidak bisa dilihat berapa besar jumlahnya mereka, tidak tertampak juga benderanya. Mohon In Thaydjin memberikan titah apa yang kita harus lakukan." "Tempat ini adalah tanah pegunungan belukar, mereka itu tentulah gerombolan penjahat yang niat merampok kita," berkata In Tiong. "Sekarang kamu ke delapan belas orang lekas keluar dan memecah diri menjadi dua rombongan. Kamu juga mesti sembunyi, bila dapat lihat bayangan orang, segera kamu gunai panah!" Siewie itu menurut, ia undurkan diri untuk berkumpul sama kawan-kawannya, untuk lantas bersiap sedia. "Bagaimana dengan kau?" Keng Beng tanya si utusan setelah si siewie mundur. "Kamu semua pergi ke tendaku," jawab In Tiong, yang tidak menjawab pertanyaan orang. "Apakah kau tidak hendak keluar sendiri?" Keng Beng menanya pula. "Aku memegang soetjiat, pada tubuhku ada surat negara kerajaan," jawab In Tiong, "dan di dalam tenda ini juga ada banyak barang berharga untuk raja Watzu, cara bagaimana aku bisa menyingkir dari sini? Kau bersama beberapa serdadumu, yang semuanya wanita, juga tak leluasa untuk keluar di waktu malam gelap petang seperti ini, maka daripada pergi untuk mencegat penjahat, lebih baik kami berkumpul di dalam tenda untuk menjaga bersama-sama aku. Aku percaya segala gerombolan gunung itu tidak berarti banyak!" Tamtay Keng Beng mengarti maksud sebenarnya dari In Tiong ini, ia menjadi sangat bersyukur. In Tiong bukan berati barang-barang untuk raja Watzu itu tetapi sebetulnya dia hendak lindungi ia dan serdadu-serdadunya. Tentulah In Tiong berkuatir juga, karena katanya ia dingin kaki tangannya hingga bisa jadi kurang leluasa menggunai senjata, sedang serdadu-serdadu wanita itu, apabila mereka pergi keluar, mungkin mereka ditawan penjahat dan diperkosa. Dengan berkumpul di dalam sebuah tenda, mereka dapat bekerja sama. Baharu selesai orang mengatur diri, penyerangan sudah lantas dimulai. Anak-anak panah lantas tampak melayang pergi datang tak putusnya, disusul dengan seruan-seruan serta bentrokan senjata. Selain suara beradunya pelbagai senjata itu terdengar juga suara banyak kaki berlari-lari. "Kawanan penjahat itu mendapat pukulan yang hebat!" berkata In Tiong kemudian sambil tertawa, sehabisnya ia mendekam pula. Di dalam hal kepandaian memasang kuping sambil mendekam, pemuda ini ada liehay sekali. Selagi mereka bicara, tiba-tiba terdengar satu sambaran "Sret!" lalu api berkobar di tenda sebelah luar. "Celaka!" berseru In Tiong. Terpaksa ia lompat untuk pergi keluar tenda, dengan niat memadamkan api itu. Untuk ini, ia mesti pentang pintu tenda. Justeru itu, berbareng dengan sambaran angin, lima orang lompat menerjang masuk, yang semuanya memakai tutup muka. Nyatalah, dengan menggunakan panah apinya itu, lima orang ini telah dapat perdayai In Tiong, untuk mereka menyerbu masuk. Dari gerakan tubuh mereka yang gesit-gesit itu, dapat diduga mereka mempunyai kepandaian enteng tubuh yang sempurna. Segera juga lima orang bertopeng itu menyerang In Tiong. Utusan kaisar Beng itu berseru sambil menyambut, ketika sebelah tangannya dipakai menyerang, satu penyerang lantas saja terpukul hingga tubuhnya terpental keluar tenda. Tanpa bersangsi lagi, In Tiong terus pentang kedua tangannya, untuk bersilat dengan ilmu silat Taylek Kimkong Tjioe. Ia menyerang ke kiri dan kanan. Ketika sedangnya ia menyerang ke kanan, ia telah menyerang tempat kosong, menyusul mana, seorang bertopeng datang menyerang ia dengan sepuluh jarinya. Itulah pukulan Taylek Engdjiauw Kang yang berbahaya. Menampak itu, In Tiong menyedot napas, untuk membikin kempes dada dan perutnya, sedang tangan kirinya, yang segera ditarik pulang, diteruskan dipakai membacok kedua lengan si penyerang itu. "Ih!" berseru si orang bertopeng itu, yang lekas-lekas turunkan kedua tangannya, untuk berkelit dari bacokan. Di dalam tenda ada api lilin, di antara terangnya cahaya lilin itu, In Tiong lihat tangan orang yang merah gelap, ia menjadi terkejut. Meski demikian sambil lompat mencelat, ia dapat dupak rubuh satu musuh bertopeng di sampingnya selagi musuh itu hendak mendekat padanya. Dengan demikian juga, ia telah dapat menyingkir dari tangan merah dari musuhnya itu. Itu waktu Tamtay Keng Beng pun tidak diam saja, ia sudah hunus pedangnya akan terjang dua orang bertopeng lainnya. "Awas kuku mereka itu!" In Tiong memperingatkan. "Kuku mereka ada racunnya!" Satu musuh bertopeng yang berada paling depan, yang rupanya ada seorang tua, perdengarkan tertawa ejekannya yang dingin, sedang seorang kawannya yang bersenjatakan sebuah golok bagaikan gergaji, sudah lompat maju guna desak si utusan raja. Sambil berkelahi, In Tiong memasang mata terhadap Tamtay Keng Beng, yang dikerubuti dua musuh. Untuk keheranannya, ia seperti kenali potongan tubuhnya salah satu musuh. Musuh ini, yang rupanya liehay, berkelahi dengan menggunai Tjeksee Tjiang atau Tangan Pasir Merah dicampur dengan Engdjiauw Kang, Tangan Kuku Garuda, kelihatannya, dia ada terlebih gagah daripada si orang tua. Tamtay Keng Beng berkelahi dengan menggunai ilmu pedang Lamgak Kiamhoat, ia dapat melayani kedua musuhnya, tapi tubuhnya kurang lincah, di waktu dia lompat berkelit, nampaknya agak lambat. Itulah mungkin disebabkan kakunya kaki tangannya, seperti tadi ia telah beritahukan kepada In Tiong. Ia agaknya masih menderita dari gangguan hawa udara yang dingin itu. Kedua musuh itu seperti dapat melihat kelemahan si nona, segera mereka ubah cara menyerangnya, yaitu sekarang mereka lebih banyak merabu di bahagian bawah, agar si nona menjadi lekas lelah. Tiba-tiba salah satu penyerang yang bertopeng itu ulur kedua tangannya ke arah Nona Keng Beng, untuk merabu kaki orang. Si nona lihat itu, sambil berjingkrak, ia mendahului menendang dengan dua-dua kakinya. Musuh itu liehay, dengan sebat ia menangkap kedua kakinya Keng Beng, terus ia menggentak, untuk lemparkan nona itu. Keng Beng menjadi tidak berdaya, tubuhnya lantas terlempar melayang dengan kedua kakinya di atas. Ketika ini digunai oleh musuh yang kedua, yang bersenjatakan sebatang golok tantoo. Ia tidak pakai goloknya itu, ia hanya menukar dengan tali bandringan, yang ia lemparkan untuk meringkus si nona! In Tiong lihat si nona berada dalam bahaya, ia kaget hingga ia lupa segala apa. Sambil berteriak, ia menyambar dengan sebelah tangannya, ia lupa kepada bahaya apabila tangannya bentrok dengan tangan liehay dari musuh itu, tentulah tangan In Tiong terkena racun yang jahat, tapi di lain pihak, tangan si orang tua akan menjadi patah juga. Si orang tua ternyata kalah hati, dia berkelit sambil tarik pulang tangannya. Tapi kawan di sampingnya yang memegang golok model gergaji majukan diri. Dengan tangan kirinya, dengan gagang golok, In Tiong sampok golok musuh ini, berbareng dengan itu tangan kanannya menyambar terus. Dengan tak sempat berteriak kesakitan lagi, pecahlah kepalanya musuh itu. Sekarang In Tiong terlepas dari gangguannya dua musuh, dapat ia wujudkan keinginannya untuk menolongi Tamtay Keng Beng, justeru ia hendak lompat maju, tiba-tiba ia dengar jeritan nona Keng Beng, hingga ia menjadi kaget tak kepalang! Keng Beng benar-benar kurang kelincahannya karena hawa dingin itu, maka kedua kakinya telah kena disambar musuh bertopeng, yang terus melemparkan tubuhnya itu membentur lelangit tenda hingga ia menjerit. Di waktu ia hendak jatuh turun, masih dapat ia menjumpalitkan tubuhnya, hingga ia jadi jatuh berdiri, tepat didekatnya satu musuh yang bersenjatakan sebatang golok, maka terus saja ia tikam musuh itu hingga tenggorokannya tembus. Berbareng dengan itu, tambang bandringan telah menyambar nona ini. Adalah di waktu itu In Tiong datang dengan pertolongannya. Ia serang orang yang menggunai lasso itu, tetapi orang itu, lekas-lekas undurkan diri karena takut. Tidak demikian dengan si orang bertopeng yang usianya lanjut, dia maju dengan niatan mengepung, dengan bengis dia sambar pundaknya si anak muda selagi anak muda ini hendak serang terus kepada musuh yang mundur itu. Dengan cepat In Tiong turunkan pundaknya, akan tetapi oleh karena ia sedang menyerang musuh, turunnya pundak kurang rendah, hingga ia merasakan pundaknya sakit. Di lain pihak, saking sehatnya gerakannya, ia berhasil menyerang lawan yang undurkan diri itu hingga rubuh tanpa dapat berbangkit pula! Meskipun ia telah kena diserang, In Tiong tidak berbalik untuk melayani musuh yang tua itu, sebaliknya dia berlompat dua tindak, guna segera tengok Tamtay Keng Beng. "Hm!" berseru si orang tua, yang tidak susul In Tiong hanya dia lompat kepada kawannya yang rubuh itu, tubuh siapa ia sambar dan angkat, untuk segera dibawa lari keluar tenda. Bersama ia, mundur juga semua kawan lainnya. Nona Keng Beng tidak kurang suatu apa, malah ia bisa loloskan diri dari lasso yang melibat tubuhnya, sambil tertawa ia berdiri memandang In Tiong, yang datang padanya. "Sungguh berbahaya!" demikian ucapannya. Ia menghadapi bahaya tetapi ia tetap tabah, besar nyalinya. "Kau tidak kenapa-napa?" In Tiong tanya. "Tidak," sahut si nona, gembira. In Tiong kerutkan keningnya: "Coba kau buka sepatumu." berkata anak muda ini. "Buka sekalian kaos kakimu, untuk aku periksa..." Mukanya si nona menjadi merah. "Dahulu di Thayouw santjhun ketika aku terluka oleh tangan jahatnya Anghoat Yauwliong, kau yang merawat aku," berkata In Tiong, "sekarang datang giliranku untuk membalas merawat kau." "Aku tersambar dia tetapi aku memakai sepatu dan kaos kaki, apakah aku masih dapat terluka juga?" si nona menanya. Ia benar-benar tidak percaya. Akan tetapi ia toh buka sepatunya, kaos kakinya juga. Ia dapat lihat pada kakinya itu ada tanda merah sebesar uang emas. "Sungguh liehay!" berkata In Tiong. "Syukur kau memakai sepatu dan kaos kaki." Anak muda ini pinjam pedang si nona, dengan ujung pedang itu, ia gurat tanda merah di kakinya nona itu hingga terluka, setelah mana, lekas-lekas ia menguruti untuk keluarkan darahnya yang sudah kental dan hampir hitam warnanya. Setelah itu, ia lantas borehkan obat. "Sekarang kau boleh beristirahat," berkata si pemuda kemudian. "Lihat besok, bagaimana perubahannya, kalau perlu, kau mesti berobat lebih jauh." Suaranya pemuda ini tenang tetapi hatinya sebenarnya tegang sekali, inilah disebabkan obat yang ia pakai adalah obat biasa saja, bukan obat istimewa untuk luka semacam itu. Ia sebenarnya kuatir racun masih belum lenyap, hingga bisa terjadi luka itu berubah menjadi berbahaya. Bagaimana kalau kaki nona itu menjadi bercacat sebab pertolongan tidak tepat? Keng Beng tidak menginsafi kekuatiran itu, ia pandang enteng kepada lukanya, maka juga ia perlihatkan wajah yang tersungging senyuman manis. Ia sangat girang dan puas untuk perlakuannya In Tiong itu, yang demikian telaten merawat padanya, hingga tak dapat ia umpetkan perasaan hatinya itu. Di dalam hati kecilnya pun ia berkata: "Dibandingkan dengan Tan Hong, dia agak kasar, tetapi perhatiannya ini tak kalah daripada Tan Hong atau In Loei..." "Eh, kau jangan perhatikan aku saja," kata ia kemudian. "Kau sendiri pun telah kena sambarannya si bangsat tua bertopeng itu..." Ia bicara sambil tertawa. "Untukku tidak ada halangannya, aku memakai lapisan emas," In Tiong berikan jawabannya. Tapi ia buka pakaiannya, seragamnya, maka ia bisa lihat, lapis emasnya pun lecet, tapi benar tubuhnya tidak terluka. Keng Beng leletkan lidahnya. "Sungguh liehay si muka bertopeng itu!" katanya. "Dia terlebih liehay daripada si penjahat yang membokong aku!" Sementara itu barisan wanita dari Nona Keng Beng sudah berhasil memadamkan api yang membakar tenda, sedang jauh di sebelah luar itu, suara pertempuran pun sudah lantas menjadi sirap, tandanya pertempuran telah sampai di akhirnya. Cuma di tengah udara masih terdengar suaranya anak-anak panah yang menyambar-nyambar. Tidak lama kemudian satu pahlawan datang melaporkan: "Dengan mengandal rejeki besar dari thaydjin, penyerang telah dapat dipukul mundur!" "Apakah mereka telah mundur seanteronya?" In Tiong tegaskan. "Nampaknya mereka masih berjaga-jaga dari tempat yang tinggi," pahlawan itu berikan keterangan. "Mereka kadang-kadang masih melepas anak panah tetapi mereka tidak berani menyerbu pula." "Jikalau begitu, rupanya mereka hendak kurung kita," In Tiong bilang. "Sekarang berhati-hatilah kamu membuat penjagaan, jangan sekali alpa. Apakah ada yang terluka di pihak kita?" "Ada," sahut pahlawan itu. "Dua terkena panah, satu luka terbacok, tetapi luka mereka tidak berbahaya." "Bawa mereka itu ke dalam tenda, supaya serdadu wanita rawat lukanya," In Tiong memerintahkan. Delapan belas pahlawan itu adalah pahlawan-pahlawan kelas satu dan kelas dua, semua gagah, hingga yang terluka sedikit sekali. Beberapa serdadu wanita lantas saja menjadi repot, akan obati ketiga pahlawan itu. Belum terlalu lama, satu pahlawan datang pula dengar laporannya: "Musuh telah menyalakan api di atas gunung, asapnya mengepul hebat. Entah apa maksudnya..." Baharu saja pahlawan itu berhenti bicara, mereka segera dengar suara terompet yang nyaring. Hebat terompet itu akan tetapi musuh tidak menyerang. "Inilah berbahaya," mengatakan In Tiong. "Mereka menyalakan unggun, mereka pun perdengarkan terompet, itu tandanya mereka meminta bala bantuan. Mungkin sebentar, sebelum terang tanah, kita akan bertempur pula..." Maka itu, ia lantas atur penjagaan di empat penjuru tenda. Dua orang dijadikan satu rombongan. Suara terompet terdengar pula, lalu sirap. Asap unggun pun terbawa angin, lalu apinya padam. Dengan begitu, sang malam menjadi sunyi seperti biasa pula. "Apakah kau merasa baikan?" In Tiong tanya Keng Beng, kaki siapa ia periksa. "Aku merasa lebih enak," sahut si nona, yang segera alisnya terbangun. Ia kata pula dengan cepat: "Dugaanku kawanan penyerbu ini bukannya penjahat biasa!" "Kenapa kau beranggapan demikian?" In Tiong tanya. "Jikalau mereka ada penjahat biasa dan maksudnya cuma untuk merampas barang-barang kita, tidak ada perlunya mereka memakai topeng." "Apakah kau mencurigai mereka sebagai tentara Mongol?" In Tiong tanya. "Aku percaya Yasian tidak akan berani sembarangan berbuat demikian rupa. Tiga korban yang terbinasa itu aku telah perika, semua adalah orang-orang Han." "Tetapi apa perlunya mereka bertopeng?" Keng Beng berkata pula. "Kenapa di wilayah Mongolia ini ada banyak orang Han sebangsa mereka?" In Tiong mengkerutkan keningnya, ia berpikir keras. "Mereka pakai topeng, tentulah mereka kuatir akan dapat dikenali kita," ia berkata kemudian. "Dan penjahat tua yang liehay itu, melihat potongan tubuhnya, aku rasanya seperti mengenalinya, entah di mana aku pernah bertemu dengannya." "Cobalah kau pikirkan dengan pelahan-lahan," Keng Beng anjurkan. In Tiong benar-benar asah otaknya. "Oh, aku ingat sekarang," kemudian ia berkata pula. "Tempo hari ketika kami bertempur di tanah lapang, selama diadakan perebutan kehormatan Tjonggoan, aku telah lihat padanya. Ketika itu ada banyak sekali calon, aku juga tidak sampai bertempur dengan dianya. Aku tidak ingat betul, siapa dia..." Keduanya lantas berdiam, "Sayang tadi tak dapat kita bekuk padanya," kata In Tiong sambil menghela napas, menyatakan penyesalannya. Keng Beng berdiam terus, maka si anak muda pun bungkam pula. Belum lama kesunyian itu berlanjut, mendadak keduanya menjadi kaget sekali. Tenda mereka melesak dengan perdengarkan suara keras. Itulah tandanya tenda telah tertimpa barang yang berat. In Tiong segera lompat menyamping. Segera terlihat tenda terbelah, dari mana tertampak satu tubuh merosot masuk. Untuk herannya si utusan kerajaan Beng, dia kenali orang itu adalah musuh yang melukai Keng Beng. "Orang pandai siapakah yang tengah bergurau?" In Tiong berseru menanya. Menyusuli jatuhnya tubuh orang bertopeng itu, dari lobang tenda itu lompat masuk satu orang, yang terus saja tertawa berkakakan. "Aku tolongi kau membekuk jahanam ini, cara bagaimana kau mengatakan aku bergurau?" berkata dia. Tamtay Keng Beng berlompat dengan kegirangan, hingga ia perdengarkan seruannya. Orang yang baharu datang ini adalah Thio Tan Hong! In Tiong pentang matanya lebar-lebar, ia melengak. Ia heran dan sangat kagum untuk liehaynya Tan Hong itu, yang seperti juga pergi dan datang tanpa ketentuan. "Coba kau bentet topengnya!" Tan Hong berkata tanpa ia pedulikan utusan kaisar Beng itu tercengang. Orang yang bertopeng itu rebah tanpa berkutik, rupanya dia telah kena ditotok Tan Hong. Mungkin juga dia terluka karena terbanting keras barusan. In Tiong sadar, ia bertindak menghampirkan, ia ulur tangannya akan sambar topeng orang. Maka sekarang ia kenali See Boe Kie siapa, selama adu kepandaian di kota raja, telah kena dirubuhkan Liok Thian Peng muridnya Tiatpie Kimwan si Lutung Emas Bertangan Besi. Itu waktu dia dianggap sebagai calon biasa saja seperti calon-calon lainnya, tidak tahunya dia adalah penjahat besar di perbatasan kedua negara. Sekarang In Tiong menjadi gusar sekali. "Saudara Thio, tolong kau totok sadar padanya!" ia minta kepada Tan Hong. "Ingin aku dengar keterangannya!" Tan Hong tertawa. "Sekarang ini sudah tidak ada tempo lagi untuk memeriksa padanya," jawabnya. "Bala bantuan mereka telah datang, di antaranya terdapat orang-orang yang liehay. Mereka itupun bakal lantas menyerang pula..." Selagi In Tiong berdiam, Keng Beng buka mulutnya. Nona ini tahu Tan Hong gagah dan pintar, ia mempercayainya benar-benar. Ia juga menduga, dengan Tan Hong yang bekuk See Boe Kie, mesti Tan Hong ketahui banyak perihal musuh. "Thio Toako," demikian ia berkata, "jumlah kami sedikit, pasti kami tak dapat bertahan lama. Aku minta kau suka membantu mendayakannya." "Saudara In, maafkan aku, hendak aku menjadi seperti Mo Swie yang telah perkenalkan dirinya sendiri," berkata Tan Hong, yang tak jawab lagi si nona. "Hendak aku mewakilkan kau..." In Tiong mengerti akan kelemahan rombongannya, ia juga sangat kagumi anak muda itu, ia tidak berkeberatan. "Saudara Thio, silakan kau berikan titah-titahmu!" ia berikan perkenannya. "Segera kita harus menyingkir dari sini!" Tan Hong bilang tanpa berayal lagi. "Sekarang malam gelap gulita, kami juga tidak ketahui keadaan musuh," berkata In Tiong, "di sini pun ada banyak wanita, apakah mundur tidak berarti kita menghadapi bencana?" Sebaliknya dari utusan kaisar itu, Tamtay Keng Beng tertawa. "Mestinya Thio Toako ada punya rencana sendiri!" ia bilang. Nyata ia sangat mempercayai tjoekong yang muda itu. In Tiong menjadi bungkam. "Semua barang yang hendak dihadiahkan kepada raja Watzu, kau muatkanlah di atas bebokong seekor kuda," Tan Hong beri petunjuk, "lalu kau perintahkan semua orang lainnya meninggalkan kuda mereka. Mereka mesti turut aku menerobos keluar! Aku tanggung keselamatan kamu, malah kau akan berbalik menjadi mendirikan jasa besar!" In Tiong bersangsi, ia setengah percaya dan setengah tidak, maka itu, ia mengawasi Keng Beng. "Kau jangan kuatir," si nona berkata. "Aku dapat berjalan." Utusan kaisar itu kuatirkan kakinya si nona. Tetapi Keng Beng sudah lantas berlompat, untuk membuktikan bahwa ia dapat bergerak dengan leluasa. "Oh, kiranya kau terluka, adik Tamtay?" bertanya Tan Hong. Ia awasi nona itu, yang ia tidak tahu telah mendapat halangan. "Sekarang kau dapat bergerak dari berjalan, sebentar selang satu jam, nanti aku obati padamu." Pemuda ini lantas titahkan serdadu perempuan siapkan seekor kuda, yang ke empat kakinya dibungkus wol tebal hingga di waktu berjalan, binatang itu tidak akan menerbitkan suara tindakannya. Semua barang yang hendak dibawa, digemblokkan kuat-kuat di bebokong kuda itu. Berbareng dengan itu, In Tiong perintahkan seorang pahlawannya, untuk berikan kisikan kepada yang lain-lainnya, supaya semua undurkan diri dan berkumpul, untuk bersama-sama menyingkir dari tenda yang terkurung musuh itu. Maka sebentar kemudian, mereka sudah siap sedia. Tenda telah digulung rapi, tiga pahlawan yang terluka sudah lantas digendong. Tan Hong jalan di muka sebagai penunjuk jalan. Semua tutup mulut, hingga mereka tidak perdengarkan suara apa juga. Tetapi di waktu mereka mau berangkat, Tan Hong perintahkan semua kuda dikumpulkan, mukanya dihadapkan ke arah musuh, lalu kempolannya semua kuda itu ditikam dengan golok, hingga semuanya kaget dan kesakitan, sambil meringkik keras, mereka kabur ke depan, ke arah musuh. Tentu saja, di waktu gelap petang itu, ringkikan dan tindakan kakinya semua kuda itu menerbitkan suara sangat berisik, hingga musuh menyangka bahwa pihak lawan, yang tengah mereka kurung, sudah lakukan penyerangan balasan, hingga mereka menjadi repot bersiap untuk menangkis. Dan justeru itu, Tan Hong ajak rombongannya kabur ke arah barat di mana ada suatu jalanan kecil. Baik orang maupun kuda, tidak ada satu juga yang menerbitkan suara. Di tengah jalan, mereka pun tidak menemui rintangan. In Tiong menjadi heran. "Kenapa di sini tidak ada musuh yang menjaga?" menanya utusan kaisar Beng ini sesudah mereka melalui perjalanan sekian lama. Thio Tan Hong tertawa. "Jalanan ini tidak ada mulut jalan untuk keluar, inilah jalan mati," ia menjawab. "Di sini ada ditaruh belasan serdadu penjaga tetapi mereka itu telah aku bikin habis. Berhati-hatilah semua, semakin ke depan jalan semakin buruk dan berbahaya." Memang di kedua tepi ada batu-batu gunung yang besar dan tidak rata bagaikan batang rebung, yang pun ketutupan pohon-pohon oyot dan duri. Untuk menyingkirkan rintangan itu, Tan Hong kerjakan pedangnya, sedang sebelah tangannya yang lain dipakai menuntun kuda. Ia jalan di muka sebagai pembuka jalan. Oleh karena semua orang mengerti silat dengan baik, tidak terlalu sulit untuk mereka ikuti si anak muda. Di mana perlu, mereka juga gunai senjatanya, untuk singkirkan pelbagai rintangan oyot itu. Belum terlalu lama, tibalah mereka di luar jalan kecil dan berbahaya itu, hingga sekarang mereka tampak langit yang gelap, yang bintang-bintangnya berkelak kelik. Angin meniup dengan keras. Mereka sukar melihat ke sekitarnya tetapi mereka tahu bahwa mereka berada di sebuah tempat terbuka, tegalan rumput yang lebar. Mungkin mereka berada di tengah lembah... Sampai di situ baharulah In Tiong dapat bernapas lega. Tetapi meski demikian, hatinya belum aman betul. Ia kata: "Benar kita sekarang sudah lolos tetapi tipu kita tadi bukanlah akal yang dapat bertahan lama, itu hanya untuk sementara saja... Lihat, di depan kita ada gunung besar yang mencegat jalan, malam pun demikian gelap, cara bagaimana kita bisa melewatinya? Di akhirnya, musuh toh akan ketahui tipu kita itu... Sebaliknya dari utusan itu, yang hatinya ber-kuatir, Tan Hong tertawa. "Aku justeru hendak pancing mereka itu datang kemari!" katanya. Tanpa berayal lagi, ia atur delapan belas pahlawan dan serdadu-serdadu wanita itu, berikut In Tiong dan Keng Beng, untuk menyembunyikan diri di tempat yang tinggi, untuk menyambut musuh. Ia sendiri pun segera menempatkan diri. Belum lama mereka bersiap, lalu terlihat datangnya musuh, yang mendatangi dengan berlerot-lerot. Yang paling dahulu tertampak adalah obor mereka yang dinyalakan besar-besar. Dari kejauhan, mereka nampaknya bagaikan seekor naga. Tan Hong sudah mengatur persiapannya, begitu musuh sudah datang cukup dekat, ia segera perdengarkan suara tertawanya yang nyaring dan panjang. Di malam gelap seperti itu. di dalam lembah, suara tertawa itu berkumandang keras dan riuh, apapula suara itu dapat sambutan dari yang lain-lainnya. Musuh terkejut, mereka tidak tahu di mana adanya lawan, tetapi mereka maju menerjang ke arah dari mana mereka dengar suara tertawa itu. Menyusuli majunya musuh, lalu terdengar jeritan-jeritan, datangnya dari empat penjuru. "Gulingkan batu!" Tan Hong berteriak-teriak. "Gulingkan batu! Hajar mampus semua kurcaci itu!" Di atas gunung itu ada banyak batu besar, sebenarnya tidak sembarang orang dapat menolak batu-batu besar itu, akan tetapi semua pahlawan-pahlawan itu kuat-kuat, mereka dapat menjalankan titahnya Tan Hong sebagaimana si anak muda telah merencanakannya. Maka itu, hebat kesudahannya ketika banyak batu besar menggelinding turun dari sana sini dari lamping gunung itu, yang menggelinding saling susul. Banyak musuh yang kena terbentur batu, tubuhnya rubuh, obornya terlempar terlepas, tubuh mereka ketindihan batu-batu besar itu. Ada yang berkaok-kaok, ada yang menjeritnya tertahan. Di antara terangnya obor, In Tiong mengawasi kepada musuh itu. Ternyata tempat di mana musuh jatuh adalah sebuah rawa atau pengempang, yang di atasnya ketutupan pohon-pohon kaput atau lainnya, hingga di dalam gelap itu, tidak dapat orang melihat tempat air itu. Ke situ musuh terjatuh, ketindihan batu atau tenggelam, tak dapat mereka membela diri. Tentu saja mereka itu mendapat luka-luka patah kaki dan tangan atau tubuh remuk... Menampak itu, In Tiong kaget sendirinya. Apabila tidak Tan Hong yang menunjukkan jalan, mereka sendiripun bisa tercebur ke dalam rawa itu. "Kasihlah ampun kepada mereka!" Tamtay Keng Beng meminta, sebab tak tega ia menyaksikan orang menjadi kurban secara demikian hebat. "Tahan!" Tan Hong pun segera berikan titahnya. Maka berhentilah turunnya batu-batu besar itu. "Kawanan serdadu musuh boleh dikasih ampun tetapi pemimpinnya tidak," kemudian Tan Hong kata sambil tertawa kepada In Tiong. "Mari kita berdua bekuk satu atau dua orang! Adik Tamtay, kau tunggulah sebentar di sini!" In Tiong akur, maka Tan Hong ajak dia pergi. Anak muda itu ambil jalan mutar. Di dalam rawa, semua tentera musuh yang masih dapat bergerak, atau yang tidak terluka, telah berebut mendarat, untuk menyingkirkan diri. Mereka tidak lihat ada serangan lagi, tetapi mereka berlalu dengan terburu-buru. Tan Hong dan In Tiong berlaku hati-hati. Karena mereka jalan mutar, mereka sampai dengan lekas di bahagian belakang dari barisan musuh. Di sana mereka dapatkan dua pemimpin musuh yang bertopeng, satu di antaranya dikenali sebagai si orang tua yang liehay. Kedua pemimpin ini sedang beraksi untuk mencegah tenteranya menjadi kalut terus-terusan. Tan Hong kisiki In Tiong, lalu ia mendekati kedua pemimpin musuh itu, begitu datang dekat, ia lompat menerjang si orang tua, yang ia tikam. Orang tua itu kaget, tetapi ia liehay, walaupun ia diserang secara membokong, masih dapat ia berkelit sambil terus balas menyerang dari samping. Tan Hong sudah duga ke mana musuh akan buang dirinya, sebat luar biasa ia tarik pedangnya, untuk dipakai menyerang pula, sasarannya kali ini adalah pundak musuh. Orang tua itu kalah gesit, juga karena ia membalas menyerang sambil berkelit, maka ia menjadi tidak berdaya ketika datang serangan yang kedua. Ia kena tertikam, tubuhnya lantas saja rubuh. Kembali Tan Hong tunjukkan kesebatannya, ketika musuh jatuh, ia berlompat maju untuk menjambret, pedangnya dipakai menjaga pedang musuh kalau-kalau musuh masih dapat membela diri. Bagaikan garuda menyambar kelinci, demikian ia cekuk musuh tua itu, yang tubuhnya terus diangkat. In Tiong juga berhasil. Ia telah membarengi Tan Hong menyerang pemimpin musuh yang kedua, musuh ini lengah, dia kena terpukul, akan tetapi dia mengenakan baju lapis kulit, maka itu, waktu terhajar, dia cuma limbung, tidak sampai dia jatuh. Tapi pukulan In Tiong hebat sekali, baju lapis kulit itu robek. Sudah begitu, utusan kaisar yang gagah itu tidak memberi ketika, ia menyusuli dengan serangannya yang kedua. "Hm!" berseru musuh itu, yang nyata liehay. Dia tidak cuma dapat berkelit, malah dia dapat membalas juga, akan menotok ke arah pinggang si orang she In, sedang kakinya dikasi melayang, untuk mendupak lengannya In Tiong itu. Itulah serangan menurut ilmu silat partai Thianliong Pay atau Naga Langit dari Seetjhong (Thibet). Tendangannya biasa saja tetapi yang hebat adalah susulannya, atau runtunannya, yang membuatnya orang sukar berkelit. Maka syukur In Tiong tabah dan sebat gerakannya. Hanya setelah mendesak, musuh itu, yang ternyata licik, sudah memutar tubuh, untuk ambil langkah panjang! Tan Hong sudah berhasil membekuk si orang bertopeng tua, ia lihat kelicikannya lawan dari In Tiong itu, sambil bawa tubuhnya si orang tua ia maju untuk mencegat. Musuh itu ganas, ia lantas serang pemuda she Thio itu. Melihat ini, Tan Hong pun berlaku cerdik, yaitu ia bukan berkelit atau menangkis dengan tangannya, ia justeru majukan tubuhnya si orang tua, untuk dijadikan sasaran musuh itu. Di lain pihak, tangan kirinya dikasih bekerja juga. "Aduh!" menjerit si orang tua, yang suaranya bagaikan babi mengguwik. Tetapi jeritan itu juga disusul oleh jeritan lain, ialah dari si orang bertopeng yang licik itu! Tan Hong tertawa bergelak-gelak, ia lantas lepaskan cekalannya kepada si orang tua, yang sudah tidak bersuara lagi, yang sudah tidak berkutik pula, karena serangan kawannya sangat liehay, hingga dia pingsan seketika. "Dia liehay," berkata In Tiong sambil tunjuk musuhnya yang kabur itu. "Dia cuma lebih rendah sedikit saja dari kita. Di antara penyerang-penyerang kita malam ini, dialah yang paling liehay, maka itu, saudara Thio, mengapa kau biarkan dia meloloskan diri?" Tan Hong tertawa memandang utusan kaisar Beng ini. "Jikalau dapat kita menawan, kita menawannya, jikalau dapat kita melepaskan, biarlah kita melepaskannya," jawabnya. "Dia itu... biarlah dia terlepas dan kabur..." In Tiong tidak puas. Ia beranggapan Tan Hong seperti sedang mempermainkan padanya. Akan tetapi di samping itu ia mau menyangka orang masih mempunyai akal lain, karenanya ia lantas tutup mulut, ia tidak menanya lebih jauh. Keduanya segera kembali ke tempat mereka bersembunyi tadi. "Bagus!" berseru Tamtay Keng Beng, yang menyambutnya. "Sekalipun sewaktu Kwan Kong membunuh Hoa Hiong tiada secepat demikian!" "Beruntung!" Tan Hong pun berkata. "Malam ini ancaman bencana sudah lewat, orang kita semua boleh tidur dengan tenang, kecuali kau dan aku, masih ada sedikit urusan lagi yang harus diselesaikan. Saudara In, sekarang silakan kau duduk di tempatmu untuk mulai dengan pemeriksaan!" Sehabis mengucap demikian, Tan Hong titahkan orang membangunkan tenda, untuk mereka beristirahat, sedang ia bersama Keng Beng dan In Tiong, segera hadapkan si orang tua bertopeng. Untuk menyadarkan tawanan itu, mereka mengguyurnya dengan air dingin, lalu orang digusur ke dalam tenda. Thio Tan Hong sudah menduga siapa adanya si orang tua, ternyata ketika ia telah sambar topeng orang untuk dibukanya, dugaannya tidak meleset. Orang tua itu adalah ayahnya See Boe Kie, yaitu See Too. Maka ia tertawa dengan dingin. "Manusia yang mencari pangkat dengan hianati sahabat, dengan tak segan menjual negara berkongkol dengan musuh, sungguh dosamu tak dapat ditebus hanya dengan jiwamu!" anak muda kita mencaci. "Syukur mengenai aksimu malam ini telah aku menduganya sejak siang-siang, jikalau tidak, tidakkah kamu akan membikin kedua negara menjadi bentrok dan berperang?" In Tiong juga mendongkol dan gusar, ia turut menegur. "Ada permusuhan apakah di antara kamu dan si utusan kaisar Beng?" demikian tegurnya. "Apakah sebabnya maka kamu serbu kami dan hendak membinasakan kami semua? Hayo lekas berikan pengakuanmu, supaya kau tak usah merasakan kompesan!" "Sama sekali aku tidak berniat membinasakan kamu," See Too menjawab. "Lebih-lebih aku tidak memikir untuk menimbulkan peperangan di antara kedua negara." "Habis, kenapa kau bawa pasukan dan menyerang kami?" In Tiong tanya. "Itu... itu..." lalu See Too berdiam, tak dapat ia buka terus mulutnya. Tan Hong tertawa dingin pula. "Kau hendak bicara atau tidak?" tanyanya. Dengan dua jari tangannya, ia lantas menotok. See Too mengeluh kesakitan. Ia merasakan totokan itu bagaikan ratusan batang jarum yang menusuk-nusuk tubuhnya, sakitnya bukan buatan. "Ampunilah aku, nanti aku bicara, aku bicara..." sahutnya kemudian sambil meringis-ringis menahan sakit. Tan Hong menepuk jalan darah enghiat too orang. Sejenak saja, lenyap rasa sakitnya si orang tua. "Jikalau kau mendusta setengah patah kata saja, akan aku beri rasa pula padamu!" si anak muda mengancam. Ia berwajah lemah lembut akan tetapi suaranya, sikapnya, keren sekali. "Semua ini adalah Yasian yang perintahkan aku melakukannya," benar-benar See Too berikan pengakuannya. In Tiong menjadi kaget sekali, hingga ia tercengang. "Jangan ngaco!" ia membentak. "Aku bicara dari hal yang benar," menjawab See To. "Yasian tugaskan aku menyerang kamu untuk diculik, setelah itu nanti dia kirim pasukan perangnya untuk menolongi kamu. Dengan begitu hendak dia membikin seperti juga tentera negeri melabrak penjahat. Dengan itu jalan hendak Yasian pengaruhi kamu, supaya kamu terjatuh ke dalam genggamannya hingga kamu jadi bersyukur terhadapnya." In Tiong heran hingga ia berdiam saja. Tak dapat ia menerka siasat Yasian itu. "Sungguh tipu daya yang sangat busuk!" berkata Tan Hong sambil tertawa tawar."Ini dia tipu daya yang dinamakan dengan sebutir batu menimpuk tiga ekor burung. Yang pertama ialah Yasian hendak membikin runtuh pamormu sebagai utusan kerajaan Beng, supaya kau mendapat malu besar." "Jikalau Yasian berhasil menawan kau dan dia dapat berpura-pura menolongmu," berkata Nona Keng Beng, "itu artinya kau telah terjatuh ke dalam genggamannya! Atau lebih benar, kau menjadi orang tawanannya hingga tak dapat kau berbicara." "Dengan begitu," Tan Hong menyambungkan, "kalau nanti telah di mulai dengan perundingan perdamaian, Yasian menjadi menang di atas angin, dia dapat mengajukan syarat-syarat yang menghina Tionggoan. Kau berada dalam tangannya, tidak dapat kau bersikap keras." In Tiong mengerti sekarang, dan iapun insyaf bahwa ia nyata kalah cerdas dari Tan Hong dan Tamtay Keng Beng. "Pasukan tentara yang Yasian akan kirim itu, di mana nantinya mereka bertemu dengan kau?" Tan Hong tanya pula See Too. "Di depan, di mulut gunung ini," See To jawab. "Bagus, kau benar tidak mendusta!" berkata Tan Hong sambil tertawa. "Baiklah, aku kasih ampun padamu, kau boleh tak usah mati!" Di mulut pemuda ini mengucapkan demikian tetapi tangannya dengan sebat sekali menepuk dua kali beruntun tubuhnya orang she See itu, dengan begitu ia pukul remuk tulang piepee orang itu, hingga habis sudah tenaga dan kepandaian silatnya, untuk selanjutnya, meskipun See Too mengarti Toksee Tjiang, ilmu tangan jahat, ilmu itu tak dapat digunai lagi terhadap lain orang. See Boe Kie pun tidak luput dari tepukan Tan Hong, kemudian anak dan ayah oleh Tan Hong dibawa keluar tenda. "Sekarang pergilah kamu!" Tan Hong memberi ijinnya. Atau lebih benar ia usir kedua orang she See itu. "Bagaimana besok kita hadapi tenteranya Yasian itu?" tanya In Tiong sesudah Tan Hong kembali ke dalam tenda. Tan Hong tertawa. "Sekarang baiklah kau tidur dulu, untuk beristirahat," jawabnya. "Kau percaya aku, dapat aku layani mereka, akan aku bikin kau tidak usah hilang muka..." Selagi In Tiong belum sempat mengatakan sesuatu, Keng Beng mendahului ia. "Thio Toako," katanya sambil bersenyum, "kau pandai sekali menghitung, segala apa seperti telah masuk dalam terkaanmu, apakah kau mengerti ilmu meramal hingga kau ketahui segala apa di muka?" In Tiong cocok dengan pertanyaannya si nona. Ia memang heran kenapa Tan Hong tahu segala niat musuh, hingga dapat dihindarkan ancaman bahaya hebat itu. Sebenarnya ia ingin menanya, tetapi si nona telah mendahuluinya, ia jadi turut menantikan penjelasan. Tan Hong tidak menjawab, hanya sambil kibaskan tangannya, dia tertawa pula. "Rahasia alam tak dapat dibocorkan!" katanya Jenaka. "Besok pagi kamu akan ketahui sendiri! Saudara In, sekarang kau tidurlah!" In Tiong menjadi masgul, tetapi karena ia tidak dapat memaksa, terpaksa ia menurut saja untuk tidur. "Eh, hampir aku lupa akan satu hal!" berkata Tan Hong tiba-tiba, selagi orang hendak rebahkan diri. "Tunggu sebentar! — Adik Tamtay, bagaimana dengan kakimu?" In Tiong awasi anak muda itu, Keng Beng sebaliknya mencoba-coba menggerak-gerakkan kakinya. "Rasanya sedikit kaku, tak leluasa untuk dipakai bergerak," sahut nona ini. Ia pun lantas gulung kedua ujung celananya. In Tiong lihat kaki orang itu, dia terperanjat. "Hai, betismu merah dan bengkak!" dia berseru. Ini memang hal yang ia kuatirkan. "Tan Hong, bukankah tadi kau mengatakan bahwa kau ada punya daya untuk mengobatinya?" Sekarang pemuda ini ingat perkataan si orang she Thio tadi. "Benar," Tan Hong menjawab, cepat, "hanya aku hendak minta kaulah yang tolong mengobatinya." In Tiong heran, ia mengawasi pula. Si nona pun kurang mengerti. Tan Hong merogo ke dalam sakunya, dari situ ia keluarkan sebatang jarum. "Kau pegang ini," ia berkata kepada si utusan kaisar Beng. "Kau tahu jalan darah yongtjoan hiat di kaki itu, kau tusuk jalan darah itu dua kali, lalu kau tusuk dua kali juga jalan darah hongbwee hiat. Besok pagi, bengkak dan tanda merah ini akan hilang lenyap. Jangan kamu berkuatir. Besok aku ajarkan pula caranya untuk menusuk dengan jarum ini." Anak muda ini ajarkan bagaimana In Tiong mesti menusuknya, yang lalu diturut oleh orang she In ini. Nona Keng Beng cuma merasakan sakit sedikit waktu ditusuk. Ia memang gagah dan berani, tusukan itu tidak berarti baginya. "Hawa udara di Watzu ini buruk," berkata Tan Hong kemudian, "ada orang-orang yang tidak keruan-ruan bisa sakit tulang-tulang kakinya seperti kau ini, adik Tamtay. Ilmu mengobati menusuk dengan jarum ini, tidak hanya dapat menyembuhkan segala penyakit sakit di buku tulang seperti ini, bahkan dapat menolong orang yang telah menjadi pincang. Saudara In, tidak dapat kau tidak mempelajarinya ilmu menusuk jarum ini!" In Tiong tidak menyahuti, tetapi di dalam hatinya ia kata: "Keng Beng tidak pengkor, untuk apa kau ngoce banyak seperti ini?" Tapi masih Tan Hong bicara lebih jauh, maka ia memotongnya: "Baiklah, masih ada tempo untuk aku belajar besok..." "Memang, tak dapat kau tidak mempelajarinya!" Tan Hong berkata pula. Apakah kau merasa sebal? Baiklah, kitab ini juga aku berikan padamu! — Eh, adik Tamtay, kau harus anjurkan dia mempelajarinya!" Dan ia robek beberapa lembar dari kitabnya, lembaran robekan itu ia belesakkan ke dalam tangannya In Tiong! Bukan main herannya utusan raja Beng ini, hingga ia lupa untuk menghaturkan terima kasihnya. Nona Tamtay cerdas, ia heran kenapa Tan Hong begitu mendesak hendak mengajarkan In Tiong ilmu pengobatan menusuk jarum itu, tapi beda daripada In Tiong, ia mengerti mesti ada sebab-sebabnya. Maka itu, ia lantas tertawa. "Karena Thio Toako bermaksud baik, kau terimalah!" ia desak si utusan. In Tiong terpaksa terima resep pengobatan jarum itu, karena Keng Beng telah mengatakan demikian, ia hanya tetap masih tidak mengerti, ia tetap merasa heran. "Bagus!" berkata Tan Hong tanpa pedulikan keheranan orang. "Sekarang dapat kau mengobati sendiri pada adik Tamtay! Aku tak usah mengganggu pula padamu..." Lantas ia undurkan diri. Keesokannya pagi, Tan Hong adalah yang paling dulu bangun dari tidurnya. Malah dia terus pergi ke tenda In Tiong, akan banguni utusan kaisar Beng itu. "Bagaimana lukanya adik Tamtay?" Inilah pertanyaannya yang pertama-tama. In Tiong tertawa. "Ilmu pengobatanmu dengan jarum itu benar-benar liehay sekali!" ia menjawab, "Tadi malam, belum lewat setengah jam sehabis dia ditusuki dengan jarum, dia sudah lantas bisa bergerak dengan merdeka seperti biasa!" "Kalau begitu, sekarang kita dapat berangkat dari sini," Tan Hong bilang. "Kau perlu ketahui, di belakang kita masih harus terjadi suatu pertunjukan sandiwara yang menarik hati!" In Tiong tidak mengerti, ia heran. Peristiwa apa lagi yang dimaksudkan pemuda ini? Dia bicara begitu tenang dan gembira. Bukankah mereka akan menghadapi pula pasukannya Yasian? Bagaimana pasukan itu hendak dihadapinya? Ia juga tetap heran kenapa Tan Hong ketahui mereka terancam bahaya dan datang malam-malam untuk menolongnya... Oleh karena ia tidak tahu apa yang si anak muda bakal lakukan, terpaksa In Tiong serahkan pimpinan kepada si anak muda itu. Seperti sudah diketahui, di dalam pertempuran semalam, dari delapan belas pahlawannya In Tiong, tiga telah terluka, tetapi semua mereka pandai menunggang kuda, maka itu, utusan ini titahkan mereka pergi ambil kudanya barisan penyerbu di bawah pimpinan See Too itu. Di tempat pertempuran masih ada kudanya pasukan itu, binatang-binatang itu tidak kabur semuanya, dua puluh di antaranya dipilih dan diambil. Setelah semua sudah siap, orang mulai keluar dari lembah itu. Baharu rombongan ini tiba di muka gunung, dari sebelah depan mereka sudah dengar suara dari banyak kuda berlari-lari, pada itu tercampur seruan-seruan dari pasukan yang buyar. "Itulah mirip pasukan yang kabur tunggang langgang," In Tiong utarakan dugaannya. Tan Hong tertawa mendengar pengutaraan itu. "Pertunjukan sandiwara akan segera di mulai!" ia berkata dengan penyambutannya. "Kamu tunggu dan lihat saja!" Mereka berjalan terus, hingga mereka melewati jalan yang menikung. Dari sini mereka lantas lihat debu mengepul di sebelah depan mereka, lalu tertampak mendatanginya satu pasukan tentera Mongol terdiri dari kira-kira tiga puluh jiwa yang tidak keruan seragamnya, kudanya meringkik kecapean. Itulah pasukan yang kalut kalah perang! Rombongannya Tan Hong berdiam mengawasi pasukan itu, yang datang menghampirkan mereka, di antara orang yang menjadi pemimpin maju kemuka sekali sampai di depan In Tiong, terus ia angkat kedua tangannya, untuk memberi hormat seperti cara tentera Tionggoan. "In Soesin telah tiba di negara kami, maaf kami telah terlambat menyambutnya." berkata dia. Dengan "soesin" dia maksudkan "utusan kaisar Tiongkok". "Kami adalah wakilnya Thaysoe Yasian," sahut perwira itu. "Kami ditugaskan menyambut In Soesin yang telah tiba di negara kami. Ah, Thio Kongtjoe juga ada di sini. Bagus!" Perwira itu lihat Tan Hong, yang ia kenali. Ia adalah Ngochito, pahlawan nomor satu dari Perdana Menteri Yasian. Menghadapi pemuda she Thio itu, agaknya ia likat, walaupun udara lembab, ia mengeluarkan peluh di keningnya. Tan Hong bersenyum. "Sungguh sempurna perlayanan thaysoe kamu!" ia berkata. Sambil mengucap demikian, dengan tiba-tiba pemuda ini majukan kudanya, sampai di dekatnya Ngochito, menyusul mana sebelah tangannya menyambar kepada satu perwira di sisi pahlawan nomor satu dari Yasian itu, lalu dengan paksa ia tarik tubuh orang. Perwira itu bukan sembarang perwira, walaupun ia telah kena dicekal, ia masih dapat membuat perlawanan. Begitulah, setelah tangannya tak berdaya, ia ayun kedua kakinya, untuk menendang orang yang mencekuk padanya. Akan tetapi Tan Hong sudah bersedia untuk segala apa, ia mendahului menotok, maka perwira itu lantas diam bagaikan mayat hidup! Kejadian ini ada di luar dugaan siapa juga, terjadinya sangat cepat, semua orang menjadi terkejut dan heran. Ngochito tak dapat menahan sabar. "Thio Kongtjoe, mengapa kau berlaku begini tidak tahu aturan?" dia menegor. Tan Hong tidak gubris tegoran itu, ia terus kerjakan kedua tangannya. Lebih dahulu ia robek seragamnya si perwira, terus ia buka baju lapis kulitnya, hingga tertampak bebokong orang di mana terlihat satu tanda yang luar biasa sekali, ialah cacahan huruf "tjat" (= "bangsat"). Huruf itu adalah huruf "tjodjie" — tulisan ringkas. "Siapakah yang tidak tahu aturan?" Tan Hong tanya sambil tertawa. "Kau pernah pelajari huruf Tionghoa, kau kenal huruf ini, bukan? Ha, syukur aku sempat membuat tanda!" Sambil berkata demikian, pemuda ini lemparkan tubuhnya perwira itu ke arah In Tiong, maka satu pahlawan segera menyambutnya untuk diringkus. "In Soesin." berkata Tan Hong, sekarang kepada In Tiong, si utusan kaisar Beng. "Perwira ini adalah si bangsat yang tadi malam dapat meloloskan dirinya! Dialah yang bernama Ma I Tjan, salah satu pahlawan di bawahnya Thaysoe Yasian! Silakan kau bawa dia untuk dikembalikan kepada thaysoe Yasian itu!" Ngochito jadi sangat gusar, hingga ia seperti lupa segala apa. Ia angkat goloknya, dengan itu ia serang Tan Hong! Si anak muda tidak tinggal diam saja, segera dengan pedangnya ia menangkis, untuk melayani bertempur. Setelah beberapa jurus, dengan tiba-tiba ia tertawa berkakakan. "Apakah belum cukup kau rasakan kesengsaraan yang tadi malam kau derita?" ia menanya. "Kau ingin terjatuh ke dalam tanganku atau ke dalam tangannya musuh dari Thaysoe Yasian?" Ngochito tercengang tetapi segera dia mencaci: "Jadinya tadi malam adalah kau yang mengacau, binatang!" Lalu dengan bacokan "Toapek Hoasan" = "Menggempur gunung Hoasan," dia menghajar dengan bengis. Tan Hong seorang pemberani, ia kerahkan tenaganya, ia menangkis sambil membabat, maka itu pedangnya, pedang Pekin kiam si Mega Putih lantas bentrok keras dengan golok pahlawannya Yasian itu. Sebagai akibatnya bentrokan itu, ujung golok Ngochito telah terpapas buntung, atas mana dia segera larikan kudanya untuk menyingkirkan diri. "Sekalipun kau hendak lari, tak dapat kau wujudkan itu!" berkata Tan Hong sambil tertawa. "Kau lihat di sana — siapa itu yang sedang mendatangi?" Tan Hong menunjuk ke depan, dari mana seekor kuda kelihatan lari mendatangi cepatnya bagaikan terbang, hingga seperti tertampak hanya sebuah bayangan putih. Ketika Tamtay Keng Beng sudah lihat tegas siapa si penunggang kuda itu, dia berteriak bagaikan bersorak: "Kakak!" Orang yang tengah mendatangi itu memang Tantai Mie Ming dan binatang tunggangannya adalah kuda putih Tjiauwya saytjoe ma kepunyaannya Tan Hong! Ngochito kenali jenderal itu, ia kaget hingga semangatnya seperti terbang meninggalkan raganya, meski begitu masih sempat ia memanggil: "Tantai Tjiangkoen..." Tantai Mie Ming menyambut dengan tertawanya yang nyaring. "Bangsat, sekarang akan aku bikin kau kenal kepada Tantai Mie Ming!" ia berkata. Oleh karena mereka telah datang dekat satu pada lain, Mie Ming segera serang pahlawannya Yasian itu, yang hatinya sudah kuncup, hingga dia tidak dapat menangkis atau berkelit lagi, maka sekali hajar saja, dia telah dibikin rubuh terjungkal dari atas kudanya. Mie Ming benci pahlawan itu. Ketika baharu ini Yasian titahkan Ngochito kurung Thio Tjong Tjioe, ia telah diperhina, sekarang setelah ia letakkan jabatannya, ia dapat tidak memandang-mandang lagi. Begitulah ia umbar penasarannya itu. Ngochito ada punya sisa kira-kira tiga puluh serdadu, mereka itu semua kenal Tantai Mie Ming sebagai satu pahlawan perang Watztu yang kesohor gagah, maka itu menampak jenderal itu, bahna takut dan kagetnya, beberapa serdadu telah rubuh sendirinya dari kudanya. Yang lainnya, semua lari kabur! Tanpa menghiraukan tentara yang kabur sera-butan itu, Tantai Mie Ming lompat turun dari kudanya, untuk belenggu Ngochito. Sebenarnya ia hendak lantas bicara kepada In Tiong dan Tan Hong tatkala utusan kerajaan Beng itu perlihatkan roman kaget. "Lihat, Yasian sungguh berani! Dia kirim pasukan perang besar!" dia berseru sambil memandang ke depan, tangannya menunjuk. Tantai Mie Ming berpaling, lantas dia tertawa. "Itulah bukan pasukan perang Yasian," katanya. Sebentar saja, pasukan tentara itu telah tiba, lalu yang menjadi kepala perang menghampirkan Tantai Mie Ming dan bicara, setelah mana, jenderal ini ajar kenal orang itu kepada utusan Beng ini. Nyata pasukan perang itu adalah pasukannya suatu suku bangsa. Ketuanya yang telah marhum telah binasa di tangannya Yasian, lalu ketuanya yang sekarang, dipaksa Yasian tunduk kepadanya. Tapi ketua ini membangkang, justeru dia dapat tahu ada bentrokan di antara Yasian dengan Atzu Tiwan, dia lari ke pihaknya Tiwan. Diapun bergabung dengan Tantai Mie Ming. Tadi malam Ngochito memimpin tentara yang berjumlah lima ratus jiwa, dia hendak menyambut rombongannya See To dan See Boe Kie untuk menyergap In Tiong, tetapi Tan Hong keburu datang dan mengatur siasat, Tan Hong sendiri pergi langsung menolongi In Tiong, Mie Ming bersama barisan suku bangsa itu mencegat barisannya Ngochito, yang mereka serbu, dalam pertempuran malam buta rata itu, pasukan Ngochito kena dipukul rusak hingga dia kabur bersama sisa serdadunya kira-kira tiga puluh jiwa itu, sampai dia ketemu Tan Hong dan rombongannya In Tiong itu. Lacur baginya, sisa serdadu-serdadunya, yang barusan lari serabutan, semuanya kena ditawan barisan suku bangsa itu. Maka ludaslah pasukannya Yasian itu. Setelah mendengar pembicaraan antara Tantai Mie Ming dan ketua suku bangsa itu, serta Tan Hong juga, baharulah In Tiong seperti sadar dari mimpinya. Jelas semua itu adalah Tan Hong dan Mie Ming yang mengaturnya, dengan dapat bantuan barisan suku bangsa itu, maka usahanya Ngochito — atau lebih benar usahanya Thaysoe Yasian — dapat digagalkan. Lebih kebetulan lagi Tan Hong menyelusup ke tangsi musuh, ia jadi ketahui rencananya Ngochito dan See Too, yang bekerja menurut titahnya Yasian. Tan Hong dan Mie Ming pun sama-sama bekerja dengan baik dan berhasil, yaitu memperoleh kemenangan. Pahlawan Yasian yang bernama Ma I Tjan itu mula-mula menggabungkan diri pada Ngochito, dia melihat tanda unggun dari See Too, maka dia lantas berangkat untuk memberikan bantuannya. Apa lacur, dia tidak sanggup lawan In Tiong, dia kena dihajar utusan Beng itu, sesudah mana, Tan Hong dapat kesempatan untuk mencorat-coret huruf "tjat" = "bangsat" di bebokongnya tanpa dia merasa. Tentu saja, karena kena tertawan, dia tidak dapat buka mulutnya lagi. Ketika In Tiong dan si ketua suku membuat pertemuan, mereka saling menghadiahkan "hata," Itulah adat kebiasaan dari suku bangsa Mongol ini. Hata itu adalah semacam sapu tangan sutera, tanda dari penghormatan. Kemudian mereka berembuk akan mengambil putusan, ialah: Ngochito dan Ma I Tjan diserahkan kepada In Tiong sebagai orang-orang tawanan. Ketua suku bangsa itu peroleh semua orang tawanan serta alat senjatanya dan lainnya kepunyaan pasukannya Ngochito itu. In Tiong tidak dapatkan kerugian suatu apa, malah kudanya semua telah didapat pulang. Ketua suku bangsa itu girang bukan main, sebab ia peroleh banyak kuda, ransum dan alat senjata, maka di waktu ia hendak berpisahan dari Tan Hong beramai, berulangkah ia menghaturkan terima kasihnya, seperti Tan Hong pun mengucap banyak terima kasih terhadapnya. Mereka berpisahan sesudah barisan suku bangsa itu mengantar sampai di luar mulut lembah. In Tiong melanjutkan perjalanannya sesudah tengah hari, matahari memancarkan cahayanya hingga buyarlah hawa dingin. Ia merasa gembira sekali. Bukankah ia telah lolos dari ancaman bencana dan berbalik menjadi peroleh kemenangan? "Beruntung tadi malam ada kau!" ia berkata kepada Tan Hong. "Yasian hendak membikin runtuh kepadaku, siapa tahu, sebaliknya dialah yang berbalik terjatuh ke dalam tangan kita!" Tan Hong bersenyum, ia tidak menjawab. "In Toako," Tamtay Keng Beng turut bicara, "kau juga turut berjasa, karena kaupun tidak menjadi gentar atas serbuan musuh!" Nona ini jalankan kudanya berendeng dengan kudanya si utusan kaisar, ia pun gembira sekali, wajahnya berseri-seri. Tantai Mie Ming awasi adiknya itu, lalu di dalam hatinya ia tertawa dan kata: "Kiranya bocah ini sudah punyakan orang yang dia penujui..." Ia senang mengawasi pasangan itu, tetapi ketika ia ingat Tan Hong, ia menjadi berduka untuk tjoekong-nya ini. Bukankah Tan Hong dan In Loei menemui rintangan? Tan Hong juga nampaknya menjadi lesu, hilang kegembiraannya. Sebelum itu ia ada bersemangat. Di dalam kegembiraannya itu, In Tiong seperti lupa segala apa. "Eh, mana In Loei?" tiba-tiba ia tanya si pemuda she Thio. "Kenapa ia tidak bersama kau? Apakah ia seorang diri berdiam di ibu kota Watzu?" Pertanyaan ini sudah hendak dimajukan sejak kemarin tetapi tadi malam telah terjadi penyerbuan dahsyat itu, yang membikin ia lupa akan hal itu. Tan Hong terdiam, ia mesti kuatkan hatinya. Tapi ia harus menjawab. "Ia tidak bersamaku," sahutnya dengan tawar. "Ia telah pulang ke rumahnya untuk menjenguk ibunya." Girang sekali In Tiong mendengar jawaban itu. "Apakah ibuku masih ada?" dia tanya. "Malah aku dengar ayahmu juga telah pulang!" Tantai Mie Ming menyelak sebelum Tan Hong menjawab. Sengaja ia wakilkan pemuda itu, sang tjoekong. "In Thaydjin, kamu sekeluarga dapat berkumpul, sungguh itu ada hal yang sangat menggirangkan!" "Benarkah itu?" berseru In Tiong. Ia girang bukan main. "Mustahil kabar itu bohong?" Mie Ming membaliki. "Cuma..." "Cuma apakah?" In Tiong tanya, cepat. Tadi Mie Ming berhenti bicara karena tempo ia menoleh kepada Tan Hong, anak muda itu telah mengkedipkan mata kepadanya. Maka sekarang ia menjawabnya tak seperti apa yang ia hendak mengatakannya tadi. "Cuma karena jalanan ada jauh, entah mereka dapat susul kau atau tidak..." demikian katanya. In Tiong tertawa. "Aku akan berdiam lebih lama beberapa hari di ibu kota Watzu untuk menantikan mereka," katanya. "Tapi, ketika ia tampak sikap adem dari Tan Hong, ia menjadi kurang puas. Di dalam hatinya, ia berkata: "Ya, memang kami kaum keluarga In bermusuhan dengan kaum keluarga Thio, dia mendengar ayahku masih hidup, tentulah dia menjadi tak bergembira. Sebenarnya dia heran juga, dia berpemandangan luas tetapi sekarang dia menjadi cupat pikiran... Tapi ini ada baiknya juga, kesulitanku pun menjadi berkurang. Dengan In Loei dia tidak dapat berpisah, tetapi sekarang mau atau tidak, dia mesti berpisah juga..." Setelah peristiwa yang hebat itu, berubahlah sudah kesan In Tiong terhadap Tan Hong, bukan melainkan kebenciannya telah menjadi berkurang, malah permusuhannya telah seperti hilang sendirinya. Ia hanya masih beranggapan bahwa di antara kedua keluarga itu tidak seharusnya ada pergabungan pernikahan... Perjalanan telah dilanjutkan dengan tenteram, tidak ada rintangan apapun, maka berselang belasan hari, tibalah mereka dengan selamat di ibu kota Watzu. Segera In Tiong menunda dahulu di luar tembok kota, dari mana ia memandang ibu kota itu. Ia lantas saja ingat banyak hal di masa mudanya, ketika ia turut alami banyak penderitaan. Tapi sekarang, sebagai utusan kaisar, bolehlah ia angkat kepala. Dalam pikiran ruwet tak keruan itu, air matanya turun berketel. Ia tak tahu, ia mesti berduka atau bergirang... Belum lama, mendadak ada terdengar dentuman meriam tiga kali. Menyusul itu, pintu kota telah dipentang lebar-lebar. Nyata raja Watzu telah dengar berita dari tibanya utusan kaisar Tionggoan dan karenanya dia mengirim wakil untuk menyambutnya. Malah Yasian juga turut mengirimkan wakilnya, guna menyambut utusan itu. Hanya wakil ini menjadi heran apabila ia tampak di antara perutusan Tionggoan itu tidak beserta Ngochito dan barisannya, sedang seharusnya Ngochito yang mesti mengiringi perutusan itu. Ia tentu saja tidak ketahui, Ngochito dan Ma I Tjan sedang terkurung rapat dalam sebuah kereta keledai yang dibawa utusan kaisar Beng itu, sementara Thio Tan Hong dan Tantai Mie Ming sudah sejak siang-siang pisahkan diri dari In Tiong, mereka pergi menuju ke pintu kota yang kedua, untuk pulang ke rumah mereka. Perdana Menteri Yasian di dalam gedungnya juga menantikan kabar hal tibanya utusan Tionggoan itu. Ia tidak usah menanti terlalu lama akan terima kabar dari wakilnya. Ia memang tak tenteram hatinya, duduk salah berdiri salah, maka kabar yang diterimanya ini membuat kagetnya bukan kepalang. Ia terima keterangan bahwa utusan Tionggoan datang cuma bersama delapan belas pengiring serta beberapa pelayan wanita, bahwa semua pengiring itu nampaknya gagah, pakaian mereka mentereng, tidak ada tanda-tanda bekas mengalami penyerangan yang membuat pakaian mereka tidak keruan atau kuda lelah dan manusia letih. Dari halnya Ngochito dan lima ratus serdadunya, jangankan orangnya, walau bayangannya pun tak tertampak. Yasian kaget berbareng sangat heran. "Ngochito dan Ma I Tjan kosen dan pintar, mereka ada bersama lima ratus serdadu pilihan, malah dibantu pula oleh See Too serta orang-orangnya, tidak seharusnya mereka gagal, umpama gagalpun, mesti ada orangnya yang lari pulang untuk mengabarkan. Kenapa sekarang tidak seorang juga yang kembali? Mustahilkah utusan Tionggoan itu ada bangsa malaikat?" Demikian Yasian tanya dirinya sendiri, hingga ia jadi berpikir keras. Malam itu, karena ia terus menunggui warta dari Ngochito, sama sekali ia tidak tidur sekejap pun juga. Keesokannya, dari pagi hingga tengah hari, ia masih menanti-nanti, sehingga datanglah kabar tibanya utusan Tionggoan itu, yang membikin keheranannya sampai di puncaknya. Di hari kedua, pagi-pagi Yasian kirim wakil kepada In Tiong, untuk undang utusan itu. In Tiong terima undangan itu. Sudah selayaknya ia berkunjung kepada perdana menteri Watzu. Ia datang dengan ajak empat pengiring berikut sebuah kereta keledai. Tapi ia datang sesudah jauh siang, hingga selama itu, Yasian mesti menahan napas untuk menantikan padanya. Heran Yasian waktu jauh siang itu ia diberitahukan tentang kunjungannya utusan Tionggoan sambil membawa sebuah kereta keledai. "Apakah mereka bawa banyak barang antaran untukku?" Yasian menduga-duga. "Mestinya hadiah itu barang-barang yang berat sekali..." Ia lantas berikan titah, pengiring mesti menunggu di tangga di muka pintu besar, supaya si utusan seorang diri yang dipimpin masuk ke dalam ruangan besar di mana ia menantikan. In Tiong bawa sikap agung-agungan. Ia berjalan di lorong di antara dua baris pengawal yang seragamnya mentereng dan romannya gagah, semuanya menyekal golok, tombak dan pedang terhunus. Yasian telah pasang matanya. Ia tercengang ketika ia lihat romannya utusan ini. Ia merasa bahwa ia seperti pernah bertemu dengan utusan itu. Berbareng di otaknya segera berbayang satu utusan lain dari kerajaan Beng. Itulah In Tjeng, utusan dari tiga puluh tahun yang lampau. Itulah utusan yang di negara Watzu hidup sebagai pengembala kuda selama dua puluh tahun, tapi hatinya tak pernah dapat dibikin ciut, yang semangatnya terus berkobar-kobar. Sekarang utusan yang muda ini mirip benar dengan utusan yang tua dahulu itu... In Tiong unjuk hormatnya kepada perdana menteri Watzu itu yang membalasnya. Ia lantas persembahkan barang-barang hadiah, seperti kumala putih dan lain-lainnya. Inilah keharusan di antara kedua negara, sebagai tanda menghormat kepada menteri dari negara yang dikunjunginya itu. Hadiah itu bukan barang sangat berharga tetapi toh tepat untuk suatu menteri. Selama itu tetap dia bawa sikapnya yang agung, bukannya jumawa, bukannya merendah. Setelah penyerahan hadiah itu, Yasian minta belajar kenal. Di dalam hatinya ia kaget akan dengar utusan ini seorang she In. "Sungguh kebetulan!" katanya sambil tertawa. "Pada tiga puluh tahun sang lampau, utusan yang datang juga she In!" "Malah sekarang ada terlebih kebetulan pula!" berkata In Tiong sambil tertawa. "Pada tiga puluh tahun yang lampau itu adalah sang kakek yang menjadi utusan, dan pada tiga puluh tahun kemudian, ialah sekarang ini, aku adalah cucunya si kakek itu! Thaysoe, bukankah ini ada suatu hal yang bagus sekali?" Air mukanya Yasian berubah, akan tetapi ia mencoba akan mengatasi diri. Begitulah ia paksa tertawa. "Benar bagus, benar bagus!" begitu katanya. Walau bagaimana, perdana menteri ini tak dapat sembunyikan keheranan dan kagetnya, hingga sikapnya menjadi tidak wajar pula. In Tiong merasa sangat puas, ia tertawa bergelak-gelak. Ia lalu mendesak. "Kali ini aku menjadi utusan, sebelumnya aku telah pelajari juga ilmu mengembala kuda," demikian katanya, disengaja. "Jikalau sudah datang waktu keperluannya, aku bersedia berdiam lama di dalam negeri thaysoe ini!" Yasian menjadi sangat likat. Ia tertawa menyeringai. "Ah, In Thaydjin, kau bergurau!" katanya, untuk menutupi kelikatannya. "Haha, haha, sungguh thaydjin suka bergurau!" Ia lalu berdehem, ia urut-urut kumis jenggotnya. "Thaydjin, aku justeru hendak mohon maaf padamu, karena kami telah lalai dalam penyambutan kami. Thaydjin sudah melakukan perjalanan jauh dan harus melintasi kota-kota dan gunung-gunung, tentu kau letih sekali." Dengan kata-katanya ini, Yasian ingin simpang-kan pembicaraan sambil berbareng memancing keterangan kalau-kalau tetamunya mengalami sesuatu di dalam perjalanannya itu. Ditanya begitu, In Tiong tertawa dingin. "Aku tidak merasa letih." demikian penyahutan-nya. "Hanya ketika aku memasuki wilayah negara thaysoe, di tengah jalan kami telah hadapi beberapa begal kecil..." Yasian kaget di dalam hatinya. "Kalau cuma begal kecil, itulah pasti bukannya Ngochito," pikirnya. Ia lantas menanya: "Di tempat manakah thaydjin ketemu orang jahat itu? Pembesar-setempat di sana telah melalaikan tugasnya, nanti aku periksa dan hukum padanya!" Ia nampak kaget tetapi kali ini, kagetnya itu kentara. In Tiong tertawa pula. "Itulah tak usah," katanya. "Berhubung dengan pembegalan itu kami tidak mendapat rugi apa-apa. Di sebelah tugasku, thaysoe secara perseorangan aku hendak menghadiahkan sesuatu kepada thaysoe, hanya yang tidak berarti..." Yasian bersenyum, ia nampaknya gembira. "Janganlah berlaku sungkan, In Thaydjin." katanya, merendah. "Oh, tidak, tidak, thaysoe," In Tiong bilang. "Aku mohon thaysoe perkenakan pengiring-pengiringku supaya barang hadiah itu yang berada di dalam kereta boleh dibawa kemari..." "Oh, tentu saja boleh!" Yasian berikan perkenannya dengan cepat. Di dalam hatinya, ia kata: "Nyata dugaanku tidak meleset, barang-barang di dalam kereta itu ada bingkisan untukku! Akan tetapi barang ada demikian berat, mestinya barang yang tidak seberapa berarti..." Senang hatinya perdana menteri ini, sedang tadinya ia tidak puas terhadap sikap agung-agungan dari utusan itu. Hadiah itu berarti suatu muka terang baginya. Ia jadi tidak terlalu pikirkan, hadiah itu barang berharga atau bukan. Ia lantas perintahkan supaya pengiringnya si utusan diberi ijin untuk membawa masuk bingkisan itu. In Tiong menghaturkan terima kasih. Ia perlihatkan wajah berseri-seri. Empat pengiring utusan Tionggoan itu bertindak masuk dengan menggotong dua bungkusan karung goni yang besar. Yasian mengawasi, ia menduga kepada suatu barang keluaran Tiongkok, semacam hasil buminya. Ia tertawa di dalam hati. Ketika ia menduga utusan ini tentulah seorang melarat... Sampai di depan Yasian dan sepnya, ke empat pengiring lalu turunkan bungkusannya dengan dibanting keras. Berbareng dengan itu terdengar teriakan "Aduh!" yang tertahan. Kemudian, tanpa tunggu titah lagi, mereka buka tambang yang mengikat mulut karung itu, untuk keluarkan isinya karung, ialah dua tubuh yang teringkus, malah tubuh yang satu tanpa baju, hingga kelihatan dada dan bebokongnya, dan di bebokongnya tampak nyata cacahan huruf "tjat" = "bangsat" "Inilah hadiahku yang tidak berarti, yang aku harap thaysoe suka terima tanpa celaan..." berkata In Tiong sambil tertawa. Tidak usah dijelaskan lagi bahwa dua orang yang teringkus itu adalah Ngochito serta Ma I Tjan. Karena mereka sudah teringkus lama, tidak heran kalau mereka jadi pusing kepala dan pegal kaku. Kalau tadinya mereka tetap tak sadar akibat totokan, seberlalunya Tan Hong, mereka telah dibikin ingat akan diri mereka. Sekarang mereka lihat Yasian, mereka menyangka bahwa mereka telah ditolongi orang sendiri, saking kegirangan mereka sudah lantas berseru: "Thaysoe." Yasian kaget. Akan tetapi dia adalah satu orang besar dan cerdas, dalam sejenak saja dia bisa menduga kepada kejadian yang benar, maka lantas dia perlihatkan wajah bengis. "Hai, dua begal cilik!" dia membentak, "cara bagaimana kamu berani ganggu utusan dari negara besar? Mana orang? Hukum rangket tiga ratus rotan kepada mereka, lantas masukkan ke penjara negara, kemudian akan aku periksa dan hukum mereka!" Ngochito dan Ma I Tjan menjadi sangat kaget, mereka lantas buka suara, untuk memberi keterangan, tetapi bentakannya pengiring Yasian telah mencampur baurkan suara mereka, yang pun segera digusur ke ruang belakang! In Tiong menyaksikan semua itu dengan tenang. "Thaysoe repot, tidak seharusnya thaysoe diganggu segala begal kecil," ia berkata sambil bersenyum. Mau tidak mau, mukanya Yasian menjadi ber-semu merah. "Sungguh kedua begal itu telah membikin aku malu..." ia berkata dengan lagaknya dibikin-bikin. "Ah!..." ia menghela napas. "Pasti, pasti akan aku hukum berat kepada mereka!" In Tiong berdiam, dengan dingin ia awasi perdana menteri itu. Dalam hatinya Yasian heran sekali. Dua pahlawannya itu sangat tangguh, mereka memimpin lima ratus serdadu, juga dibantu See To dan rombongannya, tetapi mereka kena ditawan, tentera mereka lenyap tidak keruan paran, tidakkah itu luar biasa mengherankan? Iapun merasa sangat tidak enak menampak sikapnya In Tiong itu, si utusan dari Tionggoan, maka dengan sendirinya, paras mukanya menjadi pucat dan merah padam bergantian. "Hari ini telah cukup aku permainkan padanya!" berpikir In Tiong setelah melihat lagak orang itu. "Baiklah, aku tidak mendesak dia terlebih jauh, supaya dia tidak menjadi gusar, agar perundingan tidak terganggu karenanya." Maka ia tertawa dengan pelahan dan berkata dengan sabar: "Thaysoe, apa yang telah terjadi itu tidaklah aneh. Di dalam sebuah negara, rakyatnya memang tidak rata, tidak semuanya baik, mesti di antaranya ada beberapa yang jahat. Harap thaysoe tidak pikir pula tentang mereka itu. Marilah kita bicara tentang maksud tujuan kita." Mendengar itu, lega juga hatinya Yasian. "Benar apa yang kau katakan itu, In Thaydjin," ia menyahut. In Tiong keluarkan segumpal kertas. "Inilah rencana perdamaian kita," ia beritahu sambil serahkan kertas itu. "Coba thaysoe periksa." Itulah rencana perdamaian karangannya Kokioo Ie Kiam, bunyinya sangat sederhana. Ie Kokioo meminta supaya kedua negara menjaga saja masing-masing wilayahnya, keduanya saling memperlakukan sama rata, jangan sekali ada yang melakukan penyerangan, supaya untuk selamanya tak lagi terbit perang. Pada itu Ie Kokioo berikutkan syarat supaya "thaysianghong" yaitu raja yang tua, Kaisar Beng Eng atau Kie Tin, yang tertawan di negeri Watzu, lantas di merdekakan dan diantarkan pulang. Setelah membaca rencana itu, Yasian berdiam. Ia berpikir. Sederhana rencana Tionggoan itu tetapi bertentangan dengan rencananya sendiri. Ia hendak kemukakan perdamaian menurut cara dahulu, yang telah dibikin antara kerajaan Song dan Liauw (Kim), ialah kerajaan Beng mesti menempati kedudukan yang terlebih rendah, dengan negara Watzu harus ada perhubungan bagaikan paman dengan keponakan. Negeri Watzu sebagai paman, Tionggoan sebagai keponakan. Serta setiap tahun kerajaan Beng mesti membayar upeti sebanyak tiga ratus laksa tail perak serta sutera lima laksa kayu. Tegasnya, dia hendak berdamai sebagai dia yang menang perang. Maka sekarang tidaklah ia sangka, Tionggoan mengajukan syarat lain. Dia telah berdaya, dia telah bekerja supaya utusan Beng itu terjatuh ke dalam tangannya supaya dapat dipengaruhi, tidak tahunya, keadaan menjadi kebalikannya. Dia sekarang menjadi mirip ayam jago yang kalah berkelahi, hingga rencananya sendiri yang dia bekal di dalam sakunya tidak berani dikeluarkan. "Tionggoan adalah satu negara yang mengenal tata sopan santun," berkata In Tiong apabila ia melihat orang berdiam saja, ia bicara dengan sabar tetapi berpengaruh, "maka itu Tionggoan hendak berdamai dan bersahabat dengan negaramu sebagai kedua negara sederajat, sebagai saudara-saudara, semua peristiwa yang sudah lewat, tidak hendak ditarik panjang pula. Dengan perjanjian ini, kedua negara sama-sama tidak mendapat kerugian. Apabila Thaysoe memikir lain dan thaysoe anggap Tionggoan boleh diperhina, tidak ada jalan lain, di tapal batas negara kami sudah sedia sepuluh laksa serdadu pilihan, kami bersedia untuk main melayani thaysoe!" Suaranya utusan ini lemah berbareng keras. Ia meminta tetapi pun ia mengancam, namun ia tidak meninggalkan adat sopan santun. Pada mulanya benar Yasian telah berhasil menyerang Tionggoan dan memperoleh kemenangan, hingga ia berhasil menawan kaisar Kie Tin, akan tetapi dalam peperangan lebih jauh, di Pakkhia, ia telah kena dikalahkan hingga terusir keluar dari kota Ganboenkwan, maka dalam hal ini di antara kedua pihak tidak dapat dikatakan ada yang menang dan kalah perang. Oleh karena itu, jikalau kedua negara mengadakan perdamaian, itu adalah hal yang pantas sekali. Bicara hal kedudukan, Tionggoan lebih menang, sebab di bawah pimpinan Ie Kokioo, Tionggoan bersatu, di lain pihak, negeri Watzu terancam bentrokan di dalam, dia ada di pihak lebih lemah. Hal ini diinsafi Yasian, maka ia suka membuat perdamaian, tetapi dasar ia seorang licik, ia masih hendak mencari kemenangan di atas angin. Tapi ia menghadapi In Tiong yang berani, ia jadi menghadapi kesulitan. "Utusan ini sukar dilayani," demikian pikirnya. "Nyata dia jauh lebih liehay daripada kakeknya dahulu hari. Jikalau aku main ayal-ayalan, bisa-bisa kedudukanku menjadi berbahaya..." Ia ingat ancaman bahaya dari pihaknya Atzu Tiwan. "Baiklah," katanya kemudian, "rencanamu ini dapat aku terima. Sekarang tunggu saja sampai junjunganku telah memeriksanya baharu kemudian kita bicara pula untuk mengambil keputusan." Pembicaraan berjalan lancar, belum lewat sepuluh hari kedua pihak telah peroleh persetujuan. Rencana Tiongoan diterima baik, cuma beberapa kata-katanya saja yang diubah sedikit. Telah ditetapkan, di hari kedua sehabisnya, pembubuhan tanda tangan, kaisar Tiongkok yang ditawan itu akan dimerdekakan, dia boleh disambut utusannya untuk diajak pulang. Sementara itu kaisar Kie Tin dipindahkan dari kamar tahanan ke dalam istana raja Watzu, diberikan sebuah ruangan di mana ia diperlakukan sebagai raja yang terhormat. Selagi perundingan perdamaian dilakukan, Tan Hong telah menulis surat kepada In Tiong, dia undang utusan Tionggoan itu datang ke rumahnya. In Tiong tampik undangan itu, ia masih ingat permusuhan di antara mereka walaupun terhadap Tan Hong ia telah berkesan baik. Karena itu, Tan Hong juga tidak datang berkunjung kepada utusan itu. Dengan lewatnya sang waktu, datanglah malaman yang besoknya utusan Tionggoan bakal ajak junjungannya yang tua berangkat pulang. Malam itu In Tiong merasa tegang sendirinya, hingga di tempat kediamannya, ia jalan mondar-mandir tak hentinya. Ia memikir untuk tidur tetapi tak dapat ia lakukan itu. Di pihak lain, juga ada dua orang yang merasakan ketegangan sebagai In Tiong itu. Mereka adalah Tan Hong dan ayahnya. Hanya ada perbedaan pikiran di antara anak dan ayah itu. Ketegangan Tjong Tjioe karena ia gembira berbareng masgul dan berduka. Begitulah di dalam taman, sambil meloneng pada lankan, ia mengadakan pembicaraan dengan puteranya. Selama beberapa hari itu, Thio Tjong Tjioe dapat diumpamakan sebagai pohon tua yang sudah kering, angin musim semi telah meniup sepoi-sepoi akan tetapi pohon tua itu tak bersemi pula, tak ada daunnya yang hijau. Dia telah keram diri di dalam kamar tulisnya, sampaipun dengan puteranya sendiri sedikit sekali ia bicara. Sedang mengenai urusan tibanya utusan Tionggoan, sama sekali tak sudi ia menyebut-nyebutnya. Sikapnya yang luar biasa itu menimbulkan kekuatiran di antara orang-orang sedalam gedungnya. Tan Hong ingin sekali mengunjungi In Tiong, tetapi menampak keadaan ayahnya ini, tidak berani ia meninggalkan rumahnya. Hanya pada malam itu, dengan sekonyong-konyong Thio Tjong Tjioe panggil puteranya diajak jalan mondar-mandir di dalam taman, akan akhirnya si orang tua berdiri meloneng. Lama dia membungkam, matanya mengawasi sang rembulan yang naik semakin tinggi dan semakin tinggi. Di akhirnya dia menghela napas, lalu dia bersenanjung: "Malam ini memandangi rembulan di dalam taman, lain tahun akan memandanginya seorang diri..." Benar-benar orang tua ini menggadangi sang rembulan, yang ia terus awasi saja, hingga ia pun dapat memandang sang mega yang bagaikan lautan. Melihat sang mega itu ia seperti bermimpi pesiar di Kanglam... "Ayah..." memanggil Tan Hong dengan air matanya mengembeng. Ia sangat berduka melihat sikapnya ayah itu. Tjong Tjioe tertawa, sedih suaranya. "Kabarnya perdamaian telah ditanda tangani," berkata ayah ini. "Besok utusan Kerajaan Beng bakal berangkat pulang, benarkah itu?" Inilah yang pertama kali Tjong Tjioe menyebut tentang utusan Beng itu. "Benar," Tan Hong jawab ayahnya itu. "Utusan itu she In, benarkah?" sang ayah menanya pula. "Benar," sang anak menjawab pula. Ia selalu menjawab dengan singkat. Sudah berulang-ulang ia pikirkan, oleh karena In Tiong tidak ingin menemui ayahnya, ia juga tidak hendak menyebut-nyebut tentang utusan itu terhadap ayahnya. "Utusan itu tidak mensia-siakan tugasnya," berkata sang ayah, "dia melebihi In Tjeng dahulu hari!" Tjong Tjioe masih belum tahu bahwa utusan itu adalah anaknya In Teng atau cucunya In Tjeng si utusan yang dahulu itu. Tan Hong manggut, ia bersenyum. "Kalau begitu anak Hong, kau juga harus berangkat besok!" sekonyong-konyong ayah itu bilang. Hatinya Tan Hong memukul. Itulah soal yang ia telah pikirkan selama banyak tahun. Ia tidak menyangka bahwa hari ini ayahnya itulah yang menimbulkannya. Ia menjadi tidak keruan rasa. Ia tahu dengan pasti. Kalau besok ia berangkat maka untuk selama-lamanya ia tidak akan bertemu pula dengan ayahnya itu. Berpisah hidup, berpisah mati, itulah hal yang sejak jaman dahulu dibuat duka orang. Apapula sekarang ia akan berpisah kepada ayah kandungnya... Sebisa-bisanya Tan Hong kuatkan hatinya. Ia tahu, tidak nanti ayahnya ijinkan ia pergi. "Dan bagaimana dengan kau, ayah?" ia balik menanya. Tiba-tiba wajahnya Tjong Tjioe menjadi gelap, lalu ia tertawa. "Semua barangmu telah aku siapkan!" katanya. "Ini adalah yang terakhir aku mengurus keperluanmu!" Tan Hong terkejut, tetapi ia masih dapat kendalikan diri. "Ayah," katanya, "jikalau ayah tidak pergi, akupun akan tetap tinggal di sini menemani kau..." "Tidak, kau harus pergi," berkata ayah itu. "Kau masih muda! Tantai Tjiangkoen akan berangkat bersama kau! Telah aku beritahukan kepadanya!" "Tantai Tjiangkoen juga turut pergi?" berkata ini, yang menjadi heran sekali. Hendak ia melanjutkan. "Dengan begitu, bukankah ayah menjadi bersendirian saja dan kesepian?" akan tetapi ia batal mengatakannya. Tidak dapat ia keluarkan itu. Thio Tjong Tjioe, bersenyum. "Benar," sahutnya, "Tantai Tjiangkoen..." Tiba-tiba satu bayangan berkelebat datang, atau Tantai Mie Ming sudah berada di hadapan mereka. Senyumannya Tjong Tjioe masih belum lenyap, hendak dia mengatakan, "Baharu aku menyebutkan Tjo Tjoh, atau Tjo Tjoh telah tiba!" akan tetapi Mie Ming, dengan napasnya memburu, berkata: "Tjoekong, celaka!..." Ayah dan anaknya itu terperanjat. Tjong Tjioe belum pernah nampak jenderal itu demikian kesusu atau gelisah. "Ada apakah?" Tjong Tjioe tanya. "Gedung kita telah dikurung!" sahutnya Mie Ming. Tan Hong kaget. Tetapi segera ia pasang kupingnya. Benar ia dengar suara dari banyak orang di luar gedung. Thio Tjong Tjioe bersikap tenang seperti biasa. "Mari kita keluar melihatnya!" katanya, sabar. Tan Hong dengan disusul Tantai Mie Ming lompat ke tembok, dari situ mereka dapat lihat gedung telah dikurung beberapa lapis tentera, sedang di pekarangan depan, menghadapi pintu besar, ada bercokol sebuah meriam besar yang dinamakan Angie toapauw. Bangsa Mongol adalah bangsa yang paling pertama membawa mesiu ke medan perang, ketika dahulu dia malang melintang di Eropa, bukan sedikit dia mengandal atas meriamnya itu. Tan Hong tidak sangka hari ini, meriam itu dipakai untuk menghadapi keluarga Thio. Di belakang meriam besar itu tampak berdiri berbaris tiga penunggang kuda ialah Ngochito, Ma I Tjan dan Pek San Hoatsoe, soeheng atau kakak seperguruannya Tjeng Kok Hoatsoe. Dibarisan depan itu adalah tentera Mongol yang memegangi obor cabang pohon cemara. Ketika Tan Hong terlihat muncul di belakang tembok, tentera Mongol berteriak-teriak dengan seruannya yang gemuruh. Anak muda ini berlaku tenang, ia mengawasi mereka itu. "Untuk apa kamu datang kemari?" bentaknya dengan sabar. Akan tetapi suaranya ini terdengar terang sekali, suara itu berpengaruh, maka suara riuh berhenti dengan tiba-tiba. Ngochito tepuk kudanya untuk di majukan, lalu mengawasi ke atas tembok, ia tertawa besar. "Thio Tan Hong, hendak aku lihat, hari ini kau ada punya kepandaian apa!" dia berkata dengan jumawa. "Kau bilanglah, kau ingin hidup atau mampus?" "Apa yang kau artikan?" Tan Hong menegaskan. "Jikalau kau ingin hidup," menjawab Ngochito, "maka kau mesti rela dengan tanganmu sendiri kau belenggu semua orang yang berada di dalam gedungmu ini, kecuali ayahmu, yang boleh tidak usah diikat! Lalu kau pentang pintu besar untuk membiarkan kami bawa kamu ayah dan anak menghadap Thaysoe, supaya Thaysoe sendiri yang nanti memberikan putusannya!" "Hm!" Tan Hong perdengarkan ejekannya. "Jikalau aku menolak?" dia tanya. "Akan aku berikan kau ketika untuk memikirnya masak-masak," menyahut pula Ngochito, si pahlawan nomor satu itu. "Kau harus ketahui, bukankah kau telah lihat tegas meriam besar ini? Walaupun kau bagaimana gagahpun tidak akan kau sanggup lawan meriam ini! Akan aku beri kau tempo sampai jam lima untuk memberikan jawabanmu, jikalau kau berani menampik, atau jikalau kau berani membuat perlawanan, jangan salahkan aku, begitu terang tanah begitu aku lantas menembak ke arah kamu!" "Anak Hong, kau turunlah!" demikian suaranya Thio Tjong Tjioe selagi anaknya belum menjawab Ngochito. Tan Hong dan Mie Ming lompat turun, akan hampirkan orang tua itu. "Nampaknya jahanam Yasian itu tidak puas sebelum dia mendapatkan aku," berkata Tjong Tjioe kepada anak dan jenderalnya itu, "maka itu akan aku pergi kepadanya. Kau bersama Tantai Tjiangkoen ada punya kepandaian, dengan melihat gelagat, pergi kamu menyingkirkan diri!" "Tidak, ayah!" kata Tan Hong. "Pasti sekali tidak nanti anakmu membiarkan ayah terhina Yasian!" Tjong Tjioe berpikir sejenak, lalu ia tertawa nyaring. "Sungguh bersemangat, sungguh bersemangat!" ia berkata. "Kita tiga turunan berdiam di negara Watzu ini, kita menumpang hidup dengan menahan malu, semua itu telah cukup batasnya! Sekarang Tiongkok telah menjadi kuat, tidak dapat kita menerima malu terlebih jauh! Baiklah, kau biarkan aku bersama semua orang di dalam rumah ini terbinasa di sini, tetapi kamu berdua pergi kamu menyingkir dari pintu belakang!" "Tidak, ayah!" berkata Tan Hong dengan segala kepastian. "Jikalau kita mesti terbinasa, mari kita binasa sama-sama tjoekong1." Tantai Mie Ming pun kata dengan gagah. Thio Tjong Tjioe mengalirkan air mata, akan tetapi ia tertawa. "Sungguh kamu ada anak dan sebawahanku yang baik sekali," berkata dia. "Ah, semuanya akulah yang rembet-rembet kepada kamu..." Tjong Tjioe lantas ingat kekeliruan ayahnya dan ia sendiri. Mereka telah ambil siasat bekerja kepada bangsa Watzu, yang tenteranya mereka bikin kuat, niatnya adalah untuk pinjam tentera itu guna menggempur kerajaan Beng, untuk membangun pula kerajaan keluarga Thio, siapa sangka sekarang ia mesti makan buahnya yang pahit getir ini, bukan saja Tionggoan hampir dimusnahkan Watzu, sekarang mereka sendiri sekeluarga bakal menjadi musnah tertembak meriam... Dari luar segera juga terdengar lagi suaranya Ngochito: "Hai, kamu sudah ambil keputusan atau belum? Ingat, paling lambat sampai hari sudah terang tanah, akan aku mulai menembak!" Tan Hong menjadi sangat masgul dan mendongkol. Dia yang sedemikian cerdas, sekarang telah habis daya, tidak dapat ia memikir. Mengawasi ayahnya, pikirannya menjadi kalut, dia cuma bisa berduka dan bergelisah... Tjong Tjioe nampaknya sangat berduka dan bergelisah juga. Sementara itu, di lain tempat, juga ada seorang lain yang tak kurang gelisahnya daripada keluarga Thio ini. Dia adalah Topuhua, puterinya Perdana Menteri Yasian. Topuhua telah mendapat tahu yang perdamaian telah didapat, malah kedua pihak telah menanda-tanganinya, karena mana besok pagi, utusan kerajaan Beng bakal berangkat pulang. Ia tahu, dengan begitu, tentulah Thio Tan Hong akan turut perutusan Beng itu pulang ke Tionggoan. Hal ini membuat ia berduka dan gelisah, pikirannya menjadi bingung dan pepat, alisnya senantiasa berkerut. Yasian telah dapat lihat kedukaannya puterinya itu. Malam itu ia menenggak banyak susu macan, ia sangat bergembira. Sambil tertawa, ia kata kepada puterinya itu: "Jangan kau bersusah hati, tidak nanti Tan Hong turut berangkat. Aku ada punya daya upaya untuk besok membawa dia kembali! Kau adalah puteriku satu-satunya, umpama kau menginginkan rembulan di atas langit, sanggup aku mengambilnya turun untukmu! Anak Hua, kau lihat, bagaimana ayahmu menyayangimu!..." Topuhua girang dan bersangsi. Benarkah perkataan ayahnya itu? Ia tidak lihat ayahnya itu hendak mendustai padanya. Tadinya ia hendak tanya untuk menegaskan, akan tetapi sang ayah terus sibuk dengan araknya, terpaksa ia tutup mulutnya. Terus-terusan Topuhua berada dalam kesangsian, ia tidak tahu, ayahnya akan bertindak bagaimana. Sampai tengah malam ia masih belum tidur pules. Tiba-tiba ia dengar suara orang bicara di ruang tetamu. Ia ingin sekali dengar apa yang dibicarakan, diam-diam ia keluar dari kamarnya, ia pergi ke kamar tetamu itu. Ia umpetkan diri di belakang pinhong, pintu angin. -ooo00dw00ooo- Bab XXX Ada dua orang yang tengah berbicara di ruang tetamu itu. Yang satu Topuhua kenali sebagai ayahnya. Yang lain adalah kepala rumah tangga gedung perdana menteri yaitu Tjongkoan Wotjaha. "Utusan kerajaan Beng akan berangkat begitu terang tanah, apakah barang-barang hadiah kita sudah sedia semua?" demikian suaranya Yasian. "Semua sudah disediakan lengkap," jawab Wotjaha. "Bocah she In itu benar-benar sukar dilayaninya," Yasian berkata pula. "Aku bersyukur kepada langit dan bumi, seperginya dia, kita bakal merasa aman dan senang..." "Bukankah Thaysoe hendak mengantar padanya?" sang kepala rumah tangga tanya. "Kau saja yang wakilkan aku," perdana menteri itu jawab. "Kau berikan alasan bahwa aku sedang sakit. Sri Baginda sendiri turut mengantar untuk memberi selamat jalan. Itupun sudah suatu kehormatan besar baginya." Tidak tertarik hatinya Topuhua akan mendengarkan pembicaraan itu, maka ia ingin kembali ke kamarnya untuk tidur. Tapi belum sampai ia angkat kakinya, ia lantas mendengar hal lainnya. "Meriam besar itu hebat, bagaimana kau rasa, suaranya akan dapat terdengar sampai di luar kota atau tidak?" demikian pertanyaannya Yasian kepada hambanya itu. "Mungkin terdengar tetapi hanya sebagai suara petasan saja," sahut orang yang ditanya. "Gedungnya Thio Tjong Tjioe itu terpisah dari pintu kota kira-kira sepuluh lie lebih, suara meriam juga jauhnya sepuluh lie, tetapi di waktu terang tanah, mereka tentunya sudah meninggalkan kota, sedang tembok kota pun sangat tebal, maka suara meriam itu tidak nanti terdengar nyata. Hamba percaya suara meriam itu tidak akan menimbulkan kecurigaan orang." Topuhua terperanjat. Suara meriam? Gedungnya Thio Tjong Tjioe? Itu toh rumahnya Thio Tan Hong! "Lain daripada itu, belum tentu meriam akan ditembak," terdengar pula suaranya Wotjaha. "Di bawah ancamannya meriam, mustahil mereka tidak akan menjadi jinak dan akan ikat diri sendiri untuk menyerah terhadap keputusan Thaysoe?" "Thio Tjong Tjioe dan puteranya adalah bangsa yang keras adat," berkata Yasian. "Lebih-lebih Thio Tan Hong, dia lebih suka menyerah kepada ke lemah lembutan daripada kekerasan. Aku lebih percaya mereka itu lebih suka mengorbankan diri daripada menyerah secara terhina..." Perdana menteri itu berhenti sebentar, terdengar dia menghela napas. "Thio Tan Hong itu pandai ilmu surat dan silat, dialah satu anak pandai," dia berkata pula. "Maka sayang sekali dia tidak sudi bekerja di pihakku, sebaliknya di mana-mana dia justeru mengganggu aku. Orang semacam dia itu jikalau diijinkan pulang ke negerinya, dia mesti akan menjadi ancaman bencana bagiku. Ah, harap saja seperti katamu dia suka menyerah kepadaku, jikalau tidak, dengan tidak pedulikan kesusahan hatinya Topuhua, harus aku singkirkan padanya!" Yasian ini sudah dengar keterangannya Ngochito dan Ma I Tjan, maka tahulah dia, orang yang menolongi In Tiong yang membekuk See Too, yang memusnahkan lima ratus serdadu pilihannya, semuanya itu adalah perbuatannya Thio Tan Hong, maka itu ia kaget berbareng gusar sekali. Tentu saja, karena perbuatan Tan Hong itu, hendak ia membalas sakit hati. Demikian ia kirim Ngochito ke rumahnya Tjong Tjioe, untuk ancam Tjong Tjioe dan Tan Hong menyerah terhadapnya. Kalau Tjong Tjioe dan puteranya terpaksa ditembak mati dengan meriam, itu harus dilakukan sesudah berangkatnya utusan kerajaan Beng. Terbangun bulu ramanya Topuhua mendengar tindakannya ayahnya itu, ia kaget dan sangat berkuatir untuk Tan Hong. Nyata sekali bahwa Tan Hong terancam bahaya maut. Ia menjadi bergelisah di waktu ia mendengar suara kentongan sudah tiga kali. Itulah tanda bahwa segera juga sang fajar akan menyingsing. Syukur juga, setelah bicara sampai di situ, Yasian dan hambanya pada undurkan diri. Topuhua sudah lantas undurkan diri ke dalam kamarnya. Ia hanya bingung juga disebabkan kamarnya berada di depan kamar ayahnya itu, selagi ia rebahkan diri untuk berpura-pura tidur, kamar ayahnya itu masih terang dengan cahaya apinya, malah di antara kain jendela terlihat satu tubuh jalan mundar-mandir menandakan sang ayah masih belum naik tidur. Mestinya ayah itu pun tengah bergelisah... "Aku mesti tolong Tan Hong!" demikian nona ini ambil putusan. Akan tetapi ia bingung juga bagaimana ia dapat keluar dari kamarnya selama ayahnya itu belum tidur pules. Hatinya nona ini terus memukul keras, matanya senantiasa mengawasi ke kamar ayahnya. Ia mengharap-harap supaya ayahnya lekas naik tidur. Lama rasanya ia menantikan, di akhirnya, dapat ia bernapas lega. Ia lihat api di kamar ayahnya telah padam! Ia lantas lompat bangun dari pembaringannya. Tapi mendadak ia ingat bahwa di luar kamar ada orang yang menjaga. Mungkin orang itu tidak berani merintangi padanya tetapi dia bisa membanguni ayahnya. Maka ia mesti berpikir pula. Dengan hati-hati nona ini membanguni budaknya, yang tidur dalam satu kamar dengannya. "Lekas ambil dua poci arak," ia perintahkan. "Kau bawa dan kasihkan kepada dua pahlawan yang menjaga di taman. Katakan kepada mereka bahwa karena hawa udara dingin, Thaysoe sengaja hadiahkan mereka arak." Sementara itu nona ini telah masuki obat pules, ke dalam arak itu. Selama menantikan lebih jauh, hatinya Topuhua terus memukul. Sekarang ia pun kuatirkan kedua pahlawan tidak kena dipedayai. Ia memasang kuping terus. Bahna tegangnya hatinya, ia ingin dapat menahan jalannya sang waktu. Akhirnya... Budak perempuan tadi muncul dengan warta yang melegakan hati. "Mereka minum tanpa curiga, keduanya telah tertidur," demikian berkata budak itu, yang telah sekalian layani kedua pahlawan, supaya ia bisa mendapat kepastian dari hasilnya obat pules. Topuhua sudah salin pakaian, ia telah mengenakan pakaian untuk jalan malam, maka setelah perintahkan budaknya berdiam di dalam kamarnya, ia segera lari keluar. Dengan hati-hati ia menyelusup di taman bunga, akan akhirnya lompat naik ke atas tembok, akan keluar dari gedungnya. Ketika itu tepat kentongan berbunyi empat kali. Pada malam itu, juga In Tiong tak dapat tidur tenang. Karena ia sangat bergembira dengan hasil tugasnya itu. Bukankah raja Watzu telah terima baik perdamaian? Maka besok hendak ia berangkat pulang ke negerinya. Ia akan pulang bersama Thaysianghong Kie Tin, kaisar tua yang ditawan musuh itu. Di pintu kota menteri dan raja akan bertemu, untuk berangkat bersama-sama. Itulah suatu kehormatan besar untuk pihak kerajaan Beng, karena In Tiong sebagai utusan tidak usah pergi pula ke istana raja untuk pamitan. Dia akan pamitan sekalian di luar kota saja. Malam itu rembulan dan bintang-bintang ada terang sekali, cahayanya permai. Sambil meloneng, In Tiong gadangi si Puteri Malam. "Melihat indahnya malam ini, besok tentulah udara terang", berpikir cucunya In Tjeng itu. "Musim dingin telah lalu, diganti dengan datangnya musim semi, di waktu begini pulang ke negeri sendiri, bagaimana menyenangkan! Sri Baginda juga tentu sangat gembira!" In Tiong pun bersyukur dan bergirang karena ia telah tidak membikin gagal tugasnya hingga ia tidak mendatangkan kehinaan untuk negaranya. Perdamaian telah didapat, raja yang tua juga bakal diajak pulang. Di dalam sejarah, hal ini adalah peristiwa yang jarang terjadi. Akan tetapi dalam kegembiraannya itu, ada satu hal yang membikin In Tiong merasa sedikit tertekan. Itulah yang mengenai ayah dan ibu serta adiknya. Ia berbareng menantikan mereka tetapi mereka masih tidak kunjung datang. Mustahil mereka belum katahui tentang beradanya ia di negeri Watzu ini? Apakah mungkin San Bin tidak dapat ketemui mereka untuk memberitakannya? Karenanya, ia jadi berpikir. In Tiong telah memikir untuk menanti lebih lama beberapa hari, akan tetapi di luar dugaannya bahwa perundingan perdamaian telah berjalan demikian lancar dengan dilakukannya penandatanganan. Kie Tin pun mendesak untuk lekas-lekas berangkat pulang. Maka itu, cara bagaimana ia dapat menunda keberangkatannya itu? Kie Tin ingin lekas pulang, karena ia ingin lekas-lekas naik pula atas tahtanya. Ia seperti tidak mempedulikan hal di negerinya sudah ada raja yang baharu, bahwa soal itu mungkin akan menimbulkan kesulitan. Tentu saja karena keinginannya ini, ia tidak mau pikirkan In Tiong ada punya lain urusan atau tidak. Sambil menggadangi si Puteri Malam, In Tiong juga ingat kepada Thio Tan Hong. Dia ingat budi orang. Berhasilnya tugasnya ini juga sebagian besar disebabkan bantuan sangat berharga dari Tan Hong itu. Maka ia merasa sangat menyesal yang di antara kedua keluarga ada permusuhan besar. Ia tidak dapat pergi ke rumah Tan Hong, ke rumah musuh kakeknya. Tan Hong sendiri pun tidak dapat mengunjungi padanya. Maka hal ini membuat ia masgul. Mengenai permusuhan kedua keluarga, Tantai Mie Ming telah berikan jasa baiknya, Jenderal ini telah jelaskan kepada In Tiong perihal cita-citanya Tjong Tjioe, bahwa Tan Hong tidak mengandung sesuatu prasangka. Maka ia dianjurkan suka bersahabat dengan Tan Hong, supaya permusuhan dapat dihabiskan. Tapi di depan matanya berbayang surat wasiat kakeknya itu, ia jadi bersangsi. Tidak dapat ia pergi ke rumah musuhnya. Toh ia merasa berat akan berpisah dari anak muda she Thio itu, tetap ia ingat budi orang... "Mungkinkah besok Tan Hong datang untuk berangkat bersama-sama aku?" demikian In Tiong pikir. Karena pikirannya ini, hati In Tiong menjadi bertentangan sendirinya. Di satu pihak ia ingin Tan Hong datang untuk berangkat bersama, di lain pihak ia harap-harap si anak muda tidak muncul... "Jikalau dia datang dan berangkat bersama aku, bagaimana nanti aku dengan ayahku?" demikian kesangsiannya. "Bagaimana dengan In Loei? Dapatkah In Loei mengurbankan perasaan hatinya? Bukankah nanti, ayah akan caci aku dan In Loei sebagai anak-anak poethauw?" In Tiong kuatir dikatakan sebagai anak poethauw —tidak berbakti. Maka itu, ia lantas menjadi menyesal dan berduka. Kusut pikirannya memikirkan permusuhan turun temurun itu. In Tiong meloneng terus, sampai jam empat. Di saat ia memikir untuk masuk tidur, untuk dapat melupakan segala apa, satu pengiringnya datang dengan tindakan cepat. Iapun dengar suara berisik di sebelah luar. "Ada apa?" ia tanya. "Seorang yang bertopeng, yang mengenakan pakaian untuk jalan malam, telah nerobos masuk kemari, dia ingin sangat menghadap thaydjin," demikian ia diberitahukan. "Dia masuk dengan jalan melompati tembok. Kelihatannya dia sebagai orang jahat tetapi mungkin bukan..." In Tiong menjadi heran. "Baik, bawa dia menghadap!" ia berkata akhirnya. Ia berpikir dengan cepat. Dengan lekas satu anak muda dengan pakaian serba hitam dibawa masuk, mukanya bertutupkan topeng, dandanannya sebagai orang Mongol, tetapi tubuhnya kecil dan langsing, sangat berbeda dengan kebanyakan pahlawan Mongolia. "Kau ada punya urusan apa, waktu tengah malam begini datang untuk mohon bertemu dengan aku?" In Tiong segera menanya. "Siapakah yang menitahkan kau datang kemari?" Anak muda itu, yang nampak cuma sepasang matanya yang celi sekali, mata itu memain dengan tajam. "Mohon thaydjin suruh mundur dahulu orang di kiri kanan," katanya pelahan. Tentu saja permintaan ini sangat mencurigakan, maka orang-orangnya si utusan justeru maju semakin dekat. "Hati-hati thaydjin memperingatkan yang satu, sedang kawannya maju untuk menggeledah. Si anak muda mundur, sinar matanya menyatakan ia berdongkol dan gusar. In Tiong lihat sikap orang itu. "Pergi kamu mundur!" ia titahkan orang-orangnya sambil memberi tanda dengan tangannya. "Kami perutusan dari negara besar, kami biasa bersikap baik terhadap siapa juga, jangan kamu kuatir." Dengan terpaksa pengiring-pengiring itu undurkan diri. In Tiong sendiri yang tutup pintu. "Sekarang kau dapat berbicara, bukan?" ia bertanya sambil tertawa. Tetamu tidak diundang itu singkap topengnya begitupun mantelnya, maka terlihatlah ia sebagai satu nona bangsa Mongol yang cantik. "Aku ialah puterinya Yasian!" demikian kata-katanya yang pertama. In Tiong terkejut. Ia sudah menduga pasti bahwa orang satu nona, tetapi yang ia tidak sangka bahwa nona ini ada puterinya perdana menteri Watzu itu. "Silakan duduk!" ia segera mengundang. Ia agak heran atas maksud kedatangan nona ini. "Ada urusan apakah ayahmu dengan aku? Kenapa ayahmu kirim kau kemari nona?" Ia menerka Yasian ada punya urusan penting. Nona itu, ialah Topuhua, menggeleng kepala. Itu adalah tanda bahwa ia bukan utusan ayahnya. Tentu saja, utusan Beng itu menjadi semakin heran. Ia mengawasi, ia tampak roman yang gelisah dari nona itu. "In Thaydjin, bukankah kau sahabat baiknya Thio Tan Hong?" nona itu lalu menanya. "Aku maksudkan, bukankah Tan Hong sahabat baikmu?" "Habis kenapa?" In Tiong balik menanya. "Sekarang ini sudah jam empat," berkata si nona, yang tidak menjawab pertanyaan orang, "sebentar lagi asal sudah terang tanah, Thio Tan Hong serumah tangga, tua dan muda, akan musnah menjadi abu yang beterbangan! Maka sekarang ini, jiwanya Tan Hong itu tergantung di ujung tanganmu! Kau hendak menolong dia atau tidak?" Kembali In Tiong menjadi kaget. Tentu saja, keheranannya pun bertambah. "Sebenarnya, urusan apakah itu?" ia bertanya. Masih Topuhua tidak menjawab langsung. "Ayahku sangat benci padanya sebab dia telah bantu padamu, In Thaydjin," ia menjawab, "ayah pun lebih takut lagi kalau Tan Hong pulang ke negerinya, di sana dikuatirkan dia lebih membahayakan negeri Watzu, maka itu ayah telah kirim pasukannya mengurung gedungnya Thio Tjong Tjioe. Sebegitu langit terang, sebentar, gedungnya itu mau ditembak dengan meriam!" Walaupun dia kaget dan berkuatir, In Tiong masih dapat berlaku tenang. "Bagaimana caranya aku dapat menolong padanya?" ia tanya. "Segera sekarang juga kau pergi kepadanya!" sahut si nona. Oleh karena kecerdasannya, segera In Tiong mengerti. Bukankah ia utusannya Tionggoan? Bukankah dengan ia pergi ke rumah Tan Hong itu, Yasian tidak akan berani tembak gedungnya Thio Tjong Tjioe itu? Bukankah Tan Hong perlu dengan pertolongannya? Terang sudah, Yasian hendak menembak Tan Hong sesudah ia berlalu, supaya ia tidak ketahui kejadian itu. Biar bagaimana, sekarang hati In Tiong menjadi sangat gelisah, bagaikan gelombang diserang badai. Kalau ia pergi kepada Tan Hong, itu artinya ia injak rumah musuhnya! Itulah hal yang ia sebegitu jauh tak sudi melakukannya! Dengan pergi ke sana, ia pun mungkin akan membikin gagal keberangkatannya! Sekarang adalah saatnya ia bersiap-siap untuk berangkat keluar kota, guna berangkat pulang. Di sana ia harus menemui raja Watzu serta rajanya sendiri yang tua... Dengan kedua matanya yang tajam, Topuhua mengawasi utusan Tionggoan itu. Kesangsian orang membuat ia gelisah, hatinya berdenyut keras, hingga air matanya hendak mengucur keluar. "Kau hendak menolongi atau tidak?" akhirnya ia tanya sebab orang masih berdiam saja. Pikirannya In Tiong pun menjadi sangat kusut, di depan kelopak matanya berbayang roman Tan Hong yang demikian halus dan sopan tetapi gagah dan keren, orang yang telah menolong padanya di saat ia terancam bahaya. Lalu berbayang pula roman Tan Hong tengah bersenyum berseri-seri... Dapatkah orang dengan roman demikian tidak ditolongnya? Bisakah dia itu dibiarkan menerima kematiannya? Tegakah hatinya? Tidak menanti sampai Topuhua mengulangkan pertanyaannya, In Tiong sudah berlompat ke pintu, untuk pentang itu sekeras-kerasnya. "Lekas kirim dua orang ke istana raja Watzu!" demikian serunya. "Sekarang juga! Beritahukan pada pembesar pengawal pintu raja itu supaya disampaikan kepada rajanya bahwa besok aku batal berangkat!" Mendengar suara sep itu, semua pengiring datang berkumpul. "Kamu lekas dandan, mari kamu turut aku!" In Tiong menitah pula. "Aku hendak mengunjungi Thio Tjong Tjioe!" Pada detik ini lupalah In Tiong kepada sumpahnya bahwa sekalipun sampai mati tak nanti ia injak rumah musuhnya. Suara berisik itu membikin bangun Tamtay Keng Beng dari tidurnya. Nona ini segera muncul di ambang pintu. Kamarnya memang tidak terpisah jauh dari kamar utusan Tionggoan itu. Maka ia heran akan menampak di depan kamar tidurnya In Tiong ada satu nona Mongol yang cantik — nona itu penuh air mata pada mukanya tetapi dia bersenyum berseri, sedang tangannya menyekal keras tangannya In Tiong! Adalah selagi Nona Keng Beng ini berdiri tercengang, ia dengar In Tiong mengatakan hendak pergi mengunjungi Thio Tjong Tjioe. Tentu saja ia menjadi bertambah-tambah heran. "Bagus, adik Tamtay!" In Tiong berseru ketika ia tampak nona itu. "Mari, kau pun turut!" Keng Beng heran dan kaget, ia pun menjadi sangat kegirangan. Sesaat itu, saking girangnya, ia sampai lupa segala apa. "Sebenarnya kita sudah mesti pergi sejak siang-siang!" serunya dengan nyaring. Ia tertawa tetapi air matanya mengucur keluar. Telah meluap kegirangannya itu. Baharu setelah itu, ia tegur Topuhua, untuk saling belajar kenal. Gedung tetamu itu, yang menjadi gedung perutusan Tionggoan, tidak terpisah jauh dari istana raja Watzu, juga terpisahnya dari rumahnya keluarga Thio cuma kira-kira tujuh lie, maka untuk sampai di sana, apapula dengan menunggang kuda yang dikaburkan keras, tidak makan banyak tempo. Di waktu jauh malam seperti itu, dalam kesunyian, berlari-larinya kuda telah menyebabkan beberapa penduduk terbangun dengan kaget dari tidurnya, akan tetapi In Tiong membawa lentera pertandaannya sebagai perutusan Tionggoan, tidak ada orang yang berani merintanginya. Ia pun sengaja ambil jalan kecil, supaya ia tidak usah lewat di dekat istana raja. Akau tetapi tepat di waktu ia baharu muncul dari Jalan Anggur jalan terbesar di kota raja Watzu itu, diujung jalan yang menikung ke barat, di mana akan tampak gedung keluarga Thio, mendadak ada satu penunggang kuda yang menghalang di hadapannya. "Aku adalah utusan Kaisar Beng! Siapa berani halangi aku?" In Tiong membentak. Ia kaget dan heran tetapi ia tidak takut. Ia majukan kudanya. Penunggang kuda itu adalah seorang yang gesit gerakannya, kudanya terbentur keras dan ia terjungkal dari kudanya, akan tetapi ia dapat jumpalitkan diri, hingga ketika ia sampai di tanah, bisa terus berlutut di depan utusan itu, dengan kedua tangannya ia angsurkan kimpay tinggi-tinggi. "Inilah firman dari Kaisar Beng! In Thaydjin di minta menerimanya!" demikian ia perdengarkan suaranya yang nyaring. In Tiong terkejut, ia segera mengawasi, sedang pengikutnya maju ke depan, akan angkat tinggi lenteranya, untuk menyuluhi. Maka segera utusan itu kenali siapa pembawa firman itu, ialah salah satu siewie dari Kaisar Kie Tin yang kena di tawan bersama junjungannya dalam peperangan di Touwbokpo. Memang, waktu Kaisar Kie Tin ditawan, bersama ia telah ditawan lima pahlawannya, yang menjadi sisa-sisa hidup. Mulanya ke lima pahlawan itu di penjarakan terpisah dari rajanya, tetapi sejak datangnya In Tiong dan didapatnya perdamaian, mereka diserahkan kepada junjungannya, hingga mereka menjadi kumpul bersama, dapat mereka temani pula raja mereka. Kimpay, atau sehelai emas berukiran, yang menjadi barang pertandaan titah dari kaisar, biasa dikeluarkan terhadap suatu panglima perang. Di jaman Ahala Song, ketika Gak Hoei difitnah, dua belas kali dia telah di kirimkan kimpay untuk memanggil dia pulang dari medan perang. Sekarang Kie Tin gunai itu untuk memanggil In Tiong. Ia tahu ia masih termasuk "raja tawanan, supaya In Tiong mempercayainya, ia sengaja berikuti suratnya untuk memanggil utusan itu datang menghadap padanya. Kimpay diberikuti surat kaisar sendiri, titah pun dilakukan di waktu malam buta rata, bisalah dimengerti bahwa urusannya mesti sungguh penting. Maka itu In Tiong menjadi terkejut dan bingung. Ia telah lihat, kimpay dan surat tidaklah palsu. Tempo tinggal hanya kira-kira satu jam! Lagi satu jam langit akan menjadi terang! Dapatkah ia pergi menghadap dahulu kepada rajanya itu? Itu berarti Tan Hong serumah tangga akan habis dihajar meriam! Jikalau dia tidak taati firman, itu pun suatu kesalahan besar! Bagaimana sekarang? "Kita pergi dulu ke rumah keluarga Thio, setelah itu baharu kita pergi pada raja!" berkata Keng Beng ketika menyaksikan utusan itu masih saja terbenam dalam kesangsian. "Baiklah!" kata In Tiong akhirnya. Siewie pembawa kimpay dan firman masih bertekuk lutut di depan kuda In Tiong. Tidak berani ia berbangkit bangun. "Pergilah kau kembali!" In Tiong lantas berkata, "kau beritahukan Sri Baginda, besok pagi kita tunda keberangkatan kita. Paling lambat sampai tengah hari, akan aku menghadap Sri Baginda!" Masih saja siewie itu berlutut, tidak mau dia kembali tanpa bersama utusan itu. Justeru itu, dari arah belakang mereka, terdengar suara kelenengan kuda yang riuh. Segera tertampak satu penunggang kuda tengah kabur mendatangi. Setibanya segera penunggang kuda itu lompat turun dari kudanya dan berlutut di depan sang utusan! Dia juga siewie, salah satu pahlawannya Kaisar Kie Tin. Seperti siewie yang pertama, dia pun membawa kimpay berikut sehelai firman, kedua-duanya itu ia angkat tinggi di atasan kepalanya, untuk dihaturkan kepada sang utusan. Firman itu berbunyi: "Utusan In Tiong segera menghadap Kaisar di istana!" Kali ini ada tambahan satu huruf "segera." Gemetar tangannya In Tiong selagi ia sambuti firman itu. Ia benar-benar bingung. Ia mejadi gelisah sendirinya, hatinya sangat tegang. "Peduli apa firman itu!" berteriak Topuhua. "Mari kita pergi lakukan tugas kita!..." Belum berhenti suaranya puterinya Yasian ini, kembali terlihat satu kuda dilarikan sangat keras ke arah mereka. "In Thaydjin, sambut firman!" demikian teriaknya penunggang kuda itu. Kali ini yang datang adalah bekas rekannya In Tiong, yaitu Hoan Tjoen adiknya Hoan Tiong, yang menjadi pahlawan paling dipercaya Kaisar Kie Tin. Dia angkat kimpay dengan sebelah tangan, tangannya yang lain dipakai menghaturkan firman. Bunyinya firman sama saja dengan firman yang kedua, hanya kali ini, pada huruf "segera" ditambahkan dua bundaran yang menandakan urusan ada lebih daripada penting. "Hoan Siewie, sebenarnya apakah telah terjadi?" In Tiong tanya dalam bingungnya. "Aku juga tidak tahu urusan apa itu," sahut Hoan Tjoen. "Aku cuma terima titah langsung dari Sri Baginda yang menitahkan Thaydjin harus segera datang menghadap di istana, tak dapat berlambat lagi." " In Tiong menghela napas. Ia mengerti pentingnya kimpay dan firman panggilan itu, ia pun sekarang berkuatir di istana ada terjadi sesuatu. Tidakkah tiga kali datang kimpay dan firman saling susul? Maka di akhirnya, ia putar arah kudanya. "Baiklah kamu pergi terlebih dahulu." ia kata kepada Keng Beng. Terus ia larikan balik kudanya, yang lantas diikuti ketiga siewie pembawa kimpay dan firman itu. Tamtay Keng Beng menjadi sangat mendongkol dan penasaran. Sekarang ia telah ketahui dari Topuhua tentang bahaya yang mengancam keluarga Thio. Di dalam hatinya, ia kata: "Thio Tan Hong telah tolong pemerintah dan negara kerajaan Beng, sekarang kaisar yang tercelaka ini hendak permainkan jiwanya Tan Hong!" Akan tetapi In Tiong telah ambil putusannya, utusan itu sudah kembali, ia tidak dapat mencegahnya. Maka dengan terpaksa, dengan ajak delapan belas pengiringnya serta Topuhua ia lari terus ke rumah Tan Hong. Ketika rombongan ini tiba di sebelah barat jalan besar utama, di situ telah bersiap sedia pasukan dari thaywie dari ibu kota Watzu. Thaywie itu sama dengan pangkat Kioeboen teetok dari pemerintah Beng. Pemimpin dari barisan pengiring In Tiong segera maju ke depan. "Kami datang atas titahnya In Thaydjin untuk mengunjungi Yoesinsiang kamu!" ia berkata. Dengan "Yoesinsiang," perdana menteri muda, ia maksudkan Thio Tjong Tjioe. "Mana dia In Soesin kamu?" bertanya si thaywie Mongol. "In Thaydjin baharu saja menerima panggilan untuk menghadap Sri Baginda di istana, segera ia akan datang." sahut kepala pengiring itu. "Jikalau begitu, baik kita tunggu sampai In Soesin baharu kita bicara pula," bilang si thaywie. "Kami mendapat titah untuk melindungi utusan kerajaan Beng, dengan tidak adanya utusan kamu itu, kami tidak dapat bertanggung jawab." Kepala pengiring itu menjadi berdiam. "Mari kita terobos saja!" menganjurkan Topuhua. Baharu si nona berkata begitu, di depan mereka si thaywie sudah siap sedia dengan barisannya yang menantikan serbuan, selain anak panah, juga mereka itu mempunyai dadung-dadung kalakan kaki kuda. Tamtay Keng Beng dan semua pengiringnya In Tiong menginsafinya, jikalau mereka memaksa nerobos masuk, urusan akan jadi hebat sekali, mungkin perhubungan di antara kedua negara turut terganggu pula karenanya. Lagi pula dengan jumlah yang demikian kecil, belum tentu mereka akan berhasil dengan serbuannya itu. Maka itu, mereka cegah Topuhua. "Mari kita bicara kepadanya," Nona Tamtay kata. Ketika itu si thaywie sudah masuk ke dalam barisannya, pengiringnya In Tiong teriaki dia untuk diajak bicara, dia diam saja tidak menjawabnya. Bukan main gelisahnya rombongan Nona Keng Beng ini, mereka bagaikan semut-semut di atas kwali panas. Bagi mereka tidak ada jalan lain kecuali menantikan kembalinya In Tiong. Mereka mungkin dapat bersabar untuk menanti tapi bagaimana dengan Tan Hong? Dengan sendirinya, sang waktu berlewat terus. Tahu-tahu telah terdengar suara genta di atas pintu kota, yang berbunyi lima kali. Menandakan cuaca akan menjadi terang. Topuhua terpengaruh oleh kegelisahannya, tiba-tiba ia berseru, terus ia larikan kudanya maju ke arah barisan, untuk pergi ke gedung perdana menteri muda. Keng Beng kaget, ia mencoba mencegah tapi gagal. Serdadu Mongol lihat mendatangi satu nona bangsanya, mereka heran, hingga walaupun panah telah siap sedia, mereka tidak berani menarik gendewanya untuk memanah si nona. Juga tukang mengalak kuda tidak berani gunakan dadungnya untuk bikin kuda si nona terjungkal. Dalam cuaca masih remeng-remeng itu, tentera Mongol itu cuma lihat tubuh si nona dan kudanya yang lari mendatangi, mereka tidak bisa melihat tegas roman muka orang, adalah sesudah nona itu datang semakin dekat, di antara terangnya banyak obor, di antara mereka ada yang kenali puterinya perdana menteri mereka. Di antara bangsa Mongol, pergaulan antara pria dan wanita tak ada pantangan seperti bangsa Han. Topuhua sendiri gemar sekali menunggang kuda dan main panah, maka itu ia banyak dikenal oleh perwira-perwira dan tentera-tentera bangsanya. Demikianlah kali ini, ia lantas dapat dikenali. Si thaywie sudah lantas maju mencegat nona itu. "Kami telah terima perintahnya Thaysoe untuk melarang orang luar datang kemari!" dia memberitahukan. Sepasang alisnya Topuhua bangun berdiri. "Apakah aku orang luar?" dia menanya dengan bengis. "Aku juga sedang menjalankan perintah ayahku! Aku mesti lewat!" Dan ia keprak kudanya, untuk nerobos terus. Thaywie itu heran menyaksikan puteri perdana menterinya itu muncul dari dalam rombongan pengiring-pengiringnya utusan Tionggoan, akan tetapi karena ia tahu betul si nona adalah puteri tersayang dari perdana menterinya itu, ia tidak berani bersikap keras, apa pula si nona sudah tunjukkan kemurkaannya. Terpaksa ia perintahkan pasukannya membagi jalan. Setelah tembusi penjagaan, Topuhua menoleh ke arah timur sambil angkat kepalanya, dari itu ia telah melihat di pangkal langit sudah mulai memancar sedikit cahaya terang... Di dalam gedung menteri muda orang pun bergelisah sekali, mereka juga bagaikan semut-semut di atas kwali panas, kecuali Thio Tjong Tjioe seorang. Ia tidak bergelisah sama sekali, ia tidak pikirkan soal kematian. Juga Tan Hong tertampak tenang, hanya di dalam hatinya ia sangat masgul. Ia telah mesti menghadapi nasib hebat dengan di saat-saat terakhir itu ia tidak dapat melihat In Loei... Semua hambanya menteri muda duduk berkumpul di kaki tembok pekarangan, dari luar tembok mereka sering-sering dengar suara dari pihak tentera Mongol yang tengah mengurung mereka. Itulah suara yang merupakan ancaman-ancaman maut. Semua orang dengar bunyinya kentongan tiga kali, lalu empat kali. Di daerah Utara ini, sang malam agak lebih panjang, akan tetapi di saat genting sebagai ini, orang merasakan sang malam itu pendek... Dengan tentu sang waktu berlalu, dan bayangan-bayangan dari kematian datang saling susul. Suara tentera di sebelah luar terdengar semakin tegas. Rasanya belum lama kentongan berbunyi empat kali, lalu datang menyusul yang ke lima kalinya. Tan Hong menghela napas. Ia berlutut di depan ayahnya. "Ayah hendak memesan apa?" ia bertanya. Thio Tjong Tjioe usap-usap rambut puteranya itu. Ia tertawa. "Jikalau aku mati pada satu tahun yang lalu, aku mati dengan mata tak meram," kata ayah ini, suaranya sabar. "Tapi sekarang? Akhirnya kau telah melakukan sesuatu untuk Tiongkok! Dan aku? Aku juga telah dapat keluarkan sedikit dari tenagaku. Meskipun itu tak dapat menebus dosaku, aku toh merasa lega juga..." Menteri muda ini tertawa, cuma suaranya tawar, bernada sedih. Tan Hong angkat kepalanya mengawasi ayahnya. Hatinya bercekat akan tampak wajah ayah itu sedikit berubah. Ia berdiam. Di saat seperti itu, apa yang ia hendak tanyakan pula? Ia dapat merasa, di saat dari kematian itu, ia seperti berada semakin dekat dengan ayahnya itu. Sebelumnya ini, ia tak pernah merasakan berada demikian dekatnya.... Menyaksikan ayah dan anak itu, Tantai Mie Ming tertawa. "Tjoekong, hari ini kita saling pamitan!" ia berkata. Lalu ia menjura tiga kali kepada junjungan itu. Hamba yang setia ini sudah ambil putusan, sebelum peluru meriam musuh datang, hendak ia menghabiskan jiwanya dengan jalan membunuh diri! Ketika itu sudah jam lima, maka segera juga langit akan menjadi terang! Sekonyong-konyong terdengar suara berisik dari sebelah luar tembok. Cuaca belum lagi terang, apakah mereka hendak mulai menembak?" tanya Mie Ming. Ia seperti berkata seorang diri. Segera ia bersiap dengan sepasang gaetannya. "Bukan! Tidak mungkin!" berkata Tan Hong. "Kenapa bukan?" Mie Ming tanya. "Rupanya ada orang yang datang..." menyahut Tan Hong. "Ah, orang tengah bertempur! Rupanya orang yang baharu datang itu telah bertempur dengan tentera Mongol itu... Lantas saja anak muda ini lompat naik ke atas tembok, hingga ia tampak di tempat kira-kira setengah lie, ada tiga penunggang kuda yang datang menerjang bahagian belakang dari tentera Mongol itu, sedang tentera yang di sebelah depan juga agak kacau. Di lain pihak, meriam besar masih tetap dihadapkan ke arah gedungnya! Tenteranya Ngochito adalah tentera pilihan, atas titahnya, tentera itu menyerang tiga penunggang kuda dengan anak panah mereka, serentak serangan itu, maka di sebelah depan mereka terlihat tiga ekor kuda lompat berjingkrak tinggi sekali dan rubuh, karena perut dan kempolannya semua tertancap anak-anak panah! Liehay adalah ketiga panunggang kuda itu, selagi kuda mereka menjadi kurban, mereka sendiri bebas dari bahaya. Bertiga mereka membuang diri ketika hujan anak panah tiba. Setelah itu mereka berlompatan maju dengan sangat cepatnya, senjata-senjata mereka perlihatkan berkelebatannya cahaya-cahaya putih dan hijau. Ketika mereka di panah pula, mereka semua menjatuhkan diri, hingga anak-anak panah melayang di atasan mereka. Secara demikian mereka merangsak terus. Tan Hong terus memasang mata, hingga akhirnya ia dapat melihat tegas tiga penyerbu itu, ialah Hongthianloei Tjio Eng si Geledek Menggetarkan Langit bersama dua saudara Hek Pek Moko, si Hantu Hitam dan Putih! Hek Moko putar tongkat Leggiok thung-nya dan Pek Moko tongkat Pekgiok thung-nya, sedang Tjio Eng putar pedangnya, pedang Tjengkong Kiam. Itulah ketiga senjata yang memperlihatkan sinar-sinar hijau dan putih. Setelah ketiga penyerbu itu datang dekat, tentera musuh tidak dapat menggunakan pula panah mereka. Mereka terpaksa maju mencegat sambil berkelahi dengan rapat. Hek Moko dan Pek Moko mengamuk dengan masing-masing tongkatnya, mereka membuat kuda rubuh atau kabur dan musuh binasa, cuma musuh yang kosen yang bisa bangkit lagi untuk melakukan perlawanan lebih jauh. Juga Tjio Eng telah menyerang dengan hebat sekali. Di saat ketiga penyerbu itu mendatangi ke tengah tanpa ada orang yang bisa merintangi mereka, baharulah Pek San Hoatsoe yang menjadi sangat murka maju menghalau. Segera ia berhadapan dengan Hongthianloei yang dia lantas serang dengan pukulan "Tokpek Hoasan"="Menyerang gunung Hoasan" dengan tongkat sianthung-nya yang besar seperti cawan. Imam ini adalah soeheng atau kakak seperguruan dari Tjeng Kok Hoatsoe. Ilmu silatnya ada terlebih liehay daripada Ngochito, maka itu bisalah dimengerti hebatnya serangannya ini. Hongthianloei tidak jeri terhadap penyerangnya ini, ia malah gusar yang ia dirintangi, maka itu dengan berani ia angkat pedangnya dengan apa ia tangkis serangan dahsyat itu. Di antara suara nyaring dari beradunya kedua senjata, lelatu api pun mencrat seperti kembang api. "Rubuh!" Pek San Hoatsoe berseru. Tubuh Tjio Eng nampak sedikit terhuyung, akan tetapi dia tersenyum. "Tidak mungkin!" sahutnya sambil tertawa. Dan selagi tertawa, dengan sekonyong-konyong, dengan kesehatan bagaikan kilat, dia membalas menyerang. Pek San Hoatsoe andalkan tenaganya yang besar, ia tidak sangka sekali yang ia telah menghadapi seorang lawan demikian tangguh, sedang ketika kedua senjata bentrok, ia sakit. Tentu saja ia terkejut rasakan telapak tangannya, akan dapatkan musuh sudah menyerang pula, pedang menyambar-nyambar seperti tanpa manusianya, karena berbareng dengan itu, Tjio Eng berlompat ke arah belakangnya! Hongthianloei kesohor untuk tiga macam kepandaiannya. Ialah ilmu menimpuk dengan batu hoeihong tjio, pukulan tangan geledek Kengloei tjiang, dan pedang Liapin kiam, terutama dengan pedangnya itu ia telah menjagoi di kalangan Rimba Persilatan, dan sekarang ia menggunakan pedangnya yang liehay itu, hingga musuhnya lantas menjadi kewalahan. Sekali diserang, Pek San Hoatsoe dapat berkelit, kedua kalinya ia berhasil juga mengelakan tubuhnya, tapi serangan kilat datangnya bertubi-tubi, maka untuk yang ketiga kalinya, ia mesti menangkis. Tak sempat ia berkelit terus-terusan. "Kena!" berseru Tjio Eng selagi ia menyerang untuk ketiga kalinya itu. Pukulan Liapin kiam tertangkis sianthung dari si imam, pedang itu tidak terpental seperti diharapkan imam itu. Sebab Tjio Eng telah gunai kepandaiannya. Pedang hanya tertangkis membal, untuk terus digoreskan ke pundak musuh! Syukur bagi Pek San Hoatsoe, dia telah pelajari ilmu kebal "Tiatpou san" = "Baju besi," maka dia tidak terluka hebat, dia tidak sampai rubuh karenanya. Karena itu, ketika ia dapat menotok tanah, untuk membikin tubuhnya dapat berdiri terus, ia segera berlompat menyingkir jauh kira-kira setombak, agar musuh tidak dapat susul padanya. Adalah niatnya, setelah menaruh kaki, dia hendak balas menyerang musuh itu. tetapi ketika dia memutar tubuh, dia dapat kenyataan musuhnya itu sudah menyerbu ke dalam barisan! Bukan kepalang mendongkolnya imam ini. Dia telah ditinggalkan mentah-mentah oleh lawannya itu! Maka dia berniat mengejarnya, untuk mana dia sampai berseru dengan keras. Tiba-tiba, tengah dia umbar kemurkaannya, dia dengar dampratan dari arah depannya: "Bangsat setan yang menyebalkan, mari rasai tongkatku!" Dia segera lihat musuh itu adalah seorang hitam, yang tengah berlari-lari ke arahnya. Untuk melampiaskan kemendongkolannya, dia lantas menyambut dengan sapuan tongkatnya! Lawan itu yang ternyata adalah Hek Moko, telah sampai dengan cepat, ketika ia disapu, ia menyambut dengan tangkisan tongkatnya, Lekgiok thung. Maka bentroklah kedua tongkat yang panjang bagaikan toya itu, suaranya nyaring dan hebat. Kesudahan dari bentrokan itu membuat Pek San Hoatsoe, yang andalkan tenaganya yang besar, semangatnya seperti terbang bahna kagetnya. Tongkatnya telah terlepas dari cekalannya dan terpental terbang tinggi. Ia sungguh tidak sangka yang lawannya ada jauh lebih tangguh daripadanya. Sementara itu, Hek Moko sudah menyerang, untuk membalasnya. Imam itu kecil hatinya, ia lompat ke samping jauhnya beberapa tindak untuk tolong dirinya. Akan tetapi apa lacur, justeru itu di sampingnya telah tiba Pek Moko, si Hantu Putih! "Hai, bangsat!" mendamprat si Hantu Putih ini, "di dunia ini ada jalan kau tidak mengambilnya, di akherat tidak ada pintu kau justeru memasukinya! Kau telah datang ke hadapanku, mari rasai tongkatku!" Dan "Ser!" melayanglah tongkat Pekgiok thung menyapu ke arah imam itu, hingga orang tak sempat lagi berkelit, maka sambil perdengarkan suara berisik, di antara jeritannya juga, Pek San Hoatsoe rubuh terbanting, patah kedua kakinya! Selagi kedua Hantu merangsak seru, Tjio Eng telah dapat menoblos barisan musuh, terus saja ia perdengarkan suaranya yang nyaring: "Liong Kie Touwoet Tjio Eng dari Heksee tjhoeng mohon menghadap kepada Tjoekong." Nyatalah Hongthianloei, ketua dari dusun Hekse tjhoeng itu, ada turunan pahlawan kesayangannya Thio Soe Seng, yang telah diberikan pangkat Liong Kin Touwoet, pangkat yang turun temurun, maka sekarang Tjio Eng telah tetap memakainya, dengan perkenalkan dirinya menyebut pangkat turunan itu. Secara begini juga ia masih tetap mengakui dan setia kepada junjungannya itu. Thio Tjong Tjioe di dalam gedung dengar suaranya hamba itu, ia lantas saja mengucurkan air mata. Dengan pegangi pundak puteranya, ia menyuruh mendaki tembok pekarangan. "Anak Hong, kau suruhlah dia lekas angkat kaki!" dia kata kepada anaknya itu. Itu waktu juga telah terdengar teriakannya Hek Pek Moko: "Hai, Tan Hong, mengapa kau tidak menyerbu keluar? Sahabat-sahabat kekal telah datang, kau juga tidak menyambut?" Nyatalah kedua hantu itu pun dapat menerobos pasukan musuh. Tan Hong tertawa sedih. Ia baharu hendak buka mulutnya ketika matanya menampak pasukan yang mengurung gedungnya itu mendadak berpencar ke kedua jurusan, hingga terbukalah suatu lowongan bagaikan jalanan atau lorong, berbareng tertampak juga meriam besar, meriam yang dinamakan "Ang ie toapauw" = "meriam berbaju merah," yang telah ditujukan ke arah gedungnya. Tadinya meriam itu teraling oleh berlapis-lapisnya barisan, sekarang terlihat tegas nyata. Menampak itu, Tjio Eng kaget bukan main. Ngochito pun segera berseru: "Siapa bergerak lagi satu tindak, akan aku menembaknya!" Ancaman ini dikeluarkan oleh karena Ngochito percaya betul, tiga penyerbu ini mesti ada punya hubungan yang erat dengan Tan Hong dan ayahnya. Tapi ia cuma mengancam belaka. Sebenarnya tidak dapat ia menembak Tjio Eng bertiga, oleh karena meriamnya itu tidak dapat digeser lekas-lekas sekehendaknya hati, sedang waktu itu bunyi genta lima kali baharu lewat belum lama. Sebelum terang tanah, dia tidak akan berani lancang menembak. Apabila Tjio Eng bertiga lantas menyerbu, kurungan itu mungkin pecah, tetapi Hongthianloei jeri. Hek Pek Moko gusar bukan kepalang, keduanya lantas berkaok-kaok dalam bahasanya, bahasa India, yang lain orang tidak mengerti. Mereka juga tidak berani bergerak. Ngochito saksikan gertakannya berhasil, ia tertawa besar. Ia lantas menuding dengan goloknya, ia perdengarkan pula suaranya yang nyaring: "Semua mundur sampai seratus tindak! Atau aku akan menembak!" Tjio Eng bertiga terpaksa menurut perintah itu, mereka mundur seratus tindak. Ngochito lantas saja perintahkan sejumlah serdadunya mengampar besi cagak tiga yang tajam di antara tiga penyerbu itu dan batas gedung menteri muda. Di sebelah itu, ia siapkan seratus serdadu panah, untuk siap sedia dengan panah dan busurnya untuk memanah ketiga penyerbu kalau-kalau mereka itu turun tangan. Tjio Eng bertiga jadi sangat berduka dan bingung. Sekarang tidak dapat mereka bergerak. Rintangan besi cagak tiga dan ancaman tukang-tukang panah itu ada sangat berbahaya. Ketika itu sang rembulan sudah turun ke arah barat dan bintang-bintang telah banyak berkurang, di timur telah mulai terlihat cahaya sedikit terang, maka tidak lama lagi, jagat pasti akan menjadi terang benderang. Dengan pelahan-lahan cahaya gelap mulai berubah menjadi remeng-remeng, lalu dengan tentu, sinar putih mulai tertampak. Itulah pertanda sang pagi telah datang. Menampak perubahan alam itu, Ngochito pentang lebar kedua matanya, ia angkat kepalanya, akan memandang ke arah tembok. "Bagaimana?" dia menanya dengan bengis. Thio Tan Hong bersikap tenang, dia tertawa dingin. "Bagaimana apa?" dia balas menanya. "Bagiku, meskipun terbinasa, aku ada bagaikan hidup! Tapi bagimu, walaupun kau hidup, kau bagaikan mampus!" "Thio Tan Hong!" Ngochito membentak pula. "Jikalau kau tetap membangkang, tak sudi menginsafinya, aku cuma bisa menembak!" "Kau tembaklah!" Tan Hong menantang. "Tak usah kau banyak bicara!" "Akan aku menghitung dari satu hingga sepuluh!" Ngochito masih berkata. "Jikalau aku telah menghitung sepuluh tetapi kau masih diam saja, akan aku menembak! Bukankah semut juga masih menyayangi jiwanya? Maka kau pikirlah masak-masak..." Tan Hong tertawa dingin, ia lompat turun dari tembok, sama sekali ia tidak menghiraukannya. Sejenak itu, sunyilah di luar dan di dalam tembok pekarangan, di dalam kesunyian itu lalu terdengar suaranya Ngochito: "Satu!... Dua!... Tiga!... Empat!..." Ia telah mulai menghitung. Tan Hong dengar hitungan itu, ia cekal keras tangan ayahnya. Tantai Mie Ming sebaliknya menyiapkan gaetannya, yang ia telah putar balik tajamnya ke arah dadanya. Suasana ada sangat sunyi tapi tegang. "Lima!...” terdengar pula suara Ngochito. "Enam!... Tujuh!... Delapan!... Sembilan!..." Tantai Mie Ming sudah mulai gerakkan tangannya. Dia adalah seorang jenderal, dia cuma dapat membunuh diri tetapi tidak dapat dibunuh lain orang. Ujung gaetannya sudah menempel dengan dadanya, hingga tinggal sekali tolak dan tarik saja, dadanya itu bakal terluka sobek, perutnya akan pecah belarakan... Sehabis hitungan "sembilan" itu, lama tak terdengar suara sambungannya. Adalah kemudian terdengar teriakan halus tapi nyaring dan tajam: "Dilarang menembak!" "Ah, itulah suaranya seorang wanita!" seru Tantai Mie Ming, yang saking terperanjat dan herannya sudah lantas lompat naik ke atas tembok, perbuatan mana dibarengi Tan Hong, yang tak kurang terkejutnya. Sekarang tertampak bahwa di sampingnya meriam besar ada satu orang nona Mongol sedang mengancam tukang tembak dengan goloknya. "Topuhua!..." kata Tan Hong yang tapinya kaget juga. Ia heran. Puterinya Yasian angkat kepalanya akan memandang ke arah tembok, terus ia tertawa. Sekarang ini ia tidak berhias, rambutnya yang bagus pun kusut, tusuk kondenya cuma nyantel di rambutnya, hampir jatuh. Terang sudah bahwa ia telah datang dengan kesusu. Ngochito memandang si nona dengan matanya terbuka lebar. "Dilarang menembak?" dia tanya. "Siapakah yang perintahkan melarangnya?" "Apakah kupingmu pekak?" si nona balik tanya. "Apakah kau tidak dengar nyata? Akulah yang melarangnya!" Ngochito adalah pahlawannya Yasian, biasanya terhadap Topuhua ia sangat menurut malah bermuka-muka, maka itu si nona percaya ia akan dapat pengaruhi pahlawan ayahnya itu. Akan tetapi sekarang ini Ngochito telah dipesan si perdana menteri bahwa siapa pun tak dapat merintangi sepak terjangnya itu. Maka itu dengan hormat sekali, Ngochito memberi hormatnya kepada puteri majikannya itu. "Aku telah mendengar nyata sekali," ia menyahut. "Aku mohon tuan puteri suka menyingkir!" Lalu dengan mendadak ia berseru dengan titahnya: "Tembak!" Kedua alisnya Topuhua menjadi bangun berdiri, bahna murkanya. "Siapa menembak akan aku bunuh padanya!" ia mengancam, suaranya bengis. "Ngochito, kau berani menentangi aku?" Tukang tembak menjadi bersangsi, tangannya menyekali sumbu yang menyala. Tangan dan tubuhnya bergemetar. Tentu saja dia tidak berani menyulut meriamnya. Ngochito pandang si nona, ia tertawa tawar. "Aku cuma dengar titahnya Thaysoe." dia berkata. "Ayahku menitahkan aku datang kemari justeru untuk sampaikan titahnya!" berkata si nona. "Ialah, jangan tembak!" Sudah tentu Topuhua mengatakan demikian dengan terpaksa, dengan mendusta. Ia mengharap Ngochito nanti suka percaya kepadanya. Akan tetapi pahlawan itu dengar suara orang agak menggetar, ia telah tampak roman tak wajar dari si nona, tidak dapat ia mempercayainya. Lagi-lagi ia memberi hormat sambil berkata: "Manakah titah surat tulisan tangannya Thaysoe pribadi?" Topuhua masih tak sudi mengalah. "Aku adalah puterinya, apakah aku mesti pakai juga surat titahnya?" dia membentak. Ngochito menjura hingga tubuhnya melengkung. "Tanpa ada bukti surat titah, maaf, aku tak dapat menerima baik titah ini," ia berkata pula, suaranya tetap hormat tetapi sikapnya keras. "Aku minta dengan hormat supaya tuan puteri suka mundur!" Terus saja ia berteriak pula dengan titahnya: "Tembak! Tembak! Atau aku akan bunuh padamu!" Inilah titah bengis untuk serdadu tukang tembaknya. Serdadu itu bergemetar kaki dan tangan, akan tetapi ia mentaati titah. Maka ia lantas sulut sumbunya. Sekonyong-konyong satu tubuh berkelebat menyambar. "Apakah kau sangka aku tidak berani bunuh padamu?" demikian satu pertanyaan yang mengancam. Dan sebatang golok melayang! Serdadu tukang tembak itu belum sempat buka mulutnya, atau ia telah kena dibacok, menyusul mana, Topuhua menyambar dengan tangannya untuk memadamkan sumbu, sesudah mana, ia desakkan tubuhnya ke mulut meriam! "Siapa berani maju? Akan aku bunuh dia!" dia mengancam pula, suaranya sangat mendesak, suatu tanda bahwa dia sangat menahan napas. Ngochito tidak sangka tuan puterinya itu demikian nekat, ia menjadi bingung. Ia boleh gagah melebihi Topuhua akan tetapi terhadap puterinya Yasian, majikannya, ia tak dapat langgar tubuh tuan puteri itu. Di saat sangat tegang itu, satu penunggang kuda lari mendatangi. Begitu tiba, dia lompat turun dari kudanya. "Kenapa masih belum menembak?" dia berteriak dengan pertanyaannya. Dialah tjongkoan dari gedung perdana menteri, namanya Wotjaha. "Tuan puteri melarang!" Ngochito beritahu. Mukanya Wotjaha merah padam. "Thaysoe menitahkan dengan lisan," dia berteriak, "siapapun dia larang mencegah titahnya! Siapa berani merintangi, dia mesti dibunuh mati! Inilah surat titahnya!" Dan dia tunjukkan surat titah itu dalam mana ada dijelaskan, walaupun puterinya terbinasa, petugas yang menjalankan titah itu tetap ada berjasa! Hatinya Ngochito menjadi besar. "Ma I Tjan, kau majulah!" ia beri titah kepada rekannya. "Kau minta tuan puteri suka menyingkir!" Tentu saja itu bukannya "minta" hanya paksaan. Topuhua menjadi kalap. "Siapa berani maju?" dia berteriak. Sekarang rambutnya riap-riapan, tusuk kondenya telah terlepas jatuh. Dia nampaknya sangat beringas. Wotjaha bertindak maju. "Tuan puteri telah mendengar nyata!" dia berkata, suaranya dingin. "Lekas tuan puteri mundur, jangan membelar! Thaysoe menitahkan tuan puteri turut aku pulang!" Dengan sekonyong-konyong Topuhua menjerit dengan tangisannya. Bukan main berdukanya ia. Inilah untuk pertama kali ia mengenal tabiat ayahnya itu. Ia adalah puteri tunggal, biasanya ayahnya sangat menyayanginya, segala macam keinginannya tentu diiringi. Siapa nyana di saat ini, ayahnya telah keluarkan titah yang di luar dugaannya, sampaipun ia sendiri boleh turut dibunuhnya! Sungguh ia tidak dapat menerka bahwa ayahnya ada demikian kejam. Nyatalah kesayangan ayah itu adalah kesayangan palsu belaka! Di dalam dunia ini di mana ada lain urusan yang dapat membikin seorang anak perempuan menjadi berduka melebihi ini, apapula seorang anak perempuan sebagai Topuhua yang biasa dimanjakan? "Percuma kau menangis," berkata Wotjaha selagi si nona umbar kedukaannya. "Jikalau kau tetap tidak hendak undurkan diri, aku akan berlaku tak sungkan-sungkan lagi! Mari lekas ikut aku pulang!" Hebat kedukaannya Topuhua, lantas ia tak dapat menangis pula. Dengan tangan bajunya ia seka air matanya, tapi ia tak geser tubuhnya dari mulut meriam itu. Mukanya telah menjadi pucat, lenyap wajahnya yang cantik manis, sekarang romannya menjadi seram menakuti... "Ma I Tjan, kau tarik dia, singkirkan padanya!" menitah Ngochito, yang cuma taat kepada titah, hingga hilang rasa peri kemanusiaannya. Ia tak ingat lagi kepada puteri majikannya itu. Ma I Tjan ini adalah pahlawan yang tubuhnya telah dicacahkan huruf "bangsat" oleh Tan Hong, ia memang tak dapat jalan untuk melampiaskan penasarannya itu, sekarang ia saksikan kelakuannya si puteri, ia menjadi sengit. Ia memang ingin sangat memusnahkan Tan Hong serumah tangga. Tentu saja ia menjadi tidak senang dan gusar ada orang menghalangi kebinasaannya musuhnya itu! Maka itu, justeru ada titahnya Thaysoe Yasian, ia menjadi besar nyalinya. Ia terus maju menghampirkan Topuhua, untuk sambar tangan bajunya guna ditarik! "Foei!" si nona berludah. Maka tubuhnya Ma I Tjan menjadi kotor. Pahlawan itu melengak sebentar, lalu ia gerakkan tangannya untuk mencekuk bahu nona itu. Ia berhasil, hingga kedua tangan Topuhua kena di telikung ke belakang sebelum nona itu sempat berdaya. Ma I Tjan gagah melebihi nona itu, gerakannya pun sangat liehay, tidak heran kalau dia berhasil dengan aksinya itu. Topuhua juga tidak sangka orang ada demikian berani, ia menjadi tidak berdaya. Akan tetapi kemurkaannya telah meluap-luap, ia menjadi nekat. Justeru tubuhnya dibetot, ia sekalian tubrukkan diri kepada tubuh Ma I Tjan. Ketika ini ia gunai untuk menggigit pundaknya pahlawan itu! Ma I Tjan kaget bukan kepalang, sakitnya pun bukan buatan! Inilah hal yang tidak pernah disangka pahlawan ini. Memang orang bangsa Mongol tidak keras adat istiadatnya sebagai bangsa Han yang melarang wanita dan pria sembarang "berjabat tangan" atau menempelkan anggauta tubuh satu dengan lain, tetapi biar bagaimana, Ma I Tjan tahu, ia tetap ada di antara majikan dan hamba dengan tuan puteri ini. Saking kaget dan sakit, ia terpaksa lepaskan cekalannya. "Jangan pantang-pantang lagi! Hajar dia sampai pingsan!" Wotjaha memerintahkan sambil berseru. Ma I Tjan lantas sadar, ia turut titah. Ia lantas lompat maju kepada si nona. Tiba-tiba! "Ser! Ser!" demikian suatu suara menyambar. Topuhua membekal panah tangan, barusan kedua tangannya tertelikung, dia tidak berdaya, sekarang setelah merdeka, justeru Ma I Tjan maju, dia lantas saja menyerang. Panah itu adalah panah beracun, yang biasa dipakai di waktu berburu binatang alas. Sekarang panah itu digunakan dari jarak yang dekat sekali. Maka tanpa ampun lagi Ma I Tjan kena terpanah, masing-masing di bahagian kedua hatinya. Akan tetapi Topuhua juga telah kena terpukul sampai rubuh. Wotjaha kaget, dia lompat maju. Topuhua berlompat bangun sebelum wakilnya Yasian itu sampai kepadanya, dia berteriak: "Thio Toako, bukannya aku tidak hendak menolongi kau tetapi aku tidak berdaya dengan setakar tenagaku!" Lalu dengan goloknya ia tikam dadanya sendiri, di waktu tubuhnya terhuyung-huyung hendak jatuh, ia jambret meriam dengan kedua tangannya, hingga ia dapat peluki mulut meriam itu! Tan Hong berada di atas tembok pekarangannya, dia menyaksikan kejadian itu dengan tegas sekali, ia menjadi tercengang. Sungguh ia tidak sangka si nona menyintai dia demikian rupa, hingga sekarang nona itu berkurban untuknya. Tentu saja, ia menjadi sangat berduka, lenyap kesannya yang tak manis terhadap puteri Yasian itu. Tadinya ia menyangka si nona centil. Mendadak ia menangis. "Oh, adik Topuhua..." ia mengeluh. "Aku terima cintamu!..." Akan tetapi Topuhua telah binasa, dia tidak dapat mendengar suara kekasihnya itu yang memanggil dia adik... Topuhua tidak terbinasa sendirian, Ma I Tjan pun melayang jiwanya bersama ia. Parah lukanya pahlawan itu disebabkan sepasang panah beracun, jiwanya putus seketika itu juga, hingga tubuhnya tidak berkutik lagi. Ma I Tjan terbinasa, Topuhua juga bunuh diri, inilah di luar dugaannya Wotjaha beramai. Mereka itu semua tergugu, tidak ada yang membuka suara. Baharu kemudian, Wotjaha yang pecahkan kesunyian. "Singkirkan tubuhnya itu! Tembak!" demikian titahnya pula. Ngochito maju, dia kerahkan tenaganya akan tarik kedua tangannya si nona, supaya pelukannya nona itu kepada meriam terlepas. Nona itu mengucurkan banyak darah yang membasahi meriam. Menampak demikian, Ngochito memalingkan mukanya, tidak berani ia mengawasi wajah bengis dari puteri itu, yang mati tak puas. Dengan hanya satu gerakan tangan, ia bikin tubuh si nona jatuh di sisi meriam. Setelah itu, ia gantikan si serdadu tukang tembak, ia nyalakan sumbu, ia sulut meriamnya, lantas ia lompat jauh ke samping! Tan Hong juga tidak dapat menonton lagi. Dia lompat turun untuk dengan tangannya yang kiri menarik ayahnya dan dengan tangan kanan membetot Tantai Mie Ming. Sembari tertawa, tertawa sedih, ia kata: "Ayah! Tantai Tjiangkoen1. Hari ini mari kita pergi bersama!..." Tantai Mie Ming tidak lihat apa yang terjadi di luar tembok itu akan tetapi ia telah dengar titahnya Ngochito, ia tidak memikir hidup lebih lama pula, lantas saja ia angkat gaetannya... Sementara itu In Tiong, dengan hati tidak keruan, telah pergi kepada Kie Tin, untuk menghadap junjungannya. Kie Tin di tempatkan di sebuah gedung di samping kanan istana raja Watzu, ke sana In Tiong menuju dengan ditemani tiga pahlawan. Kapan pintu istana telah dibuka, orang melalui sebuah lorong yang berliku-liku. Di akhirnya, sampai juga orang di istana samping itu. Pengawal pintu segera masuk ke dalam untuk memberi laporan kepada Kie Tin perihal tibanya sang utusan. Tidak lama, pengawal itu muncul kembali. "In Thaydjin diminta suka menanti di sini sampai ada panggilan," demikian katanya. In Tiong heran. Ia memang tegang terus perasaannya, ia bergelisah. "Sri Baginda memanggil aku untuk segera menghadap, mengapa sekarang aku mesti menunggu?" dia tanya. "Sri Baginda sedang dahar yan-o, dia belum dahar cukup," sahut pengawal itu, satu pahlawan. In Tiong bergelisah terus, ia pun mendongkol sekali. Bukankah ia telah dipanggil berulangkah, dengan kimpay dan firman? Kenapa sekarang raja ada tenang-tenang saja? Apa artinya panggilan kilat itu? Setelah berselang sekian lama baharu muncul seorang kebiri bangsa Mongol, yang dipinjamkan kepada Kaisar Kie Tin itu. Hamba ini mengucapkan kata-kata "mempersilakan." In Tiong segera masuk ke dalam, bukannya dengan bertindak hanya dengan berlompat, dua tiga tindak menjadi satu. Setibanya di dalam ia tampak raja sedang duduk dengan tenang di kursi malas, empat orang kebiri tanggung yang raja Watzu kirim kepadanya tengah menumbuki bebokongnya dengan pelahan-lahan! Juga wajah raja ini sangat tenang, tidak menunjukkan ketegangan hati. Dengan merasakan perutnya hampir meledak, In Tiong memberi hormat sambil berlutut. Tiga kali ia mengucapkan "BansweeV (Sri baginda panjang umur) "Menteriku, kau bangun dan duduklah!" berkata raja itu, juga dengan sangat tenang. In Tiong merayap bangun tetapi ia tidak berduduk. "Ada urusan penting apa maka Sri Baginda memanggil hambamu?" dia bertanya. Kie Tin batuk-batuk. "Ya, ya, ada urusan penting sekali," dia menyahut kemudian. "Dengan mendadak saja aku ingat suatu hal. Besok kita akan berangkat pulang, tetapi sementara itu selama aku berada di negeri ini, aku toh telah menerima perlayanannya Raja Watzu. Dia adalah tuan rumah, aku adalah tetamu, dia menghormati aku, maka itu tak dapat aku tidak membalas hormatnya itu. Raja Watzu sendiri hendak mengantar aku berangkat, dia hendak mengantarnya sampai di luar kota. Kalau aku terima penghormatannya tanpa membalasnya, aku merasa itulah kurang tepat. Maka itu aku telah memikirnya, baiklah kau yang menyambut aku keluar dari istana ini, untuk terus keluar kota. Untuk pamitan dari raja Watzu, aku akan kirimkan surat kehormatan. Umpama kata raja Watzu tetap hendak mengantarnya, maka kita boleh tunggui ia di luar kota di mana aku sambut dia. Ini baharu namanya kehormatan saling membalas..." Demikianlah adanya "urusan penting sekali" yang dinamakan raja itu. Hampir saja perutnya In Tiong meledak bahna mendelunya. Sekarang sebaliknya dia menjadi bungkam, cuma wajahnya yang menjadi pucat pasi. Kie Tin telah dibawa ke negeri Watzu di mana ia ditawan. Perlakuan bagaimana macam ia dapat sebagai raja tawanan? Mana kemerdekaannya? Tentang ini In Tiong telah mendengarnya dari Tan Hong. Tapi sekarang, raja ini melupakan derajatnya sebagai raja, raja dari Kerajaan Beng yang terbesar! Dia hendak mengirim surat mohon pamitan! Katanya dia hendak membalas penghormatan dengan penghormatan! Selagi bungkam, In Tiong melirik kepada ke empat orang kebiri, ia dapat kenyataan mereka itu pada bersenyum. Lantas saja hatinya bercekat. "Adakah ini pikiran Sri Baginda sendiri?" tiba-tiba ia tanya. Ditanya begitu, raja nampaknya terkejut. Segera wajahnya berubah. "In Tiong, insyafkah kau akan kesalahan bicaramu?" dia menegur. "Tentu saja ini adalah pikiranku sendiri!" Raja ini telah mendusta. Sebenarnya dia telah dijadikan perkakasnya Yasian. Perdana Menteri Watzu itu menduga pasti, setelah minggatnya Topuhua, mungkin puterinya itu akan minta bantuannya In Tiong, maka itu di satu pihak ia mencoba untuk menghalang-halanginya, ialah dengan kirim Wotjaha kepada Ngochito, supaya ancaman kepada Thio Tjong Tjioe tetap diwujudkan, di lain pihak ia kirim utusan ke istana, untuk menemui Kie Tin, guna pedayai kaisar Beng itu sambil diancam dengan gertakan. Ia ajarkan Kie Tin bagaimana harus memanggil In Tiong datang menghadap. Inipun suatu akal bagus untuk cegah si utusan dapat pergi menolongi Tjong Tjioe. Bahagian istana di mana Kie Tin ditahan berada di bawah pengaruhnya Yasian, tidak heran kalau di sini orangnya Perdana Menteri itu bisa keluar masuk dengan merdeka. Untung bagi Perdana Menteri ini, Kie Tin kecil hatinya — raja ini takut dia tak diijinkan Perdana Menteri itu pulang ke negerinya, maka dia telah kena dibujuk dan digertak. Begitulah dia pikir: "Janganlah karena urusan kecil ini nanti terjadi sesuatu perubahan..." Demikian dia paksa In Tiong datang menghadap, sesudah mana, dia mencoba pakai pengaruhnya sebagai raja untuk tindih utusan itu. Sehabis menegur, Kie Tin ubah pula sikapnya. "Mengingat dengan tugasmu ini kau telah peroleh jasa, aku tidak akan menghukum padamu," dia berkata pula. "Sekarang aku hendak mengirim surat pamitan kepada raja Watzu dan kau menantikan di sini, setelah sebentar aku sudah menghadiahkan semua pegawai istana di sini, setelah terang tanah, kita akan berangkat bersama." In Tiong tidak berdiam saja atas sikap rajanya itu. "Sri Baginda," katanya, "tak usah Sri Baginda mengirim surat pula, aku sendiri sudah memberitahukannya kepada raja Watzu! Besok kita batal berangkat!" Kaisar itu terkejut, hingga air mukanya berubah pula. "Kau, kau bagaimana berani melancangi aku?" dia membentak. "Oleh karena hambamu hendak melakukan kunjungan kepada Thio Tan Hong." In Tiong beritahu terus terang. Kie Tin menjadi heran. Dia lantas tepuk meja. "Kenapa kau hendak kunjungi Thio Tan Hong?" dia menegur. "Apakah kau tidak tahu bahwa dia ada turunannya pemberontak Thio Soe Seng? Bahwa aku telah tidak ringkus dia untuk dibawa pulang bersama dan dihukumnya, itu telah menandakan kemurahan hatiku! Bagaimana kau justeru hendak mengunjungi mereka? Hm, hm! Mana ada itu aturan?" In Tiong tidak jadi gentar hatinya karena teguran itu. "Sri Baginda, tahukah Sri Baginda akan duduknya perkara?" dia menanya. "Tahukah Sri Baginda sebab-sebabnya telah terdapat perdamaian di antara kedua negara dan Sri Baginda hendak disambut pulang? Ini memang benar ada kehendaknya Ie Kokioo, tetapi lebih benar bahwa semua ini adalah hasil usahanya Thio Tan Hong! Apabila tidak Thio Tan Hong yang ketahui betul keadaan di dalam negara Watzu dan ia memberitahukannya kepada Ie Kokioo, pihak kita belum tentu berani bersikap keras seperti sekarang terhadap negara Watzu ini!" Mukanya Kie Tin menjadi pucat. "Hm!" terdengar suaranya. Lalu dia bilang: "Jadinya, menurut kau ini, Thio Tan Hong itu adalah satu menteri yang setia dan berjasa?" "Benar!" jawab In Tiong. "Dia bersetia untuk negara!" "Kau berbicara untuk pemberontak, kebaikan apa kau dapat?" raja tanya. In Tiong sangat mendongkol atas pertanyaan ini hingga hampir tak dapat ia bicara, tetapi ia menjadi kaget sekali ketika ia dengar lonceng istana berbunyi lima kali. Selama menghadapi junjungannya ini, ia sampai melupakan sang waktu. Segera ia berkata: "Sekarang ini Yasian justeru hendak menembak keluarga Thio itu! Hambamu benar bermusuh sangat hebat dengan keluarga Thio itu, akan tetapi dengan hambamu bersedia menerima hukuman dari Sri Baginda, hendak hamba menolongi keluarga itu! Tentang kebaikan yang diterima, itulah tidak mengenai hambamu! Justeru Sri Bagindalah yang terima kebaikan dari Thio Tan Hong itu! Hanya sayang Sri Baginda masih belum mengetahuinya! Ie Kokioo telah mengumpulkan tentera suka rela dari seluruh negeri, dia dapat mengalahkan Yasian! Tahukah Sri Baginda dari mana datangnya belanja atau rangsum untuk angkatan perang suka rela itu? Sebagian besar dari itu adalah Thio Tan Hong yang membelanjainya!" Kedua matanya Kie Tin bagaikan terbalik, matanya itu mendelik. "Apa? Apa kau bilang?" serunya berulang-ulang. "Apa... apakah kau menteri yang telah makan gaji dari kerajaan Beng yang besar berani bicara demikian? Kau berani belai padanya? Apakah benar kau berani lawan rajamu?" Matanya In Tiong mengembeng air. Ketika ia melihat ke atas, ia dapatkan cuaca sudah mulai terang. Sedetik itu ia lantas ambil putusannya. "Hambamu tahu, melawan raja berarti hukuman mati!" ia berkata. "Tapi sekarang juga hambamu hendak pergi ke rumah keluarga Thio itu! Nanti setelah itu, untuk balas budi Sri Baginda, hambamu bersedia untuk kurbankan dirinya! Sesudah hambamu mati baiklah Sri Baginda minta Ie Kokioo nanti mengirim utusan yang kedua untuk menyambut Sri Baginda pulang!..." Mendengar perkataannya menteri itu, Kie Tin kaget tidak terkira. Apa yang dia harapkan siang dan malam adalah supaya dia dapat pulang ke negerinya, sekarang pengharapannya itu sudah tercapai, dia akan pulang besok untuk menjadi raja pula, maka bagaimana itu dapat dihalangi karena urusan In Tiong ini? — ya, urusan keluarga Thio itu? Kalau benar In Tiong buktikan perkataannya itu, yaitu dia ditinggal pergi, mana dapat dia pulang seorang diri? Sampai kapankah datangnya utusan yang kedua? Dan utusan yang kedua itu tentu tidak secakap In Tiong ini... Apakah karena itu mesti hancur lebur impiannya setiap malam untuk berkuasa pula sebagai raja? Baharu sekarang ia merasa jeri. "Menteriku, marilah bicara secara baik-baik," akhirnya ia minta. "Yasian itu jahat, terhadap Sri Baginda dia tidak mengandung maksud baik," In Tiong jawab junjungannya itu. "Bahwa dia telah sudi membuat perdamaian dengan negara kita, itulah karena terpaksa, tak dapat dia tidak membuat demikian. Sri Baginda, daripada mempercayai Yasian, lebih baik menaruh kepercayaan kepada Thio Tan Hong! Sekarang hendak hambamu pergi!" Kie Tin menjadi bergelisah sekali. "Menteriku, tunggu dulu!..." ia menahan. In Tiong sangat bergelisah tetapi karena rajanya memanggil, tidak dapat ia tidak menoleh. "Sri Baginda hendak menitah apa?" dia tanya. "Aku hendak pergi bersama kau..." kata raja, suaranya menggetar. Raja ini mengucap demikian karena ia telah lihat, tidak dapat ia menahan lagi utusan itu. Sebenarnya ia jeri untuk berdiam lebih lama pula di dalam istana itu, ia kuatir Yasian nanti mencelakai padanya. Sama sekali ia tidak tahu hatinya perdana menteri Watzu itu. Yasian tidak nanti berani mencelakai ia, ia cuma digertak. Tapi ia sangat takut, ia tidak dapat memikir, maka ia anggap ikut In Tiong adalah paling selamat... Permintaan itu adalah di luar dugaan utusan she In itu. Ia memandang kaisar itu, ia tampak muka yang pucat dan sikap kuncup, bagaikan kelinci yang jeri terhadap seorang pemburu. Jauh sangat bedanya si junjungan dengan sikapnya yang sangat galak tadi. Maka kepadanya datang dua rupa kesan: jemu berbareng kasihan. Nyatalah raja yang derajatnya berada di atas "laksaan rakyat," sekarang menjadi demikian hina kelakuannya. Tapi walaupun begitu, ia memberi hormat sambil menekuk separuh dengkulnya, untuk terima baik "perintah" raja itu... Ketika itu cuaca telah menjadi semakin terang sebagai tanda sang pagi telah datang secara mendesak. "Tunggu sebentar, aku hendak ambil bajuku," kata Kie Tin pula. Terus ia masuk ke dalam di mana dengan cepat ia buka lemari pakaian. Segera matanya bentrok dengan sepotong baju mantel dari kulit rase warna putih, yang bercampuran dengan lain-lain jubanya. Itulah baju ketika Kie Tin masih dalam tawanan di dalam menara batu yang Tan Hong telah berikan padanya, baju yang Tan Hong loloskan dari tubuhnya. Maka, menampak itu, ingatlah kaisar ini kepada hari yang tak terlupakan itu. Hatinya goncang dengan tiba-tiba. Tak tahu ia, ia mesti menyesal atau mendongkol... Dalam kesangsian, Kie Tin tidak samber mantel itu. Ia memilih yang lain-lainnya akan tetapi pilihannya tak tepat. Ia tidak dapatkan juba yang ia anggap cocok dengan hatinya... Akan tetapi sang waktu berjalan terus, tak bersangsi seperti raja ini. Sinar matahari mulai menembusi jendela. In Tiong di luar habis kesabarannya. "Sri Baginda, harap maafkan hambamu, hamba tak dapat menunggu lebih lama pula!" demikian utusan itu perdengarkan suaranya, suara nyaring tetapi tak tenang lagi. Suara menteri itu membikin Kie Tin tersadar dengan kaget, dengan tangan tidak tetap, dengan pikiran kusut, ia sambar sembarangan saja sepotong juba, terus ia keredongi tubuhnya. Ia pun menyahuti: "Aku akan segera keluar!" Dan ia lari keluar, akan susul In Tiong. Maka itu, dengan bersama-sama mereka keluar dari istana tempat tahanan. Setibanya di luar istana, baharulah Kie Tin terkejut. Ia dapat kenyataan, tubuhnya telah berkerodongkan justeru mantelnya Tan Hong! Tapi sekarang ia tidak dapat menghiraukannya pula, ia mesti ikuti utusannya dengan hati gelisah! Pengiring-pengiring In Tiong masih terus dirintangi di tengah jalan, baharu setibanya utusan ini sendiri bersama Kaisar Kie Tin, mereka diberi ijin oleh si thaywie bangsa Mongol untuk lewati tempat jagaan. Ketika itu, langit sudah jadi terang. In Tiong menunggang kuda, ia kaburkan binatang tunggangannya itu. Ia seperti dengar suara tertawanya Tan Hong yang manis, anak muda itu sebagai terbayang tengah menggape-gape terhadapnya. Di saat itu, apa yang dinamakan surat wasiat kulit kambing yang berlumuran darah, segala permusuhan hebat, semua itu bagaikan diusir lenyap oleh bayangannya pemuda she Thio itu! Cuma satu pikiran yang berpeta diotaknya utusan ini: Ia mesti lekas sampai di rumah keluarga Thio untuk menolongi Tan Hong dari tangannya malaikat! "Bukankan aku telah terlambat? Cuaca sudah terang, matahari sudah naik!" demikian pikirannya bekerja selagi ia kaburkan terus kudanya. Ia sangat menyesal yang ia tidak bisa jambret sang waktu, untuk menahannya... Syukur sampai itu waktu, masih belum terdengar suara meriam... Tapi In Tiong menjadi semakin tegang hatinya, ia menjadi semakin gelisah, jantungnya memukul keras sekali. Ia merasakan dirinya seperti seorang hukuman mati, yang saat kematiannya telah tiba akan tetapi kampaknya si algojo belum juga dikampakkan turun! Menanti waktu satu detik bagaikan menanti waktu satu jam... Kapankah sang peluru meriam bakal melesat keluar? Mungkinkah kelambatan setengah tindak akan mendatangkan kemenyesalan seumur hidup? Bagaikan kalap, In Tiong cambuki kudanya. Hingga ia membuat raja ketinggalan jauh di belakangnya, ia menahan napas ketika kudanya kabur! Akhirnya, tibalah juga ia di depan gedungnya keluarga Thio. Ia tampak satu serdadu Mongol sedang rebah tengkurap di samping meriam yang mulutnya menghadapi gedung dan tengah mengeluarkan asap. Ia lantas saja berteriak sekuat-kuatnya, iapun mencambuki kudanya hebat sekali, hingga binatang itu berjingkrak lompat, kabur ke arah meriam besar itu! Di belakang utusan kerajaan Beng ini, delapan belas pengiringnya pun berteriak-teriak: "Utusannya Kerajaan Beng tiba!" Tan Hong tengah menantikan kematiannya tatkala kupingnya dengar suara sangat berisik itu di luar gedung. Mendadak saja, timbullah harapannya, hingga ia menjadi sangat girang. Ia berlompat, terus ia rampas gaetannya Tantai Mie Ming di saat jenderal ini hendak habiskan jiwanya sendiri. "Kau dengarlah!" serunya. "In Tiong telah tiba!" Lalu dengan pesat ia lompat naik ke atas tembok. Thio Tjong Tjioe telah tutup rapat kedua matanya tetapi sekarang dengan pelahan-lahan ia buka matanya itu. "Siapakah yang datang?" ia tanya. Tak tegas ia dengar suara puteranya. "Dasar kita tidak bakal hilang jiwa!" sahut Tantai Mie Ming. "Itulah utusan Kerajaan Beng yang datang mengunjungi tjoekong." Di saat itu, Tjong Tjioe sendiri pun sudah lantas mendengarnya dengan nyata. Hal ini membuat ia heran. Inilah di luar dugaannya. Ia bersenyum tetapi sebentar saja, atau lantas ia tunduk, untuk mengeluarkan napas panjang. Tan Hong di atas tembok melihat kudanya In Tiong lari mendatangi keras sekali. Tapi pun ia saksikan meriam besar, yang mulutnya diarahkan ke gedungnya, tengah mengepulkan asap putih. Mendadak saja matanya menjadi gelap, harapannya yang baharu timbul tadi telah lenyap seketika! Hampir ia tak sanggup pertahankan tubuhnya... Tantai Mie Ming lihat tubuh orang bergoyang seperti hendak jatuh. "Hai, kau kenapa?" ia berseru dengan tegurannya. Tan Hong dengar teguran itu tapi ia tidak menjawabnya. Ia segera dapat atasi dirinya sendiri. Ia lantas berteriak ke arah luar tembok: "Saudara In, lekas menyingkir! Jangan kau antarkan jiwa!" Di saat terakhir dari kematiannya ini, Tan Hong masih tunjukkan persahabatannya. Riuhlah suara di waktu itu. Suara yang satu dari kaburnya kuda, suara yang lain dari teriakan cegahannya Tan Hong. Adalah di saat itu, dengan tiba-tiba terdengar satu suara keras. Asap putih mengepul buyar, peluru pun melesat menyambar! In Tiong menjerit hebat, hatinya bagaikan tertindih gunung gempa, hingga putuslah harapannya yang terakhir. Tetapi ia dengar nyata bahwa suara meriam bukan seperti meledaknya merian di medan perang. Segera ia pentang lebar kedua matanya, mengawasi ke arah meriam itu, ke arah peluru yang melesat keluar mengikuti hembusannya asap putih. Peluru itu tidak menggempur gedung menteri muda hanya jatuh di tanah sesudah menyembur jauhnya kira-kira tiga tombak! Peluru itu jatuh ke tanah untuk terus bergelindingan beberapa kali, lain tercebur ke dalam selokan, hingga dia tidak menyebabkan perledakan dahsyat! Meriam besar itu sudah gagal dengan tugasnya. Sumbu telah disulut tepat akan tetapi perledakannya tidak sebagaimana yang diharapkan. Sebab dari itu adalah karena darahnya Topuhua, puterinya Yasian, perdana menteri Watzu itu. Nona itu telah peluki meriam dengan darahnya masih mengucur, tanpa diketahui darah telah meresap ke sumbu, membasahi obat pasangnya. Demikianlah, sisa obat pasang yang tersulut itu tidak cukup kekuatannya, suara ledakannya berkurang, tenaga melesatnya pun hampir lenyap, demikian terjadilah seperti di atas tadi. In Tiong girang tak kepalang. Dari atas kudanya dia lompat turun untuk lari ke pintu gedung, untuk menggedornya dengan kuat, sekuat-kuatnya! Ketika itu, utusan itu pun diikuti terus oleh delapan belas pengiringnya. Di dalam keadaan seperti itu, walau Ngochito bernyali sangat besar, tidak berani ia mengisi pula meriamnya, untuk menembak buat kedua kalinya. Tan Hong lompat turun dari tembok pekarangan, ia lari ke pintu yang segera ia buka. Begitu daun pintu terpentang, ia papaki In Tiong, hingga keduanya saling tubruk, saling rangkul! Dan kedua-duanya, air matanya mengembeng. Sekian lama mereka saling mengawasi, tidak ada satu yang dapat membuka mulutnya. Sekonyong-konyong Tan Hong memanggil: "Ayah!...” In Tiong menoleh dengan segera. Thio Tjong Tjioe dengan tindakan agak limbung, tengah mendatangi ke arah mereka. Dengan tiba-tiba saja, hatinya sang utusan seperti berhenti berdenyut... Dia ayahnya Thio Tan Hong. Inilah orang, yang sejak ia dilahirkan, mulai saat ia mengerti urusan, yang tak ada satu hari ia tidak membencinya! Inilah musuh besarnya turun temurun! Dan sekarang, orang ini sedang mendatangi ke arahnya... Ia lihat mulut orang yang bergerak, yang dibuka sedikit... Orang seperti ada punya ribuan kata-kata yang hendak diucapkan, akan tetapi kata-kata yang tak dapat dikeluarkannya. Ia tampak juga kulit muka orang yang kisut berkerut-kerut, wajah yang mendatangkan kesan baik. Wajah yang bagaikan berdahaga untuk sesuatu yang telah berlarut lama... Itulah seperti wajahnya satu ayah yang telah menanti-nanti puteranya yang telah lama tak pernah pulang-pulang. Itu juga roman, yang In Tiong untuk selamanya akan tak dapat melupakannya... "Ah..." akhirnya ia mengeluh seorang diri. Orang tua yang telah "kering" ini, yang rambutnya telah putih semua, sedikitpun tiada beroman seorang jahanam yang licin dan kejam. Apakah In Tiong cukup kuat hati untuk membunuh orang tua yang tinggal menantikan saat dari hari tuanya itu? Thio Tjong Tjioe mendekati terus, satu tindak demi satu tindak. Mendadak ingat pula In Tiong kepada surat wasiat kulit kambing yang berlumur darah, ia awasi orang tua itu dengan sorot matanya yang bengis! Tetapi cuma sekejap, segera ia melengos, berbareng dengar mana, ia pun gerakkan kedua tangannya, untuk melepaskan diri dari rangkulannya Tan Hong. Tjong Tjioe merasakan hatinya sakit seperti disayat-sayat. Ia telah menatap mata orang — mata yang mengandung kebencian hebat. Itulah mata yang sorotnya sama dengan matanya In Tjeng pada tiga puluh tahun yang lampau... Orang tua ini sadar, ia menginsafi benar-benar. Tiba-tiba ia jatuhkan dirinya hingga berduduk di tanah, romannya sangat lesu. In Tiong telah lantas membalik tubuhnya. "Urusan telah, selesai, kita pergi!" ia berkata. Tan Hong berdiri menjublak, matanya mengawasi ayahnya, lalu berpaling mengawasi orang she In itu. Tak dapat ia mengatakan sesuatu... Tamtay Keng Beng berbicara dengan kakaknya ketika ia dengar suaranya In Tiong itu, maka ia segera tinggalkan kakaknya untuk menghampirkan si utusan. "Apa? Baharu sampai sudah hendak pergi pula?" katanya. Biasanya, kalau Nona Keng Beng mengucapkan sesuatu, In Tiong tak pernah tak mengiringinya, akan tetapi kali ini ia bagaikan kehilangan semangat, ia seperti tidak mendengarnya, ia berjalan terus, lempang ke arah pintu pekarangan. Berbareng dengan itu, dari luar terdengar suara berisik dari kaki-kaki kuda, yang baharu saja tiba di muka pintu, menyusul itu terdengar suara nyaring dari beberapa orang, yang menyerukan kata-kata yang sama: "Kaisar dari Ahala Beng datang mengunjungi keluarga Thio!" Itulah Kaisar Kie Tin, yang baharu saja sampai, sehab ia telah ketinggalan jauh oleh In Tiong. Ia adalah kaisar yang berada di dalam tawanan, baharu saja ia merdeka, ia lantas tak ubah kebiasaannya, ia tak hendak melupakan bahwa dirinya seorang raja. Maka itu, pengiring-pengiring perdengarkan seruan itu. Di dalam pekarangan gedung menteri muda, tidak ada orang yang usil kaisar ini. Thio Tjong Tjioe masih duduk numprah, tubuhnya tidak bergeming. Tantai Mie Ming mengawasi raja itu, dengan roman yang bengis, dengan sinar matanya yang tajam, tetapi sebentar saja, ia lantas pelengoskan mukanya untuk melanjutkan bicara dengan adiknya. Cuma In Tiong beserta pengiring-pengiringnya, yang mesti menunda tindakan kakinya... Kie Tin menjadi kecele, tak enak hatinya. Bukankah ia seorang kaisar? Kenapa tidak ada orang yang ambil perhatian kepadanya? "Siapa Thio Tjong Tjioe?" ia tanya sambil membentak. "Kenapa dia tidak menyambut raja?" Tjong Tjioe angkat kepalanya, untuk dongak melihat langit! Ia seperti juga tak melihat adanya satu Kie Tin di hadapannya itu! Kaisar tidak kenal Thio Tjong Tjioe tetapi dia kenali Thio Tan Hong. Maka itu ia segera menoleh kepada si anak muda. "Mana ayahmu?" dia tanya, suaranya membentak. "Kamu ayah dan anak adalah turunan pemberontak tetapi sekarang dengan kemurahan hati aku tidak hendak tarik panjang perkaramu itu! Apakah kamu masih tidak hendak sambut junjunganmu?" Selama raja ini bicara, Tan Hong tidak menjawab, dia cuma tertawa dingin. Kie Tin yang menampak sikap orang itu, seperti merasa bahwa matanya si anak muda menatap dengan tajam kepada mantel di tubuhnya! Dengan sendirinya mukanya menjadi berubah merah, dengan sendirinya ia likat dan merasa tak enak hati. Maka itu, kalau pada mulanya suaranya keras, lambat laun suara itu menjadi pelahan, lalu beberapa kata-kata yang terakhir cuma ia sendiri yang mendengarnya... Sehabis tertawa dingin, Thio Tan Hong merogo ke dalam sakunya. Dengan satu gentakan ia tarik keluar tangannya itu yang menggenggam satu bungkusan. Ia lantas lemparkan itu ke tanah! "Dua rupa barang ini kau harus simpan baik-baik, jangan kau membuatnya hilang kembali!" dia kata, suaranya dingin tetapi keren. Satu pahlawan segera jemput bungkusan itu, untuk dibawa ke hadapan rajanya. Dia pun segera membukanya. Di dalam bungkusan itu terdapat dua rupa barang, melihat mana Kie Tin jadi tercengang. Barang yang satu adalah yang berukiran huruf-huruf "Tjeng Tong Hongtee Tjie In" yang berarti "Cap dari Kaisar Tjeng Tong." Itu adalah capnya raja ini! Barang yang kedua adalah tusuk konde kumala yang Honghouw atau permaisuri persembahkan kepada Kie Tin sendiri! Itulah dua rupa barang berharga yang selama pertempuran kalut di Touwbokpo sudah dicuri dan dibawa lari oleh Taylwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay, yang Tan Hong dapatkan dari tangannya tjongkoan itu ketika si tjongkoan dipermainkan Hek Pek Moko. Baharu sekarang ada ketikanya untuk Tan Hong bayar pulang cap dan tusuk konde itu kepada kaisar Beng ini. Sehabis tercengang, Kie Tin kemudian menjadi sangat murka. Kemana keagungannya seorang kaisar? Di mana ia mesti taruh mukanya? Akan tetapi ia boleh bergusar, hatinya justeru ciut. Ia hendak umbar kemurkaannya, ia tak dapat lakukan itu. Kekuasaan apa ia ada punya untuk pengaruhi Tan Hong itu. Maka di akhirnya, ia memikir untuk melampiaskan segala-galanya kepada In Tiong... Hampir di itu waktu, tiga orang datang berlari-lari bagaikan terbang ke arah mereka. Dua orang yang lari di muka sama potongan tubuhnya, hanya yang satu mukanya putih, yang lain hitam. Kedua orang ini berlari-lari berjingkrakan, tangannya pun dibulang-balingkan serta mulutnya perdengarkan seruan-seruan. Di mata mereka itu, di situ seperti juga tidak ada orang lainnya lagi... Ketiga orang itu adalah Hongthianloei Tjio Eng bersama Hek Pek Moko, kedua Hantu Putih dan Hitam. Mereka menyerang tentera Mongol sampai tentera itu buyar sendirinya, maka untuk maju terus mereka repot menyingkirkan besi-besi cagak tiga yang diampar di tanah, yang menjadi perintang baginya. Setelah itu dengan tidak berlambat lagi mereka lari terus menuju ke gedungnya Keluarga Thio. Mereka tiba di saat Kie Tin tak tahu ke mana ia mesti buang mukanya... "Hai, orang-orang gila dari mana berani datang kemari membuat Sri Baginda kaget?" membentak pengiringnya kaisar itu. Mereka ini tidak kenal tiga orang itu, mereka lantas maju untuk mencegat. Tjio Eng melirik kepada Kie Tin, lalu ia gerakkan kedua tangannya untuk menyambut dua pengiring yang maju paling depan. Dengan tepat ia cekuk batang lehernya mereka itu, maka satu kali ia himpaskan kedua tangannya, kedua pengiring itu terlempar terpelanting! Hek Pek Moko tertawa melihat perbuatannya kawannya itu, mereka juga lantas meneladnya, tetapi mereka menggunakan masing-masing tongkatnya, hingga dua pengiring lain rubuh terjungkal, kepala di bawah, kaki di atas! Kie Tin kaget hingga ia mundur sendirinya. Setelah itu, tidak ada lagi lain perintang bagi tiga orang itu, maka Hek Pek Moko lompat kepada Tan Hong, yang tangannya disambar dan ditarik, mulut mereka berkaok-kaok kegirangan! Tjio Eng sebaliknya lari kepada Thio Tjong Tjioe, akan bertekuk lutut di hadapan tjoekong atau junjungan yang tidak bermahkota itu. Cepat-cepat Tjong Tjioe pimpin bangun hamba yang setia itu, ketika ia berbangkit, tubuhnya limbung terhuyung, seperti juga tidak kuat berdiri, dari itu, ia lantas saja berduduk pula. Sakit hatinya Tjio Eng menyaksikan junjungannya itu, air matanya lantas melele keluar. "Tjoekong...." ia memanggil dengan pelahan. "Tjio Tjiangkoen, untuk beberapa puluh tahun telah aku membikin kau kecele..." berkata tjoekong itu. Leluhurnya Tjio Eng adalah Liong Kie Thayoet dari Thio Soe Seng, maka itu, Tjong Tjioe memanggil dia tjiangkoen (jenderal ). "Pusaka negara telah kembali di tangan siauw-tjoe, sayang negara tetap bukan negara dari Kerajaan Tjioe yang besar..." berkata Tjio Eng dengan masgul. Dengan "pusaka negara" ia maksudkan peta bumi. Tjong Tjioe menggoyangkan tangan, ia tertawa sedih. "Aku telah ketahui semua," katanya, "tak usah kau menyebut lagi. Manusia itu cukup asal dia tidak membuat malu terhadap dirinya, tentang usaha merebut kerajaan, itulah terserah kepada Yang Berkuasa..." Kie Tin dengar itu, tak enak hatinya. Ia segera tunjuk In Tiong. "Dengan orang-orang kasar tak dapat kita berdiam bersama," ia berkata, "maka In Tjonggoan, lekas kau iringi junjunganmu untuk berangkat pulang!" Kaisar ini kembali hendak tunjukkan pengaruhnya, akan tetapi In Tiong tidak pedulikan padanya, Tjonggoan ini masih berdiri diam seperti semangatnya telah hilang lenyap. Kaisar menjadi sangat gusar. "Hai, apakah kamu telah gila semua?" dia berseru. In Tiong seperti tersadar mendengar suara keras itu, ia lantas bertindak ke samping memimpin rombongan pengiring, untuk berdiri di kedua tepi, guna iringi raja. Selama itu, ia tidak perdengarkan suara apa-apa. Baharu raja dan hamba-hambanya keluar di pintu pekarangan, tiba-tiba In Tiong merandak, mukanya pun berubah menjadi sangat pucat. Dari luar bertindak masuk dua orang, yang satu adalah satu nona yang cantik bagaikan bunga indah. Nona itu memajang seorang tua yang rambutnya telah ubanan, yang romannya layu serta mukanya ada tanda-tanda luka. Dan ia berjalan dengan dingkluk-dingkluk. Kapan Kie Tin lihat orang tua itu, ia terkejut, ia bergidik. Segera juga terdengar suara seruannya In Tiong. "Ayah!" Dan ia lari kepada orang tua itu, untuk ditubruk dan dirangkul! In Teng seperti tidak pedulikan puteranya itu, malah dengan sebelah tangannya ia tolak sang putera ke samping. Dengan kedua matanya yang tajam, ia tatap Thio Tjong Tjioe, dengan tindakan tidak tetap ia maju kepada turunan kaisar Tjioe itu. Ia telah perlihatkan roman yang bengis. Mau atau tidak, Tjioe Eng geser tubuhnya ke samping. Sekarang ia bisa lihat di belakangnya In Teng itu ada anaknya perempuan serta baba mantunya, ialah Tjoei Hong dan San Bin. Maka ia lantas bertindak ke arah puterinya itu. Tjoei Hong dan San Bin tidak berani buka suara, roman mereka tegang. Karena kakinya yang telah pincang itu, sukar In Teng dapat berjalan dengan leluasa. Itulah sebabnya maka baharu hari ini ia tiba di kota raja Watzu. Segera ia dapat keterangan yang In Tiong telah pergi ke rumah Keluarga Thio. Ia menjadi kaget dan gusar sekali, tidak buang tempo lagi ia segera ajak gadisnya menyusul. Ia girang dapat bertemu puteranya, tetapi kegirangan itu tertutup kebencian terhadap musuhnya... Di saat itu, Tan Hong kaget bagaikan orang disambar petir, mukanya jadi sangat pucat pasi. Ia telah lihat adik kecilnya tetapi In Loei, berpaling pun tidak terhadapnya. Cuma sorot matanya In Teng yang bengis mengawasi kepadanya... "Ah!...” ia berseru tertahan. Ia yang gagah perkasa, sekarang ia tidak dapat berbuat suatu apa. Sikapnya In Teng sekarang lebih hebat daripada ketika dia memaksa puterinya pisahkan diri daripadanya. Masih In Teng bertindak menghampiri Tjong Tjioe. Ketika Tjong Tjioe angkat kepalanya, ia tampak In Teng berdiri dihadapannya. Ia lihat mata orang yang tajam, muka yang dingin. Ia dapatkan In Teng seperti hantu pembalasan yang terbuat daripada batu marmer... Hampir berbareng, Tan Hong dan In Loei berseru, mereka segera lari menghampirkan ayah mereka masing-masing. In Teng tidak menoleh tetapi sebelah tangannya menyambar ke belakang, menggaplok puteranya! In Tiong jatuhkan diri di tanah, ia berlutut. "Ayah, mari kita berlalu dari sini!" ia memohon, suaranya sedih. "Mari kita pergi dari sini!..." Tan Hong di lain pihak hampirkan ayahnya, yang ia pegang pundaknya. "Ayah, baiklah ayah pergi beristirahat..." ia berkata. Tjong Tjioe tidak menoleh, dengan tangannya ia menolak tangan anaknya itu. In Teng dan Tjong Tjioe tetap berdiri berhadapan, keduanya sama bungkam. Pada akhirnya, In Loei tidak kuat lagi menahan hatinya. Ia lantas menangis, ia tutupi mukanya. "Ayah..." katanya dengan pelahan. In Teng seperti tidak dengar suara anaknya itu, yang bagaikan meratap. Di matanya, di dalam dunia ini, cuma ada satu Thio Tjong Tjioe. Dengan bengis ia terus mengawasi orang she Thio itu. Pada sinar matanya itu terbenam sorot kebencian yang sebegitu jauh manusia mempunyainya. Berselang sekian lama Tjong Tjioe tertawa dengan tiba-tiba. "Memang telah aku duga pada suatu waktu akan datang hari sebagai ini," ia berkata. "Sekarang aku akan pergi cari ayahmu, Thaydjin In Tjeng, untuk menghaturkan maaf sendiri kepadanya. Secara begini permusuhan di antara kita kedua keluarga baharulah dapat dibikin habis!" Suaranya orang tua ini makin lama makin lemah, ketika ia ucapkan perkataannya yang terakhir, tiba-tiba tubuhnya rubuh, dari kuping dan hidungnya mengalir keluar darah, terus saja tubuhnya tidak berkutik lagi. Karena ia telah berpulang ke lain dunia... Di luar tahunya siapa juga, Tjong Tjioe sudah ambil keputusan pendek, maka itu, setelah melihat In Teng, diam-diam ia telah telan racun yang ia telah bekal. Itulah racun bubuk yang paling liehay, ialah semacam racun yang dahulu hari dipakai oleh dorna Ong Tjin untuk meracuni In Tjeng, yang dipanggil pulang dengan firman palsu. Maka racun itu tak dapat ditolong walaupun dengan obat dewa... Kematiannya Thio Tjong Tjioe itu tak diduga siapapun yang hadir di situ. Mukanya Tan Hong menjadi pucat bagaikan mayat, biji matanya seperti menonjol keluar. Tak dapat ia menangis... In Loei menjerit dan terus saja ia rubuh! In Teng sendiri, bagaikan bola kempes mendadak, telah terjatuh duduk... "Tjoekong." berteriak Tantai Mie Ming dan Tjio Eng berbareng, sedang In Tiong berlompat dengan niat pegangi Tan Hong yang tubuhnya limbung. Sekonyong-konyong Tan Hong lompat, untuk pergi lari. Dia tutupi mukanya, dia lari bagaikan kalap. Dengan satu kali lompat saja, tubuhnya telah berada di bebokongnya kuda Tjiauwya saytjoe ma yang sejak tadi berdiam memakani rumput di pekarangan gedung itu. Begitu majikannya naik, begitu juga kuda itu meringkik keras, lalu dia kabur membawa sang majikan, kabur keluar gedung, hingga sesaat kemudian mereka — kuda dan manusia — tak tertampak pula dari pandangan mata! Maka sunyi senyaplah gedung itu, kecuali tangisan sedih dari In Loei... -000dw000- Dua bulan telah berselang... Itulah dipermulaan musim panas di Kanglam, selagi pemandangan alam di tengah-tengah keindahannya. Ketika itu di luar kota Souwtjioe ada satu anak muda yang sedang menunggang seekor kuda putih — penunggang kuda tunggal. Dialah Thio Tan Hong... Tempo dua bulan bukanlah waktu yang lama, akan tetapi selama itu, suasana telah berubah. In Tiong telah pulang ke kota raja, ia bawa Kie Tin bersamanya. Di kota raja telah ada kaisar yang baharu, ialah Kie Giok atau Beng Tay Tjong. Inilah kaisar angkatannya Kokioo Ie Kiam. Kie Giok adalah adik Kie Tin. Ia telah menjadi raja, ia tidak suka mengalah terhadap kakaknya. Maka itu Kie Tin pulang dengan ludas pengharapannya untuk duduk pula di singgasana kerajaan. Ia telah di tempatkan di Lamkiong, Istana Selatan. Ia diperlakukan sebagai raja kurungan. Cuma namanya saja ia menjadi Thaysianghong, kaisar tua yang dihormati, sebenarnya ia adalah kaisar tahanan. Oleh karena sepak terjangnya Kie Giok, impiannya Ie Kiam untuk memperbaiki negara turut buyar juga. Lenyaplah pengharapannya, Kie Giok tidak lagi membutuhkan bantuannya Kokioo itu, menteri tua yang berjasa ini. Malah setelah merampas kekuasaan atas angkatan perang, Ie Kokioo diangkat menjadi Pengpouw Siangsie — Menteri Perang, namanya saja, karena selanjutnya ia dilarang mencampuri urusan pemerintahan. Rombongan dorna Ong Tjin sudah runtuh, akan tetapi dengan lekas merayap muncul satu rombongan yang baharu. Maka raja dan menteri lantas mengicipi suasana perdamaian, untuk bersenang-senang hingga lupa kepada Peristiwa Touwbokpo, bahwa negara pernah satu kali diilas-ilas musuh! Tan Hong gagal dalam percintaan, ia gagal juga dalam urusan keluarganya, ditambah pula ia berduka juga untuk urusan negara. Maka sesudah ia pergi dan berdiam dengan diam-diam beberapa hari di kota raja, Pakkhia, di mana ia perhatikan suasana, tanpa menemui Ie Kiam lagi, ia berangkat ke Selatan Kanglam. Wilayah Kanglam sangat indah permai tetapi itu tak dapat melenyapkan kedukaannya anak muda ini. Demikianlah itu hari seorang diri, dengan menunggang kuda kesayangannya, ia pergi ke luar kota Souwtjioe yang kesohor itu. Ia melihat ke sekitarnya, ia memandangnya. Benar-benar permai wilayah Kanglam ini. Akan tetapi kedukaannya tetap tak dapat dilenyapkan. Ia kasih kudanya jalan pelahan-lahan, sampai tiba-tiba ia bersenanjung: "Alam tak kekal abadi, urusan manusia berubah-ubah... Negara telah mengalami perkosaan, dia meninggalkan kedukaan baru..." Dari sakunya Tan Hong tarik keluar sepucuk surat yang telah bertanda bekas-bekas air mata. Bunyinya surat itu ia telah baca untuk beberapa ratus kali, maka dengan tak usah melihatnya lagi, dapat ia membacanya di luar kepala. Itulah surat peninggalan dari ayahnya, yang pada malam sebelumnya ayah itu menutup mata, dengan diam-diam si ayah telah masukkan ke dalam saku bajunya. Jadi sebelumnya peristiwa, tak tahu ia atas adanya surat itu. Surat itu, atau lebih benar ayahnya, menulis sbb: "Dahulu hari aku telah berbuat suatu kekeliruan, ialah aku keliru sudah pergi kepada negeri Watzu. Dengan demikian terjadilah aku membuat permusuhan dengan Keluarga In. Demikianpun telah terjadi: Walaupun aku tidak membunuh Pek Djin akan tetapi dia binasa disebabkan olehku. Maka itu jikalau In Tjeng serta anak dan cucunya sangat membenci aku, itulah wajar. Oleh karena itu sekarang aku telah mengambil putusan untuk menebus dosa dengan kematianku. Inilah bukan melulu disebabkan urusan dengan Keluarga In itu saja juga bukan karena aku tiada punya muka untuk pulang ke negeri sendiri. Di hari-hari lanjut dari usiaku, aku dapat melihat utusan bangsa Han yang agung yang telah unjuk pengaruhnya di negara asing, aku mati dengan tak penyesalan. Kau, anakku, kau menang seratus lipat daripada aku, dengan aku punyakan anak sebagai kau, puas aku meninggalkan dunia yang fana ini! Anak, jikalau nanti aku telah "pergi", kau harus segera pulang ke negeri, dengan Keluarga In kau mesti mencari keakuran, untuk menanam persahahatan, untuk dengan jalan itu kau turut menebus dosaku. Kau dengan cucu perempuannya In Tjeng ada saling menyinta, hal itu telah aku ketahui jelas dari Tantai Tjiangkoen. Jikalau perjodohan itu dapat diwujudkan, aku senang sekali." Bayangannya ayah itu berpeta di hatinya Tan Hong. Ayah itu telah pernah berbuat keliru, tapi juga pernah melakukan kebaikan. Benar ayah itu telah membantu membangun negara Watzu menjadi kuat, tetapi iapun secara diam-diam telah membantu memberikan hajaran kepada Yasian. Tadinya Tan Hong tidak dapat mengerti ayahnya itu, sekarang ia mengerti jelas semuanya, ia menginsafinya. Tidak heran kalau ayah itu angkuh — angkuh yang membuatnya mengambil jalan keliru. Ia sendiri juga beradat angkuh sebagai ayahnya itu, tetapi keangkuhannya itu karena di dalam dirinya mengalir darah Han. Demikian di dalam hatinya, Tan Hong mengulangi membaca surat ayahnya itu. Lalu di lain saat segera berbayang lain bayangan. Kali ini adalah bayangannya In Loei, dengan siapa ayahnya mengharapkan ia dapat menggabungkan diri sebagai suami isteri. Akan tetapi peristiwa yang menyedihkan sudah terjadi. Karenanya ia beranggapan selama hidupnya ini, tidak nanti ada lagi pengharapan yang mereka berdua bakal dapat bertemu pula satu dengan lain... Dengan demikian tak mungkin dibicarakan tentang urusan pernikahan itu. Selama dua bulan ini, ususnya Tan Hong bagaikan telah terputus. Ia terus terbenam dalam kedukaan, hingga ia hampir saja tak sadar pula akan dirinya. Hampir saja ia menjadi terganggu urat sarafnya. Kali ini Tan Hong pulang ke Kanglam, maksudnya untuk mencari hiburan di antara keindahan wilayah Selatan ini, guna singkirkan kedukaannya itu, siapa tahu, begitu ia tiba di Kanglam, begitu ia ingat pula In Loei... Dahulu hari itu ia ada bersama si nona, kuda mereka dikasih jalan berendeng. Di kala itupun sama musim seperti sekarang ini di kala buah bwee mulai menguning, di saat bunga delima mulai mekar. Di sepanjang jalan, mereka telah tinggalkan suara tertawa mereka, juga air mata mereka, tetapi sekarang, dia menjadi terlebih bersusah hati lagi. Benar seperti katanya Lie Tjeng Tjiauw: "benda menjadi yang tidak-tidak, segala peristiwa habis sudah, tak dapat bicara, akan tetapi air mata mengucur keluar terlebih dahulu..." Memang: "Satu kali usus telah putus, tak dapat putus lagi... Air mata sudah kering, tak dapat mengucur pula..." Kota indah yang bagaikan gambar lukisan, pemandangannya tetap sebagaimana tahun-tahun dahulu itu, demikian juga bayangannya In Loei, pada bayangan itu seperti berbekas tertawanya yang halus merdu. Semua itu bagaikan berpeta, bergerak-gerak di depan mata si anak muda. Akhirnya, tak dapat Tan Hong menahan hati. Ia menghela napas. "Adik kecil, segala apa sudah terlambat..." keluhnya, pelahan. Menyusuli keluhannya ini, tiba-tiba Tan Hong dengar suara tertawa yang nyaring tetapi empuk, yang sedap bagi telinganya. Lalu menyusul suara tertawa itu, ia seperti dengar suaranya In Loei yang bagikan di samping kupingnya: "Siapa yang bilang sudah terlambat? Eh, kenapa kau tidak tunggui aku?..." Tan Hong menoleh dengan segera. Segera ia tampak seekor kuda bulu merah, di atas mana bercokol In Loei, yang wajahnya bersenyum berseri-seri, tetap manis seperti tahun dulu itu... Adakah ini impian? Adakah ini kejadian yang sebenarnya? Tan Hong terbenam dalam keragu-raguan. Tentu saja ia kaget berbareng sangat girang. Maka ia terus mengawasi kepada penunggang kuda itu, yang telah datang dekat kepadanya. In Loei terus bersenyum berseri-seri, lalu ia tertawa dan berkata: "Ah, kakak yang tolol!" serunya, masih sambil tertawa. "Apakah kau telah tidak kenali aku?" Ah, inilah bukannya impian belaka. Maka kalaplah Tan Hong bahna kegirangannya yang meluap-luap! "Hai, adik kecil!" serunya. "Benarkah kau yang datang? Benar-benarkah masih belum terlambat?" "Ah, apa katamu? Apakah itu terlambat atau tidak terlambat?" si nona menyahuti. "Bukankah kau sendiri yang pernah mengatakan bahwa, walaupun perjalanan ada sangat jauh orang toh akhirnya akan dapat menyusul? Kau lihat! Bukan melainkan aku yang dapat menyusul kau, juga mereka itu! Lihat!" In Loei berpaling ke belakang, tangannya menunjuk. Tan Hong mengawasi ke arah yang ditunjuk di mana ia tampak In Teng, ayahnya In Loei, yang bercokol di atas kuda tengah berseri-seri mengawasi mereka, selagi kudanya lari mendatangi ke arah mereka berdua. Pada mukanya In Teng tetap ada tanda-tanda bekas luka, akan tetapi sekarang romannya tidak lagi bengis tetapi sangat manis budi, tidak lagi ada sinar kebenciannya yang sangat. Dan begitu lekas dia sudah datang dekat, segera dia lompat turun dari kudanya itu, gerakannya sangat gesit. Dia sudah tidak pincang dingkluk-dingkluk lagi. Sebab dia telah diobati In Tiong, putera mana mengobatinya menurut cara pengajarannya Tan Hong. Sejak peristiwa yang hebat itu selagi di pihak yang satu Tantai Mie Ming bersama Tjio Eng beramai repot mengurus jenazah Tjong Tjioe, di pihak lain, In Teng, telah buyar semua kebenciannya. Karena ia telah dengar penuturan jelas dari In Loei, puterinya, tentang kejadian yang sebenarnya, bagaimana dalam kesengsaraan Tjong Tjioe, yang sebenarnya ada turunan sah dari Kerajaan Tjioe, telah sia-sia berdaya untuk membangun pula kerajaannya itu, karena tindakannya yang keliru sudah mengandalkan bantuannya negeri Watzu, bahwa Tan Hong tak tahu menahu mengenai sepak terjang ayahnya itu, sebaliknya Tan Hong telah berjasa menolong negara dari bahaya keambrukan, bahwa In Teng telah peroleh bantuan sangat berharga dari Tan Hong itu, dan sehingga yang paling belakang ini ia pun sembuh dari pincangnya berkat pertolongan tidak langsung dari pemuda she Thio itu. Urusan leluhur telah diselesaikan, maka itu, tak ada alasan bahwa permusuhan itu diwariskan kepada anak cucu. Sebaliknya dengan duduknya hal telah menjadi jelas dan Tan Hong pun sudah melepas budi, sudah selayaknya apabila persahabatan dan perhubungan dipererat! Di belakang In Teng ini masih menyusul satu rombongan penunggang kuda lainnya. Yang pertama tertampak nyata adalah In Tiong bersama ibunya. Lalu Tantai Mie Ming bersama adiknya — Tantai Keng Beng. Mereka itu mengawasi ke arah mereka bertiga, wajah mereka tersungging senyuman. Semua beriang gembira. Nona Keng Beng majukan kudanya, hingga dia jadi jalan berendeng bersama In Tiong. Dengan gembira ia ayun cambuk kudanya. Ia tertawa: "Tan Hong, Koaywa Lim telah diperbaharui!" ia berseru. "Taman itu telah menjadi semakin indah! Apakah kau masih tak hendak kembali ke dalam kota?" Sejak tadi Tan Hong mengawasi saja kepada mereka itu. Ia masih seperti orang yang baharu sadar dari mimpinya. "Adik kecil, apakah kau pun akan turut kembali ke dalam kota?" ia berbisik kepada In Loei. Si Nona In cuma menyahuti dengan tertawanya yang manis! Dengan tertawa ini, habis sudah permusuhan dan kebencian, semua itu terlebur ke dalam asmara yang manis bagaikan madu... TAMAT Serial Thian San 1. Hoan Kiam Kie Tjeng (Sebilah Pedang Mustika) 2. Peng Tjong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan) 3. San Hoa Lie Hiap (Pendekar Wanita Penyebar Bunga) Ikuti kisah selanjutnya: San Hoa Liehiap Pendekar Wanita Penyebar Bunga Apa yang terjadi setelah kaisar Kie Tin kembali naik tahta? Dalam cerita ini Thiansan Pay muncul untuk pertama kalinya, siapakah pendirinya? Apa hubungannya dengan Thio Tan Hong? Setelah 10 tahun tertawannya kaisar Kie Tin, Kie Tin dan Thio Tan Hong bertemu lagi! Pheng Hweshio mempunyai tiga orang murid, Tjoe Goan Tjiang, Thio Soe Seng dan Pit Leng Hie. Dalam cerita ini, giliran keturunan keluarga Pit yang ingin berebut tahta dengan keturunan Tjoe Goan Tjiang. ikuti juga kisah murid-murid Thio Tan Hong, yang merupakan anak-anak Ie Kiam dan Thio Hong Hoe. Gudang Ebook (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net --ooo0dw0ooo---